Cerita ini berawal dari kenakalan papa tiri
dan kepasrahan diriku. Perkenalkan namaku Vina, usiaku 16 tahun. Aku sekarang
duduk bangku SMU dikota medan . Suatu hari aku mendapat pengalaman yang
tentunya baru untuk gadis seukuranku. Oya, aku gadis keturunan Cina Sehingga
wajar saja kulitku terlihat putih bersih dan satu lagi, ditaburi dengan
bulu-bulu halus di sekujur tubuh yang tentu saja sangat disukai lelaki. Kata teman-teman,
aku ini cantik lho.
Memang
siang ini cuacanya cukup panas, satu persatu pakaian yang menempel di tubuhku
kulepas. Kuakui, kendati masih ABG tetapi aku memiliki tubuh yang lumayan
montok. Bila melihat lekuk-lekuk tubuh ini tentu saja mengundang jakun pria
manapun untuk tersedak. Dengan rambut kemerah-merahan dan tinggi 167 cm, aku
tampak dewasa. Sekilas, siapapun mungkin tidak percaya kalau akuadalah seorang
pelajar. Apalagi bila memakai pakaian casual kegemaranku. Mungkin karena
pertumbuhan yang begitu cepat atau memang sudah keturunan, entahlah. Tetapi
yang jelas cukup mempesona, wajah oval dengan leher jenjang, uh.. entahlah
Vina |
Pagi tadi sebelum berangkat ke sekolah,
seperti biasanya aku berpamitan dengan kedua orangtuaku. Cium pipi kiri dan
kanan adalah rutinitas dan menjadi tradisi di keluarga ini. Tetapi yang menjadi
perhatianku siang ini adalah ciuman Papa. Seusai sarapan pagi, ketika Mama
beranjak menuju dapur, aku terlebih dahulu mencium pipi Papa. Papa Robi (begitu
namanya) bukan mencium pipiku saja, tetapi bibirku juga. Seketika itu, aku
sempat terpaku sejenak. Entah karena terkejut untuk menolak atau menerima
perlakukan itu, aku sendiri tidak tahu.
Papa Robi sudah setahun ini menjadi Papa
tiriku. Sebelumnya, Mama sempat menjanda tiga tahun. Karena aku dan kedua
adikku masih butuh seorang ayah, Mama akhirnya menikah lagi. Papa Robi memang
termasuk pria tampan. Usianya pun baru 38 tahun. Teman-teman sekolahku banyak
yang cerita kalau aku bersukur punya Papa Robi.
"Salam ya sama Papa kamu.." ledek
teman-temanku.
Aku sendiri sebenarnya sedikit grogi kalau
berdua dengan Papa. Tetapi dengan kasih sayang dan pengertian layaknya seorang
teman, Papa pandai mengambil hatiku. Hingga akhirnya aku sangat akrab dengan
Papa, bahkan terkadang kelewat manja. Tetapi Mama tidak pernah protes, malah dia
tampak bahagia melihat keakraban kami.
Tetapi ciuman Papa tadi pagi sungguh diluar
dugaanku. Aku memang terkadang sering melendot sama Papa atau duduk sangat
dekat ketika menonton TV. Tetapi ciumannya itu lho. Aku masih ingat ketika
bibir Papa menyentuh bibir tipisku. Walau hanya sekejab, tetapi cukup membuat
bulu kudukku merinding bila membayangkannya. Mungkin karena aku belum pernah
memiliki pengalaman dicium lawan jenis, sehingga aku begitu terkesima.
"Ah, mungkin Papa nggak
sengaja.." pikirku.
Esok paginya seusai sarapan, aku mencoba
untuk melupakan kejadian kemarin. Tetapi ketika aku memberikan ciuman ke Mama,
Papa beranjak dari tempat duduknya dan menuju kamar. Mau tidak mau kuikuti Papa
ke kamar. Aku pun segera berjinjit untuk mencium pipi Papa. Respon Papa pun
kulihat biasa saja. Dengan sedikit membungkukkan tubuh atletisnya, Papa
menerima ciumanku. Tetapi setelah kucium kedua pipinya, tiba-tiba Papa
mendaratkan bibirnya ke bibirku. Serr.., darahku seketika berdesir. Apalagi
bulu-bulu kasarnya bergesekan dengan bibir atasku. Tetapi entah kenapa aku
menerimanya, kubiarkan Papa mengulum lembut bibirku. Hembusan nafas Papa Robi
menerpa wajahku. Hampir satu menit kubiarkan Papa menikmati bibirku.
"Baik-baik di sekolah ya.., pulang
sekolah jangan keluyuran..!" begitu yang kudengar dari Papa.
Sejak kejadian itu, hubungan kami malah
semakin dekat saja. Keakraban ini kunikmati sekali. Aku sudah dapat merasakan
nikmatnya ciuman seorang lelaki, kendati itu dilakukan Papa tiriku, begitu yang
tersirat dalam pikiranku. Darahku berdesir hangat bila kulit kami bersentuhan.
Begitulah, setiap berangkat sekolah, ciuman
ala Papa menjadi tradisi. Tetapi itu rahasia kami berdua saja. Bahkan pernah
satu hari, ketika Mama di dapur, aku dan Papa berciuman di meja makan. Malah
aku sudah berani memberikan perlawanan. Lidah Papa yang masuk ke rongga mulutku
langsung kuhisap. Papa juga begitu. Kalau tidak memikirkan Mama yang berada di
dapur, mungkin kami akan melakukannya lebih panas lagi.
Hari ini cuaca cukup panas. Aku mengambil
inisiatif untuk mandi. Kebetulan aku hanya sendirian di rumah. Mama membawa
kedua adikku liburan ke luar kota
karena lagi liburan sekolah. Dengan hanya mengenakan handuk putih, aku
sekenanya menuju kamar mandi. Setelah membersihkan tubuh, aku merasakan segar
di tubuhku.
Begitu hendak masuk kamar, tiba-tiba satu
suara yang cukup akrab di telingaku menyebut namaku.
"Vin.. Vin.., Papa pulang.." ujar
lelaki yang ternyata Papaku.
"Kok cepat pulangnya Pa..?"
tanyaku heran sambil mengambil baju dari lemari.
"Iya nih, Papa capek.." jawab
papa dari luar.
"Kamu masak apa..?" tanya papa
sambil masuk ke kamarku.
Aku sempat kaget juga. Ternyata pintu belum
dikunci. Tetapi aku coba tenang-tenang saja. Handuk yang melilit di tubuhku
tadinya kedodoran, aku ketatkan lagi. Kemudian membalikkan tubuh. Papa rupanya
sudah tiduran di ranjangku.
"Ada
deh..," ucapku sambil memandang Papa dengan senyuman.
"Ada
deh itu apa..?" tanya Papa lagi sambil membetulkan posisi tubuhnya dan
memandang ke arahku.
"Memangnya kenapa Pa..?" tanyaku
lagi sedikit bercanda.
"Nggak ada racunnya kan ..?" candanya.
"Ada ,
tapi kecil-kecil.." ujarku menyambut canda Papa.
"Kalau gitu, Papa bisa mati
dong.." ujarnya sambil berdiri menghadap ke arahku.
Aku sedikit gelagapan, karena posisi Papa
tepat di depanku.
"Kalau Papa mati, gimana..?"
tanya Papa lagi.
Aku sempat terdiam mendengar pertanyaan
itu.
"Lho.., kok kamu diam, jawab
dong..!" tanya Papa sambil menggenggam kedua tanganku yang sedang memegang
handuk.
Aku kembali terdiam. Aku tidak tahu harus
bagaimana. Bukan jawabannya yang membuatku diam, tetapi keberadaan kami di
kamar ini. Apalagi kondisiku setengah bugil. Belum lagi terjawab, tangan kanan
Papa memegang daguku, sementara sebelah lagi tetap menggenggam tanganku dengan
hangat. Ia angkat daguku dan aku menengadah ke wajahnya. Aku diam saja
diperlakukan begini. Kulihat pancaran mata Papa begitu tenangnya. Lalu
kepalanya perlahan turun dan mengecup bibirku. Cukup lama Papa mengulum bibir
merahku. Perlahan tetapi pasti, aku mulai gelisah. Birahiku mulai terusik.
Tanpa kusadari kuikuti saja keindahan ini.
Nafsu remajaku mulai keluar ketika tangan
kiri Papa menyentuh payudaraku dan melakukan remasan kecil. Tidak hanya bibirku
yang dijamah bibir tebal Papa. Leher jenjang yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu
pun tidak luput dari sentuhan Papa. Bibir itu kemudian berpindah ke telingaku.
"Pa.." kataku ketika lidah Papa
masuk dan menggelitik telingaku.
Papa kemudian membaringkan tubuhku di atas
kasur empuk.
"Pa.. nanti ketahuan Mama.."
sebutku mencoba mengingatkan Mama.
Tetapi Papa diam saja, sambil menindih
tubuhku, bibirku dikecupnya lagi. Tidak lama, handuk yang melilit di tubuhku
disingkapkannya.
"Vina, tubuh kamu sangat harum.."
bisik Papa lembut sambil mencampakkan guling ke bawah.
Dalam posisi ini, Papa tidak puas-puasnya
memandang tubuhku. Bulu halus yang membalut kulitku semakin meningkatkan
nafsunya. Apalagi begitu pandangannya mengarah ke payudaraku.
"Kamu udah punya pacar, Vin..?"
tanya Papa di telingaku.
Aku hanya menggeleng pasrah.
Papa kemudian membelai dadaku dengan lembut
sekali. Seolah-olah menemukan mainan baru, Papa mencium pinggiran payudaraku.
"Uuhh..," desahku ketika bulu
kumis yang dipotong pendek itu menyentuh dadaku, sementara tangan Papa mengelus
pahaku yang putih. Puting susu yang masih merah itu kemudian dikulum.
"Pa.. oohh.." desahku lagi.
"Pa.. nanti Mamm.." belum selesai
kubicara, bibir Papa dengan sigap kembali mengulum bibirku.
"Papa sayang Vina.." kata Papa
sambil memandangku.
Sekali lagi aku hanya terdiam. Tetapi
sewaktu Papa mencium bibirku, aku tidak diam. Dengan panasnya kami saling
memagut. Saat ini kami sudah tidak memikirkan status lagi. Puas mengecup
putingku, bibir Papa pun turun ke perut dan berlabuh di selangkangan. Papa memang
pintar membuatku terlena. Aku semakin terhanyut ketika bibir itu mencium
kemaluanku. Lidahnya kemudian mencoba menerobos masuk. Nikmat sekali rasanya.
Tubuhku pun mengejang dan merasakan ada sesuatu yang mengalir cepat, siap untuk
dimuntahkan.
"Ohh, ohh.." desahku panjang.
Papa rupanya tahu maniku keluar, lalu dia
mengambil posisi bersimpuh di sebelahku. Lalu mengarahkan tanganku ke batang
kemaluannya. Kaget juga aku melihat batang kemaluannya Papa, besar dan tegang.
Dengan mata yang sedikit tertutup, aku menggenggamnya dengan kedua tanganku.
Setan yang ada di tubuh kami seakan-akan kompromi. Tanpa sungkan aku pun
mengulum benda itu ketika Papa mengarahkannya ke mulutku.
"Terus Vin.., oh.. nikmatnya.."
gumamnya.
Seperti berpengalaman, aku pun menikmati
permainan ini. Benda itu keluar masuk dalam mulutku. Sesekali kuhisap dengan
kuat dan menggigitnya lembut. Tidak hanya Papa yang merasakan kenikmatan, aku
pun merasakan hal serupa. Tangan Papa mempermainkan kedua putingku dengan
tangannya.
Karena birahi yang tidak tertahankan, Papa
akhirnya mengambil posisi di atas tubuhku sambil mencium bibirku dengan ganas.
Kemudian kejantanannya Papa menempel lembut di selangkanganku dan mencoba
menekan. Kedua kakiku direntangkannya untuk mempermudah batang kemaluannya
masuk. Perlahan-lahan kepala kontol itu menyeruak masuk menembus selaput
dinding vaginaku.
"Sakit.. pa.." ujarku.
"Tenang Sayang, kita nikmati
saja.." jawabnya.
Pantat Papa dengan lembut menekan, sehingga
penis yang berukuran 17 cm dan berdiameter 3 cm itu mulai tenggelam
keseluruhan.
Papa melakukan ayunan-ayunan lagi. Kuakui,
Papa memang cukup lihai. Perasaan sakit akhirnya berganti nikmat. Baru kali ini
aku merasakan kenikmatan yang tiada taranya. Pantas orang bilang surga dunia.
Aku mengimbangi kenikmatan ini dengan menggoyang-goyangkan pantatku.
"Terus Vin, ya.. seperti itu.."
sebut Papa sambil mempercepat dorongan penisnya.
"Papa.. ohh.., ohh.." renguhku
karena sudah tidak tahan lagi.
Seketika itu juga darahku mengalir cepat,
segumpal cairan putih meleleh di bibir vaginaku. Kutarik leher Papa hingga
pundaknya kugigit keras. Papa semakin terangsang rupanya. Dengan perkasa
dikuasainya diriku.
Vagina yang sudah basah berulangkali
diterobos penis papa. Tidak jarang payudaraku diremas dan putingku dihisap.
Rambutku pun dijambak Papa. Birahiku kembali memuncak. Selama tiga menit kami
melakukan gaya konvensional ini. Tidak banyak variasi yang dilakukan Papa.
Mungkin karena baru pertama kali, dia takut menyakitiku.
Kenikmatan ini semakin tidak tertahankan
ketika kami berganti gaya. Dengan posisi 69, Papa masih perkasa. Penis Papa
dengan tanpa kendali keluar masuk vaginaku.
"Nikmat Vin..? Ohh.. uhh.."
tanyanya.
Terus terang, gaya ini lebih nikmat dari
sebelumnya. Berulangkali aku melenguh dan mendesah dibuatnya.
"Pa.. Vina nggak tahan.."
katakuku ditengah terjangan Papa.
"Sa.. sa.. bar Sayang.., ta.. ta.. han
dulu.." ucap Papa terpatah-patah.
Tetapi aku sudah tidak kuat lagi, dan untuk
ketiga kalinya aku mengeluarkan mani kembali.
"Okhh.. Ohkk.. hh..!" teriakku.
Lututku seketika lemas dan aku tertelungkup
di ranjang. Dengan posisi telungkup di ranjang membuat Papa semakin
belingsatan. Papa semakin kuat menekan penisnya. Aku memberikan ruang dengan
mengangkat pantatku sedikit ke atas. Tidak berapa lama dia pun keluar juga.
"Okhh.. Ohh.. Ohk.." erang Papa.
Hangat rasanya ketika mani Papa menyiram
lubang vaginaku.
Dengan peluh di tubuh, Papa menindih
tubuhku. Nafas kami berdua tersengal-sengal. Sekian lama Papa memelukku dari
belakang, sementara mataku masih terpejam merasakan kenikmatan yang baru
pertama kali kualami. Dengan penis yang masih bersarang di vaginaku, dia
mencium lembut leherku dari belakang.
"Vin, Papa sayang Vina. Sebelum
menikahi Mamamu, Papa sudah tertarik sama Vina.." ucap Papa sambil
mengelus rambutku.
Mama dan adikku, tiga hari di rumah nenek.
Selama tiga hari itu pula, aku dan Papa mencari kepuasan bersama. Entah setan
mana yang merasuki kami, dan juga tidak tahu sudah berapa kali kami lakukannya.
Terkadang malam hari juga, walaupun Mama ada di rumah. Dengan alasan menonton
bola di TV, Papa membangunkanku, yang jelas perbuatan ini kulakukan hingga
sekarang.
Komentar
Posting Komentar