Siang itu terik menyengat. Panas memantul dari aspal yang mengelupas, merambat naik lewat sela-sela celana, menampar kulit seperti tangan tak kasatmata. Udara terasa pekat, tertahan di antara bangunan-bangunan tua yang berdempetan rapat. Dindingnya berlumut, catnya mengelupas, dan kabel-kabel hitam menjuntai seenaknya di udara. Di ujung blok bangunan ada asap tipis dari dupa klenteng kecil bercampur bau minyak goreng bekas sarapan, menciptakan aroma yang khas dan pengap.
Di tengah lorong sempit kawasan pecinan lama yang nyaris tak muat dua mobil berpapasan, sebuah Mercedes putih melaju perlahan. Di balik kaca gelapnya, tampak wajah Nathania Halim yang mulus dan bercahaya. Kulit gadis Chindo itu putih bening seperti porselen, lembut dan kontras dengan latar kusam di sekelilingnya. Alisnya tipis terbingkai rapi, bibir merah mudanya tampak alami, seolah tak tersentuh lipstik.
Ia mengenakan tank top krem yang ringan, dibalut outer linen longgar yang mengalir mengikuti gerak tubuhnya tiap kali ia mengerem atau memutar setir. Celana jeans putih yang membalut tubuh rampingnya memantulkan sinar matahari, membuat sosoknya tampak mencolok di tengah barisan ruko tua yang kelelahan dimakan waktu.
Nathania bukan gadis sembarangan. Ia desainer interior lulusan luar negeri, kini menangani proyek-proyek rumah pribadi dan galeri butik kelas atas. Gayanya eklektik dan taktis, memadukan elemen warisan budaya timur dengan estetika kontemporer. Setiap minggunya ia datang ke toko furnitur antik yang tersembunyi di antara barisan ruko tua pecinan ini untuk mencari kursi kayu ukir, cermin peranakan, atau laci tua dengan warna cat yang sudah retak.
Ia biasa memarkir mobil di halaman sempit toko, dibantu oleh seorang pria tua penjaga parkir yang ramah dan pendiam. Tapi hari ini, tempat itu berubah. Lorong lebih padat dari biasanya karena ada proyek renovasi di ujung jalan, para pekerja membongkar batu bata dan memindahkan seng-seng tua.
Dan di antara mereka, berdiri seorang pria yang belum pernah ia lihat sebelumnya.Tubuhnya tegap, berkulit gelap, mengenakan kaos oblong kumal tanpa lengan. Tangannya berotot, penuh gurat debu semen dan minyak. Matanya menyipit ke arah mobil Nathania—bukan dengan ramah, tapi seperti sedang menilai sesuatu yang belum tentu ia hormati. Seperti seorang pemilik tanah menatap tamu tak diundang.
Nathania melambatkan mobilnya, matanya menyapu lorong sempit di kanan dan kiri. Jalan ini hanya cukup untuk satu kendaraan lewat dalam satu waktu. Deretan ruko dua lantai di kiri catnya mengelupas, tapi masih berdiri kokoh. Di kanan, pintu-pintu lipat besi separuh tertutup, beberapa dihiasi huruf-huruf Tionghoa yang mulai pudar. Dupa menyala dari mangkuk merah di ambang pintu. Suara kipas angin tua menderu di dalam toko herbal.
Dan si pria itu tetap berdiri di tengah, tak menyingkir. Hanya menyentuh batang rokoknya, lalu menyuruh Nathania maju dengan gerakan dagu. Tidak satu kata pun keluar dari mulutnya.
Nathania menelan ludah tiba-tiba merasa napasnya lebih berat dari sebelumnya. Ada sesuatu di tatapan pria itu. Bukan hanya kasar. Tapi… menekan. Seperti tahu bahwa tubuh ramping dan wajah manisnya bukan jaminan bisa menang di tempat ini. Ia menurunkan kaca jendela sedikit. Udara panas langsung menyapu wajahnya.
“Masih bisa parkir disini nggak bang ? tanyanya singkat dan mencoba ramah.
Pria itu menyipitkan mata lalu menyeringai tipis. "Masuk aja... Tapi agak sempit.
Nathania ikut tersenyum meskipun terasa kaku. Ia tak yakin apakah lelaki itu sedang membicarakan parkiran... atau maksudnya yang lain. Saat itu Nathania sedang mencari tempat parkir di deretan ruko tua yang ada disekitar pecinan. Sekali seminggu, ia mampir ke toko langganan yang menjual furnitur antik untuk klien-kliennya. Tapi akhir-akhir ini, parkir di sana jadi masalah. Ada proyek renovasi dan tukang parkirnya bukan lagi bapak tua yang biasa tersenyum.
Suara peluit mendadak nyaring. Dari samping, seorang pria bertubuh tinggi besar melangkah santai. Kulitnya gelap terbakar matahari, lengan kekar tanpa lengan baju, celana jeans robek lutut, dan sendal swallow. Ada tatapan tajam di matanya yang langsung menelanjangi siapa pun yang dilihatnya.
"Ehh.. neng... tuh liat parkirnya miring banget. Coba mundur lagi !! bentaknya tanpa sopan santun.
Nathania menegang. Ia tidak suka dibentak... tapi entah kenapa, nadanya yang berat dan tegas membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Dia turunkan kaca mobil. "Sorry ya bang... saya..
"Udah jangan banyak alasan. Mundur aja. Gua yang atur. Potongnya sambil berdiri dekat jendela sementara tangannya menepuk-nepuk kap mobil dengan keras.
Nathania menggigit bibir bawahnya pelan. Nada suara pria itu kasar tapi bukan sembrono, bukan pula asal bentak. Ada semacam wibawa liar dalam setiap katanya, seperti perintah jalanan yang tak butuh alasan untuk ditaati. Entah kenapa, tubuhnya merespons lebih cepat dari pikirannya. Ia memundurkan mobil perlahan, mengikuti isyarat tangan si tukang parkir yang berdiri di belakangnya. Gerakannya lugas, tanpa basa-basi. Tepat. Tegas.
Begitu mesin dimatikan dan pintu dibuka, Nathania melangkah keluar dan tubuhnya terhentak kecil. Pria itu berdiri terlalu dekat. Nafasnya terasa, panas dan mentah. Nama "Raka" tertera pada rompi hitam yang pudar dan penuh noda. Bau keringat yang menempel di serat kain, bercampur debu jalanan dan aroma rokok murahan, menerobos masuk ke inderanya tanpa permisi. Bukan bau yang menyenangkan. Tapi entah kenapa tiba tiba perutnya seperti gak nyaman... seperti ada sesuatu yang bergerak pelan di balik permukaan kulitnya. Aneh dan sangat tidak nyaman. Tapi juga... sulit dijelaskan.
Nathania menahan napas. "Kalau gak suka, kenapa gak usir aja sekalian ?!! Tatapan Raka menyipit dan senyumnya menyeringai penuh nada menantang.
Nathania menjawab dengan lirikan dingin tapi dadanya berdegup. Bukan karena takut tapi karena rasa aneh yang menjalari. Ia bisa saja mengadu atau pasang wajah galak. Tapi saat ini dia tak ingin berdebat.
Hari itu, ia lebih lama di toko dari biasanya. Tapi bukan karena tertarik pada sofa beludru tua atau lemari kaca bergaya kolonial. Pikirannya melayang, terseret suara berat lelaki itu yang masih membekas di telinga. Ada sesuatu dalam cara Raka bicara yang kasar, nyaris sembrono, tapi membuat darahnya bergerak lebih cepat dari biasa.
Ketika akhirnya ia melangkah keluar, sore sudah mulai turun. Cahaya matahari menyelinap di antara sela kanopi, menggambar bayangan panjang di trotoar.
Nathania melirik ke parkiran. Dan seperti tadi, Raka masih di sana. Ia bersandar malas di pos kayu kecil, satu kaki diangkat ke bangku, rokok menyala di bibir. Matanya menatap datar ke arah jalan, tapi saat melihatnya, ia mengangguk pelan, bukan ramah, bukan juga sopan. Lebih seperti... pengakuan diam. Bahwa ia tahu.
Nathania tak membalas. Tapi langkahnya melambat sedikit sebelum ia membuka pintu mobil. Dan di detik itu, ia tahu: ia akan kembali ke toko itu. Bukan karena barang antik. Tapi karena sesuatu yang jauh lebih sulit dijelaskan.
Tiga hari kemudian Nathania kembali ke deretan ruko tua dikawasan pecinan itu. Padahal ia tak butuh furnitur apa-apa. Tapi alasan bisa diciptakan: mengecek kursi tua yang katanya belum dibayar, menjemput nota lama, atau sekadar "kebetulan lewat". Di dalam dirinya, ia sendiri tahu... yang ia cari bukan furnitur.
Begitu mobilnya masuk ke area parkir, ia sudah merasakan detak jantungnya berubah. Matanya langsung menyapu ke ujung pos kayu. Dan di sana seperti yang ia harapkan.Bang Raka duduk bersandar, kaos oblong hitamnya lengket oleh keringat, topi lusuh didongakkan ke belakang kepala.
Saat melihat mobil Nathania melambat, ia berdiri. Peluitnya tak dibunyikan. Hanya jari telunjuk terangkat, lalu digerakkan ke kiri terkesan kasar dan cepat. Isyarat tanpa senyum. Perintah diam yang entah kenapa terasa lebih panas dari omongan genit siapa pun.
Nathania menuruti, matanya tidak lepas dari cermin. Saat dia mundur pelan-pelan, tubuh Raka melangkah di belakang, memberi aba-aba.
“Sip. Udah pas,” katanya pendek, lalu berjalan ke sisi jendela. Kali ini, Nathania yang menurunkan kaca lebih dulu.
“Kembali lagi lo,” gumam Raka, matanya tak menatap wajah Nathania, tapi leher dan garis bahunya yang telanjang di balik outer tipis.
"Ada urusan," jawab Nathania, pura-pura santai. Tapi suaranya sedikit gemetar.
Raka menyeringai. "Atau lo cuma pengen dimarahin lagi?"
Nathania tak menjawab. Tapi sorot matanya seperti menantang—meski pipinya mulai merona.
Raka mencondongkan tubuh, satu tangan bersandar di atap mobilnya, tubuhnya mendekat terlalu akrab. Nafasnya tercium samar: bau rokok dan kopi hitam, kasar tapi hangat.
“Lo tuh aneh,” katanya, suara rendahnya nyaris berbisik. “Biasanya cewek-cewek kayak lo gak doyan dibentak. Lari. Maki-maki. Lo malah balik lagi.”
Nathania menggigit bibir. “Mungkin... gue suka yang beda.”
Raka menatap tajam. Detik itu, udara di antara mereka jadi tegang. Lalu ia mundur pelan, menyeringai pendek.
“Jangan manja di sini. Gak ada yang bisa lo atur,” katanya, sebelum berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan bau asap dan debar tak menentu di dada Nathania.
Di dalam toko, Nathania tak bisa fokus. Pikirannya dipenuhi ulang adegan barusan. Jarinya tanpa sadar menyentuh kulit lehernya sendiri, tempat yang tadi nyaris disentuh Raka. Ia menggigit ujung pensil, duduk di bangku pajangan, dan membayangkan... bagaimana rasanya kalau pria itu memegang dagunya, mendorong wajahnya ke arah lain, menatapnya dari jarak satu jengkal sambil berkata: "Diam. Liat gue."
Pulang sore itu, Nathania duduk lama di mobil sebelum menyalakan mesin. Tiba-tiba, ketukan keras mengagetkannya. Raka berdiri di luar kaca.
Dia turunkan kaca setengah.
“Lo tadi kelupaan. Barang lo di kursi belakang,” katanya pendek. “Gue yang masukin tadi.”
Nathania menoleh. Benar, ada tas kertas kecil yang tadi ia beli.
“Terima kasih ya...” ucapnya.
Raka tak menjawab. Ia hanya menatapnya beberapa detik, lalu berkata:
“Lo balik sini minggu depan. Kalau berani.”
Sebelum Nathania sempat menjawab, Raka sudah berjalan pergi.
Jalanan pecinan masih setengah lengang saat ia tiba. Hatinya berdegup seperti mau wawancara kerja. Ia berusaha terlihat biasa saja saat keluar dari mobil, tapi sorot matanya langsung menyapu pos kayu itu. Kosong. Tidak ada Raka.
Nathania berdiri sejenak, keningnya mengernyit. Tapi baru beberapa langkah menuju toko, suara berat itu menyapanya dari balik gerbang besi setengah terbuka.
“Hei !! Ia menoleh. Raka sedang duduk di tumpukan kayu bekas, rokok menyala di jarinya, satu kaki menjejak, satu kaki menggantung.
“Lo dateng juga.”
"Kenapa nggak?" jawab Nathania sambil mendekat. “Gue suka barang-barang antik di sini.”
Raka terkekeh pendek. Sebenernya yang lo cari bukan barang kan?”
Nathania terdiam. Sebagian dirinya ingin menyangkal, tapi matanya tak bisa berbohong. Ia berdiri hanya satu meter darinya, aroma kayu, debu, dan keringat siang bercampur dengan tembakau yang masih hangat.
“Gue cuma pengen ngobrol,” kata Nathania akhirnya, mencoba terdengar percaya diri.
Raka meniup asap ke samping, lalu berdiri. Tubuhnya tegap, lebih tinggi dari perkiraan Nathania. Ia berjalan perlahan mendekat.
“Ngobrol? Lo yakin kuat ngobrol sama gue?” Suaranya rendah, kasar... tapi perlahan.
Tanpa menunggu jawaban, Raka menggeser tumpukan kayu jadi duduk dua arah. Lalu, menunjuk dengan dagunya. “Duduk sini.”
Nathania mematung sejenak. Bukan karena takut, tapi karena tubuhnya bereaksi: dada terasa sempit, tengkuk menghangat. Ia duduk.
Mereka diam cukup lama. Hanya suara kipas angin tua dari bengkel sebelah dan sesekali teriakan tukang bangunan terdengar dari kejauhan.
Raka menatapnya dari samping. “Lo tuh... beda,” katanya pelan. “Cewek kayak lo biasanya dateng, pasang gaya, terus pergi. Tapi lo duduk. Nunggu. Lo ngasih liat leher lo. Gerakin rambut lo pelan-pelan. Lo sadar, kan?”
Nathania menoleh cepat, wajahnya memerah. "Lo mikirnya kejauhan."
“Tapi lo gak marah kan gue ngomong gitu?” Raka menatap lekat. “Karena lo suka kalau dilihat gitu. Suka dikontrol.”
Perut Nathania berdesir. Ia seperti dijatuhkan dari ketinggian, tapi tak bisa marah. Tak bisa lari. Kalimat itu—langsung, kasar, penuh tuduhan—justru menusuk bagian dalam dirinya yang selama ini tersembunyi. Dan jujur... ia merasa dilihat sepenuhnya.
Ia menelan ludah. “Lo gak sopan.”
Raka tersenyum miring. “Lo suka yang gak sopan.”
Detik itu, udara seakan mengerut. Raka mendekat setengah langkah, cukup dekat hingga lutut mereka hampir bersentuhan. Tangannya terulur ke arah wajah Nathania, tapi berhenti satu senti di udara—tak menyentuh.
“Kalau gue bilang diem... lo diem?” bisiknya.
Nathania menatapnya tajam. Lalu pelan... mengangguk.
Dan untuk pertama kalinya, Raka tersenyum lebar. Bukan senyum sinis. Tapi seperti seseorang yang baru saja membuka pintu menuju permainan yang tak semua orang bisa mainkan.
Nathania tak tahu bagaimana tubuhnya bisa begitu diam saat itu. Jantungnya berdetak seperti genderang, tapi kakinya tetap di tempat. Di depan Raka, ia seperti kehilangan logika, tapi bukan karena takut. Karena ingin tahu... seberapa jauh pria itu bisa membawanya.
Jari Raka yang tadi nyaris menyentuh, kini bergerak lebih pasti. Ia menyelipkan ujung jarinya ke rambut Nathania, menarik helaian kecil dari belakang telinga dan membiarkannya jatuh ke pundak. Lalu, ia membungkuk sedikit, berbisik di dekat pipi:
"Lo belum pernah dideketin cowok kayak gue ya ?!!
Nathania menahan napas. Suara itukasar, hangat dan sangat dekat membuat kulit tangannya merinding.
"Belum.. jawabnya pelan. "Dan gue nggak yakin ini bisa disebut deketin."
Raka tertawa pendek rendah. "Lo paham maksud gue.
Tiba-tiba ia berdiri dan berjalan ke arah samping bangunan, mendorong setengah daun gerbang besi yang mengarah ke lorong sempit di belakang bangunan ruko tua. Beberapa saat lelaki itu menoleh kearahnya.
"Sini bentar.
Nathania ragu tapi tubuhnya bergerak lebih dulu daripada pikirannya. Lorong itu dingin dan lembap, setengah gelap, diapit tembok tinggi. Aroma tembakau, debu, dan parfum tubuh pria kasar itu kini lebih menekan. Yang jelas di sana tak ada siapa pun.
Raka bersandar di tembok sambil satu kakinya menjejak ke dinding, satu tangan di saku. Ia menatap Nathania seakan sedang menunggu izin terakhir.
"Lo dateng ke sini sendiri. Lo ikut gue masuk sini. Lo duduk bareng gue. Dan sekarang... lo berdiri di depan gue kayak gini.
Nathania menunduk sedikit, lidahnya membasahi bibir bawah. Ia tahu ke mana arah ini. Dan untuk alasan yang tak bisa ia akui, ia tak ingin berhenti.
Raka mendekat. Perlahan. Tubuhnya tak menyentuh—hanya aura panasnya yang mulai menekan kulit Nathania. Lalu satu tangannya naik... menyentuh rahang Nathania dengan telapak kasar. Dingin. Berat.
"Kalau lo gak mau, tinggal bilang. Gua berhenti. Tapi kalau diem... itu tandanya lo siap."
Nathania menatapnya—mata yang dingin dan liar. Ia tak bicara. Tapi tubuhnya sedikit condong ke depan, nyaris tanpa sadar.
Dan itu cukup. Dalam sekejap, Raka mendorong pelan tubuh Nathania ke tembok, tapi bukan dengan kekerasan—dengan penguasaan. Bibirnya tidak langsung mencium, tapi mendekat ke telinga, napasnya mengusik.
Tangan kirinya menahan pinggang Nathania, menempel erat. Tangan kanan masih di rahang, kini mengarah ke bawah tengkuk. Ia mendekatkan wajahnya ke pipi Nathania, lalu menahan di sana. Kulit mereka nyaris bersentuhan.
“Gue bakal pelan... tapi lo bakal inget rasanya.”
Nathania memejamkan mata. Nafas mereka bercampur. Dan saat bibir Raka akhirnya menyentuh sisi lehernya. Bukan ciuman penuh tapi cecapan singkat penuh tekanan yang membuat tubuhnya tersentak halus.
Tangan Raka merayap naik ke tulang belikat Nathania, menahan dari belakang, sementara tubuh mereka makin mendekat, dada ke dada. Raka mendesah pelan dan berat.
Tapi lalu… ia berhenti. Ia mundur setengah langkah menatap mata Nathania.
“Lo balik lagi ke sini minggu depan. Tapi pake baju yang lebih tipis.
Dan begitu saja, ia pergi. Meninggalkan Nathania berdiri sendiri di lorong sempit itu, napas terengah, tengkuk masih hangat, dan tubuh bergetar oleh sentuhan yang nyaris tak terjadi sepenuhnya.
Malam itu, Nathania duduk di depan cermin rias di kamarnya. Lampu kuning temaram menyorot kulit bahunya yang masih terasa hangat, seolah sisa sentuhan Raka belum benar-benar hilang.
Ia menatap dirinya sendiri: wajah putih bersih, leher jenjang, garis bibir yang sedikit bergetar. Tapi matanya... ada sesuatu yang berbeda. Seperti melihat orang asing di balik refleksi.
Ia pernah beberapa kali berhubungan seks saat kuliah di Sydney. Pacarnya dulu pria blasteran—gagah, pintar, sopan. Mereka mencoba banyak hal: hotel mewah, alkohol mahal, gaya hidup bebas yang kini terasa jauh. Tapi semua itu terasa seperti aktivitas fisik. Seru tapi kosong.
Yang ia rasakan siang tadi di lorong belakang ruko sempit... bukan soal seks dan bukan sentuhan. Itu soal disentuh tanpa diminta. Disuruh tanpa pilihan. Ditekan, dilihat, diamati seolah dirinya bukan lagi si Nathania Halim yang selalu punya kendali.
Ia membuka tanktop-nya perlahan, membiarkan kulitnya menyentuh udara dingin. Di cermin, ia melihat bekas samar jemari kasar Raka di sisi lehernya—bukan memar, tapi tekanan lembut yang dalam.
Tangannya mengusap bagian itu. Ia mengembuskan napas pelan, dan tanpa sadar, pahanya saling menekan.
“Ada apa dengan gue…” bisiknya.
Ia bukan gadis suci. Ia tahu dunia. Tapi ini... ini bukan lagi soal suka atau tidak suka. Ini soal ketundukan, tapi bukan karena cinta. Bukan karena ingin membahagiakan pasangan.
Ini seperti dipaksa membuka bagian dirinya yang selama ini terkunci rapat. Seperti dijatuhkan dari menara tinggi dan menemukan bahwa jatuh bisa membuatnya hidup.
Nathania merebah di ranjang, masih bertelanjang dada. Kedua matanya menatap langit-langit, tapi pikirannya kembali ke lorong sempit itu—bau tembok lembap, suara nafas Raka yang berat, dan kalimat itu:
“Gue bakal pelan... tapi lo bakal inget rasanya.”
Dan ia memang mengingatnya. Bukan hanya rasanya… tapi perasaan jadi “milik” seseorang. Dipegang bukan karena diminta, tapi karena ditaklukkan.
Tangannya menyusuri tubuhnya sendiri, tapi gerakannya bukan seperti biasanya. Bukan karena rindu pada seks... tapi rindu pada rasa tak berdaya yang sengaja ia biarkan terjadi.
Malam itu, Nathania mencapai klimaks bukan dengan bayangan cinta, bukan dengan kenangan mantan. Tapi dengan bisikan kasar di telinganya, cengkeraman tangan laki-laki yang tak pernah ia pikir bisa membuatnya selemah itu.
Dan saat tubuhnya terhuyung dalam gelombang yang memuncak dan menurun... ia sadar: Ada sesuatu yang rusak dalam dirinya. Dan untuk pertama kalinya... dia menyukainya.
Hari itu, matahari baru naik sepenggalah ketika Nathania berdiri di depan lemarinya. Jari-jarinya menyisir gantungan baju dengan tatapan tajam, berbeda dari biasanya.
Bukan untuk gaya. Bukan untuk klien.
Hari ini… untuk Raka.
Ia memilih crop top hitam dengan tali tipis dan celana kain longgar berbelahan samping, cukup terbuka untuk menyingkap paha saat bergerak. Tak pakai bra. Biarlah. Ia ingin membuat tubuhnya bicara lebih dulu.
Lipstik nude tipis. Rambut dikuncir setengah, sisanya dibiarkan jatuh. Ia berdiri di depan cermin penuh tubuh, menatap refleksi dirinya… dan mengangguk.
"Lo yang mulai," bisiknya pelan. "Sekarang gue main juga."
Parkiran ruko tak banyak berubah. Lorong tetap lembap. Asap rokok dan bau cat masih tercium. Tapi kali ini langkah Nathania lebih mantap.
Begitu turun dari mobil, ia langsung melihat Raka—duduk santai di bangku kayu, rokok menyala, satu tangan menyilang di dada.
Tatapan pria itu langsung menatap tubuhnya dari ujung kaki naik ke dada, lalu ke wajah. Tak ada basa-basi.
“Wih.. gumamnya pendek.
Nathania tersenyum miring. "Kalau gak suka, lo bisa suruh gue pulang.
Raka berdiri. Tubuh kekarnya mendekat tanpa terburu. “Siapa bilang gue gak suka?”
Ia mengelilingi Nathania perlahan. Seperti predator mengitari mangsa. Tangan kirinya nyaris menyentuh sisi pinggul Nathania… tapi tidak. Hanya udara yang mengelus kulitnya.
"Lo sadar betul apa yang lo pake, ya?" bisik Raka di belakang telinga Nathania. Nafasnya berat. "Lo dateng ke tempat kayak gini, pake baju begitu, buat apa?"
Nathania diam.
Raka tersenyum tipis. “Biar gue makin berani, ya?”
Ia mendekat dari belakang, tubuh mereka nyaris menempel. Dada Nathania naik-turun cepat. Raka menyentuh tali kecil di pundaknya. Jari kasarnya menarik pelan, hanya sebatas membiarkannya melorot satu sentimeter. Tidak dilepas. Hanya diuji.
"Lo tau kenapa gue suka cewek kayak lo?" bisiknya. "Karena lo keliatannya pinter... kuat... tapi aslinya gampang dibikin lemes.
Nathania menggigit bibir. Tubuhnya mulai memanas tapi ia tak menjauh malah sedikit menyandarkan tubuh ke arah Raka.
“Kalau gue lemas… lo mau tanggung jawab?”
Raka terkekeh pendek. “Gak. Gue bakal nikmatin.. Tangan kanannya kini menyentuh pinggang Nathania, langsung ke kulit. Hangat. Kasar. Tapi bukan sekadar nafsu. Ada kuasa dalam genggamannya. Ia menekan pelan, membuat tubuh Nathania bergerak tanpa sadar.
Raka membisik pelan ke telinga Nathania:
“Masuk ke dalam. Lorong belakang. Sendiri.”
Lalu ia mundur. Tidak menyentuh lagi. Tidak menuntun. Ujiannya jelas: kalau Nathania jalan, dia bukan lagi korban. Dia ikut main. Dan Nathania, tanpa menoleh… melangkah.
Langkahnya lambat, tapi pasti. Setiap ayunan paha terasa lebih panas dari sebelumnya. Ia masuk ke dalam lorong itu—tempat yang sebelumnya membuatnya gemetar… kini membuatnya menganga.
Ia berdiri di sana, menunggu.
Satu menit. Dua. Langkah sepatu menyusul. Raka muncul tanpa suara. Menutup lorong dari belakang. Lalu dengan satu gerakan cepat, tubuhnya menempel ke tubuh Nathania dari belakang, menahan, memeluk, mencengkeram perut bawah.
“Sekarang gue yang pegang kendali.”
Tangannya naik ke dada Nathania, menyentuh buah dadanya secara perlahan dari luar kain tipis itu. Bibirnya mencium bahu, leher, dan akhirnya berbisik:
“Lo yang ngundang. Jangan salahin kalau gue gak bisa berhenti.
Napas Raka menghantam telinganya—panas dan dalam. Tangan kirinya menggenggam pinggang Nathania seperti menahan agar tubuh itu tak jatuh. Tangan kanan bergerak perlahan, menelusuri sisi perut, naik ke bawah tulang rusuk. Setiap sentuhan bukan sekadar menyentuh, tapi memerintah.
Tubuh Nathania bergidik. Ia seakan kehilangan pijakan meski kakinya yang mengenakan sepatu hak tinggi masih berdiri. Matanya tertutup, bibir setengah terbuka. Helaan napasnya pendek-pendek, tertahan di kerongkongan.
“Lo keras di luar, tapi sebenernya mudah ditaklukin. Bissik Raka. “Dan sekarang… gue lihat semuanya.”p
Tangan itu akhirnya menemukan jalannya—di antara kain yang terlalu tipis, menyusup masuk, menyentuh kulit yang belum pernah disentuh seperti itu. Bukan karena kebetulan. Tapi karena dibiarkan dan dizinkan.
Nathania menahan suara. Kepalanya menunduk, bibirnya menggigit bahunya sendiri. Ia ingin menyangkal... tapi tubuhnya tidak bisa.
Jari-jari Raka seperti membaca tubuhnya. Tekanan lembut di titik tertentu, gerakan lambat yang membuat waktu melambat. Tidak tergesa. Tidak brutal. Tapi tegas dan berani.
Ia tidak bercinta seperti mantan-mantan Nathania dulu—yang penuh pujian, permisi, dan ciuman panjang. Raka tidak memberi pujian. Ia menuntut respons. Menunggu desahan. Mendorong tubuh Nathania sampai menggeliat dan memeluk udara.
Dan Nathania memberikannya.
Kepalanya menempel di dada Raka, tubuhnya sedikit goyah. Tapi ia tidak minta berhenti. Tangannya bahkan bergerak sendiri—mencengkeram bahu Raka dari belakang, lalu jatuh ke sisi tubuhnya, seolah ingin merasakan balik. Tapi ia tahu, di sini... dia bukan pemegang kendali.
“Lo liat diri lo sekarang,” bisik Raka, mencium pelipisnya. “Cewek dari keluarga atas, pake mobil mahal, tapi berdiri kayak gini—gemetar karena disentuh tukang parkir.”
Nathania tidak menjawab. Tapi tubuhnya menjawab.
Dan saat Raka akhirnya menekan kasar tubuhnya ke tembok, mengangkat dan menahan kedua pergelangan tanganya kedinding rapuh, mendorong, dan merayapi setiap jengkal tubuhnya lebih dalam membuat semua pertahanan mental Nathania runtuh. Ia tidak lagi ingat namanya, tidak peduli siapa dirinya.
Yang ada hanya panas. Geliat. Napas. Tekanan.
Raka terus mencumbu gadis itu dengan penuh gairah. Tangan kanannya yang kekar dengan cepat mengangkat paha Nathania hingga naik sebatas pinggang, memberikan ruang yang lebih terbuka bagi Raka. Dengan napas yang makin memburu kemudian tukang parkir liar itu membimbing penisnya kearah kemaluan Nathania, awalnya dia hanya menggesek gesek pelan disana sampai akhirnya batang penis yang besar dan berurat itu dia tusukan dengan cepat. Jlleeb..
Nathania meringis menahan nikmat ketika penis tukang parkir itu menerobos lebih dalam divaginanya yang mulai basah. Sedikit sakit karena ukurannya yang tak wajar namun dia juga tak bisa memungkiri kalau penis itu jauh lebih nikmat dari milik mantan pacarnya.
Oouhh.. Nathania mendesah pelan ketika penis Raka mulai digerakkan maju mundur keluar masuk didalam kemaluannya, tangan kiri Raka membekap mulut gadis itu seolah tak memberikan kesempatan bagi Nathania untuk mengungkapkan kenikmatan yang dirasakannya.
Dengan tangan kanan masih mengangkat paha Nathania, Raka terus menghujam hujamkan penis hitamnya dengan keras, peluh dan keringat membasahi tubuh keduanya yang sedang berpacu dalam gairah didalam lorong sempit pecinan tsb.
Slebb.. Sleb.. Raka menekan lebih dalam penisnya berusaha mencari kenikmatan yang lebih besar lagi. Tusukannya semakin cepat dan bertenaga membuat tubuh Nathania tersentak sentak dalam posisi berdiri menyandar pada dinding lorong tua.
Raka mencoba merubah posisinya. Kali ini dia mengangkat kedua paha Nathania hingga naik keatas, membuat tubuh gadis chindo itu melayang diudara dalam gendongannya. Raka memagut kasar bibir gadis itu yang hanya bisa menatapnya dengan ekspresi memelas. Dengan cepat tukang parkir itu kembali menghujam hujamkan penisnya kedalam kemaluan Nathania yang kedua tangannya sudah melingkar di belakang lehernya.
Dengan posisi berdiri sambil menggendong Nathania, penis Raka terus menghujam tanpa henti, kadang pelan dan kadang terasa begitu cepat. Suara desahan keduanya memenuhi lorong sempit yang tersamarkan oleh suara deru kendaraan yang melintas didepan jalan.
Tenaga Raka semakin berlipat ganda. Dia tingkatkan kecepatan keluar-masuk batangku dikemaluan Nathania. Terus dan terus. Seluruh bagian batangnya serasa diremas-remas dengan cepatnya oleh kemaluan gadis chindo itu. Mata Nathania menjadi merem-melek. Begitu juga dirinya, matanya pun merem-melek dan mendesis-desis karena merasa keenakan yang luar biasa.
“Sssh… sssh… … enak sekali… enak sekali tubuhmu nona… belum pernah gua meeerasakan.. yang seeenikmat ini.. desahnya sambil terus memompa lebih kencang hingga akhirnya Raka mengerang panjang sambil menghujamkan penisnya kuat kuat didalam kemaluan Nathania. Eengh.. Creett..
Dan ketika puncak itu datang, tanpa suara, tanpa nama, Nathania seperti runtuh. Bukan karena kalah. Tapi seperti tembok yang selama ini berdiri rapat akhirnya menyerah. Dan dari balik reruntuhannya, muncul sesuatu yang selama ini diam.
Ia. Versi dirinya yang tak pernah muncul ke permukaan. Yang tidak patuh karena takut, tapi karena memang ingin.
Beberapa menit setelahnya, mereka hanya diam. Masih di lorong. Raka bersandar di dinding, rokok kembali menyala di bibirnya. Nathania berdiri tak jauh darinya, bahunya menyentuh tembok yang dingin, tangannya masih menekan permukaan kasar yang tadi menopangnya.
Tak ada kata. Tapi udara di antara mereka penuh bunyi yang tak perlu diterjemahkan.
Saat akhirnya Nathania mengenakan kembali outer-nya dan melangkah keluar, ia sempat menoleh. Sekilas saja. Lalu berkata pelan, seperti menyatakan janji yang tidak butuh saksi.
“Gue bakal balik minggu depan.”
Raka mengangguk, senyum tipis di sudut bibirnya.
“Gue tunggu.
Langit sudah gelap saat Nathania pulang. Lampu teras rumah besar itu menyala hangat, tapi baginya justru terasa terlalu terang. Ia mematikan mesin mobil perlahan, duduk beberapa detik lebih lama sebelum membuka pintu.
Di ruang keluarga, ibunya duduk sambil membaca majalah arsitektur. Kacamata dibingkai rantai emas, dan secangkir teh hangat di tangan. Wajahnya menoleh ketika mendengar pintu terbuka.
"Kamu baru pulang dari toko?" tanyanya tanpa tekanan. Suaranya lembut, terlatih untuk tidak mencurigai. Tapi mata seorang ibu selalu lebih jeli dari yang terlihat.
Nathania mengangguk, menaruh tasnya di kursi. "Agak lama. Barang-barangnya banyak yang baru masuk."
Ibunya mengangguk kecil. "Kamu kelihatan capek."
“Aku oke,” jawab Nathania cepat. Lalu diam. Jemarinya menyentuh kerah outer-nya—yang tadi diremas keras di lorong sempit. Kini terasa aneh di kulitnya.
Suasana di antara mereka sejenak hening, hanya diisi bunyi detik jam di dinding dan aroma melati dari diffuser di sudut ruangan.
“Kamu harus hati-hati, Thania,” ucap ibunya, pelan tapi penuh makna. “Tempat seperti itu… kadang nggak cocok buat perempuan sendirian.”
Nathania menatap ibunya. Matanya tajam, tapi tidak menuduh.
“Aku nggak sendirian,” katanya, dengan nada datar.
Ibunya terdiam. Entah karena bingung, atau karena paham.
Setelah itu, tak ada yang bicara lagi. Nathania naik ke kamarnya. Setiap langkah terasa berat, seperti baru pulang dari medan perang yang tak ada dalam peta. Di dalam kamar, ia berdiri lama di depan cermin. Rambutnya kusut. Bibirnya agak bengkak. Tapi bukan itu yang ia lihat. Ia melihat seorang perempuan yang tidak sama seperti pagi tadi.
Tapi bagi Nathania, semua itu hanya latar belakang. Yang nyata hanya satu hal: ia kembali ke tempat itu. Tempat yang telah menyentuh sisi paling gelap dalam dirinya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan.
Ia melambatkan mobilnya saat mendekati lorong sempit di samping toko. Di ujungnya, ia melihat Raka. Duduk menyamping di bangku kayu reot, sebatang rokok di jari, dan seorang pria lain di sebelahnya—berjaket kulit pudar, kulit legam, rambut cepak, tatapannya curiga tapi santai. Seperti seseorang yang tahu dunia keras dan menikmatinya.
Begitu melihat mobil Nathania maka Raka pun langsung berdiri. Gerakannya nampak tenang dan santai. Ia melangkah mendekat, lalu mengangkat tangan pelan memberi isyarat agar Nathania berhenti. Tak ada kata-kata dari matanya tapi senyum tipisnya cukup bicara seolah ia memang sudah menunggu dari tadi.
Ia mengenakan minidress putih yang melekat ketat di tubuhnya—pendek, sederhana, tapi justru karena itu terasa mencolok di tempat seperti ini. Gaun itu masih rapi meski sudah seharian menempel di tubuhnya, dipilih khusus untuk menghadiri resepsi pernikahan seorang teman dekat. Sisa-sisa kemeriahan pesta masih menempel pada dirinya—wangi parfum yang lembut, kilau lipstik yang belum sepenuhnya pudar, dan kilatan segar pada kulit wajahnya yang membuatnya tampak lebih bercahaya dari biasanya.
Bahan tipis minidress itu mengikuti lekuk tubuhnya tanpa malu: pinggang ramping, dada yang mengangkat ringan, dan paha jenjang yang sesekali terpapar ketika angin malam menyibak ujung gaun.
Kulitnya putih terang dalam redup cahaya lampu parkir, berkilau halus seperti porselen yang hidup. Dan wajahnya—dengan garis oriental yang tegas, mata tajam, dan bibir penuh yang tampak tak sengaja membentuk ekspresi menggoda—memancarkan sesuatu yang sulit diabaikan: daya tarik yang bukan hanya dari penampilan, tapi juga dari kontradiksi dalam dirinya sendiri.Ia tampak seperti sosok yang tak seharusnya berada di tempat ini. Tapi di saat yang sama, juga tampak seperti bagian dari kegelapan yang menyambutnya dengan diam.
Raka mendekat tanpa berkata-kata. Ia berdiri di depannya, cukup dekat hingga Nathania sehingga gadis chindo kelas atas itu bisa mencium aroma tubuhnya yang bau keringat, rokok, dan aspal yang melekat pada kulitnya seperti sesuatu yang liar dan tak terjinakkan.
"Berani juga lo dateng ke sini malam-malam. Gumam pria itu dengan nada suaranya yang berat. Tukang parkir itu menatap Nathania dari atas ke bawah tanpa terburu-buru dan kembali berkata pelan.
"Lo baru pulang dari pesta ?!! Tatapannya tertahan di gaun putih yang melekat di tubuh Nathania dan senyumnya muncul perlahan.
"Lo yakin.. mau nyerahin diri lo dalam keadaan seperti ini ?!!
Nathania menahan napas. Kata-katanya terasa seperti sentuhan kasar, hangat dan menelusup ke sela-sela pikirannya. Ia tahu benar maksud Raka. Tapi ia juga tahu, dirinya datang ke sini bukan tanpa sadar.
Raka melangkah lebih dekat, suaranya menurun, hampir seperti bisikan.
“Apa lo sadar, setiap langkah lo ke sini tuh kayak lo ngelucutin diri lo sendiri, pelan-pelan? Pakai gaun pesta seksi... malam sepi... lo pikir gue ga ngerti kode itu ?!!
Ia menyentuh pelipis Nathania dengan jari telunjuknya, pelan, lalu menurunkannya ke rahang, tanpa memaksa. “Atau... lo emang dateng ke sini buat bilang, ‘gue udah ga bisa pura-pura lagi ?!!
Nathania tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Sesaat, matanya melirik ke bangku panjang di sisi kanan halaman, tempat seorang pria lain duduk santai, memperhatikannya. Tatapan pria itu setengah mengejek, setengah menilai—seperti sedang menonton sesuatu yang menarik tapi belum tahu ujungnya akan ke mana.
"Itu temen gue. Dia kerja di toko beras yang ada di ujung jalan sana jadi lo nggak perlu khawatir.
Nathania diam tapi dia juga nggak mundur. Wajahnya tetap tenang namun matanya menunjukkan kalau pikirannya belum sepenuhnya tenang. Ada sesuatu yang dia tahan dan gak bisa ditolak.
Raka melangkah sedikit lebih dekat kearah gadis berpenampilan modis itu. Suaranya makin pelan tapi sangat tegas dan jelas.
“Lo yakin hari ini mau yang... beda ?!!
Nathania menarik napas. Tenggorokannya terasa kering, tapi dia nggak menunduk. Di bawah langit yang mendung, di jalanan sempit yang kotor dan jauh dari segala hal yang biasa dia anggap sebagai dunia nyata—dia merasa aneh. Tapi aneh yang bikin jantungnya berdetak lebih keras. Bikin dia sadar kalau dia masih hidup.
Nathania menatap tukang parkir urakan itu sebentar lalu bibirnya terbuka dan dengan suara nyaris pelan dia berkata.
"Iyaa.. Gue mau coba..
Mereka berjalan ke belakang toko melewati lorong yang lebih sempit dari minggu lalu, nampak lebih gelap dan yang pasti lebih tak nyaman. Tapi langkah Nathania begitu mantap dan tak ragu. Seperti ada sesuatu dalam dirinya yang sudah dilepaskan dan tak bisa ditarik lagi.
Lorong itu lebih gelap dari yang Nathania ingat. Bau lembabnya tajam dan dindingnya penuh coretan lama yang sulit dibaca. Langkahnya melambat saat mereka masuk lebih dalam. Raka berjalan di depan, diam tak bicara sepatah katapun sampai akhirnya pria itu berhenti di sebuah sudut lorong yang tampak lebih kusam dari lainnya.
Pria itu menoleh dan menatap Nathania dengan pandangan yang aneh. Matanya seperti menyimpan sebuah rencana yang tak biasa.
“Tempat ini... bukan cuma tempat orang bersembunyi. Katanya pelan. Nada suaranya datar tapi ada sesuatu yang berat di ujung kalimatnya.
Nathania diam tapi tubuhnya menangkap ketegangan itu sebelum pikirannya sempat memahami.
"Gadis tionghoa. Seumuran lo. Diseret dari ruko tempat tinggalnya. Dibawa ke sini sama lima orang.
Raka tidak melanjutkan detailnya karena merasa tidak perlu. Udara di lorong itu tiba-tiba menjadi dingin meski tubuh Nathania masih berkeringat oleh langkah-langkah sebelumnya. Mata sipitnya menyapu dinding tua dan lantai kasar. Lorong itu seperti bukan lorong biasa. Rasanya seperti sebuah tempat mengerikan yang menyimpan jejak, saksi dan sisa sisa bayangan kekerasan seksual dimasa lalu.
“Lo masih mau di sini ?!! Tanyanya.
Nathania tidak menjawab segera tapi detik berikutnya ia melangkah lebih dekat.
Bukan karena ingin bermain dengan luka orang lain. Tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang ingin menyentuh batas. Meraba kegelapan. Bukan untuk menikmatinya, tapi untuk tahu... apakah ia masih bisa kembali setelahnya.
Bayangan tentang gadis itu menyelinap begitu saja dalam benaknya. Kulit putih pucat, wajah oriental yang tak berdaya. Diseret di tengah kerumunan. Tubuhnya dirampas, dilukai, dijadikan pelampiasan oleh kebencian yang bercampur dengan nafsu paling purba. Tak ada yang menolong. Tak ada yang berani menengok. Dunia memilih berpaling, membiarkan semuanya terjadi dalam senyap yang kejam.
Nathania menggertakkan rahang. Ia membenci bayangan itu. Tapi tubuhnya... tidak menolak. Ada sesuatu yang berdetak pelan, asing, menjijikkan namun justru karena itu tak bisa ia singkirkan.
Ia mencoba menarik napas panjang, menenangkan diri. Tapi dari ujung lorong, terdengar langkah-langkah berat. Lambat namun tegas. Seolah mereka tahu ke mana harus menuju.
Tiba tiba empat pria muncul dari balik kegelapan. Wajah mereka tak asing—bukan secara pribadi, melainkan seperti potret dari sebuah zaman yang enggan mati. Pakaian mereka lusuh, mata mereka menyala penuh curiga dan keyakinan yang tak tergoyahkan. Salah satu dari mereka mengangguk pelan ke arah Raka, seperti mengesahkan sesuatu yang telah lama direncanakan.
Nathania menoleh cepat. Tubuhnya secara naluriah mundur setengah langkah, seakan dinding di belakangnya akan lebih aman daripada apa pun yang akan terjadi di depan sana.
Dan di kepala Nathania, suara lain mulai muncul bukan suara moral tapi suara yang bertanya:
"Apa yang sebenarnya kau cari dengan datang ke tempat ini?
Rasa takut? Rasa kalah? Atau sesuatu yang bahkan tak berani kau ucapkan?
Ia tidak menjawab. Tidak kepada Raka dan tidak juga kepada dirinya sendiri.
Tapi anehnya Nathania tetap berdiri di sana.
Lorong itu semakin sunyi. Tapi ada sesuatu yang bergerak di bawah permukaan. Seperti udara yang terlalu diam sebelum hujan besar turun. Raka menyulut rokok lalu menatap Nathania dalam waktu cukup lama. Tatapan yang tak langsung ke tubuhnya tapi ke dalam. Seolah mencoba melihat sesuatu yang belum ia akui sendiri.
"Lo masih pengen ngerasain sesuatu yang beda ?!! tanyanya akhirnya. “Atau sekarang lo mulai takut?”
Nathania mengangkat dagu. “Takut kenapa ?!!
Raka menghembuskan asap. “Tempat ini… dulu penuh tekanan. Lo tau kan? Jaman rusuh. Jaman toko-toko dijarah. Jaman orang kayak lo diburu.
Ia menunjuk sekeliling dengan dagunya. “Tembok ini pernah lihat lebih dari yang lo bayangin. Amoy diseret dari ruko. Diteriaki. Ditelanjangi. Diinjak. Dipanggil pelacur. Anak Cina kaya katanya. Padahal dia cuma anak sekolah.
Nathania menelan ludah dan matanya bergerak pelan menatap dinding tua yang awalnya hanya terlihat kumuh tapi sekarang seperti menyimpan gema dari suara jeritan tak berdaya.
Raka perlahan mendekat, lebih dekat dari seharusnya. Suaranya menurun tapi tekanan di baliknya naik.
"Lo tau kenapa massa marah ? Karena mereka lapar. Karena dari kecil dikasih liat kalau semua yang bersih, yang mahal dan yang punya toko bukan orang kayak mereka.
Ia menatap Nathania. “Kayak lo.
“Jadi… sekarang lo mau main pake luka lama?!! Tanya Nathania setengah sinis.
Raka mengangkat alis. “Gue nggak main. Gue cuma bilang… kalau lo mau ngerasain posisi yang paling jauh dari tempat lo berdiri sekarang—itu tempatnya.”
“Lo mau jadi amoy,” lanjutnya. “Yang diseret. Yang nggak punya kuasa. Yang ditelanjangi dunia, tapi nggak bisa teriak.”
Nathania tak menjawab. Tapi tubuhnya tak bergerak. Wajahnya menegang. Bukan karena marah. Tapi karena kata-kata itu menusuk tempat yang selama ini tersembunyi jauh di dalam dirinya.
“Gue gak akan paksa,” ucap Raka. “Tapi kalau lo beneran mau tahu rasanya… ikut permainan gue.”
Sunyi lagi. Hanya napas mereka yang terdengar, berat dan pelan. Akhirnya Nathania bicara. Suaranya pelan, seperti sedang bicara ke dirinya sendiri.
“Gue mau.
“Pantes aja lo sering datang kesini.. gumamnya pelan. Lo bukan sekedar nyari barang antik ditoko tapi lo nyari sesuatu yang lo gak bisa minta dengan mulut.
Kemudian Raka melangkah mendekat, pelan tapi pasti. Sepatu bututnya menggesek lantai lorong yang lembap.
“Lo suka jadi yang direndahin ya ?!! bisiknya. “Amoy cantik, berpendidikan, anak gedongan… tapi diam-diam pengen diinjak sama yang lo anggap rendah. Sama yang kotor. Sama yang bau keringat dan tanah.
Nathania menelan ludah. Matanya tak berpaling, tapi pandangannya mulai kabur. Entah karena cahaya yang redup… atau karena pikirannya mulai meluruh.
Raka tertawa kecil, hambar. “Lo gak usah pura-pura jijik. Tubuh lo udah jawab lebih dulu.”
Ia mendekat lagi. Jarak mereka hanya tinggal satu napas. Wajahnya kasar, kulitnya gelap terbakar matahari. Segalanya dari Raka seperti kontras dari semua yang selama ini Nathania pelajari untuk dikagumi. Dan justru karena itu—ia tak mundur.
“Lo tahu kenapa mereka nyeret amoy kayak lo di jalanan?” tanya Raka, suaranya dingin. “Karena mereka muak. Sama kepalsuan. Sama senyum manis yang nyimpan rasa jijik di balik mata. Dan yang paling parah—karena diam-diam, kalian gak pernah benar-benar nolak.”
Nathania menggigit bibirnya sendiri. Darahnya berdesir. Ada rasa marah, malu, dan… sesuatu yang tak ia sangkal lagi.
Raka menyentuh dagunya, kasar tapi perlahan. Mengangkat wajahnya.
“Kita mulai sekarang, atau lo mau gue anggap lo cuma main-main?”
Hening. Hanya suara lampu neon tua yang mendengung dari langit-langit lorong.
Lalu Nathania mengangguk—satu gerakan kecil yang memuat seluruh kebingungan, gairah, dan rasa bersalah yang tak bisa lagi ia sembunyikan.
Entah bagaimana, lorong itu terasa semakin sempit. Udara seolah berhenti bergerak. Dan di tengah sunyi yang menggantung, Nathania merasa tubuhnya bukan lagi miliknya sepenuhnya.Ia bisa merasakan degup jantungnya di telinga, di tenggorokan, di dasar perut. Setiap kata Raka tadi seakan menggali ruang yang selama ini ia kunci rapat—ruang gelap, basah, dan tak bernama.
Bagaimana bisa ia... terangsang?
Kata-kata kasar itu, cara Raka menyebutnya “amoy”, bukan dengan hormat tapi dengan niat melukai—bukannya menjauhkan, justru seperti menyalakan sesuatu yang telah lama tertidur. Sebuah dorongan aneh yang tidak lahir dari cinta, atau kelembutan. Tapi dari ketelanjangan mutlak. Kepasrahan. Kehilangan kendali.
Ia membenci ini. Membenci bahwa ia tidak membenci.
Dalam pikirannya, bayangan demi bayangan tumpang tindih. Ia melihat dirinya sendiri—bukan sebagai perempuan mandiri dengan jabatan dan nama keluarga yang dihormati, tapi sebagai sesuatu yang lain. Objek. Tubuh. Simbol. Sebuah representasi yang siap dihancurkan, lalu dinikmati dalam kehancurannya.
Dan dalam gambaran itu… ia tetap berdiri. Tidak lari.
Tangan Nathania mengepal di samping tubuhnya. Tapi itu bukan bentuk perlawanan. Lebih seperti upaya terakhir untuk mempertahankan apa pun yang tersisa dari kendali. Meski ia tahu, sedikit demi sedikit, batas itu mulai runtuh.
Ia ingin berteriak, menyuruh Raka diam. Tapi lidahnya kelu. Karena di dasar jiwanya, ada bisikan yang lebih jujur daripada akal sehatnya.
“Lo pengen tahu sampai sejauh mana lo bisa jatuh.”
Raka memandangnya lama. Seakan tahu gejolak yang terjadi di dalam dirinya. Matanya tak menghakimi. Tidak juga lembut. Hanya… paham. Seperti seseorang yang pernah melihat jurang, dan tahu persis bentuknya.
“Lo bisa berhenti sekarang,” katanya pelan. “Tinggal bilang enggak. Tapi kalau lo ngelangkah satu kali lagi... gak ada jalan balik.”
Nathania menatapnya. Matanya merah. Napasnya berat.
Dan saat bibirnya terbuka, bukan kata “tidak” yang keluar.
Melainkan satu tarikan napas… yang bunyinya seperti penyerahan.
Ia mengangkat tangannya, pelan. Bukan menyentuh dengan kelembutan, tapi lebih seperti menandai. Punggung jarinya menyusur garis rahang Nathania, turun ke leher, lalu berhenti di tulang selangka. Sentuhan itu keras, dingin, dan penuh maksud.
Tubuh Nathania menegang, tapi bukan karena ingin menolak. Lebih pada kejutan bahwa dirinya tak juga bergerak. Bahwa ia membiarkan sentuhan itu—menyambutnya, bahkan, dalam diam yang kaku.
“Lo tahu rasanya jadi milik orang yang nggak lo pilih?” Raka berbisik di telinganya. “Bukan karena cinta. Tapi karena keadaan. Karena lo nggak bisa ngelawan. Lo cuma bisa... ikut.”
Napas Nathania tercekat. Di dalam dirinya, gelombang demi gelombang rasa bersalah dan gairah saling menabrak. Setiap kata Raka seperti pisau tumpul yang mengoyak satu per satu lapisan pertahanannya—hingga yang tersisa hanya daging mentah dari siapa dirinya yang sebenarnya, yang tak pernah ia tunjukkan bahkan pada dirinya sendiri.
Tangan Raka bergerak ke belakang lehernya, mencengkeram. Kasar, tapi stabil. Seolah menegaskan posisi. Bahwa sejak detik ini, kendali bukan lagi milik Nathania.
Ia ingin bicara. Tapi suara itu tak keluar. Ia hanya menatap wajah Raka—membenci betapa tenangnya lelaki itu, betapa sadarnya ia atas kekuatan yang sedang dimainkan.
"Sekarang gue mau lo berlutut.. persis seperti amoy amoy yang ada dimasa itu. Perintah Raka dengan suaranya yang berat dan tak bisa ditawar.
Nathania mematung. Sekejap. Dua detik. Tiga. Lalu lututnya bergerak sendiri. Perlahan, ia merosot, turun ke lantai lorong yang kotor dan dingin.
Bukan karena dipaksa. Tapi karena sesuatu dalam dirinya... butuh tahu. Sejauh apa ia bisa jatuh.
Tentu. Berikut kelanjutan cerita dengan tetap mempertahankan gaya naratif yang sederhana, deskriptif, dan menyimpan ketegangan batin:
Lantai lorong terasa dingin menembus celana tipis yang ia kenakan. Debu dan lembab bercampur dengan bau besi tua dan sisa hujan kemarin. Tapi Nathania tak mengeluh. Tubuhnya diam, namun di dalam, pikirannya riuh—antara malu, ingin tahu, dan sesuatu yang tak bisa ia beri nama.
Di hadapannya, Raka berdiri seperti bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar padam. Wajahnya tak berubah. Matanya tetap menatap ke bawah dengan tenang. Terlalu tenang. Seolah semua ini bukan sesuatu yang asing baginya. Seolah dia tahu, cepat atau lambat, Nathania akan sampai di titik ini.
"Lihat sekeliling," ucap Raka pelan, tapi terdengar jelas di antara gema lorong sempit itu. "Tempat ini nggak pernah bersih. Karena luka lama nggak pernah bener-bener hilang."Nathania menoleh pelan. Dinding yang kusam, bekas coretan samar, noda di lantai yang entah berasal dari apa. Semuanya terasa seperti bisikan masa lalu yang menempel di kulitnya.
"Lo tahu rasanya berdiri di tempat yang orang lain pernah diinjak-injak di atasnya?" tanya Raka lagi. "Lo tahu, tapi lo masih di sini. Karena lo pengen ngerasain. Pengen ngerti, kan?"
Nathania menggigit bibir bawahnya. Entah karena marah, atau karena setuju. Tapi ia tak menyela. Hanya menunduk, menatap lantai yang retak.
Raka menunduk, satu tangannya terulur, mengangkat dagu Nathania perlahan. Sentuhan itu tak lembut, tapi tak kejam juga. Sekadar menegaskan arah pandang.
"Bilang sama gue," suaranya datar, nyaris seperti perintah. "Lo di sini karena lo mau."
Dan di balik segala ketakutan, kebingungan, dan sisa-sisa logika yang masih berusaha bertahan… Nathania akhirnya membuka mulut.
"Iya..." bisiknya.
"Gue mau.
Tangannya gemetar sedikit. Bukan karena takut. Atau mungkin justru karena takut—tapi bukan pada Raka. Takut pada dirinya sendiri. Pada apa yang ingin ia lakukan. Pada bagian dirinya yang selama ini ia tutupi rapi, tapi kini muncul, liar dan penuh tuntutan.
Ia mengangkat tangannya perlahan. Menyentuh tepi resleting yang sudah berkarat ujungnya. Hanya sejenak, jari-jarinya diam di sana. Mendengar suara langkah jauh di lorong sepi ini tapi semuanya tetap sunyi.
Raka menatapnya dari atas, matanya tajam tapi tak tergesa-gesa. Seolah menunggu bukan dengan sabar tapi dengan keyakinan. seakan sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kenapa lo diam ?!! Gumamnya pelan tapi terasa seperti gema di kepala Nathania.
Nathania menarik napas dalam. Lalu secara perlahan, jari-jarinya mulai bergerak, membuka penghalang di depan wajahnya.
Saat suara resleting itu terdengar, samar namun jelas, seperti bunyi runcing di antara detak jantung yang tak teratur, Nathania menutup matanya sebentar. Bukan untuk menghindar tapi untuk menerima kenyataan bahwa dirinya sudah ditaklukkan.
Lorong sempit yang diterangi lampu temaram itu tetap bisu. Tapi bagi Nathania, dinding yang kusam dan lantai yang dingin seolah menyerap semuanya mulai dari
Dan anehnya Nathania tetap di sana. Karena memang di sanalah ia memilih berada.
“Cewek cina model begini, bajunya wangi, tas mahal… eh, ternyata berlutut juga di depan pribumi.. Kata yang lain sambil terkekeh, seperti tak percaya apa yang dilihatnya.
Nathania menegang tapi tak bergerak. Ujung matanya menangkap bayangan sepatu-sepatu kotor yang makin mendekat, tapi pusat pikirannya terpusat hanya pada suara Raka.
“Haha.. Lo pikir dia dipaksa?” kata Raka datar. "Tadi kalian liat kan. Dia yang datang sendiri. Dia yang milih posisi ini. Kata Raka sambil tertawa melecehkan.
Nathania mengangkat wajah sedikit, menatap Raka. Wajahnya merah—entah karena malu, marah, atau karena sesuatu yang lebih gelap yang bahkan tak bisa ia sebutkan. Namun demikian tangan kanannya terus bergerak mengelus dan mengocok penis tukang parkir itu yang posisinya sudah berada tepat didepan wajahnya.
Setelah melayani penis pada pria itu dengan kedua tangan dan mulutnya kemudian tubuh Nathania diseret paksa oleh mereka, dibaringkan telentang diatas meja kayu tua disudut lorong. Bruk.. !!
Meja kecil itu yang permukaannya kasar, kayunya mulai lapuk dimakan usia dan malam ini menjadi saksi dari sesuatu yang tak bisa lagi dihindari. Nathania diam, tanpa sepatah kata pun. Napasnya memburu, cepat dan dalam sementara matanya tetap terbuka, menatap langit-langit yang gelap. Seolah dari sana, ia mencoba memisahkan mana yang nyata dan mana yang hanya mimpi. Dua dunia yang malam ini terasa terlalu dekat untuk dibedakan.
Kedua kakinya yang jenjang menjuntai ke bawah, masih berbalut sepatu hak tinggi yang memberi kesan anggun sekaligus nyaris absurd di tempat kumuh seperti ini. Gaun putihnya tersingkap sebagian, memperlihatkan kulit pucat yang kontras dengan kayu kasar di bawah punggungnya. Terlihat sangat kontras tapi entah mengapa hal ini justru memperkuat daya tariknya. Ada semacam keheningan yang menyelimuti, tapi bukan keheningan biasa. Ini semacam jeda... antara kendali dan kehilangan, antara kesadaran dan pasrah.
Bayangan tubuh Raka menyelimuti sebagian wajahnya. Tak ada kata-kata. Hanya napas, gerak pelan, dan panas tubuh yang semakin terasa dekat. Dan di titik itu, Nathania tak lagi bertanya apa yang benar atau salah. Ia hanya merasakan—dengan tubuh, dengan kulit, dengan setiap denyut yang terus berdetak cepat di balik dadanya yang terbuka setengah.
Wajah Raka terus mendekat, napasnya berat tapi terkendali. Matanya menatap Nathania yang terbaring pasrah diatas meja kayu. Kedua tangannya diarahkan pada buah dada gadis itu yang masih terbungkus gaun pestanya.
Tanpa rasa malu Raka mulai meremasi payudara gadis itu, pelan namun penuh tenaga membuat gairah terpendam dalam diri Nathania semakin berkobar. Lorong sempit itu terasa makin panas ketika Raka yang berdiri dipinggiran meja menindih tubuhnya secara perlahan, bibirnya yang menggoda dan ekspresi wajah orientalnya yang memelas menjadi sasaran tukang parkir jalanan itu. Slurpp.. Raka menjulurkan lidahnya dan menyapu wajah dan mulus gadis itu, mulutnya yang bau rokok menyambar bibir Nathania hingga menimbulkan suara gumamam panjang namun lembut. Mmpmmm....
Tangan kekar Raka tak bisa berhenti menelusuri tubuh mulus Nathania. Baginya tubuh gadis chindo itu terlalu indah untuk dibiarkan, meski masih tersembunyi dibalik gaun pestanya namun sudah mampu membuat gairahnya meledak ledak.
Kini tangan kanannya bergerak perlahan, menyusuri sisi luar paha Nathania yang halus dan lembut, lalu berhenti di pinggul. Jari-jarinya yang kasar menyentuh kain tipis yang tersisa di sana dalam gerakan yang pelan, nyaris ritualistik, seolah menanggalkan bukan hanya lapisan pakaian, tapi juga sisa-sisa keraguan yang masih tertinggal.
Nathania memejamkan mata ketika tangan Raka menarik turun celana dalamnya yang berwarna krem. Dia tak merasa takut tapi merasa seluruh dirinya terbuka. Bukan hanya tubuhnya, tapi semua luka, semua fantasi yang ia sembunyikan rapat selama ini. Udara malam terasa makin dingin, tapi kulitnya justru memanas, seolah menyambut setiap sentuhan, setiap penantian yang akhirnya menemukan tempatnya.
Tak ada kata yang diucapkan. Tapi dalam diam itu, tubuh mereka bicara dalam bahasa yang tak butuh terjemahan.
Setelah melucuti celana dalam Nathania dan melemparkannya begitu saja ke samping meja kemudian Raka menekuk kedua paha Nathania hingga mengangkang lebar. Tanpa membuang waktu lelaki itu langsung menusukan penisnya yang sudah menegang hebat kedalam liang kemaluan Nathania. Uuhh..
Raka mulai memaju mundurkan pinggulnya kedepan dan kebelakang. Dalam posisi berdiri dipinggiran meja, matanya yang bengis terus menatap wajah Nathania seakan mengingatkan dirinya pada peristiwa suram dimasa lalu. Peristiwa dimana seorang gadis tionghoa menggeliat tak berdaya ketika digilir beberapa orang perusuh yang nampak membenci dirinya.
Jlebb.. Jlebb.. Raka terus menghujam hujamkan penisnya dengan sekuat tenaga, kadang dia mendorong pelan dan kadang mendorong dengan sangat kencang membuat tubuh Nathania tersentak sentak diatas meja kayunya.
Raka seperti sengaja membiarkan Nathania mengenakan gaun pesta seksinya seakan ingin merasakan sensasi kemewahan dan kebrutalan yang dibenturkan secara langsung.
Nathania terus menggeliat sambil mencengkeram sisi meja, kuku-kukunya menancap di permukaan kayu yang mulai rapuh dimakan usia. Gaun pesta berwarna putih yang masih melekat di tubuhnya tampak kontras dengan suasana ruangan yang pengap dan suram. Gemerlap kainnya menangkap cahaya lampu redup seperti sisa-sisa kemewahan yang dipaksakan masuk ke dalam dunia yang bengis.Raka masih berdiri di belakangnya, diantara kedua paha Nathania yang mengangkang lebar. Tubuhnya bergerak dengan ritme yang tidak sepenuhnya konsisten—kadang lambat seperti menahan sesuatu yang dalam, kadang cepat seolah sedang mengejar bayangan yang tak kunjung tertangkap. Matanya tak pernah lepas dari wajah Nathania, seolah-olah lewat sorotnya, ia ingin memaksa gadis itu mengakui sesuatu yang bahkan tak mampu ia ucapkan sendiri.
Ssshhh.. Desahan tertahan keluar dari bibir Nathania, bukan karena kenikmatan semata, tapi karena pergulatan yang berkecamuk dalam dirinya. Setiap hentakan tubuh Raka bukan hanya menggoyang tubuhnya, tapi juga meruntuhkan satu per satu tembok pertahanan yang selama ini ia bangun—dari rasa takut, rasa bersalah, hingga hasrat yang tak pernah benar-benar ia akui.
"Aku tahu mata itu," bisik Raka, suaranya berat dan bergetar. "Mata yang sama seperti dulu. Mata yang pura-pura kuat, tapi menyimpan sesuatu yang retak di dalamnya."
Nathania menggigit bibirnya, kepalanya menengadah. Dia tak tahu lagi apa yang membuat tubuhnya tak memberontak. Mungkin karena sebagian dari dirinya memang sudah lama ingin melepaskan kendali. Atau mungkin karena di tengah semua kebrutalan ini, ada sesuatu yang terasa... nyata.
Ketika Raka menggenggam pinggangnya lebih erat, gerakannya melambat. Seperti menahan waktu. Dalam diam, hanya suara napas mereka yang mengisi lorong sunyi. Dan di antara setiap tarikan napas, ada sesuatu yang samar—rasa takut, rasa malu, tapi juga ketertarikan yang tak bisa dijelaskan dengan logika.
Meja itu berderit pelan. Seolah mengeluh, atau mungkin menjadi saksi dari dua jiwa yang tengah terbakar oleh sesuatu yang lebih dari sekadar nafsu. Sebuah tabrakan antara kekuasaan, sejarah, dan tubuh manusia yang lelah memikul beban cerita lama.
Seorang pria lain yang tak dikenalnya tapi jelas tidak asing bagi Raka muncul dalam bayangan. Wajahnya tidak berkata apa-apa, tapi caranya bergerak—pasti, tenang, seolah ini bukan pertama kalinya—menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran.
Dalam satu gerakan cepat dan tegas, ia mengangkat kedua tungkai kaki Nathania dan menaruh di pundaknya. Gaun yang sudah kusut itu tersingkap lebih jauh naik keatas tubuhnya, menyisakan kulit yang pucat tersinari lampu tua penerangan lorong. Tubuh Nathania refleks menegang, tapi tak ada perlawanan. Hanya jantungnya yang berdetak makin kencang, seperti hendak melarikan diri dari dadanya.
Napasnya tersendat. Ada bagian dari dirinya yang berteriak dalam diam—bukan karena takut, tapi karena bingung. Bingung mengapa tubuhnya tak menolak, mengapa rasa asing itu justru terasa familiar. Seperti mimpi buruk yang berkali-kali datang, namun tetap dinanti.
Tubuh Nathania terangkat sedikit saat dorongan pertama masuk begitu kuat. Ia mendesah, napasnya tercekat, tangan mencengkeram sisi meja yang dingin. Gaun pesta yang setengah terbuka membuat tubuhnya terasa lebih telanjang dari yang sebenarnya. Kaki-kakinya masih bertengger di pundak pria itu, membuka dirinya lebar, pasrah dalam posisi yang sulit untuk menghindar.
Pria itu mulai bergerak. Pelan di awal, menyesuaikan irama, lalu makin cepat dan dalam. Setiap dorongan pinggulnya membuat tubuh Nathania tersentak ke belakang, pinggulnya menghantam kasar permukaan meja yang keras dan tak rata. Tapi tak ada keluhan darinya. Hanya suara napas yang semakin berat, dan erangan yang semakin sulit ditahan.
Tangannya tak lagi menggenggam meja tapi dua orang yang ada dikanan dan kirinya mencoba memanfaatkan kelembut jemari tangannya untuk mengocok penis mereka. Gerakan tubuhnya mulai mengikuti irama sodokan pria itu, pinggulnya bergerak naik turun seraya menjemput setiap dorongan dengan insting yang tak lagi bisa dikendalikan.
Raka berdiri tak jauh, masih diam. Tapi rahangnya mengeras, matanya tajam menatap tubuh Nathania yang kini benar-benar terbuka. Ada sesuatu dalam sorotnya—bukan hanya nafsu, tapi penilaian. Ia seperti menunggu jawaban dari tubuh Nathania sendiri. Apakah dia menikmati? Atau hanya menyerah?
Nathania tak lagi tahu. Tapi tubuhnya bergerak, merespons setiap hentakan. Suaranya keluar makin jelas, makin dalam. Antara lelah dan terbakar. Antara malu dan ingin.
Suara meja yang berderit, hentakan tubuh, dan deru napas bercampur jadi satu. Lorong gelap itu penuh dengan suara yang tak bisa disangkal bahwa sesuatu sedang terjadi. Sesuatu yang tak bisa diulang. Dan mungkin... tak bisa dibatalkan.
Tubuh Nathania masih gemetar ketika pria tadi perlahan menarik diri, napasnya berat, namun tak ada satu pun kata yang diucapkan. Hanya gerakan diam yang menggambarkan akhir atau jeda dari perannya.
Langkah kaki lain terdengar mendekat. Berat, mantap, dan tanpa ragu. Pria berikutnya muncul dari bayangan lorong, langsung menggantikan posisi temannya. Ia tak menatap Nathania lama-lama. Ia hanya menggerakkan tubuhnya dengan efisien, langsung membalik posisi gadis itu hingga menelungkup di atas meja kayu yang kini terasa jauh lebih sempit.
Telapak kaki Nathania menapak lantai yang dingin. Tangannya bertumpu di atas permukaan meja yang kasar, pipinya menempel pada kayu yang dingin, napasnya masih belum stabil. Gaunnya nyaris terlepas, menggantung di salah satu lengan, tak lagi mampu menutupi apa pun.
Dan tanpa aba-aba, pria itu menghujam miliknya ke dalam tubuh Nathania dengan keras. Satu hentakan langsung menusuk jauh, membuat tubuhnya terdorong ke depan. Napasnya terhenti sejenak, terkejut oleh kekuatan dan kecepatannya. Erangan tertahan keluar dari tenggorokannya. Ia tak lagi bisa menyembunyikan reaksi tubuhnya. Segalanya kini terasa lebih kasar, lebih langsung.
Pria itu mulai bergerak, berirama, kedua tangannya mencengkeram pinggang Nathania erat. Setiap dorongan menghantam dengan intens, menggoyangkan seluruh tubuhnya di atas meja. Meja itu bergetar, berderit, seolah ikut menahan beban tubuh dan ketegangan yang meletup-letup di antara mereka.
Keringat mulai membasahi punggung Nathania, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajah. Tapi ia tak menepis. Ia diam. Tubuhnya justru mulai merespons, bergerak pelan mengikuti arah dorongan, seolah antara ingin lepas dan ingin lebih.
Dari kejauhan, Raka masih berdiri. Matanya menajam. Kali ini bukan sekadar mengamati—ada ekspresi yang berubah di wajahnya. Sesuatu antara kepuasan dan kecemasan. Seperti ia tengah menyaksikan sesuatu tumbuh dalam diri Nathania... sesuatu yang mungkin tak akan bisa dikendalikan kembali.
Dan Nathania... mulai merasakan itu juga. Dalam diamnya, dalam gesekan tubuh yang makin cepat dan keras, dalam desahan yang keluar tanpa ia sadari—ia tahu dirinya sedang berubah. Bukan karena siapa pria-pria itu. Tapi karena sesuatu di dalam dirinya sendiri yang selama ini ia pendam, kini mulai mengambil alih.
Pria kasar itu bergerak makin cepat. Nafasnya berat dan terdengar seperti dengusan binatang yang kehilangan kendali. Setiap hentakan tubuhnya membentur dengan keras, membuat meja tua itu berderit nyaring, nyaris seperti ingin patah. Suara-suara kasar itu memecah keheningan lorong gang Pecinan yang nyaris tak pernah dilalui orang, menyatu dengan tarikan napas Nathania yang makin pendek dan tidak beraturan.
Tangan kanan pria itu terangkat, menjambak rambut Nathania dari belakang. Kepala gadis itu terangkat paksa, lehernya tertekuk. Ia menggertakkan gigi, tidak tahu apakah harus melawan atau membiarkan semua ini lewat begitu saja. Tapi tubuhnya tetap di sana seakan masih terbuka dan menerima.
Penis pria itu terus menghantam dari belakang, ritmenya cepat dan liar. Nathania terdiam, tapi di balik diamnya, gejolak dalam dirinya seperti badai yang menabrak pantai kosong. Rasa sakit, rasa malu, dan sesuatu yang lebih samar… sesuatu yang tidak bisa ia benarkan tapi juga tidak bisa ia tolak.
Di sudut lorong sempit, Raka masih berdiri. Tapi kali ini sorot matanya bukan hanya tajam—melainkan gelap. Seolah yang ia lihat bukan lagi tubuh Nathania, tapi refleksi masa lalu. Pantulan dari trauma, amarah, dan birahi yang tak pernah selesai dituntaskan oleh sejarah.
Nathania memejamkan mata. Dalam kegelapan di balik kelopaknya, ia mencoba menjauh dari semua ini. Tapi tubuhnya tak bisa bohong. Setiap dorongan terasa nyata. Terlalu nyata. Ia tidak tahu apakah ia sedang hancur… atau justru terbentuk kembali menjadi sesuatu yang lain.
Tubuh pria itu mulai gemetar, otot-ototnya menegang. Setiap dorongan yang ia lakukan menjadi semakin pendek, semakin cepat, seperti mesin yang dipacu hingga batas terakhir. Keringat membasahi punggung dan pelipisnya, menetes ke kulit Nathania yang sudah lembap oleh panas dan tekanan.
Nafasnya memburu, tidak beraturan. Tubuh besar itu mulai kehilangan ritme, seolah dikendalikan sepenuhnya oleh dorongan naluriah yang tak bisa ditahan. Dan ketika ia mencapai puncaknya, suara dari mulutnya keluar seperti raungan—liar, dalam, dan penuh letupan rasa yang tak terucap.
“Ouhhh…” desahnya berat, penuh desakan, seperti binatang yang akhirnya mendapat apa yang dikejarnya.
Tubuh Nathania terdorong satu kali lagi lalu pria itu berhenti. Diam. Masih berdiri di tempatnya, dengan kedua tangan menahan pinggulnya, tubuhnya membungkuk sedikit di atas punggung Nathania yang masih menelungkup di meja.
Suasana lorong gelap menjadi hening sesaat. Hanya suara napas kasar dan gemetar yang tersisa. Meja kayu itu tak lagi bergerak, tapi retaknya seperti menyimpan gema dari semua yang baru saja terjadi.
Nathania tidak bergerak. Tubuhnya lemas, rambutnya menutupi sebagian wajah, kakinya goyah, namun matanya terbuka. Hampa, tapi tidak kosong. Ia mendengar langkah pria itu perlahan menjauh, meninggalkannya dalam diam, dalam tubuh yang masih berdenyut pelan karena sensasi yang belum sempat ia mengerti.
Raka masih ada di sana. Tak bergeming. Tapi matanya... berbeda. Ia melihat Nathania bukan lagi sebagai korban atau objek. Ada semacam ketakutan samar dalam pandangannya—karena apa yang tumbuh dalam diri gadis itu, bukan lagi sesuatu yang bisa dikendalikan.
Dan di tengah keheningan itu, Nathania menarik napas panjang. Dalam. Pelan. Seolah baru menyadari sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa: bahwa yang baru saja terjadi bukan akhir. Tapi awal dari perubahan yang tak bisa ditarik kembali.
Cairan hangat perlahan menetes, menyusuri paha Nathania yang masih gemetar. Ia merasakannya, tapi tak bereaksi. Kepalanya tertunduk, napasnya belum pulih sepenuhnya. Tubuhnya seperti masih bergema oleh sesuatu yang belum sempat selesai—seperti gema panjang dari kejadian yang terlalu cepat, terlalu dalam.
Raka mendekat. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara, tapi ada tekanan yang berat di setiap gerakannya. Ia menggenggam lengan Nathania, menariknya turun dari atas meja dengan satu gerakan tegas.
Tubuh Nathania mengikuti tanpa kata. Ia tidak lagi tahu mana yang disebut perlawanan dan mana yang disebut penerimaan. Yang ada hanya tubuh yang dibimbing, diarahkan, didudukkan ke dalam kehendak orang lain... atau mungkin kehendak dirinya yang selama ini ia sembunyikan.
Raka memutar tubuhnya, membuatnya berdiri membelakangi dinding lorong tua. Ia menunduk, hingga posisi Nathania menungging—kedua telapak tangannya bertumpu pada dinding yang lembab dan dingin, wajahnya nyaris menempel pada tembok berlumut. Nafasnya mulai teratur, tapi matanya kosong.
Gaunnya kini benar-benar tak berfungsi. Separuh tubuhnya terpapar dinginnya udara lorong. Tapi bukan itu yang membuatnya menggigil—melainkan kesadaran bahwa dirinya telah melampaui batas. Dan batas itu kini mengabur, tak lagi jelas siapa yang berkuasa, siapa yang menyerah.
Raka berdiri tepat di belakangnya. Ia mendekat, sangat dekat. Tubuhnya hangat, dadanya naik turun. Tapi berbeda dengan yang lain, gerakannya lambat. Ia seperti sedang menahan diri—atau sedang menikmati setiap detik sebelum sesuatu yang besar terjadi.
Tangannya menyentuh pinggang Nathania. Mencengkeramnya. Membimbing. Tapi tidak memaksa. Ada jeda di sana. Seperti menunggu… apakah Nathania akan berpaling? Atau tetap diam di tempatnya?
Dan Nathania… tak bergerak. Tak berkata. Tapi ia tidak menolak.
Di lorong sempit itu, suara yang terdengar hanyalah napas. Berat, dekat, dan penuh ketegangan yang belum meledak. Seolah waktu sendiri enggan berjalan lebih cepat—ingin melihat bagaimana semuanya akan pecah, atau larut begitu saja.
Raka berdiri tepat di belakang Nathania, tubuhnya menempel erat, kulit hitam legamnya kontras dengan punggung putih pucat gadis itu yang kini basah oleh keringat. Tangannya mencengkeram kuat di kedua pundak, seolah ingin memastikan Nathania tetap di tempatnya dan tetap dalam genggamannya atau bahkan dalam kendali penuhnya.
Tanpa peringatan, ia mulai bergerak. Gerakan pinggulnya menghantam dengan irama yang lebih cepat, lebih ganas. Tak lagi pelan atau terkendali seperti sebelumnya. Kini ada amarah, ada ketergesaan, ada sesuatu yang ia lepaskan lewat setiap hentakan itu seolah bukan hanya tubuh Nathania yang sedang ia hancurkan, tapi juga sesuatu yang selama ini menghantuinya.
Nathania mengerang. Bukan hanya karena rasa yang datang bertubi-tubi, tapi juga karena tubuhnya kini benar-benar kehilangan keseimbangan antara rasa sakit dan kenikmatan yang melebur jadi satu. Tangannya bertahan di dinding yang kasar, jari-jarinya mencakar pelan permukaan lembab itu. Wajahnya meringis, matanya yang sipit setengah terpejam tapi tidak menolak.
Setiap dorongan dari belakang membuat tubuhnya terdorong maju, tapi Raka menariknya kembali, menjaga agar tak satu pun bagian dari gadis itu terlepas dari genggamannya. Nafas mereka menyatu, terasa begitu berat, dalam, dan tak beraturan. Dan lorong sempit itu dipenuhi oleh suara napas, desahan, dan dentuman tubuh yang saling berbenturan.
Di balik tatapan tajam Raka, ada sesuatu yang mulai pecah. Ia melihat Nathania bukan lagi sebagai sekadar bayangan dari masa lalu. Tapi sebagai perempuan yang kini secara perlahan menjadi bagian dari kenangan baru. Yang tidak lagi tunduk… tapi juga belum sepenuhnya melawan.
Dan Nathania, dengan tubuh yang lelah dan pikirannya yang keruh, mulai menyadari satu hal: dirinya bukan lagi sama seperti sebelum ia masuk ke lorong ini.
Raka makin dalam dan cepat. Tubuhnya seperti mesin yang tak ingin berhenti sebelum semuanya runtuh. Gerakan pinggulnya menghantam tanpa jeda, tanpa belas kasihan. Nafasnya berat, seperti keluar dari dada yang menyimpan terlalu banyak bara.
Nathania terdorong ke depan, tapi tetap bertahan dengan kedua tangan bertumpu di dinding. Kepalanya terguncang ke kanan dan kiri, bukan karena ingin lepas—tapi karena tubuhnya tidak mampu lagi menampung gelombang demi gelombang sensasi yang datang bertubi-tubi. Lehernya tegang, bibirnya setengah terbuka, matanya kabur oleh kenikmatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Nathania terhempas ke depan tapi ia tetap bertahan dengan kedua tangannya menekan kuat ke dinding lorong yang dingin dan kasar. Tubuhnya terguncang keras setiap kali hentakan datang dari arah belakang, dan kepalanya ikut terhuyung ke kiri dan kanan, bukan karena ingin menghindar tapi karena tubuhnya sudah tak sanggup lagi menahan hantaman sensasi yang terus menghantam tanpa jeda. Lehernya menegang, otot-ototnya tertarik kaku, bibirnya terbuka separuh seperti ingin berteriak tapi suara itu tertahan, dan matanya mulai buram terisi oleh kenikmatan yang liar dan tak pernah ia bayangkan bisa datang dari tempat sekumuh ini.Raka merapatkan tubuhnya, tangannya mencengkeram pinggang Nathania lebih keras, seolah ingin menyatu lebih dalam, lebih dalam lagi. Ia menggumamkan sesuatu—kata-kata pendek, kasar, entah ditujukan pada siapa. Tapi Nathania tak lagi mendengarnya sebagai hinaan. Ia mendengar itu seperti gema—dari sejarah, dari luka lama, dari kebencian yang sudah lama tak punya tempat.
Namun yang paling mengejutkan bagi Nathania bukanlah kata-kata yang diucapkan, melainkan reaksi tubuhnya sendiri. Bagaimana dirinya bisa menerima semua ini, bukan sekadar dengan kepasrahan, tapi dengan keterlibatan yang perlahan mulai tumbuh dari dalam. Rasanya seperti ada garis tipis yang menghilang antara paksaan dan keinginan, membuat semuanya terasa kabur. Tubuhnya, entah bagaimana, justru seperti bicara lebih jujur dibanding pikirannya—seolah hanya tubuhnya yang tahu apa yang sebenarnya ia inginkan saat ini.
Dan ketika suara napas, erangan kenikmatan dan geliat tubuh itu mencapai puncaknya, Nathania tak lagi melawan. Ia hanya membiarkan dirinya larut. Bukan karena kalah. Tapi karena sesuatu dalam dirinya… akhirnya pecah.
Raka makin brutal. Dorongan pinggulnya semakin tak terkendali, cepat, keras dan tanpa jeda. Tubuh Nathania terdorong ke depan dan kebelakang, telapak tangannya mencakar dinding tua yang dingin. Nafasnya putus-putus dan dari mulutnya keluar suara erangan binal yang tak bisa ia kendalikan lagi.
Raka membungkuk sedikit kearah depan, mendekat ke telinga gadis itu. Suaranya berat, tajam, penuh bara:
"Baru digilir lima orang aja udah ngos ngosan Lo !! desisnya, keras. "Gitu aja udah lemas? Tadi sok kuat sekarang cuma bisa nungging kayak ini.
Nathania memejamkan mata. Bukan karena sakit, tapi karena kata-kata itu menusuk langsung ke lapisan yang lebih dalam dari tubuh—ke dalam pikirannya yang sudah remuk oleh gelombang perasaan yang campur aduk. Marah. Terhina. Tapi juga terbakar oleh sesuatu yang lebih rumit: perasaan kehilangan kontrol... dan diam-diam menikmatinya.
Raka menggenggam pinggangnya lebih kuat. "Lihat badan lo," katanya lagi, nadanya menghina, tapi bukan tanpa hasrat. "Bersih, putih, mahal… Tapi di sini, sekarang, lo nggak ada bedanya sama yang lain. Lo udah jadi milik gue sepenuhnya.
Tubuh Nathania bergetar, bukan karena udara malam yang dingin melainkan karena sesuatu di dalam dirinya yang selama ini tersembunyi rapat dan tak pernah benar-benar ia sentuh—akhirnya terbuka lebar. Dan saat itu juga, semua keyakinan yang selama ini ia pegang tentang siapa dirinya, serta batas-batas yang selama ini ia jaga dengan hati-hati, mulai memudar dan kehilangan bentuk.Tubuhnya mulai bergerak mengikuti setiap dorongan yang menghantam dari belakang, seolah kini tak ada lagi ruang untuk berpikir, hanya perasaan yang mengambil alih. Kepalanya menunduk, dan helaian rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah yang memerah karena napas yang memburu dan panas tubuh yang semakin tak tertahankan. Di antara suara langkah, gesekan kulit, dan napas kasar yang memenuhi lorong sempit itu, terdengar suara Nathania—pelan dan serak, nyaris seperti gumaman, namun di dalamnya ada gairah yang tak bisa lagi ia sangkal atau kendalikan.
"Iya..." bisiknya, terputus oleh napas, "gue milik lo malam ini...
Raka membeku sejenak, lalu dorongannya semakin liar. Nafasnya makin berat, seperti terpancing lebih dalam oleh kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu.
"Lo bisa nikmatin gue sepuasnya," lanjut Nathania, matanya terbuka setengah, menatap kosong ke dinding yang lembab. "Kayak lo nikmatin yang lain… waktu jaman rusuh itu.
Ada jeda sejenak. Suasana seperti terhenti satu detik seolah waktu menahan napas. Raka terdiam dan untuk sesaat, terlihat seperti kata-kata yang barusan diucapkan Nathania membawanya kembali ke masa lalu. Masa yang selama ini ia simpan rapat-rapat di balik sikap kasarnya. Namun ia tidak mengatakan apa-apa. Ia memilih merespons dengan tindakannya, bergerak lebih dalam, lebih keras, seolah ingin menghapus jejak kata-kata itu dari ruang di antara mereka.Nathania mengerang, bukan semata karena tubuhnya diliputi sensasi yang terlalu kuat untuk ditahan, tapi karena pikirannya seperti dipaksa terbuka terhadap sesuatu yang selama ini tak pernah ia bayangkan. Ia sadar bahwa dirinya bukan lagi seperti dulu. Apa yang ia rasakan saat ini bukan soal cinta atau kelembutan, melainkan tentang penyerahan yang nyaris tak masuk akal—tentang melepaskan kendali di tengah kekacauan yang dulu hanya ia pahami lewat berita atau cerita orang lain. Dan sekarang, ia berada di tengah semua itu dan secara mengejutkan ternyata ia menikmatinya.
"Terusin.. oough.. katanya pelan, sengau, setengah sadar. "Hancurin gue. Lo udah mulai… jangan berhenti.
Ucapannya tidak lagi terkontrol. Setiap kata yang keluar bukan dari logika, tapi dari sisi gelap dalam dirinya yang selama ini ia tahan, ia bungkam, ia tolak.
Kata-kata Nathania seperti cambuk bagi Raka. Ada sesuatu yang tersulut dalam dirinya—amarah, gairah, atau mungkin luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh. Ia menghantam lebih dalam, lebih cepat, seperti kehilangan kendali. Gerakannya tak lagi sekadar naluriah—tapi brutal, penuh muatan yang tak terucapkan.
Nathania menggigit bibir, tubuhnya terbentur dinding, tapi ia tak menolak. Ia bahkan mendorong diri ke belakang, menyambut, menelan setiap serangan itu dengan tubuh yang kini sepenuhnya terbuka, pasrah, bahkan haus.
Raka mencengkeram pinggangnya erat, napasnya berat dan terbakar. Suara desahan mereka memenuhi lorong sempit itu, bercampur dengan dentuman tubuh dan derak dinding tua.
Dan akhirnya dengan satu dorongan keras, tubuh kekar Raka langsung menegang. Seluruh tubuhnya tertarik ke dalam, punggungnya melengkung, dan dalam sekejap, ia pun pecah. Suara raungan pendek lolos dari mulutnya, dalam, dalam sekali, seolah melepaskan semua beban, kemarahan, dan hasrat yang selama ini ia tekan.
Ia diam, masih melekat di belakang tubuh Nathania, yang kini mulai limbung. Mereka berdua terdiam, hanya suara napas yang tersisa, membasahi udara yang panas dan lembap.
Raka perlahan melepas cengkeramannya, langkahnya mundur, tapi matanya masih menatap tubuh Nathania yang setengah membungkuk, tak bergerak, namun tak sepenuhnya lemas. Ada sesuatu yang lain di sana. Sebuah keheningan yang aneh. Seperti titik balik.
Dan di dalam dada Nathania, sesuatu pun berubah. Bukan sekadar karena tubuhnya telah dilalui dan diambil, tapi karena dirinya sendiri… telah melangkah melewati batas yang selama ini ia tolak untuk dilihat.
Nathania berdiri pelan. Tubuhnya masih bergetar, bukan lagi karena gairah, melainkan karena kelelahan yang merayap dari dalam. Ia tak berkata sepatah kata pun. Hanya menarik napas panjang sambil meraih gaun pesta yang kini hampir tak berbentuk. Jemarinya gemetar saat ia merapikan lipatan kain yang sudah lecek, menutupi tubuhnya seadanya, seolah mencoba mengembalikan sesuatu yang tak bisa benar-benar dipulihkan.
Langkah kakinya gontai. Sepatunya sempat hilang satu entah ke mana. Tapi ia tak mencarinya. Ia berjalan menyusuri lorong yang remang, kembali ke arah jalan utama, hingga cahaya dari lampu jalan menyinari Mercedes putihnya yang mengilap dan dingin—terlalu bersih untuk menampung tubuh yang kini terasa asing baginya sendiri.
Sesaat sebelum membuka pintu mobil, ia menoleh. Dari kejauhan, ia melihat mereka—Raka dan empat pria lainnya sedang duduk di pos kecil, mengisap rokok sambil tertawa pelan. Wajah-wajah lelah tapi puas. Seperti malam itu telah menandai keberhasilan mereka mengulang sesuatu yang pernah mereka lakukan... di masa lalu. Sesuatu yang selama ini terkubur, tapi tak pernah hilang sepenuhnya.Tepat sebelum membuka pintu mobil, Nathania sempat menoleh ke belakang. Dari kejauhan, ia melihat Raka bersama empat pria lainnya sedang duduk santai di pos kecil, masing-masing mengisap rokok sambil tertawa pelan. Wajah mereka tampak lelah, namun ada kesan puas yang sulit disembunyikan—seolah malam itu menjadi semacam pencapaian, karena mereka berhasil mengulang sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu. Sesuatu yang selama ini mungkin sudah terkubur dalam-dalam, tapi nyatanya belum benar-benar hilang.
Raka sempat melirik ke arah Nathania. Tatapan mereka bertemu hanya sebentar, tanpa senyuman atau sapaan, tapi cukup untuk menyampaikan sesuatu yang tak terucap. Bagi Raka, momen itu terasa seperti kemenangan kecil—semacam pengulangan dari kejadian lama, hanya saja kali ini berlangsung dengan cara yang tampak lebih tenang dan tanpa paksaan. Sementara itu, di dalam diri Nathania, muncul perasaan aneh yang belum bisa ia jelaskan. Ia belum tahu apa namanya tetapi ia merasakannya dengan jelas di dadanya.
Tanpa bicara Nathania langsung masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin, lalu melaju perlahan ke arah kota. Di kaca spion, bayangan pos kecil itu semakin mengecil lalu lenyap. Namun dalam pikirannya, semuanya masih menggema. Bau lorong, suara napas kasar, genggaman tangan di kulitnya dan yang paling sulit dilupakan dirinya sendiri yang tak lagi sama.
Nice on...!
BalasHapuslanjutkan gan
BalasHapusnathania is the best sudah kodrat memek ama rahimnya minta kontol dan pejuh huana
BalasHapusupdate gan
BalasHapusmau nathania vs raka di kamar nathania....
BalasHapus