Cerita ini murni fiksi dan hanya untuk tujuan hiburan semata. Semua tokoh, peristiwa, nama tempat, atau dialog di dalamnya adalah hasil rekaan penulis dan tidak dimaksudkan untuk menghina, menghasut kebencian, atau menjelekkan kelompok etnis, ras, agama, atau golongan tertentu.
Segala kesamaan nama atau kejadian dengan peristiwa nyata hanyalah kebetulan belaka. Pembaca diharapkan bijak dalam menyikapi konten ini dan tidak membawa materi cerita ini ke ranah nyata.
By : Analconda13
Udara pagi di kawasan Pecinan masih menyisakan bau hujan semalam. Aroma tanah basah bercampur wangi kayu tua dan batu-batu licin yang mengilap terkena embun. Lorong-lorong sempit yang melintang seperti urat nadi kota mulai ramai oleh kehidupan: suara sandal kayu yang berdecit, lolongan pedagang yang menghampar dagangan, dan denting sendok dari warung bakmi yang baru buka.
Lonceng sepeda tua berdenting saat seorang kakek penjual susu kedelai melintas. Di sisi lain, seorang ibu bersanggul tinggi memeriksa buah naga sambil menggenggam kipas lipat. Sementara itu, suara radio berbahasa Mandarin terdengar samar dari jendela lantai dua, menyanyikan lagu-lagu nostalgia era Teresa Teng seakan waktu berhenti di sudut kota ini.
Di antara semua hiruk-pikuk itu, berdirilah sebuah rumah toko dua lantai. Cat dindingnya sudah pudar, memperlihatkan lapisan-lapisan zaman yang terus berganti. Jendela kayunya retak dimakan waktu. Namun papan nama toko tertulis dalam huruf Hanzi berwarna emas yang mulai mengelupas masih tergantung dengan bangga: Toko Sembako Bahagia Jaya (幸福佳)
Di sinilah Lien tinggal, gadis keturunan tionghoa berusia tujuh belas tahun. Pagi itu, ia duduk di balik meja kasir yang terbuat dari kayu jati tua, mengenakan kaus lusuh dan celana pendek rumahan. Rambut hitamnya dikuncir ke belakang, dan matanya yang sipit tampak teduh, terus tertunduk menatap lembar komik lawas penuh coretan pensil. Ia tak suka berdandan, tak gemar keluar rumah, dan lebih nyaman mendengar suara ayam potong serta adukan lumpia dari dapur sebelah ketimbang hiruk-pikuk dunia luar.
Toko mereka menghadap langsung ke jalan pasar yang sibuk. Lorong sempit tempat para pedagang kaki lima menggelar dagangan: gorengan, buah potong, sandal jepit murah, hingga DVD bajakan. Di seberang toko, deretan becak tua berderet malas seperti singa tidur. Tukang-tukangnya duduk bersandar, berceloteh dalam logat pasar sambil menyeruput kopi hitam dari gelas plastik.
Pecinan tak pernah benar-benar sunyi. Bahkan ketika langit mendung dan hujan mengguyur pelan, tempat ini selalu terasa hidup—dengan sejarah, trauma, dan kenangan yang berlapis-lapis, tersembunyi di balik dinding-dinding rapuhnya.
Namun di balik kehangatan itu, Lien belum tahu bahwa tanah tempat ia berpijak menyimpan kisah-kisah kelam. Tentang toko-toko yang dulu dibakar. Tentang perempuan yang diseret dari rumah. Tentang keluarga yang hilang ditelan kerusuhan.
Dan bahwa dirinya… adalah bagian dari warisan itu.
![]() |
Lien |
Hari itu, Lien baru saja selesai menyusun stok mie instan di rak tokonya ketika suara keras para pedagang kaki lima memecah suasana. Ia tak berniat menguping, namun obrolan mereka yang awalnya riuh dan biasa tiba-tiba berubah menjadi bisikan serius yang membuatnya tertarik untuk mendegarnya secara diam-diam.
“Eh.. Joni. Elu masih ingat nggak waktu jaman kerusuhan '98 itu ? Tanya Pak Tono yang memakai kaus lusuh sambil menyulut rokok yang ada dimulutnya.
"Mana mungkin lupa sih pak. Itu kan masa paling gila. Yang dagang disini aja pada lari pontang panting malah ada yang sampe ngumpet dikolong meja segala. Sahut Joni yang duduk di atas peti semangka.
"Kalau gua sih waktu itu lagi jaga parkir diujung jalan sana. Tiba tiba aja ada massa datang kagak tau darimana.. terus ngamuk dan mecahin kaca kaca toko. Pokoknya gak peduli punya siapa deh. Kata Sapri tukang parkir yang ikut tertarik dengan topik pembicaraan itu.
"Iya.. !!! Pak Tono menunduk lalu menghisap rokoknya dalam-dalam. "Di ujung gang sana, ada toko obat cina... anaknya cantik, masih sekolah juga. Dengar-dengar dia nggak pernah kelihatan lagi sejak kejadian itu. Kata Pak Tono.
Lien langsung merinding mendengar perkataan pria tua itu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tak tahu mengapa, tapi nama toko obat itu seperti pernah disebut ibunya suatu kali.
“Eeh.. tapi kenapa sih kok mereka ngamuknya nyasar ke orang cina mulu ?!! Tanya Joni sambil memotong buah mangga.
“Yah... waktu itu sih dibilangnya karena kecemburuan ekonomi. Tapi sebetulnya, ya karena gampang dijadikan kambing hitam. Orang tionghoa kan kelihatan beda sama pribumi. Nama-namanya beda, mukanya juga beda.
"Elu tahu nggak, yang parah tuh bukan dijarahnya tapi... suara si tukang parkir pelan lalu terhenti.
Tukang parkir itu melirik ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang menguping lalu berkata pelan. “Ada amoy yang diperkosa…”
"Gila... beneran ?!! suara pemuda penjual jam tangan.
“Iya bang. Emang cakep banget tuh si Ching Ching. Badannya tinggi, putih, kayak bintang film Mandarin. Emang diapain dia sama perusuhnya ?
Si tukang parkir mendesah berat. Suaranya rendah nyaris tak terdengar. "Mau diapain lagi kalau bukan digilir rame-rame. Katanya sih digituin diatas lapak pedagang yang ada dibelakang pasar.
"Kasihan banget, ya. Padahal katanya tiga bulan lagi dia mau nikah sama pengusaha. Siapa sangka nasibnya malah begitu…
"Ehh.. bang. kata si pemuda penjual jam tangan menurunkan suaranya sambil mencondongkan badan. Denger denger yang kena di belakang pasar… katanya lebih dari satu ya ?!!
Si tukang parkir tua itu mengangguk perlahan. Setau gue sih ada tiga orang. Semuanya masih sekolah. Yang paling kecil malah katanya belum genap lima belas.
“Astaga !! Emang biadap tuh orang !! Pak Tono menyilangkan tangan di dada dan wajahnya terlihat pucat.
"Soalnya gue sempat lihat sendiri kejadiannya, lanjut si tukang parkir dengan nada berat. "Waktu itu gue lari sembunyi ke belakang kios sepatu tapi dari sela-sela tumpukan kardus, gue lihat sendiri… waktu mereka diseret. Satu gadis itu sempat jerit-jerit minta tolong... bajunya disobek di tengah jalan.
“Yang mana bang ? Tanya Joni.
“Anaknya koh Acong yang jual piring plastik. Waktu itu anaknya baru SMP. Rambutnya dijambak terus diseret sama tujuh orang lelaki.
Lien menutup mulutnya rapat-rapat. Jantungnya berdebar makin cepat. Tangannya gemetar saat merapikan lembaran nota yang tak perlu.
“Kenapa waktu kejadian itu lu kagak nolongin dia bang ?!! Tanya yang lain lirih.
“Siapa berani ?!! Perusuhnya beringas pada bawa golok !! Jawab si tukang parkir yang suaranya parau. "Waktu kejadian itu semuanya ketakutan. Polisi aja gak keliatan sama sekali. Warga yang ada malah diam saja. Nonton dari jauh. Seolah-olah semua itu sah.
"Denger denger itu yang punya toko emas… anak gadisnya juga kena dijarah katanya… Bisik Pak Tono.
“Iya. Cantik banget dia, kayak artis mandarin. Katanya perusuh datang, nendang pintu, langsung narik anaknya ke gudang. Ibunya cuma bisa teriak-teriak. Nggak lama, anaknya keluar udah nggak sadar. Pas ditinggalin udah berantakan semua. Emang edan tuh perusuh !!
“Sialan… manusia apa itu? Kata Joni menggertakkan giginya. "Emangnya sampai sekarang nggak ada yang ditangkap ya pelakunya ?!!
“Nggak ada. Disapu bersih kayak gak pernah terjadi. Malah ada yang bilang, semua itu dirancang, dibiarkan sama oknum. Biar orang-orang pendatang pada takut. Biar mereka hengkang dari sini.
Lien berdiri perlahan dan berjalan ke rak belakang toko. Ia pura-pura menyusun kardus, padahal ia butuh sembunyi. Kala itu matanya yang sipit terlihat basah dan berkaca kaca sementara dadanya sesak.
"Aku nggak habis pikir,” lelaki itu masih melanjutkan, “gimana rasanya jadi ayah yang dengar anaknya minta tolong… tapi nggak bisa nyelametin. Gimana rasanya hidup setelah itu ? Kata Pak Tono
Dari balik tumpukan kardus, Lien menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia merasa seolah semua suara itu menusuk batinnya. Ia tahu orang tuanya tak pernah bicara tentang kejadian itu. Tapi sekarang, semua potongan cerita yang berserakan mulai membentuk pola. Ia tak tahu kenapa ia merasakan ketakutan dan sekaligus rasa penasaran yang makin menggerogoti pikirannya.
Sambil membungkuk, ia menatap celah rak. Wajah-wajah para pria itu tampak muram, dingin, dan serius. Tidak seperti biasanya. Dan Lien tahu—hari itu, sesuatu di dalam dirinya telah berubah.
Suasana di depan toko makin berat. Matahari mulai naik, tapi udara tetap terasa pengap. Di tengah percakapan muram itu, tiba-tiba seorang tukang parkir lain—berkulit gelap, wajah keras, dan mulut yang biasa nyinyir datang menyela sambil tertawa pelan.
“Halahh... kalian ini sok suci semua. Waktu itu yang penting selamat kan? Lagian, ya... maaf-maaf aja, cewek-cewek cina itu kan emang genit dari sananya.
Beberapa orang langsung menoleh tajam ke arahnya.
“Lu ngomong apa Leman ?!! tanya Pak Tono tajam.
“Ya kenyataan pak. sahut Leman sambil mengangkat bahu. “Amoy amoy itu dari dulu emang suka pamer. Bajunya ketat-ketat, kalau ketemu dijalan aja gak pernah mau senyum sama kita. Nah, waktu kejadian itu... ya orang-orang udah panas, emosi. Meledak deh.
“Itu bukan alasan buat ngerusak, apalagi ngerusak anak orang !! Bentak si pemuda penjual jam tangan.
“Lagian siapa suruh mereka kaya-kaya semua? Kita kerja keras siang malam, mereka tinggal duduk ngitung duit. Ya pantas aja kalau akhirnya dilabrak,” ujar Leman, sambil menyandarkan badan ke tiang, santai seperti sedang bercerita biasa.
Si tukang parkir tua langsung berdiri, tangannya mengepal. “Kau pikir itu pantas? Diperkosa di depan orang tuanya? Apa itu keadilan menurutmu ?!!
Leman menyeringai. “Kalau nggak ada yang ngelawan, ya jangan salahin yang kuat !!
Pak Tono menatapnya tajam, rahangnya mengeras.
“Kalian tahu gak !! Lanjut Leman yang suaranya makin pelan tapi penuh racun. "Ada amoy yang katanya malah diseret rame-rame ke atas truk. Dimasukin ke dalam, diputer keliling, disuruh buka baju satu-satu. Gitu aja mereka gak berani lawan. Mungkin... ya diam karena pasrah.
“Diam Man. Kau itu makin kebangetan aja !! bentak Pak Sapri lagi dan nadanya meninggi.
“Kenapa? Itu semua realita pak. Jangan munafik. Waktu itu semua ikut arus. Yang nggak ikut malah bisa kena bacok. Kalian sok ingat moral sekarang, tapi waktu itu? Semua cuma bisa mikir nyelametin diri sendiri kan.
Semua yang duduk terdiam. Tak ada yang menjawab. Wajah-wajah mereka menegang. Si tukang parkir tua menunduk dengan rahang mengatup keras.
Lien di balik rak ikut terpaku. Kata-kata Leman menyayat lebih tajam daripada cerita apa pun yang ia baca. Ia melihat, bukan hanya kebiadaban yang menghantui masa lalu, tapi juga kebencian dingin yang masih hidup, bersembunyi di balik tawa dan cemooh. Dunia yang selama ini ia lihat dari balik kaca toko ternyata tak seaman yang ia bayangkan.
Warisan yang Terkubur
Malam itu, hujan turun pelan membasahi genting rumah toko keluarga Lien. Lampu neon di depan toko sudah dipadamkan, dan ayah serta ibunya tengah tertidur di kamar lantai atas. Namun, Lien masih terjaga. Kata-kata para pedagang dan tukang parkir tadi siang terus bergema di benaknya.
"Anaknya koh Acong diseret..."
"Yang di toko emas... Disikat semua..."
"Ada yang dibawa ke truk, disuruh buka baju satu-satu..."
Lien menggigit bibirnya sambil memandangi langit-langit kamar. Suara hujan seolah berbisik halus, menyuruhnya mencari jawaban. Ia merasa seperti ada sesuatu yang tak pernah diberitahu padanya. Sesuatu yang gelap. Dan mungkin... mengerikan.
Sekitar tengah malam, Lien bangkit dari tempat tidur. Ia membuka lemari tua di sudut kamar, yang selama ini hanya dipakai untuk menyimpan barang lama. Di balik tumpukan kain dan foto-foto usang, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil. Terkunci. Tapi ada bekas goresan di sisi bawahnya—tempat dulu ia lihat ayahnya menyembunyikan kunci cadangan lemari.
Tangannya gemetar saat membuka kotak itu.
Di dalamnya, ada beberapa dokumen lama, foto-foto, dan satu buku catatan bersampul hitam. Bau apek menusuk hidungnya. Tapi yang menarik perhatian Lien adalah sebuah foto pudar: seorang gadis remaja berwajah oriental dan berambut panjang berdiri di depan toko ini, mengenakan seragam sekolah khas tahun 90-an.
Di balik foto itu tertulis:
“Lilian – Agustus 1998”
Lien langsung membeku dan hatinya dipenuhi tanda tanya.
Lilian !! Namanya mirip namanya sendiri. Tapi siapa dia ?!!
Jantung Lien berdegup kencang saat membuka buku catatan bersampul hitam. Tulisan tangan halus—bukan tulisan ayahnya, juga bukan ibunya. Dari gaya bahasanya, ini terlihat seperti buku harian.
Tertanggal: 13 Mei 1998 – Malam
"Hari ini langit seperti menahan tangis. Panas, tapi mendung. Angin berhembus lewat celah jendela, membawa bau asap dari kejauhan. Di radio, suara pembawa berita bergetar ketika menyebut ‘massa bergerak liar di beberapa titik Jakarta’. Ayah tak bicara banyak, tapi aku tahu ia gelisah. Ibu diam, matanya terus menatap luar jendela toko sembako kami di sudut gang. Ada suara pecah di kejauhan. Lalu teriakan. Tapi kami tetap buka toko. Kami pikir, ‘mereka tak akan datang sampai ke sini dan ternyata kami salah."
"Sekitar pukul tujuh malam, ayah menarik rolling door toko. Aku membantu membereskan barang, sementara ibu menyiapkan makan malam. Tiba-tiba suara pukulan keras menghantam pintu depan. Lalu satu lagi. Dan lagi. Ada yang menendang pintu logam kami sambil berteriak: ‘Buka! Keluarin semua barangmu, Cina laknat!’"
"Ayah menyuruhku naik ke lantai dua. Tapi aku terlalu panik. Aku berdiri membeku di tengah toko ketika kaca jendela pecah dan sebatang kayu dilempar ke dalam. Ibu menjerit. Ayah mencoba melawan dengan sapu kayu, tapi tiga pria masuk, memukulnya dari belakang. Ia jatuh. Darah keluar dari pelipisnya."
"Aku lari ke lantai atas. Terdengar suara benda-benda dibanting, kaca pecah, dan lemari dibuka secara paksa. Aku masuk ke kamar dan menyembunyikan diri di bawah tempat tidur. Seluruh tubuhku gemetar. Aku bisa mencium bau asap, dan suara teriakan mereka seperti binatang buas yang sedang berburu.
Kudengar sederet langkah kaki yang dipenuhi amarah dan kebencian menaiki tangga kayu rumah. Terdengar juga suara tawa mereka yang dipenuhi kemenangan diiringi suara bantingan pintu kamar yang lain.
"Tak lama kemudian pintu kamarku dihantam dari luar dengan menggunakan berbagai macam benda keras. "Ada amoy diatas !! suara kasar itu membuat darahku berhenti mengalir. Aku menahan napas ketika mereka mendobrak pintu dan merangsek masuk kedalam kamar.
Meskipun aku sudah sembunyi tapi mereka berhasil menemukanku. Liat nih amoynya ngumpet dikolong ranjang !! Bakal pesta besar kita malam ini !! Kata salah satu dari mereka.
Mereka menarik kakiku dengan kasar, menyeretku keluar dari kolong tempat tidur. Aku menjerit, mencakar, memohon. Tapi mereka malah tertawa.
"Haha.. gak sia sia kita datang jauh jauh kesini. Kalian liat nih amoynya cakep banget. Badannya montok lagi !!
"Iya yang putih dan sipit kayak gini emang mesti dikenalin sama kontol pribumi !! Haha.. kata temannya
"Jangan bang.. jangaaan !! Apa salah saya.. Jeritan Lilian yang tubuh putihnya mulai dijarah dan digerayangi oleh para perusuh.
"Salahnya lu cina dan lu pantas buat digilir sama pribumi !! Sahut perusuh yang matanya merah dipenuhi kebencian.
Satu orang pria kasar menarik rambutku. Yang lain sibuk menyobek baju sekolahku. Aku berteriak memanggil ibu, memanggil ayah. Tapi tak ada jawaban. Suara jeritan mereka sudah tidak terdengar dari bawah.
Tanganku diikat dengan tali jemuran. Aku dipaksa berlutut, Aku bisa melihat bayangan mereka— tujuh orang pria dengan wajah yang tak kukenal, mata mereka hitam penuh kemarahan atau nafsu, aku tak tahu. Yang jelas, malam itu aku mati. Bukan tubuhku tapi jiwaku.
Dalam posisi berlutut dilantai kamar dengan hanya tinggal mengenakan rok seragam sekolah. Aku dipaksa melakukan sebuah hal yang sangat mengerikan dan memalukan, mereka membuka celananya masing masing dihadapanku, mempertontonkan betapa perkasanya batang kejantanannya yang membuat bulu kudukku merinding ketakutan.
Berkali kali aku menjerit dan menolak, membanting banting kepalaku kekanan dan kekiri tapi salah satu dari mereka malah plakk !! menamparku dengan keras membuatku terdiam membisu.
"Sepongin nih kontol pake mulut lu !! Kalau berani ngelawan nanti gua habisi semua keluarga lu !! Ancamnya sambil melotot.
Keadaan didalam kamar itu terasa memilukan dimana dalam ketidak berdayaan aku dipaksa untuk melayani penis penis perusuh itu dengan mulutku, aku dipaksa menjilati dan menyedot nyedot kemaluan mereka dan mirisnya semua ini dilakukan oleh mereka secara bergantian sambil tertawa tawa dan merendahkan diriku.
"Ini saatnya pribumi jadi raja !! Haha..
Setelah melayani penis penis mereka dengan cara seperti itu kemudian tubuhku yang sedang berlutut dilantai didorong kasar hingga terjerambab jatuh kebelakang.
Aku menjerit keras, meronta dan menggeliat berusaha mempertahankan kehormatanku ketika salah satu dari perusuh itu membuka paksa kedua pahaku hingga mengangkang lebar.
Didalam kamar itu mereka bergantian merenggut kehormatanku. Aku mencoba kabur, tapi mereka menendangku. Aku merasa tubuhku bukan lagi milikku. Mereka mencengkeram, mencakar, menganiaya. Aku berteriak sampai suara habis. Lalu hanya tangis. Dan setelah itu... diam.
Mereka tertawa sambil menyebut namaku sebagai “barang rampasan”. Mereka bilang, “Mampus tuh orang Tionghoa. Lihat anaknya dipakai rame-rame. Baru tahu rasa!”
Aku tak tahu berapa lama semua itu berlangsung. Yang aku ingat terakhir: langit-langit kamar berputar, lalu gelap. Dunia berhenti. Dan aku... menghilang.
Lien menutup buku itu dengan tangan gemetar. Air matanya mengalir tanpa suara.
Siapa Lilian?
Ia membawa foto itu turun ke lantai bawah, berjalan pelan ke arah ruang belakang toko yang selalu dikunci rapat. Tapi malam ini, pintunya tak terkunci. Ia menyalakan lampu.
Ruangan itu berdebu, dipenuhi dus-dus lama dan satu lemari arsip besi. Di sudut ruangan, tergantung sebuah bingkai foto keluarga—tapi ada satu wajah yang tidak dikenalnya. Gadis remaja, berdiri di samping ibunya, mengenakan gaun putih. Wajahnya lembut, tapi matanya... menyimpan luka dalam.
Saat itulah suara dari tangga terdengar.
“Lien?”
Ibunya berdiri di sana, wajahnya pucat pasi.
“Kamu ngapain di sini?”
Lien menoleh perlahan. Ia menggenggam buku harian itu, memegang foto Lilian.
“Siapa dia, Ma?”
Ibunya menatap foto itu lama. Bibirnya bergetar. Lalu ia duduk di lantai, memejamkan mata.
“Lilian… kakakmu.”
“Kakakku?”
“Kamu lahir setahun setelah... kejadian itu. Kami pindah dari kampung ini, mencoba lupakan semuanya. Tapi kami kembali karena toko ini satu-satunya warisan yang tersisa.”
Lien mendekat, hatinya seperti dihantam badai.
“Dia… diperkosa waktu itu?”
Sang ibu menatapnya dengan mata merah.
“Lebih dari itu, Nak… dia hamil. Tapi kami tak pernah bicara soal itu lagi. Setelah melahirkan, dia bunuh diri. Lompat dari lantai dua rumah sakit. Tidak ada yang tahu... dan kami tak pernah kasih tahu kamu. Kami... terlalu takut, terlalu malu.”
“Anaknya… bayi itu…?”
Ibunya menggigit bibir. Diam lama.
“Kamu.”
Dunia seakan berhenti. Lien terdiam. Tangannya melemas, buku harian itu terjatuh ke lantai.
“Kami besarkan kamu seperti anak sendiri… karena kamu adalah darah Lilian. Tapi kami tidak pernah punya keberanian mengungkap semuanya. Kami pikir itu akan lebih baik...”
Namun kini semuanya terkuak.
Lien menatap foto kakaknya, Lilian, yang berdiri diam dalam bingkai tua. Air matanya jatuh satu demi satu.
Malam itu, di antara aroma debu dan kenangan luka, Lien merasa dunia lama yang dikenalnya telah runtuh. Ia bukan hanya seorang gadis penjaga toko di Pecinan. Ia adalah bayang-bayang dari tragedi, warisan dari keheningan yang dipaksa, dan kini ia berdiri di ujung rahasia yang tak bisa ditutup lagi.
Malam sudah jauh. Di luar, hujan masih turun tipis, seperti membasuh luka yang baru saja dibuka. Di dalam ruang belakang toko itu, Lien duduk bersila di lantai, di samping ibunya. Di antara mereka, tergeletak foto Lilian dan buku harian bersampul hitam yang masih terbuka pada halaman terakhir.
Ibu memandangi foto itu lama, matanya sembab tapi sudah tidak berlinang. Napasnya tenang seperti seseorang yang akhirnya mampu menghembuskan beban puluhan tahun.
“Kamu mirip dia,” bisik ibu perlahan. “Bukan hanya wajahmu… tapi cara kamu duduk, caramu merenung. Kadang kalau kamu tertawa... aku harus pura-pura sibuk agar tidak menangis.”
Lien tak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan ibunya yang dingin.
“Waktu kamu lahir, kami bimbang,” lanjut ibu. “Ayahmu... sempat ingin menyerahkanmu ke panti asuhan. Tapi aku tidak bisa. Saat pertama kali menggendongmu... aku lihat wajah Lilian. Tapi bukan hanya itu. Aku lihat... harapan.”
Mata Lien basah kembali, tapi bukan karena panik. Ada sesuatu yang berubah. Ia tak lagi merasa seperti orang asing di tubuhnya sendiri. Meski kebenaran ini berat, perlahan ia mulai menyadari: dirinya tidak lahir dari kehancuran, tapi dari keteguhan yang bertahan meski dihantam badai.
Ibu mengusap rambutnya. “Kamu bukan aib, Lien. Kamu adalah alasan kenapa kami terus bertahan. Bahkan ketika semuanya terasa hancur... kamu datang.”
Esok paginya, matahari muncul dengan malu-malu di balik gumpalan awan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, angin pagi membawa aroma roti kukus dan minyak wijen dari kedai sebelah, bukan hanya bau tanah dan kenangan pahit.
Lien berdiri di depan cermin. Ia menyisir rambutnya pelan, lalu mengepang sebagian dan mengikatnya dengan pita kecil berwarna biru tua—warna yang ia lihat dalam foto Lilian. Matanya tak lagi terlihat penuh kecemasan, tapi menyimpan sesuatu yang lebih matang. Ia kini tahu, hidupnya bukan hanya tentang menjual sembako dan menyusun mie instan. Ada warisan dalam dirinya—bukan harta, tapi kisah yang tak boleh padam.
Di toko, ia mulai membuka laci dan merapikan dokumen lama. Ia menyalakan kipas angin tua dan membuka kaca etalase. Beberapa tetangga menyapa pagi itu. Salah satunya, Pak Tono, melambai dari seberang jalan sambil tersenyum kecil.
“Lien, kamu kelihatan lebih segar pagi ini,” katanya.
Lien membalas dengan senyum sopan. “Terima kasih, Pak Tono. Saya pikir... hari ini saatnya untuk mulai menata ulang.”
Pak Tono mengangguk sejenak, lalu menatapnya lebih lama. “Kalau butuh teman bicara, kamu tahu di mana cari saya, ya?”
“Terima kasih, Pak.” Lien membungkuk sedikit.
Saat itu, ia tahu: luka bisa diwariskan dalam diam, tapi penyembuhan bisa dimulai dengan keberanian kecil—duduk mendengarkan, membuka lemari lama, membaca halaman yang ditutup rapat, dan memilih untuk tidak lagi sembunyi.
Surat untuk Lilian
Malam itu, di kamarnya yang tenang, Lien menulis di buku harian barunya. Sampulnya biru tua, sederhana. Di halaman pertama, ia menulis:
Untuk Kakak yang tak pernah kutemui, Lilian.
Aku tahu tentangmu sekarang. Aku tahu rasa sakitmu, keberanianmu, dan keheningan yang kau pelihara di bawah langit tahun itu.
Aku ingin kau tahu… aku tidak akan membiarkan kisahmu hilang. Aku akan menceritakannya. Pelan-pelan. Pada siapa pun yang mau mendengar, agar dunia tahu: kita pernah ada. Kita pernah dicintai. Dan meski kita lahir dari luka, kita memilih untuk tumbuh dengan kasih.
Terima kasih telah memberi aku hidup. Aku akan menjaganya untukmu.
Lien menutup bukunya. Di luar, bintang-bintang mulai muncul. Udara malam membawa bau daun basah dan wangi dupa dari kuil kecil di ujung gang. Ia tahu, malam ini, Lilian juga melihatnya tapi entah dari mana.
Bayangan di Antara Lapak
Hari itu, matahari menggantung rendah di atas pasar Pecinan, menyinari lorong-lorong sempit yang masih basah oleh air bekas siraman warung. Lien berjalan pelan di antara keramaian, membawa kantong belanja berisi sayur dan tahu. Sepintas, hari itu tampak seperti hari-hari lainnya—penuh teriakan tawar-menawar, bunyi sendok bergesek di wajan penggorengan, dan aroma sambal yang menyengat hidung.
Namun langkahnya terhenti ketika telinganya menangkap suara dari sebuah speaker kecil di lapak DVD bajakan di ujung gang.
“Ini dia... rekaman asli dari kerusuhan ‘98,” seru si penjual—seorang pria bertopi miring dengan suara serak. “Langka, bos! Dokumentasi waktu Jakarta terbakar. Liat tuh... lihat sendiri gimana amukan massa!”
Lien melirik cepat. Di atas meja kayu, berserakan puluhan cakram DVD tanpa sampul resmi. Sebagian hanya ditulisi dengan spidol seadanya : "Tragedi Jakarta '98", "Amoy-amoy Digulung Massa", "Rekaman Asli: Video Panas Kerusuhan". Gambar buram seorang gadis berwajah pucat terpampang di layar kecil dari pemutar DVD portabel. Ia tampak menangis, tubuhnya terguncang. Suaranya parau, hanya terdengar potongan jeritan.
Lien tertegun. Jantungnya berdetak keras. Ia tahu tak seharusnya melihat tapi kakinya tak bisa bergerak.
Lien langsung merinding mendengar kata kata tsb yang dilontarkan ditengah keramaian pasar Pecinan.
Tiba-tiba terdengar tawa dari sekelompok pemuda yang menonton. “Anjir, mukanya cakep banget kayak anak sekolahan. Gila sih ini. Gak kebayang dulu segila itu…
Salah satu dari mereka menunjuk ke layar. “Eeh, eeehh.. itu yang ditarik ke gang belakang ya ? Buset, kasian... tapi... yah, lumayan sih mukanya.
Lien mundur satu langkah. Matanya membakar, bukan hanya karena jijik, tapi juga karena amarah yang menyala di dadanya. Dunia di sekitarnya mendadak memudar. Suara pasar seperti lenyap, digantikan oleh denging menusuk telinga.
Ia melihat wajah-wajah yang tertawa sambil menonton penderitaan seorang gadis—mungkin seumuran Lilian. Mungkin... Lilian itu sendiri?
Pikirannya berkelebat ke malam saat ia membaca buku harian itu. Jeritan, sobekan kain, darah. Dan kini… semua itu dijadikan tontonan? Dijual murah di lapak jalanan?
Tangannya mengepal. Ia ingin menjerit. Ingin membalikkan meja DVD itu. Tapi ia tahu itu tidak akan mengubah apa-apa.
tak lama kemudian seorang ibu lewat sambil menarik anak kecilnya, menatap sekilas layar itu dan menggeleng pelan. Tapi ia tak berkata apa-apa. Diam. Seperti semua orang.
Di saat yang sama, seorang pria paruh baya berkemeja kotak-kotak, dengan keringat mengilap di pelipis, mendekat ke lapak DVD. Matanya terpaku pada layar portabel yang terus memutar rekaman buram kerusuhan.
“Eh, Bang… ini beneran asli rekamannya?” tanya si bapak setengah berbisik, suaranya terdengar campur antara rasa ingin tahu dan sedikit takut.
Si pedagang, pria bertopi miring, langsung mendekat. Bau rokok murahan tercium dari napasnya. Ia menurunkan volume speaker sedikit, seolah mau berbicara rahasia.
“Wah, asli banget, Pak. Ini direkam langsung orang dalam, waktu kejadian. Nggak ada di TV, nggak ada di internet. Langka ini!” katanya, suaranya setengah membujuk.
“Nih, ada yang isinya toko-toko dijarah, ada amoy-amoy pada nangis diseret-seret… Ada juga yang lebih panas, Pak…”
Bapak itu menelan ludah. “Lebih… panas gimana maksudnya?”
Si pedagang mendekat lebih rapat, suaranya makin dikecilkan. “Ada yang videonya cewek-cewek Tionghoa, Pak… digiring massa, bajunya disobek… pada nangis-nangis. Asli. Gak ada sensor. Ini dokumentasi sejarah, Pak. Sekarang susah banget nyarinya. Kalo Bapak mau, saya kasih harga spesial. Dua puluh ribu aja satu keping.”
Bapak itu terdiam, matanya gelisah. Sekilas ia melirik ke sekeliling, seolah memastikan tak ada yang memperhatikannya. Lien masih berdiri tak jauh dari situ, dadanya kian berdegup. Setiap kata yang meluncur dari si pedagang terasa seperti sembilu yang mengiris luka lama yang baru diketahuinya.
Pedagang itu meraih setumpuk DVD lain, menunjukkannya satu per satu. “Tuh, Pak, lihat covernya. Nih, ‘Amoy-amoy Digulung Massa.’ Yang ini lebih ngeri, Pak. Cewek-cewek pada nangis minta ampun sambil dijambak rambutnya… Ada yang bajunya dibuka paksa sampe teteknya keliatan.
Bapak itu menggenggam dompet di sakunya, wajahnya ragu-ragu. “Emang… jelas kelihatan, ya?”
“Jelas banget, Pak. Asli. Sampai suara jeritannya kedengeran. Pokoknya bikin merinding!”
Sementara itu, di layar, gambar gadis berwajah pucat masih terus bergetar, suaranya memohon di antara jeritan. Lien menatapnya, ternganga, tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Suara pasar, denting sendok, teriakan pedagang sayur, semuanya terasa jauh.
Bapak itu masih memegang dompetnya, jari-jarinya mengelus resleting seolah sedang mempertimbangkan dosa dan rasa ingin tahunya. Ia mendekat lagi, hampir menempel ke meja kayu lapak DVD.
“Emang… aman, ya, Bang? Kalau beli beginian?” tanyanya pelan, matanya celingukan ke kanan dan kiri.
Si pedagang tertawa kecil, giginya menguning. “Aman, Pak. Santai aja. Gua udah lama dagang ginian. Polisi juga udah biasa liat, paling cuma minta jatah doang. Lagian… siapa juga yang mau ngurus beginian? Udah basi, kata orang. Padahal… nih barang panas banget. Bapak nonton, pasti susah tidur, deh!”
Bapak itu tampak makin penasaran. “Itu… yang cewek-cewek diseret-seret… ada yang kelihatan mukanya, Bang?”
Pedagang mendesah dramatis. “Waduh, jelas banget, Pak. Ada yang nangis sambil teriak-teriak nama keluarganya. Ada yang bajunya cuma sisa setengah. Mau nangis juga gua pas pertama nonton… tapi ya… namanya juga manusia, Pak. Penasaran…”
Ia tertawa cekikikan, lalu menepuk lengan si bapak. “Pokoknya, Bapak jangan bilang-bilang. Nih, gua kasih bonus kalau beli dua. Gua kasih yang versi panjang. Satu jam lebih. Ada adegan waktu massa nyerbu toko obat Cina juga. Katanya sih… anak pemiliknya cewek cantik. Sampai sekarang nggak ketemu.”
Bapak itu tercenung. “Anak toko obat? Yang mana tuh?”
“Lah, gua juga nggak hapal namanya, Pak. Yang jelas cakep. Dulu suka lewat sini katanya. Ada di video juga, mukanya kelihatan pas nangis.”
Bapak itu bergidik, tetapi matanya tak bisa lepas dari tumpukan DVD. Ia mengulurkan tangannya, menunjuk salah satu keping yang bertuliskan Amoy-amoy Digulung Massa. “Yang ini… ada adegan itu juga?”
Pedagang langsung sigap meraih keping DVD dan menunjukkannya lebih dekat. “Ada, Pak. Malah ini yang paling laris. Suaranya jelas banget. Ada yang teriak-teriak minta tolong… tapi malah makin ditarik-tarik. Massa beringas banget. Sampai gua sendiri ngeri nontonnya.”
Bapak itu terdiam sesaat, lalu tertawa kecil. “Ya… gimana ya. Penasaran juga sih, Bang. Tapi… dosa juga nih kalau nonton ginian.”
Pedagang menepuk bahu bapak itu, nadanya berubah lembut. “Dosa mah belakangan, Pak. Ini sejarah. Biar kita inget gimana kejadian aslinya. Biar orang tahu betapa gilanya waktu itu. Bapak nonton, baru ngerti. Nggak usah malu. Banyak kok yang beli. Orang-orang terpelajar juga pada cari beginian.”
Sementara itu, Lien masih berdiri mematung. Suara mereka bagaikan cambuk yang terus memukul batinnya. Pandangannya kabur, matanya panas. Di telinganya, jeritan gadis di layar seperti semakin kencang, menusuk tulang.
Bapak berkemeja kotak-kotak itu masih menimbang-nimbang DVD di tangannya, ketika tiba-tiba seorang bapak lain muncul di sampingnya. Wajahnya bulat, kulitnya kecokelatan, mengenakan kaus oblong putih yang basah keringat. Ia menyingkap topi plastik di kepalanya sambil mendongak ke layar DVD portabel.
![]() |
Lien |
“Heh… itu yang nangis di video… bukan anak pemilik salon di gang sana, Bang?” tanyanya, suaranya agak keras.
Pedagang langsung menoleh cepat, mengangkat telunjuk di depan bibirnya. “Ssst… pelan, Pak. Jangan kenceng-kenceng.”
Bapak kedua menunduk sedikit, menurunkan suaranya. “Soalnya gua denger… dulu ada anak gadis pemilik salon. Namanya Mei Ling, apa ya…? Cantik banget. Tiba-tiba hilang pas kerusuhan. Kagak pernah kelihatan lagi. Gua sampe mikir… jangan-jangan dia juga ada di video beginian…”
Pedagang melirik ke sekitar, memastikan tak ada petugas pasar lewat. Lalu ia berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. “Wah, Pak… bener banget. Ada kok di salah satu video. Gua pernah lihat. Ada cewek rambut panjang, nangis sambil ditarik keluar dari salon. Bajunya udah setengah kebuka. Orang-orang pada nontonin… kacau banget. Kalo Bapak mau, gua cariin. Ada di tumpukan belakang. Gua belum pajang di meja.”
Bapak berkemeja kotak-kotak ikut menimpali. “Anjrit… serem amat, Bang. Kagak kepikiran gua. Jadi itu video beneran, ya? Bukan editan?”
Pedagang mengibaskan tangan. “Asli, Pak. Suara keramaian sama teriak-teriak massa kedengeran jelas. Ada yang nyebut nama ‘Mei Ling’ juga, gua inget banget. Yang bikin ngilu, dia sempet ngelihat kamera sambil teriak, ‘Papa, tolong…!’ Wah… gua nonton sampe merinding.”
Bapak kedua tampak makin penasaran. “Berapa, Bang, yang itu? Gua beli deh. Asal jangan bilang siapa-siapa.”
Si pedagang menepuk bahunya. “Sepuluh ribu aja, Pak. Tapi Bapak harus janji diem. Kalo ada yang nanya, bilang aja nonton film silat.”
Keduanya tertawa kecil, meski tawa itu terdengar getir, seolah menutupi rasa bersalah. Pedagang mulai membongkar kotak kardus di bawah meja, mencari DVD yang dimaksud.
Sementara itu, Lien masih berdiri beberapa langkah dari mereka, wajahnya pucat. Keringat dingin mengalir di tengkuknya. Nama Mei Ling bergaung di kepalanya. Ia ingat cerita samar ibunya dulu, tentang seorang gadis pemilik salon yang hilang di tengah amukan massa. Entah kenapa, rasa ngeri makin meremas dadanya.
Di layar portabel, tangisan gadis berwajah innocent terus berputar. Suaranya seolah memohon, “Papa… tolong…!”
Bapak kedua—yang berkaus oblong putih—terbatuk pelan. Ia celingukan ke sekitar, lalu membungkuk lebih dekat ke meja lapak DVD. Suaranya diturunkan serendah mungkin.
“Bang… selain yang anak salon sama yang di toko obat… ada nggak… yang amoy-amoy kantoran juga?” tanyanya, nada suaranya setengah ragu, setengah penasaran.
Pedagang menyeringai kecil, seolah senang mendapat pertanyaan baru. Ia menurunkan suara, nyaris berbisik. “Wah… ada dong, Pak. Banyak malah. Kan waktu itu bukan cuma toko sama rumah yang dijarah. Kantor-kantor juga kena. Gua punya satu video… amoy-amoy kantoran, badannya putih putih semua, keluar digiring massa. Bajunya pada kebuka… ada yang sambil megang map dokumen… ada yang sampe jatuh di trotoar gara gara didorong kasar sama perusuhnya.
Bapak kedua membelalak. “Serius, Bang? Muka amoynya kelihatan gak ??!
Pedagang mengangguk mantap. “Kelihatan banget, Pak. Ada yang sampe teriak-teriak minta ampun. Ada yang nangis sambil bilang, ‘Jangan… saya cuma kerja di kantor…’ Tapi massa makin beringas. Nyeret-nyeret rambutnya… Ada satu amoy kantoran yang bajunya tinggal BH aja pak.
Bapak berkemeja kotak-kotak menelan ludah, ikut terpancing. “Waduh… itu… serem banget. Tapi… itu beneran asli, Bang? Bukan akting-aktingan kayak difilm bokep gitu ?!!
Pedagang mengibaskan tangan. “Asli, Pak. Gua sumpah. Ini gua dapet dari orang dalem dulu. Wartawan katanya. Cuma nggak semua orang berani nonton. Ngeri. Tapi laku keras, Pak. Banyak yang cari.”
Bapak kedua masih ragu-ragu. “Berapa, Bang, yang amoy kantoran itu ??!! Soalnya di kantor tempat kerja gue juga banyak amoynya.
Pedagang mencondongkan badan, berbisik lebih dekat. “Lima belas ribu aja, Pak. Tapi gua kasih bonus kalau Bapak mau. Ada yang versi lebih panjang. Yang isinya adegan di basement gedung kantor, Pak. Lebih gelap lagi… banyak cewek Tionghoa di situ. Ada yang kejer sambil nutupin dada…”
Bapak kedua mengangguk pelan, wajahnya campuran rasa penasaran dan rasa bersalah. “Gila… gila… zaman itu bener-bener rusuh ya, Bang…”
Pedagang menepuk pundaknya. “Makanya, Pak… sejarah harus ditonton. Biar nggak lupa betapa gilanya dulu. Biar orang Tionghoa tau… betapa rentannya mereka kalau ada kerusuhan seperti itu.
Sementara itu, Lien masih terpaku. Suara mereka bagai gelombang panas yang memukul kepalanya. Dadanya terasa sempit, matanya berkaca-kaca. Setiap kata amoy, bajunya kebuka, nangis, seolah menggali luka yang lebih dalam di dalam dirinya.
Bapak kedua masih tampak bimbang. Jemarinya terus mengelus dompet di saku celana, seolah sedang berunding dengan hatinya sendiri. Bapak berkemeja kotak-kotak hanya berdiri terdiam, wajahnya gelisah.
Pedagang melihat keduanya ragu. Ia mencondongkan tubuh lebih dekat, suaranya kini menurun menjadi gumaman rahasia.
“Pak… kalo Bapak mau yang lebih… gila, gua punya satu lagi.”
Bapak kedua mengerutkan dahi. “Yang gimana, Bang?”
Pedagang melirik ke sekeliling, memastikan tak ada yang memperhatikan, lalu menggeser kotak kardusnya. Dari tumpukan paling bawah, ia menarik satu keping DVD yang bahkan tak ada tulisan di permukaannya, hanya goresan spidol berbunyi Pernikahan Mei 98.
“Ini… video langka banget, Pak. Gua dapet dari tukang dokumentasi hajatan yang kebetulan ada di sana. Jadi gini… waktu itu ada resepsi pernikahan Tionghoa di gedung hotel deket pecinan. Lagi ramai-ramainya. Pengantin ceweknya pake gaun putih panjang, cantik banget kayak bidadari. Tiba-tiba massa dateng… ngamuk… langsung banting pintu kaca, masuk ke dalam. Musik berhenti, orang-orang pada lari ketakutan..
Bapak berkemeja kotak-kotak mencelos. “Pengantinnya… diapain, Bang?”
Si pedagang mengembuskan napas panjang. “Nah… itu dia yang paling serem, Pak. Pengantinnya ditarik naik ke meja pelaminan. Bajunya disobek… rambutnya dijambak sampe acak acakan… pengantin cowok udah babak belur. Tamu-tamu pada kabur, pada nangis. Ada yang nyangkut di kursi. Pokoknya kacau. Massa pada teriak jaraaah !! Amoy! Amoy!’”
Bapak kedua menutup mulutnya dengan tangan, wajahnya berubah pucat. “Gila… gila… itu direkam semua, Bang?”
Pedagang mengangguk mantap. “Semuanya, Pak. Sampe pengantin cewek jerit-jerit minta ampun. Gua aja nonton cuma kuat setengah jalan. Tapi… ya gitu, Pak… orang banyak penasaran. Katanya… pengantin cewek itu anak orang kaya. Sampe sekarang nggak ada kabarnya. Katanya… dijual ke luar negeri. Ada yang bilang dibunuh.”
Bapak kedua menelan ludah, napasnya pendek. “Itu… berapa, Bang?”
Pedagang mendekat lebih rapat, berbisik seolah menawarkan barang pusaka. “Lima puluh ribu, Pak. Asli langka. Gua cuma punya lima keping. Tapi gua kasih bonus video yang amoy-amoy kantor. Biar tambah hot sekalian.”
Bapak berkemeja kotak-kotak mengusap wajahnya. “Gila… Bang… lu dagang apaan sih ini…”
Pedagang mengangkat bahu, wajahnya datar. “Ini sejarah, Pak. Sejarah kelam. Biar orang tau. Kalo nggak dijual, orang lupa. Nggak ada yang tau betapa kejamnya waktu itu.”
Bapak kedua masih menatap keping DVD di tangan pedagang. Wajahnya gelisah, tapi sorot matanya berkilat. Perlahan, ia meraih dompet, jari-jarinya gemetar kecil.
“Ah… sudahlah, Bang. Gua beli deh. Lumayan buat… hiburan di rumah,” gumamnya, suaranya serak.
Bapak berkemeja kotak-kotak menoleh cepat padanya, wajahnya pucat. “Hiburan lu apaan, Pak? Ini mah ngeri banget…”
Bapak kedua malah terkekeh kecil, meski tawa itu terdengar canggung. “Lah… daripada gua nonton bokep Jepang mulu. Ceritanya itu-itu aja. Guru-guru, murid-murid, kamar mandi sekolah… bosen, Bang. Paling nggak ini… sejarah. Lagian… amoy-amoynya cakep-cakep juga.”
Pedagang tertawa pendek, gigi kuningnya mengintip. “Nah, itu dia, Pak. Bosen kan nonton bokep doang. Ini mah real, asli. Bukan acting. Rasa tegangnya beda. Brutal, Pak. Gua bilang sih… lebih brutal daripada bokep mana pun. Sampai ada yang bajunya tinggal BH doang, sambil ditarik-tarik massa. Ada yang ditampar, dilempar botol… Ada juga yang sampe roboh di trotoar, diteriakin massa sambil dicakar-cakar.”
Bapak berkemeja kotak-kotak semula tampak menahan diri, tapi kini wajahnya mulai merah. Matanya tak lepas dari DVD di tangan pedagang. Bibirnya bergetar.
“Yang… pengantin cewek itu… cantik nggak, Bang?” tanyanya, nyaris berbisik.
Pedagang langsung mengangguk, matanya melebar dramatis. “Astaga, Pak. Cantik banget. Kulit putih, rambut panjang. Bajunya gaun pengantin mahal warna putih. Pas dia diseret ke atas pelaminan, bajunya disobek. Nangis-nangis, minta ampun. Tapi massa malah makin nekat. Pokoknya… lebih brutal daripada bokep mana pun. Nggak ada sensor. Suara teriakannya juga asli dan kagak dibuat buat kayak bokep jaman sekarang.
Bapak berkemeja kotak-kotak mengusap wajah, napasnya berat. Ia melirik kanan kiri, lalu berbisik, “Udah deh, Bang. Gua juga beli. Sekalian sama yang amoy-amoy kantoran itu. Gua penasaran. Katanya mukanya cakep-cakep banget.”
Pedagang langsung sumringah. Ia cepat-cepat memasukkan dua keping DVD ke dalam kantong plastik hitam tipis, lalu meraih uang dari tangan kedua bapak itu. “Nih, Pak. Simpen baik-baik. Jangan bilang siapa-siapa. Kalo ada yang nanya, bilang aja nonton film silat.”
Bapak berkemeja kotak-kotak terkekeh pelan, suaranya masih gemetar. “Iya, iya… gua tonton pelan-pelan. Biar nggak ketauan bini.”
Pedagang menepuk bahunya. “Bapak kagak bakal nyesel. Ini mah… lebih brutal, lebih panas daripada bokep Jepang mana pun. Ini… sejarah, Pak. Sejarah berdarah.”
Bapak kedua tertawa pendek. “Bener juga, Bang. Lumayan lah… buat variasi. Bokep Jepang mah ceritanya gitu-gitu aja. Paling mentok guru kena entot murid. Nggak ada yang digebukin massa kayak gini.”
Sementara itu, Lien berdiri membatu. Kata-kata mereka menampar telinganya seperti cambuk. Dadanya sakit, seolah diremas tangan tak terlihat. Pandangannya kabur, matanya berkaca-kaca. Kantong belanja di tangannya terjatuh ke tanah, sayur dan tahu berhamburan di atas lantai pasar yang basah.
Di layar portabel, gadis Tionghoa masih terus menangis, rambut kusut menutupi sebagian wajahnya. Suaranya bergetar, terputus-putus
“Papa… tolong aku…!”
Lien menatap tajam kearah pedagang dan ekspresi wajahnya dipenuhi kemarahan.
“Kenapa kamu jual itu ?!! Tanyanya pelan tapi menusuk.
Si penjual menatapnya sebentar lalu mengangkat bahu. “Laku, Neng. Kenyataannya... orang suka liat begituan.
“Walau itu penderitaan orang?”
“Zaman sekarang... semua bisa jadi uang.”
Luka yang Masih Terbuka
Lien masih berdiri terpaku di depan lapak DVD, matanya tak lepas dari layar televisi kecil yang menampilkan gambar-gambar buram namun begitu hidup—terlalu hidup. Di layar, seorang gadis remaja digiring paksa oleh kerumunan pria, teriakannya terdengar teredam oleh suara-suara sorakan.
Dari samping, sekelompok pemuda berkaus oblong berdiri sambil tertawa pelan. Salah satu dari mereka, berambut dicat pirang pucat dan memakai rantai di leher, menyeringai sambil menunjuk layar.
“Wuih yang ini mukanya keliatan cina banget. Pantes aja disikat rame-rame sama pribumi !! Ujarnya sambil mencolek temannya.
Temannya mengangguk. Amoy emang enak diliat. Putih, mulus... tapi songong. Jadi ya... wajar lah.
“Wajar?” Lien menoleh cepat. Wajahnya pucat, tapi matanya menyala. “Apa maksudmu wajar?”
Para pemuda itu menoleh ke arahnya. Salah satu dari mereka—yang tubuhnya paling besar dan memakai topi terbalik—menatap Lien dari atas ke bawah. Sekilas ia tampak menilai. Lalu dia mencibir.
“Eh, lu juga Cina ya?” tanyanya dengan sengaja memakai suara keras tapi Lien tak menjawab.
"Ya kayak lu gitu. katanya sambil menunjuk ke arah Lien dengan dagu. “Manis, sok kalem tapi dalemnya lonte. Pasti seneng juga kan kalo diseret rame-rame ?!! Emang dasar…
“Cukup!!” Lien berseru. Suaranya gemetar, tapi tajam. Beberapa orang di sekitar mulai menoleh.
Si pemuda tertawa kecil. “Kok marah? Tersinggung? Lah, itu kenyataan. Waktu ’98 tuh, cowok-cowok cuma nyalurin emosi. Lu tahu nggak rasanya hidup susah, kerja rodi, tapi liat amoy-amoy pada duduk manis sambil pamerin hartanya. Ya meledak lah!”
“Tapi itu pemerkosaan!!” suara Lien melengking, diselimuti ketakutan dan kemarahan. “Mereka disiksa! Dipermalukan! Dilecehkan di depan orangtuanya!”
“Trus kenapa? Toh sekarang juga masih banyak panlok yang jual diri kan? Udah biasa.
Lien belum bergerak dari tempatnya berdiri. Di sekelilingnya, seolah dunia terus berjalan seperti biasa: suara tukang sayur, langkah kaki, deru sepeda motor. Tapi di depan matanya, layar kecil itu terus menyala, dan di sekitarnya para pemuda masih berkumpul.
Salah satu dari mereka mencondongkan tubuh ke arah si pedagang. “Bang, ada yang lebih cakep nggak? Yang bajunya modis gitu, kayak amoy-amoy zaman sekarang?”
Si pedagang terkekeh pendek. Ia menekan tombol pada pemutar DVD. Gambar di layar melompat-lompat—rekaman buram dari kamera tangan yang goyah.
"Ini nih... yang satu ini terkenal, tuh," katanya. "Katanya anak bos toko elektronik. Liat mobilnya tuh—langsung diseret keluar."
Gambar menunjukkan seorang perempuan muda Tionghoa keluar dari mobil sedan hitam yang ringsek. Ia mengenakan blouse ketat dan rok mini. Di sekelilingnya, kerumunan massa berteriak, dan beberapa tangan meraih dengan kasar.
"Awal-awalnya dia nolak... tapi ya... rame-rame gitu, mana bisa."
Tawa kotor terdengar dari penonton. Seorang dari mereka bersiul rendah.
Lien merasa perutnya mual. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya, meski hatinya berteriak menolak.
Di layar, tubuh perempuan itu direnggut dari mobil, dijambak dan ditarik ke trotoar. Kamera bergetar, lalu menyorot dari jauh—hanya siluet, hanya gerakan kasar dan jeritan. Namun maknanya tak bisa disangkal: pemerkosaan yang dilakukan di ruang terbuka, disaksikan oleh banyak orang, dan kini... ditonton ulang oleh laki-laki asing dengan wajah tanpa empati.
Lien merasakan tenggorokannya tercekat. Dunia terasa sempit. Nafasnya memburu.
"Anjir, yang ini sih... kayak artis," gumam seorang pemuda. “Liat tuh, putih banget.”
Tawa dan komentar mereka menyatu menjadi kabut beracun di kepala Lien. Ia menahan tangis, tapi air matanya jatuh juga. Bukan hanya karena horor yang ditampilkan... tapi karena fakta bahwa tak ada satu pun dari mereka yang merasa itu salah.
Seorang pemuda bertopi yang tadi bicara soal rekaman sadis, kini tertawa pelan sambil menghembuskan asap rokok. Di sebelahnya, temannya—berjaket denim, mata belo dan senyum miring—menimpali dengan nada santai:
“Ada yang lebih parah lagi, Bro. Gue pernah dapet rekaman dari pedagang lain, katanya beneran, tapi udah kayak film. Ada amoy—masih SMA katanya—diseret dari kamarnya, diikat tangan, dijambak... digilir. Gila. Yang nonton rame-rame. Ada yang nyorakin juga. Kayak tontonan.”
Pemuda pertama menyahut cepat. “Oh, yang diseret ke gudang sekolah itu ya? Ada juga yang versi di rumah—bapaknya dipukulin dulu, terus anaknya dicekek sampe gak bisa jerit.”
Mereka tertawa. Tertawa.
Seolah yang mereka bicarakan adalah adegan film laga, bukan sisa tubuh dan jiwa perempuan yang hancur.
Lien hanya bisa berdiri mematung, napasnya tercekat.
“Yang paling gue inget...” lanjut si pemuda bertopi, dengan nada sok tahu, “...yang ceweknya nangis sambil bilang ‘tolong jangan, saya belum pernah’. Terus mereka malah ketawa dan bilang, ‘makanya, ini pengalaman pertamamu!’”
Tawa kembali pecah.
Lien merasa dadanya sesak dan jantungnya menghantam tulang rusuk. Ia ingin berteriak tapi mulutnya terkunci oleh jijik, marah, dan ngeri yang tak bisa dijelaskan.
Ini bukan hanya cerita jahat. Ini adalah cermin dunia yang rusak. Dengan tangan gemetar gadis itu maju satu langkah.
"Cukup !! Suara Lien terdengar kecil tapi tajam seperti belati yang dilempar ke tengah percakapan. Pemuda-pemuda itu berhenti bicara. Beberapa tertawa kecil tapi tidak sepenuh hati.
"Kenapa neng ?!! Tanya pria berjaket denim sambil mendengus.
“Kalian sadar nggak apa yang kalian tonton itu ? Bentak Lien yang membuat mereka langsung terdiam.
"Itu bukan film. Itu rekaman kejahatan. Kejahatan terhadap anak-anak perempuan. Terhadap keluarga dan terhadap manusia. Kata Lien kesal.
"Neng di dunia ini yang kuat bertahan. Yang lemah jadi korban. Udah dari dulu begitu. Kata pria yang memakai jaket denim sambil mencibir.
Lien menggenggam tangannya erat. “Kalau kalian bangga nonton rekaman perempuan diperkosa, berarti kalian bukan kuat. Kalian cuma penakut yang ngumpet di balik tawa karena nggak punya nyali buat merasa bersalah.”
Orang-orang mulai melihat ke arah keributan itu. Tapi Lien tidak peduli. Ia tak lagi merasa kecil. Suaranya naik, bulat dan jelas.
“Kalian adalah alasan kenapa dunia ini tetap gelap. Karena kekejaman gak hanya hidup di masa lalu. Tapi juga di dalam tawa orang-orang kayak kalian.”
"Udah Neng, jangan bikin ribut di sini. Kalau nggak suka, ya jangan nonton. Kata pedagang DVD berusaha meredakan suasana.
Lien menatap layar televisi kecil itu. Gambar beku di sana menunjukkan siluet seorang gadis di trotoar dalam sorotan kamera buram. Dengan tangan gemetar, Lien melangkah maju dan menekan tombol stop di pemutar DVD itu.
“Lu ngapain?” tanya salah satu pemuda.
“Kenapa kalian nonton itu sambil ketawa? Itu bukan hiburan! Itu kekejaman! Itu penderitaan seseorang!”
Pedagang DVD menyeringai, mencoba menutup rasa bersalahnya dengan arogansi. “Santai aja, Neng. Biasa aja. Lagian ini dokumentasi sejarah juga. Biar generasi muda tahu.”
“Kalau memang mau belajar sejarah, kenapa bukan dari buku? Kenapa bukan dari kisah para korban?” Lien menatapnya tajam. “Bukan dari rekaman penderitaan mereka yang dijual murah, ditertawakan!”
Beberapa orang yang lewat mulai menatap ke arah keributan itu. Sebagian berhenti, sebagian hanya melihat dan berlalu. Tapi bagi Lien, itu sudah cukup. Ia telah membuka suara.
“Bakar aja lapak ini kalau perlu,” gumam si pemuda pirang.
Lien menatap mereka satu per satu. “Kalau kalian masih manusia... berhenti menertawakan luka orang lain.”
Lalu ia pergi, meninggalkan lapak itu dengan dada berdebar. Ia tidak tahu apakah kata-katanya mengubah apa pun. Tapi ia tahu, diam bukan lagi pilihan.
Ia berjalan pergi, langkahnya cepat, kantong belanja hampir jatuh dari genggamannya. Tapi sebelum benar-benar pergi dari gang itu, ia menoleh sekali lagi ke arah lapak DVD yang masih menayangkan gambar seorang gadis yang tubuhnya koyak, jiwanya hancur dan orang-orang menontonnya sambil makan gorengan.
Lien berhenti di ujung gang. Napasnya memburu, bukan karena lelah, tapi karena kemarahan yang menggelegak, masih mendidih di dadanya. Kantong belanjaannya hampir terlepas, tangannya gemetar. Tapi ia memaksa dirinya untuk menoleh sekali lagi.
Lapak itu masih berdiri. Layar televisi kecil itu tetap menyala, menampilkan gambar buram dari masa lalu yang mestinya dilupakan, tapi malah diputar ulang—bukan untuk mengenang, tapi untuk menginjak luka yang belum kering. Gadis dalam rekaman itu—entah siapa namanya, entah di mana keluarganya—tubuhnya koyak, jiwanya compang-camping, ditelan sorot kamera tanpa ampun.
Dan di depannya, manusia-manusia itu masih menonton sambil mengunyah gorengan. Masih tertawa.
Lien merasa ingin muntah. Tapi ia menahan semuanya. Ia tahu, suara kecilnya barusan mungkin tak mengubah dunia. Mungkin mereka akan tertawa lagi setelah ia pergi. Mungkin lapak itu akan tetap menjual luka dalam bentuk disk murah. Tapi ada satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak diam.
Ia tidak lagi jadi penonton. Dan itu, bagi Lien, adalah awal dari perlawanan.
Beberapa minggu telah berlalu. Tapi bayangan rekaman itu tidak pernah benar-benar pergi. Dalam diam, wajah gadis dalam video itu terus menghantui pikiran Lien. Sorot matanya yang kosong, tubuhnya yang tak berdaya. Dan setiap kali bayangan itu datang, tubuh Lien bereaksi dengan cara yang membuatnya bingung. Bukan hanya sedih, bukan hanya marah tapi ada sensasi aneh yang mencampur aduk gairah dan rasa bersalah.
Ia merasa jijik pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa sesuatu yang begitu kejam, begitu menyakitkan, justru menimbulkan reaksi seperti itu dalam dirinya?
Malam-malam ia duduk sendiri di kamar, mencoba memahami apa yang terjadi. Tapi tak ada jawaban yang datang. Yang ada hanya perasaan campur aduk—seperti pusaran lumpur—antara empati, ketakutan, dan... sesuatu yang tak bisa ia beri nama.
Apakah ini bagian dari trauma? Apakah tubuhnya menyimpan memori yang tidak ia pahami?
Lien mulai mencari. Ia membaca artikel, mendengarkan podcast para penyintas, dan perlahan, ia mulai memahami: reaksi tubuh terhadap trauma tidak selalu logis, tidak selalu sesuai dengan moral yang tertanam. Kadang tubuh menyimpan luka dalam bentuk gairah, bukan karena suka, tapi karena kebingungan. Karena sistem saraf tak lagi tahu bedanya antara ancaman dan hasrat.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Lien menangis—bukan karena marah, bukan karena takut—tapi karena ia merasa begitu bingung dan sendirian di tengah dunia yang tidak tahu cara menolong perempuan seperti dirinya.
Hari itu langit mendung, dan udara di kawasan Pecinan terasa lebih sunyi dari biasanya. Lien duduk sendirian di toko keluarganya—toko kelontong kecil yang menjual barang-barang rumah tangga, dupa, dan beberapa makanan kering. Biasanya jam-jam seperti ini ia sibuk mencatat stok, tapi siang itu matanya kosong. Fikirannya jauh melayang. Bayangan rekaman yang pernah ia lihat masih mengendap di benaknya, seperti bekas luka yang tak sembuh.
Tiba-tiba suara "ceklak" dari pintu lipat toko membuatnya menoleh. Tak ada siapa pun di depan, hanya sebuah kantong plastik hitam tergantung di gagang pintu. Seperti sengaja digantungkan dengan tergesa-gesa. Lien berdiri pelan, rasa curiga merayapi dadanya. Ia menoleh kanan kiri, jalanan sepi. Ia mengambil kantong itu dan membawanya masuk ke dalam.
Ketika dibuka, bau plastik panas bercampur debu menyengat hidungnya. Di dalamnya ada sebuah amplop coklat tua dan cakram DVD polos. Jantung Lien berdebar. Ia membuka amplop itu perlahan. Isinya hanya satu lembar kertas dengan tulisan tangan kasar:
"Berhenti cari tahu. Jangan sok pahlawan. Kalau hidupmu masih berharga, kubur yang kamu tahu sekarang juga."
Tak ada nama. Tak ada tanda tangan. Tapi pesannya jelas.
Tangan Lien gemetar saat mengambil DVD itu. Ia tahu ia tidak seharusnya memutarnya. Tapi rasa penasaran lebih kuat dari ketakutannya. Ia mengunci pintu toko, menurunkan setengah tirai kayu, lalu membawa cakram itu ke pemutar DVD lama milik ayahnya di gudang belakang.
Suara mesin menyala pelan. Layar monitor menyala biru. Tak ada menu. Tak ada intro. Hanya langsung masuk ke gambar.
Video itu seperti yang ia lihat di lapak kaki lima beberapa minggu lalu. Sudut pengambilan dari kamera tersembunyi. Gambar buram. Tapi cukup jelas untuk menunjukkan seorang gadis dalam seragam sekolah yang dihadang di sudut gang, dipukul, dan diseret masuk ke dalam sebuah bangunan kosong.
Lien menahan napas. Ia tak bisa memalingkan wajah. Jantungnya berdetak cepat, keringat dingin mengalir di punggung. Bukan hanya karena horor dari gambar itu—tapi karena sesuatu yang terasa mengerikan dan aneh dalam dirinya sendiri.
Lien menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak. Pandangannya buram oleh air mata. Ia menekan tombol stop, lalu mundur dari pemutar DVD itu seperti baru saja melihat hantu.
Surat ancaman itu kini terasa lebih nyata.
Bukan hanya karena ada orang yang ingin ia diam. Tapi karena mereka tahu—bahwa ia sudah terlalu dekat dengan rahasia yang dikubur dalam-dalam.
Dan video ini... mungkin bukan hanya satu. Mungkin ada puluhan, ratusan. Dan para pelaku? Masih bebas. Masih hidup. Mungkin dekat.
Lien duduk memeluk lututnya di sudut ruangan. Di luar toko, lonceng angin berdenting pelan, seakan menertawakan ketakutannya.
Beberapa minggu berlalu.
Namun isi cakram DVD misterius itu tak pernah benar-benar hilang dari kepala Lien. Setiap malam, ketika toko sudah tutup dan kota mulai sepi, pikirannya kembali ke rekaman itu—bayangan buram, sorotan kamera diam-diam, dan wajah gadis muda yang nyaris tak bisa dikenali.
Awalnya ia menonton untuk menyelidiki. Tapi kemudian, ia menonton tanpa alasan yang jelas. Berulang kali. Kadang ia menangis. Kadang ia hanya duduk diam setelahnya, bingung oleh perasaan sendiri. Tapi yang paling membingungkan—adalah bagaimana tubuhnya merespons dengan cara yang tak ia pahami.
Lien mulai takut pada dirinya sendiri.
Dalam upayanya mencari pemahaman, ia masuk ke forum-forum online—tempat orang-orang berbagi cerita, artikel, bahkan rekaman dari masa lalu yang tak pernah diberitakan di media arus utama. Tapi bukan hanya fakta yang ia temukan di sana.
Ada ruang-ruang gelap di forum itu. Tempat orang-orang menyamarkan identitas dan membahas peristiwa 1998 bukan sebagai luka sejarah, tapi sebagai fantasi kolektif yang aneh dan tak pantas. Mereka membicarakan "gadis-gadis Tionghoa yang tak bisa lari", "rumah toko yang dibakar bersama penghuninya", dan "seragam sekolah putih biru yang robek oleh kekacauan".
Dan yang membuat Lien lebih takut lagi—adalah bahwa sebagian dari narasi-narasi itu memicu sesuatu dalam dirinya.
Ia tidak tahu apakah itu rasa takut, rasa marah, atau rasa ingin tahu yang melenceng. Tapi itu nyata. Dan itu tumbuh. Semakin banyak ia membaca, semakin ia tenggelam dalam kabut perasaan yang tidak bisa ia beri nama.
Malam-malam ia menatap bayangannya sendiri di cermin dan bertanya:
"Apa aku rusak? Atau ini bagian dari luka yang belum sembuh?"
Di antara perasaan bersalah dan keinginan untuk memahami, Lien mulai sadar: ia sedang berdiri di tepi jurang—dan setiap langkah bisa membawanya menuju kegelapan, atau mungkin... menuju kebenaran yang sangat menyakitkan.
Malam itu hujan turun pelan, mengaburkan suara-suara dari luar. Lien duduk di depan laptop, jari-jarinya gemetar saat membuka kembali forum yang belakangan rutin ia kunjungi. Forum itu mengklaim diri sebagai “ruang bebas berbagi sejarah alternatif,” tapi ia tahu sebenarnya itu tempat orang-orang menyembunyikan wajah dan mengeluarkan sisi tergelapnya.
Tak lama kemudian Lien menemukan satu postingan baru yang langsung membuat dadanya penuh sesak.
Judulnya: Pengalaman Tak Terlupakan Saat Kota Terbakar.
Saat dibuka, isinya penuh dengan pengakuan gelap—kalimat-kalimat yang seharusnya tak pernah ditulis, apalagi dibaca. Beberapa pengguna anonim menulis dengan nada ringan, bercerita tentang bagaimana mereka “ikut masuk ke rumah toko di kawasan Pecinan, atau “menemukan gadis-gadis Tionghoa yang sembunyi di bawah ranjang lalu memperkosanya beramai ramai tanpa ampun.
Beberapa dari mereka bahkan menertawakan kejadian itu. Mereka menyamarkan kebiadaban dalam eufemisme.
Lien menutup mulutnya sementara matanya membelalak. Di sela-sela kalimat itu ia bisa merasakan hawa dingin kebencian yang membungkus kekerasan. Tidak ada penyesalan. Tidak ada rasa bersalah yang ada hanyalah tawa dan kebanggaan. Ia ingin menutup laptop itu. Tapi jemarinya malah menggulir layar ke bawah.
Seseorang dengan username SingaJkt_98 menulis: Mereka pikir bisa sembunyi? Haha. Amoy-amoy itu akhirnya minta ampun juga. Tapi dasar mereka... tetap jual mahal sampai akhir.
Lien menggigit bibir. Matanya mulai panas. Tapi bukan hanya karena marah melainkan juga karena sesuatu dalam dirinya mulai goyah karena baginya realitas ini terlalu berat.
Selama ini ia berpikir yang jahat itu hanya segelintir orang. Tapi sekarang ia melihat betapa banyaknya orang yang ikut serta. Atau... ikut menertawakan. Dan yang paling menakutkan: tak ada satu pun dari mereka yang merasa bersalah.
Tangan Lien dingin seperti es bergerak sendiri menekan klik. Halaman itu langsung terbuka seketika dan deretan komentar masuk dengan cepat, menumpuk di layar seperti peluru. Satu demi satu muncul, kalimatnya kasar, penuh amarah, dan kesombongan liar.
[AmukanPribumi]: Gue masih inget. Waktu itu umur gue masih 19. Kita konvoi jalan kaki rame rame dari gang salak ke arah pecinan. Awalnya cuma ikut ikutan rusuh, lempar batu. Tapi lama-lama... toko-toko mulai dibakar. Ada satu ruko yang pintunya kebuka setengah, kayaknya ada yang masih di dalem. Kita langsung masuk bareng-bareng, gak taunya malah ketemu amoy kimcil yang lagi nangis ketakutan. Ya udah kita sikat aja rame rame.
Lien memegangi dadanya. Rasanya jantungnya berdebar terlalu keras dan hampir meledak seakan tiap kata itu langsung menusuk kulitnya.
[BantaiSampaiPuas]: Gue inget ada amoy pake kacamata gemeteran di bawah meja kasir tokonya. Kita seret paksa keluar. Dia jerit jerit ketakutan. Gue yang pertama nancep. Temen-temen gue nungguin giliran sambil ketawa. Suara erangannya gak bakal gue lupa seumur hidup.
[Amuk_Massa]: Sumpah gua pengen balik ke masa itu. Bebas banget !! Siapa yang bisa tahan liat amoy-amoy putih mulus ditelanjangin ditengah jalan.
[JilmekAmoy]: Ada yang punya footage original dari pasar jambu ? Katanya di sana banyak yang digiring ke belakang toko. Ada amoy cewek SMA cakep banget yang diseret rame rame sama massa sampe bajunya robek semua. Gue denger video aslinya setengah jam. Tapi gue cuma punya potongan 2 menit.
[Asap_Kerusuhan]: Gua cuma sempat nonton yang di dekat perempatan jalan. Ada enci enci seksi nangis sambil tutupin dada. Gila sih. Mukanya oriental banget. Cantik udah kayak bintang iklan sabun.
[Pesta_Penjarah]: Kalian kayaknya serius banget nyari rekaman asli. Mau barter file? Gue punya full footage. Tapi hati-hati kalau sampe beneran nonton, kalian ga akan pernah bisa balik jadi orang biasa lagi.
[Komentar Lain]: Gue masih simpen kasetnya cuma belum pernah berani muter lagi. Ada satu yang masih kecil banget, masih pake seragam putih biru. Yang nangisnya itu lho... aduh..
[Balasan dari pengguna lain]: Jangan di-publish sembarangan. Yang kayak gitu sekarang bisa bikin kita ditangkep tapi kalau lo punya... PM gue ya.
Lien menutup laptop dengan cepat. Kepalanya pening dan ruangan terasa sesak. Napasnya terengah. Ia merasa seperti sedang tenggelam bukan di dalam air tapi di dalam lumpur pikiran manusia yang tak tahu batas kemanusiaan. Dan yang paling menyakitkan: ia tahu video itu nyata. Ia pernah melihat salah satunya. Ia tahu, korban-korban itu bukan tokoh fiksi. Mereka adalah gadis-gadis sungguhan. Seperti Lilian. Seperti... dirinya sendiri.
Sore itu setelah pulang sekolah Lien langsung masuk kamar dan mengunci pintu. Ia tak sempat berganti seragam. Laptopnya sudah menyala sebelum dia sempat melepaskan dasi seolah tubuhnya bergerak sendiri, otaknya dikaburkan oleh kabut yang pekat. Kabut dari rasa ingin tahu yang bercampur takut dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Lien masuk ke forum gelap itu lagi. Dunia anonim tempat ia merasa takut sekaligus jijik dan tertarik. Satu postingan baru muncul paling atas dan judulnya membuat Lien penasaran.
Lien menggigit bibir. Ia tahu ini akan buruk dan mengerikan tapi ia tetap mengekliknya.
Komentar-komentar dan potongan gambar buram bermunculan. Berbeda dari sebelumnya, kali ini kata-katanya jauh lebih kasar, lebih brutal tapi yang lebih menyakitkan adalah lebih rasis bahkan beberapa diantaranya memposting foto foto wajah korbannya untuk dikomentari sesama anggota forumnya.
Komentar demi komentar muncul, cepat, seperti peluru yang menembus dada.
[BayanganGelap]: Yang di foto nomor enam mukanya paling cakep bro. Muka cinanya keliatan kalem banget, malah itu yang bikin perusuh pada penasaran. Gue yakin waktu itu pasti banyak yang rebutan. Nggak mungkin lepas !!
Lien membaca kalimat itu sambil menahan napas. Rasanya perutnya mual. Wajah gadis di foto nomor enam tiba-tiba terasa begitu nyata, seolah sedang memohon lewat layar agar dibebaskan dari tatapan mata-mata kejam para komentator.
[LemparBatu]: Bener banget, bro. Yang mukanya kalem malah paling banyak dicari. Soalnya kalau nangis keliatan makin lemah. Dulu orang-orang pada bilang: ‘Cari amoy yang paling bening duluan!’ Gue inget banget gimana orang-orang dijalanan teriak teriak kayak kesurupan.
Lien teringat rekaman video yang ia lihat siang tadi di lapak DVD bajakan. Suara jeritan perempuan, kepulan asap, dan teriakan massa kini berdengung di kepalanya.
[SeretKeluar98]: Gue inget amoy yang di foto enam juga. Dia waktu itu pulang naik mobil, tapi dicegat massa di tengah jalan. Mobilnya digedor-gedor, kacanya dipukul pake kayu sama batu. Begitu pintunya kebuka, langsung rame rebutan narik dia keluar. Orang-orang dorong-dorongan kayak mau liat dia dihukum bareng-bareng. Dia cuma nangis kayak udah pasrah mau diapain.
Lien menggigit bibir bawahnya. Ada rasa sakit, rasa marah, sekaligus rasa bersalah entah pada siapa. Setiap kalimat yang ia baca seolah menguliti luka yang selama ini berusaha ia tutupi.
[AmarahPribumi]: Nggak ada belas kasihan waktu itu. Mau masih anak sekolah juga tetep dihajar. Biar tau rasa. Amoy-amoy itu sok kaya, sok cantik. Mei 98 nunjukin siapa yang punya kota. Gue nggak akan lupa ekspresi mukanya amoy nomor enam waktu itu… kayak udah pasrah mau mati.
Tiba-tiba Lien teringat akan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya. Dasi yang melonggar di lehernya kini terasa mencekik. Ia menatap pantulan wajahnya di layar: pucat, mata sembab, dan seolah menjadi salah satu wajah yang mereka bicarakan.
Lien menghapus air matanya yang jatuh satu per satu. Suaranya tercekat, hanya sanggup berbisik ke dirinya sendiri: Kenapa kalian begitu benci…?
Tapi layar hanya terus menampilkan komentar-komentar baru. Kata-kata kebencian tak henti mengalir, memenuhi halaman seperti hujan yang tak berhenti menetes. Lien menahan napas saat membaca komentar baru yang muncul di layar. Jantungnya berdegup makin keras, seolah ingin melarikan diri dari dadanya.
[ApiJalanan]: Gue denger amoy yang ada di foto nomor enam itu katanya sekretaris direktur perusahaan besar di daerah sigma. Badannya katanya tinggi, kulit putih mulus, muka oriental banget. Katanya sih tiap hari bajunya rapi, kayak orang kantoran. Makanya waktu ketangkep banyak yang kaget soalnya nggak nyangka kalau cewek kantoran banyak yang kejebak juga.
[LumutHitam]: Bener tuh bro. Gue juga pernah denger. Dia kabarnya kerja di perusahaan multinasional. Waktu itu dia lagi mau pulang kerja naik mobil sedan mewah tapi malah kejebak kerusuhan.
[SeretKeluar98]: Justru karena dia keliatan orang kantoran, makin bikin massa penasaran. Waktu kayak gitu nggak ada bedanya lo siapa. Mau anak sekolah, mau sekretaris direktur, sama aja dihajar rame-rame.
Lien menelan ludah, kerongkongannya terasa kering. Di kepalanya muncul bayangan seorang perempuan muda berjas hitam, rambut terikat rapi, wajahnya pucat ketakutan. Ia mencoba mengusir bayangan itu, tapi malah makin jelas.
[AmarahPribumi]: Gue inget cerita orang. Katanya waktu itu dia sempet teriak-teriak bilang dia orang pribumi, bukan cina. Suaranya gemetar, kayak orang udah putus asa. Tapi massa malah makin ngamuk. Soalnya dari matanya sipit sama kulitnya putih, udah ketahuan banget dia cina. Orang-orang teriak, ‘Jangan ngaku-ngaku!’ Terus langsung ditarik rame-rame ke tengah jalan. Katanya makin dia nangis bilang dia pribumi, makin banyak yang narik bajunya, makin banyak yang dorong-dorong dia. Waktu itu, nggak ada belas kasihan.
Lien mengusap air mata yang kini menetes deras. Semua kata-kata itu terasa seperti cambuk yang mencabik-cabik dadanya. Kalau aku yang ada di sana… apa aku juga akan mereka perlakukan begitu.. ?!! pikir Lien dengan ngeri. Tapi komentar demi komentar terus bergulir di layar dan tak ada tanda akan berhenti.
[SisiGelap98]: Kita cuma ngambil balik hak kita. Mereka enak-enak dagang emas, lebih kaya dari kita. Jadi wajar waktu rusuh kita semua bakalan ambil yang berharga termasuk anak gadisnya.
[Penikmat_Amoy]: Ada satu yang lari keluar dari jendela ruko. Kaki dan tangannya luka kena kawat duri. Tapi dia tetap lari. Sayangnya waktu di gang belakang dia jatuh. Satu orang yang nemu duluan lalu sisanya ikut gabung. Waktu kami selesai, dia udah gak teriak lagi. Mungkin udah mampus !!
[LaskarPribumi]: Kita masuk toko emas dari pintu samping pasar. Semua udah hancur. Tapi di ruang belakang ada dua orang cewek. Satu tua, satu muda. Yang muda cuma bisa gemetar sambil panggil ‘Mama, Mama’. Tapi mamanya udah diem dari tadi. Yang muda langsung kita banting kelantai, dipegangin tangannya sama anak anak buat digilir didalam toko emasnya.
[TukangRusuh]: Gue masih inget jelas bau di lantai dua ruko itu. Kayak campuran parfum remaja, asap, dan bensin. Amoynya ada yang sempet ngomong pake bahasa cina waktu digiring ke luar. Suaranya kecil memelas banget tapi itu yang bikin kita semua tambah napsu buat ngejarah badannya yang putih mulus.
[SeretKeluar98]: Waktu itu gue liat sendiri. Amoynya digiring keluar sambil dijambak kasar. Ada yang maksa dia ngomong pake bahasa cina, suruh ngaku dia bukan orang sini. Gue inget banget dia cuma bisa bilang ‘wo bu yao… wo bu yao…’ sambil nangis. Tapi orang-orang malah makin napsu buat ngerjain dia.
[AmarahPribumi]: Bener, bro. Yang gue inget, mereka dipaksa ngomong cina kayak buat ngatain diri sendiri. Biar makin dipermalukan. Gue masih kebayang mukanya waktu itu, takut setengah mati. Padahal mereka selalu ngerasa lebih tinggi dari kita
Lien membaca sambil membeku. Suhu tubuhnya serasa turun beberapa derajat. Tulang punggungnya terasa dingin, seolah ada bayangan hitam berdiri di belakangnya.
Satu komentar lain muncul, membuat matanya langsung membesar
[HancurTotal98]: Ada amoy yang badannya udah telanjang. Dia masih nyoba nutupin badannya pake tangan. Gue injek mukanya biar diem. Pas udah gak nangis lagi, gue ewe sambil cekik lehernya.
[RejengBerantai_98]: Gue inget amoy itu udah berdarah di selangkangan gara gara dijebolin perawannya sama teman gue. Tapi gue tetep masuk. Gue tempelin pisau ke lehernya biar gak banyak gerak. Temen gue rekam semua. Anjir !! peret banget memeknya dan itu yang paling gue suka.
[ApiDanNafsu]: Api di pasar bikin suasana makin panas. Gue sempet goyangin amoy sambil liat toko-toko kebakar. Rasanya kayak dunia lagi kiamat tapi gue menang.Lien memejamkan mata tapi suara-suara itu tetap berdengung di kepalanya. Ia ingin menutup laptop tapi juga ingin membaca lebih jauh. Mencari tahu siapa mereka dan membongkar semua kebiadapannya. Tapi juga... entah kenapa sebagian dirinya merasa... hanyut dalam gairah.
Lien merasa terjebak didalam gairah asing
Terjebak di antara kemarahan dan kekaburan hasrat. Antara harga diri dan kehancuran batin. Antara ingin melawan dan rasa bersalah karena tak segera menutup mata. Lien menatap layar laptopnya yang memantulkan cahaya pucat ke wajahnya. Di forum tempat ia kini merasa separuh dirinya hidup, muncul satu postingan baru dengan judul tidak mencolok dan hanya tertulis :
[TopengRusuh]: Ini salah satu yang paling langka. Gue inget bus ini ngebelok ke jalan kecil yang sepi terus berhenti agak lama. Si amoy-nya awalnya mau loncat tapi ditarik lagi. Sopir sama kondekturnya malah ikut nyicipin.
[PenumpangGelap]: Gue sempet naik bus itu juga. Waktu rame orang pada ngejar ke dalam. Si cewek cuma bisa peluk tasnya, tapi tasnya malah dibuang keluar jendela. Gak ada yang bantu yang ada malah disorakin rame rame.
[LangitTanpaHukum]: Yang bikin rekaman ini serem adalah suaranya. Cewek itu nangis pelan banget. Kayak gak berani nangis kenceng. Mungkin takut makin parah.
Lien menutup tangannya di depan layar karena tak sanggup membaca lebih jauh. Tangannya gemetar tapi di sela-sela rasa takut dan jijik, ada bagian dari dirinya yang terasa seperti... tenggelam. Lien ingin mengerti tapi justru semakin ia cari, semakin ia kehilangan arah. Lien tahu bahwa video itu nyata. Bukan rekayasa dan yang lebih mengerikan ternyata ada orang yang menyimpannya bahkan membagikannya seolah itu hal biasa.
Seminggu telah berlalu.
Lien semakin jauh terseret. Forum yang dulu membuatnya mual kini menjadi tempat ia kembali setiap malam. Rasa takut, rasa bersalah, dan rasa penasaran telah melebur menjadi satu. Ia membaca tanpa henti. Ia menyimpan salinan-salinan tangkapan layar, menandai nama-nama pengguna yang dianggapnya paling rasis dan kadang ia hanya duduk di depan layar, menatap kosong sambil mendengarkan detak jantungnya sendiri.
Malam itu Lien memutuskan sesuatu yang lebih menegangkan. Dia membuat sebuah akun baru dengan username sederhana dan nyaris seperti ejekan terhadap dirinya sendiri: GadisPecinan_98. Untuk pertama kalinya Lien tidak hanya membaca postingan yang ada. Dia mengetik pelan sebuah komentar dengan kalimat yang membuat jemarinya gemetar.
"Aku gadis keturunan cina. Aku gak tahu kenapa tapi aku gak bisa berhenti baca cerita-cerita kalian. Setiap kata bikin aku merasa seperti aku ada di sana... dan kadang aku gak tahu harus takut atau... ingin tahu lebih dalam. Lien menekan “kirim
Detik-detik berikutnya terasa seperti seabad. Tapi sesuai harapannya dan balasan pun mulai bermunculan.
[PemburuMemek]: Wah.. jarang ada yang berani ngaku kayak kamu di sini. Kamu beneran amoy ?
[BiangRusuh]: Jangan main-main nona. Kalau kamu merasa benar "dari sisi sana. kamu harus siap tahu semua versi ceritanya. Termasuk yang gak pernah ditulis di buku sejarah.
[SisaAsap98]: Lucu !! Biasanya yang kayak kamu tuh marah kalau denger peristiwa 98. Tapi kamu malah... tertarik ?!! Sebenarnya kamu sedang mencari jawaban atau pengakuan ? Atau malah kamu pengen ngerasain jadi korbannya !!
[PenjarahToko]: Jangan pura-pura naif. Kamu tahu kenapa kami cerita di sini. Tapi kamu tetap datang, tetap baca, dan sekarang menulis. Jadi siapa yang lebih haus sebenarnya ?!!
Lien menatap layar dan wajahnya tidak berekspresi tapi di dalam dirinya ada badai yang mengamuk. Ia tak tahu apakah ia sedang menyelidiki... atau sedang membiarkan dirinya hilang. Tapi satu hal pasti: forum itu menggigit balik.
Malam itu lebih hening dari biasanya. Suara jam dinding berdetak pelan menjadi satu-satunya penanda bahwa waktu masih berjalan. Lien kembali duduk di depan layar laptopnya. Tatapan matanya kosong. Tangannya sudah beberapa kali mengetik dan menghapus pesan. Tapi kali ini, ia tak mundur. Ia ingin tahu. Sampai sejauh mana mereka berani, sampai sejauh mana kebencian mereka dan sampai di mana dirinya bisa bertahan dari hujatan rasis yang vulgar.
Dengan jantung yang berdebar kemudian Lien membuka forum gelap itu lagi. Disebuah ruang diskusi yang paling aktif lalu gadis itu membuat sebuah postingan baru.
Judul: Kalau aku amoy yang ada ditahun '98 itu... apa yang akan kalian lakukan padaku ?
Pesan pembukanya terkesan singkat tapi cukup untuk mengundang badai birahi dari para anggota forumnya.
[GadisPecinan_98]: Aku tahu kalian suka cerita tentang kami. Para gadis keturunan tionghoa. Jadi coba kalian bayangkan hal ini: aku di pojok toko, sendiri. Aku tidak lari. Aku tidak menjerit. Aku hanya... menatap kalian. Apa yang akan kalian lakukan ?!!
Butuh waktu beberapa menit. Lalu balasan pertama muncul dan disusul puluhan balasan lainnya.
[LangitLiar]: Jadi kamu mau tahu rasanya jadi bagian dari sejarah ? Jangan salahkan kami kalau kamu nggak kuat dengan jawabannya.
[TukangJarah98]: Kalau kamu benar dari golongan itu... berarti kamu sudah berhutang dan forum ini adalah tempat kami menagih !!
[AmukanRakyat]: Pojok toko ? Sendiri ? Itu artinya kamu sudah pasrah. Jangan harap bisa selamat !! Ingat pada hari itu nggak ada yang namanya belas kasihan !!
[PestaRusuh]: Kamu tahu apa yang terjadi pada yang nggak bisa lari ? Mereka bukan diselamatkan. Mereka diam karena tahu... mereka bagian dari hadiah.
Lien membaca satu per satu. Kata-kata itu menusuk. Tapi ia tak menoleh. Tak menutup layar. Sebaliknya Lien malah membalas
[GadisPecinan_98]: Mungkin amoy seperti aku memang layak mendapatkannya. Tapi aku ingin dengar dari kalian. Teruskan. Jangan tahan !! Aku mau tahu seberapa besar hasrat dan kebencian kalian !!
Sekali Lien menekan tombol "Kirim, seolah pintu neraka baru saja terbuka. Notifikasi balasan langsung meledak. Satu demi satu muncul. Terasa lebih brutal, lebih vulgar dan lebih sadis daripada sebelumnya.
[LangitLiar]: Gua bakal jambak rambut lo, seret ke lantai. Lo teriak pun orang-orang cuma nonton. Karena lo amoy. Barang langka. Saat itu lo bukan manusia lagi. Lo cuma barang jarahan !!
[TukangJarah98]: Lo sipit belaga suci. Padahal lo semua babi rakus. Dulu toko lo gue jarah. Sekarang gue mau lo jadi lonte digilir sampe mampus !!
“Gua pernah liat mata kayak lo. Nangis… tapi tetep diliatin. Gua bakal pastiin lo ngerasain rasanya badan lo dipegang rame-rame sampe lo nggak tau kontol siapa yang ada di dalem memek cina lo !!
[MeiBrutal98]: Lo bilang lo layak ? Bagus !! Gua bakal iket tangan lo di rak toko. Biar semua orang yang lewat bisa liat. Biar yang lain juga nyobain. Biar lo nggak lupa lo siapa. Amoy = Hadiah. Dan lo hadiah buat kita semua.
Mata Lien bergetar membaca setiap baris. Lambungnya seperti diremas. Keringat dingin membasahi leher. Namun ia tidak memalingkan muka. Ada sesuatu yang membuatnya terus membaca, meski napasnya pendek-pendek.
Ia menaikkan tangannya ke bibir, menggigit ujung kukunya. Setiap kata terasa seperti tamparan di wajahnya—pilu, jijik, sekaligus memancing rasa yang tak ia pahami. Jantungnya memukul-mukul dadanya, seolah menuntutnya berhenti. Tapi ia tidak berhenti dan tangannya mengetik balasan:
Dan dalam waktu singkat balasan datang dengan cepat seperti air bah membuat jantung Lien beerdeg kencang.
[PribumiMengamuk]: Puas? Cina sipit kayak lo nggak cukup buat matiin dendam kita. Habis lo, kita bakal cari amoy lain. Pecinan penuh stok lonte buat diganyang !!
[BajinganPasar]: Setelah lo, gua bakal cari yang lain. Tapi gua bakal inget muka lo. Gua bakal save nama lo. Lo bakal jadi legenda di forum ini. ‘Amoy yang ngajak sendiri.
Tapi Lien tetap menatap layar. Ia tidak mengalihkan pandangannya dan tidak mematikan laptopnya. Ada kilatan aneh di matanya—campuran ngeri, rasa tertantang, dan gairah yang terlalu dalam.
Jari-jarinya bergerak lagi. Mengetik. Padahal ia tahu, setiap balasan hanya akan memanggil lebih banyak kebencian.Namun di dalam sunyi kamarnya, Lien justru berbisik seakan bicara pada layar:
"Terus saja. Aku ingin..
[OborPecinan]: Gue mau lebih banyak lagi. Lo harus jadi hadiah buat semua yang dulu bakar toko-toko lo. Cina sipit kayak lo cuma barang jarahan !!
Lien terpaku menatap layar laptop. Dadanya berdegup kencang, napasnya terputus-putus. Jemarinya gemetar di atas keyboard. Wajahnya pucat, matanya basah tapi tak berkedip. Kata-kata kasar itu terus terngiang di kepalanya. Ia menelan ludah, perutnya mual. Tapi meski tubuhnya gemetar, Lien tak menutup layar. Pelan-pelan, ia mengetik balasan.[JarahPecinan]: Nggak ada hitungan, Amoy! Semakin banyak makin bagus. Biar lo nangis darah, babi sipit. Gue mau liat muka lo pas lo sadar lo nggak bakal bisa lari, pas badan lo digilir puluhan orang, satu-satu numpang puas. Lo pikir cukup sepuluh orang? Nggak cukup. Gue mau lo diseret keluar toko, dijambak rambut lo, baju lo disobek sampe lo telanjang. Biar semua orang di Pecinan nonton lo dijadiin barang rusuh. Lo semua kudu ngerasain sakitnya diganyang, biar lo inget selamanya kalau cina sipit kayak lo nggak pernah punya tempat di sini!
[AnjingRusuh]: Gue bilang satu pasar aja kurang. Lo harus dinikmatin kayak jarahan. Lo tuh babi sipit, pantas dihabisin rame-rame !!
[LumpurMei]: Banyakin aja. Seratus, dua ratus, gue nggak peduli. Lo itu cuma amoy babi !! Badan lo yang putih itu harus dipake buat lunasin dendam rusuh kita !!
“Semua orang bakal antre buat lo. Biar tiap jengkal badan lo ninggalin bekas sperma. Biar lo nggak pernah lupa rasa takut. Lo bakal jadi cerita turun-temurun di kampung kami.
[GangbangDiaspal]:
“Lo pikir bisa milih jumlah? Kalau rusuh kejadian lagi, lo bakal diseret kayak bangkai. Nggak peduli lo pingsan atau masih sadar. Orang-orang bakal terusin sampe lo nggak keliatan lagi kayak manusia.”
Lien meremas sisi laptopnya. Wajahnya kini benar-benar pucat. Suaranya tercekat di tenggorokan, seolah kata-kata berikutnya terlalu mengerikan untuk diucapkan.
"Apa yang salah denganku…? pikirnya.
[GadisPecinan_98]: Emang… ada amoy yang digilir orang sebanyak itu waktu kerusuhan ?!!
[DobrakPecinan]: Jangan pura-pura nggak tau! Banyak Amoy di Pecinan dulu diperkosa belasan, puluhan orang. Lo mau bukti? Tanya aja yang selamat, kalau masih berani ngomong!
[JarahPecinan]: Waktu rusuh, siapa aja ikutan. Preman, orang kampung, tukang dagang. Semua dapet jatah. Lo babi sipit, lo kira nggak mungkin? Banyak yang digilir sampe pingsan!
[GedorRumah]: Emang lo pikir dulu aman? Banyak Amoy yang digilir rame-rame. Nggak peduli siapa lo. Badan lo buat barang puas massa. Lo semua cuma barang rampasan di mata kita waktu itu.
[JarahPecinan]: Waktu rusuh, siapa aja ikutan garap. Preman, tukang sayur, anak kampung. Amoy kayak lo digilir sampe pingsan. Memek dijarah !! Bo’ol lo didobrak, dijadikan lubang buat pelampiasan!
[TukangJarah98]:
"Karena seru nona. Karena lo nggak tau rasanya ngejarah badan amoy waktu lagi chaos. Semua orang bebas. Nggak ada hukum. Nggak ada polisi. Lo bisa lakuin apa aja yang lu suka !!
[LangitLiar]: Dan yang kayak lo… yang nanya-nanya sambil deg-degan gini… biasanya paling pengen ngerasain rasanya.
[GadisPecinan_98]: Tapi sampai sekarang aku masih ragu sama omongan kalian. Apa bener mereka diperkosa oleh orang sebanyak itu ?!!
“Bener. Lo pikir kenapa banyak keluarga Tionghoa trauma sampe sekarang? Ada yang kabur ke luar negeri. Ada yang diem aja, malu, nggak mau cerita ke siapa-siapa. Malah banyak amoy yang hilang nggak ketemu kuburnya.”
Lien membeku. Dadanya naik-turun cepat, seperti dicekik udara dingin. Jari-jarinya bergetar hebat. Rasa takut menancap tajam di dadanya… tapi juga sesuatu yang gelap, samar, yang menyeret pikirannya ke jurang tak terjelaskan. Ia mengusap wajahnya, pelipisnya basah oleh keringat dingin. Suara hujan di luar terdengar makin keras, seperti ribuan jari mengetuk kaca jendela. Lalu, sebelum otaknya sempat menyusun logika, jarinya kembali mengetik:
[GadisPecinan_98]: Emangnya kalo aku beneran amoy… kalian mau berbuat apa sama aku…?!!
Pesan itu terkirim. Layar laptop menampilkan tanda “sedang mengetik…” beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Lalu balasan muncul — cepat, liar, membekukan darahnya.
[TukangJarah98]:
“Mau kita buru kayak hewan. Kita tarik lo dari tempat ngumpet lo. Kita paksa lo lihat kota kebakar lagi… sambil lo teriak teriak minta ampun.
[LangitLiar]: Gue mau lo ngerasain gimana rasanya jadi cerita kita !! Biar lo tau gimana rasanya diburu sama banyak orang yang membenci lo dan gak ada satu pun yang mau nolong lo.
Lien menatap layar. Tulisan itu seperti luka yang terbuka, menganga, meneteskan rasa ngeri. Jari-jarinya gemetar begitu keras hingga hampir tak mampu mengetik. Di luar, kilat menyambar, menerangi kamar gelapnya sekejap. Lalu gelap lagi — lebih gelap dari sebelumnya.
Gairah Lien semakin membara, membakar saraf-sarafnya. Dadanya terasa sesak, seolah jantungnya menabrak tulang rusuk. Jemarinya tak berhenti bergetar. Tadi ia masih berniat mencari kebenaran soal Lilian, kakaknya yang hilang waktu kerusuhan. Tapi sekarang… Ia bahkan tak peduli lagi.
Pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan kotor. Wajah-wajah liar. Tangan-tangan kasar. Suara rintih dan jerit. Semuanya berbaur jadi satu adukan rasa takut, jijik, dan anehnya… gairah yang mendesak dari dalam dirinya.
Dengan tangan gemetar, Lien membuka folder foto pribadinya. Ia memilih satu foto selfie di kamarnya, dengan keadaan rambut panjang terurai, wajah sedikit miring, bibir basah terbuka sedikit. Matanya yang sipit menatap kamera dengan sorot memelas. Sebelum bisa menahan diri, ia klik Send.
Foto itu meluncur ke chat forum. Seketika muncul notifikasi Image uploaded successfully. Jantung Lien seperti meledak. Bagaimana bisa dia semudah itu mengirimkan identitas aslinya kepada gerombolan binatang buas. Ada rasa panik tapi juga rasa puas yang luar biasa.
Ia mengetik dengan napas terengah terbakar oleh gairah asing yang semakin meledak dalam dirinya.
Tak butuh waktu lama, sejumlah balasan datang membanjiri layar:
[TukangJarah98]: Kita pasti cari lo duluan. Gua pengen liat lo lari, sambil nangis. Gua pengen denger lo manggil-manggil nama orang tua lo, kayak dulu cewek-cewek itu. Tapi nggak ada yang berani nolong lo. Semua orang pura-pura nggak liat.
LangitLiar]: Kita nggak bakal lupa muka lo. Muka cina lo. Nggak bakal kelupaan. Bahkan kalo lo ngumpet ke kota lain, ganti nama. Kita bakal nemu lo. Karena rasa takut lo sendiri yang bakal narik lo balik ke kita.”
Lien menunduk. Air mata menetes di pipinya, panas, berkilat dalam cahaya layar. Tapi jarinya masih bergerak, seperti dikendalikan oleh sesuatu yang lebih kuat daripada rasa takut. Ia mengetik dengan napas terengah:
[GadisPecinan_98]: Kenapa kalian semua pengen aku kayak gitu…? Kalian nggak kasian…?”
[TukangJarah98]: Kita nggak peduli !! Gak kasian sama sekali.
[RakusMaut]: Cina sipit seperti Lo emang cocok banget jadi korban. Biar lo tau rasanya ketakutan kayak cewek-cewek yang kena jarah waktu kerusuhan.
Lien menutup mulutnya, menahan isak. Tangannya bergetar di atas keyboard. Kamar terasa sempit. Napasnya seperti tak bisa masuk penuh ke paru-paru.
Tapi ia tak menutup laptop. Dan entah kenapa, ia mengetik lagi.
[GadisPecinan_98]: Kalo aku nangis, apa kalian bakal berhenti…?
Balasan muncul cepat, seperti pisau yang menusuk:
[LangitLiar]: Gue malah makin nafsu liat lo nangis. Gua bakalan rojok kasar memek lu pake gagang sapu biar lu makin kesakitan. Makin kenceng lu ngejerit makin kenceng gue sodokin memek lu.
[TukangJarah98]: Nggak bakal berhenti. Nangis lo malah bikin kita makin gila. Kita bakal genjot semua lubang dibadan lu secara bersamaan sampe lu kagak bisa nangis lagi.
[RakusMaut]: Lo nangis darah pun kita lanjut. Sekali jatuh ketangan kita maka tubuh lu akan jadi milik kita selamanya. Kita bakal gunain badan lu buat puasin napsu penjarah penjarah yang berkeliaran dijalan.
Lien menatap huruf-huruf di layar, rasanya seperti tercekik. Tapi jemarinya tetap terpaku di keyboard. Karena kini, rasa takut dan gairah gelap itu sudah menelannya bulat-bulat. Lien menatap layar dengan mata merah, napasnya tersengal. Jemarinya mengetik dengan cepat, seolah tak sempat dipikir ulang:
[GadisPecinan_98]: Aku tidak takut. Kalian semua cuma penipu Buktinya mana kalo kalian beneran pernah perkosa perempuan cina waktu kerusuhan ?!!
Forum hening beberapa detik. Lien menggigit bibir, jantungnya berpacu keras. Lalu notifikasi muncul satu demi satu.
[TukangJarah98 mengirim video]
[LangitLiar mengirim video]
[RakusMaut mengirim video]
Thumbnail video-videonya saja sudah membuat Lien merinding: gambar perempuan berwajah oriental, baju tersingkap atau terlepas, tubuh penuh luka. Jeritan samar-samar terdengar saat Lien memencet salah satu video.
Ia melihat sekelompok pria menyeret seorang gadis muda bermata sipit ke dalam sebuah bus tua yang dipenuhi penumpang. Kamera bergetar hebat. Banyak suara laki-laki tertawa, sementara gadis itu menjerit ketika bajunya disobek paksa. Tubuhnya ditindih bergantian diatas bangku bus.
Lien menutup mulutnya, tubuhnya gemetar. Tapi matanya tetap terpaku ke layar.
Kali ini di atas jembatan layang. Gadis berambut panjang, digiring sekumpulan lelaki. Roknya ditarik kasar. Kakinya ditendang hingga terjatuh. Lalu tubuhnya digilir di lantai beton jembatan, sementara kendaraan melaju di bawahnya.
Lien merasakan seluruh tubuhnya gemetar hebat. Gairahnya meledak tak tertahankan Suara jeritan gadis itu seolah langsung menembus dadanya, mencengkram jantungnya ketika gerombolan perusuh itu secara bergantian menggilir tubuh putihnya diatas aspal jalanan.
“Tolong… tolong… ada orang… tolong aku…”
Namun kerumunan justru makin riuh. Seorang pria mengangkat tangan ke kamera, berkata dengan napas terengah:
“Liat ini, rekam baik-baik. Biar anak cucu tau. Cina-cina nggak bakal aman di negeri ini!”
Klik. Video ketiga.
Sebuah pasar tradisional. Kios-kios penuh dagangan. Gadis-gadis berwajah oriental, sebagian menangis, sebagian hanya menatap kosong, ditelanjangi dan digilir puluhan lelaki di lorong sempit. Orang-orang menonton, beberapa bahkan merekam dengan ponsel atau handycam.
Lien menahan muntah. Tapi rasa panas di dadanya makin menjadi. Ada rasa takut, jijik… dan keinginan untuk terus melihat.
Hampir seketika balasan muncul di forum:
[TukangJarah98]:
“Biar lo ngerti. Biar lo tau kita nggak cuma cerita doang.”
[LangitLiar]:
“Biar lo kebayang rasanya. Karena lo penasaran, kan? Lo yang nanya. Sekarang lo nggak bisa pura-pura nggak tau.”
[RakusMaut]:
“Kita mau lo tau: kalau rusuh kejadian lagi, lo yang bakal ada di video kayak gitu.”
[LangitLiar]: Gimana, cantik? Masih bilang kita cuma penipu ?”
TukangJarah98]: Setelah nonton semua video itu Lo bakal keinget suara jeritannya cewek di video. Lo bakal mimpiin mata sipitnya yang kosong. Dan lo bakal kebangun tengah malem, keringetan, sambil mikir: ‘Giliran gua kapan?’”
Lien menelan ludah. Tubuhnya lemas. Ia tak sanggup mengetik. Tapi kemudian muncul pesan lain, lebih menusuk:
[TukangJarah98]: Sekarang lu jawab. Lu mau diperkosa dengan cara apa?”
Lien terpaku. Kepalanya pening. Seolah seluruh dunia berputar. Jari-jarinya gemetar di atas keyboard.
Tapi balasan muncul secepat kilat:
[RakusMaut]: Lu mau di jalan rame-rame? Di dalem mobil? Di pasar? Di kantor polisi kayak beberapa cewek waktu itu?
[LangitLiar]: Gua mau lu diikat di jembatan. Biar mobil lewat di bawah sambil nonton. Lo jerit-jerit di atas sana.”
[TukangJarah98]: Atau lo mau di kereta, kayak video yang gua kirim? Biar semua penumpang ngeliat lo digilir.
Lien terisak. Air matanya mengalir. Tapi di sela tangis, ia masih mengetik.
[GadisPecinan_98]: Kenapa… kalian mau banget aku kayak gitu…?
[LangitLiar]: Karena lu amoy. Karena muka lu manis banget. Karena liat lu takut bikin kita makin keras.”
[TukangJarah98]: Dan lu sendiri yang dateng ke sini. Lu yang nyari kita. Artinya lu mau, kan?”
Lien memejamkan mata, menahan napas. Suara detak jantungnya terdengar begitu keras di telinganya. Dan di lubuk hatinya yang terdalam, ia tahu: dirinya sudah terperangkap terlalu jauh di dunia gelap ini. Lien masih terisak ketika notifikasi lain bermunculan. Deretan nama anggota forum mengirim link dan file video baru.
[TukangJarah98 mengirim video]
[LangitLiar mengirim video]
[RakusMaut mengirim video]
Thumbnail-nya saja membuat tangan Lien langsung dingin. Salah satu video memperlihatkan kerumunan besar orang berteriak sambil membawa kayu, linggis, dan botol.
Dengan jari gemetar Lien mengeklik salah satu video. Gambar langsung berguncang hebat. Kamera seperti direkam sembunyi-sembunyi. Terdengar jeritan “Bakar! Bakar!” dan umpatan rasis.
“Bangsat Cina!”
“Amoy cuma buat dipake rame-rame!”
Di layar, pagar besi sebuah rumah mewah roboh dihantam linggis. Massa tumpah ke halaman. Barang-barang rumah dilempar ke jalan: TV, kulkas, lemari. Api mulai menjilat gorden.
Lalu kamera beralih ke halaman depan rumah. Seorang wanita Tionghoa—usia sekitar 40-an—terguling di atas paving block, baju koyak, tubuhnya dicekik dan ditindih beberapa pria bergantian. Suara tangisnya parau, hampir tak keluar.
“Cina lonte! Enak nggak, hah?!” teriak salah satu pria sambil menampar wajahnya keras-keras.
Di sela jeritan tiba tiba terdengar suara anak menangis histeris dari dalam rumah. Lien menutup mulutnya. Air matanya tumpah deras tapi ia tetap beru untuk menonton.
Seorang gadis belasan tahun, tubuh kurus, rambut panjang acak-acakan, dipegangi oleh dua orang di atas ranjang. Tangannya ditahan di atas kepala. Ada belasan pria mengelilinginya, beberapa sudah telanjang dari pinggang ke bawah. Gadis itu meraung, kakinya menendang liar tapi tubuhnya tak bergerak di bawah cengkeraman tangan-tangan kasar.
"Anjing nih amoy! Liat nih! Biar tau rasanya jadi barang jarahan !! Teriak salah seorang pria sambil tertawa keras.
Tiba-tiba kamera beralih ke kamar mandi. Pintu terbuka setengah. Seorang gadis lain, lebih muda, mungkin masih awal remaja, setengah telanjang, dipaksa membungkuk di bawah pancuran air. Dua pria menggenjotnya dari belakang. Gadis itu terisak, suaranya nyaris hilang.
“Lonte cina kayak lo cuma pantas di WC!” kata salah seorang pria sambil menampar bokongnya.
Suara-suara pria lain bersahutan saling tertawa dan meneriakkan umpatan rasis.
Lien merasa seolah dunia berputar. Pandangannya kabur oleh air mata. Tapi ia tidak mematikan video. Dadanya naik-turun cepat. Jari-jarinya bergetar hebat.
Di sela kebisingan suara video, muncul satu pesan baru di forum:
[TukangJarah98]: Lu mau digilir kayak yang di video? Di halaman? Atau di kamar? Atau di WC ?!!
[LangitLiar]: Lu pilih sendiri, Nona. Biar kita wujudin buat lu. Lo mau dihalaman depan, ditonton satu kampung, atau lu mau diem-diem di kamar kayak anak itu?”
[RakusMaut]: Bilang aja. Mau digilir berapa orang? 5? 10? Seratus juga bisa. Biar lo mampus keenakan.
Lien menatap layar dan air matanya jatuh tanpa henti tapi ada denyut aneh yang berdebar di pangkal pahanya seakan ingin melawan rasa ngeri yang mencekiknya. Ia mengetik, suaranya dalam kepala hampir tak dikenali sendiri:
Balasan muncul secepat kilat.
[TukangJarah98]: Nggak bakal. Makin kenceng lo jerit, makin kita keroyok. Kita bakalan gilir memek lu sampe ledes dan lu cuma bisa menggeliat geliat kesakitan karena gak bisa melawan.
[LangitLiar]: Asal lu tau aja nona. Tangisan lo tuh hiburan buat pribumi. Lo gak bakalan bisa berhenti menangis karena semalaman badan lu bakal kita garap habis habisan, toked lu kita remesin dan memek lu kita colokin pake jari tangan rame rame.
[RakusMaut]: Meskipun lu nangis darah sekalipun, kita semua bakalan tetep gantian ngegilir tubuh putih lu. Karena lu amoy dan karena itu udah jadi nasib lo.
Lien memeluk tubuhnya, gemetar hebat. Pandangan kosong ke layar yang masih memutar suara tangis dan jeritan perempuan Tionghoa. Dan ia sadar sebuah bagian dari dirinya telah tenggelam terlalu dalam di kegelapan malam itu. Gairah Lien makin meledak ketika notifikasi lain muncul.
[LangitLiar mengirim video]
Thumbnail video hanya menampilkan tangga sempit, lampu temaram, dan bayangan orang berdesakan. Tapi judul file membuat jari Lien langsung dingin:
“Anak pengusaha konveksi digilir di ruko sampe rooftop.”
Dengan dada berdegup keras, Lien mengeklik video. Adegan langsung menampilkan kerumunan perusuh di sebuah ruko. Pintu rolling door terangkat setengah, sebagian bengkok. Para pria masuk sambil menendang rak kain, melempar gulungan tekstil ke lantai.
Di tengah keributan, tampak seorang gadis muda. Usianya tak lebih dari tujuh belas. Tubuhnya kecil, rambut panjang kusut, wajah berlumur air mata. Sisa seragam putih abu-abu robek di bahunya, sedikit menyingkap dadanya. Dia meraung ketika para pria kasar menyeretnya menaiki tangga.
“Naik! Naik, lonte Cina!” teriak salah satu perusuh sambil menjambak rambut gadis itu.
Gadis itu jatuh berkali-kali. Kakinya seperti terkilir dan tertatih tatih ketika berjalan. Tapi para perusuh terus mendorongnya ke lantai dua. Kamera mengikuti dari belakang dalam posisi berguncang hebat.
Di lantai dua, gadis muda itu dijatuhkan ke lantai keramik. Beberapa pria menindihnya, tangan mereka merobek sisa kain bajunya. Jeritannya melengking dan memantul di dinding.
“Ampun… jangan… !! suaranya parau dan hampir tak terdengar.
Salah seorang pria mengangkat gagang sapu plastik sambil tertawa.
“Pake ini dulu bro. Biar lubangnya makin lebar!”
Lien memekik pelan. Dadanya sesak. Namun entah kenapa, rasa panas yang aneh merambat di dalam tubuhnya. Dadanya terasa penuh, putingnya menegang di balik kaos tipis yang ia kenakan. Napasnya tersengal.
Gagang sapu itu didorong ke arah kemaluan tubuh gadis tersebut. Gadis itu menjerit panjang, tubuhnya melengkung. Para pria di sekitarnya tertawa keras, saling sorak.
Alih-alih memalingkan mata, Lien justru menonton lebih dekat. Tangannya meremas sisi meja. Di antara rasa takut dan jijik, ada denyut gairah yang semakin kuat, membuat pangkal pahanya berdenyut.
Video berlanjut. Gadis itu diseret lagi ke tangga. Kamera terus merekam.
Mereka membawanya ke lantai tiga. Di sana, para pria makin liar. Beberapa sudah membuka celana. Gadis itu terisak, suara tangisnya hanya sesak.
“Nangis lo makin enak diliat!” bentak seorang pria sambil menampar pipinya.
Akhirnya gadis itu dihempaskan ke rooftop dengan lantai terbuka menghadap langit malam. Angin berembus kencang, menerpa rambutnya yang basah. Tubuhnya penuh memar, kulit putihnya tampak kontras di bawah sorot lampu. Pria-pria itu mengelilinginya. Seseorang mengacungkan botol plastik besar yang masih setengah berisi cairan.
Gadis itu didorong ke lantai beton, tangan dan kakinya dipegangi oleh empat orang. Dia meronta, menjerit memanggil ibunya. Tapi botol itu didorong ke arah selangkangannya. Jeritannya melengking, menggema di rooftop melayang ke jalanan di bawah tapi gak ada satupun yang peduli karena semua rumah disekit sudah habis terbakar.
“Cina lonte !! Cobain nih kontol kita !! teriak pria lain sambil menindih tubuhnya.
Gadis itu digilir bergantian. Beberapa pria memukulnya sambil memperkosanya dan umpatan rasis bersahutan.
“Biar lo nggak sombong lagi! Anak bos konveksi, hah? Nih lo rasain!”
Lien menahan napas. Air matanya mengalir, tapi tubuhnya gemetar hebat bukan hanya karena ngeri. Dadanya naik-turun cepat. Gairah gelapnya mengalir begitu deras, menyesakkan paru-parunya. Ia menatap layar tanpa berkedip. Pipinya memerah, bibirnya sedikit terbuka.
Pesan baru muncul di forum:
[TukangJarah98]: Lu liat sendiri kan, Nona. Lu mau kayak dia? Mau digilir di rooftop juga? Mau pake botol apa gagang sapu ?!! Kalau pakai botol beling itu botol bakal gue pecahin didalem biar memek lu sobek sekalian.
[LangitLiar]: Atau lo mau kita pindah-pindahin lantai kayak dia? Lu bakalan kita perkosa disetiap sudut rumah tanpa henti. Biar makin dramatis.
[RakusMaut]: Kasih tau aja, lo mau di dalem ruko, di rooftop, atau di tengah jalan. Biar kita wujudin.
Lien terisak tetapi tangannya masih terpaku di keyboard. Di tengah ketakutannya, pikirannya dipenuhi khayalan gelap. Ada rasa ingin disentuh, dipaksa, dihina… yang membuat dadanya makin berdebar tak karuan. Dengan suara tercekat, ia mengetik:
[GadisPecinan_98]: Aku… aku nggak tau… Tapi… kayaknya aku nggak bisa berhenti mikirin semua ini…”
Balasan muncul secepat kilat:
[LangitLiar]: Kita juga nggak bakal berhenti. Lo sendiri yang cari kita.”
[TukangJarah98]:
“Karena lo amoy. Lo cocok banget dijadiin barang rame-rame.”
[RakusMaut]: Dan lo bakal keliatan makin napsuin kalau lagi ketakutan. Biar kita liat lo gemetar kayak cewek-cewek di video.
Lien menatap layar, dadanya terasa sesak. Air matanya jatuh, tapi panas yang menjalar di tubuhnya justru kian membara. Ada getar aneh, campuran takut, marah, dan… sesuatu yang tak mau ia akui.
Dan di lubuk hatinya yang paling gelap, ia mulai meragukan—apakah ia benar-benar ingin berhenti?
Ia masih duduk terpaku di kursi kayu, tubuhnya ringan sekaligus berat. Setiap helaan napas terasa seperti bara yang menari di dada. Suara hujan menampar atap ruko di luar, menciptakan denting cepat seperti derap langkah massa. Tapi bunyi itu terdengar jauh… yang nyata hanyalah layar laptop di depannya.
Jemarinya gemetar di atas keyboard. Deretan balasan anggota forum bermunculan cepat, penuh kata-kata kotor, hinaan, dan ancaman. Mata Lien membacanya satu per satu—dan tak sanggup berhenti.
“Dasar Cina pelacur. Lo pikir kami nggak berani dateng ke rumah lo? Kami bakar kayak ’98!”
“Bilang aja kalau lo ngiler pengen ngerasain apa yang dirasain amoy amoy itu waktu kerusuhan !! Pasti lo mau diarak juga ya ?
Napas Lien terputus-putus. Jantungnya berdegup liar, seolah hendak meloncat keluar dari dadanya. Pipinya panas. Telinganya berdenging. Tapi ada denyut lain—denyut yang membuatnya semakin sulit berhenti.
Tangannya mengetik perlahan. Kata-kata yang muncul membuat dirinya sendiri terkejut.
[GadisPecinan_98]: Aku tinggal di ruko tua kawasan pecinan. Ortuku jualan sembako. Dulu waktu kerusuhan rumah aku juga kena jarah… tapi aku belum lahir waktu itu. Jadi aku nggak sempat ngerasain sendiri kayak apa rasanya…
Beberapa detik hening. Lien memejamkan mata. Ia menelan ludah. Lalu, seolah ada kekuatan gelap yang menuntunnya, ia mulai mengetik lagi.
Balasan muncul tak sampai hitungan detik. Deras. Beringas. Seperti serigala mencium bau darah:
“Gue bawa massa satu truk, bakar toko lo, iket lo di tiang listrik biar semua orang liat! Semua orang yang lewat bakalan gue suruh buat nyicipin badan lu yang putih itu.
Lien tersentak tapi ujung bibirnya justru bergetar seolah hendak tersenyum. Dadanya terasa sesak sekaligus berdegup cepat. Ada sesuatu yang membakar pikirannya seperti rasa takut, rasa jijik… dan rasa yang membuat kulitnya merinding. Di layar satu balasan muncul terlihat pendek namun menusuk:
“Lo Amoy. Lo barang rampasan Pribumi.
Balasan-balasan di forum berdatangan makin deras. Layar laptop Lien berkedip penuh kata-kata kasar seolah gelombang kebencian tak ada habisnya.
“Gue ngiler bayangin lo diarak. Gue pengen lo jalan sambil dibuka bajunya, diteriakin massa. Cina kayak lo cocok diperkosa bareng-bareng. Biar lo kapok. Biar lo tau lo cuma tamu di sini.
“Gue tunggu lokasi lo. Lo bilang di Pecinan, kan? Jangan kaget kalau tiba-tiba ruko lo dirusuh. Biar lo ngerasain juga gimana rasanya Amoy dijadiin mainan rame-rame. Lo pantas!”
Lien membaca semua itu. Matanya panas, tangisnya tak terbendung. Tapi di dadanya, ada denyut aneh—menakutkan sekaligus membuat napasnya terengah. Tubuhnya gemetar. Entah ngeri, entah sesuatu yang lain. Dan di kepalanya berdengung satu kalimat:
“Lo Amoy. Lo barang rampasan Pribumi.”
Layar laptop Lien terus berkedip. Deretan balasan baru muncul—kali ini lebih panjang, lebih gelap, lebih penuh kebencian.
“Lo pikir kita bercanda, Amoy? Lo pikir lo bakal aman ngumpet di ruko lo? Lo enak banget mancing-mancing kayak gini. Kita bisa culik lo kapan aja. Kita bawa lo ke pinggir sungai. Lo tau ga, dulu pas ’98 kita pernah lakuin kayak gitu?”
“Ada rumah gede di pecinan. Cina kaya. Di dalemnya ada emak-emak masih pake daster sama anaknya cewek umur dua belas. Kita jebol pagar rumahnya terus masuk rame-rame, jambak emaknya. Kita perkosa bergilir si encinya di dalem rumah abis itu kita gantung dia di lantai dua pake kabel telepon.
“Anaknya yang cewek, masih kecil banget, tapi putih kayak emaknya, cakep imut kayak boneka, langsung kita seret keluar rumah. Kita bawa ke pinggir kali dekat rumahnya. Kita buka bajunya, kita perkosa rame-rame di pinggir sungai. Dia nangis sampe suaranya abis. Kita tendang tendang terus lemparin dia ke sungai. Biar hanyut. Lo mau rasa kayak gitu, Amoy?”
“Muka lo pasti putih banget. Kalo lo teriak, makin seru. Gue bayangin lo didorong ke tanah, kaki lo dipegangin. Kita gilir lo satu-satu sampe lo nggak bisa jalan. Habis itu kita ikat tangan lo, kita buang ke sungai. Biar lo hanyut kayak bangkai.”
“Dulu tuh asik banget. Liat Amoy amoy pada nangis ketakutan, teriak teriak histeris waktu ditelanjangin. Tapi ujung-ujungnya diem juga setelah digilir rame rame. Nyerah. Nggak ada yang nolong. Polisi juga takut sama massa. Sekarang kita bisa ulangin itu ke lo. Lo udah kasih kita alasan.”
“Lo bilang tinggal di Pecinan? Lo pikir gampang kabur? Kita bisa culik lo pas lo buka toko. Kita masukin lo ke mobil bak. Kita bawa lo ke pinggir sungai. Kita buka baju lo. Kita ratain lo bareng-bareng. Abis itu kita buang lo kayak sampah. Lo kira lo siapa, Cina?”
“Lo tau nggak? Cina semua di sini cuma numpang. Dulu lo belagu, ngumpulin duit, dagang mahal-mahal. Sekarang sekali waktu lo mesti dihancurin. Gue pengen liat lo nangis kayak anak cewek itu. Gue pengen lo diarak, disiksa, disetubuhi sampe badan lo biru semua. Habis itu gue buang lo ke kali. Biar lo hanyut.”
“’98 belum selesai, Amoy. Kita cuma nunggu waktu. Lo mancing-mancing kayak gini, lo yang cari mati. Gue udah bilang. Cina kayak lo, pantesnya jadi barang jarahan pribumi. Lo bukan manusia. Lo cuma barang rampasan yang bebas buat diapain aja !!
Lien membaca semuanya. Pandangannya makin kabur. Tubuhnya terasa gemetar. Ada rasa mual mengaduk lambungnya. Tapi di balik itu, di tempat paling gelap dalam dirinya, denyut aneh itu belum padam—denyut yang membuatnya tak bisa berhenti membaca.
Suara hujan di luar kini terdengar seperti ribuan langkah orang berlari. Dadanya naik turun cepat. Jemarinya memijit bibir bawahnya, bergetar. Lalu ia membaca satu kalimat yang terpampang jelas, seolah diukir di layar:
"Lo Amoy. Lo itu gak lebih dari sekedar barang jarahan !! Kalo lo ilang suatu hari, ga bakal ada yang peduli.
yang begini perlu lanjutan suhu
BalasHapussemoga lanjutannya lien memposisikan dirinya jadi korban trus jadi binal, daripada jadi cerita sadis/kejam
BalasHapusAmoy dan kerusuhan emang gak bisa dipisahkan
BalasHapusMungkin Lien mau ngerasain nikmatnya digangbang pribumi seperti cicinya
BalasHapusWaduh nekat juga nih si Lien. Emangnya gak takut diculik apa sama alumni 98.
BalasHapusJadi gak sabar nunggu Lien digilir sama perusuh.
BalasHapus