Tapi ternyata ijazah saja tidak cukup. Sudah lebih dari sebulan aku bolak-balik ikut wawancara kerja dan semua hasilnya nihil. Beberapa perusahaan menolakku tanpa alasan yang jelas. Yang lain mengatakan aku terlalu pemalu atau terlalu kaku. Ada satu pewawancara yang bahkan menatapku lama lalu berkata sambil tertawa kecil, “Kamu ini terlalu cantik untuk duduk diam di balik meja. Saat itu aku hanya tersenyum, meskipun rasanya ingin menelan ludah dan pulang saja.
Sampai akhirnya, setelah hampir putus asa, aku menerima panggilan wawancara dari sebuah perusahaan kontraktor besar bernama Kusumo Holdings. Nama itu cukup asing di telingaku, tapi setelah mencari tahu di internet, ternyata perusahaan itu punya proyek-proyek besar di berbagai kota mulai dari apartemen mewah sampai pusat perbelanjaan modern. Aku sempat merasa gugup, tapi juga punya harapan kecil. Mungkin ini saatnya nasibku berubah.
Awalnya aku mengira akan bertemu staf HRD seperti biasa, duduk di ruang wawancara kecil sambil menjawab pertanyaan standar. Tapi ternyata tidak. Begitu sampai di gedung tinggi menjulang yang berdiri megah di kawasan pusat bisnis ibukota, aku langsung diarahkan oleh resepsionis ke lift khusus yang menuju lantai paling atas. Menurutnya, Di sana bukan staf HRD yang menungguku, melainkan langsung pendiri sekaligus pemilik perusahaan itu sendiri—Tuan Bram Kusumo.
Lift itu sunyi dan bergerak naik dengan sangat cepat. Jantungku berdetak kencang setiap kali angka di layar digital bertambah satu demi satu. Aku berdiri sendirian di dalam kotak logam yang dingin, berusaha menenangkan napas dan merapikan rambutku lewat pantulan bayangan di dinding lift yang mengkilap. Aku tidak menyangka akan dipanggil langsung ke lantai paling atas. Biasanya wawancara dilakukan di ruang kecil bersama staf HRD, tapi nyatanya kali ini aku malah diarahkan untuk bertemu langsung dengan pemilik perusahaan.
Begitu pintu lift terbuka, aku melangkah keluar ke lorong yang sepi dan berkarpet tebal. Seorang sekretaris menyambutku dan membukakan pintu kayu besar di ujung lorong itu. Saat aku masuk, ruangan luas dan mewah menyambutku. Jendela besar memenuhi seluruh sisi ruangan dan langsung menghadap pemandangan kota yang sibuk. Meja panjang dari kayu jati berwarna gelap berdiri kokoh di tengah ruangan. Udara di dalamnya terasa tenang, dengan aroma kopi yang samar tapi tajam.
Di balik meja itu duduk seorang pria yang langsung membuatku gugup. Ia mengenakan kemeja batik berwarna kelam dan jam tangan logam besar melingkar di pergelangan kirinya. Rambutnya pendek dan mulai beruban di bagian samping. Wajahnya keras dengan rahang tegas dan kulit cokelat tua seperti kopi hitam. Usianya mungkin sekitar lima puluh tahun, tapi tubuhnya masih tegap dan tatapannya tajam seperti orang yang terbiasa mengambil keputusan besar tanpa ragu. Aku berdiri kaku di depan pintunya, merasa seperti sedang berada di dunia yang terlalu jauh dari hidupku yang sederhana.
Aku mengangguk pelan mencoba tersenyum walau leherku terasa kaku. Ia menunduk membaca file di tangannya lalu mulai menyebutkan isi berkas itu dengan nada tenang.
“Lulusan desain grafis. Belum pernah bekerja. Tidak punya pengalaman sama sekali dan tinggal dirumah kost yang dibiayai oleh orangtua.
Ia berhenti sejenak lalu menatapku lurus. Pandangannya tajam tapi bukan untuk mengintimidasi. Lebih seperti menelusuri sesuatu yang tersembunyi di balik wajahku.
“Kamu tidak sedang mencari pekerjaan, Clarissa. katanya pelan.
“Kamu sedang mencari seseorang yang bisa membentukmu.
“Kalau saya boleh tahu… posisi apa yang saya lamar pak ?
Dia tak menjawab langsung. Ia bangkit dari kursinya, berjalan perlahan mengitari mejanya sambil membawa map lamaran kerjaku. Saat berdiri di belakangku, ia bicara tanpa menyentuhku, tapi aku bisa mencium aroma parfumnya—maskulin, pahit, dan mahal.
“Asisten pribadi. katanya.
Jantungku berdebar tak karuan. Apa maksudnya?
“Maaf saya kurang paham…
Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya semakin rendah.
“Aku mengamati kamu sejak kamu masuk. Cara kamu jalan, cara kamu tundukkan kepala saat menyapa resepsionis. Kamu bukan gadis yang biasa bicara keras atau menantang. Kamu… penurut. Tapi kamu juga penasaran. Itu kombinasi yang sangat langka Clarissa.
Aku terdiam. Tubuhku terasa panas, bukan karena marah, tapi karena sesuatu yang aneh bergetar di dadaku. Di antara ketakutan dan rasa malu, ada desiran kecil di sela pahaku.
“Jadi... apa tepatnya pekerjaan ini?” tanyaku pelan.
Ia kembali ke mejanya untuk duduk. Tersenyum kecil. Tapi bukan senyum hangat. Itu senyum orang yang tahu bahwa ia bisa memiliki apa saja yang ia inginkan.
“Besok sore. Datang ke rumahku di Kawasan Dipalama. Ada sesuatu yang harus kamu baca sebelum kamu memutuskan.
“Kontrak?”
“Iya. Tapi bukan kontrak kerja biasa.
“Kalau kamu datang... artinya kamu sudah siap menjadi milikku.
Aku tercekat. Bibirku bergetar tapi aku tidak membantah karena di balik ucapannya yang dingin itu ada tawaran yang menggoda sekaligus menakutkan.
“Gaji belasan juta per bulan. Lanjutnya, santai. Ditambah bonus kepatuhan... kalau kamu bersedia Clarrisa.
Aku menunduk dan napasku memburu. Tawaran itu terlalu besar untuk ditolak tapi juga terlalu mengerikan untuk langsung diterima. Namun diamku dalam dunia seperti ini sudah cukup menjadi jawaban.
Kontrak PengabdianSore itu disalah satu kawasan pemukiman elite Dipalama terasa tenang tapi menyesakkan. Jalan-jalan kecil dipenuhi pohon besar dan rumah-rumah tua bergaya kolonial yang anggun tapi sunyi. Tak ada suara kendaraan, hanya angin pelan dan denting lembut angklung dari radio warung ujung gang.
Rumah Tuan Kusumo berdiri megah seperti miniatur istana jaman dulu—pagar besi tempa, taman asri, dan lampu gantung besar yang menyala kuning pucat di teras depan. Aku mengenakan blouse putih ketat dengan rok pensil hitam, seperti yang diminta lewat pesan singkatnya: “Datang dengan pakaian formal. Putih dan hitam. Tanpa parfum berlebihan.”
Pintu dibuka oleh seorang pria tua berbatik rapi. Ia hanya berkata singkat, “Ikuti saya,” dan mengantarku melewati lorong panjang yang sunyi menuju ruang tengah.
Di sana ia sudah menunggu.
Tuan Kusumo duduk santai di sofa panjang dari kulit hitam. Ia tidak mengenakan batik, melainkan kaus hitam polos yang memperlihatkan lengannya yang kekar, dan celana bahan gelap yang membuatnya tampak lebih muda atau justru lebih berbahaya. Di meja depannya ada satu map hitam mengilap. Ia menepuk sisi sofa di sebelahnya.
Aku patuh bukan karena takut. Tapi karena tubuhku seperti mengenal nadanya. Seolah kata-katanya punya tarikan magnetik, menyeretku ke tempat yang kutahu berbahaya tapi tak bisa kuhindari.
“Aku ingin kamu membaca ini. Pelan-pelan. Setiap kata. Katanya sambil menyodorkan map itu padaku.
Tanganku bergetar sedikit saat membuka lembar pertama.
KONTRAK PENGABDIAN PRIBADI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Clarissa Tanuwijaya, menyatakan kesediaan saya untuk tunduk dalam relasi pengabdian kepada Tuan Bram Kusumo...
Saya akan menjalani peran submisif, mengikuti arahan fisik, mental, dan emosional, selama dalam batas yang disepakati dan diawasi langsung oleh Tuan Kusumo sebagai Dominan...
Saya bersedia menjalani latihan, hukuman, pengawasan, dan kendali dalam waktu yang ditentukan...
“Apa ini serius...?” bisikku.
Ia tidak menjawab. Hanya memandangi wajahku dengan tenang, seolah sedang membaca reaksi setiap kerutan kecil di dahiku, setiap napas yang tertahan.
“Semua yang tertulis di situ tidak bersifat paksa,” katanya.
Aku membalik halaman berikutnya. Ada daftar batas fisik, kata-kata pengaman (safe word), waktu jadwal pertemuan, dan yang membuat napasku tercekat—daftar perlakuan yang mungkin terjadi: perintah berpakaian, pembatasan gerak, pelatihan tubuh, hukuman fisik ringan, dan pengawasan penuh.
Tanganku mulai dingin, tapi pipiku panas.
Ia mencondongkan tubuhnya mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang lebih dalam.
“Tubuhmu... mulus. Putih. Lembut. Tapi yang lebih penting—jiwamu belum disentuh siapa pun bukan ?
Aku tak menjawab. Ia tersenyum miring, tangannya meraih satu helai rambutku yang terurai dari sanggul, lalu membelainya pelan.
“Aku tidak akan menyentuhmu malam ini. Kecuali kamu yang minta. Tapi aku ingin kamu tahu satu hal, Clarissa...”
Ia mendekat ke telingaku, napasnya hangat, nyaris menyentuh kulit pipiku.
“Di dunia milikku, kau tidak hanya belajar menyerah. Tapi juga menikmati saat kau tak punya pilihan.
Darahku bergemuruh. Sesuatu dalam dirikuyang selama ini tertahan dan tersembunyi seolah bangkit perlahan. Aku merasa takut… tapi juga penasaran, tergoda, dan secara tak terduga: basah.
Aku meletakkan map itu kembali di atas meja. Tak bisa menatap wajahnya.
“Aku… butuh waktu berpikir.”
Ia mengangguk pelan.
“Besok malam. Aku ingin jawabanmu. Kalau kamu kembali, kamu akan masuk ke dalam kontrakku, ke dalam duniaku. Tapi jika kamu tidak datang… aku tak akan mencarimu.
Ia berdiri, membungkuk sedikit, lalu berkata dengan suara rendah yang nyaris membelai kulitku:
“Tapi aku tahu kamu akan kembali. Karena gadis sepertimu… lahir untuk dimiliki.
Kembali ke Rumah Kusumo
"Pintunya tidak dikunci. Langkah pertamamu dimulai dari sana."
Aku berdiri lagi di depan rumah besar itu, memandangi lampu teras yang menyala redup sementara sekelilingnya begitu sepi. Tidak ada suara, tidak ada pelayan yang menyambut, bahkan tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Yang kudengar hanya detak jantungku sendiri yang makin kencang dan terasa di telinga.
Tanpa mengetuk aku memutar gagang pintu yang ternyata memang tidak dikunci seperti pesannya. Lalu aku melangkah masuk perlahan dan menahan napas saat udara dingin dari dalam menyambut langkah pertamaku.
Di atasnya ada selembar kertas kecil yang ditulis dengan tangan dan diletakkan begitu saja tanpa amplop atau penjelasan lain.
"Ganti pakaian. Lepas semuanya kecuali kebaya dan kain. Tanpa bra. Tanpa dalaman. Lalu ketuk pintu kayu di ujung lorong. Diam. Tunduk. Dan tunggu."
Tanganku gemetar saat menyentuh kain tipis yang terlipat rapi di bawah kertas itu dan jantungku berdetak semakin keras seperti sedang bersiap menghadapi sesuatu yang tidak bisa kuundur lagi. Aku tahu ini bukan sekadar perintah biasa dan aku juga tahu tubuhku sudah lebih dulu memberi jawaban sebelum pikiranku sempat bertanya.
Dengan pelan aku melepaskan blouse dan roknya satu per satu lalu memeluk kebaya dan kain itu ke tubuhku seakan ingin memastikan bahwa aku benar-benar akan memakainya. Kebaya putih itu sangat tipis dan begitu aku kenakan aku langsung bisa melihat bayangan tubuhku sendiri di balik kainnya terutama bagian dada yang kini semakin terasa sensitif karena udara dingin dan sorot cahaya lilin yang temaram. Putingku mengeras dan terasa tegang sementara kain batik yang kulilitkan erat di pinggul membuatku sulit melangkah tapi justru karena itu setiap gerakan terasa berat dan lambat dan terlalu sadar.
Aku berdiri sejenak di depan cermin tanpa berkata-kata lalu menatap lorong gelap didepan yang menunggu langkahku. Lorong itu sempit dan panjang. Di ujungnya, sebuah pintu kayu gelap—tinggi dan berat, tanpa gagang. Aku mengangkat tangan dan mengetuk tiga kali.
Tak ada suara. Tapi pintu terbuka sendiri, perlahan. Di dalam, ruangan itu remang dan lebih hangat, dengan aroma kayu manis dan cengkeh yang menenangkan tapi membius. Di tengah ruangan itu, berdiri Tuan Kusumo.
Ia mengenakan kemeja hitam longgar, terbuka tiga kancing atasnya, dan celana kain. Tak ada dasi. Tak ada senyum. Hanya tatapan matanya yang mengunci milikku—tegas, tajam, seolah menelanjangiku lebih dari apa pun.
“Masuk,” suaranya dalam dan pelan.
Aku menunduk dan melangkah masuk. Saat aku sampai di tengah ruangan, ia berbicara tanpa mendekat.
“berlutut.
Aku ragu sejenak, tapi tubuhku bergerak lebih cepat dari pikiranku. Aku berlutut di hadapannya, lututku menyentuh lantai kayu dingin, tanganku di pangkuan.
“Bagus,” katanya pelan. “Sudah kubilang… kamu memang dibuat untuk posisi ini.”
Ia melangkah mendekat, mengitari tubuhku yang berlutut. Napasku tertahan. Aku bisa merasakan kehadirannya di belakangku, dekat sekali, hingga aku bisa mencium aroma kulit dan cologne-nya—aroma pria yang matang, berpengalaman, berkuasa.
Tangan besarnya menyentuh bahuku. Lalu perlahan menyusuri lengan atasku, turun ke bawah, mengelus punggung tangan. Sentuhan itu terasa lembut tapi penuh kepastian. Ia tahu cara menyentuh tanpa ragu dan itu lebih menggetarkan daripada sebuah ciuman.
“Kamu datang karena penasaran. Tapi kamu tetap bisa pergi malam ini kalau mau.
Mendengar perkataan itu Aku hanya bisa terdiam.
“Kalau kamu ingin menyerah… bukan pada pekerjaanku tapi pada diriku... anggukkan kepala.
Aku menahan napas. Lalu perlahan… mengangguk.
Ia berdiri di belakangku dan perlahan menarik tali kain kebaya yang kuikat di pinggang. Kain batik itu melorot pelan dari tubuhku hingga jatuh ke lantai. Aku hanya mengenakan kebaya tipis tanpa sehelai kain pun di bawahnya. Udara malam menyentuh kulitku yang telanjang. Putingku kini tampak jelas dari balik kebaya.
“Angkat tanganmu..
Aku mengangkatnya. Ia berdiri di depanku, lalu mengangkat rambutku pelan dan menyematkan sesuatu di leherku. Sebuah kalung hitam tipis dengan liontin logam kecil berbentuk huruf “B” yang dingin menyentuh kulit dadaku.
Pak Kusumo menatapku sejenak sebelum menjawab. Suaranya tenang tapi tajam seperti biasa.
“B untuk budak. Katanya sambil mengangkat daguku perlahan dengan satu jari, memaksaku menatap matanya.
“Mulai malam ini, kamu milikku. Dan aku ingin semua bagian dari tubuhmu mengingat itu. Kalung itu bukan perhiasan. Itu tanda bahwa kamu sudah menyerah sepenuhnya.
Aku menelan ludah. Tanganku masih menyentuh liontin itu, seolah mencoba memahami beban kecil yang kini menggantung di leherku.
“Selama kalung itu ada di lehermu, kamu tidak punya nama lain. Tidak punya hak. Tidak punya kehendak sendiri. Kamu hanya tunduk. Paham?”
Aku mengangguk pelan. Suara dari mulutku tidak keluar tapi tubuhku sudah menjawab.
Tubuhku menegang.
“Aku tidak akan mengambilmu malam ini, Clarissa,” bisiknya.
Ia berbalik. Lalu duduk di kursi besar dari rotan di sudut ruangan, mengangkat kakinya dan menatapku.
“Merangkak ke kakiku. Letakkan kepalamu di antara pahaku. Diamlah sampai aku izinkan bicara.
Aku bergerak tanpa suara. Merangkak pelan diatas lantai marmer yang dingin, seluruh tubuhku bergetar namun anehnya… aku semakin terpacu. Seolah kepatuhan itu bukan siksaan melainkan pembebasan. Dan saat akhirnya aku memposisikan kepalaku di antara kedua pahanya yang terbuka lebar… ia meletakkan tangannya di kepalaku seperti seorang pemilik terhadap anjing kesayangannya.
“Aku akan melukismu dengan perintah, Clarissa. Dan kamu akan belajar… mencintai setiap goresannya.
Malam itu, aku tidak disentuh secara penuh. Tapi gairah dalam diriku meledak pelan bukan dengan teriakan, tapi dengan bisikan. Bukan dengan tindakan kasar tapi dengan kontrol yang perlahan dan sabar.
Dan aku tahu… dunia yang kusentuh ini baru dimulai.
Latihan Pertama
Aku tersadar di ruangan yang sama. Masih berlutut, masih mengenakan kebaya tipis yang melekat erat di tubuhku yang mulai berkeringat. Lilin di sisi dinding tinggal separuh, aroma kayu manis makin tajam dan membius.
Tuan Kusumo berdiri dari kursinya. Tubuhnya tinggi dan berwibawa, bayangannya menjulur panjang di lantai marmer. Tatapannya dingin tapi penuh penguasaan. Ia berjalan perlahan ke arahku, langkah sepatunya berdentum pelan tapi menghantam batinku seperti genderang perang.
“Bangun,” perintahnya singkat.
Aku berdiri. Lututku sedikit goyah. Kebaya putih itu masih menempel di tubuhku yang mulai lembab. Putingku masih keras. Nafasku cepat, tapi tak berani bicara.
“Angkat kedua tangan. Di belakang kepala.”
Aku melakukannya.
Ia mendekat. Sangat dekat. Nafasnya menyentuh leherku.
“Kamu akan menjalani pelatihan pertamamu malam ini,” katanya. “Bukan tentang kenikmatan. Tapi tentang kendali. Dan kamu akan belajar menikmati saat kamu tidak punya pilihan.”
Ia memutar tubuhku. Di belakangku, ia menarik rambutku perlahan ke belakang, membuat leherku terekspos. Lalu, dengan nada rendah dan menekan, ia membisikkan satu kalimat:
“Duduk seperti boneka kecilku.”
Aku menurunkan tubuh perlahan ke lantai. Ia mengambil kursi kayu tinggi dan duduk di depanku, menjelajahi pandangannya ke seluruh tubuhku dari atas sampai bawah.
“Kaki dibuka. Sedikit saja.”
Aku menuruti. Kain batik di bawah kebaya terbelah pelan. Udara dingin menyentuh bagian paling pribadi di antara pahaku yang lembab dan mulai berdenyut. Aku bisa merasakan cairan hangatku sendiri menempel di bagian dalam pahaku.
Tuan Kusumo mencondongkan tubuh.
“Kamu tidak diizinkan menyentuh tubuhmu malam ini. Tidak dengan tangan, tidak dengan suara, tidak dengan pikiran. Aku yang mengatur segalanya.”
Tangannya menyentuh daguku. Ditegakkan. Lalu jari telunjuknya menyusuri garis rahangku, turun ke leher, lalu berhenti di belahan dada. Ia menekan perlahan, lalu berhenti.
“Kamu akan duduk di sini selama satu jam. Tanpa bergerak. Setiap kali kamu merasa ingin menggeser paha, kamu harus menahannya. Setiap rasa gatal atau gelisah di tubuhmu harus kamu nikmati. Karena itu bukan milikmu sekarang. Itu milikku.”
Aku menelan ludah. Jantungku berdebar. Tapi aku patuh.
Ia berdiri. Mengambil kamera kecil di pojok ruangan dan menaruhnya di atas tripod, mengarah langsung ke tubuhku.
“Ini bukan untuk disebar. Ini untukmu. Agar kamu nanti melihat betapa indahnya tubuhmu... saat tunduk.”
Kemudian ia berjalan ke belakangku, dan tanpa peringatan, menyentuh bagian bawah kebayaku. Menariknya sedikit ke atas, hingga sebagian bokongku terekspos dari belakang.
“Kamu malu?” tanyanya.
Aku tak menjawab.
“Jawab.”
“Iya, Tuan.”
Ia menempelkan telapak tangannya ke pinggulku. Lalu, dengan tekanan lembut tapi mantap, menepuknya sekali.
Plaak.
Bukan pukulan keras. Tapi cukup membuat tubuhku tersentak. Dan jujur—gairahku memuncak.
“Satu tepukan untuk setiap kali kamu mencoba bergerak. Setiap goyangan. Setiap helaan nafas terlalu keras.”
Aku mengangguk pelan. Tubuhku kini mulai menggigil bukan karena takut, tapi karena keinginan yang ditahan. Panas di antara pahaku makin tak tertahankan. Tapi aku tahu aku tak boleh menyentuh apa pun.
“Sekarang lihat ke depan. Diam. Biarkan waktu dan tubuhmu memberontak. Dan biarkan aku yang menundukkannya.”
Aku duduk seperti itu—telanjang setengah, terbuka, tubuh basah oleh gairah yang tak tertumpahkan. Dan di antara tatapan matanya yang mengawasi, kamera yang merekam, dan udara dingin yang menggelitik setiap bagian intimku... aku tahu satu hal:
Aku mulai kecanduan rasa ini.
Ketundukan. Penguasaan. Penantian.
Dan rasa malu yang anehnya membuatku makin ingin dihancurkan.
Hukuman Pertama — Uap, Air dan Rasa Malu
Aku melanggar.
Entah karena gugup atau terlalu basah, aku menggerakkan kaki tanpa izin. Sedikit. Hanya setengah inci, tapi cukup terlihat di kamera. Dan saat aku mencuri pandang pada jam dinding, sudah lewat satu jam dua belas menit.
Saat itu aku masih di posisi duduk, lutut terbuka, tangan di belakang. Tapi napasku sudah berat. Tubuhku lengket oleh keringat dan gairah. Ketika Tuan Kusumo kembali ke ruangan, langkahnya terdengar lebih berat dari biasanya.
Ia berdiri di depanku. Melihatku dengan tatapan dingin dan sabar. Tanpa bicara, ia memutar layar kamera ke arahku. Dan di sana… aku melihat diriku sendiri, bergerak sedikit. Wajahku merah, mataku gelisah.
“Berdiri,” katanya datar.
Aku berdiri pelan.
“Kau bergerak.”
Aku menunduk. “Maaf, Tuan…”
“Jangan minta maaf. Tunjukkan penyesalan.”
Ia berjalan menuju koridor, dan aku mengikutinya. Kain batikku sudah lepas sejak babak awal, dan sekarang hanya kebaya tipis yang membalut tubuhku, menempel pada kulit basah. Setiap langkah membuat gesekan di antara paha semakin terasa menyiksa.
Ia membawaku ke kamar mandi utama, pintunya dari kayu jati berat. Begitu masuk, udara berubah—lebih lembab, lebih dingin. Dinding keramik hitam, cahaya lampu remang dari lampu gantung di atas bathtub besar marmer abu-abu.
Ia menyalakan keran air panas. Uap mulai naik, memenuhi ruangan seperti kabut dosa yang tak bisa disembunyikan.
“Buka kebayamu.”
Aku melakukannya. Perlahan. Membuka kancing demi kancing dengan jari gemetar. Kain itu meluncur ke lantai, dan kini aku berdiri sepenuhnya telanjang di hadapannya. Putingku mengeras, perutku tegang, dan cairan hangat kembali mengalir di antara pahaku.
“Masuk ke bathtub. Berdiri.”
Aku melangkah masuk, kaki menyentuh marmer dingin, air panas mulai mengisi dasar bak. Uap mengepul. Nafasku berat.
Ia membuka lemari kecil di sisi ruangan dan mengeluarkan pancuran selang logam dengan semprotan tekanan tinggi. Ia menarik selang itu perlahan ke arahku.
“Menggigil karena takut, atau karena ingin disentuh?” tanyanya.
Aku tak menjawab.
“Jawab.”
“Karena ingin disentuh… Tuan.”
“Lalu kau bergerak, berharap melepaskan sedikit tekanan. Tapi itu bukan hakmu. Kau akan dihukum.”
Ia menyalakan semprotan air dingin dari selang itu dan menyemburkannya langsung ke tubuhku. Dada, perut, paha dalam—setiap semprotan membuatku mendesah tak tertahan, mencampur rasa malu, dingin, dan geli yang menggoda.
Ia menyorotkan air langsung ke selangkanganku dan aku pun hanya bisa menegang.
“Jangan tutup kaki.”
Aku membuka kakiku lebih lebar. Air dingin menyentuh bagian paling sensitifku—aku nyaris kehilangan kendali.
“Setiap desahan adalah pelanggaran tambahan,” katanya. “Kendalikan.”
Air berhenti. Ia mendekat. Tangannya menyentuh perut bawahku, lembab dan hangat, kontras dengan dinginnya air. Ia menepuk pelan pipi bokongku sekali. Dua kali. Lalu tiga—lebih keras.
Plak. Plak. PLAK.
Tubuhku terguncang. Tapi anehnya… semakin ia menepuk, semakin kuat denyutan hasrat di bawah sana.
“Keluar dari bak. Berlutut di ubin.”
Aku keluar dari bathtub dan langsung jatuh berlutut di atas ubin hitam yang masih basah dan licin air. Permukaannya dingin dan keras dan rasa dinginnya langsung naik sampai ke tulang lututku. Rambutku masih meneteskan air yang mengalir pelan ke bahu dan punggungku yang belum sempat mengering. Aku diam di tempat tanpa bergerak sementara ia berjalan pelan mengelilingi tubuhku tidak berkata apa-apa hanya menatap seperti sedang memperhatikan sesuatu yang sudah jadi miliknya sepenuhnya.
Ia membungkuk, menyentuhkan ujung jarinya ke daguku dan mengangkat wajahku agar menatap matanya.
“Aku ingin kamu minta hukuman. Minta dengan benar. Tunjukkan bahwa kamu tahu kamu pantas dijinakkan.
Aku membuka mulut. Suaraku rendah, serak, namun tak ragu.
“Tuan… tolong hukum saya. Karena saya tidak patuh. Karena saya ingin dimiliki... sampai tak ada bagian dari saya yang tersisa.”
Senyumnya pelan. Ia berdiri, lalu berkata:
“Kalau begitu, kita akan mulai malam ini. Tapi ingat: ini belum sepenuhnya. Ini baru ketaatan. Dan hanya wanita yang kuat yang bisa bertahan untuk dicintai dengan cara seperti ini.”
Aku berlutut di lantai, basah, gemetar, namun lebih hidup dari sebelumnya.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku… aku merasa utuh.
Karena aku hancur di hadapan pria yang tahu caranya mengendalikan bukan hanya tubuhku, tapi seluruh naluri terdalamku.
Cumbuan Pertama — Dalam Uap dan Diam
Uap masih memenuhi kamar mandi. Lantai licin oleh sisa air dan embun dari dinding marmer yang menghitam. Tubuhku basah, lututku masih menempel di ubin dingin, dan rambutku jatuh berantakan menutupi sebagian wajah. Tapi aku tidak bergerak. Karena Tuan Kusumo belum memberi izin.
Ia berdiri di depanku. Bajunya masih kering, meskipun udara panas telah membuat garis keringat tipis muncul di leher dan dadanya. Ia mendekat. Perlahan. Dengan mata yang mengunci pandanganku seperti seorang pemburu yang tak terburu-buru menyantap mangsanya—karena yang ia nikmati adalah penantiannya.
“Lihat aku.”
Aku mengangkat wajah. Mataku basah, bukan oleh air, tapi oleh tekanan yang mendidih dalam diriku sendiri. Aku menggigit bibir bawah. Tapi ia menangkapnya dengan ibu jarinya. Menekan lembut, membuka bibirku sedikit.
“Mulutmu belum kuizinkan bicara,” katanya pelan.
Ia menunduk. Wajahnya hanya sejengkal dari wajahku. Tapi ia tak mencium. Ia hanya membiarkan napasnya menyentuh bibirku, memancing, menguji. Ia menarik rambutku ke belakang, memperlihatkan leherku. Lalu bibirnya menyentuh kulit basahku—tak dengan nafsu liar, tapi dengan tekanan lambat yang membakar.
Ia mencium pelan bawah telingaku. Lalu turun ke bahu. Lalu ke pangkal leher, hingga aku menegang dan mengerang tertahan.
“Aku suka suaramu saat menahan diri,” bisiknya. “Lebih liar daripada teriakan kosong.”
Tangannya melingkari pinggangku. Lalu naik menyentuh bagian sisi dadaku. Ia tak langsung mencengkeram. Ia hanya menyentuh, mendiamkan jari-jarinya di sana—dan justru itu yang membuat tubuhku gemetar semakin hebat. Aku ingin ia menyentuh lebih dalam. Tapi aku tahu aturannya. Aku tak boleh meminta.
“Kamu ingin disentuh?”
Aku mengangguk pelan.
“Pakai kata yang benar.”
“Tuan… tolong sentuh saya…”
Ia tersenyum. Tangannya naik menyentuh dadaku, perlahan, seolah memetakan lekuk tubuh yang kini bukan lagi milikku. Ia menggoda putingku dengan ibu jarinya. Puting itu mengeras seketika. Aku menahan napas, tubuhku menegang, tapi aku tahu… aku tidak boleh bergerak.
“Bagus. Kamu belajar cepat.”
Ia membalik tubuhku, pelan tapi tegas. Tubuhku kini menghadap dinding kamar mandi, tangan menyentuh keramik dingin. Dari belakang, ia menempelkan tubuhnya ke punggungku—panas tubuhnya menyatu dengan kulit basahku, dan tekanan dari pinggulnya terasa nyata, keras, dan tak terbantahkan.
Ia mengecup tengkukku. “Aku akan mencumbumu dengan lambat. Bukan untuk memuaskanmu, tapi untuk mengingatkanmu: kamu milikku. Dan aku akan nikmati setiap inci tubuhmu, kapan pun aku mau.”
Lalu ia mencium tulang belikatku. Bahuku. Punggung bawahku. Tangan kirinya membelai perutku dari belakang, turun… berhenti tepat sebelum menyentuh yang paling dalam.
Dan kemudian ia berhenti. Tubuhku mengejang. Nafasku terputus.
“Tapi malam ini… aku tidak akan menyelesaikannya.”
Aku berbalik, menatapnya dengan mata nyaris memohon.
“Kenapa?”
Ia membelai rambutku dan mengecup keningku.
“Karena gairahmu terlalu berharga untuk dihabiskan dalam satu malam. Aku ingin kamu tidur malam ini dalam keadaan belum puas. Dan besok… kau akan datang padaku bukan hanya dengan tubuh tapi dengan hasrat yang belum terpuaskan.
Lalu ia mengenakan kembali bajunya, melangkah keluar dari kamar mandi.
Meninggalkanku begitu saja dalam keadaan telanjang, basah, dan terbakar oleh hasrat yang belum dituntaskan. Dan malam itu, aku tidur dengan tubuh yang bergetar… bukan karena takut, tapi karena rasa ingin memiliki dan dimiliki yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Pagi Penyerahan
Pagi itu tak seperti pagi biasanya.
Aku terbangun dalam kamar tamu rumah Tuan Kusumo. Sepi, dingin, dan bersih tapi tidak asing. Tubuhku masih telanjang, hanya diselimuti kain putih tipis yang terasa seperti kabut di atas kulitku. Udara pagi masuk dari celah jendela kayu yang terbuka setengah. Aroma kayu basah, kopi hitam, dan sabun cendana samar-samar tercium.
Tepat pukul tujuh, pintu kamar terbuka perlahan. Bukan pelayan yang masuk. Tapi dia. Tuan Kusumo melangkah masuk tanpa suara. Hari ini ia mengenakan kemeja putih digulung hingga siku, celana linen krem, dan jam tangan hitam. Ia tidak membawa map atau tali atau perintah tertulis. Hanya dirinya dan tatapan mata yang membuat tubuhku seketika mengingat posisinya.
“Selamat pagi, Clarissa.”
“Selamat pagi, Tuan.”
Ia duduk di sisi ranjang. Jari-jarinya menyentuh ujung selimut, lalu menariknya perlahan hingga tubuhku terekspos sepinggang. Ia mengamati. Tak tergesa. Tak berkata-kata. Tapi aku tahu, setiap detik ia menatapku adalah bagian dari permainan ini.
“Bagaimana tidurmu?”
“Sulit, Tuan. Terlalu panas…”
“Padahal suhu kamar ini dingin.”
Ia menyentuh pinggangku dengan telapak tangan hangatnya. Lalu turun ke paha. Lalu berhenti. Hanya menempelkan tangan di sana, seolah memastikan bahwa tubuhku belum berhenti bergetar sejak semalam.
“Bangun. Duduk di pangkuanku.
Aku bangkit pelan. Duduk di pangkuannya dengan hati-hati, tubuhku menghadapnya, kedua pahaku melingkari pinggangnya. Jantungku berpacu. Napasku pendek. Dadaku terbuka di depannya, hanya beberapa senti dari kemejanya yang bersih.
Ia menyentuh punggungku dengan tangan kiri, menarikku lebih dekat. Tubuh kami bersentuhan penuh. Putingku menyentuh dadanya yang hangat dan berbulu. Dan itu… membuatku mendesah kecil tanpa sadar.
Kemudian Ia menyentuh daguku. Mengangkatnya. Wajah kami kini sejajar. Jarak antara bibir kami tipis seperti helai rambut.
“Kamu ingin aku menyentuhmu?”
Aku menelan ludah. “Iya, Tuan…”
“Dimana?”
Aku memejamkan mata. “Di… mana pun yang Tuan mau.”
Tangannya bergerak turun, menyusuri tulang punggungku perlahan. Ia berhenti di tulang ekor, lalu memegang pinggulku. Menekannya pelan, membuat tubuhku sedikit menggeliat di pangkuannya. Aku bisa merasakan ketegangan di balik celananya. Tapi ia tetap tenang.
“Kalau begitu, ikuti napasku.”
Ia mulai menarik napas dalam. Aku menirukannya.
Sambil kami bernapas bersamaan, ia mulai menggerakkan tangannya—menyusuri sisi payudaraku, lalu memutar pelan di sekelilingnya, menyentuh tapi tak pernah langsung mencengkeram. Setiap sentuhan seperti angin panas: tak menyakitkan, tapi membakar perlahan.
Lalu ibu jarinya mengusap putingku dengan lembut. Sekali. Dua kali. Dan tubuhku seketika menegang, mengejang kecil.
“Aku suka saat kamu pasrah tapi masih menahan,” bisiknya. “Itu saat tubuhmu paling jujur.”
Aku menunduk. Wajahku bersandar di lehernya, mencium aroma tubuhnya yang maskulin dan tajam. Tanganku memeluk lehernya, mencari pegangan. Tapi tubuhku mulai lemah.
Ia menunduk ke arah telingaku. Bibirnya menyentuh cupingku, lalu ia berbisik:
Aku belum sempat bicara apa-apa ketika ia mendorong tubuhku perlahan ke atas ranjang. Gerakannya tenang tapi tak bisa ditolak. Aku seperti didorong masuk ke dalam perangkap yang tak ingin kuhindari. Ia masih berpakaian lengkap dengan kemeja abu gelap yang tergulung di lengannya, celana kain rapi bahkan jam tangan pun belum ia lepas. Tapi sorot matanya sudah bicara banyak.
Ia naik ke tubuhku, lututnya menekan perlahan di antara kakiku yang gemetar. Satu tangan menyelip di belakang kepala, menyangga leherku agar wajahku tetap menatapnya. Tangan yang lain turun perlahan, menjelajahi bagian paling sensitif dari tubuhku. Menekan, menahan, memancing reaksi tanpa benar-benar masuk atau menembus apa pun.
"Indah sekali... gumamnya rendah sementara matanya menelusuri tubuhku seolah sedang mengamati karya seni. "Kulitmu... putih bersih, halus, dan hangat. Paha ini," ujarnya sambil mengelusnya perlahan, "terbentuk memang untuk dijelajahi selama berjam-jam.
Tangannya terus naik turun, menjelajahi tubuhku tanpa ragu. Ia menyentuh bagian-bagian yang membuatku melengkung tak sadar, membakar kulitku dengan tekanan dan tarikan yang tidak pernah cukup kuat untuk meledakkan, tapi cukup untuk menyiksa.
Aku melenguh pelan, mataku berkedip-kedip menahan rasa yang semakin menumpuk. “T-tolong…” gumamku nyaris tak terdengar, entah memohon agar ia teruskan atau agar ia berhenti.
Tapi ia hanya tersenyum sinis. "Jangan minta apa-apa dulu. Tubuhmu belum cukup lapar
Aku kembali mengerang pelan, refleks. Pinggulku bergerak tak sadar, ingin mengejar sesuatu yang tidak kunjung datang. Tapi setiap kali aku hampir sampai di titik batas, ia menarik diri sedikit. Tangannya berhenti, bibirnya hanya menyentuh kulitku sebentar lalu menjauh lagi, membuatku hampir menangis karena frustrasi.
"Aku ingin kamu bergetar seperti ini," bisiknya di telingaku, suaranya serak menahan kendali. "Tapi kamu nggak akan dapat pelepasan. Kamu akan terjebak di titik ini selama aku mau. Sampai kamu nggak bisa mikir selain tentang tubuhmu sendiri."
Aku mencengkeram sprei, napasku berat, tubuhku menegang dan menggeliat tanpa arah. Ia memegangku erat, meremasi buah dadaku dengan penuh gairah, mengelus wajah dan kedua pahaku yang putih mulus tapi tetap tidak memberiku apa pun, hanya membiarkanku tenggelam dalam sensasi yang tak pernah selesai.
Beberapa saat kemudian Ia menatap wajahku yang mulai berkeringat, lalu tersenyum tipis—puas, penuh kendali, dan kejam dengan caranya sendiri.
"Kamu belum pernah disentuh seperti ini, kan?"
Aku menggeleng pelan, hampir menangis karena rasa ingin yang tidak diberi ujung. Dan saat itu aku tahu—aku sudah sepenuhnya miliknya, bahkan sebelum ia benar-benar merenggut kehormatanku.
Aku menggeliat tanpa sadar punggungku sedikit melengkung napasku tersendat-sendat dan kemudian keluar suara lirih dari tenggorokanku
"Aaahh... T-Tuaann... tubuhku menegang dan mataku memejam karena aku sudah berada di tepi batas yang begitu dekat begitu menyiksa
“Hmmh... Desahku panjang nyaris seperti erangan tertahan, dan saat tubuhku mulai bergetar dan kepalaku menoleh ke samping berusaha mencari tempat berpijak untuk semua yang sedang memuncak di dalamku, tiba-tiba saja ia menghentikan semuanya
Sentuhannya berhenti begitu saja seperti sengaja memotong aliran panas yang sudah hampir meledak dan aku mengerang kecil mataku terbuka lebar menatapnya dengan ekspresi setengah marah setengah putus asa
"Tuuaann... kenapa... ? kataku pelan sambil terengah
Tapi ia hanya tersenyum tipis lalu membungkuk pelan tubuhnya menekan tubuhku dengan hangat dan pelan bibirnya menyentuh keningku yang sudah basah oleh keringat
Ia tidak berkata apa-apa hanya tarikan napasnya yang berat terdengar di telingaku lalu ia berbisik sangat pelan seperti sebuah kalimat yang ditanamkan ke dalam pikiranku
“Kamu belum boleh selesai Clarissa... belum sekarang”
Aku menggigit bibirku dan hanya bisa menahan sisa gelombang yang tak kunjung reda tubuhku masih gemetar dan ia masih menatapku dengan tenang seolah puas melihatku digantung seperti ini.
“Kamu belajar dengan cepat. Tapi penyerahan bukan tentang mendapatkan. Penyerahan adalah tentang menunggu... dan tetap tunduk, bahkan saat kamu tak diberi apa-apa.”
Lalu ia bangkit. Merapikan kerahnya. Membiarkanku tergeletak di atas ranjang, tubuh bergetar, dada naik turun, dan cairan hangat di antara pahaku mengalir tanpa kepuasan.
Aku tidak disentuh untuk dimiliki. Aku disentuh untuk diingatkan… bahwa sekarang, setiap bagian dari diriku sudah menjadi milik seseorang yang tahu caranya membentuk kepatuhan dari hasrat yang dibiarkan menggantung.
Dan aku… menyukainya.
Tubuhku sedikit gemetar. Bukan karena takut, tapi karena aku tahu malam ini aku datang bukan sebagai tamu lagi.
Saat itu aku disuruh mengenakan pakaian tidur yang sangat terbuka. Gaun tidur berwarna merah tua, bahannya tipis dan hampir transparan. Di bagian dada dan bawahnya ada renda-renda kecil, dan tali tipis menggantung di bahuku. Setiap kali aku bergerak, kain itu ikut bergeser, menempel ke kulitku.
Aku tidak memakai apapun di dalamnya. Kainnya langsung menyentuh kulit, terasa dingin dan halus. Udara dari lorong menyusup masuk lewat celah-celah kain yang terbuka. Aku menggigil sedikit, tapi bukan karena kedinginan.
Gaun ini tidak seperti pakaian tidur biasa. Rasanya lebih mirip lingerie. Dan aku tahu, aku diminta memakainya bukan untuk tidur.
Pandangan tuan Kusumo turun sejenak, menelusuri tubuhku tanpa tergesa, lalu kembali menatap mataku. Tatapannya tidak meledak-ledak, tapi seperti bara yang tahu kapan harus menyala.
Tangannya terulur, membuka pintu perlahan. Dan tanpa sepatah kata pun, ia memiringkan tubuhnya, memberi jalan. Aku melangkah masuk, dan pintu tertutup di belakangku—pelan, tapi pasti. Seperti menyegel sesuatu yang tidak akan bisa kembali seperti sebelumnya.
Di dalam, cahaya lampu temaram menyelimuti ruangan. Kotak hitam di tangannya masih belum dibuka. Tapi aku tahu… malam ini, bukan hanya tubuhku yang diserahkan. Mungkin juga, perlahan, kendali atas diriku.
Ia membukanya perlahan, menunjukkan isinya—sebuah kalung kulit hitam dengan gantungan logam kecil di tengahnya. Ujungnya terhubung pada rantai tipis dari besi halus. Kalung itu bukan perhiasan. Bukan simbol kasih sayang. Itu adalah perintah.
“Kenakan,” katanya singkat, suaranya dalam dan datar.
Tanganku sempat ragu, tapi akhirnya aku mengambilnya dan memasangnya di leherku. Suara klik pengunciannya terdengar tegas, seperti pintu yang baru saja ditutup dari dalam. Ia menggenggam ujung rantai itu dengan tenang, tanpa menarik, tanpa mendesak. Hanya menggenggam, cukup untuk membuatku tahu siapa yang memegang kendali.
“Sekarang, masuklah.”
Aku tahu ia tidak ingin aku berjalan biasa. Ia tidak memberi instruksi rinci, tapi aku sudah paham. Dan aku menurut. Aku menunduk. Lututku menyentuh karpet tebal. Tanganku ikut turun, menahan tubuhku.
Aku merangkak. Suara rantai bergesekan ringan di lantai, seiring langkahku masuk ke dalam kamar itu. Rasa gugup, malu, dan hangat bercampur jadi satu, meledak pelan dalam diam. Bukan karena aku dipaksa, tapi karena aku... menerima.
Saat aku melewati ambang pintu, kamar itu terasa seperti ruang lain. Lampu temaram, udara hangat, dan aroma kayu yang samar menyelimuti semuanya. Ia menutup pintu perlahan di belakang kami, lalu menjatuhkan rantai itu begitu saja ke lantai. Denting logamnya pelan, tapi seperti mengukuhkan satu hal—bahwa malam ini bukan tentang permainan. Ini tentang kepasrahan.
Aku diam, masih merangkak, masih menunduk. Tubuhku bergetar pelan, bukan karena takut, tapi karena aku tahu—aku sedang benar-benar dilepaskan dari kendali atas diriku sendiri. Dan entah bagaimana, perasaan itu tidak mengerikan.
Itu justru terasa... jujur.
Di dalam kamar itu, suasana seperti membeku. Lampu temaram menyelimuti dinding-dinding kayu tua dan perabotan gelap yang tampak seperti warisan dari masa lalu. Di tengah ruangan berdiri ranjang besar dari kayu jati, penuh ukiran rumit yang tampak dibuat dengan tangan—motif-motif kuno yang seperti menyimpan cerita, keras dan berwibawa, sama seperti pemiliknya.
“Berlutut di sana,” katanya pelan, sambil mengarahkan ujung rantai ke sisi ranjang.
Aku menurut tanpa suara, bergerak ke tempat yang ia tunjuk. Lututku menyentuh karpet hangat di samping ranjang itu. Permukaannya tinggi, kokoh, dan dingin di bawah tanganku saat aku menopang diri di sana.
Tuan Kusumo masih berdiri di belakangku, tangannya tetap menggenggam rantai yang terhubung di leherku. Genggamannya ringan tapi terasa kuat, seperti garis tipis antara kelembutan dan kendali.
Aku berlutut di sisi ranjang, lututku menekan karpet hangat yang membungkam suara, sementara kedua tanganku bertumpu pelan di atas kayu jati yang dingin dan berukir. Ukiran-ukiran rumit di permukaan ranjang itu terasa kasar di bawah jemariku—garis-garis tajam yang seolah menggambarkan tradisi lama, keras dan penuh aturan, seperti pria yang kini berdiri di hadapanku.
Tuan Kusumo masih memegang ujung rantai di tangannya. Tidak menarik. Tidak mendesak. Hanya menggenggam, cukup untuk membuatku sadar bahwa meskipun aku bisa bergerak, aku tidak sedang bebas. Dan aku tidak ingin bebas.
Aku mendongak pelan ke arahnya. Wajahku terasa panas, tapi aku tak menunduk. Pandanganku bertemu dengan matanya. Mata yang gelap, tajam, dan diam. Sorotnya bukan kekerasan, tapi kuasa. Penuh pengetahuan tentang siapa dirinya… dan siapa aku saat ini.
Aku pasang wajah sayu—bukan dibuat-buat, tapi tumbuh dari dalam. Mataku sedikit berkaca, bibirku setengah terbuka, nafasku teratur namun dalam. Aku tidak sedang meminta apa-apa. Tapi aku juga tidak menolak apa pun. Aku hanya… terbuka. Siap.
Pandangan kami saling terkunci, dan dalam keheningan itu, ada bahasa yang tak terucap. Aku tidak bertanya. Dan ia tidak memberi penjelasan. Karena antara kami, semua sudah dipahami.
“Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan,” katanya, suaranya lebih rendah dari sebelumnya, nyaris seperti gumaman yang menyelinap langsung ke dalam kepalaku.
Aku mengangguk pelan. Tidak ada paksaan. Tidak ada pertanyaan. Yang ada hanya keheningan yang padat dan satu perintah yang tidak perlu dijelaskan lagi. Dalam suasana seperti itu, aku bukan lagi Clarissa yang biasa. Aku adalah cerminan dari apa yang ia inginkan—tunduk, diam, dan siap.
Masih dalam posisi berlutut, aku tetap menatapnya dari bawah—wajahku sayu, mataku setengah terbuka, seolah menanti isyarat yang sebenarnya sudah ada sejak tadi. Nafasku perlahan menghangat, terasa di bibirku sendiri, sementara tubuhku tetap diam, hanya jari-jariku yang mulai bergerak.
Kedua tanganku terangkat pelan, mendekat ke tubuhnya yang berdiri kokoh di hadapanku. Jemariku menyentuh bagian pinggangnya, hati-hati seperti menyentuh sesuatu yang sakral. Kain celananya terasa halus di telapak tanganku, tapi ketegangan di baliknya lebih kentara dari apa pun—sebuah kesadaran bahwa kendali yang ia pegang kini mulai terasa bentuknya secara nyata.
Dengan gerakan perlahan dan penuh niat, aku menarik turun celananya. Kain itu meluncur melewati pinggulnya, jatuh ke lantai tanpa suara. Yang tersisa di hadapanku adalah sebatang penis yang sudah tegang, padat, dan menuntut, bukan dengan kata-kata… tapi dengan keberadaannya yang tak bisa diabaikan.
"Gunakan tanganmu," perintahnya pelan dengan suara rendah yang terdengar berat dan tak memberi ruang untuk menolak.
Tanpa berkata apa-apa aku langsung menggerakkan tangan kananku meraih penisnya yang sudah tegang sejak tadi dan terasa panas di telapak tanganku seperti sesuatu yang hidup dan menuntut perhatian penuh. Aku menggenggamnya perlahan dan mulai menggerakkan tanganku naik turun dengan ritme yang hati-hati dan teratur karena aku tahu setiap gerakan kecil bisa membuatnya bicara lebih jujur dari kata-katanya.
Ia menarik napas dalam dan terdengar mendesah pelan, suara berat itu keluar dari tenggorokannya tanpa bisa ditahan seperti tekanan yang perlahan dilepaskan. Aku tidak menoleh dan tidak bertanya karena aku tahu itu tanda bahwa ia menikmati apa yang aku lakukan. Tubuhnya tetap diam di depanku tapi aku bisa merasakan bagaimana napasnya mulai berubah, sedikit lebih cepat dan lebih berat seiring gerakan tanganku yang mulai menemukan irama.
Tanganku terus bergerak naik turun, mengelus dan mengocok penis hitam itu yang semakin lama semakin besar dan keras saja. Aku bisa merasakan kekuatan di balik diamnya, seperti pria yang terbiasa menahan dan mengatur tapi sekarang membiarkan dirinya menikmati hasil dari kendali yang ia ciptakan sendiri. Aku tidak melihat wajahnya tapi aku bisa merasakan matanya terus menatapku dari atas, mengawasi setiap gerakan seolah menilai seberapa dalam aku benar-benar menyerahkan diri.
Dan aku tahu, malam ini bukan hanya tentang menyentuh tapi tentang menunjukkan kalau aku siap memberi lebih, tanpa diminta.
“Aku mau merasakan yang lebih nikmat dari ini,” ucapnya pelan tapi jelas. Suaranya datar, tanpa emosi, tapi justru karena itulah kata-katanya terdengar seperti perintah mutlak yang tak bisa dibantah.
“Gunakan mulutmu.”
Aku diam. Jantungku berdebar lebih keras. Aku mengerti maksudnya. Tubuhku tetap berlutut, tanganku masih menyentuhnya, tapi aku tidak bergerak. Ada jeda di sana. Sebuah keraguan yang tiba-tiba tumbuh. Bukan karena aku tidak tahu harus bagaimana, tapi karena ada sesuatu dalam diriku yang belum siap untuk melangkah sejauh itu.
Aku menoleh sedikit ke samping, tidak berani menatap langsung ke wajahnya. Tubuhku kaku. Nafasku menahan, dan mulutku tetap tertutup.
Ia menyadarinya. Dan seketika suasana berubah. Tangan besar itu menarik rantai yang terhubung di leherku, tidak keras, tapi cukup untuk membuatku tersentak dan menegakkan kepala secara tiba-tiba. Kalung di leherku menegang, menekan, membuat napasku terhambat sesaat. Aku terdiam, bukan karena sakit, tapi karena kaget.
Tatapannya berubah—tidak lagi tenang, tapi penuh teguran. Matanya seperti menuntut penjelasan atas keraguanku, seolah sikap diamku telah mengganggu tatanan yang sudah ia bangun sejak awal.
“Jangan coba membantah.. turuti semua perintah tuanmu !! katanya singkat. Suaranya lebih dingin sekarang.
Aku menggigit bibirku. Tubuhku masih bergetar, bukan karena takut, tapi karena campuran rasa bersalah, bingung, dan terjebak dalam batas yang tak kukira akan segera kutemui. Aku ingin tunduk. Tapi ada sisi dalam diriku yang belum sepenuhnya bisa. Dan ia tahu itu.
Tubuhku masih terdiam di tempat. Napasku berat dan dada terasa sesak seperti habis berlari jauh, tapi aku sama sekali tak bergerak. Hanya suara napasku yang tidak teratur dan deru napasnya yang pelan namun berat memenuhi ruangan, menciptakan ruang hening yang justru makin menegangkan. Rantai tipis yang menggantung di leherku terasa dingin dan berat, bukan karena logamnya, tapi karena makna yang perlahan mengunci pikiranku.
Ia berdiri di depanku—tegak, tenang, dan penuh keyakinan. Sorot matanya tajam dan dalam seperti sedang menguji seberapa jauh aku bisa patuh, seberapa jauh aku akan rela kehilangan kendali. Ia tidak perlu menarik rantai itu lebih keras. Kendalinya tidak terletak pada kekuatan, tapi pada tatapan dan diamnya.
“Tunggu apa lagi,” ucapnya pelan tapi tegas, tanpa meninggikan suara, “buka mulutmu.”
Aku menelan ludah, mataku naik perlahan menatap wajahnya. Ada getaran kecil di tubuhku, entah karena malu, takut, atau justru terpicu oleh sesuatu yang lebih dalam. Lututku menyentuh lantai dingin, posisiku kini jelas—lebih rendah darinya dalam segala arti. Aku tahu apa yang ia inginkan, tapi juga tahu bahwa ini bukan sekadar permainan fisik. Ini ujian—dan aku sedang disaksikan dari atas, diuji, dibentuk.
Tanganku yang kanan terangkat pelan, gemetar sedikit, dan mulai mendekat ke arah pinggangnya. Aku menahan napas, kepalaku sedikit menunduk, mulutku terbuka perlahan. Tidak ada suara yang keluar, hanya denyut keras dari dadaku dan gemuruh dalam pikiranku yang penuh kebingungan dan hasrat.
Kusumo tidak bergerak. Ia hanya menatapku seperti sedang menunggu sesuatu dari dalam diriku sendiri, bukan sekadar tindakanku. Ia ingin aku memilih, bukan sekadar mengikuti. Dan saat jari-jariku menggenggam batang penisnya dan memasukannya kedalam mulut, aku tahu aku sudah melangkah terlalu jauh untuk bisa kembali.
Dan ia... belum berkata apa-apa lagi. Tapi ia tahu—aku sedang menyerahkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tubuhku.
Masih dalam posisi berlutut, aku menegakkan tubuh pelan, napasku masih belum stabil. Tanganku kembali terangkat dengan sedikit ragu, tapi akhirnya menyentuh batang penisnya yang berurat urat. Aku menunduk sedikit, lalu menempelkan bibirku ke bagian ujung kepala penisnya. Sentuhanku ringan, nyaris seperti ciuman yang ragu, tapi cukup untuk membuat napas Tuan Kusumo berubah—dari tenang menjadi berat, panjang, terdengar jelas di ruangan yang masih sunyi.
“Hhh... ya,” gumamnya pelan sambil menatap ke bawah, matanya tak lepas dariku.
Aku kembali menjulurkan lidah, mulai menjilat dan mengulangi gerakan itu perlahan, lebih mantap dari sebelumnya. Bibirku bergerak, lidahku ikut menelusuri, membasahi bagian itu dengan gerakan yang teratur. Tak ada kata-kata dari mulutnya, tapi suara napas dan gumaman pendeknya cukup memberiku arahan. Aku tahu ia menikmati bagaimana aku melakukannya.
Lalu, dengan sedikit keberanian, aku buka mulutku lebih lebar, menerima semuanya lebih dalam, Memasukan penis itu perlahan-lahan, tanpa terburu. Kepalaku bergerak pelan maju mundur, napasku makin berat karena posisinya yang membuat tubuhku menegang. Tangan kirinya menyentuh rambutku, tidak menarik, hanya menyentuh ringan seolah mengakui bahwa kini aku miliknya sepenuhnya.
Lenguhan pelannya semakin jelas, dalam dan berat. Setiap suara yang keluar dari bibirnya seolah jadi hadiah atas tindakanku. Aku menghisapnya pelan, penuh perhatian, ingin memberinya kendali sekaligus kepuasan. Di antara keheningan, hanya suara basah yang samar dan tarikan napas yang tertahan memenuhi udara.
Aku tak berkata apa-apa, tapi tubuhku bicara—tentang kepasrahan, tentang pengabdian, tentang bagaimana ia sudah mengubah posisiku dalam satu malam.
"Uuhh… kamu sangat berbakat, Clarissa…” desisnya di antara napas yang mulai tak beraturan. Ia menatap ke bawah, ekspresinya berubah—lebih panas, lebih liar. “Aku memang selalu suka gadis seperti kamu… gadis Cina yang lembut, penurut, dan tahu kapan harus tunduk.”
Aku tidak menjawab, hanya memperkuat gerakanku, menyesuaikan irama tubuhku dengan napas berat yang semakin memburu dari mulutnya. Kepalaku terus bergerak maju mundur di antara pahanya, dan suara lembab dari setiap gerakan makin terdengar jelas dalam ruang yang hening dan tertutup.
Tangan kirinya yang sejak tadi menyentuh rambutku, kini mulai mencengkeram lebih kuat. Ia tidak kasar, tapi tekanan itu cukup untuk memberi perintah tanpa kata. Ia mendorong pelan, memandu gerakanku dengan cara yang penuh kendali. Aku menurut, tubuhku ikut menyesuaikan ritme yang ia inginkan.
Mataku sedikit terpejam, dan aku bisa merasakan betapa keras dan panasnya ketegangan di tubuhnya. Ia menggeram pelan, napasnya semakin berat, dan aku tahu ia makin dekat ke puncak dari pengendaliannya.
"Terus begitu…" gumamnya, hampir seperti rintihan tertahan. "Jangan berhenti, Clarissa. Aku ingin kamu tahu rasa setiap bagian dari aku."
Sentuhan itu, dorongan itu, dan cara ia menguasai gerakanku tak hanya mengikat tubuhku tapi juga pikiranku. Aku tahu—di saat seperti ini, aku sepenuhnya miliknya.
Setelah melakukan hal itu. Lalu, perlahan, ia mendekat. Langkah-langkahnya tak tergesa, seperti seseorang yang tahu persis apa yang ia lakukan. Kedua tangannya yang besar dan kasar meraih lenganku, tak kasar, tapi mantap. Ia menuntunku berdiri, lalu menggiringku ke arah ranjang yang berada di sisi ruangan. Tidak ada paksaan, namun tak pula ada celah untuk menolak.
Aku menoleh sebentar, menatap matanya—mencari sesuatu. Tapi ia tak memberi ruang untuk bertanya. Ia hanya mengangkat daguku, seakan berkata tanpa kata-kata: “Ikuti saja.” Dan aku menurut.
Kain tipis di tubuhku kembali disentuh oleh ujung jarinya—pelan, nyaris seperti godaan yang disengaja. Ia tidak terburu-buru. Tangannya menyentuh bagian atas tali lingerie merah yang menempel ringan di bahuku, menariknya sedikit turun hanya untuk merasakan bagaimana kulitku bereaksi. Udara di dalam ruangan tidak sedingin sebelumnya, tapi kulitku terasa semakin panas di bawah sentuhannya.
Gaun lingerie merah yang kupakai sangat tipis, penuh renda di bagian dada dan paha, menyatu sempurna dengan lekuk tubuhku. Potongannya tinggi dan terbuka di samping, memperlihatkan lebih banyak daripada yang ditutupinya. Kainnya begitu halus sampai aku merasa hampir telanjang, hanya dilapisi oleh keberanian samar yang menyaru sebagai kain.
Jemarinya menyusuri garis bahuku, turun perlahan ke sepanjang lengan, lalu berhenti di sisi pinggangku yang hanya tertutup oleh sehelai renda tipis. Aku menahan napas saat ia menatapku, bukan dengan tergesa atau nafsu liar, tapi dengan sorot yang tajam dan dalam, seolah sedang membaca isi kepalaku lewat tubuhku.
Ia melangkah setengah lingkaran, memandang dari sudut lain. Tidak menyentuh lagi, hanya menatapku dari atas ke bawah, seperti sedang menikmati sebuah karya seni yang hanya ia yang boleh memiliki.
Aku berdiri diam, hanya dalam gaun tipis merah yang hampir tidak menyembunyikan apa pun, dan bahkan itu terasa seperti terlalu banyak. Kulitku bergidik bukan karena dingin, tapi karena aku tahu ia sedang menikmati rasa malu yang menggantung dalam diriku, bercampur dengan sesuatu yang lebih liar dan sulit dijelaskan—dorongan untuk menyerah sepenuhnya.
"Merah… Gumamnya, matanya menatap tajam ke arah tubuhku yang hanya tertutup renda tipis. Suaranya dalam dan perlahan, seperti sedang menikmati setiap detik keheningan.
“Bukankah gadis cina memang suka warna ini?” lanjutnya, bibirnya melengkung setengah senyum.
“Merah itu bukan hanya simbol keberuntungan tapi juga gairah. Dan di tubuhmu Clarissa, warna ini bukan cuma sekedar tradisi tapi juga sebuah undangan.
Ia melangkah mendekat, menurunkan pandangannya perlahan dari wajahku ke dada, lalu ke paha.
“Di mataku, gaun merah di kulit seputih ini… bukan lambang kesucian. Tapi tanda bahwa kamu siap dimiliki.
Aku tak menjawab. Hanya menunduk sedikit, menahan detak jantung yang tak kunjung tenang, sementara rasa itu—antara dipamerkan dan dikuasai—menjadi lebih nyata dari sebelumnya.
Tuan Kusumo mendekat. Tubuhnya hangat dan sedikit basah oleh keringat, meski ia belum banyak bergerak. Saat dadanya menyentuhku, aku langsung merasa panas, seperti ada sesuatu yang terbakar di dalam tubuhku. Aku kaku sejenak, tapi kemudian semua kekuatan di lututku seolah hilang.
Tangannya mulai menyentuh tubuhku, perlahan, tidak terburu-buru. Ia menyentuh dengan cara yang membuatku tidak bisa melawan. Ia tahu bagian mana yang harus disentuh pelan dan mana yang ditekan sedikit lebih keras. Setiap sentuhan membuat tubuhku merespons sendiri. Aku hanya bisa menggigil, napasku berat dan kepalaku terasa kosong.
Ia menatap ke bawah, ke arah gaun lingerie merah yang menempel di tubuhku. Tanpa bicara, ia meraih talinya di bahu, lalu menariknya turun perlahan dari kedua sisi. Kain tipis itu meluncur turun dengan mudah, menyentuh lantai tanpa suara. Kini aku berdiri sepenuhnya telanjang di hadapannya dan tubuhku langsung merinding.
Ia menatapku dengan mata tajam, lalu tangannya kembali menyentuh bagian pinggangku, bergerak naik ke punggung dan lalu turun lagi ke pinggul. Tidak ada bagian dari tubuhku yang luput dari sentuhannya. Aku ingin menutup tubuhku, tapi tidak bisa. Aku terlalu terjebak antara rasa malu dan rasa ingin.
Tuan Kusumo mendekatkan mulutnya ke telingaku, suaranya pelan tapi jelas. “Lihat tubuhmu, Clarissa. Ini milikku sekarang.
Setelah itu ia memeluk tubuhku erat dalam posisi berdiri. Kami saling berhadapan, begitu dekat sampai aku bisa merasakan panas dari napasnya yang kasar menempel di kulit wajahku. Matanya menatapku tajam dan penuh gairah, seperti binatang buas yang menahan diri untuk tidak menerkam buruannya terlalu cepat.
Aku hanya bisa diam dan menatap balik sebentar sebelum akhirnya memejamkan mata. Bibirnya menempel di bibirku dan mulai melumatnya pelan tapi dalam. Ia menciumku dengan cara yang membuatku tak bisa bernapas dengan normal. Tidak terburu-buru tapi tetap menguasai. Aku mengeluarkan suara pelan tanpa sadar.
“Mmhh....
Tangannya mulai bergerak dari pinggangku, menelusuri bagian samping tubuhku, lalu naik ke depan. Ia memegang buah dadaku dengan kedua telapak tangannya yang besar dan hangat, meremasnya perlahan sambil terus menciumku. Aku tersentak sedikit karena sentuhan itu membuat tubuhku makin panas dan sulit berdiri dengan tenang.
“Ahh...” desahku, suara itu keluar begitu saja saat tangannya mencengkeram lebih erat.
Ia menarik wajahnya sedikit dari bibirku, lalu menatapku dari jarak sangat dekat. “Kamu makin jujur sekarang,” katanya pelan.
"Tubuhmu nggak bisa bohong, Clarissa.”
Aku menggigit bibir bawahku, menahan desahan lain yang nyaris keluar. Tapi saat tangannya kembali bergerak, mengelus bagian paling sensitif di bawah perutku, aku tak bisa menahannya lagi.
“Hhhhh… tolong… gumamku lirih, tapi aku sendiri tidak tahu sedang memohon untuk diberi lebih atau agar semuanya berhenti.
Tapi Kusumo tidak menjawab. Ia hanya menatapku sambil terus menggerakkan tangannya di tubuhku. Diamnya justru membuatku makin bingung dan semakin tak berdaya.
Ia mendorongku perlahan ke ranjang. Aku tidak melawan. Lembaran sprei dingin menyentuh punggungku, kontras dengan kulitku yang kini mulai berkeringat. Di atas ranjang itu, ia tidak langsung menguasai, tapi menyelimuti. Tangannya berpindah dari leherku ke dada, dari paha ke betis, dan kembali naik, seakan menghafal bentuk tubuhku dengan penuh hormat namun tak kehilangan dominasi.
Suara pernapasannya semakin berat. Helaan nafasnya menyentuh leherku, membuatku menggeliat pelan. Keringatnya menetes, jatuh ke perutku, membuatku sadar bahwa kami berdua sudah melebur dalam sesuatu yang tak bisa dihentikan sekarang.
Ketika ia akhirnya menindih tubuhku sepenuhnya, tidak ada lagi ruang untuk menolak atau ragu. Tubuhnya besar dan berat, Setiap gerakannya memacu tubuhku tanpa memberi jeda. Ranjang berderit keras mengikuti ritme yang terus meningkat. Napasnya berat dan kasar, menghembus langsung ke wajahku. Kulit tubuhnya yang gelap dan berkeringat tampak jelas menempel di atas kulitku yang putih, membuat kontras itu semakin terasa di setiap sentuhan dan tekanan.
Tubuhku seperti terbakar. Aku menggeliat, tak bisa diam, tanganku mencengkeram seprai sekuat tenaga, sementara punggungku menegang mengikuti irama hentakan penisnya yang makin menghujam. Aku menggigit bibir tapi suara tetap lolos dari mulutku.
“Ahh… ahh… Tuaan…” desahanku putus-putus, tubuhku bergetar.
Ia tidak bicara. Hanya terus mendorong tubuhnya sekuat tenaga, menekan lebih dalam dan lebih cepat. Setiap hentakan membuatku menggelinjang. Aku membanting kepalaku ke kanan dan ke kiri, tak tahu harus menyalurkan rasa itu ke mana. Satu tangannya mencengkeram pinggangku erat, menahan agar aku tidak menjauh sedikit pun dari gerakannya.
Keringatnya menetes ke dadaku, panas dan lengket, tapi aku tidak peduli. Aku hanya bisa menerima semuanya, mengikuti gerakannya, dan membiarkan diriku larut dalam kekuatan yang menguasai tubuhku sepenuhnya.
Tuan Kusumo tiba-tiba berhenti dan menarik napas panjang lalu tanpa banyak bicara ia membalikkan tubuhku dengan satu gerakan kuat membuatku dalam posisi menungging menghadap ke arahnya, dan sebelum aku sempat berpikir atau menyiapkan diri, ia langsung kembali mendorong penisnya ke dalam kemaluanku dengan keras dan cepat. Slebb..
Tubuhku tersentak ke depan lalu tertahan oleh tangannya yang mencengkeram erat pinggangku. Kedua lengannya kuat dan kukunya sedikit menekan kulitku sementara ia terus menghujam dari belakang tanpa memberi jeda tanpa memberi kesempatan untukku menenangkan diri.
Ranjang kayu di bawah kami berderit makin keras setiap kali tubuhnya menghantamku dari belakang suaranya menyatu dengan napasnya yang memburu dan berat sementara peluh menetes dari tubuhnya ke punggungku yang terbuka dan berkeringat
Ia tidak berkata apa-apa hanya suara napasnya yang kasar dan berat terdengar makin dekat di telingaku diselingi geraman pendek yang keluar dari tenggorokannya seperti binatang buas yang sedang menahan diri agar tidak meledak lebih cepat dari yang ia inginkan dan itu membuat pikiranku makin kabur tubuhku bergerak mengikuti iramanya secara otomatis seperti kehilangan kendali penuh pada apa yang kulakukan
“Uuhh… aahh…” desahku keluar tanpa bisa kutahan tubuhku sudah tidak sanggup melawan setiap dorongan dan hentakan yang ia lakukan dari belakang
Tangannya mencengkeram pinggangku lebih kuat seolah tidak ingin aku bergeser sedikit pun dari genggamannya dan dengan tarikan napas yang makin memburu ia mulai bicara di antara suara geramannya.
“Lu budak gue sekarang, Clarissa. Nggak ada harga diri, nggak ada pilihan. Dengerin baik-baik!”
Aku hanya bisa mengerang “Ahhh… T-Tuan…. leherku menegang dan tubuhku ikut terdorong ke depan setiap kali ia menekan penisnya lebih dalam dan lebih kuat.
“Badan putih lu cuma buat gue. Gue pake, gue bantai, gue nikmatin… seenak kontol gue!”
Ranjang kayu di bawah kami, sudah tidak bisa menahan suara derit yang semakin keras dengan ritme yang terus meningkat dan aku merasa seluruh tenaganya sedang dilampiaskan ke dalam tubuhku, seolah ia ingin meninggalkan jejak yang tidak akan pernah hilang
Diatas ranjang kayu jati itu Ia terus bergerak tanpa belas kasihan tanpa keraguan seperti sedang menandai wilayahnya, memastikan bahwa aku tahu aku tidak punya tempat lari dan tidak punya kekuasaan apa pun atas tubuhku sendiri lagi.
Ini bukan tentang cinta, tapi tentang kekuasaan yang diserahkan dengan sadar. Tentang tubuh yang menyerah, dan hati yang mulai terbiasa dengan penaklukan.
Dan ketika semuanya mencapai puncaknya, aku tak lagi berpikir siapa aku sebelumnya. Di bawah keringat, napas yang terengah, dan luka yang samar—aku adalah Clarissa, milik Tuan Kusumo malam itu.
Kasumo master yang maniac
BalasHapus