Langsung ke konten utama

Guru Sekolahku Yang Brutal

By : Analconda13

Namaku Lena Sulistio, seorang siswi kelas dua SMA. Kehidupanku jauh dari kata tenang karena Papa jarang pulang bahkan kadang menghilang berhari-hari tanpa kabar. Sementara itu Mama selalu sibuk bekerja dari pagi hingga malam demi menutup kebutuhan rumah tangga.

Jika kebetulan mereka bertemu di rumah, yang terdengar bukanlah canda hangat, melainkan suara pertengkaran yang memekakkan telinga. Aku terbiasa menutup telinga dengan bantal agar tidak mendengar, tetapi rasa sesak tetap menghimpit dada. Karena itulah aku sering mencari pelarian dengan membiarkan pikiranku melayang ke dunia lain yang terasa lebih damai.

Entah kapan tepatnya aku mulai punya rasa aneh pada Pak Adrian yang merupakan guru muda di sekolahku. Usianya masih awal tiga puluhan dengan cara bicara tegas namun tetap ramah. Ia selalu terlihat rapi dengan kemeja putih yang disetrika licin. Tubuhnya kekar dengan kulit gelap khas pria pribumi dan terlihat semakin berwibawa karena aku tahu ia memang sering fitness dan menjaga fisiknya.

Setiap kali ia menulis di papan aku memperhatikan gerakan tangannya. Setiap kali suaranya memenuhi ruang kelas aku merasa seolah hanya aku yang mendengarnya. Ada sesuatu darinya yang membuat pikiranku melayang jauh ke arah yang seharusnya tidak kupikirkan sebagai seorang murid.

Hari itu aku sengaja mengajukan diri ikut ujian tambahan. Nilai ujianku memang jelek dan itu alasanku secara resmi. Namun di balik itu aku hanya ingin satu hal yaitu bisa lebih lama berada di dekat Pak Adrian tanpa ada teman lain. Aku ingin bisa berbicara dengannya lebih bebas dan memperhatikan setiap detail gerakannya tanpa takut ketahuan.

Kelas sore itu terasa asing. Ruangan kosong dan sepi hanya ada suara dengung pendingin ruangan di pojok yang bergetar pelan. Cahaya matahari sore masuk lewat jendela dan membuat debu di udara terlihat melayang. Semua temanku sudah pulang dan tinggal aku sendiri duduk di barisan paling depan.

Aku menyandarkan tubuhku ke kursi, kancing seragam putihku kubiarkan terbuka satu memperlihatkan sedikit kulit leherku. Rasanya jantungku berdegup lebih cepat, tapi entah kenapa aku justru menikmati sensasi itu, perasaan seolah sedang diperhatikan, meski aku pura pura sibuk menunduk pada meja.

Pak Adrian duduk di meja guru, wajahnya serius menunduk pada tumpukan kertas ujianku. Pena merah di tangannya bergerak stabil, sesekali berhenti, lalu kembali menorehkan catatan di atas kertas. Aku menatapnya diam-diam sambil menahan napas, dan untuk sesaat aku melupakan semua soal ujian. Gerakan jarinya begitu tenang, tapi justru itulah yang membuat pikiranku berkhianat. Aku membayangkan hal lain, jauh dari sekadar hubungan guru dan murid.

Aku menggoyangkan kakiku pelan di bawah meja, pura pura tidak sabar, padahal dalam hati aku hanya ingin menarik perhatiannya. Sore itu aku tahu, ujian tambahan ini bukan sekadar nilai. Ada sesuatu dalam diriku yang ingin lebih dari sekadar angka di rapor. Sesuatu yang hanya bisa kurasakan saat berada di dekatnya, sendirian, seperti sekarang.

"Nilaimu masih belum memuaskan Lena, katanya tanpa menoleh
"tapi ada peningkatan, masih bisa kamu perbaiki

Aku menelan ludah, pura pura menunduk menatap meja.
"Kalau aku nggak bisa perbaiki gimana pak, tanyaku pelan sambil memainkan ujung kertas di depanku

"Ya kamu harus mau belajar lebih giat, jawabnya singkat sambil terus menulis catatan di kertas
"kalau kamu serius aku yakin bisa

Tanganku refleks meremas rok seragamku sendiri, entah kenapa kalimatnya terasa berbeda di telingaku.

Aku mengangguk pelan, sengaja menunduk sebentar sebelum bicara.

"Berarti saya masih ada kesempatan kan pak, suaraku nyaris berbisik, terdengar lebih lembut dari biasanya

Akhirnya ia mengangkat kepala dan menatapku. Tatapan itu hanya beberapa detik, tapi cukup membuat tubuhku panas dingin. Aku tahu betul aku bukan lagi anak kecil. Ada sesuatu dalam diriku yang ingin diuji, ingin ditunjukkan padanya.

Aku maju ke mejanya lalu menyerahkan kertas ujian susulan. Tanganku gemetar, tapi bukan karena takut nilai jelek. Di balik lembar jawaban itu aku sudah sisipkan secarik kertas kecil. Tulisan tanganku miring dan terburu buru, tapi jelas terbaca.

"Saya suka kalau bapak memperhatikan saya. Kadang saya sengaja biar bapak lihat"

Begitu kertas itu berpindah ke tangannya, jantungku seperti mau meloncat keluar. Aku menahan napas, menatap wajahnya tanpa berkedip. Suasana jadi hening, hanya terdengar bunyi pendingin ruangan di pojok yang bergetar pelan.

Pak Adrian tidak langsung bicara. Matanya turun mengikuti halaman ujianku lalu berhenti pada lipatan kecil di sudut kertas. Jemarinya membuka perlahan dan menemukan secarik catatan yang kuselipkan. Aku bisa melihat jelas bagaimana alisnya sedikit terangkat. Ia membaca kata kata itu tapi tetap diam.

Degup jantungku makin keras hingga terasa memenuhi seluruh ruangan. Aku menggigit bibir, menunduk sebentar, lalu kembali melirik dengan ekor mata. Tatapannya masih tertuju padaku.

"Lena, akhirnya ia memanggil pelan dengan suara lebih berat dari biasanya
"Ya pak, jawabku cepat sambil pura pura polos

Ia meletakkan lembaran itu di atas meja lalu mengetuknya pelan dengan ujung pena.
"Kamu sadar apa yang kamu tulis di sini, tanyanya datar

Aku menelan ludah, mencoba tersenyum tipis.
"Sadar pak, jawabku sambil menunduk lagi tapi tetap sengaja memperlihatkan leherku yang terbuka karena kancing seragam.

Aku tersenyum tipis sambil mencoba menahan gemetar di dadaku.

"Saya sadar pak, ucapku tenang padahal di dalam tubuhku terasa bergetar entah karena takut atau karena menunggu sesuatu

Tatapannya menajam dan lama sekali tidak bergeser. Ia seolah sedang mencari sesuatu di wajahku, apakah aku sedang bercanda atau benar benar serius. Aku sengaja tidak menunduk, aku ingin ia lihat, aku ingin ia tahu kalau aku tidak main main.

Ruangan kembali hening. Kertas ujianku masih ada di tangannya, tapi entah kenapa bagiku kertas itu berubah jadi sesuatu yang jauh lebih penting dari sekadar nilai matematika.

"Apa maksudmu dengan sengaja biar saya lihat, tanyanya akhirnya dengan suara pelan tapi jelas

Aku menarik napas dalam dalam lalu mengangkat dagu sedikit.
"Maksud saya, aku berhenti sebentar membiarkan jeda itu menggantung, saya suka perasaan diperhatikan bapak. Di kelas atau di mana pun. Rasanya seperti hanya saya yang ada di mata bapak, kataku akhirnya

Pipiku terasa panas dan jantungku makin cepat, tapi aku tidak menyesal. Justru saat mengucapkannya aku merasa benar benar hidup.

Pak Adrian bersandar di kursinya lalu menarik napas panjang. Ia masih diam, tapi dari cara matanya menatapku aku tahu catatan kecil yang kuselipkan tadi sudah membuka pintu yang tidak bisa ditutup lagi.

Aku bisa melihat jelas bagaimana ia berusaha menjaga wajahnya tetap tenang. Tapi ada perubahan halus, jemarinya mengetuk meja pelan, matanya sesekali menghindar lalu kembali menatapku. Seperti sedang berperang dengan dirinya sendiri.

Dan itu justru membuatku semakin berani. Aku sengaja menyandarkan tubuhku ke meja lalu mendekat beberapa senti.

"Saya tahu ini salah pak, tapi justru karena itu rasanya jadi lebih mendebarkan, kataku pelan hampir berbisik

Pena di tangannya berhenti bergerak. Aku tahu kalimatku barusan berhasil menusuk.

"Lena, kamu sadar konsekuensinya, suaranya terdengar berat tapi tidak setegas biasanya. Ada nada lain di balik ucapannya, bergetar dan rapuh seperti sedang menahan sesuatu

Aku menatapnya lurus tanpa berkedip.
"Saya sadar pak, jawabku pelan, tapi saya juga sadar bapak sudah memperhatikan saya lebih lama daripada yang seharusnya

Kata kataku meluncur begitu saja, tapi aku bisa melihat jelas efeknya. Rahangnya mengeras, matanya berubah arah, tatapan yang tadinya dingin sebagai guru kini jadi sesuatu yang berbeda. Lebih dalam, lebih berbahaya.

Ruangan mendadak makin sunyi. Suara kipas tua di atas kepala berdecit pelan seolah menertawakan kami berdua.

Aku memberanikan diri menarik kursi di depan mejanya lalu duduk. Kini jarak kami hanya sejengkal. Dari dekat aku bisa melihat garis halus di wajahnya, kerutan kecil di sudut matanya yang biasanya tidak pernah kuperhatikan.

Ia menghela napas panjang lalu menutup lembar ujianku dengan tangannya. Tatapannya kembali padaku.
"Lena.. kamu jangan bermain main dengan api. katanya tegas tapi suaranya terdengar berat

Aku tersenyum kecil sambil mencondongkan badan sedikit ke depan.
"Bukankah kadang api itu yang membuat kita hangat pak. Jawabku pelan

Detik itu aku tahu ia bukan lagi guru yang dingin dan tak tersentuh. Ia sudah masuk ke dalam permainan yang kubuat sendiri. Dan aku, Lena Sulistio, baru saja memenangkan babak pertama.

Sejak sore itu ada sesuatu yang berubah. Tidak ada janji, tidak ada kesepakatan, bahkan tidak ada kalimat pasti yang keluar dari mulut Pak Adrian. Tapi aku bisa merasakannya. Cara dia menatapku sudah tidak sama lagi.

Di kelas ia tetap tegas seperti biasa. Suaranya lantang saat menjelaskan rumus di papan tulis, langkahnya mondar mandir di antara bangku murid. Semua terlihat wajar dari luar. Tapi aku tahu di balik itu ada sesuatu yang hanya kami berdua pahami.

Aku mulai memainkan peranku. Kadang aku duduk di barisan paling depan, menaruh dagu di atas meja sambil memperhatikan setiap gerakannya. Kadang aku sengaja melepas kancing seragam sedikit lebih longgar dari biasanya. Dan setiap kali matanya sekilas jatuh ke arahku, hanya sepersekian detik, aku tahu aku berhasil.

Ada momen momen kecil yang hanya aku dan dia yang sadar. Saat ia memanggil namaku ketika absen, nada suaranya terdengar sedikit berbeda. Saat ia berjalan melewati bangkuku, langkahnya terasa melambat setengah detik. Dan ketika aku berani menatapnya lurus saat ia menulis di papan tulis, aku bisa melihat bahunya sedikit menegang.

Tak ada yang lain yang tahu. Teman teman sibuk menyalin catatan, beberapa bahkan sudah tertidur di bangku belakang. Tapi di antara suara kapur yang berderit di papan tulis dan lembar buku yang dibalik, ada permainan sunyi yang hanya kami berdua pahami.

Aku, Lena Sulistio, menemukan kesenangan di situ. Sensasi diperhatikan diam diam hanya oleh satu orang. Seolah seluruh kelas berubah jadi panggung, dan aku yang jadi pemeran utamanya.

Yang paling menegangkan adalah semakin lama aku bisa merasakan kalau Pak Adrian bukan lagi hanya penonton. Ia mulai ikut terjebak.

Suasana Panas Dalam Kelas 

Hari itu kelas sedang gaduh. Suara tawa dan obrolan murid bercampur jadi satu. Beberapa anak sengaja melempar kertas, beberapa lain ribut soal catatan. Pak Adrian berdiri di depan papan tulis dengan kapur di tangan, mencoba menenangkan suasana dengan suara lantang.

Aku duduk di barisan depan, pura pura sibuk menulis catatan, padahal mataku hanya tertuju padanya. Seperti biasa aku berani bermain sedikit. Kancing seragamku kubiarkan longgar, rokku tersingkap sedikit saat aku duduk miring. Aku tahu dari posisi berdirinya ia bisa melihat dengan jelas.

Benar saja, tatapannya sempat berhenti padaku. Hanya sebentar, sepersekian detik, tapi cukup membuat tubuhku bergetar kecil. Aku balas menatapnya sambil memberi senyum samar. Itu jadi kode kami, bahasa rahasia yang tidak dimengerti siapa pun.

Tiba tiba sebuah suara memotong lamunanku.
"Eh Lena, kok senyum senyum sendiri sih, tanya Livia sambil menyikut lenganku dengan tatapan heran
Aku kaget sebentar lalu mencoba menutup senyumku.
"Nggak kok, jawabku cepat sambil menunduk pura pura menulis lagi

Livia tidak langsung percaya. Ia menoleh ke arah papan tulis lalu kembali menatapku dengan senyum nakal.
"Kamu naksir Pak Adrian ya, bisiknya setengah berbisik setengah mengejek.

Jantungku langsung meloncat ke tenggorokan. Aku pura pura tertawa sambil mengibas tanganku.

"Apaan sih Liv, nggak lucu, kataku mencoba terdengar biasa

Beberapa anak lain ikut menoleh lalu ikut ikutan menggoda. Suasana kelas makin ribut dengan tawa dan ejekan.

Wajahku terasa panas, tapi bukan karena malu pada mereka. Panas itu muncul karena aku tahu Pak Adrian juga mendengar semuanya. Saat aku berani menoleh sekilas ke arahnya, aku menangkap wajahnya yang sedikit tegang. Ia menunduk pura pura menulis di papan tulis, tapi aku tahu ia juga ikut terjebak dalam kegaduhan ini.

Untung bel masuk berbunyi menyelamatkan kami. Anak anak buru buru menutup buku dan beres beres meja. Livia sempat menoleh padaku lalu berbisik cepat.
"Fix deh, tatapan kamu sama Pak Adrian tuh beda, katanya sambil nyengir usil

Aku hanya tersenyum kecil menutupi degup jantungku yang belum juga reda.

Saat semua murid keluar, aku sengaja menoleh sekali lagi. Pandangan kami bertemu. Tidak ada kata, tidak ada senyum. Hanya sorot mata yang sama sama paham kalau permainan ini sudah semakin berbahaya dan semakin sulit dihentikan.

Kelas akhirnya kosong. Suara langkah teman temanku hilang di koridor meninggalkan ruangan yang tiba tiba terasa terlalu sunyi. Aku pura pura sibuk membereskan buku di meja, padahal sengaja menunggu.

Pak Adrian berdiri di depan meja guru, merapikan catatannya. Gerakannya terlihat kaku seperti orang yang menahan sesuatu. Aku tahu ia sedang berpikir keras.

Aku memberanikan diri melangkah pelan ke arahnya.
"Pak, suaraku terdengar pelan

Ia langsung menoleh cepat, seolah kaget karena aku belum pergi. Tatapannya tajam tapi tidak setegas biasanya.
"Kenapa kamu belum pulang Lena, tanyanya agak menekan

Aku mengangkat bahu pura pura santai.
"Saya cuma mau minta maaf soal tadi. Teman teman memang suka asal ngomong, kataku sambil menatap ke bawah

Wajahnya menegang. Ia menutup buku di tangannya sedikit keras lalu menatapku lebih serius.
"Mereka hampir tahu. Kamu sadar itu, ucapnya dengan nada rendah

Aku menggigit bibir menahan senyum kecil.
"Justru itu yang bikin deg degan pak, jawabku tanpa menunduk

Ia terdiam beberapa detik. Sorot matanya menusuk seolah ingin memarahiku, tapi ada sesuatu yang lain, sesuatu yang ia sembunyikan dengan susah payah.

"Lena, suaranya dalam dan pelan, kamu nggak bisa terus begini. Ini bahaya

Aku melangkah lebih dekat hingga jarak kami hanya terpisah satu meja. Jantungku berdetak kencang tapi aku tidak menunduk. Aku ingin ia lihat aku berani.
"Kalau memang bahaya, kenapa bapak nggak berhenti memperhatikan saya, tanyaku pelan tapi tegas

Rahangnya menegang, jemarinya menggenggam buku erat tapi tidak bergerak. Hanya matanya yang bicara, mata yang sudah terlalu jauh terjebak.

Hening panjang memenuhi ruangan. Sampai akhirnya hampir tak terdengar ia berbisik.
"Karena saya juga nggak bisa, katanya dengan suara bergetar

Detik itu aku tahu garis tipis yang selama ini membatasi kami sudah benar benar kabur. Dan aku, Lena Sulistio, semakin yakin kalau semakin berbahaya permainan ini maka semakin aku ingin melanjutkannya. Aku tidak pernah menyangka semuanya akan bergerak secepat ini.

Beberapa hari setelah insiden di kelas, ponselku bergetar menerima pesan singkat dari nomor tak dikenal. Tapi aku tahu betul siapa pengirimnya.

"Besok sore, perpustakaan kota. Jangan bilang siapa siapa"

Tanganku gemetar membaca pesan itu. Antara takut, ragu, dan sebuah rasa yang sulit kuakui. Gairah.

Ketegangan Di Perpustakaan 

Sore itu aku datang dengan seragam yang sudah kulepas dan kusimpan di dalam tas. Aku memilih blus putih sederhana yang membungkus tubuhku dengan rapi serta rok hitam selutut yang membuat langkahku terasa lebih ringan. Rambutku kubiarkan tergerai begitu saja hingga jatuh menutupi bahu, karena aku ingin tampak berbeda dari Lena yang biasanya hanya dikenal sebagai murid kelas dua SMA.

Aku menatap pantulan diriku di kaca jendela sebuah toko sebelum melangkah lebih jauh. Blusku memang sederhana, tetapi potongan lehernya memberi kesan anggun. Rokku tidak panjang, juga tidak terlalu pendek, pas untuk memberi keyakinan bahwa aku sudah bukan lagi gadis kecil. Sepatu hitam yang kupakai berderap pelan di trotoar, mengikuti degup jantungku yang semakin kencang.

Aku bukan Lena yang biasanya duduk diam di bangku sekolah, menunduk saat guru memanggil nama, atau berpura-pura sibuk mencatat agar tidak ditanya. Aku ingin menjadi Lena yang lain, Lena yang lebih berani. Ada sesuatu yang mendorongku untuk keluar dari bayangan rumah yang penuh pertengkaran, juga dari kelas yang membuatku merasa terkekang.

Hari itu aku melangkah menuju undangan seseorang yang menantiku. Undangan itu bukan sekadar janji untuk bertemu, melainkan sebuah kesempatan untuk menjadi sosok yang berbeda. Bukan Lena murid kelas dua SMA, tetapi Lena yang ia undang, Lena yang ingin menunjukkan sisi dirinya yang selama ini tersembunyi.

Setiap langkah terasa berat, namun juga penuh harapan. Dalam benakku muncul pertanyaan. Apakah aku siap menerima apa pun yang menunggu di balik pintu tempat pertemuan itu? Entah kenapa, meski hatiku diliputi kegelisahan, ada getaran hangat yang membuatku terus maju.

Perpustakaan kota terasa sepi. Aroma buku lama bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Cahaya senja masuk dari jendela tinggi, menyorot debu debu tipis yang melayang di udara. Langkah kakiku bergema pelan di lantai kayu sampai akhirnya aku melihat sosoknya.

Pak Adrian berdiri di antara rak buku, tangannya menyilang di depan dada, seolah sudah menungguku sejak lama.
"Lena, suaranya pelan, kamu benar benar datang

Aku tersenyum kecil sambil mencoba menyembunyikan gemetar.
"Bukankah bapak yang mengundang, jawabku ringan.

Ia menarik napas panjang lalu menunduk sebentar sebelum akhirnya menatapku lagi. Sorot matanya terasa berbeda, bukan lagi sorot seorang guru yang menasihati muridnya, melainkan tatapan seorang pria yang seolah sudah kehilangan garis batas. Tanpa banyak bicara ia mengajakku menaiki tangga menuju lantai dua.

Duduk Dipojok Ruangan Besar

Kami memilih duduk di pojok ruang baca pada bagian yang paling sepi dan jarang dijamah orang. Rak buku menjulang tinggi di sekeliling dan menutup pandangan dari arah pintu masuk. Tidak ada siapa pun di sana selain kami berdua. Yang terdengar hanya bunyi jarum jam di dinding yang berdetak lambat serta desiran lembut kertas yang bergerak terkena angin dari jendela yang sedikit terbuka.

Suasana itu menekan sekaligus menenangkan. Heningnya ruang baca membuat setiap gerakan terasa lebih nyata seolah detik demi detik menambah jarak kami dari dunia luar. Aku bisa merasakan udara di antara kami semakin berat seakan ada sesuatu yang sebentar lagi akan pecah.

"Aku sebenarnya bodoh" katanya dengan nada berat "harusnya tidak pernah membiarkan ini terjadi"

Aku mencondongkan tubuh mendekat ke arahnya. "Tapi bapak tetap melakukannya" jawabku pelan.

Tatapan kami bertemu. Hening. Detik itu semua pertahanan runtuh.

Tangannya lebih dulu bergerak menyentuh jemariku di atas meja kayu. Sentuhan itu hangat dan sedikit gemetar namun penuh keyakinan. Aku tidak menolak justru kugenggam balik dengan erat seakan takut kesempatan ini hilang begitu saja. Ada sesuatu di dalam diriku yang meledak. Perasaan yang selama ini hanya kubayangkan diam-diam di kelas kini nyata tepat di hadapanku.

Tangannya bergerak makin berani mendekat ke arahku. Awalnya hanya di atas meja, jemarinya menelusuri punggung tanganku pelan, namun kemudian turun ke pahaku. Sentuhan itu ringan seperti ragu, tapi justru membuat seluruh tubuhku menegang. Aku bisa merasakan hangat kulitnya menembus kain tipis seragamku.

Aku menghela napas pendek dan menunduk, seolah sedang sibuk dengan buku di hadapanku, padahal detak jantungku sudah berantakan. Ruang baca tetap hening, hanya jarum jam di dinding yang berdetak lambat, namun di telingaku bunyinya terdengar semakin kencang.

Tangannya tidak berhenti. Dari sisi luar pahaku ia bergerak perlahan naik, menekan lembut namun pasti. Aku mencengkeram ujung meja kayu untuk menahan getar tubuhku. Rambutku terjatuh menutupi wajah agar orang lain yang lewat di lorong tidak melihat perubahan ekspresiku.

“Aku tidak bisa…” bisiknya rendah nyaris tak terdengar, tapi aku tahu maksudnya.

Aku menoleh sedikit, mata kami bertemu hanya sekilas. Tatapannya dalam, penuh pertarungan antara menahan diri dan menyerah pada godaan. Aku tidak berkata apa pun, tapi aku juga tidak menghentikannya. Jemariku justru terlepas dari meja lalu pelan-pelan menyentuh lengannya, memberi isyarat yang tidak butuh kata-kata.

Suasana di pojok itu semakin berat. Udara serasa menekan dari segala arah, dan setiap gerakan kecil terasa seperti langkah berbahaya yang tidak bisa ditarik kembali. Pahaku semakin panas di bawah genggamannya, sementara tubuhku mulai goyah, terombang-ambing antara rasa takut ketahuan dan dorongan yang membuatku tidak ingin berhenti.

Tangannya berhenti sesaat lalu ia menoleh padaku dengan tatapan gelisah yang bercampur penasaran. Tanpa banyak kata ia berdiri dan memberi isyarat halus agar aku mengikutinya. Aku sempat ragu, tapi tubuhku otomatis bangkit dari kursi dan berjalan pelan di belakangnya.

Kami melewati lorong panjang ruang baca, deretan meja dan kursi berganti dengan rak-rak tinggi yang dipenuhi buku tua. Semakin jauh kami melangkah semakin sepi suasananya. Suara dari pengunjung lain perlahan menghilang tertelan jarak.

Akhirnya ia berhenti di sudut yang paling tersembunyi, di balik deretan rak buku besar yang menjulang hingga langit-langit. Cahaya lampu hanya menerobos samar dari celah atas rak, membuat tempat itu terasa lebih gelap dan terasing.

Ia berbalik menghadapku. Untuk beberapa detik kami hanya berdiri berhadapan. Nafasku terasa berat, tanganku otomatis meremas buku yang kubawa sejak tadi. Udara di antara kami tebal sekali, seolah dunia di luar rak itu sudah terputus.

Tanpa bicara ia melangkah satu langkah maju. Kini jarak kami begitu dekat hingga aku bisa merasakan hangat tubuhnya menyentuh kulitku meski tidak benar-benar bersentuhan. Tatapannya menahan, dalam dan penuh rasa ingin tahu, seperti mencari jawaban di mataku apakah ia boleh melangkah lebih jauh.

Aku mendongak pelan dan tidak menolak. Senyum tipis lolos tanpa sengaja dari bibirku. Itu sudah cukup sebagai jawaban.

Ia mengangkat tanganku perlahan lalu menggenggamnya erat. Hangat telapak tangannya langsung terasa menembus kulitku dan membuat debar di dadaku semakin cepat. Jemarinya kokoh namun sedikit bergetar, seakan ia sendiri berjuang menahan sesuatu yang sudah terlalu lama dipendam.

Tatapannya terkunci pada mataku. Begitu dekat hingga aku bisa melihat garis tipis di bawah matanya, keringat kecil di pelipisnya, dan sorot yang penuh dengan keraguan sekaligus keinginan. Hening di sudut rak buku itu membuat tatapan itu terasa lebih berat, seolah seluruh dunia menunggu jawaban dariku.

Aku tidak menarik tanganku. Justru kugenggam balik lebih erat. Pandanganku tidak berpaling dan di sana, dalam diam, aku membiarkannya membaca apa yang sebenarnya kurasakan tanpa satu kata pun.

Aku bisa melihat jelas perubahan pada dirinya. Bahunya sedikit naik turun, napasnya menjadi berat dan dalam. Rahangnya menegang, tapi matanya… matanya sudah tak bisa lagi menyembunyikan apa apa.

"Lena, bisiknya hampir tak terdengar

"Ya, Pak, aku menatapnya sambil menahan senyum kecil

Ia tidak menjawab. Matanya menatapku begitu dalam, tatapan yang membuat seluruh tubuhku panas dingin. Itu bukan lagi tatapan seorang guru terhadap murid. Itu tatapan seorang pria yang sedang berjuang menahan diri di tepi jurang.

Aku yang akhirnya memecahkan jarak itu. Perlahan aku condong ke depan, wajahku hanya tinggal beberapa inci dari wajahnya. Aku bisa mencium aroma samar kopi dari napasnya bercampur dengan wangi kertas tua yang memenuhi ruangan.

Jantungku berdegup kencang, hampir menyakitkan. Aku tahu, sekali saja aku melangkah lebih jauh, tidak akan ada jalan kembali.

Dan aku melakukannya.
Aku menutup jarak itu.

Hanya sekejap, bibirku menyentuh pipinya. Ringan, singkat, tapi cukup untuk mengguncang seluruh dunia kami. Ia menegang, matanya terpejam sesaat. Lalu ketika aku hendak mundur, jemariku justru digenggam lebih erat

"Lena… suaranya serak, …kamu tahu apa artinya ini

Aku tersenyum tipis, menatap lurus ke matanya
"Artinya… kita berhenti berpura pura, jawabku pelan

Hening panjang. Udara perpustakaan seolah menekan, membuat detak jam di dinding terdengar semakin keras.
Ia menunduk perlahan, mendekat, dan akhirnya bibirnya menyentuh bibirku. Bukan terburu buru, bukan liar, tapi penuh ketegangan yang sudah terlalu lama dipendam.

Di pojok perpustakaan yang sepi itu, aku merasakan sesuatu yang berbeda dari semua fantasi kecilku di kelas.
Ini nyata.
Ini berbahaya.
Dan justru karena itu, rasanya begitu memabukkan.

Aku tahu sejak saat itu kami sudah terlalu jauh untuk kembali. Aku, Lena Sulistio, baru saja menyerahkan diriku ke dalam rahasia yang akan mengikat kami berdua lebih dalam daripada yang pernah kubayangkan.

Ciuman itu awalnya singkat dan penuh ragu. Bibirnya hanya menempel sebentar seolah bertanya apakah aku benar-benar menginginkannya. Namun ketika aku membalas, segalanya berubah.

Tangannya yang tadi hanya menggenggam jemariku mulai bergerak. Ia menyusuri lenganku perlahan lalu naik ke pundak. Gerakannya hati-hati dan kaku seolah ia takut merusakku. Justru di situlah letak ketegangannya, sebuah perjuangan menahan diri yang terasa hingga ke kulitku.

Aku tidak tinggal diam. Aku mendekat lebih jauh dan membiarkan tubuhku menempel hingga jarak di antara kami lenyap. Bibir kami bertemu lagi, kali ini lebih dalam dan lebih lama. Aku bisa merasakan debar jantungnya yang sama liar dengan milikku, saling berpacu tanpa kendali.

Ruang baca itu sunyi, tetapi setiap desah napas terdengar keras di telingaku. Setiap detik seolah menggema ke seluruh lantai dan justru itu yang membuat semuanya makin memabukkan.

"Lena…" suaranya bergetar saat aku menjauh sebentar.

Aku tersenyum lalu menempelkan keningku di keningnya. "Tenang Pak, tidak ada orang."

Padahal kata-kataku sendiri tidak sepenuhnya meyakinkan karena setiap kali ubin lantai berderak atau ada buku jatuh dari rak jauh di lorong, jantungku langsung melompat. Bayangan seseorang muncul tiba-tiba di ujung lorong terasa seperti ketakutan yang nyata.

Namun justru risiko itulah yang membuatku semakin berani. Aku menarik tangannya dan membawanya berdiri bersamaku di balik rak tinggi. Dari tempat itu kami bisa bersembunyi dari pandangan siapa pun yang mungkin lewat. Nafas kami saling bertubrukan dan tubuh kami terlalu dekat untuk bisa pura-pura lagi.

Aku menatapnya dengan bibirku yang nyaris menempel di telinganya. "Kalau kita ketahuan semuanya berakhir. Tapi kalau tidak…" Kalimatku sengaja kugantung begitu saja. Sebagai gantinya aku kembali menutup bibirnya, kali ini lebih dalam.

Tangannya akhirnya menyerah. Ia meraih pinggangku lalu menarikku erat sampai dada kami saling bertemu. Degup jantungku bercampur dengan degup jantungnya, beradu keras seakan ingin saling mengalahkan. Punggungku terbentur rak buku tinggi, kayunya berderit halus seolah ikut menahan rahasia kami.

Aku mendongak, menatapnya dari jarak begitu dekat hingga napasnya yang panas terasa membakar wajahku. Jemarinya turun ke pahaku, mengangkat sebelah kakiku tinggi hingga rokoku tergulung ke pinggang. Tubuhku refleks menegang, lalu kubiarkan diriku bersandar penuh pada rak agar bisa menahan dorongan yang datang darinya.

Gerakannya mantap, menghujam dari depan sambil tetap menatap mataku. Napasku terputus-putus, bibirku terbuka tanpa suara. Setiap kali tubuhnya menekan masuk, rak di belakangku berderit keras, membuatku makin panik sekaligus terbakar. Tanganku mencengkeram bahunya erat, sementara sebelah kakiku yang terangkat bergetar menahan sensasi yang semakin dalam.

Tidak ada suara lain di ruangan itu kecuali derit rak buku, desah napas kami, dan degup jantung yang berpacu liar. Sensasi terlarang di ruang baca sunyi itu membuat tubuhku bergetar sekaligus haus akan setiap gerakan darinya.

Punggungku semakin terjepit di antara tubuhnya dan rak buku tinggi. Setiap dorongan dari pinggulnya membuat rak itu berderit keras seakan bisa roboh kapan saja. Masih dalam posisi berdiri terhimpit dirak buku aku ingin menahan suara tapi aaakhh.. desah kecil terus lolos dari bibirku.

Tiba-tiba terdengar suara langkah mendekat. Lantai kayu di ujung lorong berderak pelan, disusul bunyi kertas diseret dari meja baca. Tubuhku langsung kaku, jantungku melompat begitu keras hingga rasanya bisa terdengar keluar.

Ia sempat berhenti sepersekian detik, matanya menatapku tajam, seolah menanyakan apakah aku ingin berhenti. Tapi aku justru menggenggam bahunya lebih erat, kakiku yang masih terangkat semakin menempel di pinggangnya. Bibirku mendekat ke telinganya lalu berbisik cepat, suaraku nyaris tak terdengar.
"Jangan berhenti."

Tatapannya berubah liar. Dalam sekejap pinggulnya kembali menghantam masuk, lebih dalam, lebih cepat, membuatku hampir menjerit. Aku buru-buru menutup mulut dengan lengannya agar suara tidak terdengar keluar.

Langkah kaki terdengar makin dekat, seperti seseorang sedang berjalan menyusuri rak di lorong sebelah. Nafasku tersengal, keringat mengalir di pelipis, sementara rak buku di belakangku berguncang hebat setiap kali tubuhnya menghujam.

Sensasi takut ketahuan bercampur dengan nikmat yang meledak-ledak, membuatku gemetar. Tubuhku menempel penuh di rak, hampir tak bisa bergerak, dan justru di sanalah aku merasakan dirinya masuk semakin dalam, menghantam setiap inci dengan brutal tapi tertahan.

Di luar sana, orang itu berhenti sebentar, lalu terdengar suara batuk kecil. Jaraknya tinggal beberapa langkah saja. Kami berdua menahan napas, tubuhku masih ditopang olehnya, batangnya tetap tertanam dalam tanpa benar-benar berhenti.

Ketika langkah kaki kembali menjauh, kami saling menatap dengan mata membara. Senyum tipis muncul di bibirnya sebelum ia kembali menghantam lebih keras, membuat rak bergetar lagi dan aku hampir kehilangan kendali sepenuhnya.

Tangannya tiba-tiba meraih kedua pahaku dan mengangkatnya tinggi-tinggi sampai posisinya pas di pinggangnya. Tubuhku otomatis terangkat dari lantai dan hanya bersandar pada rak buku yang berguncang keras menahan beban kami berdua. Rokku sudah tergulung ke atas pinggang, membuat paha dan pinggulku terbuka penuh untuknya.

Dengan sekali hentakan keras, batangnya kembali menembus masuk. Aku mendesah panjang sambil melingkarkan kedua kakiku erat di pinggangnya. Tubuhku berguncang hebat setiap kali ia menghujam lebih dalam. Rak buku di belakangku terus berderit, bunyinya seolah siap roboh kapan saja.

Dorongan-dorongan itu semakin cepat. Nafasnya memburu di telingaku, sementara keringatnya menetes ke leherku. Aku mencengkeram bahunya sekuat tenaga, tubuhku bergetar hebat ketika gelombang klimaks menyambar begitu keras hingga aku tak bisa menahan jeritan kecil yang lolos dari bibirku.

Tubuhku melengkung, otot-otot di dalam kemaluan mencengkeram erat batangnya. Dia menggeram kasar lalu menghantam semakin dalam. Dorongan terakhir begitu keras hingga membuat rak buku bergetar kencang. Tubuhnya kaku, dan seketika aku bisa merasakan semburan panasnya meledak di dalam, menyusul klimaksku yang masih berdenyut-denyut.

Kami terhuyung sedikit, masih saling berpegangan erat. Nafas kami sama-sama terengah, tubuhku masih terangkat di pelukannya dengan punggung menempel pada rak yang nyaris roboh. Di antara sisa gemetar dan keringat yang membasahi, hanya ada satu hal yang jelas: kami sama-sama sudah melewati batas yang tidak akan bisa kembali.

Rak buku masih bergetar ketika akhirnya dia melepaskanku perlahan. Kakiku hampir goyah menyentuh lantai lagi, tubuhku masih gemetar dengan sisa-sisa klimaks yang baru saja menghabiskan tenagaku. Nafasku berat, wajahku memerah, rokoku masih tergulung di pinggang tanpa sempat kubenahi.

Tiba-tiba terdengar suara langkah mendekat. Lantai kayu perpustakaan berderit—pelan, tapi jelas. Kami berdua langsung tersentak. Ia buru-buru menarik celananya, sementara aku meraih rokku, mencoba menurunkannya dengan tangan yang masih bergetar. Degup jantungku terasa lebih keras daripada tadi saat dia menembusku.

Siluet seseorang terlihat di ujung lorong rak buku. Aku menahan napas, tubuhku menempel erat ke rak, berharap bayangan itu tidak semakin dekat. Dia mencondongkan tubuh ke arahku, berbisik dengan napas masih tersengal, “Tenang, jangan bergerak.”

Langkah itu berhenti sebentar, seolah orang di sana sedang menoleh, mencari-cari sumber suara. Suasana hening, hanya terdengar detak jam dinding yang menggema dan desiran napas kami yang berusaha kutahan.

Beberapa detik terasa seperti seabad, sampai akhirnya langkah itu berbalik, menjauh perlahan. Suara pintu terbuka lalu menutup kembali. Baru setelah itu aku berani bernapas lega.

Dia menatapku, wajahnya masih merah, lalu tersenyum samar. Aku pun menunduk, menahan degupan jantung yang belum juga tenang. Tanpa berkata apa-apa, kami saling merapikan pakaian, berusaha menghapus jejak kegilaan yang baru saja terjadi di antara rak buku.

Namun dari sorot matanya, aku tahu kami berdua sama-sama sadar: meski hampir ketahuan, justru itu yang membuat semuanya terasa semakin tak terlupakan.

Kami berjalan keluar dari balik rak dengan langkah yang sengaja diperlambat. Seolah-olah kami hanya dua mahasiswa yang sibuk mencari buku. Aku sengaja meraih satu buku acak dari rak paling dekat, lalu menempelkannya di dadaku. Tanganku masih gemetar, jadi buku itu kupakai sebagai tameng agar wajahku tidak terlalu terlihat merah.

Dia berjalan setengah langkah di depanku. Posturnya tetap tegak, tapi aku bisa melihat dari bahunya yang naik turun bahwa napasnya belum juga normal. Sesekali dia menoleh, memberi kode lewat tatapan singkat, seakan bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil.

Ruang baca terasa lebih terang dari biasanya karena cahaya sore menembus jendela tinggi dan membentuk pantulan emas di lantai ubin. Suara jarum jam terdengar jelas seakan menegaskan bahwa setiap detik setelah kejadian itu terasa asing namun tetap nyata.

Kami melewati meja panjang yang tadi kosong tetapi kini sudah terisi dua pengunjung yang sibuk dengan laptop dan catatan. Aku refleks menunduk sambil merapatkan buku ke dada dan berusaha menyembunyikan sisa debar yang masih bergema di wajahku.

Ketika sampai di pintu keluar ia berhenti sebentar. Tangannya hampir terangkat seakan ingin menyentuhku lagi tetapi ia menahannya. Ia hanya meninggalkan satu tatapan cepat padaku, tatapan yang lebih dalam dari seribu kata.

Aku membalasnya dengan senyum tipis lalu berjalan melewati pintu kayu berat itu. Udara sore langsung menyambutku dan terasa lebih sejuk dari biasanya, namun tubuhku masih panas seolah api di dalamnya belum padam.

Di luar orang-orang berlalu-lalang dengan kehidupan normal mereka. Tidak ada yang tahu rahasia gila yang baru saja terjadi di balik rak buku perpustakaan. Hanya aku dan dia, dan aku tahu sejak hari itu kami tidak akan pernah bisa kembali menjadi sekadar murid dan guru yang biasa.

Gairah Diruang Kelas.

Sampai suatu sore setelah jam pelajaran selesai ia memintaku tetap tinggal. Kelas benar-benar kosong hanya ada cahaya oranye senja dari jendela yang masuk dan memantulkan bayangan panjang di lantai yang sepi. Ia berdiri di depan papan tulis dengan suara rendah dan berat saat akhirnya bertanya kenapa aku terus mendekat dan kenapa aku seolah mencari kesempatan.

Aku berdiri di samping meja sambil menatap lurus ke arahnya. Dadaku berdebar tapi aku tidak menunduk. Bibirku hanya bergerak pelan saat menjawab jujur tanpa berputar kata bahwa aku ingin bersamanya karena aku merasa hidup setiap kali dekat dengannya.

Tatapannya langsung menusuk dan membuat udara di antara kami terasa panas. Untuk beberapa detik aku mengira ia akan menolak atau mengakhiri segalanya. Namun langkahnya justru maju hingga jarak kami hanya sejengkal. Suasana menjadi tegang dan berbahaya tetapi anehnya justru membakar. Seolah kejadian di perpustakaan tempo hari hanyalah permulaan dan kini api yang sebenarnya baru saja dinyalakan.

Kini jarak kami hanya sejengkal. Aku bisa melihat napasnya yang mulai memburu, bisa merasakan panas tubuhnya hanya dengan berdiri dekat. Tanganku terulur menyentuh lengan bajunya. Sentuhannya ringan sekali, tapi cukup membuat tubuhnya gemetar halus.

Ia tidak bertahan lagi. Tangannya meraih pinggangku lalu menarikku lebih dekat. Kali ini bibirnya langsung menempel di bibirku, kuat dan rakus, seolah semua batas yang tersisa baru saja runtuh.

Tidak ada lagi ragu. Tidak ada lagi sekadar uji keberanian. Ciuman itu dalam, penuh hasrat yang terlalu lama dipendam.

Tubuhku bergetar, bukan karena takut ketahuan, tapi karena intensitas yang meledak di antara kami. Suara kipas di langit-langit, derit kursi kayu, bahkan papan tulis penuh coretan—semua hilang dari pikiranku. Dunia menyusut, hanya ada aku dan dia.

Di ruang kelas kosong itu, kami berhenti melawan. Kami berhenti berpura-pura sebagai guru dan murid. Kami hanya dua manusia yang sama-sama terikat oleh sesuatu yang tidak bisa lagi ditolak. Dan aku, Lena Sulistio, tahu sore itu kami benar-benar sudah melampaui batas.

Ciuman itu semakin dalam, membuatku terhuyung sedikit ke belakang. Tangannya yang menahan pinggangku lalu mendorongku pelan hingga punggungku menempel pada tepian meja guru. Aku masih dalam posisi berdiri, tapi tubuhku miring ke belakang karena desakannya.

Dorongan itu membuat pinggulku menyentuh tepi meja lalu perlahan naik. Kaki kiriku otomatis terangkat lebih dulu, mencari sandaran, hingga akhirnya aku setengah duduk di permukaan kayu yang dingin. Ia berdiri rapat di depanku, tubuhnya menempel erat dan menahan agar aku tidak bergeser.

Suara buku, spidol, dan kertas yang jatuh ke lantai terdengar berserakan, menjadi latar di tengah keheningan ruangan. Nafas kami bercampur, panas dan tidak beraturan. Tangannya mencengkeram pinggangku semakin kuat, sementara bibirnya melumat bibirku seakan takut kehilangan waktu kalau berhenti.

Tubuhku yang masih mengenakan seragam akhirnya terdorong penuh ke atas meja. Rokku sedikit tersingkap karena gesekan, membuatku semakin sulit menahan gugup. Dadanya terus menekan dadaku, membuat setiap tarikan napas terasa semakin berat.

Meja berderit pelan ketika aku terdorong ke belakang, namun tangannya sigap menopang agar aku tidak jatuh. Hembusan napasnya menyapu wajahku, begitu dekat hingga aku merasakan panas yang membuat jantungku berdetak terlalu cepat.

Tangannya perlahan bergerak ke bagian depan seragamku. Jemarinya bergetar tipis saat mulai menyentuh kancing satu per satu, berusaha membukanya dengan hati-hati. Setiap kancing yang terlepas membuat dadaku semakin sesak oleh debaran jantung yang tak terkendali.

Aku mencengkeram bahunya semakin kuat, mencoba mencari keseimbangan di tengah kedekatan yang membuatku tidak bisa berpaling. Ruangan terasa hening, seakan dunia di luar benar-benar menghilang, menyisakan meja tua yang berderit dan jarak tubuh kami yang makin rapat.

Rokku yang sudah tergulung tinggi membuat pahaku terekspos. Ia mengangkat sebelah kakiku, menaruhnya di pinggangnya agar tubuhku sedikit terangkat. Posisi itu membuatku tak punya ruang untuk bergerak selain semakin menempel padanya. Nafasnya panas, membakar kulit wajahku saat ia menunduk, dan tatapannya begitu dalam hingga aku merasa nyaris lebur.

Dengan gerakan penuh tenaga, ia mulai menghujam kejantanannya dari depan. Tubuhku tersentak ke belakang, menekan meja lebih keras. Sekali, dua kali, hingga iramanya semakin teratur. Suara meja yang berderit bercampur dengan desahanku yang tidak bisa kutahan. Getaran dari setiap hentakan membuat tumpukan buku yang tersisa di meja berjatuhan satu per satu ke lantai, menimbulkan bunyi yang terdengar jelas di ruang kelas yang kosong.

Tangannya mencengkeram pinggangku lebih erat, seolah ingin memastikan aku tidak bisa lepas darinya. Sementara kakiku yang terangkat menekan pinggangnya semakin kuat, membuat jarak kami benar-benar hilang. Setiap dorongan terasa semakin dalam, membuatku menggigil di antara rasa takut ketahuan dan gairah yang mengalir deras.

Ruang kelas yang sepi berubah jadi saksi. Hanya ada napas berat, dentum jantung, dan suara meja yang terus berderit, mengiringi setiap hentakan yang ia lepaskan sambil tetap berdiri di hadapanku.

Tiba-tiba terdengar denting kunci pintu dari luar. Kami berdua langsung kaku. Nafasku terputus, panik bercampur dengan adrenalin yang memanas. Tubuhku bergetar, tapi entah kenapa rasa takut itu malah menambah dorongan aneh di dalam diriku.

Aku menatapnya dengan wajah masih dekat sekali. “Pak… kalau kita ketahuan, habis kita,” bisikku cepat, setengah gemetar.

Matanya menatap balik, dalam, tanpa keraguan. “Kalau tidak… kita bakal terus ulangin ini. Lagi, dan lagi..

Aku menggigit bibir lalu menariknya lagi ke bibirku. Aku tidak peduli pintu dan tidak peduli dunia karena yang ada hanya kami berdua. Tangannya semakin tak sabar dan jemarinya merayap di punggungku lalu menekan kuat seakan ingin memastikan aku benar-benar ada di sini dan bukan sekadar mimpi. Nafasku makin pendek dan dadaku naik turun keras hingga aku yakin suaranya terdengar jelas di ruang kelas yang sunyi itu.

Pak Adrian menunduk dan bibirnya menyusuri leherku. Tubuhku goyah hingga aku hampir tidak sanggup berdiri dan kedua tanganku mencengkeram bajunya erat-erat.

Lalu terdengar bunyi klik dan gagang pintu berputar.

Kami langsung membeku. Tubuhku masih menempel di dadanya dan wajahnya begitu dekat di telingaku. Suara detak jantungku berdentum terlalu keras hingga aku merasa bisa menembus dinding ruangan.

"Pak…" bisikku hampir tanpa suara.

Gagang pintu digoyang lagi dan seseorang jelas mencoba masuk tapi pintu terkunci. Untung saja tadi ia sempat menutupnya rapat. Dari luar terdengar suara mahasiswa yang samar.
"Eh kosong ya? Udah dikunci rupanya

Langkah-langkah perlahan menjauh dan suara mereka makin lama makin hilang hingga akhirnya benar-benar lenyap.

Kami tetap diam sambil menahan napas. Sunyi kembali turun dan hanya tersisa getaran tubuhku yang masih gemetar di pelukannya. Ia melepaskan napas panjang lalu menatapku. Ada api di matanya yang bukan lagi ragu dan bukan lagi rasa bersalah. Api itu murni hasrat yang tidak bisa padam.

"Lena… Suaranya berat dan hampir pecah. "Kita hampir saja..

Aku segera menutup mulutnya dengan jariku lalu tersenyum tipis. "Justru itu yang bikin aku tambah tegang.

Seolah kalimat itu menjadi izin maka ia kembali menarikku. Sentuhannya lebih panas dan gerakannya lebih dalam serta jauh lebih tak terkendali daripada sebelumnya. Di ruang kelas yang kosong kami terbakar dalam permainan paling berbahaya yang pernah kualami dan jujur saja aku tidak ingin berhenti.

Begitu langkah orang di luar benar-benar menghilang maka tubuh kami meledak tanpa kendali. Semua ketakutan yang tadi menahan kami berubah menjadi bahan bakar yang membuat setiap sentuhan semakin dalam. Tangannya meraih pinggangku dengan kuat lalu mendorongku lebih jauh ke atas meja hingga aku terdorong penuh dan tidak punya ruang untuk bergerak mundur.

Permukaan meja guru yang kasar menempel di belakang pahaku sementara panas tubuhnya menekanku dari depan. Dorongan keras itu membuatku terangkat sedikit dan tubuhku otomatis menyesuaikan. Aku bisa merasakan bagaimana ia menghujam penisnya sangat keras dan menekan badan kekarnya semakin rapat seolah ingin menembus batas apa pun yang tersisa di antara kami.

Aku menahan napas ketika tekanannya semakin dalam lalu melepaskannya dengan desahan panjang. Seluruh tubuhku bergetar karena setiap gerakannya terasa menghantam dengan keras. Meja guru berderit pelan dan beberapa buku yang tersisa terjatuh ke lantai namun aku tidak lagi peduli. Tanganku melingkar di lehernya dan menarik wajahnya mendekat. Bibir kami kembali bertemu dengan rakus dan kali ini tidak ada jeda, tidak ada penahanan, hanya dorongan yang semakin kencang dan semakin menuntut.

Kepalaku mendongak tanpa sadar ketika bibirnya kembali menyusuri leherku. Aku terengah, tubuhku melengkung mengikuti arah tekanannya, dan setiap sentuhannya membuatku semakin sulit membedakan antara sakit dan nikmat.

Ruang kelas yang sunyi seakan lenyap. Yang ada hanya tubuhnya yang terus menghujamku dengan penuh tenaga dan tubuhku yang tidak mampu lagi menolak.

"Kalau kita ketahuan…" bisikku.
Ia tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah kulihat di kelas, hanya untukku.
"Maka aku akan bilang… kamu yang memaksa aku. Ucapnya pelan.

Aku tertawa pendek lalu menariknya lagi dan kali ini lebih rakus serta lebih panas. Kursi-kursi di barisan depan bergeser terkena kaki kami dan bunyinya terdengar keras sekali di ruangan sepi. Tetapi aku tidak peduli karena justru setiap bunyi itu membuat darahku makin mendidih.

Tangannya kini sudah menelusuri lebih berani dan setiap sentuhannya membuat tubuhku bergetar tanpa kendali. Aku mencengkeram pundaknya erat hingga hampir menyakitinya hanya untuk menahan diriku tidak berteriak.

Ruang kelas yang biasanya kaku dan dingin sekarang berubah menjadi ruang rahasia kami. Tidak ada guru dan tidak ada murid. Yang ada hanya dua orang yang terbakar dan mendesak serta mengejar sesuatu yang tidak bisa lagi dihentikan.

Tubuhku mulai kehilangan kekuatan dan napasku terputus-putus.
"Pak… kalau ini terus… saya… suaraku pecah. Ia segera menempelkan bibirnya ke mulutku dan menenggelamkan semua kata yang belum sempat keluar.

Sore itu di ruang kelas kosong kami benar-benar melewati batas. Meja kayu dingin di punggungku sementara tubuhku terlalu panas untuk peduli. Nafas kami bertubrukan kacau dan tangannya menahan pinggangku kuat hingga aku hanya bisa mengikuti arusnya.

Aku menutup mata dan menahan desah. Setiap gerakan seperti guncangan kecil yang menyalakan api di seluruh tubuhku. Kursi berderit dan kertas jatuh ke lantai namun aku tidak peduli karena justru suara itu membuat semuanya terasa semakin nyata.

"Pak… bisikku namun suaraku hilang ditelan ciumannya yang dalam dan rakus.

Ia tidak menjawab dengan kata-kata. Yang ada hanya dorongan tubuhnya yang membuatku menggeliat, pasrah sekaligus haus. Nafasnya berat di wajahku dan panas tubuhnya menempel erat hingga aku tidak bisa lagi membedakan mana milikku dan mana miliknya.

Kedua kakiku terangkat tanpa sadar lalu melingkari pinggangnya. Gerakan itu seperti memenjarakan dan sekaligus mengundang agar ia tidak berhenti. Meja di bawahku bergetar hebat, dentumannya berpadu dengan degup jantungku yang makin menggila. Setiap getarannya seperti tanda bahwa kami sudah terlalu jauh untuk kembali.

Ketakutan bahwa pintu bisa terbuka kapan saja terus menghantui pikiranku. Namun di sisi lain ada kenikmatan yang terlalu kuat untuk kusudahi. Rasanya tubuhku terbakar habis dan aku tidak lagi merasa memilikinya. Aku hanyalah gelombang yang ia kuasai dan ia bentuk sesukanya.

Aku menggigit bibirku sendiri untuk menahan suara. Gigitan itu meninggalkan perih tipis tapi justru menahan desah yang hampir pecah. Ia sempat menatapku sebentar, matanya terkunci dengan mataku, dan di sana aku membaca sesuatu yang berbeda. Bukan sekadar hasrat, melainkan rasa memiliki yang menuntut lebih.

Ruang kelas yang gelap semakin terasa sempit. Bayangan kursi-kursi yang bergeser dan kertas yang berserakan di lantai seolah menjadi saksi bisu. Meja di bawah tubuhku terus berderit dan bergetar, seakan ikut merasakan badai yang sedang menguasai kami. Setiap hentakan membuatku kehilangan kendali dan aku harus menggigit bibirku lebih keras agar suara itu tidak lolos keluar.

Kenikmatan Diatas Pangkuan Guruku

Ruang kelas yang gelap semakin terasa sempit dan sunyi. Kursi-kursi bergeser tidak beraturan dan kertas-kertas yang bertebaran di lantai menjadi saksi bisu. Setelah beberapa saat tubuhnya menarikku, ia duduk di salah satu kursi murid yang setengah terdesak ke belakang. Aku otomatis mengikuti gerakannya dan jatuh di pangkuannya, saling berhadapan begitu rapat hingga dada kami saling menekan.

Tangannya masih mencengkeram pinggangku, menahanku erat agar tidak menjauh. Aku merasakan kursi itu berderit saat aku mulai bergerak. Awalnya pelan, hanya sedikit lonjakan tubuhku naik turun di pangkuannya, seakan mencari ritme. Nafasku pendek dan bergetar, sementara matanya menatapku tak lepas, membuatku semakin larut.

Gerakan itu perlahan berubah. Dari pelan menjadi lebih cepat, dari hati-hati menjadi lebih berani. Tubuhku melonjak berulang kali di atas pangkuannya dan setiap hentakan membuat kursi semakin berderit keras. Suara itu berpadu dengan desah napas kami, memecah keheningan kelas yang biasanya kaku.

Aku memeluk lehernya erat-erat, menempelkan wajahku di pundaknya, mencoba menahan suara yang hampir pecah. Tetapi semakin kutahan, semakin tubuhku bergetar dan semakin cepat pula ritme yang kami ciptakan bersama.

Di ruang kelas gelap yang hanya menyisakan bayangan berantakan, kami terperangkap dalam ritme itu, seolah dunia di luar sudah tidak ada lagi.

Tangannya menekan pinggangku lebih erat dan membuatku tidak punya jalan untuk kabur. Tekanan itu seperti tanda bahwa tubuhku hanya untuknya dan tidak boleh lepas dari pelukannya. Aku bisa merasakan bagaimana kekuatannya menuntutku semakin pasrah. Tubuhku makin tak berdaya namun justru dari ketidakberdayaan itu muncul rasa nikmat yang membuatku tidak ingin berhenti.

Aku duduk di pangkuannya menghadap langsung ke matanya dan tubuh kami rapat tanpa jarak. Gerakanku semakin sulit dikendalikan karena setiap lonjakan membuat kursi berderit keras. Aku memeluk lehernya erat sambil menahan suara yang hampir pecah tetapi justru ritme tubuhku makin cepat.

Aku pasrah dan aku terbakar. Seluruh tubuhku luluh dan setiap detik yang berlalu menarikku lebih dalam ke pusaran yang tidak punya jalan pulang. Di dalam pelukannya aku rela hancur, rela kehilangan kendali, dan rela jika tubuhku diguncang tanpa henti asalkan tidak kehilangan momen ini.

Sesekali aku menoleh ke arah pintu dan rasa takut masih menusuk karena bayangan seseorang bisa saja masuk tiba-tiba. Tetapi ketakutan itu justru bercampur dengan gairah dan membuat setiap detik yang kami jalani menjadi lebih liar, lebih dalam, dan lebih intens.

Ritmeku semakin liar. Lonjakan tubuhku makin cepat hingga kursi itu berderit keras, seakan tidak sanggup menahan hentakan kami. Rambutku terlepas ke depan dan ke belakang, mengibas liar setiap kali kepalaku mendengak. Suara nafasku pecah jadi desah panjang, tak terkendali lagi.

Tangannya menahan pinggangku kuat, seolah mengikatku di pangkuannya agar tidak bisa kabur. Setiap kali tubuhku melonjak turun, tubuhnya ikut menghantam dari bawah, keras, membuatku terhuyung dan hanya bisa mencengkeram bahunya lebih erat. Aku hampir kehilangan kesadaran, seluruh tubuhku seperti disambar badai yang tidak ada hentinya.

Ia menunduk ke leherku, ciumannya kasar, panas, meninggalkan jejak yang membuatku bergetar. Nafasnya berat di telingaku, bergabung dengan desahanku yang pecah berulang kali. Kursi bergetar di lantai, suara gesekannya berpadu dengan detak jantungku yang terasa seperti mau meledak.

Aku terus melonjak semakin brutal, semakin cepat. Setiap hentakan membuat tubuhku seolah hancur berkeping, tapi justru dari situ kenikmatan itu tumbuh makin dalam. Tidak ada lagi logika, tidak ada lagi takut, yang ada hanya tubuhku yang terbakar habis di pelukannya.

"Pak… saya… suaraku keluar tapi tak pernah selesai karena ia langsung merenggut bibirku lagi.

Lonjakan tubuhku makin kacau, makin tak terkendali. Suara kursi yang berderit sudah tidak terdengar lagi karena kepalaku mendengak ke belakang, mataku terpejam rapat, dan desah panjang pecah dari bibirku. Seluruh tubuhku menegang lalu bergetar hebat, seolah tersambar arus yang mengguncang dari dalam. Aku meremas pundaknya keras sekali hingga kukuku hampir melukai kulitnya.

Tangannya menahan pinggangku lebih dalam dan ia tidak berhenti, justru semakin menghantam dari bawah dengan kekuatan penuh. Tubuhku terguncang, aku menjerit tertahan sambil menggigit bibirku sendiri, namun ledakan itu sudah tidak bisa ditahan. Aku mencapai puncak dan seluruh tubuhku luluh, jatuh pasrah di pelukannya sambil terengah-engah.

Ia menatapku sebentar dengan mata yang membara, lalu hentakan tubuhnya makin liar, makin cepat, hingga kursi itu hampir terbalik. Nafasnya terputus-putus, panas sekali di leherku, dan tak lama kemudian tubuhnya ikut menegang keras. Suara beratnya pecah di telingaku saat ia meledak bersamaan dengan guncangan terakhir.

Kami sama-sama terkulai, saling berpegangan erat agar tidak jatuh, tubuhku masih gemetar di pangkuannya. Ruang kelas gelap itu kembali sunyi, hanya tersisa suara nafasku dan nafasnya yang memburu seakan baru saja melewati badai yang nyaris menghancurkan segalanya.

Tubuhku masih gemetar di pangkuannya. Nafasku tersengal dan dadaku naik turun keras sementara keringat menetes di pelipis. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya karena seluruh tenagaku seakan sudah habis.

Tangannya tetap melingkari pinggangku seolah takut aku pergi. Kursi yang kami duduki bergeser dari tempatnya dan kertas yang berserakan di lantai jadi saksi bisu atas badai yang baru saja kami lewati.

Ruang kelas kembali sunyi hanya ada suara napas kami yang berat. Aku mencoba menarik napas dalam tapi tubuhku masih terasa ringan seperti melayang. Perlahan aku mendongak menatap wajahnya yang juga basah oleh keringat. Tatapannya tidak lagi keras melainkan lembut dan dalam seperti ada sesuatu yang tidak bisa ia ucapkan.

"Paaak… Suaraku hampir tidak terdengar.

Ia hanya menempelkan dahinya ke dahiku dan tersenyum tipis. Tidak ada kata-kata hanya pelukan yang semakin erat seakan ruang kelas itu kini menjadi rahasia kami berdua. Aku menutup mata dan membiarkan diriku larut. Untuk pertama kalinya aku merasa aman sekaligus takut karena aku tahu setelah ini tidak ada jalan kembali seperti semula.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jebakan Minimarket

Pengantin Brutal

Amoy Diatas Dongkrak

Jebakan Minimarket 2

Pemulung Sadis

Tragedi Pasar Pecinan

Pengakuan Cici Pik

Chindo Seksi Jadi Rebutan 6

Chindo Seksi Jadi Rebutan

Amoy Diatas Dongkrak 2