Langsung ke konten utama

Fantasi Pamer Istri


Namaku Reza, seorang pria berusia 30 tahun. Ini adalah kisahku yang memiliki kelainan fantasi pada istriku. Sebelumnya perkenalkan istriku yang seorang wanita chinese bernama Lena, 27 tahun. Ia memiliki tinggi 165 cm dan tubuh yang membuat banyak lelaki menelan ludah saat memandangnya, terutama pada bagian dadanya yang besar berukuran 36B.

Aku selalu berfantasi ada pria lain yang meremas payudara besar itu, bahkan mengeluarkannya dari dalam sarang dan melahapnya, memainkan putingnya dengan sapuan lidah dan gigitan manja hingga membuatnya mendesah tak karuan.

Namun, sampai saat ini itu semua hanyalah sekadar fantasi belaka. Aku hanya mampu memotret tubuh indahnya secara candid dan memamerkannya di forum dewasa. Bahkan beberapa rekan kerjaku dikantor juga sudah pernah melihat foto-foto candid sexynya yang sangat menggairahkan.

Mereka pun berfantasi bisa menikmati payudara Lena hanya saja aku tak berani untuk mewujudkan fantasi aneh tersebut karena kuatir istriku akan marah.

Pada suatu hari ketika sedang santai didalam kamar secara tak sengaja Lena memainkan ponselku dan menemukan banyak foto dirinya yang tergolong vulgar disana.

"Mas, kamu kok fotoin aku kayak begini sih? Porno banget !! Ucapnya kesal.

"Biarin lah, sama istri sendiri kok," balasku berusaha biasa saja.

"Kamu sebarin ya?!"

Aku memicing. "Masa foto istri sendiri disebar, ngawur! Itu buat koleksi pribadi aku kalo lagi jauh dari kamu, biar tetep tegang, Baby."

"Aku keliatan gendut tau, enggak suka," ucapnya.

Dalam hatiku berkata, 'temen-temenku dan orang forum aja pada ngaceng liat kamu. Mereka pun berharap bisa menikmati tubuh kamu. Dasar enggak bersyukur!'

Lena tergolong alim. Ia selalu mengenakan pakaian yang sopan sehari-hari, tetapi sesekali outfitnya tak mampu menyembunyikan monster yang bersemayam di dadanya.

Kami berdua sama sama bekerja dikantor  dan karena lokasinya yang jauh dari rumah dan selalu diwarnai kemacetan parah maka sehari-harinya kami memutuskan untuk berangkat kerja bersama-sama naik kereta api KRL hanya saja kami turun di Stasiun yang berbeda.

Terkadang ketika kereta sedang penuh sesak, sesekali ku lihat payudara montok itu menempel dengan penumpang lain. Bisa ku taksir pria mana pun yang ketempelan pasti akan tegang sampai stasiun tujuannya, bahkan rela melewati stasiun tujuannya demi terus menempel dan menggesek-gesekkan sikutnya di payudara istriku.

Pernah juga kutanya padanya saat di ranjang. "Kamu kalau di kereta suka risih enggak sih? Toket kamu kan gede, kadang aku liat nempel sama abang-abang."

"Ya risih sih, tapi mau gimana lagi? Kadang tanganku yang satu buat pegangan, yang satunya pegang hape. Kalo udah pegang hape dan kereta penuh, aku suka susah buat masukin ke dalem kantong, jadi ya udah deh."

"Pernah enggak sih pentil kamu tegang?"

Mendengar pertanyaan ini Lena terlihat malu-malu namun menyukainya.

"Baby, jawab dong. Pernah enggak?" tanyaku lagi.

"Ya pernah sih gara-gara digesek-gesek. Pernah juga waktu keretanya ngerem, tangannya sengaja ngeremes. Pernah juga ada yang gemes nyubit dan pas kena pentilku waktu di momen-momen kereta goncang dan ngerem mendadak gitu," jawab Lena.

"Terus kamu enggak teriak? Itu kan pelecehan," ucapku.

"Soalnya momen keretanya seolah enggak sengaja gitu, Baby. I'm sorry."

Aku mengelus rambutnya. "Enggak apa-apa, mau gimana lagi."

Mendengar ceritanya, burungku langsung tegang dan mulai membayangkan ketika Lena yang semok sedang digerayangi beberapa orang di kereta. Awal pembicaraan itulah yang menjadi kunci untuk membuka pintu yang selama ini tak bisa ku buka.

Tantangan Iseng


Aku lebih suka menghabiskan waku di rumah saat libur, sementara istriku adalah wanita yang berjiwa petualang. Pada hari itu aku sedang asik berbaring sambil memainkan game mobil legend hingga tiba-tiba istriku datang dan ikut berbaring di sampingku.

"Mas, kita jalan yuk. Bosen nih dirumah.

"Ke mana sih? Capek ah, panas," balasku.

"Yang deket aja, babyyy. Kita makan siang di luar."

Aku menghela napas, lalu mengalah. "Ya udah, siap-siap sana. Kamu kan lama kalo siap-siap."

"Tapi aku enggak pake BH ya ? Lagi mager nih soalnya. Ucapnya. 

Burung ku mendadak tegang, darah ku mendidih dan semangat ku langsung berkobar untuk keluar dari rumah. 

"Ya udah, terserah deh. Balasku.

Aku bangkit untuk bersiap-siap. Ku lihat istriku hanya mengenakan kaos putih, celana panjang dan outer tak berkancing berwarna merah muda. Kaos ketat menjadi pilihannya siang ini.

Ku lirik pentilnya yang tercetak di kaos, pertanda ia benar-benar tak mengenakan BH. Aku langsung menerawang jauh, bersiap untuk menyuguhkan susu segar pada orang-orang di luar sana.

Aku pergi ke sebuah kafe dan makan siang di sana bersama istriku. Namun, harapanku pupus mengingat kafe ini sepi dan tak banyak kejadian yang menjadi titik terang fantasiku. Kami singgah di sana cukup lama sampai sore menjemput. Setelah istriku bosan, kami pun memutuskan untuk pulang.

Di perjalanan, aku menggoda istriku. "Beb, tempelin bantalnya dong. Pegel nih punggungku."

"Huu maunya!" Ia menempelkan payudaranya ke punggungku. Rasanya sangat kenyal dan empuk.

Kebetulan kami melewati jalur alternatif yang sepi karena tempat kami tinggal tergolong macet. Jalur itu merupakan jalur satu arah yang kecil dan jarang dilewati, mengingat jalan di sana cukup rusak.

Dari arah depan, terlihat motor yang dikendarai oleh pengendara ojek online. Ide nakal ku mulai timbul. Aku hanya ingin memuaskan sedikit kegilaanku untuk sekadar hasrat belaka sore ini.

"Beb, nanti aku pura-pura nanya jalan ke bapak itu. Kamu pura-pura kuncir rambut ya. Berani enggak?"

"Malu ah," balasnya.

"Sekali aja, ya," ucapku memohon.

"Di sini sepi beb, kalo dia nekat lebih gimana? Aku enggak pake BH loh ini. Kalo aku ngiket rambut, dadaku maju."

"Kasih aja pegang dikit," ledekku diiringi kekehan tipis.

"Enak aja! Enggak mau! Gila kamu, ya?"

"Ya udah, cuma kasih liat dikit boleh ya?"

"Kamu suami macem apa sih? Masa seneng liat istrinya pamer dada ke cowok lain sih?"

"Body kamu tuh mantep, babyyy. Toh, kalo enggak mau juga enggak apa-apa," ucapku.

Ia diam sejenak tanpa respons balasan. Jarak antara kami dan bapak itu sudah tak jauh lagi. Wajah cemberut ku mulai muncul lantaran rencana ku gagal.

"Ya udah, sebentar aja ya," ucap istriku.

Wajahku mendadak segar dengan senyum tipis. Aku menghampiri bapak itu dan berhenti agak di sebelahnya agar ia bisa melihat istriku.

"Pak, maaf numpang tanya," ucapku.

Lena mengangkat tangannya, tanda bahwa ia sudah mulai menjalankan rencana yang ku mau. Ia mengikat rambut hingga dadanya membusung. Kini pentil cokelatnya tercetak indah di kaos putih yang ia kenakan.

"Ya, tanya apa?" tanya bapak itu.

Aku menoleh ke belakang. "Beb, di mana alamatnya?"

"Eh?" Istriku terlihat bingung. Ia tak menyangka bahwa aku akan melimpahkan pertanyaan untuk bapak itu padanya.

Sontak bapak itu menatap ke arah istriku. Kini ia sudah masuk ke dalam jebakan, matanya turun hingga terpaku pada dada istriku.

Ditatap pria lain membuat istriku salah tingkah, tebakan ku kali ini pentilnya tegang. Ku lihat dari kaca spion, istriku hanya diam seolah sedang berpikir.

(Fantasy on)

Aku membayangkan bapak itu nekat meremas dada istriku dan memainkan pentilnya dengan jari hingga Lena mendesah-desah dan berkata.

"Shhh ... Puter, pak, ahhh."

"Puter apanya, neng?" tanya bapak itu.

"Puting ku, pak," jawab Lena.

Bapak itu memutar pentil Lena tanpa kata sampai tangan istriku meraihnya dan memasukannya sendiri ke dalam baju agar bapak itu lebih leluasa memainkan pentilnya tanpa halangan.

"Awww jangan ditarik pak," pekik istriku.

"Abis gemes hehe," ucap bapak itu. "Bapak isep ya, Neng,"

Lena mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. Tanpa aba-aba bapak itu mengangkat kaos istriku dan menghisap pentilnya dengan ganas, menyedot payudara Lena seperti mesin pompa.

Lena menjambak kepalanya. "Enak, Pak, shhhhshhhh ... terushh."

(Fantasy off)

Namun, itu semua hanya imajinasiku semata. Hanya pikiran liar ku yang terbang jauh.

"Arah ke pasir putih mana ya pak?" tanya istriku.

Bapak itu memberitahu arah, lalu berlalu pergi.

"Puas?" tanya istriku setelah kami melanjutkan perjalanan.

Aku hanya tertawa. "Yuk kita pulang. Mau main sama kamu di kamar, punyaku udah tegang bayangin nenen kamu."

Lena mencubit pinggangku. "Dasar cabul!"

Pendakian

Meskipun aku tak terlalu suka dengan alam terbuka, tetapi sebagai penulis aku suka melakukan riset ke berbagai tempat.
Kebetulan aku ingin menulis novel tentang seorang pendaki. Jadi ku putuskan untuk mendaki ke salah satu gunung di jawa tengah untuk mendapatkan pengalaman agar saat menulis nanti ada banyak bahan dan juga feel nya.

Tentunya dengan segala pertimbangan dan negoisasi dengan istriku, hasil terakhirnya adalah ia ingin ikut bersamaku. Aku pun mau tak mau harus mengizinkannya ikut untuk mendapatkan izin pergi.

Singkat cerita berangkatlah kami menggunakan transportasi kereta dan menyambung dengan bus serta ojek hingga pos pendakian. Aku sudah berencana menyewa seorang porter untuk membantu membawa beban dan juga sebagai petunjuk jalan, mengingat aku masih awam soal pendakian.

Akhirnya setelah bernegosiasi perihal harga, dapatlah seorang porter bernama Ucup.
Ucup memiliki perawakan yang tinggi dengan rambut keriting. Ia berkulit hitam dan memiliki otot yang cukup kekar meskipun sekilas terlihat kecil.

Tiba-tiba fantasiku bermain. Aku membayangkan di atas nanti ada kejutan yang mana paling tidak ia mampu melihat body istriku. Menurutku itu adalah harga yang setimpal mengingat awalnya aku hanya ingin solo hiking saja.

Setelah simaksi, sore ini berangkatlah kami menuju pos 1. Semua berjalan lancar. Aku dan Ucup pun banyak berbincang untuk membunuh kejenuhan, tak jarang ia pun mengobrol dengan istriku dan sesekali melempar candaan berbau memuji.

"Jarang ada cewek cantik naik gunung," ucap pria itu sambil sesekali menoleh ke belakang dengan lirikan tipis menatap dada istriku yang berjalan di belakangnya.

Padahal saat itu istriku mengenakan jaket, tetapi lekuk tubuhnya masih cukup menggoda. Sepertinya Ucup sudah bosan dengan pemandangan di gunung ini dan lebih tertarik dengan gunung yang lain. Muncul niat isengku untuk sedikit memperpanas suasana.

"Gunung ini ketinggiannya berapa, Mas Ucup?"

"3265 mdpl, Mas Reza," jawab Ucup.

"Pemandangannya bagus ya," timpalku lagi.

"Ya begitulah. Bagus karena dirawat, Mas," balas Ucup.

"Saya juga pernah naik gunung. Tingginya sih ga setinggi di sini, tapi pemandangannya lebih bagus. Karena dirawat juga sih."

"Gunung mana tuh, Mas Reza?" tanya Ucup.

"Tergantung, Mas," jawabku.

Ia menoleh ke belakang dan memicingkan mata karena bingung.

"Tergantung apa?" tanyanya.

"Tergantung di istri sendiri," jawabku.

Ucup tertawa. "Bisa aja nih Mas Reza. Memangnya berapa ketinggian gunungnya?" tanyanya.

Aku tersenyum. Bisa-bisanya porter itu masih melanjutkan candaan ini. Ku tatap istriku yang terlihat risih. Ia berada di tengah-tengah dua lelaki cabul.

"Tanya aja langsung sama juru kuncinya, Mas Ucup."

Ucup sontak menoleh ke arah istriku dengan senyum nakalnya.

"Berapa ketinggian gunungnya, Mbak Lena?" tanyanya.

Dadaku berdebar, tak ku sangka pria itu cukup berani bercanda dengan menanyakannya seperti itu. Wajah ku tak mampu menyembunyikan rasa senang.

Istriku hanya diam sambil berjalan mengikutinya. Sedari tadi ia hanya diam tanpa kata.

"Itu ditanya Mas Ucup loh, Beb. Berapa tuh ketinggiannya?" tanyaku memancing.

"Enggak tau," jawabnya ketus. Sepertinya ia marah dibercandai seperti itu.

Ucup mulai diam, sepertinya ia sadar bahwa candaannya membuat istriku risih. Ia sadar diri, tapi aku tak ingin suasana ini berubah.

"36 B loh mas ucup," ucapku.

"Wah tinggi itu mas," balas Ucup.

"Lebih ke gede sih, Mas," balasku. "Daerah puncaknya warna cokelat."

"Puncak cokelat? Wah, kapan-kapan ajak saya nanjak dong mas. Mau lihat puncak cokelat tuh seperti apa," timpal Ucup. "Yang saya tahu biasanya cuma batu-batu."

"Tuh beb, mas Ucup mau nanjak katanya. Di buka buat umum enggak tuh?" tanyaku.

"Enggak tau," jawabnya makin ketus.

"Loh, kok enggak tau? Paling enggak kasih liat dikit dong, biar mas ucup semangat bawain barangnya.  Ia menghela napas sambil menggelengkan kepala atas tingkahku.

Singkat cerita perjalanan kami akhirnya menjumpai pos 2. Istriku yang lelah meminta untuk beristirahat sejenak dan kami pun bersantai di sana.

Ucup menurunkan dua tas carrier milik kami yang ia pikul dengan kayu.

"Haus, Mas ucup?" tanyaku.

"Haus, Mas," jawabnya.

Aku menatap istriku. "Keluarin, Beb."

Ia berjalan ke arah tas miliknya, lalu hendak membukanya untuk mengambil air.

"Keluarin susunya," sambung ku.

Ia terdiam sejenak, lalu menoleh ke arahku. Aku hanya terkekeh meledeknya.

Istriku tiba-tiba menurunkan resleting jaketnya, menampilkan kaos putih ketatnya.

"Puas?" tanyanya lewat gerakan bibir tanpa suara padaku.

Aku tersenyum lalu mengacungkan jempol padanya.

Ia pun lanjut membuka tas untuk mengeluarkan botol minuman. Di sela-sela yang ia lakukan, Ucup meneguk ludah memandang bongkahan dada istriku yang 1 pertahanannya sudah terbuka.

"Minum dulu, Mas Ucup," ucap istriku menawari botol minum.

Pecah lamunan pria itu pada dada istriku. "Oh, saya bawa air sendiri kok."

Dari posisiku duduk, aku hanya melihat Ucup dan istriku yang tampak sedang berbincang di sana. Sepertinya mood istriku sudah membaik. Entah, atau mungkin ia sudah mulai terbiasa dengan guyonan kotor di perjalanan tadi.

"Selain gunung ini, Mas Ucup pernah daki ke mana aja?" tanya istriku.

Melihat posisi istriku yang kini berhadapan dengan Ucup dan mendengar sepintas obrolan mereka membuatku berfantasi liar. Pikiranku menerawang jauh.

(Fantasi moden on)

"Selain gunung ini, Mas Ucup pernah daki ke mana aja?" tanya istriku.

"Wah, banyak, mbak," jawab Ucup sambil menatap dada istriku. "Tapi ke gunung yang itu belum pernah." Ia menunjuk gunung Lena dengan matanya.

Istriku menghela napas. "Dasar cowok-cowok." Ia menarik tangan Ucup dan memasukkannya ke dalam kaos lewat bagian bawah.

"Sekarang udah, kan? Cuma segitu doang kok," ucap istriku.

Ucup hanya diam, berdiri di depan istriku dengan satu tangan yang menyelundup masuk ke dalam kaosnya.

"Segini mah gede, mbak. Tangan saya aja enggak muat megang nya."

Istriku membuang muka, tetapi perlahan ia menggigit bibir bawahnya saat ku taksir telapak tangan Ucup memulai aksinya meremas gunung istriku.

Pada satu titik, ia menatap Ucup dengan pandangan tajam seolah menunjukkan kemarahannya. Namun, Ucup hanya membalasnya dengan tatapan biasa. Mereka saling berpandangan selama beberapa detik.

"Mbak Lena," panggilnya, tetapi tak ada balasan dari istriku. Lena hanya mendongak menatapnya. "Gunung mbak memang besar, tapi saya sudah berhasil sampai ke puncak, mbak."

Sepertinya tangan pria itu sudah melucuti pertahanan terakhir istriku dan bermain-main di putingnya.

"Shhhh ...." Istriku tiba-tiba mendesis seperti ular. Ia masih memandang Ucup. Tanpa ia sadari, tatapan tajamnya melunak menjadi ekspresi malu berwarna merah.

Lena yang sadar bahwa ini salah, tiba-tiba meraih lengan Ucup yang kekar. Tampak ia berusaha melepaskan genggaman tangan pria itu dari dadanya. Namun, ada perlawanan dari Ucup yang tak mampu dibendung oleh istriku.

Sepertinya jari-jari Ucup itu sedang menari-nari dengan indah di puting susu istriku. Daerah itulah yang menjadi daerah sensitif sekaligus titik lemahnya.

"Udah, Mas Ucup shhh ...," ucap istriku menggigit bibir bawahnya, tak mampu menahan rangsangan. Sejenak ia menoleh ke arahku.

"Sebentar lagi, mbak Lena." Ucup berusaha bernegosiasi. Satu tangannya yang sedari tadi menunggu di luar kini menerobos masuk ke dalam kaos istriku sehingga kedua tangannya kini bermain. Ucup menatap nakal istriku. Ia bagaikan harimau yang sedang menerkam kijang betina dari depan.

"Ahhh ...." Posisi istriku tiba-tiba agak menunduk. "Jangan ditarik-tarik."

"Kalo gini gimana, mbak?" tanya Ucup, entah apa yang ia lakukan.

Aku sama sekali tak tahu apa yang sedang ia lakukan pada payudara istriku, yang jelas Lena mulai mendesah dan terlihat lemah.

"Shhhh ... udah ahhh—Mas. Mphhh ... Udah yaaaahhh."

"Kata suamimu tadi puncak gunung kamu indah, Mbak. Kasih saya lihat dulu puncak cokelatnya, baru saya berhenti," balas Ucup.

"Udah, cukup Mas Ucup mphh..."

Aku berjalan ke arah mereka dan tanpa basa-basi menarik kaos istriku ke atas hingga mengekspos kedua gunung kembarnya. Rupanya BH istriku sudah turun tak menutupi payudaranya. Langsung ku remas payudara kanannya dan ku arahkan mendekat ke wajah ucup.

"Monggo diminum dulu, Mas Ucup," ucapku.

Sejenak Ucup menatap payudara 36 b berputing cokelat istriku sambil diam terpana. Dengan cepat, ia menunduk dan menangkap puting susu istriku dengan bibirnya, tak memberikannya ampun.

"Mas, udah dong ... mphhh ... mas!"

Ia juga menghisap bagian pinggir payudara Lena hingga meninggalkan bekas merah pada kulit kenyalnya.

Sementara mulutnya menyedot bagian kanan payudara Lena, tangannya pun ikut bermain di puting kiri istriku.

Istriku pun menyerah. Ia membenamkan kepala Ucup di dadanya dan jatuh ke dalam pelukan pria itu.

"Ahhh ... jangan cuma disedot, Mas. Gigit donghh," ucap istriku manja. "Mau digigitttt."

(Fantasi off)

"Selain gunung ini, Mas Ucup pernah daki ke mana aja?" tanya istriku.

"Karena saya warga lokal sini, jelas saya sering nanjak di sini, tapi kalo gunung lain enggak banyak sih mbak. Mungkin sekitaran 4 atau 5," jawab Ucup.

Mereka hanya berbincang biasa, tapi entah kenapa rudalku saat ini sudah tegang karena pikiranku sendiri.

Sekitar lima belas menit beristirahat, kemudian kami melanjutkan perjalanan kembali tanpa ada kejadian sexual apa pun.

3 : Tenda Goyang

Saat sampai di pos 5 kami memutuskan untuk membuka tenda mengingat hari mulai gelap dan kami pun kelelahan, terutama Lena. Hanya ada 1 tenda untuk aku dan Lena, sementara Ucup membuat hammock di antara pepohonan.

"Enggak kedinginan mas tidur di situ?" tanyaku.

"Nanti pakai sleeping bag, Mas," jawabnya.

"Enggak di dalem aja bareng-bareng?" tanyaku menggoda.

Ia terkekeh. "Enggak muat. Di sini aja enggak apa-apa."

Memang tenda yang ku bawa tidak terlalu besar, hanya muat untuk dua sampai tiga orang. Sebenarnya muat-muat saja jika porter itu mau, tetapi ia masih memiliki etika ternyata. Namun, meskipun ia mau, itu tidak akan terjadi karena istriku pasti menolaknya.


Di tengah percakapan, dua orang pendaki yang sedang naik menghampiri kami. Mereka terlihat lebih tua dariku. Satu orang dengan berewok lebat dan janggut panjang di wajahnya, dan satu lagi pria gempal berambut gondrong.

"Saya numpang bermalam di sini juga enggak apa-apa?" tanya si berewok.

"Monggo," jawabku yang sedang berdiri di dekat Ucup, tak jauh dari api unggun.

"Sekalian numpang api unggun, dingin soalnya," timpalnya lagi.

Tatapannya tiba-tiba berpindah ke arah istriku yang sedang duduk di depan api unggun memakan pop mie.

Malam ini istriku mengenakan kaos lengan panjang berwarna hitam dan celana panjang berwarna moka. Ketika memakai kaos, dadanya memang terlihat selalu memberontak karena ia lebih nyaman mengenakan pakaian yang tidak terlalu kebesaran ditubuhnya.

Melihat tatapan pria itu, aku justru semakin tertantang. Sudah pasti saat ini ia sedang memandang gumpalan besar di dada istriku.

Singkat cerita, pria berewok itu bernama Ali dan si gempal bernama Agum. Mereka merupakan pendaki asal kota lain. Ali mendirikan tenda bersebrangan dengan tenda ku. Saat ini Aku, Ali, Agum dan Ucup mengobrol ditemani kopi di depan perapian hangat hingga larut malam.

"Istrinya enggak diajak gabung sini, Mas?" tanya Ali sambil pandangannya menatap tajam ke arah tendaku.

"Capek dia katanya, mau istirahat," jawabku.

Istriku memang tak bergabung bersama kami. Selain lelah dan butuh istirahat, ia juga tipikal wanita yang kurang suka bergaul dengan laki-laki. Dalam pergaulannya sehari-hari pun ia cenderung hanya dekat dengan teman-teman wanitanya saja.

Malam semakin larut, dan topik pembicaraan semakin habis. Aku pun memutuskan untuk beranjak dari api unggun. "Saya tidur duluan ya, besok mau ngejar sunrise."

"Oh, oke," jawab Ucup, Agum dan Ali.

Aku pergi ke dalam tenda meninggalkan mereka. Ku lihat istriku yang sedang tidur berselimut sleeping bag. Dari gelagatnya, aku tahu bahwa ia belum benar-benar tertidur.

"Belum tidur, baby?" tanyaku.

"Enggak bisa tidur," jawabnya ketus.

"Kamu kenapa? Kok nadanya kayak marah gitu?"

Ia hanya diam berpura-pura tidur. Sangat tertebak bahwa saat ini ia sedang merajuk. Ku putuskan untuk berbaring di sampingnya sambil membelai rambutnya lembut.

"Kamu ngambek gara-gara aku candain sepanjang jalan tadi?"

Ia masih membisu tanpa kata dan tidur membelakangi ku. Meskipun mau ku sentuh, tetapi agak susah membuatnya bicara.

"Kamu itu punya body yang bagus. Sengaja aku bercanda kayak gitu biar mas Ucup tuh mupeng. Setiap ada yang liatin kamu nakal, aku merasa bangga karena udah dapetin kamu, Beb," ucapku.

Ia membuka mata dan langsung duduk menusukku dengan tatapan tajam.

"Aku malu tau enggak!" ucapnya dengan nada tinggi. "Itu masalahnya, Mas. Kamu bercanda dewasa begitu di depan cowok lain. Risih aku diliatin begitu sama cowok lain."

"Itu bikin aku tambah horny, baby," ucapku.

"Kamu horny, akunya malu. Kamu enggak mikir, Mas? Harga diri ku kayak enggak ada."

"Malu kenapa sih?" Aku ikut duduk berhadapan dengannya. "Toket kamu gede, pantat kamu gede, kamu cantik juga. Malu kenapa? Ini bukan masalah harga diri. Kamu harus bangga sama tubuh kamu juga dong."

"Terus kalo bangga harus dipamerin gitu?" tanyanya. "Aku istrimu, Mas. Bukan perek.

Kali ini giliran aku yang terdiam. "Maafin aku baby."

"Aneh kamu, Mas," balasnya dengan wajah kecewa.

Aku mendekat dan berusaha memeluknya, tetapi Lena menolak. Ku paksa untuk tetap memeluknya hingga erat sambil mengusap pundaknya. "Maafin aku."

Ia pasrah dan menangis dalam dekapanku. Perlahan ia luluh dan memelukku balik. "Aku cuma mau sama kamu, Mas. Tubuhku ini cuma kamu yang boleh liat, cuma kamu yang boleh pegang, cuma kamu yang boleh make."

Ku cium pipinya, lalu bergeser ke bibir. Ia pun merespon dengan lidahnya. Ciuman hebat terjadi di dalam tenda. Ku turunkan resleting jaketnya dan ku angkat kaos hitam yang ia kenakan hingga kedua gunungnya terekspos dengan jelas. Sepertinya malam ini kami akan saling menghangatkan diri bersama.

Tanganku meraba seluruh lekuk tubuhnya dan tak luput dari gunung indahnya. Ciuman kami pun semakin panas hingga mengeluarkan bunyi.

Ia mendorongku hingga terjatuh, lalu menindih tubuhku. Diraihnya rudal kejantananku, lalu ia masukkan ke dalam lubang miliknya yang sudah basah. Lena menatapku nakal, lalu mengambil ikat rambut di samping ransel, kemudian mengikat rambutnya.

"Are you ready, baby?" tanyanya dengan nada nakal menggoda.

"Fuck me, baby," balasku.

Ia memaju mundurkan kemaluan sambil sesekali menggoyangkan pinggulnya. Rudalku seperti terhisap ke dalam black hole. Seluruh tubuhnya bermain liar meliuk-meliuk seperti ular. Ku remas kedua bongkahan dadanya, lalu ku tarik manja putingnya.

"Mphhh ... tarik terus, babyy," gumamnya.

"Aku mau keluar, baby!" seru ku agak keras. Diperlakukan seperti itu membuatku tak tahan dan langsung KO seketika.

Ia tersenyum, lalu menatap ke samping, arah ketiga pria di luar sana yang sedang duduk di depan api unggun. Kemudian Lena menatapku kembali sambil menempelkan telunjuknya di bibir.

"Jangan keras-keras, baby. Nanti yang di luar kepingin."

Aku mengangguk, meskipun aku ingin mereka semua mendengar jeritan kenikmatanku agar mereka terpancing masuk. Namun, itu semua hanyalah imajinasi ku semata. Nyatanya tak ada siapa pun yang masuk ke dalam tenda ini.

Lena terus melancarkan serangan hingga rasanya kontolku ingin meledak. Ekspresi penuh nafsunya membuatku semakin gila.

"Meledak, babyyy ahhhh," erang ku.

"Keluarin, Baby. Come on, cum inside me," ucapnya dengan nada halus.

"Ahhh ahh ahhh aku keluar!" Ku remas kuat gundukan dada istriku hingga ia memekik sakit.

"Shhhh ... pelan-pelan remesnya, babyy. Sakit."

"Maaf baby—aku—keluar duluan. Kamu belum sampe, ya?" ucapku terengah-engah.

Iya tersenyum dan bangun dari tubuhku, lalu berbaring di atas sleeping bag nya. "Enggak apa-apa, yang penting kamu puas, baby. Tugas istri kan muasin suami. Yuk sekarang tidur, aku capek." Ia membetulkan kaos dan jaketnya, lalu menyelimuti diri dengan sleeping bag, kemudian tidur.

Aku baru sadar, bahwa kami belum mematikan lentera portabel. Tentu saja semua permainan panas tadi menjadi film bokep berbentuk siluet untuk Ali, Agum dan Ucup yang masih berada di luar. Belum lagi tenda kami tak terlalu tebal, sehingga suara dari dalam pun terdengar keluar. Yaaaa, paling tidak malam ini ada tontonan gratis untuk mereka dan memuaskan sedikit fantasiku.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Draft Amarah Para Buruh 21

Draft Amarah Para Buruh 20

Lust in Broken Home 4

Akibat Kena Gendam Tetanggaku

Lust In Broken Home 5

Terjebak Didalam Kelas

Kisah Tragis Dikebun Karet

Amarah Para Buruh 17

Binalnya Ibu Tiriku 4

Lust in Broken Home 3