Langsung ke konten utama

Napsu Terpendam Penjaga Kost

By : Analconda13

Namaku Regina Apriliani Halim, usiaku 20 tahun. Aku seorang mahasiswi keturunan chinese yang lahir dan besar di Lasem. Sejak kecil aku terbiasa hidup di lingkungan keluarga chinese yang cukup disiplin tapi juga hangat. Papa bekerja di toko kelontong milik keluarga, sementara mama lebih banyak mengurus rumah. Aku anak pertama dari dua bersaudara dan terbiasa menjadi teladan bagi adikku. Namun setelah lulus SMA aku memilih melanjutkan kuliah ke Surabaya. Itu berarti aku harus meninggalkan rumah dan mencoba hidup mandiri di kota yang jauh lebih besar.

Aku tinggal di sebuah kos sederhana tidak jauh dari kampus. Bangunannya dua lantai dengan cat dinding yang mulai pudar, tapi masih terasa bersih dan terawat. Kamar-kamarnya berjejer rapi di sepanjang lorong dengan pintu kayu yang sama bentuknya. Meski tidak mewah, tempat itu cukup nyaman. Ada dapur kecil bersama, kamar mandi umum yang lumayan bersih, dan halaman depan yang sering dipakai penghuni untuk sekadar duduk santai di sore hari. Bagiku, suasana di kos itu cukup menenangkan dibanding beberapa kos lain yang pernah aku lihat.

Rutinitasku sehari-hari cukup padat. Pagi aku berangkat kuliah dengan tergesa karena biasanya bangun agak siang. Siang hari sering kuhabiskan nongkrong bersama teman-teman, entah di kafe dekat kampus atau sekadar di kantin sambil mengobrol panjang. Malamnya aku lebih suka kembali ke kamar dan mengurung diri. Kadang aku menonton film, kadang membaca novel, atau sekadar memandangi layar ponsel sampai larut. Dari luar aku terlihat seperti cewek kalem yang hidupnya biasa saja, tapi sebenarnya aku punya sisi lain yang tidak banyak orang tahu. Ada fantasi-fantasi liar yang kusimpan rapat, sesuatu yang tidak pernah kuceritakan pada teman maupun keluarga.

Kos yang kupilih ini sebenarnya punya daya tarik tersendiri. Selain letaknya strategis, pemiliknya juga ramah dan sering menganggap para penghuni seperti keluarga sendiri. Itu membuatku merasa aman. Namun ada alasan lain yang lebih pribadi, alasan yang tidak pernah aku katakan kepada siapa pun. Di tempat ini ada seorang pria yang diam-diam menarik perhatianku. Namanya Parman.

Parman bukan mahasiswa. Usianya jauh di atasku, bahkan mungkin hampir dua kali lipat. Dia pria sederhana yang bekerja serabutan, sering terlihat membersihkan halaman, memperbaiki kran yang bocor, atau sekadar duduk menjaga kos ketika pemiliknya sedang pergi. Penampilannya tidak istimewa, kulitnya gelap karena terbiasa bekerja di luar ruangan, tubuhnya agak kekar dan keras seperti pria desa yang terbiasa mengandalkan tenaga. Dari caranya berbicara, ia orang yang apa adanya, tidak banyak basa-basi. Justru itu yang membuatku penasaran.

Aku tidak tahu sejak kapan tepatnya aku mulai memperhatikannya. Awalnya hanya sekadar lewat lalu melihat sekilas, tapi lama-lama mataku selalu mencari sosoknya setiap kali pulang atau keluar kos. Ada sesuatu dari tatapannya yang tegas namun diam-diam hangat. Dan entah bagaimana, semakin aku mengenalnya, semakin besar rasa ingin tahuku padanya.

Mungkin orang lain akan menganggapku aneh, karena bagaimana bisa seorang mahasiswi muda tertarik pada pria sederhana yang usianya jauh lebih tua. Tapi bagiku justru di situlah letak daya tariknya. Parman berbeda dari teman-teman sebayaku yang sering hanya main-main dan bicara omong kosong. Dia tegas, sederhana, dan nyata. Dan tanpa kusadari, perasaan itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam, sebuah ketertarikan yang kubiarkan terus hidup diam-diam di dalam hati.

Awalnya aku hanya sekadar menyapa setiap kali berpapasan dengannya di halaman kos. Biasanya Parman duduk santai di kursi kayu depan rumah sambil merokok, memperhatikan mahasiswa yang lalu lalang keluar masuk. Ia jarang bicara panjang, paling hanya menjawab seperlunya dengan suara berat yang khas. Kadang kalau aku kesulitan mengangkat galon, ia langsung sigap membantu tanpa diminta. Pernah juga keran kamar mandi di lantai dua macet, dan dia datang membawa kotak perkakas seadanya lalu memperbaikinya sambil bercanda singkat. Dari situlah obrolan kecil mulai terjalin, meski seringkali hanya percakapan ringan.

Aku heran pada diriku sendiri, kenapa bisa merasa nyaman dengan pria yang usianya jauh lebih tua. Mungkin karena sikapnya yang apa adanya, tidak sok akrab tapi selalu hadir ketika dibutuhkan. Ia tidak banyak bicara, namun ketika ia menjawab selalu terdengar tegas dan meyakinkan. Kadang aku sengaja duduk lebih lama di ruang depan kos, pura-pura membaca buku atau memainkan ponsel, hanya untuk mendengar obrolannya dengan penghuni lain. Topiknya memang sederhana, tentang pekerjaan serabutan yang ia jalani atau kabar berita yang ia dengar dari warung kopi. Tapi entah kenapa, bagiku percakapan sederhana itu terasa menarik.

Seiring waktu aku mulai sadar kalau ada perasaan lain yang tumbuh. Perasaan itu bukan sekadar nyaman, melainkan sebuah ketertarikan yang membuatku penasaran. Aku tidak pernah berani mengatakannya, tapi aku mulai menunjukkan dengan caraku sendiri. Kadang saat keluar kamar, aku hanya mengenakan tanktop tipis tanpa bra, berpura-pura cuek padahal jelas aku ingin tahu apakah ia memperhatikan. Di lain waktu aku duduk di kursi depan kos dengan hotpants yang terlalu pendek, membiarkan pahaku terekspos saat ia lewat. Aku sering menangkap tatapan matanya yang cepat beralih seolah pura-pura sibuk, tapi aku tahu ia sempat memperhatikan.

Yang membuatku semakin berdebar justru sikap cueknya. Ia tidak pernah berkomentar, tidak pernah menegur atau memberi perhatian berlebihan. Seolah ia menahan diri dengan keras, menjaga jarak agar tidak menimbulkan masalah. Tapi justru itu yang membuatku semakin ingin mendorongnya ke arah yang kumau. Ada rasa puas tersendiri saat tahu ia berusaha mengabaikan, padahal aku sadar ia tergoda.

Malam demi malam aku terus menguji batas kesopanannya. Kadang dengan keluar kamar lebih larut hanya untuk mengambil air di dispenser, mengenakan pakaian yang sengaja kususun agar tampak menggoda. Kadang aku membuka pintu kamar sedikit lebar sambil menyalakan lampu terang, berharap ia sekilas melihatku sedang berbaring dengan pakaian tipis. Ia selalu tampak menahan diri, tapi aku bisa merasakan sorot matanya yang diam-diam menyimpan sesuatu.

Dan semakin lama aku melakukannya, semakin kuat keinginanku. Bukannya takut atau berhenti, aku malah merasa tertantang. Ada dorongan besar di dalam diriku untuk melihat sejauh mana ia bisa menahan diri, hingga pada akhirnya siapa yang lebih dulu akan runtuh. Perasaan itu membuatku semakin berani, seolah aku sedang memainkan permainan berbahaya yang hanya aku dan dia yang tahu.

Malam itu kos tampak lebih lengang dari biasanya. Dari jendela kamar, aku bisa melihat halaman depan yang mulai gelap karena lampu taman sengaja dimatikan lebih awal. Hanya beberapa kamar yang masih menyisakan cahaya redup, selebihnya sudah sepi. Suara televisi samar terdengar dari lantai dua, sementara di lorong bawah hanya ada derit sapu yang diseret perlahan. Aku tahu itu Parman, karena memang dia yang sering membantu bersih-bersih saat malam menjelang.

Aku turun dengan alasan membeli minuman di warung depan. Langkahku pelan, sandal jepitku beradu dengan lantai semen yang dingin. Saat melewati lorong sempit, aku berpapasan dengannya. Ia menunduk, sapunya bergerak ritmis menyapu debu. Aroma rokok yang biasa menempel di bajunya samar tercium. Sekilas aku menyapanya singkat, lalu terus berjalan, namun saat itu juga aku menjatuhkan kunci serep kamarku. Bunyi logam kecil yang membentur lantai cukup jelas, tapi aku pura-pura tidak sadar. Aku tetap melangkah, tidak menoleh sedikit pun, membiarkan kunci itu tergeletak di belakangku.

Aku bisa merasakan sorot matanya yang mengikuti punggungku ketika ia membungkuk mengambil kunci tersebut. Ada sensasi aneh menjalar di tubuhku, sebuah campuran antara rasa berani dan ketegangan yang sulit dijelaskan. Jantungku berdebar lebih cepat, seakan aku baru saja menyalakan sumbu kecil yang bisa memicu sesuatu yang lebih besar. Aku tahu betul tindakanku bukanlah sebuah kebetulan. Aku benar-benar memberi celah, kesempatan yang hanya ia dan aku yang memahami artinya.

Sesampainya di kamar aku tidak langsung merasa tenang karena justru rasa gelisah semakin kuat menekan dadaku. Aku berbaring di ranjang dengan lampu kamar tetap menyala karena takut suasana gelap hanya akan membuatku semakin cemas. Tanktop tipis dan hotpants yang kupakai menempel di kulitku yang terasa panas dingin. Aku mencoba memejamkan mata, tapi setiap bunyi langkah di koridor membuat tubuhku terlonjak kecil seolah aku sedang menunggu sesuatu yang tidak pasti.

Aku menatap ke arah pintu kamar yang terkunci rapat, tapi bayangan tentang Parman yang memegang kunci cadangan itu tidak mau pergi dari pikiranku. Aku membayangkan ia sedang memandanginya, membolak balik di tangannya, lalu mungkin mempertimbangkan untuk menggunakannya. Jantungku berdetak semakin cepat karena pikiran itu, napasku jadi lebih pendek dan tidak beraturan. Aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas panjang, tapi rasa was was justru semakin menempel hingga membuatku susah untuk memejamkan mata.

Aku menggeliat gelisah di ranjang, tanganku meremas sprei tanpa sadar, dan mataku terus bergerak menatap ke sekeliling kamar. Sesekali aku menoleh ke arah jendela, lalu kembali menatap pintu, seakan aku sedang menunggu tanda tanda kecil yang bisa memastikan apa yang akan terjadi malam itu.

Suasana kos semakin hening seiring waktu. Dari balik dinding, hanya sesekali terdengar suara pintu digeser atau air mengalir dari kamar mandi jauh di ujung lorong. Semua penghuni lain sudah masuk ke dunia mereka masing-masing, meninggalkan lorong bawah benar-benar sunyi. Aku memeluk bantal, pura-pura santai, tapi sebenarnya menunggu sesuatu. Setiap detik yang berlalu terasa panjang, seolah aku menghitung kemungkinan.

Aku sadar, malam itu bukan hanya aku yang tidak bisa tidur. Di suatu tempat di lorong bawah, ada seorang pria yang memegang kunci kecil milikku. Dan hanya Tuhan yang tahu apa yang sedang berkecamuk di kepalanya saat memandang benda itu. Pertanyaan paling besar menempel di benakku: apakah ia cukup berani untuk memutar kunci di pintu kamarku malam ini, ataukah ia akan menahan diri seperti biasanya?

Aku tetap berbaring di ranjang dengan tubuh yang setengah tegang dan setengah pasrah karena rasa gelisah bercampur dengan rasa ingin tahu. Lampu utama kamar sengaja kumatikan, hanya lampu tidur yang kupasang di meja kecil di samping ranjang. Cahaya remang dari lampu itu membuat suasana kamar terasa hangat sekaligus mencekam karena bayangan di dinding bergerak pelan mengikuti cahaya redupnya. Tirai jendela tidak kututup rapat hingga sedikit cahaya dari luar masih ikut masuk. Pintu sudah kukunci dari dalam seperti biasa, tapi kunci tidak kusangkutkan di lubangnya sehingga siapa pun yang punya kunci cadangan tetap bisa membuka kapan saja.

Setiap detail kecil itu terasa seperti kode yang sengaja kubiarkan, tanda yang mungkin hanya bisa dipahami olehnya. Aku tahu ini bukan kebetulan karena aku sendiri yang membiarkan pintu dalam keadaan begitu. Tanganku berkali kali meremas sprei, dadaku terasa berat, dan napasku pendek karena bayangan bahwa Parman bisa saja datang kapan saja.

Aku menatap langit langit kamar sambil menggeliat gelisah. Sesekali aku menoleh ke arah pintu, mendengarkan setiap suara di luar. Jantungku berdebar semakin cepat saat aku membayangkan langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu, lalu kunci cadangan itu berputar pelan di lubang pintu. Malam yang sunyi ini seolah menjadi awal dari sesuatu yang tidak bisa lagi kucegah dan perasaan menunggu itu justru semakin membuatku sulit bernapas dengan tenang.

Sekitar jam dua belas malam aku masih berbaring di ranjang dengan mata terpejam pura pura tertidur. Suasana kamar hanya diterangi lampu tidur kecil yang membuat cahaya remang menyebar ke seluruh sudut. Tirai jendela yang sengaja tidak kututup rapat memberi celah sempit ke arah luar. Dari celah itu aku bisa merasakan ada bayangan berdiri diam, seolah sedang mengintip ke dalam kamar.

Tubuhku langsung merinding, jantungku berdegup keras tak terkendali. Aku berusaha tetap tenang dan menahan napas agar terlihat betul betul tertidur. Sunyi yang mencekam hanya bertahan sebentar karena sesudah itu terdengar suara halus kunci berputar di pintu kamarku. Tidak ada lagi langkah kaki yang mendahului, hanya suara logam itu yang membuat bulu kudukku berdiri. Aku semakin kaku di ranjang. Menunggu apa yang akan terjadi begitu pintu terbuka.

Pintu kamar perlahan terbuka dan bunyi engselnya terdengar berderit samar. Aku tetap memejamkan mata tapi dari celah kecil kelopak mataku aku bisa melihat siluet tubuh Parman masuk dengan langkah hati hati. Ia menutup pintu kembali lalu memutar kunci dari dalam agar tidak ada orang lain yang bisa masuk.

Suasana kamar yang sejak tadi sudah remang dengan cahaya lampu tidur terasa semakin pengap begitu pintu terkunci rapat. Aku bisa mendengar tarikan napasnya yang berat dan teratur seolah ia sedang menahan diri. Tubuhku kaku di ranjang, sengaja tetap berbaring miring menghadap dinding. Tanktop tipis dan hotpants yang kupakai menempel erat di kulitku. Membuat bagian tubuhku yang terbuka terlihat jelas dari sudut pandangnya.

Aku masih berpura pura tidur. Menahan diri agar tidak bergerak sedikit pun sementara rasa berdebar di dadaku makin sulit kukendalikan.

Langkahnya mendekat perlahan. Aku bisa merasakan tatapannya yang menelusuri tubuhku dari ujung kepala hingga kaki. Nafasku makin pendek, tapi aku berusaha menahannya agar tetap terlihat dalam ritme orang yang tertidur. Kasur bergeser sedikit ketika ia duduk di tepi ranjang. Degup jantungku makin kacau, keringat dingin muncul di pelipis, tapi bersamaan dengan itu ada gelombang panas yang mengalir ke seluruh tubuhku.

Tangannya mulai bergerak, menyentuh perlahan paha bagian atas yang terbuka karena hotpants terlalu pendek. Sentuhan itu membuat bulu kudukku meremang, tapi aku tetap berpura-pura tak bereaksi. Jari-jarinya lalu menyusup lebih jauh, menelusuri pinggangku, naik ke perut, hingga akhirnya berhenti di bawah payudara yang nyaris tak tertutup kain tipis tanktopku.

Aku berusaha tetap kaku, seolah terlelap, padahal setiap detik terasa panjang dan menegangkan. Ketika ia mencondongkan tubuh, hangat nafasnya mengenai leherku. Aku nyaris tak sanggup menahan desah, tapi gigitanku pada bibir sendiri berhasil menahannya. Saat itu aku sadar, aku benar-benar telah membiarkannya masuk ke dalam permainan yang kuciptakan—permainan di mana aku berperan sebagai gadis polos yang tertidur, sementara diam-diam aku menikmati setiap langkah yang ia ambil.

Parman makin berani. Tangannya meraih pinggangku, lalu menelusup masuk lewat karet hotpants yang masih melekat ketat di tubuhku. Sentuhan kasarnya menyusup lebih dalam, menyingkirkan kain tipis celana dalam hingga langsung menyentuh bagian paling lembab di antara pahaku.

Tubuhku seketika bergetar hebat. Punggungku melengkung tanpa kendali, tanganku meremas seprai erat-erat. Desahan panjang lolos dari bibirku, nyaris menyerupai jeritan, tak mampu lagi kutahan meski aku mencoba. Rasanya seperti terbakar dari dalam, setiap gerakan jarinya membuatku semakin kehilangan kendali atas diriku sendiri.

Ia terus menekan dan menggesek, ritmenya cepat dan mendominasi, membuatku terombang-ambing dalam gelombang panas yang tak ada ujungnya. Nafasku terengah, tubuhku basah oleh keringat, dan aku tak lagi bisa berpura-pura tertidur.

Dengan sisa tenaga, aku berlagak tersentak bangun. "Pak Parman… apa yang kamu... suaraku terputus ketika ia tiba-tiba membekap mulutku dengan telapak tangannya yang besar. Matanya menatap tajam, penuh hasrat bercampur kuasa, membuatku tak mampu mengalihkan pandangan. Diem.. Jangan teriak.. aku bisa lebih nekat !! Ancamnya sambil melotot.

Tubuhku ditekan kuat ke kasur, tangannya menahan kedua pergelangan tanganku agar tak bisa bergerak. Aku menggeliat, setengah berusaha menolak, setengah tenggelam dalam kenikmatan yang terlalu intens. Bekapan di mulutku membuat setiap desahan berubah menjadi gumaman tertahan, tapi justru itu yang semakin menyalakan api di dalam tubuhku.

Di bawah kendalinya, aku benar-benar terlihat tak berdaya, padahal di balik itu aku pasrah menikmati peran yang kuberi sendiri. Ruangan sempit itu dipenuhi suara nafasku yang berat, detak jantungku yang liar, dan dominasi Parman yang kian dalam menguasai seluruh tubuhku.

Bekapan di mulutku semakin menekan. Napasku terputus-putus, tersisa hanya helaan berat yang tertahan di tenggorokan. Parman menunduk dekat sekali, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajahku. Aroma keringat bercampur sabun kasar yang khas darinya begitu menusuk, membuatku makin sulit berpikir jernih.

"Dasar lonte.. gak usah pura pura lagi.. selama ini kami sendiri yang memancing bapak untuk berbuat nekat seperti ini kan ?!! 

Tangannya yang bebas bergerak liar, menjelajahi lekuk tubuhku dengan buas. Dari pinggang, naik ke perut lalu meremas payudaraku keras-keras hingga aku hampir menjerit, namun hanya suara gumaman yang keluar di balik telapak tangannya. Setiap remasan, setiap gerakan, membuat tubuhku bergidik tak terkendali.

Ia menahan kakiku dengan lututnya, membuat paha-pahaku terbuka lebar tanpa bisa kututup lagi. Sentuhan jarinya semakin intens, menekan dan menggesek dengan ritme yang tak memberiku kesempatan bernapas lega. Aku menggeliat, bukan lagi untuk menolak, tapi karena tubuhku sudah dikuasai rasa nikmat yang menyesakkan dada.

Mataku terpejam rapat, air mata tipis mengalir di sudut, bukan karena sakit, tapi karena ledakan sensasi yang terlalu kuat. Di telingaku, aku bisa mendengar suara nafasnya yang kasar, cepat, penuh gairah. Ia seperti binatang lapar yang akhirnya mendapatkan mangsa, dan aku menjadi mangsa yang justru menyerahkan diri tanpa syarat.

Setiap kali aku mencoba bicara, suaraku langsung ditelan oleh genggamannya. Parman semakin menekan tubuhku ke kasur, membuatku benar-benar seperti dimiliki sepenuhnya. Ruangan sempit itu kini dipenuhi hanya oleh panas tubuh kami berdua, derit kasur yang berirama, dan desahan tertahan yang semakin sulit kukendalikan.

Aku tahu malam itu tidak akan berhenti di sini. Ia sudah kehilangan kendali, dan aku pun tak lagi ingin menghentikannya. Yang tersisa hanyalah menunggu kapan ledakan berikutnya datang, saat aku benar-benar pasrah dalam genggamannya.

Parman melumat bibirku rakus, hisapannya kuat seakan ingin menelan seluruh nafasku. Aku terengah, tubuhku serasa kehilangan kendali. Hembusan napasnya panas, bercampur bau rokok yang khas, membuat kepalaku semakin ringan. Tangannya meremas pinggangku kasar, menarik tubuhku mendekat seolah aku miliknya seutuhnya.

Dengan satu gerakan tergesa, ia menyingkap tanktop tipisku hingga payudaraku terbuka penuh. Bibirnya turun cepat, bergantian mencumbu, menggigit, lalu menghisap putingku yang mengeras kaku. Aku mendesah panjang, punggungku melengkung mengikuti setiap jilatan lidahnya yang panas dan basah.

Sementara itu, jarinya sudah masuk ke dalam hotpantsku yang setengah melorot. Ia meraba cepat, menemukan celana dalam yang sudah basah. Satu tarikan kasar membuat kain tipis itu melorot bersama hotpants, hingga aku telanjang dari pinggang ke bawah. Tubuhku refleks menegang, tapi genggamannya di pahaku begitu kuat, memaksa kedua kakiku terbuka lebar.

Parman berlutut di antara pahaku, tubuhnya besar menutupi pandanganku. Tangannya menahan lututku agar tetap terbuka, lalu jari-jarinya menggesek bagian paling sensitif dengan tekanan yang membuatku bergetar hebat. Cairanku mengalir deras, membasahi jemarinya yang kasar. Aku menjerit tertahan, mulutku kembali dibekap oleh tangannya.

Nafasnya berat saat ia melepaskan celana, batangnya keras menegang, menyentuh lembut lalu menekan di antara celah basahku. Saat kepala besar itu mulai menghujam masuk, tubuhku seolah terbelah. Aku menggigil hebat, mencengkeram seprai, mataku mendelik karena sensasi yang begitu penuh dan kasar memenuhi dalamanku.

Gerakannya makin dalam, menghantam hingga membuat ranjang berdecit keras, tubuhku terhentak liar setiap kali ia menghujam. Payudaraku bergoyang tanpa henti, peluh bercampur dengan keringatnya yang menetes di leher dan dadaku, membuatku semakin tak kuasa menahan desahan. Tubuhku diguncang tanpa ampun, seakan kehilangan kendali penuh atas diriku sendiri; suara ranjang yang berderit keras berpadu dengan jeritan serta desahanku yang pecah tak terkendali. Tangannya mencengkeram pinggangku kuat, menahan agar aku tetap pada tempatku saat ia menghantam semakin dalam, sementara aku hanya bisa meremas seprai, tubuhku melengkung tanpa sadar, pandanganku berkunang, hingga gairah yang menumpuk itu akhirnya meledak tak terbendung.

“Aahhh—!” teriakku pecah, tubuhku bergetar hebat. Puncak itu datang dengan deras, membuat seluruh tubuhku tersentak-sentak. Kaki gemetar, perutku menegang, dan lendir kawinku mengalir tak terkendali. Aku hampir menangis karena terlalu intens, terlalu nyata.

"Pura pura menolak tapi akhirnya keenakan juga.. akui saja Regina. Ini yang kamu mau kan.. Ledek pak Parman.

Namun Parman belum berhenti. Justru setelah melihatku lemas, ia semakin buas. Hentakan berikutnya membuat tubuhku kembali tersadar, seolah ia menolak memberiku waktu istirahat. Aku masih bergetar dari klimaks pertama, tapi tubuhku sudah dipaksa bersiap menuju ronde berikutnya.

Begitu tubuhku masih lemas setelah puncak pertama, Parman tiba-tiba menarikku bangun. Dengan kasar ia membalikkan tubuhku hingga aku tengkurap di kasur. Pinggulku ditarik ke tepi ranjang, sementara wajahku menempel di bantal. Posisi itu membuatku benar-benar pasrah, hanya bisa menahan tubuhku sementara hentakan keras kembali menghantam dari belakang.

Hmpmm... Aku menggigit bantal dan mencoba menahan teriakan, tapi sia-sia. Setiap dorongan membuat dadaku berguncang, payudaraku menekan ranjang, dan desahanku semakin liar. Sensasinya berbeda, lebih dalam, lebih menghancurkan kewarasanku.

Tak lama, ia menarik rambutku, memaksa kepalaku menengadah. Tubuhku melengkung, membuat hentakan berikutnya terasa jauh lebih kuat. Aku hampir berteriak tiap kali ia menghujam penisnya dengan brutal seolah sedang benar-benar menguasai tubuhku sepenuhnya.

Ketika ia puas dengan posisi itu, tubuhku diputar kasar lagi. Kali ini aku didudukkan di pangkuannya, mengangkang dengan lutut menempel di kedua sisi pinggangnya. Aku dipaksa mengayun sendiri, naik-turun di atas kejantanannya yang masih tegang. Tangannya mencengkeram pinggulku, membimbing gerakanku lebih cepat.

Tubuhku seperti mainan di tangannya, diputar, didorong, diangkat, lalu dijatuhkan kembali ke ranjang. Setiap posisi memberi rasa baru, makin membuatku lupa diri. Aku tidak lagi peduli pada apa pun selain sensasi gila yang ia berikan malam itu.

"Kita pindah ke meja belajar.. bapak mau ajarin kamu posisi yang lebih nikmat. Bisik Pak Parman ditelingaku.

Setelah puas menghantamku di ranjang, Parman menarik tubuhku berdiri. Aku masih gemetar, tapi ia tidak memberi kesempatan untuk istirahat. Tangannya mendorong punggungku ke meja belajar di pojok kamar. Buku-buku dan alat tulis berjatuhan ke lantai saat tubuhku menempel di permukaannya.

Dengan cepat ia mengangkat salah satu kakiku, menekuknya ke atas meja, lalu kembali menghantam dari belakang. Meja bergetar hebat, nyaris roboh menahan hentakan yang semakin brutal. Aku menahan tubuh dengan kedua tangan di permukaan meja, rambutku terurai berantakan, dan desahanku menggema di ruangan sempit itu.

Tidak cukup sampai di situ, tubuhku kembali dipindahkan. Kali ini ia menyeretku ke kamar mandi kecil di dalam kos. Dinding keramik dingin langsung menempel di punggungku ketika ia menekanku ke sana. Air keran menetes, suara bercampur dengan hentakan tubuh yang terus mengguncangku. Rasanya lebih liar, lebih kotor, tapi justru membuatku semakin kehilangan kendali.

Setelah itu, aku dijatuhkan ke lantai, di atas karpet tipis. Tangannya mencengkeram pergelangan kakiku, menarikku hingga pinggulku terangkat. Posisi itu membuatku benar-benar pasrah, hanya bisa menerima setiap kali ia masuk dengan hentakan cepat dan kasar.

Kos kecil itu terasa seperti arena permainan liar kami malam itu. Tidak ada satu sudut pun yang luput dari eksplorasi, seolah Parman ingin meninggalkan jejak di setiap bagian kamar.

Tubuhku sudah berkali-kali dipaksa berpindah posisi, tapi Parman masih belum puas. Setelah dari lantai, ia kembali menarikku ke ranjang. Kali ini ia menindih tubuhku sepenuhnya, menekan pergelangan tanganku ke atas kepala, membuatku terkunci di bawah tubuhnya. Napas panasnya memburu di leherku, sementara hentakan berikutnya membuatku kembali terpekik.

Ronde ini berbeda. Ia tidak sekadar brutal, tapi juga ritmenya semakin bervariasi—kadang cepat menghantam tanpa henti, kadang melambat untuk membuatku merintih gelisah. Tubuhku terperangkap di bawahnya, seolah aku tidak punya pilihan selain pasrah menerima semua permainannya.

Tangannya kemudian melepaskan satu pergelangan tanganku, tapi hanya untuk menekan payudaraku kuat-kuat. Tubuhku melengkung, menjerit, dan semakin basah. Setiap sentuhan, setiap gerakan, membuatku semakin hanyut.

Ketika rasa itu sudah menanjak nyaris ke puncak, Parman tiba-tiba merenggut kendali. Dengan kekuatan penuh, tubuhku ditarik ke atas. Aku terengah, kedua kakiku refleks bertumpu di sisi ranjang, lalu ia mendudukkanku kembali di pangkuannya. Kini aku mengangkang, menindihnya, seluruh tubuhku terbuka di bawah cahaya redup lampu tidur.

Tangannya mencengkeram pinggangku erat, menahan agar aku tak lari. “Sekarang kamu yang gerak,” suaranya serak, membuat bulu kudukku berdiri. Aku terdiam sesaat, jantung berdegup liar, sebelum akhirnya terpaksa mengayunkan tubuhku naik-turun.

Setiap kali aku bergerak, rasa itu menghantam lebih keras. Aku meremas bahunya, kepalaku terangguk-angguk, bibirku terbuka tanpa bisa menahan erangan yang pecah. Parman hanya tersenyum tipis, sesekali menggiring pinggangku lebih dalam, lebih cepat, lebih kasar.

Tubuhku mulai kehilangan kendali. Punggungku melengkung, keringat mengalir di sepanjang dada, sementara kakiku bergetar mencoba menjaga ritme. “Aku… nggak kuat…” suaraku pecah, nyaris menangis karena sensasi yang menyalakan seluruh syarafku.

Tapi bukannya membiarkanku mencapai puncak, Parman justru menahan gerakanku. Ia menekan pinggangku kuat-kuat, menahan di posisi terdalam, membuatku menggeliat tak karuan karena rasa itu tertahan di ujung. Setiap detik terasa menyiksa, seakan aku dipaksa menunggu lebih lama dari batas yang bisa kutahan.

Gerakanku di atas tubuhnya makin cepat, makin kacau. Aku sudah hampir tidak sanggup mengendalikan diriku sendiri, tapi Parman juga sudah menunjukkan tanda-tanda tak bisa bertahan lebih lama. Nafasnya memburu, genggamannya di pinggangku semakin keras, dan hentakan pinggulnya jadi lebih dalam.

“Aaahhh…,” erangnya berat, tubuhnya menegang di bawahku.

Sekejap kemudian aku bisa merasakan ledakan hangat yang memenuhi diriku. Semburan itu deras, berulang kali, membuatku ikut bergetar hanya karena sensasi luar biasa itu. Tubuh Parman menekan pinggangku kuat-kuat, memastikan tidak ada jarak di antara kami.

Aku terpejam, tubuhku masih bergetar, merasakan setiap denyut yang dilepaskannya di dalam. Detik-detik itu seperti mengikat kami dalam satu irama yang sama—intens, panas, dan benar-benar menguras tenaga.

Setelah beberapa saat, ia akhirnya melepas genggamannya. Tubuhnya jatuh lemas ke ranjang, sementara aku masih duduk di pangkuannya, terengah, penuh keringat, tapi juga puas dengan ronde panjang yang baru saja kami jalani.

Tubuh Parman jatuh lemas di ranjang, tapi aku masih duduk di pangkuannya. Nafasku terengah, keringat menetes dari pelipisku hingga jatuh ke dadanya yang basah. Aku berpegangan pada bahunya, mencoba menenangkan gemetar di kakiku yang masih melingkupinya erat.

Detik-detik setelah ledakan itu terasa panjang. Denyut hangat yang ditinggalkannya di dalam tubuhku membuatku tak bisa langsung melepaskan diri. Rasanya aku masih menyatu dengannya, diikat oleh irama yang belum sepenuhnya padam.

Aku menunduk, menatap wajahnya yang terpejam sambil mengatur napas. Senyum tipis muncul di bibirnya, lalu tangannya bergerak pelan menyusuri punggungku. “Kamu jangan turun dulu,” ucapnya serak, tapi tegas.

Aku menelan ludah, mencoba berkata tapi tak ada suara yang keluar. Tubuhku sudah lelah, namun saat ia sedikit menggeser pinggangku, aku bisa merasakan dirinya kembali mengeras di dalam.

Aku terperanjat, memejam erat sambil mengerang lirih. "Pak Parman… masih mau lagi?” bisikku hampir tak terdengar.

Senyumnya melebar, matanya terbuka menatapku tajam. “Badan putih kayak gini harus diewe terus terusan baru bisa puas. Jawabnya pelan, sambil menahan pinggangku agar tetap menekan ke arahnya.Tubuhku langsung merinding, antara pasrah dan terbakar lagi, seolah ronde berikutnya sudah tak terhindarkan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jebakan Minimarket

Pengantin Brutal

Amoy Diatas Dongkrak

Jebakan Minimarket 2

Pemulung Sadis

Pengakuan Cici Pik

Tragedi Pasar Pecinan

Chindo Seksi Jadi Rebutan 6

Chindo Seksi Jadi Rebutan

Draft amarah para buruh 22