Matahari pagi masuk menembus tirai tipis kamar dan membuat cahaya hangat jatuh di atas tubuh Meilin yang masih terlelap di sampingku. Rambut hitamnya terurai berantakan menutupi sebagian wajahnya sementara kulit putihnya terlihat jelas kontras dengan sprei yang kusut setelah malam panjang semalam.
Aku membuka mata pelan lalu menoleh ke arahnya. Senyum kecil langsung muncul ketika melihat dia tidur begitu damai. Tanganku bergerak pelan menyusuri lengannya dan membuatnya menggeliat manja seperti tidak ingin jauh dariku.
"Pagi Zal… Bisiknya lirih sambil membuka mata setengah dan menatapku dengan pandangan sayu.
Aku menunduk sebentar untuk mencium keningnya. Nafasku masih terasa berat ketika mataku menatap langsung ke matanya. "Hari ini kita seharian di rumah Lin. Aku nggak mau kamu cuma jadi sekedar istri. Aku mau kamu jadi amoy pemuas napsu pribumi seperti yang ada dalam fantasiku selama ini. Bisikku dekat telinganya.
Meilin menggigit bibir pelan dan wajahnya langsung memerah. Tangannya meraih dadaku seakan mencari pegangan lalu ia berbisik dengan suara lirih. "Kalau itu yang kamu mau Zal… aku pasrah. Aku siap jadi apa pun buat kamu.
Kata-katanya membuat darahku langsung berdesir sehingga aku menekan tubuhku ke arahnya dan memeluk erat. Tatapanku menancap kuat hingga membuatnya menunduk malu. Wajah oriental Meilin terlihat semakin menggairahkan dengan mata sipitnya yang setengah terpejam dan pipinya yang merona merah, sementara bibir tipisnya bergetar seolah ingin bicara namun tertahan.
Aku mendekatkan wajahku ke arahnya dan semakin jelas kulihat keindahan parasnya yang berbeda. Ada sisi manja sekaligus pasrah yang membuatku semakin kehilangan kendali.
"Bagus… sekarang kamu sudah tahu siapa dirimu. Kamu bukan istri manja karena kamu milikku seutuhnya dan tugasmu cuma satu yaitu bikin aku puas hari ini. Bisikku di telinganya.
Meilin menggigit bibirnya lalu tubuh putihnya yang polos tanpa busana perlahan naik duduk di atas pinggangku dan jemarinya menyusuri dadaku. Matanya menatapku dengan patuh namun tetap penuh keberanian. "Kalau begitu tuanku… ucapnya manja. "Apa perintah pertama hari ini ?
Tanganku mencengkeram pinggulnya erat lalu menarik tubuhnya lebih dekat hingga wajahnya hanya sejengkal dariku. Aku tersenyum tipis sambil menatap matanya. "Perintah pertama buktikan kalau kamu pantas jadi seorang budak pribumi.
Meilin masih duduk di atas pinggangku sementara cahaya pagi menyorot kulit putihnya dan rambutnya jatuh berantakan menutupi sebagian dada sehingga membuatnya terlihat semakin menggoda. Tangannya menelusuri dadaku perlahan seperti ingin memastikan setiap sentuhan terasa.
Aku menyeringai lalu menahan pinggulnya agar semakin menempel. "Hari ini aku mau lihat seberapa patuhnya amoy pada pribumi.
Meilin duduk di atas pinggangku dengan rambut tergerai berantakan. Kedua tangannya bertumpu di dadaku agar tubuhnya tetap seimbang, sementara pahanya menekan erat di sisi pinggangku. Ia menunduk sebentar lalu bibirnya menyentuh leherku dengan lembut.
“Kalau begitu biar aku mulai Zal” bisiknya pelan. Suaranya terdengar halus namun sikapnya penuh kepasrahan.
Ia menggigit bibir bawahnya dan jemari mungilnya meraih batangku yang sudah menegang sejak tadi. Dengan perlahan ia membimbingnya ke arah lipatan hangat di antara kedua pahanya. Gerakannya tampak ragu di awal, tetapi penuh penyerahan, seakan ia sadar bahwa tubuhnya kini sepenuhnya menjadi milikku.
Begitu ujung batang itu menyentuh pintu masuknya, Meilin menarik napas panjang. Matanya setengah terpejam ketika ia menatapku singkat. Lalu pinggulnya mulai turun pelan, menyesuaikan posisinya hingga batangku benar-benar masuk ke dalam. Tubuhnya bergetar halus, tangannya mencengkeram dadaku semakin erat, dan oouuugh.. suara desahan tipis lolos dari bibirnya saat ia menerima seluruhnya.
Aku berbaring telentang di ranjang dengan kedua tanganku mencengkeram buah dadanya dengan kuat lalu meremas hingga ia mendesah panjang. “Ya gitu Lin… kamu cuma mainan buatku pagi ini dan kamu pelayan yang ada hanya untuk nyalurin semua hasrat liarku. ucapku dengan sorot tajam.
Meilin mengangguk dengan wajah merah lalu mulai menggerakkan pinggulnya perlahan. Setiap goyangan terasa hati-hati seakan ia ingin menikmati setiap gesekan yang membuat tubuhnya bergetar. Ia menunduk sedikit sambil menggigit bibir bawahnya dan tangannya mencengkeram dadaku untuk menahan seimbang. Suara desah tipis lolos dari mulutnya setiap kali ia meluncur turun lalu naik lagi dengan tempo yang masih pelan. Aku menekan balik dengan dorongan ringan dari bawah sehingga gerakan kami saling menyatu dan ranjang bergetar pelan. Nafasku semakin berat karena melihatnya benar-benar menikmati tiap sentuhan yang menelan habis tenagaku sedikit demi sedikit.
“Lebih cepat Lin… aku mau lihat kamu benar-benar nurut. desisku sambil menatap matanya yang mulai berkaca-kaca namun tetap menampilkan kepasrahan penuh.
Dengan patuh ia menuruti permintaanku dan gerakannya makin liar. Rambutnya terayun setiap kali tubuhnya bergerak dan butiran keringat mulai muncul di keningnya. Ia duduk di atas pinggangku dengan dada yang naik turun cepat sementara matanya sesekali terpejam menahan derasnya rasa. Tubuhnya tampak seperti dipersembahkan sepenuhnya padaku dan aku hanya bisa menikmatinya dengan sorot mata yang semakin liar.
Tanganku berpindah ke pinggangnya lalu menarik paksa agar gerakannya makin dalam. Suara napas kami saling bertabrakan di udara kamar yang panas dan ranjang berderit mengikuti setiap hentakan. Aku menatap wajahnya yang memerah dengan rambut yang menempel di pipi dan lehernya.
“Aaahh Rizal…” suaranya pecah dan tubuhnya bergetar keras. Ia menggigit bibirnya agar tidak terlalu keras berteriak namun justru membuat wajahnya semakin menggoda.
Aku tidak memberi kesempatan padanya untuk berhenti. Tubuhku langsung menghentak cepat dari bawah. Sleebb.. Slebb.. setiap dorongan menimbulkan suara lendir basah yang bercampur dengan derit kasar ranjang spring bednya. Kreott… Kreott… bunyinya terdengar berulang-ulang hingga membuat tubuh Meilin ikut terangkat turun tanpa kendali. Dalam satu gerakan kasar aku membalikkan tubuhnya hingga ia tergeletak telentang di ranjang. Kedua tanganku menindih bahunya erat agar ia tidak bisa bergerak, membuat wajahnya terperangkap di bawah tatapanku. Ranjang berderit semakin keras karena hentakan tubuhku dari atas. Aku menatapnya dengan sorot liar, suaraku parau ketika berkata. Kamu pikir bisa pilih posisi Lin? Kamu di sini cuma buat nurut.
Meilin menoleh sebentar lalu merangkul leherku erat. Wajahnya masih merah dan matanya berkaca-kaca karena kelelahan sekaligus kenikmatan. Suaranya parau namun penuh kepasrahan. “Aku nurut Zal… aku milikmu seutuhnya. Aku cuma perempuanmu jadi terusin dan jangan berhenti. Aku mau kamu habisin aku sampai aku nggak bisa gerak lagi.”
Nafasnya memburu cepat sementara tubuhnya yang licin oleh keringat melekat erat di bawahku. Tangannya bergetar saat mengusap punggungku namun genggamannya semakin kuat seakan ingin memastikan aku tidak pergi darinya. Cahaya matahari yang masuk lewat tirai tipis membuat kulitnya berkilau dan setiap detail gerakannya terlihat jelas di mataku.
Aku menghentakkan tubuhku lebih dalam dan gerakanku semakin keras. Ranjang berderit kencang sementara suara desah dan napas kami memenuhi kamar kecil itu.
Tubuh Meilin sudah basah kuyup oleh keringat dan napasnya memburu cepat namun tatapannya tetap pasrah. Ia seakan sengaja menawarkan dirinya sepenuhnya padaku. Aku mencengkeram kedua pergelangan tangannya lalu menekannya ke atas kepala hingga ia tidak bisa bergerak sama sekali sementara tubuhku menindih penuh dari atas.
“Kamu sadar kan Lin” suaraku parau di telinganya dan napasku menyapu kulitnya yang panas. “Seharian ini kamu bukan istriku karena kamu cuma budak napsu pribumi. Kamu ngerti !!
Meilin mengangguk cepat dengan wajah merah dan bibir yang bergetar menahan suara. “Iyaaa.. tuaaan… aku ngerti… akuu.. bukan siapa-siapa dan akuuu.. cuma budakmu. Pakai aakku.. sesukamuu.. ucapnya lirih.
Kata-katanya membuatku semakin kehilangan kendali. Aku menekan pinggulnya dengan lebih keras dan setiap dorongan membuat ranjang berderit kasar. Tubuh Meilin melengkung mengikuti tekananku dan matanya terpejam kuat. Ia menjerit tertahan namun tetap menempel erat seakan ingin memastikan tidak ada jarak sedikit pun di antara kami.
Tangannya berusaha meraih wajahku namun cengkeramanku di pergelangan membuatnya hanya bisa menatap dengan mata berkaca-kaca. Rambutnya yang basah menempel di kening dan pipinya sementara suaranya pecah di telingaku. “Aku nurut perintah tuaann… aku milik tuaaan sepenuhnyaaa..
Aku menjambak rambut Meilin lalu menarik kepalanya ke samping hingga wajahnya miring ke kanan dan leher putihnya terbuka penuh di hadapanku. Aku menunduk lalu menggigit kulitnya sampai meninggalkan bekas kemerahan sebagai tanda kepemilikanku. “Bagus… gini caranya. Kamu memang pantas diperlakukan kayak gini !! ucapku sambil menahan kepalanya tetap miring.
Tubuhnya langsung bergetar ketika gigitan itu menempel di kulitnya dan suara desahannya keluar renyah tanpa bisa ditahan. Matanya terpejam rapat dan bibirnya terbuka sedikit karena napasnya terengah. “Aaahh tuaann… terus… aku suka… lebih kasar lagi… katanya dengan suara parau.
Kedua tangannya berusaha meraih punggungku namun aku masih menindihnya penuh sehingga ia hanya bisa menekan tubuhku erat. Rambut hitamnya terurai berantakan menutupi bantal dan lehernya yang memerah kontras dengan kulit putihnya membuatku semakin liar menatapnya.
Aku makin beringas dan dengan cepat aku membalikkan tubuh Meilin hingga ia tengkurap di ranjang. Pipinya menempel di bantal dan rambut hitamnya berantakan menutupi wajah yang sudah basah oleh keringat. Tanganku menekan punggungnya kuat agar ia tidak bergerak sementara tangan satunya mencengkeram pinggangnya hingga ia benar-benar terkunci di bawahku.
“Lihat budak… ini nasibmu kalau sudah jadi pelayan pribumi. Kamu nggak punya kuasa dan kamu cuma bisa terima. Desisku parau di telinganya.
Tubuhnya langsung terguncang hebat. Jemarinya mencengkeram sprei erat-erat seakan mencari pegangan. Bahunya bergetar dan napasnya tersengal. Keringat menetes dari dahinya ke bantal dan kulit putihnya memerah karena tekanan tubuhku. Suara erangan pecah dari bibirnya. “Aaah tuaann… aku nggak kuat… aku mau keluar lagi. Katanya terbata dengan mata terpejam kuat.
Aku menunduk lalu menciumi punggungnya dengan kasar. Gigi dan bibirku meninggalkan bekas merah di sepanjang tulang belikatnya hingga ia merintih panjang. “Jangan berani keluar dulu budakk !! Kamu harus tahan sampai aku yang tentuin kapan kamu boleh nikmatin ini !! ucapku garang sambil menekan tubuhku lebih rapat ke arahnya.
Meilin menunduk pasrah. Wajahnya tertutup bantal dan suaranya tertahan di dalamnya. Tangannya meraih bantal lalu memeluknya erat sementara kakinya menekan sprei seolah menahan gelombang yang semakin kuat. Tubuh mungilnya gemetar namun aku bisa merasakan dari setiap gerakannya bahwa ia justru makin haus dengan perlakuanku.
Aku menggenggam pinggangnya makin erat lalu mendorong tubuhku keras berulang-ulang hingga ranjang berderit keras dan berguncang tanpa henti. Nafasku terengah dan keringat bercucuran dari dahiku jatuh ke punggungnya yang licin. Suara desahannya memecah suasana kamar dan bercampur dengan suaraku yang berat.
Setiap hentakan membuatnya terperangkap semakin dalam. Ia menjerit tertahan lalu merintih panjang namun tubuhnya tetap menempel erat padaku. Ranjang bergetar hebat mengikuti gerakanku sementara pikiranku hanya dipenuhi satu hal yaitu menghabiskan tenagaku sepuasnya di atas tubuh putih yang bergetar di bawahku.
“Kamu pikir gadis cina kayak kamu pantas dimanja. Gumamku garang sambil menekan tubuhku makin rapat dari belakang. “Salah besar Lin… kamu itu cuma pantas jadi tempat pelampiasan napsu pribumi kayak aku.
Meilin merintih panjang. Tubuhnya terhentak ke depan setiap kali aku mendorong keras dari belakang. Tangannya mencengkeram sprei erat dan bahunya berguncang. Bibirnya terbuka bergetar di antara jeritan dan desahan yang pecah berulang kali.
“Lihat kamu sekarang” aku menjambak rambutnya hingga kepalanya terangkat ke belakang. Leher putihnya terekspos dan wajahnya menengadah dengan mata setengah terpejam. “Putih, halus, manja… tapi toh berakhir jadi mainan pribumi. Kamu tahu tempatmu sekarang kan”
“Aaahh iya tuaann… aku tahu… aku cuma milikmu… milik pribumi” suaranya pecah. Wajahnya memerah dan matanya berair antara malu dan kenikmatan yang tak bisa ia sembunyikan.
Kata-katanya membuat darahku makin mendidih. Aku menunduk lalu menggigit bahunya dengan kasar hingga kulitnya memerah. Tanganku menekan pinggangnya kuat agar ia tetap pada posisi sementara tubuhku terus menindih tanpa memberi ruang untuk melawan. “Bagus… memang gitu seharusnya. Gadis cina kayak kamu nggak usah sok mulia. Di ranjang kamu nggak lebih dari pelayan. Ngerti”
Meilin menutup matanya rapat sambil mengangguk kecil. Jemarinya yang mencengkeram sprei semakin keras seakan ingin merobek kain itu. Kakinya gemetar dan tubuhnya bergetar hebat menahan setiap dorongan yang kutekan ke arahnya.
Aku menarik rambutnya makin keras hingga wajahnya benar-benar menengadah ke atas. Nafasnya tersengal dan lehernya berkeringat. “Jawab Lin. Ngerti nggak tempatmu di sini” bisikku parau di telinganya.
“Iya Zal… aku ngerti… aku budakmu… aku cuma ada buat nurutin kamu” jawabnya dengan suara bergetar.
Aku menyeringai lalu menindih tubuhnya lebih erat. Dadaku menempel di punggungnya yang licin oleh keringat. Setiap gerakanku membuat ranjang berderit dan tubuhnya semakin tak berdaya di bawahku.
Tubuh Meilin melengkung hebat dengan wajah menunduk di atas bantal. Kedua tangannya meremas sprei erat-erat sementara rambut hitamnya berantakan menutupi sebagian pipi. Ia menelungkup setengah, tubuhnya ditopang oleh kedua sikunya karena punggungnya kutekan agar tetap merunduk.
Aku berada tepat di belakangnya dengan lutut menekan kuat di atas ranjang. Pinggulku menghujam deras dari arah belakang, setiap dorongan membuat tubuh mungilnya terguncang maju. Nafasku berat, keringatku menetes ke kulit putihnya yang licin oleh peluh.
“Iya… iya Zal… aku terima… aku cuma pelayanmu… aaahhh” suaranya pecah lirih namun penuh kepasrahan. Tubuhnya bergetar setiap kali aku menghantam tanpa memberi jeda.
Aku makin garang. Setiap gerakan penuh tenaga, seakan ingin menghancurkan sisa keangkuhan yang mungkin masih ada di dalam dirinya. “Begini yang kamu suka kan Lin. Dipaksa, dikasarin, dijadiin pemuas sampai kamu lupa siapa kamu sebenernya” bisikku kasar di telinganya.
Jeritannya menggema. Tubuhnya terguncang hebat lalu perlahan terkulai pasrah menempel di ranjang, tapi dari caranya bergetar aku tahu ia justru menikmatinya sampai ke titik terdalam.
Tanganku bergetar menahan diri namun semakin kudengar rintihannya semakin sabarku hancur. Aku menjambak rambutnya dengan keras lalu menarik kepalanya ke belakang hingga wajahnya mendongak. Tubuhnya yang menelungkup setengah itu kutarik rapat ke dadaku. Punggung putihnya menempel hangat di tubuhku sementara pinggulku tetap menghujam liar dari arah belakang.
“Anjing… gadis cina kayak kamu memang nggak pantas dibelai. Pantasnya diganyang sampai nggak bisa berdiri. Desisku kasar di telinganya. Suaraku parau sementara lenganku mengunci tubuhnya erat agar ia tak bisa bergerak ke mana pun.
Meilin merintih panjang. Tangannya gemetar meraih lenganku lalu memeluknya seakan menyerahkan sepenuhnya dirinya padaku. Tubuh mungilnya terguncang hebat dengan wajah yang merah dan mata yang terpejam kuat, pasrah menerima setiap hentakan liar yang kutanamkan dari belakang.
Meilin menjerit panjang. Tubuhnya terhentak ke depan lalu kutarik lagi ke belakang hingga ia terjebak di antara hentakan pinggulku dan genggamanku di dadanya.
Aku mendorong tubuhnya lebih keras sampai ia terjerembab telungkup di ranjang. Tanpa memberi waktu, aku langsung menarik pahanya kasar dan menekan tubuhku dari atas. Batangku menghujam sekuat tenaga dari belakang, ranjang berderit keras dan kepala ranjang terbentur dinding berulang.
“Lihat dirimu Lin. Cina.. putih.. sipiiit.. manja.. tapi di bawahku kamu cuma jadi lubang buat ditaklukin pribumi. Katakan siapa kamu!” ucapku dengan suara garang sambil menekan lebih dalam. Mataku panas memerah dan nafasku berat hampir meraung.
Meilin terengah dengan wajah menunduk di bantal. Suaranya pecah dan tubuhnya bergetar. “Aku… aku milikmu tuaan. Aku pelayan pribumi… aku cuma untukmu!”
Kata-kata Meilin barusan bikin aku makin lepas kendali. Aku membalik tubuhnya dengan kasar hingga telentang diatas ranjang lalu menarik kedua kakinya tinggi sampai menempel di pundakku. Tanpa menunggu aku langsung menghujam lagi tanpa ampun. Tubuhnya melengkung hebat, bibirnya menjerit panjang, tangannya menutup wajah seolah tak sanggup menahan, tapi dari getaran tubuhnya aku tahu kenikmatan justru meledak di dalam dirinya.
Aku menunduk dan mencengkeram lehernya ringan tapi tegas. Tatapanku menancap pada matanya yang berkaca-kaca. "Mulai sekarang nggak ada lagi amoy yang dimanja keluarganya. Nggak ada !! Yang ada cuma budak pribumi yang harus takluk tiap kali aku mau !! bisikku garang sambil menekan lebih keras lagi.
Tubuhku berdenyut makin kencang. Setiap detik aku semakin hilang kendali. Hentakanku makin brutal, makin dalam, seolah ingin menghancurkan ranjang bersamanya. Suara kayu berderit keras diiringi desah dan jeritan kami yang memenuhi kamar.
Tubuh Meilin mulai bergetar hebat di bawahku. Nafasnya terputus-putus, dadanya naik turun cepat. Kedua kakinya menekan kuat ke pinggangku, seolah mencoba mengunci diriku agar tidak bisa lepas. Tangannya meremas sprei sementara wajahnya mendongak dengan mata setengah melotot. Mulutnya terbuka lebar, jeritannya pecah tanpa bisa ia kendalikan.
“Aaaahhhhhh!!! Aku keluar tuaann !!! Aku keluar!!!” suaranya memecah udara, tubuhnya menegang lalu bergetar panjang sebelum jatuh pasrah di bawahku.
Pinggul Meilin menegang hebat lalu meronta kecil tak beraturan. Gerakannya bukan untuk melepaskan diri, justru seperti memaksa agar setiap hentakanku masuk lebih dalam. Dari tubuhnya mengalir deras cairan hangat yang membasahi sprei dan membanjiri setiap kali aku menghantam dengan keras.
Aku sempat terperangah setengah detik melihat tubuh putihnya meledak begitu liar. Namun justru itu yang membuatku makin hilang kendali. Aku menjambak rambutnya lebih keras lalu menarik wajahnya agar menoleh ke arahku. Matanya basah berkaca-kaca, bibirnya terbuka dengan desah panjang, wajahnya merah padam penuh kepasrahan.
“Lihat kamu Meilin. Gadis cina manja sekarang cuma jadi budak pribumi yang muncrat cuma karena dihajar keras sama kontol pribumi !! ucapku garang dengan suara pecah. Pinggulku menghantam makin brutal, tanpa ritme lagi, hanya beringas seakan ingin menghancurkan tubuh mungilnya di bawahku.
Meilin menjerit panjang dengan wajah menunduk ke bantal lalu tubuhnya melengkung liar. Tangannya meremas sprei erat hingga buku jarinya memutih. Kakinya gemetar parah di kedua sisi pinggangku seolah tak kuasa menahan derasnya gelombang yang datang bertubi-tubi. Cairan hangatnya terus mengalir deras, membasahi ranjang, sementara tubuhnya bergetar hebat tanpa kendali.
“Aku… aku keluar lagiii!!!” teriaknya dengan suara parau nyaris menangis. Tubuhnya menegang keras beberapa detik sebelum akhirnya terkulai pasrah, tapi desahnya tetap pecah-pecah seakan kenikmatan itu belum juga berhenti merambat di sekujur tubuhnya.
Aku menunduk menciumi leher dan bahunya dengan gigitan kasar hingga kulit putihnya penuh bekas merah. “Keluar terus budak !! Aku bakal bikin kamu hancur keenakan. Kamu cuma boneka pribumi dan aku nggak akan berhenti sampai kamu hancur. Bisikku garang tepat di telinganya.
Meilin terbaring telentang di ranjang dengan kedua kakinya terangkat di pundakku. Tubuhnya bergetar hebat, napasnya terputus-putus, keringat mengalir di keningnya. Setiap kali aku menghantam lebih dalam, pinggulnya otomatis meronta kecil, tapi bukan untuk menjauh. Justru gerakan itu seperti menahan agar batangku masuk makin dalam, seakan tubuhnya sengaja menyeretku lebih jauh lagi. Dari dalamnya cairan hangat tumpah deras, membasahi ranjang, membanjiri setiap doronganku.
Aku terperangah sesaat melihat tubuh putihnya meledak begitu liar. Tapi justru itu membuatku makin hilang kendali. Tanganku mencengkeram lehernya ringan namun tegas, sementara tangan satunya menekan pinggulnya agar tidak bisa lari dari setiap hentakan. “Lihat kamu Meilin !! Lonte cina murahan !! sekarang cuma jadi tempat pembuangan peju pribumi. ucapku dengan suara berat yang nyaris pecah.
Tubuhku makin berdenyut. Setiap kontraksi di dalam dirinya mencengkeram erat batangku, menyeretku semakin dekat ke batas terakhir. Hentakanku berubah brutal, tak lagi berirama, hanya dorongan kasar penuh nafsu. Ranjang berderit keras, kepala ranjang bergetar menghantam dinding, suara desah dan jeritan kami memenuhi kamar.
“Aaaaahhhhhh!!!” aku menggeram panjang sambil menjambak rambutnya hingga wajahnya mendongak menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku menindih penuh tubuhnya dari depan, menghujam sedalam mungkin hingga dada kami bertemu rapat. Tubuhku menegang, urat-urat mencuat, dan ledakan itu pecah.
Semburan hangat keluar deras, berdenyut berulang, memenuhi rongga tubuh Meilin yang sudah banjir oleh basahannya sendiri. Aku menahan tubuhku menempel rapat di atasnya, dadaku menghimpit dadanya yang naik turun cepat. Nafasku berat, memburu di telinganya, sementara keringatku bercampur dengan keringatnya.
Meilin masih bergetar kecil di bawahku dengan kedua kaki tertekuk di pundakku, matanya setengah terpejam, mulutnya terbuka dengan desah lirih yang pecah-pecah. Tubuhnya jelas sudah kehabisan tenaga, tapi dari sorot matanya aku tahu ia benar-benar pasrah dan menerima semuanya sampai habis.
"Rasakan Lin… kamu penuh olehku… penuh sama pribumi yang nggak akan berhenti menghancurkanmu” desisku kasar di telinganya dengan napas memburu.
Meilin menjerit parau. Tubuhnya yang telentang melengkung hebat dengan kedua kaki masih terangkat di pundakku. Matanya terpejam rapat, wajahnya merah, mulutnya terbuka lebar menahan gelombang baru yang menyeretnya. “Aaahhh… tuaan… aku… aku nggak kuatttt!!!” suaranya pecah hingga bergetar di dadaku.
Aku tetap menghentak beberapa kali lagi meski cairan hangat sudah meluap keluar, menetes di antara paha putihnya dan membasahi seprai kusut di bawah kami. Nafasku makin terengah, dadaku bergetar keras, keringat menetes deras jatuh ke leher dan dada Meilin.
Akhirnya kakiku goyah. Aku merunduk jatuh menindih tubuhnya. Dada bidangku menempel rapat di dadanya yang naik turun cepat. Kedua kakinya masih melingkar lemah di pinggangku, sementara tanganku mencengkeram pinggangnya erat seolah enggan melepaskannya.
Wajahku menempel erat di pundaknya dan panas napasku membuat kulitnya terasa semakin membara karena keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya. Meilin menggeliat kecil karena tubuhnya juga gemetar sama sepertiku. Suara napas kami terdengar berat dan terputus-putus seakan baru saja berlari jauh. Aku menekan pinggulku lebih rapat ke tubuhnya sehingga setiap inci penisku tetap tertanam dalam liang yang basah terlumasi lendir kawinnya. Sensasi itu membuatku ingin bertahan lebih lama, seakan memastikan tidak ada setetes pun sisa ledakanku yang terbuang keluar. Tanganku mencengkeram pinggangnya kuat karena aku masih merasakan denyut hangat yang menjalar di antara kami, sementara tubuh Meilin melemas tetapi pelukannya justru semakin erat di punggungku.
“Aku belum selesai denganmu budak… bisikku parau di telinganya sambil tetap menancap di dalam. "Hari ini kamu bakal hancur berkali-kali ditangan pribumi !!
Meilin hanya bisa terdiam. Nafasnya pendek-pendek, matanya setengah terpejam, rambut hitamnya berantakan menempel di wajah yang basah oleh keringat. Tubuhnya lunglai, tapi aku tahu dari cara ia meremas selimut dengan gemetar, ia masih merasakan sisa getaran di dalam dirinya.
Beberapa saat kemudian aku tergolek sebentar di sisinya sebelum bangun dengan malas. Pagi sudah masuk lewat celah tirai, menyinari kamar berantakan dengan sprei kusut dan bau keringat bercampur gairah yang pekat di udara. Aku bangkit, hanya mengenakan celana pendek, dadaku telanjang penuh keringat yang belum kering.
Aku melangkah keluar kamar dengan rambut masih acak-acakan. Dari ruang tengah terdengar suara dentingan sendok beradu dengan wajan. Aroma bawang tumis samar-samar menyusup ke hidungku, bercampur dengan harum minyak panas. Meilin rupanya sudah lebih dulu beranjak ke dapur.
Langkahku terhenti sebentar di ambang pintu. Bayangan tubuhnya terlihat dari balik dapur kecil itu, masih dengan rambut tergerai kusut, hanya mengenakan daster tipis yang membungkus tubuh mungilnya. Punggung putihnya bergerak naik turun mengikuti irama napas, seakan tubuhnya masih menyimpan lelah akibat persetubuhan liar didalam kamar.
Ketika aku melangkah masuk ke dapur, darahku langsung bergolak. Tubuh putih Meilin hanya tertutup daster tipis yang menempel di kulit punggungnya karena keringat. Rambut hitamnya digelung seadanya, tetapi beberapa helai terlepas sehingga jatuh menutupi leher jenjangnya. Saat itu tangannya sibuk mengiris sayuran di atas talenan dan matanya serius menatap irisan hijau yang bertumpuk rapi. Ia sama sekali tidak menyadari langkahku.
Aku mendekat perlahan lalu menempelkan tubuhku dari belakang. Daster tipis yang ia kenakan membuat kulitnya langsung terasa melekat di kulitku. Kedua tanganku bergerak merayap ke pinggangnya, sementara hidungku menempel di lehernya. Aku menghirup wangi sabun mandi yang masih tersisa dan aroma masakan yang mulai memenuhi udara dapur.
“Hmm… istri cantikku masak buat siapa pagi ini?” bisikku rendah sambil mengecup belakang telinganya.
Meilin tersentak sehingga pisau di tangannya hampir terlepas. “Za… aku lagi masak. Jangan nakal,” ucapnya dengan suara bergetar, meskipun tubuhnya justru menekan diri ke arahku.
Aku tertawa pendek lalu menyusupkan tanganku ke balik dasternya. Telapak tanganku mengusap perut datarnya, kemudian naik perlahan sampai meremas dadanya yang lembut. “Siapa bilang aku nakal? Aku cuma lapar, dan yang paling bikin aku lapar itu kamu.”
Meilin menggigit bibirnya lalu memejamkan mata. “Kalau begini, sarapan kita nggak bakal selesai, Za.”
Aku menarik rambutnya pelan ke samping sehingga leher putihnya terbuka. Lidahku menjilat kulitnya, dan tubuhnya langsung bergetar. Desahan kecil lolos dari mulutnya. Pinggulku menempel erat ke bokongnya sehingga daster tipis itu terasa semakin kusut. Ia bisa merasakan betapa aku sudah bangkit lagi.
“Biarkan dapurnya berantakan. Yang penting aku kenyang duluan dari tubuhmu,” bisikku serak di telinganya.
Pundaknya naik turun saat menahan napas. Ia menoleh setengah dengan mata basah yang bergetar. “Kamu… benar-benar nggak pernah puas ya?”
Aku meremas dadanya lebih keras lalu menempelkan bibirku ke mulutnya. Aku menelan suaranya, membuat desahannya pecah di dalam ciuman. “Selama kamu ada, aku nggak akan pernah puas, Lin.”
Tanpa memberi jeda, aku membalikkan tubuhnya sehingga punggungnya menghantam meja dapur. Suara piring dan sayur yang berjatuhan memenuhi ruangan. Beberapa pecah di lantai, namun aku tidak peduli. Meilin terperanjat dengan mata melebar, tetapi aku segera menahan kedua pergelangan tangannya di atas kepala dan menekannya ke meja yang dingin.
“Lihat dirimu sekarang,” desisku kasar sambil menempelkan napas panas ke telinganya. “Gadis Cina kaya yang biasa dimanja justru berakhir jadi pelayan napsu di dapur pribumi. Kamu tahu tempatmu di mana, kan?
Meilin menggeliat di atas meja dengan wajah yang memerah karena campuran malu dan gairah. Suaranya lirih ketika ia berbisik, “Za… jangan kasar, itu bahaya…” Namun matanya justru menantangku dengan tatapan berani.
Aku tidak memberi ruang untuk ragu. Tubuhku menekan tubuhnya hingga meja berderit menahan berat kami. Pinggulku menghantam dengan keras dan membuat tubuhnya melengkung tak terkendali. Tanganku meraih rambut hitamnya lalu menjambaknya kuat-kuat, menarik kepalanya ke belakang sehingga leher putihnya terbuka penuh.
“Kamu pikir aku bakal berhenti?” suaraku serak dan garang di telinganya. “Nggak, Lin. Hari ini kamu bukan istriku. Kamu cuma budak Cina sialan yang wajib melayani pribumi sampai habis tenaga.”
Bibir Meilin tergigit kuat. Tubuhnya bergetar menahan campuran sakit dan nikmat yang bercampur di setiap hentakan. “Kalau memang aku budakmu… jangan biarkan aku lolos. Kasari aku, Za… buat aku nyesel melawanmu…” katanya dengan suara pecah.
Aku menggeram rendah lalu menghentak lebih brutal. Ritmenya keras dan kasar, membuat meja dapur bergetar hingga gelas di sudut hampir jatuh ke lantai. Setiap kali pinggulku menghantam tubuhnya, suara desahannya pecah semakin liar, bercampur dengan derit kayu meja.
“Pelayan sialan… memang cuma begini gunanya kamu. Tubuh putihmu milik pribumi. Paham?!” aku memaki sambil menekan lebih dalam seakan ingin menaklukkan tubuhnya sepenuhnya.
“Ya… yaaa!” jerit Meilin melengking. Kedua lengannya menegang, pergelangannya masih terkunci di bawah genggamanku, dan tubuhnya benar-benar tak berdaya.
Tanpa belas kasihan aku menarik tubuhnya dari atas meja. Gerakan kasar itu membuat beberapa piring sisa yang masih utuh ikut berjatuhan ke lantai. Rambut panjangnya kusut di tanganku, sementara napasnya sudah ngos-ngosan. Dengan satu dorongan aku memaksa tubuhnya merosot hingga berlutut di lantai dapur yang dingin.
“Sekarang berlutut !! Lihat betapa hina kamu di bawahku. Bisikku garang, suaraku serak penuh api.
Meilin mendongak perlahan. Wajahnya merah padam, matanya berkaca-kaca, dan bibirnya terbuka gemetar. “Aku… aku cuma budakmu Zal.. Perlakukan aku sesukamu…”
Tanganku menekan kepalanya ke depan hingga masuk kolong meja makan hingga tubuhnya merunduk sempurna. Pantatnya terangkat tinggi sementara dadanya hampir menyentuh lantai. Posisi menungging itu membuatku semakin beringas. Aku menekan tubuhku dari belakang lalu menghujam dengan keras.
Benturan tubuh kami menggema bersama suara meja yang bergeser, sementara erangan Meilin bercampur dengan desahanku. Suara hentakan kasar memenuhi dapur yang sebelumnya hanya tenang, kini berubah jadi saksi dari permainan liar kami.
Meja di dapur kembali bergetar karena hentakan ritme brutal yang kulakukan. Tanganku menekan tengkuk Meilin ke lantai hingga wajahnya hampir menempel ubin dingin. Tubuhnya telungkup dengan pantat terangkat dan ia sulit bergerak karena posisinya terkunci oleh tekananku. “Budak Cina sialan… kamu lahir cuma buat tunduk kayak gini!” aku menggeram kasar di telinganya.
“Ahhh… Rizal… terus… aku nggak kuat…” rintihannya panjang dan parau, tetapi pinggulnya justru mendorong balik menerima setiap hantaman.
Aku menarik rambutnya lalu mengangkat tubuhnya dari lantai. Dengan cepat kududukkan dia di kursi dapur. Kursinya bergeser ke belakang dan berderit keras menahan beban kami. Aku meraih kedua kakinya lalu mengangkatnya ke bahuku. Posisi itu membuat tubuhnya terbuka lebar sehingga aku bisa menghujam lebih dalam dengan brutal hingga kursi hampir rubuh.
“Rasakan, Lin! Tubuhmu milikku! Aku pecahkan kamu sampai nggak bisa bangun lagi dari kursi ini!” teriakku dengan suara parau.
Meilin menjerit melengking. Tangannya mencengkeram sisi kursi erat-erat, jemarinya gemetar, dan tubuhnya bergetar hebat. Setiap tusukan membuat wajahnya makin kehilangan kendali.
Aku tidak berhenti. Dengan kasar aku menyeret tubuh Meilin dari kursi lalu mendorongnya begitu saja ke arah kulkas. Punggungnya menghantam permukaan logam yang dingin. Suaranya tercekat dan matanya melebar. Aku menjambak rambutnya lalu memaksanya mendongak menatapku. Kedua matanya berkaca-kaca, wajahnya merah, dan napasnya terengah.
“Kamu pikir bisa jadi istri manja? Tidak, Lin. Kamu hanya pelayan nafsuku,” aku menggeram di depan wajahnya. Satu tanganku meraih kakinya lalu mengangkat tinggi-tinggi ke samping, sementara tubuhku menahannya agar tidak jatuh. Dengan posisi itu aku menghantam keras, membuat tubuhnya terjepit di antara kulkas dingin dan dadaku yang penuh keringat.
Meilin menjerit kecil. Bibirnya digigit kuat, wajahnya memerah, dan kepalanya terhentak ke belakang. "Tuaann… ahhh… aku… aku milikmu… perlakukan aku sesukamu… Suaranya pecah dan tubuhnya bergetar semakin hebat.
Aku masih belum puas. Dengan kasar aku memutarnya lagi lalu kudorong tubuhnya ke meja makan. Ia terjerembab menelungkup di atas meja dengan wajah menempel pada permukaan kayu yang dingin. Tanganku menekan punggungnya agar tetap menunduk. Pinggulku menghajar dari belakang dengan kecepatan brutal. Meja berderit keras bahkan hampir patah menahan ritme hentakanku yang makin menggila.
"Budak Cina hina… lihat dirimu sekarang! Menjerit cuma karena disodok pribumi!” aku mengumpat garang dengan mata liar dan peluh bercucuran di wajahku.
Meilin hanya mampu merintih panjang. Kedua tangannya mencengkeram pinggiran meja begitu kuat hingga buku jarinya memutih. Tubuhnya ikut berguncang keras setiap kali aku menghantam makin dalam dan meja itu berderit menahan hentakan kami.
Aku menarik tubuhnya turun lalu mengangkatnya ke dalam gendongan kasar. Kakinya langsung melilit pinggangku erat-erat sementara punggungnya menghantam lemari dapur yang dingin. Dengan posisi itu aku menghujam lagi tanpa henti. Setiap dorongan membuat seluruh tubuhnya terangkat-angkat seolah terombang-ambing oleh tenagaku.
"Tuaann… aku… aku sudah pasraah… terus… jangan berhenti…” suaranya pecah dengan mata setengah terpejam. Tubuhnya bergetar hebat, napasnya tersengal, dan wajahnya memerah penuh gairah.
Aku terus menghujam sambil menggendongnya, tubuh Meilin naik turun di pelukanku mengikuti setiap dorongan yang kian cepat. Kakinya melilit erat di pinggangku dan tangannya berpegangan di leherku agar tidak jatuh. Napasnya makin berat karena setiap hentakan membuat tubuhnya terguncang tanpa kendali. Dengan posisi itu aku terus menghujam tanpa henti sambil berjalan terseok di dalam dapur. Punggungnya sempat terbentur dinding lalu berpindah ke pintu kulkas dan setiap langkahku membuat hentakan terasa lebih dalam. Meilin hanya bisa mengerang keras di telingaku karena tubuhnya terombang-ambing di udara sementara aku tetap menahan erat pinggangnya agar ia tidak terlepas dari setiap dorongan yang menghancurkan dirinya.
Tubuhku ikut bergetar hebat karena hentakan yang kulakukan semakin brutal hingga meja, kursi, bahkan lemari dapur yang ada disekitar kamu jadi ikut bergeser keras menahan goyangan. Meilin melilit pinggangku makin erat dan kukunya mencakar punggungku sehingga rasa perih bercampur panas menjalar di kulitku. Nafasnya semakin terputus-putus dan matanya hampir terpejam seluruhnya, namun tubuhnya tetap mengikuti setiap gerakanku. Aku bisa merasakan otot-otot di dalam dirinya menegang dan mencengkeram erat, seolah menjerat batangku setiap kali aku menghujam makin dalam.
“Aaaahhh… tuaan… aku… aku… aku nggak kuat lagi!!” jeritnya pecah dengan tubuh yang bergetar liar dalam pelukanku. Cairannya tumpah deras, mengalir deras hingga membasahi perut dan pahaku. Setiap dorongan terasa semakin licin karena basahannya yang melimpah.
Aku menggertakkan gigi lalu menjambak rambutnya sekali lagi. Dengan geraman panjang aku menghantam sekeras-kerasnya hingga tubuhnya terangkat penuh. “Anjing… budak cina hina… kamu cuma tempat aku tumpahkan semuanya!”
Dorongan terakhir itu brutal dan dalam. Tubuhku kaku, urat-uratku menegang, napasku tertahan keras di telinganya, dan akhirnya aku meledak di dalam dirinya. Gelombang hangat itu tumpah deras hingga memenuhi rongganya, bercampur dengan ledakan klimaksnya yang masih berdenyut liar di sekujur tubuhnya.
Meilin merintih panjang dan tubuhnya melemas, tetapi kakinya masih melingkar erat di pinggangku seakan tidak rela dilepaskan. Wajahnya memerah dan rambutnya berantakan, sedangkan bibirnya terbuka tanpa suara.
Aku menahan tubuhnya dengan satu tangan di bawah pantat dan tangan yang lain menekan kepalanya ke bahuku. Nafas kami sama-sama berat dan keringat bercampur di kulit. Dapur yang berantakan tidak lagi diisi suara denting peralatan karena kini hanya dipenuhi aroma panas bercampur sisa masakan yang tadi sempat ia siapkan.
Tubuhku masih gemetar sehingga aku menarik napas panjang dan menempelkan keningku di leher Meilin. Dia terkulai di pelukanku, napasnya cepat serta tidak beraturan, tetapi pelukannya justru semakin erat. Ruangan yang tadi penuh derak meja kini menjadi hening dan hanya menyisakan desah napas kami yang masih belum pulih.
Aku menurunkan tubuhnya perlahan lalu mendudukkannya di meja dapur yang masih berantakan. Tanganku mengusap pipinya yang merah dan rambut kusutnya menempel di kening sehingga wajahnya terlihat makin rapuh. “Gila kamu, Lin. Aku bisa hilang akal kalau lihat kamu kayak gini,” bisikku dengan nada yang jauh lebih lembut daripada geramku beberapa menit lalu.
Meilin tersenyum lemah dan matanya menatapku sayu. “Dan aku suka kamu kayak tadi, Jal. Kamu kasar dan liar, tetapi setelah itu kamu selalu pegang aku kayak sekarang. Itu yang bikin aku merasa cuma milikmu.
Aku tersenyum tipis lalu mencium ujung hidungnya. Tanganku menelusuri lengannya dan menenangkan tubuhnya yang masih bergetar halus. “Kamu bukan cuma milik aku, Lin. Kamu adalah napas aku dan alasan aku hidup. Semua fantasi liar itu tidak ada artinya kalau bukan sama kamu.
Dia menunduk sedikit lalu menyentuhkan bibirnya ke dadaku dan berbisik dengan suara serak, “Kalau begitu jangan pernah lepasin aku, Jal. Mau sekasar apapun kamu, aku akan terima karena aku tahu setelah itu kamu selalu merangkul aku lagi.
Aku menariknya ke dalam pelukan erat lalu mencium bibirnya lama. Ciuman itu lembut dan penuh rasa memiliki. Tidak ada lagi hentakan atau teriakan, melainkan desakan bibir yang panjang serta tenang.
Setelah itu aku mengangkat tubuhnya dengan hati-hati. Meilin mendekap erat di bahuku ketika aku melangkah keluar dari dapur. “Udah cukup dapurnya berantakan. Sekarang giliran kita bikin ranjang berantakan, tapi dengan cara yang lebih brutal. bisikku serak. Meilin hanya terkekeh lemah dan pipinya menempel hangat di dadaku ketika aku membawanya masuk ke kamar.
Meilin pasrah ditakluk digagahi kasar...hehe....part 2 yang menyenangkan
BalasHapus