Langsung ke konten utama

Satu Suapan Dua Hisapan

Haii.. namaku Liliana seorang mahasiswi berusia 20 tahun. Aku mau bercerita tentang pengalaman nakalku beberapa waktu yang lalu. Aku adalah seorang gadis chinese yang memiliki hyperseksual yang dalam hal ini kecanduan akan kebiasaan sepongan (melakukan oral seks terhadap kemaluan pria). Sudah lama sekali aku waktu pertama kali menghisap kemaluan pria. Waktu itu umurku sekitar 17 tahun dan melakukannya bersama seorang oknum guru disekolah. 

Waktu itu nilai ujianku sangat jelek dan beliau mengatakan aku bisa tidak naik kelas kalau seperti ini terus. Entah apa yang ada dalam pikirannya kemudian beliau menawarkan sebuah solusi praktis padaku untuk melakukan oral seks yang akhirnya kami sepakati untuk dilakukan didalam kelas yang sudah sepi.


Dan entah kenapa setelah kejadian itu, aku
malah jadi ketagihan dan selalu tertarik untuk melakukannya lagi dengan orang yang berbeda. Namun untuk mewujudkan hal itu tentu tak mudah bagiku sehingga 
Aku benar-benar tidak puas dengan tidak terpenuhinya keinginanku untuk menghisap kemaluan pria. 

Masalahnya saya sering dipingit orang tua, apalagi ditambah dengan lingkungan sekolah saya yang merupakan sekolahan khusus cewek. Jadi saya sering sakaw (menagih) kemaluan pria. Suatu malam, saya sudah benar-benar tidak tahan lagi. Cerita dan film dewasa pun tidak bisa memuaskan saya. Bahkan waktu saya melakukan masturbasi pun saya tetap merasa kurang puas.

Malam itu Aku yang sehabis masturbasi didalam kamar tidurku sendiri, kemudian membuka jendela kamar yang berada di lantai 2 rumah. Waktu itu jam 23:30. Aku melihat jalanan di depan rumah sudah sepi sekali. Tiba-tiba ide gilaku mulai lagi. Aku dengan nekat, diam-diam keluar rumah sambil mengenakan daster tipis yang menerawang serta tak mengenakan daleman sama sekali. Tanpa sepengetahuan siapa pun yang ada di rumah karena semua sudah pada tidur. Aku sampai nekat melompat pagar dengan harapan ada cowok atau pria yang melihat dan memperkosaku. Apapun asal saya bisa menghisap kemaluannya.

Di komplekku memang sepi sekali pada jam-jam segitu. Saya sedikit menyesal juga, kenapa saya tidak keluar agak lebih sore. Agak dingin juga malam itu atau mungkin juga karena saya tidak memakai selembar pakaian pun. Di ujung jalan, saya melihat masih ada mas Agus, tukang nasi goreng langganan saya yang masih berjualan. Langsung saya sapa dia.

"Mas Agus, nasi gorengnya dong…” panggilku sambil melongok ke dalam gerobaknya yang terparkir di ujung gang.

Mas Agus menoleh, matanya sempat membulat sebelum menyipitkan pandangan karena cahaya lampu jalan yang remang. “Lho, Non Lili? Ini udah hampir tengah malam, kok masih keluyuran? Mana pake baju tidur... kayak gitu…” katanya, nada heran dan bingung tercampur jadi satu.

Aku cuma nyengir kecil. “Panas, Mas. AC kamarku mati. Tadi niatnya cuma buka jendela, eh malah jadi pengin jajan. Lagian... ini masih masuk jam orang kelaparan tengah malam kan?” ujarku sambil memeluk tubuh sendiri karena udara malam mulai menusuk.

Mas Agus mengangguk pelan, masih tampak kikuk. “Iya sih, tapi Non... ya ampun, baju tidurnya tuh... tipis banget. Saya sampe... ya, kaget aja liatnya,” katanya, matanya cepat-cepat berpaling ke wajan.

Aku tertawa pelan, setengah menggoda. “Mas yang mikirnya kejauhan. Ini cuma daster biasa, bahannya emang adem. Bukan salahku kalau mata Mas susah diajak kompromi,” godaku.

Mas Agus menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, lalu mulai menyiapkan wajan dan menuangkan sedikit minyak.
“Non Lili memang sering beli nasi goreng malam-malam begini sih… tapi biasanya nggak pakai baju tidur yang… ya, segini tipisnya.”

Aku menyandarkan diri ke tiang gerobaknya, sedikit membungkuk agar bisa melihat ke dalam wajan. “Ya masa tiap malam aku pakai jeans cuma buat beli nasi goreng, Mas?”

Dia terkekeh, akhirnya mulai lebih santai. “Ya juga sih. Tapi beneran, Non Lili bikin saya salah fokus. Tadi juga udah niat mau beres-beres jualan, eh... dipanggil suara lembut gitu, ya mana bisa nolak.”

Aku mengangkat alis, tersenyum iseng. “Suara lembut atau... daster tipisnya yang bikin Mas batal pulang?”

Mas Agus melirikku sekilas, lalu tertawa, agak malu-malu. “Dua-duanya deh kayaknya. Tapi serius, saya jadi deg-degan sendiri.”

“Mas deg-degan karena saya?” tanyaku, manja.

Dia mengangguk sambil menuang nasi ke dalam wajan. “Iya... soalnya Non Lili itu kadang suka bikin saya bingung. Udah cantik, ramah, eh... sekarang makin menggoda aja.”

Aku pura-pura tak mengerti. “Menggoda gimana maksudnya?”

“Ya... gitu deh,” katanya cepat, lalu menunduk seolah-olah terlalu sibuk dengan wajan nasi gorengnya.

Kami pun tenggelam dalam percakapan ringan di bawah lampu jalan yang temaram, diiringi aroma tumisan bawang putih dan telur yang mulai harum. Entah kenapa, malam itu terasa lebih hangat—meskipun angin masih terus berembus lewat gang sempit di depan rumah.

Aku berdiri bersandar di tiang gerobaknya, pura-pura memperhatikan cara Mas Agus membolak-balik nasi di atas wajan. Tapi sesungguhnya, pikiranku tak sepenuhnya ada di situ.

Sesekali aku melirik ke arahnya—lebih tepatnya ke bagian bawah tubuhnya. Gerak-geriknya canggung. Celananya tampak sedikit menegang di bagian depan, meski dia berusaha tetap bersikap biasa. Tapi aku tahu, aku bisa merasakannya. Reaksi itu tidak mungkin kebetulan.

Aku menggigit bibir bawahku pelan, berusaha menahan gelombang aneh yang merayap naik dari dalam tubuh. Udara malam yang tadinya terasa sejuk kini justru membuat kulitku seperti terbakar. Nafasku sedikit memburu.

Sebenarnya aku datang tak hanya untuk membeli nasi goreng. Tapi ada yang lain di balik itu. Sudah beberapa malam aku memperhatikan Mas Agus. Sikapnya yang ramah, wajahnya yang selalu tampak lelah tapi tulus, serta tangan-tangannya yang cekatan di depan wajan—semua itu entah sejak kapan mulai terasa... memikat. Dan malam ini, entah kenapa, aku tidak bisa lagi menahan gelombang rasa yang sejak tadi menggedor-gedor pikiranku.

Aku menatapnya lebih lama. Ia seperti menyadari sesuatu, tapi pura-pura tak tahu. Mungkin dia merasa gugup. Tapi justru itu yang membuatku semakin ingin mendekat. Ingin tahu sampai seberapa jauh batasnya. Seberapa lama ia bisa menahan godaan yang kutawarkan tanpa kata-kata.

“Mas,” panggilku pelan, nyaris seperti bisikan. Ia menoleh, sedikit kaget, mungkin karena nadaku yang berubah.

“Hm?”

Aku mendekat satu langkah, hanya satu, tapi cukup untuk menghapus jarak yang membuat udara di antara kami terasa panas dan penuh tegangan. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ia mencoba tetap fokus, tapi matanya tak lagi setenang tadi.

“Terima kasih ya, udah masih buka jam segini,” kataku, suaraku masih rendah.

Ia mengangguk cepat, wajahnya terlihat kaku. “Iya… iya, sama-sama.”

Aku menatap matanya. “Mas pasti capek, ya?”

Dia mencoba tersenyum. “Lumayan. Tapi… kalau pelanggannya kayak Non Lili, ya rasanya jadi nggak apa-apa. Hehe…”

Aku tersenyum samar, lalu membiarkan keheningan sesaat mengisi ruang di antara kami. Tapi di balik diam itu, ada riak yang tak terlihat. Ada ketegangan yang tak bisa disangkal. Aku bisa merasakannya di udara, di pandangan matanya, dan juga pada sesuatu yang ia coba sembunyikan tapi tak bisa ia kendalikan sepenuhnya.

Dan saat aku menyadari bahwa pikiranku mulai melampaui apa yang bisa dikatakan, aku hanya bisa berdiri di sana membiarkan malam dan hawa panas tubuhku bicara lebih jujur daripada mulutku sendiri.

Aku berdiri semakin dekat ke gerobak, membiarkan dasterku yang tipis tertiup angin malam. Sambil pura-pura melihat cara Mas Agus mengaduk nasi, aku berkata dengan nada lembut:

"Mas sering masak sampe jam segini? Apa nggak capek?"

Mas Agus tersenyum, matanya sesekali melirikku tanpa sengaja. "Ya namanya juga cari rezeki, Non. Udah biasa begadang."

Aku mengangguk pelan, lalu membungkuk sedikit, pura-pura melihat ke dalam wajan. "Tapi… saya heran deh. Mas kayaknya kuat banget ya. Badannya juga masih fit. Kayaknya bisa tahan semalaman."

Mas Agus terkesiap sedikit, lalu tertawa gugup. "Waduh, Non Lili ini bisa aja. Nasi goreng aja belum matang, udah dibilang kuat semalaman."

Aku tersenyum tipis. "Iya dong, saya kan bisa lihat dari gerakan tangan Mas. Cepat, tapi tetap lembut."
Lalu aku menatapnya sejenak, lebih lama dari biasanya. "Saya suka yang begitu."

Mas Agus mulai kikuk, tapi tak menjauh. Tangannya masih mengaduk nasi, tapi napasnya sedikit berubah.

Aku terus menekan, dengan suara lebih pelan, hampir seperti bisikan.
"Mas…"
Ia menoleh.
"Kalau saya minta tambahan telur… bisa kan?"

Dia menelan ludah. "Bisa, Non. Mau dua sekalian?"

Aku tersenyum lebar. "Dua? Waduh… nanti saya ketagihan lagi."
Kutinggalkan tawa ringan, lalu diam menatap matanya. Udara di antara kami mulai terasa tebal. Aku tahu Mas Agus sudah mulai gelisah. 

Mas Agus menunduk, pura-pura sibuk membolak-balik nasi di atas wajan, tapi dari caranya menarik napas dan menelan ludah, aku tahu pikirannya mulai tidak karuan.

Aku mencondongkan tubuh sedikit ke depan, mendekatkan wajahku ke arahnya. Suara adukan nasi di atas wajan terdengar makin cepat.

"Mas…" bisikku.
"Hati-hati loh. Tangan Mas bisa kebakar kalau terlalu tegang.

Dia menoleh sebentar, lalu buru-buru kembali menatap wajan. "Saya nggak tegang kok," katanya cepat.

Aku tertawa pelan. "Masa sih? Tapi kayaknya... yang lain malah tambah keras ya."

Mas Agus langsung kaku. Tangannya berhenti sejenak, lalu ia kembali mengaduk, kali ini tanpa komentar. Wajahnya memerah, jelas bingung antara malu dan terangsang.

Aku mendekat lagi, nyaris menyentuh bahunya.
"Kalau Mas lapar, tinggal bilang lho… saya juga bisa 'masak' sesuatu buat Mas."

"Non Lili… ini bercandaan bahaya," katanya dengan suara rendah, nyaris serak.

"Bercanda? Siapa bilang saya bercanda?" ujarku sambil mengedip nakal.
"Tadi Mas liatin aku dari atas sampai bawah, pikir aku nggak sadar? Tapi aku suka kok... diliatin Mas kayak gitu."

Mas Agus menggigit bibirnya sendiri. Kepalanya tertunduk, seolah sedang berperang melawan niatnya sendiri. Tapi celananya tak bisa bohong. Ketegangannya makin jelas.

Aku berdiri lebih dekat, sampai dasterku nyaris menyentuh sisi tubuhnya. Tanganku dengan santai menyentuh pinggiran meja gerobak, jari-jari bergerak pelan.

"Mas..."
Ia diam.
"Kalau aku nakal malam ini… Mas marah nggak?"

Tak ada jawaban. Hanya suara napasnya yang makin berat. Hanya diam panjang… dan keheningan malam yang mulai terasa panas.

Aku tahu, aku sudah menang. Aku lihat ke arah celananya, aku tahu batang kemaluannya sudah berubah jadi bertambah besar dan tegang. Karena saya sudah tidak tahan lagi untuk segera menghisap kemaluannya, saya nekat juga. 

Aku jongkok sambil membuka ritsletingnya dan mengeluarkan batang kejantanannya dari dalam CD-nya. Tidak pakai basa-basi, saya masukkan alat vitalnya mas Agus ke dalam mulut saya. Saya jilat-jilat sebentar lalu saya hisap dengan bibir. Saya yakin mas Agus merasakan senang yang tiada tara, seperti mendapatkan rejeki nomplok. Tidak hanya itu, saya juga menjilati dua telor mas Agus. Memang agak bau sih, tetapi saya benar-benar menikmati kejantanan mas Agus yang sekarang dia mulai bersuara, “Mmmh… mmmh… uhhh…”

Kira-kira 15 menit saya menikmati kemaluannya mas Agus, tiba-tiba mas Agus menyuruhku untuk berdiri. Dia memelorotkan celana dan CD-nya sendiri sampai bawah dan menyuruh saya berbalik. 

Sekarang aku disuruh membelakangi mas Agus. Mas Agus jongkok dan menjilati kemaluan saya. Saya langsung merasakan kenikmatan yang hebat sekali. Hanya sebentar dia melakukan itu. Selanjutnya dia berdiri lagi dan memasukkan batang kejantanannya ke liang senggama saya. Kami berdua melakukan senggama sambil berdiri. Saya melakukannya sambil pegangan di gerobak nasi gorengnya. Saya sudah benar-benar merasa keenakan.

“Uuuh… enaaak bang.. akkhh… akkh… akhhh… aku terus menjerit-jerit kegilaan, untung tidak ada yang mendengar.

“Mas kalo udah mau keluar, bilang ya…” pinta saya.

“Uuuukh.. kayaknyaaa.. uuuudah mauuu... keluuuuar.. neng.. jawabnya sambil mengerang panjang.

Langsung saja saya melepaskan batang kejantanannya dari liang vagina saya dan jongkok di hadapan kemaluannya yang mengacung tegak. Tetapi setelah saya tunggu beberapa detik, ternyata air maninya tidak keluar-keluar. 

Terpaksa saya kocok dan hisap lagi batang kejantanannya, saya jilati, dan saya gigit-gigit kecil. Setelah itu tibalah saatnya saya menerima upah yang dari tadi saya sudah tunggu-tunggu, yaitu air maninya yang memang lezat.

“Crot.. crot.. crot…” semuanya saya minum seperti orang yang kehausan.
Langsung saja saya telan dan saya bersihkan kejantanannya dari air mani yang tersisa.
Bertepatan dengan itu, 2 laki-laki lewat di depan kami. Ternyata mereka adalah bapak-bapak yang tinggal di komplek ini yang sedang meronda.

“Lho, mas Agus lagi ngapain..?” kata seorang bapak di situ.
“Ah ngga pak… mmm… ini neng Lily…” jawab mas Agus malu-malu.
“Ini Om, saya habis ‘gituan’ sama mas Agus…” saya jawab begitu nekat dengan harapan 2 bapak ini juga mau memperkosa saya seperti yang telah saya lakukan dengan si penjuali nasi goreng.

Mereka keheranan setengah mati mendengar pengakuan saya itu.
“Adik ini tinggal dimana?” tanya salah satu dari mereka.
“Di sana, di blok F.” jawab saya.
“Ayo pulang sudah malam..!”
Dan saya pun diseret pulang. Saya takut setengah mati karena jika sampai saya dibawa pulang, pasti ketahuan sama orang tua dan saya bakal digantung hidup-hidup.
Di tengah jalan, saya beranikan diri berkata pada mereka, “Om, mau nyusu ngga..?”
“Jangan main-main kamu…”
“Ayolah Om…. saya tau kok, Om mau juga kan ngewe sama saya..?”
Mendengar itu, si Om langsung terangsang berat. Saya langsung mengambil kesempatan meraba-raba batang kejantanannya yang tegang.
“Ayo dong Om… saya pengen banget lho…” saya bilang lagi untuk menegasakan maksud saya.

Bapak yang satunya lagi langsung setuju dan berkata, “Ya udah, kita bawa ke pos ronda aja pak Karim…” dan pak Karim pun setuju.
Setibanya di sana, ternyata masih ada 3 orang lagi yang menunggu di sana, termasuk bang Parli, hansip di komplek saya. Saya kegirangan sekali, bayangkan saya akan mendapatkan 6 batang kejantanan dalam semalam. 

Gila… beruntung sekali saya malam itu. Setelah kami berenam ngobrol-ngobrol sebentar tentang kejadian antara aku dan mas Agus, aku langsung memberanikan diri menawarkan kesempatan emas ini ke mereka,.

"Pak sebenernya aku pengen banget ngerasain barangnya bapak-bapak ini… 

Mereka langsung terlihat bernafsu dan terangsang mendengar perkataan saya, dan saya jelas mengetahuinya. Saya suruh mereka berlima melepas celana dan CD mereka sendiri dan duduk di bangku pos hansip itu. 

Mereka berbaris seperti menunggu antrian dokter saja. Batang kemaluan mereka besar-besar juga. Saya langsung memulai dengan batang kejantanan yang paling kanan, yaitu senjata keperkasaannya bang Parli. Aku emut dan hisap pelan pelan, aku gigit-gigit kecil, kemudian kukocok di dalam mulut, dan tak lupa juga kujilati keseluruhan batangnya dan termasuk juga telurnya. Begitu juga pada batang keperkasaan yang kedua, ketiga, keempat, dan yang terakhir miliknya pak Karim.

Setelah selesai, saya masih belum puas kalau belum meminum air mani mereka. Lalu saya duduki batang kejantananmya bang Parli sampai masuk ke liang senggama saya. Saya kocok-kocok di dalam vagina saya. Sementara itu, pak Karim dan satu bapak lainnya menjilati dan menghisap puting susu saya, sedangkan yang dua bapak lainnya menunggu giliran. 

10 menit setelah itu, saya sudah setengah tidak sadar, siapa yang menggenjot lubang senggama saya, siapa saja yang menghisap buah dada saya, batang kejantanan siapa saja yang sedang saya sepong, seberapa keras jeritan saya dan berapa kali saya sudah keluar karena orgasme. Ada pula saatnya ketika satu senjata kejantanan masuk ke lubang vagina saya, sedangkan satu senjata lagi masuk ke lubang anus saya sambil saya menghisap 3 batang kemaluan secara bergantian. Pokoknya saya sudah tidak sadar lagi. Karena merasakan kenikmatan yang benar-benar tiada tara.

Untungnya mereka tidak mengeluarkan air maninya di dalam lubang kewanitaanku, kalau tidak bisa hamil nanti akunya… berabe dong..! Lagipula saya berniat meminum semua air mani mereka. Akhirnya saat yang saya tunggu-tunggu, yaitu saatnya saya berjongkok di depan mereka dan mereka mengelilingi wajah saya sambil mengocok-ngocokkan barang mereka masing-masing. Sesekali saya masih juga menghisap dan menyedot kelima batang kejantanan itu dengan lembut.

Akhirnya, “Crot… crot… crot… crot…. crot…” saya malam itu seperti mandi air mani. Saya merasa puas sekali.
Waktu pulang, saya diantarkan bang Parli, si hansip. Ketika sudah sampai di depan rumah saya, sekali lagi bang parli membuka ritsletingnya dan menyodokkan batang kejantanannya ke dalam lubang senggama saya. 

Saya melakukannya sambil nungging berpegangan ke pagar depan rumah saya. Selama 10 menit saya dan bang parli melakukan senggama di depan pagar rumah saya. Air maninya sekarang terpaksa dikeluarkan di punggung saya. Saya tidak menyesal karena air maninya kali ini tidak terlalu banyak. 

Aku membuka pagar lagi, dan masuk ke kamar diam-diam. Sampai di kamar sudah jam 3 lebih. Badan saya seluruhnya malam itu bau sperma. Saya langsung tidur tanpa mandi dahulu karena besoknya saya harus ke kampus. Saya yakin mereka semua akan tutup mulut sebab takut dengan istri mereka masing-masing

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jebakan Minimarket

Pengantin Brutal

Jebakan Minimarket 2

Amoy Diatas Dongkrak

Pemulung Sadis

Tragedi Pasar Pecinan

Pengakuan Cici Pik

Chindo Seksi Jadi Rebutan 6

Begal payudara

Chindo Seksi Jadi Rebutan