Pagi ini mataku terasa begitu bersemangat menyambut mentari. Aku terbangun dengan tubuh yang segar dan penuh semangat. Udara pagi yang sejuk langsung menyapa saat aku membuka jendela kecil di kamarku. Dari sana terlihat taman kecil yang menghiasi rumah sederhana tempatku tinggal selama setahun terakhir. Rasanya menyenangkan bisa menikmati pagi yang tenang di kawasan perumahan sederhana di pinggiran kota Palembang.
Aku lalu tersadar akan kewajibanku sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi ternama di kota ini. Meskipun begitu, aku juga memiliki beberapa pekerjaan di luar aktivitas mengajar. Selain menjadi dosen, aku bekerja sebagai konsultan hukum di sebuah perusahaan swasta, dan juga menjadi konsultan untuk perusahaan asing yang berkantor di Jakarta. Berkat teknologi saat ini, aku bisa menyelesaikan sebagian besar pekerjaan itu dari rumah.
Menjadi dosen rasanya sebuah panggilan, walau gaji tidak seberapa dibanding menjadi konsultan dan jadwal yang padat, tetap saja rasanya ini adalah panggilan jiwa. Sejak lulus kuliah aku sudah mendapatkan kesempatan untuk menjadi konsultan di perusahaan kota ini, berkat kinerja yang cukup bagus akhirnya aku dikenalkan dengan relasi mereka di Jakarta itu.Tapi berbeda dari keadaan ekonomiku, perjalanan cintaku berbeda, jauh dari kata sukses. Selepas SMA aku tidak lagi pernah memiliki kisah cinta yang serius, aku dihianati olehnya rasanya perih dalam hati. Walau perih, dia tetap telah mengisi hari-hariku dulu, jadi tak ada yang perlu disesali, tapi tetap saja harus menjadi pelajaran. Mungkin itu juga yang membuatku takut menjalani hubungan serius lagi sejak saat itu. Walau ketika kuliah dulu aku pernah dekat dengan seseorang tapi tetap saja hubungan itu tidak berjalan hingga pelaminan.
“Pak Adi, tumben sepagi ini sudah ada di kampus, ada kelas pagi ya?” tegur Dian seorang staf admin di kampus kami, melihatku sudah datang pukul 07.00 pagi untuk mengisi absenku. Aku tersenyum menatapnya.
Melihat empat orang bocah yang nongkrong di pojokan kantin yang penuh canda tawa mengingatkan aku pada teman-temanku, Ted, Zaza, dan Edward. Rasanya ingin mencari mereka lagi, rasanya cukup lama juga aku lost contact dengan mereka. Apa Cuma aku yang merasa nostalgia seperti ini, atau mungkin karena aku masih berada disini, tempat memori itu dibangun.
“Adi…” sebuah tangan menepuk pundakku dengan cukup keras, tentu saja aku segera menoleh melihat siapa orang itu.
“Kalau kangen hubungi dong teman-temanmu, sekarang sosmed gampang!”, sambil pak Budi mencengkram bahuku, sambil menatapku serius.
“Jangan sampai menyesesal seperti dengan ‘dia’ dulu”, sambungnya lagi, beliau baru saja mengingatkanku akhir hubungan cintaku dulu, karena aku tidak berani menghadapi masalahku dengan ‘dia’ dan rasanya masih menggantung hingga kini. Prof. Budi sudah menjadi tempat curhatku sejak menempuh magister, kami menjadi dekat dan beliau sudah menjadi sosok ayah bagiku selama ini, sosok yang bijak tapi tetap juga muda bagi usianya. Beliau juga merupakan langganan beerhouse tempatku kami nongkrong, dia lebih sering daripada aku nongkrong di sana.
“Mungkin benar juga, aku harus menghubungi mereka, khususnya ‘dia’”, jawabku, tapi masih ada juga rasa ragu, aku takut tidak berani meminta maaf padanya, aku takut hubunganku tidak bisa seperti dulu lagi. Ketakutan ku ini membuatku lebih baik lost contact dan membiarkan memoriku mengingat yang indah saja tentang hubungan kami, Pengecut. Sudah waktunya aku memberanikan diri untuk menghadapi itu mungkin.
“Iya tentunya, kan asisten kepala Jurusan”, kataku sambil bercanda pada Prof Budi, iya dia kepala jurusan perdata di kampus ini. Dia hanya membalasku tersenyum.
“Mau ngegusur Bu Ella?”, sambil melirik tajam padaku sambil dengan wajah serius.
***
Selama proses penerimaan itu, dengan berbagai ucapan sambutan dari para petinggi fakultas aku hanya duduk dibelakang meperhatikan, bersama jajaran para mahasiswa pasca sarjana. Setelah pembukaan dan penerimaan mahasiswa baru ini, kampus penuh hiruk pikuk mahasiswa baru dan para BEM yang berkeliaran memberikan perkenalan kampus dan dosen-dosen, salah satu bentuk orientasi mereka adalah menyuruh pada mahasiswa mengenal dosen. Jadi para maba ini akan mencari tandatangan dosen dan berfoto bersama para dosen. Tentunya aku akan menghindari hal ini dengan berpura-pura menjadi mahasiswa pasca sarjana. Aku mulai mengobrol dengan mahasiswa pasca yang baru masuk, di kampus kami ini belum memiliki progra doktorat, jadi mereka ini hanya program magister.
Aku mulai bercerita dengan mereka, sambil mengenalkan namaku, tapi karena mereka tidak bertanya aku tidak akan mengatakan aku adalah dosen disini. Hanya ada 23 orang saja yang mengambil magister tahun ajaran ini, mereka semua tampak begitu bersemangat juga melanjutkan pendidikan, bahkan diantara mereka ada yang sudah berusia 50 tahun. Belajar itu tidak mengenal usia.
Ada yang menarik perhatianku seorang gadis, sepertinya dia masih baru lulus S1 dan langsung melanjutkan magister di kampus ini, namanya Fanny. Dia tampak tegang tapi juga exited disaat bersamaan, mungkin karena nuansa kampus yang baru untuknya. Dia salah satu lulusan universitas swasta di kota ini juga, baru pertama masuk kampus negeri sepertinya, dia terlihat canggung.
“Siap Prof!”, sambil menoleh padanya menjawabnya. Beliau tersenyum kepadaku dan para mahasiswa pasca sarjana ini.
“Kalian sudah kenalan?” tanyanya pada para mereka, mereka lalu satu persatu menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan beliau dan memperkenalkan diri mereka masing-masing.
“Aduh… kebetulan saja…” jawabku sedikit sungkan pada mereka. Kamipun akhirnya melanjutkan percakapan dengan mereka berusaha menghindari mahasiswa s1 yang mencari foto dan tandatangan.
Sehabis dari kampus aku sempatkan diriku untuk absen hadir dulu di perusahanku berkeja, memastikan semuanya berjalan dengan lancar tidak ada laporan, gugatan atau konsultasi hukum. Aku juga benarnya melayani pertanyaan-pertanyaan seputar hukum dari karyawan perusahaan itu, karena memang masalah gugat menggugat memang jarang terjadi, daripada nganggur aku temani saja mereka mengobrol seputar hukum.
Di kantor mereka kadang walau sudah lewat jam kantor masih menungguku, malah ada yang sengaja menelpon agar bisa berkonsultasi langsung. Aku juga terhitung cukup akrab dengan mereka, sebenarnya aku cukup supel dalam bergaul tapi sayangnya tidak bagus dalam bersilahturahmi mempertahankun hubungan dan kontak. Sebenarnya rasanya senang juga bisa berguna buat orang lain disekitarku sih.
***
Perkuliahan sudah mulai berjalan, walaupun nanti masih akan memasuki masa libur lebaran lagi, nuansa puasa tidak begitu terasa di kampus mungkin karena para mahasiswa baru penuh dengan semangat mereka melakukan aktifitasnya, tidak hanya S1 tapi juga S2.
***
Entah bagaimana, rasanya aku menjadi akrab bersama dengan mahasiswa S2 angkatan ini, mungkin karena beberapa di antara mereka seumuran denganku, itu juga yang membuat rasanya mudah akrab dengan mereka. Walau dalam seminggu awal kuliah mereka sering kumpul denganku, baik di kantin ataupun di café di luar kampus.
Fanny juga cukup sering kontak dengan ku, sering bertanya tentang tugas dan minta diajari mengenai pelaharan Magister yang sekarang dia pelajari. Beberapa kali aku juga ikut berkumpul bersama mereka di luar kampus, acara nongkrong sambil belajar gitu. Mereka juga tidak canggung dengan ku karena aku tidak mengahar mereka dikampus.
“Ya sama saja sih, rasanya biasa saja…” jawabku dengan santai kepada Edy, ya bagiku tidak ada istimewanya, hanya saja memang sedikit berbeda karena aku jadinya yang harus berdiri di depan dan memberikan materi.
“Ada tidak mahasiswi cantik gitu yang jadi incaranmu gitu?” tanya Edy lagi, dia itu main nyosor saja pertanyaannya. Memang banyak juga mahasiswi cantik juga di kampus kami, apalagi yang masih S1. Tapi aku tidak permah terlalu memperhatikan mereka sebenarnya.
“Banyak yang cantik, liat saja sendiri di fakultas… tapi kalau incaran mah tidak ada” lalu sedikit tidak sadar mataku melirik kearah Fanny, dan segera aku alihkan agar yang lain tidak memperhatikan. Jujur saja Fanny memang terlihat kalem dan cantik, lebih ayu mungkin dari wanita umumnya. Tapi kalau untuk karekter profesi kami, sebenarnya dia kurang tepat, karena kami harus percaya diri dan berani melabrak semuanya.
“Ada sih yang kepincut tapi gimana ya…” jawabku berusaha memberikan kode juga, aku ingin melihat reaksi Fanny. Tapi dia tampak masih asik dengan gawainya saat aku mengakatan itu.
“Emangnya kenapa? Masih terlalu maba? Takut dibilang pedofil?” kata Edy lagi, sambil mentoyor pundakku. Lalu mereka semua tertawa lepas mendengarkan perkataan Edy itu. Fanny terlihat cukup menarik buatku, senyumnya manis dan kulitnya terlihat kuning langsat dengan rambut sedikit berombak dan hitam legam, khas Indonesia banget. Pakainya juga selalu sopan, dengan kemeja lengan panjang dan juga celan panjang jins dan sepatu casual yang nyaman dikenakkan, dia memang sudah menginjak usia 22 tahun tapi tetap saja terlihat seperti gadis 18 tahunan.
“Eh tugas kalian sudah selesai belum yang dari Prof Ahmad?” tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan ini. Wajah mereka langsung sedikit serius mendengarkan tugas mereka.
“Iya juga sih, boleh dimanfaatkan tuh buat liburan… Aku sendiri disini sih tidak mudik, coba keliling-keliling wisata lokal di sini”, jawab Edy santai, dia memang berasal dari kota lain, dan memilih tinggal menikmati kota.
“Kalau yang lain?”, tanyaku lagi kepada mereka, karena aku sendiri tidak mempunyai sanak keluarga lagi di kota ini, hanya sendirian sepeninggal Ibuku 6 tahun lalu.
“Jadinya Edy, dan Fanny saja nih yang di kota ya?” sambungku lagi kepada mereka, sepertinya aku bisa mengajak mereka jalan-jalan di hari raya nanti.
“eh aku juga tidak mudik kok”, tiba-tiba Jenny nyeletuk, iya aku melupakan Jenny dia belum menjawab pertanyaan tadi.
“Oh iya… hahahaha… nanti kita jalan bareng deh, mobil ku cukup kok kalau buat berempat nanti”, sambungku lagi, aku ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman, aku sudah sangat jarang bercengkrama diluar pekerjaan dengan orang lain.
“Boleh juga tuh, emangnya mau kemana?”, tanya Jenny dengan semangat juga, gadis ini juga seusia dengan Fanny, baru saja menginjak 22 tahun, masih penuh dengan semangat tentunya.
“Gimana kalau wisata alam? Kalau perkotaankan sudah biasa?” saranku kepada mereka, karena tentunya aku juga ingin wisata alam, kalau kota sudah biasa.
“Iya nih, keluar kota saja, atau kewisata alam… bagus tuh…” kata Jenny nyeletuk.
“Ayo…” yang lain juga terdengar menyetujui hal itu, tentunya aku juga senang, karena selama perjalanan kita juga bisa mengakrabkan diri satu sam lain.
“Iya sudah masuk wilayah Pagar Alam…”, jawabku singkat pada Burhan, tapi terlihat dia tertarik ingin ke sana.
“Tidak bisa sehari juga di sana, tempatnya luas banyak tempat-tempat bagus untuk explore…”, kata Burhan, memang dia sepertinya tertarik kesana.
“Ya udah, liburkan panjang, bisa seminggu juga di sana…”, jawab Jenny dengan santainya. Dia memang hidup sendiri di kota ini, dia asli Lampung dan sedang kuliah sambil kerja di Palembang ini, masalah uang dan waktu bukan kendala untuknya.
“Tempatnya keren tuh, kampungkukan di Bengkulu, dari sana Aku bisa ikut deh… ” sambung Burhan antusias.
“Aku mah santai, bisa diatur itu…” jawab Edy tentunya dengan santai, sambil melirik ke arah Fanny, tentunya aku juga menatapnya.
Sebelum mengatur jadwal perjalan dengan mereka tentunya aku pastikan dulu apakah mereka akan sanggup untuk hiking atau hanya akan wisata di tempat yang tidak memerlukan fisik dan stamina untuk di tanjak. Gunung Dempo juga cukup aktif, dan semoga saat kami kesana gunung itu tidak sedang merancu. Mereka sih katanya bisa hiking kok, dan sudah beberapa kali juga ikut pendakian, jadi seharusnya mereka bisalah, mungkin sedikit bulkup stamina dan membugarkan dirilah sebelum proses hiking, tapi track gunung Dempo tidak terlalu berat.
Kami berencana untuk memulai perjalanan kami dari Palembang pada tanggal 28 Juli, tepat pada hari raya, agar jalanan agak sepi dan kami bisa tempuh dengan waktu yang lebih singkat, dan kemungkinan jalur hikingpun kemungkinan lebih kosong.
Nantinya Aku dan Edy akan menggunakan satu tenda, dan Jenny dan Fanny akan menggunakan satu tenda lagi. Rencananya kami ingin menikmati fajar di puncak gunung. Fanny sendiri ternyata sudah beberapa kali hiking tapi tidak pernah ke gunung Dempo, sedangkan Jenny pernah sekali sampai puncak gunung Dempo. Tempatnya memang indah, aku sendiri sudah beberap kali kesana sejak kuliah dulu.
Periksa keperluan lagi, seperti sleeping bags, kompor kecil, sedikit mie instan, dan juga beberapa tubler berisi air telah kami siapkan.
Jam 4 dini hari, aku sudah terbangun, Aku kembali mengecek seluruh perlengkapan yang sudah di naikkan ke mobil, seluruh tas, air dan beberapa minuman isotonik juga sudah naik semuanya ke mobil sejuta umatku ini. Kalau sesuai rencana perjalanan kami mungkin akan memakan waktu 7 sampai 8 jam, dan kami akan manfaatkan sisa waktu hari ini untuk menikmati keindahakn kota Pagaralam, dan besok pagi-pagi sekali kami akan mulai hiking ke Gunung Dempo.
Fanny terlihat sudah bangun juga, berkeliaran dari kamar tamuku ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Terlihat dia sudah membawa handuk dan perlengkapan mandinya, mungkin dia ingin mandi agar segar sebelum perjalanan.
“Awas loh, airnya agak dingin, nanti malah masuk angin…” kataku lagi sambil berlalu. Memang rencana berangkat kami baru sejam lagi atau jam 5 nanti, tapi aku tetap harus mengecek semuanya lagi, sebelum berangkat. Hampir saja lupa, kami belum memasak nasi untuk bekal perjalanan.
Selesai menyiapkan beras, aku masukkan dalam ricecooker dan ‘clik’ proses menanaknyapun dimulai. Suara percikan air itu terhenti sebentar, apakah dia sedang membasuh tubuhnya dengan sabun? Atau dia mungkin sedang keramas? Apasih yang ada dalam pikiranku ini?
Aku bukannya berjalan menuju kamarku untuk bersiap mandi di kamar mandi dalam kamar, malah melangkahkan kakiku keteras belakang. Terdapat sebuah lubang ventilasi kecil, tembok batu yang tinggi itu membuatku bisa sedikit memanjat untuk mengintip kedalam. Cahaya mentari yang belum bersinar membuat suasana remang lebih aman untuk melihat kedalam kamar mandi yang penuh cahaya.
Cantik sekali tubuh itu, payudaranya tidak begitu besar, tapi terlihat proporsional ditubuhnya. Terlihat kenyal dan kencang, ingin rasanya tangan ingin segerah meraihnya dan bibir ini menyentuh pucuk payudaranya. Membelai tiap inci dari tubuh indah itu, mengecup tiap jengkalnya, dan memiliki tubuh dan jiwanya.
‘knok…knok…’ terdengar ketukan di pintu kamar mandi, hal itu mengejutkanku. Aku hampir saja terjatuh karena terkejut, akupun segera turun perlahan dari dinding.
“ya?” tanya Fanny, ke arah ketukan itu.
Kini aku dan Edy sudah siap, sudah segar sehabis mandi, sambil meneguk secangkir kopi dan kami siap berangkat. Sesuai rencana juga kami sebentar lagi akan menuju Pagaralam. Aku kembali mengecek keperluan kami semuanya, rute, dan juga rumahku, pastikan semuanya ditinggalakan dalam keadaan aman.
Kuputar lagu yang semangat, biar tidak mengantuk dan lebih ngejreng dipagi ini. Fanny terlihat menikmati pilihan laguku, begitu juga dengan yang lain. Rasanya lebih semangat lah, kadang juga aku tetap curi-curi pandang kepada Fanny. Walau hanya sepintas, pikiranku membayangkan tubuh polosnya lagi. Tapi segeraku tepis harus konsentrasi membawa kendaraan ini.
Jalanan yang relatif sepi dan kecepatan kendaraan yang bisa kupacu lebih cepat membuat kami bisa tiba di Prabumulih lebih cepat, tidak sampai 2 jam kami sudah tiba di kota itu.
“Tukaran yuk, aku yang nyupir”, kata Edy kepadaku, padahal aku sebenarnya masih kuat saja bawa ini, sampai Pagaralampun harusnya masih kuat.
“masih kuat kok, santai”, kataku kepada Edy, karena aku belum mau diganti juga berkendara. Aku lebih nyaman jika aku yang sedang menyupir.
Edy menatapku melalui spion, sambil mengangkat jempolnya dan tersenyum mengejek dan mesum. Sialan, tentu sebagai laki normal aku akan senang diperlakukan seperti itu, tapi mereka ini mahasiswa pascasarjana di kampusku, dan aku dosen, ini sepertinya kurang pantas. Paling tidak aku bukan dosen pengajar mereka.
Aku terus berusaha menemani Edy mengobrol agar dia juga tidak bosan saat berkendara, dan tetap terjaga dan awas selama jalur antar kota ini. Karena beberapa jalanan yang terasa berkelok, tubuh Jenny hampir terjatuh, dan aku secara refleks lalu merangkul tubuhnya mencegahnya dari terjatuh.
“Biar tidak jatuh”, dia kini tiduran di pahaku, dia tidur di pahaku. Apa yang bisa kuperbuat di mobil sempit ini, kakinya terlihat sedikit tertekuk menyentuh pintu, dan paha putihnya kembali terlihat karena tentunya jaketku tidak bisa menutupinya. Dia menggunakan jaketku untuk menutupi kepalanya dari cahaya matahari yang mulai terang. Aku merasa sedikit panik dengan posisinya yang seperti itu, tentunya kepalanya akan sangat dekat dengan penisku, semoga saja si otong tidak berulah dan tiba-tiba bangun.
Akupun karena bosan sempat tertidur, dan ternyata kami sudah sampai ke Muara Enim, sebuah kecamatan kecil yang cukup ramai dilalui orang, tapi mungkin karena hari raya tempat ini cukup sepi. Bahkan SPBU yang kami singgahi ini tidak operasional, tapi untung saja terbuka, jadi Edy bisa menumpang buang air kecil.
Mobil kembali dipacu, tapi aku merasa sedikit was-was, karena aku tadi tidak sempat buang air kecil, rasanya kurang nyaman. Tanganku kuletakkan di pundak Jenny yang tertutup jaket, dan tubuhnya saat ini menghadap ke arah depan mobil atau membelakangiku. Tapi aku merasa ada pergerakan dari tubuh Jenny, mungkin dia sudah tidak nyaman dengan posisi itu.
Tubuhnyapun berbalik, dan kini dia terlentang dan tubuhnya menghadap ke atas. Tentunya aku menyingkirkan tanganku ke samping. Menggantung pada jok mobil baris kedua itu. Sambil menikmati perjalanan rasanya cukup lama juga ya perjalanan ini, matahari juga sepertinya sudah hampir di tengah. Aku mulai terkantuk, dan tidak sengaja tangankupun terjatuh, mengenai pinggir tubuh Jenny.
Aku melihat tubuh kecil Jenny mulai bergeliat lagi, tapi tidak berubah dari posisinya. Tapi ada yang lain yang kurasakan di tanganku, ini kulit, aku menyentuh kulit perutnya secara langsung.
Beberapa menit tanganku hanya disana, merasakan dan menikmati perasaan itu. Tapi perlahan tanganku diarahkannya naik, ini sudah bukan mengigau lagi, dia ingin aku menyentuh tubuhnya, Jenny menginginkannya. Tapi apakah harus di mobil ini, dalam perjalanan, dan ada Fanny dan Edy di barisan depan kami, Kalau ketahuan bisa kacau.
Perlahan dengan lembut di bawah arahannya tanganku terus bergerak, meremas dan merasakan kenyalnya payudara Jenny.
Namun ketika tangannya telah berhenti menuntunku, aku tetap meremasnya. Tangan nakal ini terus bergerak, walau otakku terus ingin menghentikannya, tapi tangan ini terus bergerak. Tentunya perlahan penisku mulai menegang karena perbuatanku sendiri, perlehan mengeras di balik jinsku.
Terasa deru nafas Jenny yang hangat menerpa batang penisku yang tegang. Hembusan nafas yang hangat itu semakin mendekati penisku, dan perlahan rasa basah dangan hangat menyapu batang penisku. Aku berusaha menahan perubahan nafasku agar tidak terdengar oleh Edy yang sedang mengemudi, tapi sepertinya dia asik menikmati lagu, dan Fanny terlihat tertidur di sisi depan.
Aku tidak ingin kalah dari Jenny, aku kemudian berusaha untuk menyelipkan tanganku masuk dalam sportbranya, dan ternyata cukup mudah melalui karet bra itu. kini aku bisa menyentuh payudara kenyalnya secara langsung dan aku mencari putingnya. Ternyata putingnya juga sudah menegang dan segeraku pilin puting itu dengan perlahan. Terasa perubahan nafas dari bibir Jenny yang tengah menjilati penisku.
Tangan kanannya menekan penisku turun, membuat lidahnya mampu untuk menyapu kepala penisku, sensasi lidahnya dan rasa hangat itu membuatku merem melek. Beberapa kali juga dia menyelipkan lidahnya diantara celah penisku memberikan sensasi yang luarbiasa.
Dia beberapa kali berusaha menarik penisku agar masuk dalam mulutnya, tetapi sepertinya posisinya tidak memungkinkan untuk dia memasukkannya kedalam mulut. Akhirnya dia kembali menjilati batang penisku, tapi rasanya itu sudah membuatku merem melek, permainan lidahnya benar-benar nikmat. Tangan kananku menyelip masuk kedalam jaket dan mengusap-usap rambut Jenny yang lembut dan hitam itu.
Aku hanya bisa memejamkan menikmati sensasi di telapak tanganku dan di penisku, sensasi yang sudah lama tidak kurasakan, aku tidak membayangkan akan memperolehnya dari Jenny, gadis yang baruku kenal tidak lebih dari sebulan ini. Aku menjadi bersemangat apa yang akan kudapat jika kami sudah tiba di Pagaralam nanti, apakah aku bisa menikmati tubuh Jenny sepenuhnya atau hanya sebatas ini saja. Pikiranku berpetualang dan tubuhku bergejolak, aku harus mendapatkan seluruhnya.
Aku merasa kenikmatan ini sudah di ubun-ubun tapi, juiniorku masih jauh dari akan klimaks tentunya. Aku berusaha menurunkan tanganku, aku ingin menjamah vaginanya, tapi cukup sulit aku untuk menggapainya, dan tangan Kiri Jenny juga berusaha menahan tanganku, dan kembali meletakkannya ke atas payudaranya. Ya tanganku kembali menikmati ranumnya payudara Jenny. Lidah Jenny juga terus menelusuri batang penisku, naik dan turun, tapi sepertinya dia juga sudah mulai bosan, dia kini berusaha menyelipkan tangannya dan menarik biji zakarku untuk keluar, untung saja celana yang kugunakan sedikit longgar, kalau tidak sudah terjepit diantara celana dalam dan jelana jinsku.
Rasanya jilatan Jenny di kantung zakarku semakin intens, isapan dan kuluman itu semakin cepat, dan juga terasa lidahnya menyapu seluruh permukaannya, membuat bulukudukku merinding merasakan sensai itu.
‘pok..’ terdengar kecil suara saat dia menyedotnya dengan kencang, memberikan rasa sakit tapi nikmat, tapi bisa-bisa Edy mendengarnya bisa gawat. Tapi beruntung dengan hal itu, rasa ingin bunag airku menghilang. Beberapa kali terdengar lagi suara itu, tapi sepertinya lagu berhasil menutupi suara itu.
“Ed, bentar lagi sampai SPBU ya?” aku sengaja bertanya pada Edy agar Jenny mendengarnya dan menghentikan aktifitasnya dulu.
“Iya, paling dua kilo lagi sampai, si Jenny masih tidur?” tanya Edy sambil mengintip lewat spion mobil, terlihat Fanny juga masih pulas dengan tidurnya.
“Iya nih, kalau nanti sampai SPBU ngak bangun ya aku bangunin, aku sudah tidak tahan pengen buang air…” kataku sembari menepuk-nepuk kepala Jenny agar dia mengerti maksudku. Sepertinya dia mengerti maksudku, karena tidak lama kemudian dia sudah mengehentikan aktifitasnya dan mendorong penisku masuk kedalam celanaku dan perlahan mengancing reslitingku. Aku juga menarik tanganku dari payudaranya, dan merapikan pakaiannya.
Tidak sampai 10 menit kemudian kami telah tiba di sebuah SPBU, SPBU itu terlihat sepi, dan sebenarnya dipalang dengan bambu, sepertinya memang SPBU itu tutup karena hari raya. Tapi kondisi mendesak ini, aku harus turun.
“Jen… bangun dulu…” kataku pura-pura menepuk-nepuk pundaknya. Diapun membuka perlahan jaket yang menutup wajahnya itu, sambil pura-pura juga baru bangun, memperhatikan sekitarnya.
“Takut kalau sendiri disebelah… mending di sini, ada kak Adi…” lalu terdengar juga suara desiran air, sepertinya dia juga buang air kecil di dalam bilik itu.
Setelah selesai buang air kecilku, aku membasuh tanganku, dan dari belakang Jenny juga sudah keluar. Dengan sedikit menyempil dia juga ikut mencuci tangannya. Tubuh kami jelas bersentuhan dengan posisi yang rapat.
“Pantas saja tadi agak rasa pesing, ternyata mau kencing toh…” sambil tersenyum nakal Jenny menatapku melalui cermin.
“Ah sialan…” aku lalu mencubit pinggulnya, membuatnya menjerit kecil. Lalu dengan cepat aku meraih dagunya, lalu mengecup bibirnya. Dia tampak sempat terkejut namun tidak ada perlawanan malah tangannya dengan sigap melingkar di leherku. Bibir kami tertaut dan saling mengecup dengan hangat dan saling merangkul dengan erat dalam toilet SPBU itu.
“Quikie?”, bisikku padanya, tanpa suara Jenny hanya menantapku dan mengangguk. Laluku rangkul tubuh kecilnya dan kubopong masuk kedalam salah satu bilik toilet, dan kupastikan bilik itu terkunci.
“Ayo melamun…” tegur Jenny dengan berbisik, aku kembali tersadar dan segera membuka celanaku, ikat pinggang dan juga seluruhnya, kuletakkan pakaian kami di atas bak closet. Aku kemudian mengecup lehernya dengan buas menyusuri jenjangnya leher itu dengan cepat, lalu dengan sekali tarik ku lepaskan sportbranya dari tubuh indah itu.
Kini putingnya terekspose di hadapanku, dan begitu indah terlihat pink dan menggoda. Tapi waktu kami tidak banyak, akan ada waktuna aku bisa menikmati keindahan tubuh Jenny nanti, tapi sekarnag aku ingin menikmati liang senggamahnya.
AKu kemudian segera menurunkan celana dalamku dan penisku segera mencuat dan berdiri kokoh.
“Besarnya, pantas tadi tidak bisa ku embat…” kata Jenny sambil tersenyum manja. Aku kemudian menarik celana jins dan sekaligus celana dalamnya turun hingga lututnya. Terdengar jerita kecil dari bibir mungilnya itu, dan akupun segera duduk di atas closet yang tertutup itu.
Jenny kini dalam posisi membelakangiku, dan perlahan ku turunkan tubuhnya, Ku arahkan penisku kedalam liang senggah Jenny dari belakang. Sekali tarik, kubuat tubuh kecil itu bergetar saat penisku masuk, kering dan seret.
“Belum nih, jadinya BAB gue…” kataku dari dalam bilik toilet itu, mencegah hal yang tidak diinginkan ku angkat kaki Jenny keatas, jaga-jaga jika Edy melihat ke bawah bilik.
Akupun tidak ingin menarik curiga lagi, aku dan Jenny segera berbenah dan kembali kemobil, dengan alasan Jenny sehabis dari toilet berkeliaran sekitar SPBU untuk mencari toko yang buka, dan ternyata tidak ada. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke Pagaralam, dan setelah kejadian itu aku dan Jenny belum memiliki kesempatan lagi untuk mengulanginya.
Kiranya Fanny..rupanya Jenny duluan
BalasHapus