Haii.. namaku Liliana seorang mahasiswi berusia 20 tahun. Aku mau bercerita tentang pengalaman nakalku beberapa waktu yang lalu. Aku adalah seorang gadis chinese yang memiliki hyperseksual yang dalam hal ini kecanduan akan kebiasaan sepongan (melakukan oral seks terhadap kemaluan pria). Sudah lama sekali aku waktu pertama kali menghisap kemaluan pria. Waktu itu umurku sekitar 17 tahun dan melakukannya bersama seorang oknum guru disekolah.
Waktu itu nilai ujianku sangat jelek dan beliau mengatakan aku bisa tidak naik kelas kalau seperti ini terus. Entah apa yang ada dalam pikirannya kemudian beliau menawarkan sebuah solusi praktis padaku untuk melakukan oral seks yang akhirnya kami sepakati untuk dilakukan didalam kelas yang sudah sepi.
Malam itu Aku yang sehabis masturbasi didalam kamar tidurku sendiri, kemudian membuka jendela kamar yang berada di lantai 2 rumah. Waktu itu jam 23:30. Aku melihat jalanan di depan rumah sudah sepi sekali. Tiba-tiba ide gilaku mulai lagi. Aku dengan nekat, diam-diam keluar rumah sambil mengenakan daster tipis yang menerawang serta tak mengenakan daleman sama sekali. Tanpa sepengetahuan siapa pun yang ada di rumah karena semua sudah pada tidur. Aku sampai nekat melompat pagar dengan harapan ada cowok atau pria yang melihat dan memperkosaku. Apapun asal saya bisa menghisap kemaluannya.
Mas Agus menoleh, matanya sempat membulat sebelum menyipitkan pandangan karena cahaya lampu jalan yang remang. “Lho, Non Lili? Ini udah hampir tengah malam, kok masih keluyuran? Mana pake baju tidur... kayak gitu…” katanya, nada heran dan bingung tercampur jadi satu.
Aku cuma nyengir kecil. “Panas, Mas. AC kamarku mati. Tadi niatnya cuma buka jendela, eh malah jadi pengin jajan. Lagian... ini masih masuk jam orang kelaparan tengah malam kan?” ujarku sambil memeluk tubuh sendiri karena udara malam mulai menusuk.
Mas Agus mengangguk pelan, masih tampak kikuk. “Iya sih, tapi Non... ya ampun, baju tidurnya tuh... tipis banget. Saya sampe... ya, kaget aja liatnya,” katanya, matanya cepat-cepat berpaling ke wajan.
Aku tertawa pelan, setengah menggoda. “Mas yang mikirnya kejauhan. Ini cuma daster biasa, bahannya emang adem. Bukan salahku kalau mata Mas susah diajak kompromi,” godaku.
Mas Agus menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, lalu mulai menyiapkan wajan dan menuangkan sedikit minyak.
“Non Lili memang sering beli nasi goreng malam-malam begini sih… tapi biasanya nggak pakai baju tidur yang… ya, segini tipisnya.”
Aku menyandarkan diri ke tiang gerobaknya, sedikit membungkuk agar bisa melihat ke dalam wajan. “Ya masa tiap malam aku pakai jeans cuma buat beli nasi goreng, Mas?”
Dia terkekeh, akhirnya mulai lebih santai. “Ya juga sih. Tapi beneran, Non Lili bikin saya salah fokus. Tadi juga udah niat mau beres-beres jualan, eh... dipanggil suara lembut gitu, ya mana bisa nolak.”
Aku mengangkat alis, tersenyum iseng. “Suara lembut atau... daster tipisnya yang bikin Mas batal pulang?”
Mas Agus melirikku sekilas, lalu tertawa, agak malu-malu. “Dua-duanya deh kayaknya. Tapi serius, saya jadi deg-degan sendiri.”
“Mas deg-degan karena saya?” tanyaku, manja.
Dia mengangguk sambil menuang nasi ke dalam wajan. “Iya... soalnya Non Lili itu kadang suka bikin saya bingung. Udah cantik, ramah, eh... sekarang makin menggoda aja.”
Aku pura-pura tak mengerti. “Menggoda gimana maksudnya?”
“Ya... gitu deh,” katanya cepat, lalu menunduk seolah-olah terlalu sibuk dengan wajan nasi gorengnya.
Kami pun tenggelam dalam percakapan ringan di bawah lampu jalan yang temaram, diiringi aroma tumisan bawang putih dan telur yang mulai harum. Entah kenapa, malam itu terasa lebih hangat—meskipun angin masih terus berembus lewat gang sempit di depan rumah.
Aku berdiri bersandar di tiang gerobaknya, pura-pura memperhatikan cara Mas Agus membolak-balik nasi di atas wajan. Tapi sesungguhnya, pikiranku tak sepenuhnya ada di situ.
Sesekali aku melirik ke arahnya—lebih tepatnya ke bagian bawah tubuhnya. Gerak-geriknya canggung. Celananya tampak sedikit menegang di bagian depan, meski dia berusaha tetap bersikap biasa. Tapi aku tahu, aku bisa merasakannya. Reaksi itu tidak mungkin kebetulan.
Aku menggigit bibir bawahku pelan, berusaha menahan gelombang aneh yang merayap naik dari dalam tubuh. Udara malam yang tadinya terasa sejuk kini justru membuat kulitku seperti terbakar. Nafasku sedikit memburu.
Sebenarnya aku datang tak hanya untuk membeli nasi goreng. Tapi ada yang lain di balik itu. Sudah beberapa malam aku memperhatikan Mas Agus. Sikapnya yang ramah, wajahnya yang selalu tampak lelah tapi tulus, serta tangan-tangannya yang cekatan di depan wajan—semua itu entah sejak kapan mulai terasa... memikat. Dan malam ini, entah kenapa, aku tidak bisa lagi menahan gelombang rasa yang sejak tadi menggedor-gedor pikiranku.
Aku menatapnya lebih lama. Ia seperti menyadari sesuatu, tapi pura-pura tak tahu. Mungkin dia merasa gugup. Tapi justru itu yang membuatku semakin ingin mendekat. Ingin tahu sampai seberapa jauh batasnya. Seberapa lama ia bisa menahan godaan yang kutawarkan tanpa kata-kata.
“Mas,” panggilku pelan, nyaris seperti bisikan. Ia menoleh, sedikit kaget, mungkin karena nadaku yang berubah.
“Hm?”
Aku mendekat satu langkah, hanya satu, tapi cukup untuk menghapus jarak yang membuat udara di antara kami terasa panas dan penuh tegangan. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ia mencoba tetap fokus, tapi matanya tak lagi setenang tadi.
“Terima kasih ya, udah masih buka jam segini,” kataku, suaraku masih rendah.
Ia mengangguk cepat, wajahnya terlihat kaku. “Iya… iya, sama-sama.”
Aku menatap matanya. “Mas pasti capek, ya?”
Dia mencoba tersenyum. “Lumayan. Tapi… kalau pelanggannya kayak Non Lili, ya rasanya jadi nggak apa-apa. Hehe…”
Aku tersenyum samar, lalu membiarkan keheningan sesaat mengisi ruang di antara kami. Tapi di balik diam itu, ada riak yang tak terlihat. Ada ketegangan yang tak bisa disangkal. Aku bisa merasakannya di udara, di pandangan matanya, dan juga pada sesuatu yang ia coba sembunyikan tapi tak bisa ia kendalikan sepenuhnya.
Dan saat aku menyadari bahwa pikiranku mulai melampaui apa yang bisa dikatakan, aku hanya bisa berdiri di sana membiarkan malam dan hawa panas tubuhku bicara lebih jujur daripada mulutku sendiri.
Aku berdiri semakin dekat ke gerobak, membiarkan dasterku yang tipis tertiup angin malam. Sambil pura-pura melihat cara Mas Agus mengaduk nasi, aku berkata dengan nada lembut:"Mas sering masak sampe jam segini? Apa nggak capek?"
Mas Agus tersenyum, matanya sesekali melirikku tanpa sengaja. "Ya namanya juga cari rezeki, Non. Udah biasa begadang."
Aku mengangguk pelan, lalu membungkuk sedikit, pura-pura melihat ke dalam wajan. "Tapi… saya heran deh. Mas kayaknya kuat banget ya. Badannya juga masih fit. Kayaknya bisa tahan semalaman."
Mas Agus terkesiap sedikit, lalu tertawa gugup. "Waduh, Non Lili ini bisa aja. Nasi goreng aja belum matang, udah dibilang kuat semalaman."
Aku tersenyum tipis. "Iya dong, saya kan bisa lihat dari gerakan tangan Mas. Cepat, tapi tetap lembut."
Lalu aku menatapnya sejenak, lebih lama dari biasanya. "Saya suka yang begitu."
Mas Agus mulai kikuk, tapi tak menjauh. Tangannya masih mengaduk nasi, tapi napasnya sedikit berubah.
Aku terus menekan, dengan suara lebih pelan, hampir seperti bisikan.
"Mas…"
Ia menoleh.
"Kalau saya minta tambahan telur… bisa kan?"
Dia menelan ludah. "Bisa, Non. Mau dua sekalian?"
Aku tersenyum lebar. "Dua? Waduh… nanti saya ketagihan lagi."
Kutinggalkan tawa ringan, lalu diam menatap matanya. Udara di antara kami mulai terasa tebal. Aku tahu Mas Agus sudah mulai gelisah.
Mas Agus menunduk, pura-pura sibuk membolak-balik nasi di atas wajan, tapi dari caranya menarik napas dan menelan ludah, aku tahu pikirannya mulai tidak karuan.
Aku mencondongkan tubuh sedikit ke depan, mendekatkan wajahku ke arahnya. Suara adukan nasi di atas wajan terdengar makin cepat.
"Mas…" bisikku.
"Hati-hati loh. Tangan Mas bisa kebakar kalau terlalu tegang.
Dia menoleh sebentar, lalu buru-buru kembali menatap wajan. "Saya nggak tegang kok," katanya cepat.
Aku tertawa pelan. "Masa sih? Tapi kayaknya... yang lain malah tambah keras ya."
Mas Agus langsung kaku. Tangannya berhenti sejenak, lalu ia kembali mengaduk, kali ini tanpa komentar. Wajahnya memerah, jelas bingung antara malu dan terangsang.
Aku mendekat lagi, nyaris menyentuh bahunya.
"Kalau Mas lapar, tinggal bilang lho… saya juga bisa 'masak' sesuatu buat Mas."
"Non Lili… ini bercandaan bahaya," katanya dengan suara rendah, nyaris serak.
"Bercanda? Siapa bilang saya bercanda?" ujarku sambil mengedip nakal.
"Tadi Mas liatin aku dari atas sampai bawah, pikir aku nggak sadar? Tapi aku suka kok... diliatin Mas kayak gitu."
Mas Agus menggigit bibirnya sendiri. Kepalanya tertunduk, seolah sedang berperang melawan niatnya sendiri. Tapi celananya tak bisa bohong. Ketegangannya makin jelas.
Aku berdiri lebih dekat, sampai dasterku nyaris menyentuh sisi tubuhnya. Tanganku dengan santai menyentuh pinggiran meja gerobak, jari-jari bergerak pelan.
"Mas..."
Ia diam.
"Kalau aku nakal malam ini… Mas marah nggak?"
Tak ada jawaban. Hanya suara napasnya yang makin berat. Hanya diam panjang… dan keheningan malam yang mulai terasa panas.
Aku tahu, aku sudah menang. Aku lihat ke arah celananya, aku tahu batang kemaluannya sudah berubah jadi bertambah besar dan tegang. Karena saya sudah tidak tahan lagi untuk segera menghisap kemaluannya, saya nekat juga.
Langsung saja saya telan dan saya bersihkan kejantanannya dari air mani yang tersisa.
Bertepatan dengan itu, 2 laki-laki lewat di depan kami. Ternyata mereka adalah bapak-bapak yang tinggal di komplek ini yang sedang meronda.
“Lho, mas Agus lagi ngapain..?” kata seorang bapak di situ.
“Ah ngga pak… mmm… ini neng Lily…” jawab mas Agus malu-malu.
“Ini Om, saya habis ‘gituan’ sama mas Agus…” saya jawab begitu nekat dengan harapan 2 bapak ini juga mau memperkosa saya seperti yang telah saya lakukan dengan si penjuali nasi goreng.
“Adik ini tinggal dimana?” tanya salah satu dari mereka.
Dan saya pun diseret pulang. Saya takut setengah mati karena jika sampai saya dibawa pulang, pasti ketahuan sama orang tua dan saya bakal digantung hidup-hidup.
“Jangan main-main kamu…”
“Ayolah Om…. saya tau kok, Om mau juga kan ngewe sama saya..?”
Mendengar itu, si Om langsung terangsang berat. Saya langsung mengambil kesempatan meraba-raba batang kejantanannya yang tegang.
“Ayo dong Om… saya pengen banget lho…” saya bilang lagi untuk menegasakan maksud saya.
Setibanya di sana, ternyata masih ada 3 orang lagi yang menunggu di sana, termasuk bang Parli, hansip di komplek saya. Saya kegirangan sekali, bayangkan saya akan mendapatkan 6 batang kejantanan dalam semalam.
Waktu pulang, saya diantarkan bang Parli, si hansip. Ketika sudah sampai di depan rumah saya, sekali lagi bang parli membuka ritsletingnya dan menyodokkan batang kejantanannya ke dalam lubang senggama saya.
Mantap boss....
BalasHapus