By : Analconda13
Namaku Vivian, usiaku dua puluh dua tahun. Aku tinggal di rumah tua dua lantai di kawasan Pecinan, tidak jauh dari pasar tradisional. Lantai bawah rumahku dijadikan toko kecil yang menjual buah manisan khas Tionghoa, sementara lantai atas untuk tempat tinggal. Papa dan Mama sudah puluhan tahun merawat toko itu, dan setiap sore aku sering membantu melayani pembeli karena memang saat itulah toko paling ramai.
Suasana Pecinan sebenarnya masih seperti biasanya. Jalan sempitnya dipenuhi pedagang kecil, anak-anak berlarian, dan aroma masakan dari warung makan berbaur di udara. Para pelanggan tetap masih datang ke toko kami, tertawa dan bercanda sambil memilih manisan dari toples kaca. Kalau dilihat sekilas, tidak ada yang berubah.
Tapi di balik itu semua, berita di televisi dan media sosial sudah ramai dengan kabar demo anarkis di berbagai sudut kota. Video-video beredar memperlihatkan massa yang merusak pos polisi, melempar batu ke arah toko, dan membakar ban di jalan. Setiap kali melihatnya, hatiku jadi tidak tenang.
"Vi.. kamu jangan pulang terlalu malam dari kampus. Sekarang lagi nggak jelas situasi kota," kata Mama sambil menyiapkan toples baru di etalase.
"Iya ma.. aku ngerti. Tapi kalau sore aku masih bantu di toko kan?" jawabku.
"Kalau masih aman nggak apa-apa, tapi kalau Papa suruh tutup cepat ya nurut aja," sambung Mama lagi.
Aku mengangguk, meski dalam hati masih bingung. Karena kalau kulihat sendiri dari jendela toko, orang-orang tetap belanja seperti biasa.
Malam harinya, aku duduk di kamar sambil menatap layar ponsel. Grup WhatsApp teman kampus penuh dengan kiriman video demo. Ada yang bilang pusat kota sudah rusuh, ada juga yang bilang polisi mulai turun tangan. Televisi di ruang tamu pun menayangkan hal yang sama. Tapi anehnya, di kawasan Pecinan, suasana tetap ramai seperti tidak terjadi apa-apa.
Aku menggenggam ponsel lebih erat. Rasanya seperti menunggu badai yang belum datang, tapi sudah terdengar deru anginnya dari jauh.
Keesokan harinya aku tetap berangkat kuliah seperti biasa. Jalanan menuju kampus masih ramai, meski aku sempat melihat beberapa coretan di tembok yang isinya ajakan untuk turun ke jalan. Di dalam kelas, suasananya pun agak berbeda. Beberapa teman terlihat sibuk membicarakan berita demo daripada memperhatikan dosen.
"Eh, kalian lihat nggak video tadi pagi? Katanya ada massa yang ngamuk di alun-alun," bisik Rani, teman sebangkuku.
"Iya, gila ya. Padahal aku lewat situ kemarin sore masih biasa aja," jawabku sambil membuka catatan.
"Katanya bisa merembet kemana-mana, Viv. Kamu hati-hati pulang nanti," ucapnya lagi.
Aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku juga ikut cemas, tapi aku berusaha terlihat tenang.
Selesai kuliah, aku langsung pulang ke Pecinan. Saat masuk ke kawasan itu, suasananya masih seperti biasa. Warung makan tetap buka, ibu-ibu masih belanja sayur, dan anak-anak kecil tetap berlarian di gang. Seolah-olah kerusuhan yang ramai di televisi hanya terjadi di kota lain.
Sore harinya aku kembali membantu Mama di toko. Pembeli datang silih berganti, banyak yang sengaja mampir sepulang dari pasar. Aku menimbang manisan pala ketika seorang bapak pelanggan langganan tiba-tiba membuka pembicaraan.
"Vivian, kamu jangan sering keluar ya sekarang. Kota lagi nggak aman. Bapak tadi lihat sendiri massa lewat depan pasar, untung cuma sebentar," katanya sambil menerima kantong belanjaannya.
"Masa sih, Pak? Tadi siang aku masih lihat biasa aja kok," jawabku mencoba santai.
"Biasa di depan, tapi kalau sudah ramai susah ditebak. Hati-hati aja," balasnya sebelum pergi.
Aku terdiam. Kata-kata itu membuat jantungku berdetak lebih kencang.
Malamnya, saat menutup toko, Papa menatap jalan depan rumah dengan wajah serius.
"Besok kamu jangan ke kampus dulu kalau nggak penting, Viv. Situasi makin panas. Papa nggak mau ambil risiko," katanya.
Aku mengangguk meski dalam hati merasa ragu. Aku tahu Papa tidak pernah sembarangan bicara.
Aku kembali ke kamar. Dari jendela, aku bisa melihat lampu jalanan temaram menyinari gang Pecinan yang biasanya terasa hangat. Tapi malam itu entah kenapa, ada rasa asing yang sulit kujelaskan.
Pagi itu aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Suara dari televisi di ruang tamu terdengar keras, membuatku turun ke bawah untuk melihat. Papa duduk dengan wajah muram sambil menatap layar. Berita menayangkan kerumunan massa yang melempari batu ke arah pertokoan di pusat kota.
"Semalam makin parah, Viv. Polisi sampai pakai gas air mata," kata Papa tanpa mengalihkan pandangan.
Aku berdiri di sampingnya, ikut menatap layar. Di sana terlihat jalan penuh asap, orang berlarian sambil menutup muka, dan kaca toko berserakan. Rasanya sulit dipercaya itu semua terjadi di kota yang sama.
Siangnya aku tidak pergi ke kampus. Mama memintaku tetap di rumah membantu menjaga toko.
"Lebih baik kamu jangan jauh-jauh dulu. Kita nggak tahu apa yang bakal terjadi," ucap Mama sambil menata ulang toples manisan.
"Iya Ma," jawabku pelan.
Sore harinya, meski suasana Pecinan masih tampak normal, aku mulai melihat hal-hal kecil yang membuatku resah. Ada beberapa kios memilih tutup lebih cepat. Beberapa pedagang di pasar saling berbisik dengan wajah tegang.
Seorang ibu pelanggan yang baru saja membeli manisan sempat berbisik padaku.
"Vivian, kamu hati-hati ya. Saya tadi dengar katanya massa bakal lewat sini kalau demo makin besar," ucapnya buru-buru sebelum pergi.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, meski di dalam dada terasa semakin berat.
Menjelang malam, suara bising mulai terdengar samar dari arah jalan besar. Aku dan Papa berdiri di depan toko yang setengah tertutup rolling door. Suara itu seperti teriakan orang banyak bercampur dengan bunyi benda dipukul.
"Viv, masuk ke dalam," kata Papa cepat.
Aku menurut. Dari balik jendela lantai dua, aku bisa melihat pantulan cahaya merah di langit. Entah api dari ban yang dibakar atau dari toko yang terbakar, aku tidak tahu.
Malam itu aku nyaris tidak bisa tidur. Suara gaduh dari kejauhan terus terdengar, kadang sayup, kadang keras, seakan semakin mendekat.
Esok paginya udara terasa lebih pengap dari biasanya. Jalanan di depan rumah masih sepi, hanya beberapa pedagang kecil yang berani membuka lapaknya. Aku berdiri di depan toko sambil menyapu, berusaha menenangkan diri. Tapi perasaan was-was itu tidak juga hilang.
Televisi di ruang tamu kembali menayangkan berita soal kerusuhan yang makin meluas. Kali ini lokasinya disebut sudah dekat pasar induk. Papa menatap layar dengan wajah semakin tegang.
"Kalau sudah sampai pasar induk, berarti ke sini tinggal tunggu waktu," gumamnya pelan.
Aku langsung merinding mendengar kata-katanya.
Sore harinya, seperti biasa aku membantu Mama menjaga toko. Beberapa pelanggan tetap masih datang, tapi terlihat terburu-buru. Seorang bapak yang sering mampir bahkan sempat berkata sambil menunduk,
"Lebih baik kalian siap-siap kalau malam nanti. Saya dengar massa sudah bergerak ke arah selatan."
Aku hanya terdiam, jantungku berdegup kencang. Setelah pelanggan itu pergi, aku menoleh ke Mama.
"Ma, apa benar mereka bakal lewat sini?" tanyaku pelan.
Mama hanya menghela napas panjang. "Kita nggak tahu, Viv. Tapi apapun yang terjadi, kamu tetap dekat Mama sama Papa, jangan kemana-mana."
Menjelang malam, suara gaduh mulai terdengar lebih jelas. Dari kejauhan terdengar teriakan massa, suara peluit, dan benda yang dipukul-pukul. Aku berdiri di depan jendela lantai dua, melihat asap tipis mulai membubung dari arah pasar.
"Vivian, jangan di situ! Turun ke bawah sekarang," teriak Papa dari ruang tamu.
Aku buru-buru menutup gorden, tapi suara kaca pecah dari kejauhan membuatku semakin panik. Jalan di depan rumah mulai dipenuhi orang-orang yang berlari, sebagian membawa barang-barang, sebagian lagi hanya menjerit.
Pecinan yang biasanya terasa hangat kini berubah jadi mencekam.
Malam itu aku hampir tidak bisa tidur. Suara gaduh dari arah pasar terus terdengar, kadang dekat kadang menjauh, seperti gelombang yang datang silih berganti. Setiap kali ada suara kaca pecah, tubuhku refleks merinding.
Pagi harinya Papa memutuskan toko tidak buka. Rolling door diturunkan penuh, hanya menyisakan celah kecil di bawah. Mama mengajakku duduk di dapur, tapi aku merasa gelisah. Aku tidak betah hanya diam, jadi aku naik ke lantai dua dan mengintip dari jendela.
Dari sana aku bisa melihat jalan besar menuju pasar. Asap tipis masih mengepul, dan beberapa truk polisi berjaga di perempatan. Tapi lebih jauh lagi, terdengar riuh massa, suara orang berteriak bercampur dengan bunyi barang dilempar.
Siangnya, aku nekat keluar sebentar. Aku bilang ke Mama kalau ingin melihat situasi di dekat pasar. Awalnya Mama tidak mengizinkan, tapi akhirnya aku berhasil membujuknya dengan janji tidak akan jauh-jauh.
Siangnya, aku nekat keluar rumah. Karena khawatir kerusuhan bisa makin parah, aku berinisiatif pergi ke pasar untuk menstok kebutuhan sehari-hari. Mama sebenarnya menahan, wajahnya jelas penuh cemas, tapi aku terus membujuknya. Aku berjanji tidak akan berlama-lama dan hanya membeli barang seperlunya.
Aku berjalan melewati gang kecil Pecinan yang biasanya ramai. Kali ini banyak pintu rumah tertutup rapat. Beberapa kios menggembok dari dalam. Hanya ada sedikit orang lalu-lalang, itupun wajahnya terlihat tegang.
Disergap Para Perusuh
Aku sudah terlanjur masuk ke dalam pasar ketika tiba tiba mataku menangkap gerombolan massa beringas yang sedang menjarah toko. Mereka tertawa keras sambil membawa barang rampasan. Aku berusaha menunduk dan berjalan cepat, tapi terlambat.
"Ehh liat tuh ada amoy" teriak salah satu dari mereka sambil menunjuk ke arahku.
"Kejar jangan sampe lepas" sahut yang lain sambil berlari ke arahku.
Jantungku langsung berdegup kencang. Aku mencoba kabur melewati lorong pasar yang sempit, tubuhku hampir tersandung kardus yang berserakan. Aku terus berlari, napasku tersengal sengal, tapi langkah kaki mereka semakin dekat. Hingga akhirnya seseorang berhasil meraih tanganku.
"Haha.. akhirnya dapat juga" teriak salah satu dari mereka sambil mencengkeram lenganku.
"Buruan seret tuh cina ke dalam" sahut yang lain dengan suara keras.
"Aaakhh lepaskan aku.. jangan.. tolong lepaskan aku" jeritku panik sambil meronta sekuat tenaga.
Mereka tidak peduli. Justru makin beringas dan menyeret tubuhku lebih kasar ke dalam kios agen beras yang pintunya sudah dijebol massa.
Pakaianku ditarik paksa. Kancing bajuku terlepas satu per satu, lalu sobekannya terdengar jelas di tengah suara kaca pecah dan teriakan dari luar. Blus yang kupakai terlepas dari tubuhku, menyisakan kulitku yang makin terekspos.
"Anjir putih banget badannya" ucap salah satu sambil tertawa ketika bajuku disobek.
"Akhirnya kita dapat amoy juga. Sahut yang lain dengan nada puas.
Aku menjerit keras, "Lepasin saya.. jangan.. tolong lepaskan saya" sambil meronta sebisanya. Tapi tangan mereka begitu kuat, hingga dalam sekejap kedua tanganku sudah ditekan ke belakang dan ditelikung kasar sampai aku tidak bisa bergerak.
"Diem!! Kalau masih pengen hidup!!" bentak salah seorang sambil menatap tajam.
Dipaksa nyepong tanpa henti.
Tubuhku didorong keras hingga jatuh berlutut di lantai toko yang kotor dan berantakan. Debu bercampur butiran beras menempel di kulitku, sementara jemari mereka makin rakus menjelajahi tubuhku tanpa belas kasihan. Aku menggigil ketika hawa dingin bercampur panas tubuh mereka menyentuh kulitku. Nafasku berat, dadaku naik turun tak teratur, tapi tak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikan mereka.
Lututku terasa sakit menekan lantai keras yang berdebu, tapi mereka tidak peduli. Kedua tanganku tetap dijepit di belakang kepalaku, rambutku dicengkeram erat agar aku tidak bisa lari.
"Sekarang waktunya lu puasin kita semua" ujar salah satu dengan suara garang di telingaku.
"Kalau melawan lagi nanti gue gantung leher lu di lorong pasar" ancam yang lain sambil menatapku tajam.
Yang pertama berdiri tepat di depanku, wajahnya penuh keringat. Dia langsung menempelkan ujung penisnya ke bibirku. Aku mencoba menutup mulut, tapi genggaman di rambutku menarik kepalaku mundur lalu menghantam ke depan dengan paksa. Mulutku terbuka begitu saja.
"Isep yang bener. Katanya sambil menekan lebih dalam.
Aku tersedak saat dorongan keras itu langsung menembus tenggorokanku. Air liurku tumpah ke dagu, menetes ke lantai kotor. Dia menggerakkan pinggul maju mundur, menghantam mulutku tanpa memberi kesempatan bernapas.
Ketika dia akhirnya menarik keluar, aku terbatuk keras. Tapi belum sempat aku menghirup udara dengan lega, yang kedua langsung maju.
Dia lebih kasar. Tangannya menepuk pipiku dua kali, lalu memaksa daguku terangkat tinggi. Begitu batangnya menyentuh bibirku, kepalaku ditekan ke depan dengan lebih brutal. Aku meronta, tapi kedua tangan di belakang kepala menahan kuat.
"Ahh.. kulum pakai mulut lu. desisnya saat aku tercekik.
Dia mendorong lebih dalam dari yang pertama, sampai aku merasa benar-benar tidak bisa bernapas. Tubuhku berguncang, mataku berair, tapi genggamannya semakin erat. Dia bahkan memutar kepalaku sedikit, membuat dorongan itu lebih menyakitkan.
Begitu dia melepas, aku hampir jatuh ke depan. Tapi temannya yang ketiga sudah menunggu giliran.
Dia menyeringai, lalu menepuk-nepuk pipiku. "Nggak usah banyak gaya, buka mulutmu lagi."
Aku gemetar, napasku masih putus-putus, tapi rambutku kembali ditarik ke belakang. Dia menekan batangnya pelan di bibirku, seolah mempermainkan dulu. Baru setelah itu dia menghantam masuk tiba-tiba. Aku memekik tertahan, seluruh tubuhku kaku karena kejutan.
Dia menggerakkan kepalaku sendiri dengan kedua tangannya, seakan aku hanyalah alat. Setiap kali aku menolak, dorongannya semakin cepat dan kasar. Air liur dan lendir bercampur menetes ke lantai, membuat daguku basah.
Aku hanya bisa berlutut, kepalaku berpindah dari satu orang ke orang lain, mulutku dipaksa menuruti giliran mereka. Setiap batang menghujam dengan cara berbeda, tapi semuanya sama-sama membuatku tercekik, kehilangan kendali, dan terperangkap di antara tangan-tangan mereka.
Digilir Perusuh Diatas Karung Goni
"Seret tuh cina ke karung. Kita kasih tau dia siapa yang berkuasa hari ini. Tubuhku diangkat begitu saja seperti tak punya bobot. Mereka menyeretku ke arah tumpukan karung beras, lalu menjatuhkanku telentang di atasnya. Karung goni yang kasar menusuk kulit punggungku, debu beras beterbangan membuat tenggorokanku gatal.
"Jangan bang.. aduuuh saya mau diapaaain..
Jeritku yang semakin panik ketika diposisikann dengan cara yang tak wajar seperti itu.
"Kalau lu bisa muasin kita semua maka lu masih punya kesempatan untuk bisa pulang kerumah setelah ini.. Hehe..
Kepalaku terletak di ujung tumpukan, menengadah ke belakang hingga rambutku terurai menjuntai ke lantai. Posisi itu membuatku sulit bernapas, dadaku terangkat naik-turun cepat. Kedua kakiku tertekuk tanpa daya, terperangkap di atas karung.
Tanganku ditarik ke samping. Dua orang berdiri di kanan dan kiri, mencengkeram pergelangan tanganku kuat-kuat agar aku tidak bisa meronta. Aku hanya bisa menatap langit-langit kios yang penuh asap tipis, sambil merasakan hawa panas bercampur bau keringat dan debu.
Seseorang berdiri tepat di atas kepalaku, tubuhnya menunduk. Dari sudut pandang terbalik ini, aku hanya bisa melihat batang hitamnya menggantung tepat di atas wajahku.
"Posisinya udah pas.. tinggal kita genjot rame rame mulutnya.. katanya sambil menyeringai.
Tanpa basa-basi, batangnya langsung ditekan ke bibirku yang setengah terbuka karena sulit bernapas. Aku ingin memalingkan wajah, tapi genggaman di rambutku menarik kepalaku ke belakang, membuat leherku teregang.
"Buruan Isepin kontol gue !! Lu masih mau pulang kerumah kan ?!! Bentaknya
Jlebb.. Dorongan pertamanya langsung menghantam mulutku, memaksa batang itu meluncur dalam dengan sudut yang menyakitkan. Aku tersedak keras, tubuhku bergetar di atas karung. Air liurku mengalir ke pipi dan menetes ke lantai.
"Ahh.. liat nih.. amoynya sampe gelagapan gak bisa napas. Haha..
Orang di atas kepalaku mulai menghentak maju mundur, setiap gerakan membuat leherku terasa seperti dipaksa bengkok lebih jauh. Aku bisa mendengar degupan jantungku sendiri di telinga, bercampur dengan suara kaca pecah dan teriakan dari luar pasar.
Tangan-tangan yang menahan pergelanganku tidak pernah longgar. Aku benar-benar terjepit. Setiap kali aku mencoba mengangkat bahu atau menendang, mereka menekan tubuhku lebih dalam ke karung, membuatku kian tak berdaya.
"Udah gak usah ngelawan moy. Badan lu yang putih ini udah jadi milik pribumi sekarang. Haha..
Hmpmmm... Batang itu keluar masuk mulutku, menghantam dalam-dalam hingga aku hampir pingsan karena kekurangan udara. Tubuhku gemetar, cairan bercampur ludah terus mengalir membasahi wajah dan rambutku.
Dan sebelum aku sempat menarik napas, aku sudah mendengar suara lain: "Sekarang Giliran gue yang ngaduk aduk mulut nih amoy.. Haha..
Plop... Batang pertama ditarik keluar dari mulutku dengan suara basah yang menjijikkan. Air liurku menetes deras, membuat wajahku belepotan. Aku baru sempat menghirup sedikit udara ketika seseorang lain langsung menggantikan posisinya.
"Mulut lu itu gak lebih dari tempat pembuangan peju.. Haha..
Yang kedua lebih sabar. Ia menempelkan batangnya ke bibirku, menggesek-gesek pelan seolah menikmati ketidakberdayaanku. Aku berusaha menutup mulut, tapi jemarinya menekan pipiku keras hingga rahangku terbuka paksa. Batang itu masuk perlahan, menyelusup dalam, hingga aku bisa merasakan setiap denyut di permukaannya.
"Gak usah buru buru bro. Amoy tuh mesti dilatih pelan pelan. Biar dia ngerasain nikmatnya dijamah sama pribumi. Desisnya sambil memompa ritme pendek dan teratur. Setiap hentakan membuat buah dadaku ikut berguncang, dan segera tangannya terulur ke atas, meremas salah satu payudaraku dengan kasar. Jemarinya mencubit putingku keras-keras hingga aku menjerit tercekik, suaraku tertelan oleh batang yang menutupi tenggorokan.
Aku hampir tidak sempat lega ketika ia menarik keluar, karena giliran berikutnya langsung menghantam lebih brutal.
Yang ketiga tidak kenal ampun. Ia menghujam batangnya ke dalam mulutku dengan hentakan cepat dan keras, seolah ingin merobek tenggorokanku. Kepalaku ditarik ke bawah makin jauh, rambutku digenggam erat sebagai pegangan. Setiap dorongan membuat aku tersedak hebat, air liur bercampur lendir keluar berceceran membasahi pipi dan dada.
"Barbar banget lu bro. Liat tuh amoynya sampe mau muntah dijejelin kontol. Yang lain tertawa keras, seperti mengejek.
Tak puas hanya itu, tangannya menampar buah dadaku berulang kali, suara tamparan keras bercampur dengan teriakan dan suara kaca pecah dari luar. Kulitku memerah, terasa panas, sementara batangnya terus menghantam tanpa henti.
Yang keempat mengambil giliran dengan cara berbeda. Saat batangnya menyusup masuk ke mulutku, tangannya menyelinap ke bawah rokku, menggosok kasar kemaluanku yang sudah lembab karena dipaksa. Jari-jarinya bergerak cepat, seakan sengaja menyalakan api di tubuhku yang sudah tak berdaya. Setiap hentakan batang di mulutku seirama dengan rabaannya di bawah, membuat tubuhku menggeliat di atas karung, meski tanganku masih terkunci erat dipegang dua orang.
"Sialan... Baru dijejelin kontol sebentar aja udah basah amoynya. Katanya sambil tertawa puas.
Tubuhku bergetar keras, campuran sakit, terpojok, dan sensasi aneh yang tak bisa kucegah.
Yang kelima maju dengan senyum bengis. Dia menekan batangnya tepat di bibirku, lalu tanpa aba-aba langsung menghujam dalam sekali dorongan. Aku tersedak hebat, tubuhku menegang, kakinya menahan kepalaku agar tak bisa bergerak. Batang itu memenuhi seluruh ronggaku, menghentikan nafasku. Aku hanya bisa menggelepar, mataku berair deras.
"Liat nih. Amoynya sampe megap megap kehabisan napas. katanya sambil menekan tengkukku ke batangnya.
Beberapa detik terasa seperti seumur hidup. Aku benar-benar hampir kehilangan kesadaran ketika akhirnya ia menarik sedikit keluar, membiarkanku menghirup udara singkat, sebelum kembali menghantam lebih dalam. Nafas tercekat, kepalaku makin pusing, tubuhku hanya bisa pasrah.
Yang keenam bergantian dengan gaya berbeda. Ia tidak menghantam cepat, tapi justru menahan batangnya lama di tenggorokanku, bergerak pelan maju mundur dengan tekanan dalam. Setiap kali ia menarik keluar, batangnya masih menempel licin oleh air liurku yang meluber deras.
"Anjir.. nih amoy mukanya napsuin banget. Udah kaya boneka mainan yang bebas buat diodol odol !! Ejeknya lalu menepuk pipiku keras dengan batangnya sebelum kembali memaksa masuk.
Sementara itu, yang lain tidak tinggal diam. Salah satu dari mereka mencubit putingku sampai badanku terangkat sedikit dari karung. Yang lain menampar buah dadaku keras-keras hingga terasa panas membakar. Sentuhan mereka bergantian, antara sakit dan kenikmatan yang tidak bisa kukendalikan, membuat tubuhku terus berguncang.
Yang ketujuh lebih kasar lagi. Rambutku dijambak, kepalaku dipaksa mendongak lebih jauh ke belakang, sehingga batangnya bisa masuk lurus menembus tenggorokan. Dengan kecepatan brutal, ia menghentak tanpa ampun, seolah balas dendam.
Uhh.. biar gue sodok sampe mentok ke tenggorokannya.. teriaknya sambil menekan kepalaku keras-keras. Aku meronta, tapi dua pasang tangan di samping masih mencengkeram lenganku kuat. Air liurku mengalir deras, bercampur dengan sisa muntahan kecil yang tak bisa kutahan.
Yang kedelapan maju, justru mengambil pendekatan berbeda. Ia tidak terburu-buru. Batangnya ditempelkan berulang kali di pipiku, di bibirku, bahkan menampar wajahku dengan keras sebelum akhirnya menyusup masuk. Ia bergerak dengan tempo lambat, tapi tiap gerakan penuh kontrol, seolah ingin menunjukkan bahwa aku sepenuhnya milik mereka.
Dipaksa Menungging Diatas Karung Goni.
Tubuhku diputar kasar, punggungku menempel di atas tumpukan karung goni beras. Karung itu terasa kasar menusuk kulitku, membuat tubuhku makin tak berdaya. Kedua tanganku langsung direntangkan ke samping, dicengkeram erat oleh dua orang yang berdiri di kanan kiriku. Pegangan mereka begitu kuat sampai urat-urat lenganku menegang, percuma aku meronta.
Kedua kakiku menjuntai ke bawah, terayun-ayun di udara. Aku menendang sekuat tenaga, mencoba menepis siapa pun yang mendekat, tapi gerakanku hanya membuat mereka tertawa lebih keras.
“Jangan baanng… tolong jangan lakukan…!” aku menjerit, suaraku pecah, nyaris histeris. Nafasku memburu, dada naik turun, penuh rasa takut bercampur pasrah.
Satu dari mereka menekan dadaku dengan kasar, membuat tubuhku semakin terhimpit ke karung. Yang lain meraih kakiku, menahan dan memaksa lututku membuka. Aku menggeliat, mencoba menutup rapat pahaku, tapi cengkeraman mereka semakin kuat.
“Diam kau! Sudah kodratnya amoy sepertimu jadi santapannya perusuh. Hardik salah satu dengan suara keras.
Aku menggeleng cepat, keringat dingin bercucuran di pelipis. “Tidak… kumohon… jangan lakukan ini… aku gak punya salah apa apa sama kalian..
Apa lu bilang gak punya salah ?!! Beneran mau tahu apa kesalahan lu !!? Hahaa.
Udah bang kasih tau aja apa kesalahannya. Biar nanti dia gak mati penasaran. Haha.. Kata temannya.
"Salahnya lu tuh amoy. Dan amoy itu gak bisa dipisah dari yang namanya kerusuhan. Haha.. Sahut perusuh yang badannya dekil itu.
Tawa mereka semakin keras dan menggema di dalam pasar yang kacau. Tepukan, remasan, dan tamparan ringan mulai mendarat di tubuhku. Setiap kali aku berteriak mereka sengaja makin mengeraskannya seolah mempermainkan rasa takutku. Kedua tanganku kaku, tubuhku gemetar hebat karena tidak tahu harus berbuat apa. Di tengah keributan pasar yang terbakar, jeritanku hanya larut bersama suara kaca pecah dan api yang menjalar.
Seorang pria maju mendekat. Tubuhnya besar dan keringat mengalir deras di pelipisnya. Tatapannya membuatku merasa ditelanjangi hingga darahku berdesir tak karuan. Tangannya menekan pahaku keras, memaksa terbuka hingga aku meringis kesakitan. Rasa sakit bercampur panas menjalari otot pahaku yang ditahan kasar.
"Jangan… tolong jangan…" suaraku pecah dan hampir tak terdengar karena riuh suara kaca pecah dan teriakan dari luar pasar.
Ia semakin menunduk, tubuhnya merapat di antara kakiku yang tertekuk. Gesekan kulitnya di pahaku membuat tubuhku kaku tak berdaya. Berat tubuhnya menekan, menjepitku di atas tumpukan karung beras yang keras dan kasar hingga aku merasa tak ada ruang sedikit pun untuk bergerak.
Karung goni yang menempel di punggungku terasa menyakitkan sementara kedua kakiku menjuntai lemah ke bawah. Aku mencoba menendang dan mencoba merapatkan kakiku tapi semua itu percuma. Tangannya menahan kuat dan memaksa kakiku tetap terbuka selebar mungkin.
Rasanya aku seperti terbelah. Antara rasa takut yang membuat tubuhku bergetar hebat, dan sensasi aneh yang tak bisa kujelaskan, saat gerakannya semakin menekan, semakin dalam, dan semakin liar.
Aku menjerit ketika tubuh pria itu akhirnya menghujam keras ke arahku. Perutku seolah diremas dari dalam, rasa sakit bercampur sensasi panas menyeruak begitu cepat. Badanku melengkung spontan di atas karung, tapi kedua tanganku ditahan kuat, tak ada celah untuk melepaskan diri.
Setiap dorongan tubuhnya membuat karung beras di bawahku berderak pelan, butir-butir beras keluar lewat celah karung yang robek. Butir-butir itu menempel di kulit punggungku yang basah oleh keringat, membuatnya terasa semakin kasar, semakin perih.
Aku meronta, kakiku menendang-nendang di udara. Tapi semakin aku berusaha, semakin keras pula hentakan tubuhnya. Nafasku tersengal, dadaku naik turun cepat, sementara suaraku tercekat antara jeritan dan desahan yang tak bisa kucegah.
Tangan pria lain tiba-tiba meremas dadaku dari samping, kasar dan tanpa ampun. Sakitnya menusuk sampai ke tulang, membuatku berteriak lagi. Ada yang menampar buah dadaku hingga terasa panas dan perih, lalu kembali diremas seolah mereka ingin melihatku tak berdaya sepenuhnya.
Setiap hentakan membuat karung beras bergeser sedikit, kepalaku terantuk pada sisi kayu rak di belakang, menambah sakit yang membuat mataku berair. Tapi anehnya, di balik semua rasa sakit, ada aliran panas yang menjalar di sekujur tubuhku, membuatku tak mampu lagi membedakan mana rasa takut, mana sensasi yang menyesakkan.
Tubuh pria itu semakin beringas. Hentakannya makin dalam, makin keras, seolah ingin menembus sampai ke dasar perutku. Setiap kali ia menghujam, karung beras di bawahku ikut bergetar, butir-butirnya makin banyak keluar dan menempel di punggung serta rambutku.
Tangannya yang kasar masih menahan pahaku tetap terbuka, membuatku benar-benar tak bisa bergerak. Aku hanya bisa menjerit setiap kali batangnya menghantam dengan keras, membuat tubuhku melenting ke atas sebelum jatuh lagi menempel pada karung goni yang kasar.
Sesekali ia menunduk, menggigit bahuku sampai terasa nyeri, lalu kembali menggerakkan pinggulnya dengan tempo brutal. Suara desah kasar bercampur dengan jeritanku memenuhi ruangan toko beras yang pengap itu.
Dari samping, lelaki lain tak berhenti mengacak tubuhku. Ada yang kembali menampar dadaku hingga merah, lalu meremasnya kuat-kuat sambil tertawa puas melihatku meringis. Ada juga yang menyusupkan tangannya ke antara paha, meraba dengan kasar seolah tak mau ketinggalan menikmati tubuhku yang terikat tak berdaya.
Aku meronta lagi, menendang ke udara, tapi pria di atas tubuhku justru makin keras menghantam. Hentakan pinggulnya membuat tubuhku berguncang liar di atas tumpukan karung, dadaku naik turun cepat, napasku terengah, sementara rasa sakit dan panas bercampur jadi satu, menyesakkan seluruh tubuhku.
Dorongan pria itu makin tak terkendali. Tubuhnya menghujam begitu cepat, keras, hingga aku merasa perutku benar-benar terkoyak dari dalam. Tangannya menekan pahaku lebih kuat, membuka lebar-lebar tanpa ampun, membuatku hanya bisa melengkung menahan serangan yang tiada henti.
Aku bisa merasakan nafasnya semakin berat, panas, dan kasar di atas wajahku. Dorongannya semakin cepat, semakin dalam, hingga akhirnya tubuhnya menegang keras. Dengan satu hentakan terakhir yang brutal, ia menjerit parau dan tubuhku diguncang hebat. Sensasi hangat meledak di dalamku, membuatku berteriak putus asa sambil tubuhku bergetar tak terkendali.
Belum sempat aku menarik napas, tubuh pria itu sudah ditarik mundur oleh temannya. Kedua tanganku masih ditahan di samping, pahaku tetap dipaksa terbuka lebar. Lelaki berikutnya segera menggantikan posisinya, berdiri di antara kedua kakiku yang menggantung. Tanpa aba-aba, ia langsung menempelkan batangnya yang keras dan basah di sana.
“Giliranku,” desisnya kasar, sebelum menghujam keras sekali hingga aku menjerit lagi. Karung beras di bawahku bergeser hebat, butir-butir beras semakin banyak tumpah ke lantai. Tubuhku kembali terguncang, dipaksa menerima hentakan brutal yang tak memberi jeda sedikit pun.
Tangannya menekan perut dan dadaku sambil menghentak, membuat napasku tercekat. Sementara dari samping, lelaki lain kembali meremas buah dadaku dan menamparnya, membuat rasa sakit bercampur panas menjalar di seluruh tubuhku.
Tubuhku dipaksa berputar. Mereka menarik tanganku keras-keras lalu membantingku dalam posisi telungkup di atas tumpukan karung beras. Dadaku menekan kain goni kasar, perih menggesek kulit yang basah oleh keringat. Kedua kakiku menjuntai lemah di udara, menggantung tanpa pijakan, membuatku tak berdaya.
Tanganku masih ditahan erat di kanan dan kiri oleh dua pria yang berdiri di samping tumpukan. Aku meronta, menjerit-jerit sekuat tenaga, tapi genggaman mereka semakin kuat, membuat bahuku sakit seperti mau copot.
Dari belakang, aku bisa merasakan tubuh besar pria lain merapat. Tangannya mencengkeram pinggangku kuat-kuat, lalu tanpa aba-aba ia langsung menghujam kasar batangnya ke dalam tubuhku dari belakang.
“Aaaahhh—!” jeritku melengking. Rasa sakit membuat tubuhku melompat ke depan, tapi dorongan kerasnya menahan pinggangku tetap di tempat.
Hentakannya makin brutal. Setiap kali ia menghujam, karung beras di bawahku berderak, gesekannya menggores perut dan dadaku. Nafasku tersengal, terhimpit di antara hantaman kasar pinggulnya dan kerasnya tumpukan karung.
Tangannya mencengkeram pinggangku makin erat, menarikku ke belakang setiap kali ia mendorong ke depan. Tubuhku terguncang hebat, kepalaku terbentur sisi kayu rak di belakang berulang kali hingga mataku berkunang.
Aku menjerit, menangis, memohon agar berhenti. Tapi semakin aku berteriak, semakin liar hentakannya. Suara desah kasar dari pria itu bercampur dengan tawa kawan-kawannya yang masih menahan tanganku, membuatku semakin terjepit dalam siksaan tanpa jeda.
Tubuhku terguncang semakin keras, hentakan pria di belakangku semakin brutal hingga nafasku terasa nyaris terputus. Pegangan kuat di pinggangku membuatku tak bisa menghindar, setiap dorongan terasa menghantam sampai ke ulu hati.
“Aaaaahh… cukup! Tolooong!” jeritku serak, tapi hanya dijawab dengan tarikan napas kasar di telingaku.
Pria itu makin cepat, makin dalam. Tubuhku terguncang tak beraturan di atas karung beras. Punggungku panas dan perih, seolah terbakar oleh gesekan goni yang kasar. Kakiku menendang-nendang di udara, tapi hanya jadi tontonan bagi mereka yang berdiri di sekelilingku.
Tiba-tiba genggamannya di pinggang semakin erat, hentakan terakhirnya menghujam begitu keras hingga aku melengkung spontan. Dia menggeram panjang, tubuhnya bergetar, lalu aku bisa merasakan tubuhku dipenuhi oleh klimaks liarnya.
Aku menjerit lagi, mencoba melepaskan diri, tapi kedua tanganku masih dikunci erat. Pria itu tetap menekan tubuhnya ke punggungku beberapa saat, sebelum akhirnya menarik diri dengan napas memburu.
Belum sempat aku menarik napas lega, satu pria lain langsung maju mengambil tempatnya. “Sekarang giliranku,” suaranya kasar penuh nafsu.
Tangannya menekan punggungku agar tetap menelungkup di atas karung. Kedua kakiku yang masih menggantung di udara ditarik sedikit ke samping, membuat posisiku lebih terbuka. Aku meronta panik, tapi genggaman di tanganku makin diperketat oleh dua pria yang ada di samping, seolah mereka memang menunggu giliran.
Pria kelima sudah berdiri tepat di belakangku, batangnya keras menempel di pahaku, siap menghujam lagi tubuhku yang tak berdaya.
Pria itu menarik pinggangku kuat-kuat, lalu tanpa ampun langsung menghujam keras dari belakang. Tubuhku terangkat sedikit ke depan karena dorongan yang begitu brutal, dada dan wajahku menekan karung yang kasar hingga rasanya perih.
“Aaaahhh…!!” jeritku melengking, nafasku tercekik saat hentakan pertamanya menghantam begitu dalam.
Dia memompa liar, keras dan cepat, seolah ingin menghancurkan tubuhku. Kedua tanganku masih ditahan kuat di samping, tak ada ruang untuk melarikan diri. Tubuhku terguncang ke depan-belakang mengikuti hentakannya, sampai kakiku yang menggantung di udara ikut berayun-ayun tak beraturan.
Setiap kali dia menghantam, aku merasakan gelombang panas menyeruak dari dalam perutku, naik ke dadaku, membuatku bergetar hebat. Aku berusaha menahan, tapi sensasi itu terus memuncak, makin lama makin tak tertahankan.
“Aaaaahhh… tidak… aaahhh!!” suaraku pecah, tubuhku melengkung tak terkendali. Kedua kakiku yang tadinya terjuntai ke bawah tiba-tiba menekuk ke atas, lututku terangkat tinggi sambil gemetar.
Seluruh tubuhku bergetar hebat, aku melenguh panjang dengan mata terpejam rapat, napas tersengal, saat akhirnya klimaks itu merenggutku habis-habisan. Rasanya seperti terbakar dari dalam, sakit dan nikmat bercampur jadi satu, membuatku pasrah bergetar di bawah kendalinya.
Pria itu justru semakin buas ketika melihat tubuhku bergetar, hentakannya makin keras, membuat aku terus melenguh panjang, kakiku tertekuk ke atas sambil merasakan puncak itu tak kunjung reda.
Pria itu mendadak meraih kedua pergelangan kakiku. Dengan kasar, dia mengangkatnya tinggi-tinggi, menjadikannya pegangan erat. Kakiku yang tadinya menjuntai lemas kini dipaksa tertekuk ke atas, terbuka lebar, membuat tubuhku makin tak berdaya di atas karung yang keras.
Hentakannya semakin liar, setiap dorongan menghujam lebih dalam hingga aku melengkung dan menjerit tak terkendali. Kakiku yang digenggam erat dijadikan tuas, ditarik ke belakang setiap kali dia menancapkan dirinya, membuatku semakin tertekuk dan terjepit.
Aku hanya bisa menggeliat, dada menekan kasar pada karung goni, tanganku tetap dicekal di samping. Nafasku megap-megap, keringat bercucuran, tubuhku bergetar hebat setiap kali hentakan itu menghantam paling dalam.
Jeritanku memecah ruangan, tapi dia justru makin ganas, mencengkeram kakiku lebih kuat seolah tak akan melepaskannya. Aku merasa tubuhku terkunci sepenuhnya, hanya bisa pasrah menerima setiap guncangan brutal yang membuat pikiranku kosong.
Pegangan pria itu di pergelangan kakiku makin erat, seolah takut aku bisa lepas dari genggamannya. Tubuhku dipaksa melengkung ke belakang, setiap hentakan membuatku semakin terjepit di atas karung. Aku bisa merasakan betapa dalam dan kerasnya setiap kali ia menghujam, hingga jeritanku pecah tanpa bisa kutahan.
Karung di bawahku berderak-derak, butiran beras semakin banyak tumpah keluar, menempel di kulitku yang basah oleh keringat. Nafasku putus-putus, tubuhku terguncang tanpa henti. Kedua tanganku yang masih dicekal di samping hanya bisa meronta sia-sia.
“Arghhh…!” pria itu meraung rendah, hentakannya makin cepat, makin ganas. Kakiku ditarik makin ke belakang, dijadikan pegangan untuk menghujam lebih keras lagi. Tubuhku bergetar hebat, mataku terpejam kuat, suara lenguh panjang lolos tanpa bisa dicegah ketika rasa itu meledak dari dalam tubuhku.
Tak lama kemudian, tubuh pria itu menegang kaku di belakangku. Aku bisa merasakan hentakan terakhir yang dalam dan kasar, lalu hangat membanjir di dalamku. Dia mendorong kuat sekali lagi sebelum akhirnya melepaskan genggaman pada kakiku, membuat tubuhku limbung dan hampir terhempas di atas karung.
Tubuhku masih menelungkup di atas tumpukan karung beras yang kasar. Nafasku terengah, dadaku menekan kuat ke permukaan karung hingga terasa perih, sementara keringat bercampur dengan butir-butir beras yang menempel di kulitku.
Kedua kakiku kembali dilepaskan, terkulai lemas dan menjuntai ke bawah, gemetar hebat setelah tadi dipaksa tertekuk ke atas dijadikan pegangan. Pinggangku terasa panas, nyeri menusuk di setiap inci, masih berdenyut sisa dari hentakan brutal yang baru saja selesai.
Tanganku tetap direntangkan ke samping, dipegang kuat oleh dua pria di kanan dan kiri tumpukan karung. Pegangan mereka memang agak mengendur, tapi tetap membuatku tak bisa berbuat apa-apa selain merintih kecil.
Suara tawa rendah dan napas kasar para pria masih terdengar di sekelilingku. Mereka berbicara kotor, menertawakan jeritanku barusan, sementara langkah-langkah berat terdengar semakin mendekat dari belakang. Aku bisa merasakan udara di sekitar pinggangku berubah hangat ketika satu sosok berdiri tepat di belakangku, siap melanjutkan giliran.
Suara langkah itu berhenti tepat di belakangku. “Sekarang lu yang harus kerja buat puasin kita,” ancamnya dengan nada dingin.
Aku merinding. Tubuhku ditarik kasar, dipaksa bangun dari posisi menelungkup. Kaki-kakiku yang masih lemas dipaksa berdiri, lalu dua pria lain mengangkatku turun dari tumpukan karung beras. Aku hampir terjatuh karena lututku goyah, tapi mereka menahan dan menyeretku ke bagian lantai toko yang kosong.
Seorang pria lain sudah berbaring telentang di atas lantai yang berdebu, wajahnya penuh senyum puas, batangnya sudah menegang sambil ditunjukkannya padaku. “Cepet, dudukin gue,” katanya ketus.
Aku menggigit bibir, tubuhku bergetar. Tapi pegangan kuat di kedua lenganku memaksaku maju. Mereka mendorongku hingga aku berada di atas tubuh pria itu, lututku bertumpu di lantai.
Tangannya yang besar menepuk-nepuk pahaku, lalu mengarahkanku turun. Nafasku tersengal, kedua tanganku refleks menahan di dadanya saat ia meraih batangnya sendiri, menggosokkannya ke bibir liarku.
“Turun… lebih dalam…” desisnya.
Dengan tubuh bergetar, aku akhirnya menurunkan pinggulku pelan-pelan, merasakan ujung keras itu menekan, lalu menembus masuk ke dalamku. Aku menjerit pendek, menggigil, sambil berusaha mengatur napas.
Aku hampir tak sanggup menurunkan tubuhku, tapi dua pria di sampingku langsung menekan bahuku dari atas, memaksa pinggulku turun lebih cepat. “Cepet, jangan lelet!” bentak salah satu dari mereka.
Aku menjerit ketika batang keras itu langsung menghujam penuh ke dalamku. Tubuhku terhentak ke bawah, dadaku terhempas menempel ke dada pria yang berbaring. Nafasku tercekat, kepalaku terkulai ke samping.
Kedua pria yang memegangi lenganku tidak membiarkanku berhenti. Mereka menarik bahuku ke bawah lalu mendorong lagi ke atas, membuat tubuhku otomatis naik turun, seperti boneka yang digerakkan paksa.
“Ayo, pake tenagamu!” ejek salah satu dari mereka sambil menepuk bokongku keras, meninggalkan rasa panas perih.
Tubuhku terus dipaksa bergoyang di atas pria itu. Setiap kali pinggulku ditekan turun, batangnya menghujam semakin dalam, membuatku bergetar tak terkendali. Kedua tanganku yang awalnya menahan di dada pria itu malah ditarik ke belakang, dijepit oleh orang yang berdiri di belakangku, membuatku tak bisa lagi menyangga tubuhku sendiri.
Aku hanya bisa melenguh, terhuyung ke depan, sementara tubuhku didorong dan ditarik, terus dipaksa bergerak mengikuti irama mereka. Lantai keras di bawah lututku semakin menyakitkan, tapi genggaman mereka terlalu kuat, membuatku tak bisa melawan sedikit pun.
Tubuhku dipaksa naik turun dengan kasar di atas pria yang berbaring, tapi mereka tak memberi kesempatan padaku untuk bernapas. Pria yang berdiri di belakangku tiba-tiba meraih rambutku, menarik kepalaku ke belakang hingga leherku menegang. Mulutku terbuka tanpa sengaja, dan segera saja pria lain menyodorkan batangnya, menjejalkannya ke dalam mulutku.
Aku tersedak, tanganku masih dijepit ke belakang sehingga tak bisa menahan dorongan itu. Setiap kali pinggulku dipaksa turun menghujam pria yang di bawah, batang lain masuk lebih dalam ke tenggorokanku, membuatku makin tak berdaya.
Sementara itu, pria di sampingku meremas buah dadaku bergantian, begitu keras sampai aku terengah kesakitan. Ada yang menamparnya hingga bergetar, lalu kembali meremas dengan tawa puas.
Pria lain berjongkok di sisi bawah, tangannya menyelinap ke pangkal pahaku, mengusap kasar di sekitar belahan yang terus dijejali dari bawah. “Basah banget, lihat tuh,” ejeknya sambil menekan jarinya tanpa ampun.
Aku bergetar hebat, tubuhku ditarik dan didorong dari segala arah. Pinggulku dipaksa terus bergoyang, kepalaku ditahan agar tak bisa menolak batang yang menghujam mulutku, sementara dadaku dicabik-cabik oleh tangan-tangan kasar.
Tawa mereka bergema memenuhi ruangan sempit itu, bercampur dengan jeritanku yang teredam dan suara tubuhku yang terus dipaksa menuruti irama mereka.
Gerakan pinggulku makin lemah, tubuhku sudah tak sanggup lagi menuruti hentakan yang mereka paksa. Kakiku gemetar, pahaku terasa kaku, tapi genggaman tangan di pinggangku makin kuat, memaksa tubuhku terus naik turun di atas batang pria yang berbaring.
Aku ingin berhenti, ingin merosot jatuh, tapi pria di belakangku menahan rambutku, terus menarik kepalaku ke belakang agar mulutku tetap dijejali batang lain. Nafasku tersengal, air mataku mengalir deras, tubuhku tak lagi bisa menolak.
Setiap kali aku hendak terkulai, tangan kasar lain menampar buah dadaku, membuatku terlonjak dan kembali bergerak. “Ayo, jangan pura-pura lemas, lu harus puasain kita semua!” ejek salah satu dari mereka sambil menepuk pahaku keras.
Tanganku yang dijepit ke belakang terasa mati rasa, jari-jariku kaku. Seluruh tubuhku hanya bisa mengikuti irama dorongan mereka, tanpa bisa mengendalikan apa pun lagi.
Di antara rasa sakit dan lelah yang membakar otot-ototku, aku hanya bisa mendengar tawa puas mereka yang bergema, seolah-olah tubuhku hanyalah mainan yang bisa mereka kendalikan sesuka hati.
Kepalaku terus ditarik ke belakang, batang keras itu semakin dalam menghujam tenggorokanku. Nafasku tersengal, air liur bercampur air mata membasahi wajahku. Aku ingin memalingkan kepala, tapi genggaman di rambutku terlalu kuat, membuatku tak bisa bergerak.
“Telan semuanya!” pria itu menggeram kasar sambil menghentak lebih cepat, lebih keras. Aku hanya bisa meronta lemah, tubuhku sudah kehilangan tenaga.
Lalu tiba-tiba, tubuhnya menegang. Dorongan terakhirnya membuatku hampir tersedak. Cairan panas menyembur deras memenuhi mulutku, menekan sampai ke pangkal lidah. Aku terbatuk, tapi genggaman tangannya menahan kepalaku agar tetap menempel, memaksaku menelan setiap semburan yang keluar.
Sebagian cairan itu meluber dari sudut bibirku, menetes ke dagu dan dadaku. Aku terengah-engah, mataku berair, tapi mereka hanya tertawa puas melihat wajahku berantakan.
Sementara tubuhku limbung, batang lain sudah mulai menggesek bibirku, seolah tak memberi kesempatan untuk bernapas.
Dikeroyok Lima Perusuh
Tubuhku didorong keras hingga menelungkup di atas pria yang berbaring telentang di lantai. Batangnya langsung menusuk paksa kemaluanku dari bawah, membuatku terpekik seketika. Perutku menempel di dadanya sementara nafasku terengah, tapi kedua tanganku ditarik ke samping oleh dua pria lain agar aku tetap terjepit di posisi itu.
Tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pantatku, panasnya menjalar cepat hingga aku tersentak. Saat tubuhku sedikit terangkat, pria di belakang langsung menekan batangnya masuk ke lubang belakangku. Dorongannya kuat dan kasar, membuat tubuhku benar-benar terhimpit di antara dua pria sekaligus
“Aaakhhh!!” teriakanku melengking, tubuhku langsung menegang kaku. Sakit yang tajam menusuk dari belakang, bercampur dengan tekanan dari depan, membuat nafasku tersengal.
Dua hentakan sekaligus menghajar tubuhku—dari bawah dan dari belakang. Aku menggeliat panik, tapi pegangan di tanganku terlalu kuat. Tubuhku terkunci rapat di antara mereka, sementara suara desahan kasar para pria bergantian memenuhi telingaku.
Tubuhku terjepit di atas pria yang berbaring, batangnya masih menancap dari bawah menghajar rahimku. Dari belakang, pria lain baru saja menampar pantatku keras lalu langsung menghujam lubang belakangku, membuatku melengkung kaku menahan teriakan.
Kedua tanganku yang ditahan di samping tidak lagi hanya digenggam. Dua pria itu memaksa jemariku melingkar di batang mereka, lalu menggerakkan tanganku naik-turun, membuatku seperti mengocok milik mereka meski aku berusaha melawan. Genggaman mereka begitu kuat, tak ada cara untuk melepaskan diri.
Dari arah depan, seorang pria lain meraih rambutku dan mendorong kepalaku ke arahnya. Batangnya langsung menekan bibirku dan memaksa masuk ke mulutku. Aku tersedak, air liur bercucuran, tapi dorongan tangannya di belakang kepala membuatku terus menelan batangnya dalam-dalam.
Tubuhku benar-benar jadi pusat permainan mereka, dihimpit dari segala arah hingga tak ada ruang untuk bergerak. Nafasku semakin berat, keringat menetes di kulitku, dan setiap hentakan membuat tubuhku bergetar tanpa kendali.
Pria pertama yang berbaring di lantai menekan dari bawah dengan ritme mantap. Hentakannya dalam dan stabil, seolah ingin menghabiskan tenagaku sedikit demi sedikit. Tiba-tiba tubuhnya menegang, pinggulnya menghantam keras, dan aku merasakan semburan hangat memancar dalam, menjalar cepat ke seluruh perutku. Sensasi itu membuatku menggeliat dan menjerit tertahan.
Di belakangku, dorongan semakin brutal. Pria kedua menarik pinggangku keras lalu menghantam tanpa ampun. Tubuhku terdorong maju mundur, dadaku menindih pria pertama yang masih terengah di bawahku. Napasnya berat di telingaku, dan ketika puncaknya datang, aku bisa merasakan semburan panas lain menekan kasar dari belakang, membuat tubuhku semakin kaku karena terjepit dua arah.
Di depanku, pria kelima menggenggam kepalaku kuat. Batangnya keluar masuk cepat di mulutku, membuatku tersedak, air mataku menetes, dan kepalaku berguncang hebat. Hentakan terakhirnya lebih keras, tubuhnya bergetar, lalu semburan hangat memancar ke dalam, memaksaku menelan paksa hingga dadaku naik turun panik karena tersedak.
Kedua tanganku dipaksa bergerak oleh pria di kanan dan kiri. Di sisi kanan, gerakannya cepat dan kasar, batangnya bergesek keras di telapak tanganku. Nafasnya memburu, tubuhnya condong ke depan, lalu mendesah panjang. Saat itu juga telapak tanganku basah oleh semburan hangat yang memancar deras, membuatku merinding tak berdaya.
Pria di sisi kiri mempermainkanku lebih lama. Ia memaksa tanganku bergerak pelan, menahan setiap gesekan seolah ingin memperpanjang penderitaanku. Aku dipaksa mengikutinya hingga akhirnya ia mempercepat sendiri, menarik tanganku lebih kuat. Tubuhnya menegang, dan semburan hangat lain menyembur deras di jemariku, menetes hingga lenganku, membuatku semakin tak kuasa menahan gemetar.
Kini tubuhku benar-benar lemas. Dari bawah, dari belakang, dari mulut, dari kanan dan kiri, semua sudah mencapai puncak. Sensasi hangat menempel di kulitku, di dalam tubuhku, di telapak tanganku, bahkan masih terasa di tenggorokanku.
Aku terkulai di tengah mereka, wajahku basah oleh keringat dan air mata. Nafasku memburu, dadaku naik turun cepat, sementara otot-ototku bergetar hebat karena dipaksa bekerja terlalu keras.
Mereka berdiri mengitari tubuhku, menatap puas dengan ekspresi penuh kemenangan. Sementara aku hanya bisa terbaring tak berdaya, tubuhku masih terasa panas dan bergetar akibat semburan hangat dari kelimanya.
Malam itu aku habis dilumat, ditarik ke lima arah sekaligus, dan setiap sudut tubuhku meninggalkan jejak lendir hangat yang membuatku sulit membedakan mana sakit, mana nikmat.
Aku limbung, tubuhku gemetar hebat. Tenagaku benar-benar hilang, sementara mereka satu per satu mundur dengan napas memburu, meninggalkanku terkulai di lantai toko beras, basah dan berantakan di setiap sisi.
Tubuhku terkulai lemas di lantai yang dingin dan kotor. Aku nyaris tak mampu menggerakkan tangan ataupun kakiku—semuanya seperti kehilangan tenaga. Dadaku naik turun cepat, napasku putus-putus, sementara keringat bercampur dengan cairan yang lengket menutupi hampir seluruh tubuhku.
Punggungku perih karena gesekan karung goni tadi, dan kini lantai semen yang keras menusuk kulitku. Paha dan pinggangku berdenyut sakit, masih terasa sisa hentakan kasar yang terus membekas setiap kali aku mencoba menarik napas lebih dalam.
Mataku berair, bukan hanya karena rasa sakit, tapi juga karena tubuhku benar-benar tak sanggup lagi menahan semua serangan yang datang bertubi-tubi. Setiap kali aku mencoba mengangkat kepala, pandanganku berkunang-kunang, dunia terasa berputar.
Suara tawa mereka terdengar jauh, meski mereka hanya berdiri di sekelilingku. Aku hanya bisa memejamkan mata, tubuhku bergetar sendiri di antara sisa rasa panas dan sakit yang bercampur jadi satu.
Entah kenapa, di balik semua ketidakberdayaan itu, aku bisa merasakan tubuhku masih berdenyut aneh seolah tak rela berhenti, meski aku sudah benar-benar kehabisan tenaga. Itu yang membuatku semakin takut: tubuhku seperti tak lagi bisa kupahami, seolah punya kehendak sendiri.
Aku ingin berteriak, ingin menolak, tapi suaraku hanya keluar sebagai desahan lemah. Rasanya seperti tenggelam, ditelan rasa lelah, sakit, dan panas yang tak berkesudahan.
Suasana pasar berubah jadi neraka. Jeritan, teriakan, dan suara besi rolling door didobrak memenuhi udara. Api mulai menjilat dari beberapa kios yang terbakar, asap hitam mengepul dan membuat langit-langit pasar gelap. Orang-orang berlari sambil membawa barang jarahan, sebagian menendang pintu, sebagian lagi menghantam kaca dan mengambil apa saja yang bisa dibawa.
Di tengah kekacauan itu, samar-samar aku masih bisa merasakan suara ribut di luar. Tubuhku lemah, hampir tak bisa digerakkan. Pandanganku buram, tapi aku sadar ada sosok pria tua dengan langkah tertatih mendekat.
“Ya Tuhan…” kudengar ia bergumam lirih, suaranya terdengar kaget sekaligus iba.
Aku tak sanggup berkata apa-apa. Tubuhku digerakkan, lalu terasa sesuatu yang kasar namun hangat menutupi diriku. Karung beras. Ia membentangkannya dan menutupiku agar tidak terlihat orang lain. Aku ingin melawan, tapi aku terlalu lemah, bahkan untuk sekadar mengangkat tangan.
Ketika tubuhku diangkat ke punggungnya, aku hanya bisa pasrah. Nafasku pendek, dadaku terasa sesak, wajahku pucat dan tertutup sebagian oleh karung itu. Aku bisa mendengar dentuman keras dari luar, suara massa berteriak-teriak, dan bau gosong memenuhi hidungku.
Langkah pria tua itu pelan tapi pasti. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar karena tenaga yang sudah hampir habis, tapi ia tetap membawaku melewati lorong pasar yang panas dan dipenuhi api. Anehnya, tak ada yang memperhatikan kami. Semua sibuk dengan jarahan masing-masing.
Akhirnya aku sadar kami sudah keluar dari kerumunan. Udara malam meski penuh asap terasa lebih lega di paru-paruku. Aku masih menempel lemah di punggungnya saat ia membawaku pulang ke rumah sederhananya di pinggir kampung. Dalam hatiku aku hanya bisa berharap, semoga ada sedikit keajaiban yang bisa menyelamatkanku dari neraka yang baru saja melahap pasar.
Kerenn.. Salam Takzim untuk suhu Analconda atas karya karyanya🙏
BalasHapusRequest dong Hu, cerita yang "Barang Jarahan" Dilanjutkan lagi dong Hu, banyakin gangbang nya.. Lebih brutal dan lebih extreme. Bikin jadi ketagihan gangbang hu
Rencana sih mau dilanjutin hu. Tapi yang baca sama komentar dikit jadi ditunda dulu. Mungkin ceritanya kurang menarik. 😓
Hapuspecinan series memang bikin keren banget
BalasHapusrape scene yg realitas
hanjiirr ini mah selaluu gaaa ada lawaaan
BalasHapusmantaab suhu analkondaaa kami padamu
jangan kasih kendoorrr karyanya ga ada yanggg biasa2 selalu bikin crooottt