By : Analconda13
Di gang sempit pecinan aku tinggal di sebuah rumah tua dengan arsitektur campuran tiongkok dan kolonial. Dindingnya kusam, catnya banyak yang mengelupas dan beberapa kayu jendela sudah lapuk dimakan usia. Bagian kusen pintu juga sering berdecit setiap kali dibuka, sementara lantai ubin tua di ruang tengah terasa dingin kalau diinjak tanpa alas kaki. Atap gentengnya kerap bocor saat hujan deras, karena itu ember dan baskom selalu siap di sudut ruangan untuk menampung tetesan air.
Gang tempatku tinggal tidak lebar, hanya cukup dilalui satu motor dengan hati hati. Dinding rumah rumah berdempetan dan di siang hari sinar matahari hanya bisa masuk tipis menembus sela sela atap. Di pagi hari aroma bawang goreng, kue tradisional, dan kopi sering bercampur memenuhi udara karena hampir semua tetangga membuka usaha kecil di depan rumah mereka. Suara anak anak berlarian, ibu ibu berbelanja ke pasar, dan orang tua yang duduk di kursi bambu sambil merokok kretek, semua itu menjadi pemandangan sehari hari.
Di dalam rumah, ada satu hal yang membuat suasana tetap hangat meski bangunannya sudah rapuh. Dari dapur, aroma kopi giling selalu menyebar. Setiap pagi aku menyiapkan biji kopi dari karung yang disimpan di pojok dapur, lalu menggilingnya dengan mesin sederhana. Bau pahit manis itu meresap ke dinding kayu, menempel di pakaian yang digantung, bahkan bercampur dengan udara lembap rumah tua ini.
Namaku Caroline Susanto, umurku dua puluh satu tahun. Aku seorang gadis Chindo yang sedang kuliah di jurusan akuntansi. Setiap hari aku harus bolak balik dari kampus ke rumah. Di siang hari aku sibuk dengan tumpukan buku dan tugas kuliah, sementara di malam hari aku kembali ke gang kecil ini untuk membantu kakekku. Hidup sederhana di rumah tua membuatku harus terbiasa membagi waktu antara belajar, bekerja membantu keluarga, dan menjaga rumah yang semakin menua.
Kadang aku iri melihat teman teman kampusku yang tinggal di apartemen modern dengan fasilitas lengkap, tetapi di saat yang sama aku sadar rumah tua ini punya cerita. Setiap sudutnya menyimpan kenangan keluarga, setiap aroma kopi yang tercium dari dapur membuatku merasa bahwa meski sederhana, tempat ini tetap menjadi bagian dari diriku yang tak tergantikan.
Masa kecilku tidak pernah mudah. Kedua orang tuaku tidak lagi ada sejak kerusuhan melanda kota. Rumah kami dijarah massa dan usaha kopi giling keluarga hancur berantakan. Api membakar sebagian besar bangunan, suara teriakan bercampur dengan kaca yang pecah dan bau asap memenuhi udara hingga membuat napasku sesak.
Di tengah kekacauan itu aku yang masih kecil hanya bisa menangis ketakutan. Dari balik asap tebal aku melihat sosok Burhan, pegawai setia di toko kopi giling orang tuaku. Lelaki pribumi itu nekat menerobos kerumunan, tubuhnya menabrak orang orang yang berteriak dan melempar batu. Ia meraih tanganku, menarikku keluar dari rumah yang hampir runtuh lalu membawaku lari tanpa menoleh lagi.
Aku masih ingat betul bagaimana keringat bercampur darah menetes dari pelipisnya, tapi genggamannya di tanganku tidak pernah goyah. Malam itu dia mempertaruhkan nyawanya hanya untuk memastikan aku selamat.
Sejak hari itu Burhan merawatku seperti cucunya sendiri. Kini di usia senjanya yang hampir tujuh puluh tahun ia masih setia dengan keahliannya menggiling kopi menjadi bubuk. Setiap pagi ia menyiapkan gilingan baru dengan suara berderit khas mesin tua yang sudah menemaninya puluhan tahun. Setelah itu ia menakar kopi hasil gilingannya dan menjualnya dalam bentuk bubuk kiloan kepada tetangga sekitar. Aroma pahit manis dari kopi bubuk gilingannya bukan hanya penopang hidup kami berdua tapi juga pengingat masa lalu, tentang keluarga yang hilang dan ikatan tak tergantikan di antara aku dan Burhan.
Aku sering membantu sekadar menakar bubuk kopi ke dalam plastik kiloan sambil mengikatnya dengan karet gelang atau membereskan meja kayu lapuk tempat para pelanggan duduk menunggu gilingan selesai. Kadang aku juga mencatat pesanan di buku tulis tipis yang sudah kusam. Walau rutinitas itu sederhana tapi selalu ada rasa hangat setiap kali melihat tetangga tersenyum puas membawa pulang kopi bubuk kami.
Namun di balik rutinitas itu aku tahu ada sesuatu yang tersembunyi di rumah ini. Rumah tua peninggalan orang tuaku punya banyak kamar kosong yang pintunya jarang sekali dibuka. Ada lemari kayu jati tua yang penuh debu di lorong belakang dan sudut gelap di dekat tangga yang hampir tidak pernah tersentuh. Setiap kali aku lewat di sana selalu ada perasaan aneh, seperti ada sesuatu yang masih tertinggal dan menunggu ditemukan.
Suatu malam listrik di rumahku sempat padam sebentar. Aku buru-buru menyalakan lilin kecil di ruang tengah lalu mencoba mencari senter cadangan di kamar belakang. Udara terasa lembap dan dingin karena angin dari celah jendela masuk tanpa penghalang.
Di pojok kamar itu berdiri sebuah lemari kayu jati tua yang sudah lama tidak pernah kusentuh. Permukaannya dipenuhi debu dan sarang laba-laba. Pintu lemari terasa seret saat kutarik, engselnya berderit panjang seperti menolak untuk dibuka. Aku menahan napas dan terus mendorongnya hingga celahnya cukup lebar.
Di dalamnya ada tumpukan kain lama yang sudah berbau apak, beberapa barang antik dari keramik tiongkok dan sebuah buku catatan berkulit tebal yang warnanya sudah kusam. Sampulnya penuh debu hingga tanganku kotor saat menyentuhnya.
Aku membawanya keluar lalu meniup permukaan sampulnya. Di halaman pertama tertulis dengan tangan yang sudah agak gemetar: Catatan pribadi B. L.. Aku langsung menelan ludah. Itu jelas inisial dari Burhan, kakek angkatku. Ada rasa bersalah karena membuka sesuatu yang bukan milikku tapi rasa ingin tahu jauh lebih kuat.
Aku duduk di lantai, hanya ditemani cahaya lilin yang bergetar karena hembusan angin, lalu membuka halaman berikutnya. Tulisan di dalamnya bukan sekadar catatan dagang atau resep kopi. Itu semacam jurnal pribadi. Kalimat-kalimat panjang yang mendeskripsikan sosok perempuan muda. Rambutnya hitam lurus, kulitnya putih halus, sering digambarkan berjalan di dalam rumah sambil memakai daster tipis.
Aku terdiam. Dadaku terasa sesak. Semakin banyak halaman kubaca semakin jelas gambaran itu mengarah padaku sendiri. Semua detailnya mirip dengan keseharianku di rumah ini.
Jantungku berdegup kencang. Rasa ngeri bercampur dengan panas yang merambat di tubuhku. Aku tak menyangka pria tua yang selama ini kekenal sederhana, yang setiap hari hanya sibuk menggiling kopi dan melayani tetangga, ternyata diam-diam menyimpan catatan penuh imajinasi tentang diriku.
Aku menutup buku itu dengan cepat. Jantungku berdetak kencang dan tanganku masih gemetar. Tapi bayangan kata-kata yang barusan kubaca sudah terlanjur menempel di kepalaku. Api lilin di sampingku bergoyang tertiup angin dari jendela, bayangannya menari di dinding kamar. Aku memeluk lututku erat, tubuhku gemetar bukan hanya karena takut, tapi juga karena ada sensasi aneh yang sulit kuakui.
Aku duduk termenung cukup lama setelah buku itu kuletakkan di lantai. Punggungku bersandar ke dinding dingin, mataku terus menatap sampul lusuh yang sudah kututup rapat. Lilin di sampingku sudah hampir habis, cairannya menetes ke lantai kayu dan menyebarkan bau gosong samar. Nafasku terasa berat. Ada rasa bersalah karena sudah membuka rahasia milik kakek angkatku, tapi di sisi lain rasa penasaranku semakin menekan.
Kalimat-kalimat dari buku itu berulang di kepalaku. Tentang bagaimana perempuan muda berkulit putih itu suka berjalan tanpa alas kaki, dasternya menempel di tubuh basah seusai mandi. Tentang bagaimana aroma harum dari tubuhnya mengisi setiap sudut kamar. Aku tidak bisa menolak kenyataan, itu diriku sendiri. Tidak ada orang lain di rumah ini selain aku dan Burhan.
Malam itu aku sulit tidur. Setiap kali aku memejamkan mata maka tulisan itu muncul lagi dan melintas dipikiranku, membuat gairahku mulai bangkit dari persembunyiannya. Aku gelisah. Terus berguling di ranjang sempit, mencoba menepis rasa bersalah tapi semakin kutepis semakin kuat rasanya. Kipas angin tua di pojok kamar hanya berputar pelan, meniupkan udara hangat yang membuat kulitku semakin lengket oleh keringat.
Tanganku akhirnya bergerak sendiri. Jari-jariku perlahan menyusuri pahaku, dari atas daster tipis yang sudah kusut sampai ke kulit hangat di bawahnya. Aku menahan nafas, seakan ingin menguji sendiri perasaan aneh yang sejak tadi bergejolak di dalam tubuhku.
Keesokan paginya aku berusaha bersikap biasa saja. Aku menemani Burhan menggiling kopi untuk pelanggan yang datang sejak subuh. Lelaki tua itu tetap seperti biasanya, tenang dan telaten menakar bubuk kopi dengan timbangan kecil yang sudah aus. Tangannya bergetar sedikit tapi gerakannya masih teratur. Sesekali ia menepuk bahuku sambil berkata "Kamu kelihatan pucat, jangan lupa sarapan ah". Aku hanya tersenyum kaku sambil mengangguk. Ada rasa hangat menjalar di dadaku, sebuah kesadaran baru bahwa orang di hadapanku adalah penulis catatan yang semalam membuat darahku berdesir.
Rasa Penasaran Yang Semakin Besar.
Hari-hari berikutnya aku tidak bisa menahan diri. Setiap malam setelah rumah sepi dan Burhan sudah tidur, aku kembali membuka catatan itu diam-diam. Aku membacanya perlahan sambil berbaring di ranjang, hanya ditemani cahaya lampu belajar kecil. Semakin jauh kubaca semakin jelas detail fantasi yang ia tulis. Ada deskripsi tentang bagaimana perempuan muda itu menunduk ketika menuang kopi, bagaimana kain tipisnya menempel di tubuh ketika tertiup angin, bagaimana senyumannya membuat lelaki tua itu merasa tergoda sekaligus bersalah.
Aku bisa merasakan tubuhku sendiri ikut bereaksi. Kata-kata itu seperti bayangan yang menempel di setiap gerakanku. Aku jadi lebih sadar ketika berjalan di dalam rumah. Aku memperhatikan daster tipis yang menempel di kulitku saat aku keluar dari kamar mandi. Aku memperhatikan tatapan Burhan ketika aku tanpa sengaja menunduk terlalu rendah untuk mengambil sesuatu di meja.
Rasanya berbeda sekarang. Bukan sekadar rutinitas sederhana di rumah tua ini. Ada ketegangan samar yang menyelinap di antara kami, ada kesadaran erotis yang pelan-pelan tumbuh dan membuatku gelisah. Bahkan saat aku menyiapkan kopi untuk pelanggan aku bisa merasakan dadaku berdegup lebih kencang, seolah tulisan di buku itu membuatku benar-benar hidup di dalamnya.
Malam Penuh Gairah.
Suatu malam hujan turun deras. Suaranya menimpa genteng rumah tua kami hingga seluruh ruangan terasa lembap dan dingin. Listrik tiba tiba padam membuat rumah tenggelam dalam kegelapan. Aku duduk sendirian di meja kayu panjang tempat Burhan biasanya meracik kopi setiap pagi.
Di depanku buku catatan itu terbuka lebar. Lilin kecil bergetar karena angin masuk dari celah jendela, cahayanya menyoroti huruf-huruf yang samar. Tubuhku hanya terbalut daster tipis dengan tali berenda warna pink. Kainnya begitu ringan dan licin sehingga menempel di kulit setiap kali angin dingin berhembus masuk. Bahu kiriku kadang terbuka karena talinya melorot, membuatku harus menariknya lagi sambil mendesah pelan.
Di tengah sepi dan cahaya lilin yang redup, bayangan tubuhku sendiri tampak bergerak di dinding. Aku merapatkan paha agar hangat, tapi kain tipis itu justru membuat kulitku semakin terasa terbuka.
Mataku berhenti di sebuah halaman yang belum pernah kusentuh sebelumnya. Isinya berbeda dari halaman-halaman awal. Tulisan itu menggambarkan seorang perempuan muda yang akhirnya menyadari fantasi yang selama ini ditujukan padanya. Bukan lari tapi ia memilih menyambutnya.
Aku menelan ludah. Dadaku naik turun cepat, jantungku berdebar keras seolah sedang dipacu. Jari-jariku berkeringat hingga sulit membalik halaman berikutnya. Aku baru saja hendak menutup buku itu ketika dari arah lorong terdengar suara langkah pelan.
Aku tersentak kecil. Segera kututup buku itu rapat-rapat dan kudorong ke samping meja, tapi lilin masih menyoroti sampul kulitnya yang kusam. Hujan di luar semakin deras, tiupan angin membuat jendela berderak. Suasana makin pekat, seolah setiap bunyi kecil jadi terasa menegangkan.
Dari lorong gelap perlahan muncul sosok Burhan. Rambutnya yang sudah memutih sebagian tampak basah, mungkin ia baru saja menutup jendela bocor di dapur. Bajunya juga sedikit lembap di bagian bahu. Ia berdiri beberapa langkah dariku, tersenyum samar saat melihat aku masih terjaga di meja.
"Kamu belum tidur Lin.. ini kan sudah malam.. Ucapnya pelan. Suara seraknya tenggelam bercampur dengan derasnya hujan di luar.
Aku meremas ujung dasterku sendiri di bawah meja, mencoba menutupi kegugupanku. "I… iya. aku lagi nggak bisa tidur kek.. Jawabku cepat sambil menghindari tatapannya. Tapi dalam hati debaranku semakin kencang. Aku tahu buku itu masih tergeletak di sampingku, hanya tertutup seadanya, dan jika Burhan melangkah sedikit lebih dekat semuanya bisa terbongkar.
Ia masuk ke ruang itu dengan langkah pelan, membawa sebuah cangkir teh panas. Uapnya naik tipis di udara lembap bercampur aroma kayu basah. Ia menaruh cangkir itu di atas meja lalu duduk di kursi seberangku. Suara kayu kursi berderit, menyatu dengan derasnya hujan di luar. Untuk sesaat kami hanya terdiam, ditemani cahaya lilin yang bergetar di antara kami.
Aku bisa merasakan pandangan matanya. Mata yang dulu kukenal penuh kasih sayang seorang kakek kini terasa berbeda. Tatapannya seolah dalam dan menyimpan sesuatu yang tidak pernah kutangkap sebelumnya. Aku menunduk tapi bayangan wajahnya masih terasa jelas di pikiranku.
"Kadang.. Gumamnya sambil menatap permukaan teh panas di tangannya. "rumah ini memang penuh rahasia. Kalau kamu mencari terlalu dalam bisa saja menemukan sesuatu yang bikin kamu sulit tidur.
Darahku langsung berdesir. Ucapannya seperti menembus ke dalam pikiranku. Apakah ia tahu aku membuka catatannya? Atau ia sengaja bicara begitu untuk mengujiku? Aku menelan ludah, tubuhku kaku tapi entah kenapa ada sesuatu yang hangat merambat di dadaku.
Aku mengangkat wajah perlahan. Untuk pertama kalinya aku berani menatapnya tanpa bersembunyi di balik rasa bersalah. Sorot matanya membuat tubuhku bergetar. Ada jeda panjang, hening hanya diisi hujan deras dan suara tetesan air dari atap bocor. Bibirku bergetar, aku ingin mengucapkan sesuatu tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokan.
Suara hujan makin keras di luar. Genteng rumah tua seperti dihempas ribuan batu kecil. Udara semakin dingin tapi tubuhku justru terasa panas. Jari-jariku tanpa sadar bergerak menyusuri tepi meja kayu yang lembap. Gerakannya pelan sampai akhirnya berhenti tepat di atas sampul buku catatan itu.
Mata Burhan langsung menoleh. Tatapannya jatuh ke tanganku lalu naik ke wajahku. Aku ikut menatap balik. Untuk sesaat waktu terasa berhenti. Dalam sorot matanya ada sesuatu yang selama ini hanya kubaca di halaman-halaman catatan. kini terasa nyata, hadir di hadapanku. Dadaku bergetar hebat, bukan hanya karena gugup tapi juga karena ada rasa yang tak bisa kutolak.
Aku menarik napas panjang. Tanganku gemetar saat perlahan membuka kembali buku itu di depan kakek angkatku. Halaman yang penuh tulisan terbuka. tinta hitamnya sudah mulai pudar tapi masih jelas terbaca. Cahaya lilin jatuh tepat di atas kata-kata yang dulu ia tulis dengan tangan gemetar.
Aku mengangkat wajah. Suaraku lirih, hampir tidak terdengar di antara derasnya hujan.
"Ini… semua tentang aku kan kek ?!!
Burhan tidak langsung menjawab. Wajahnya kaku dan matanya tidak lepas dari halaman buku itu lalu kembali menatapku. Ruangan terasa semakin sempit hanya ada suara hujan, detak jantungku dan tatapan yang membuatku hampir kehilangan napas.
Lelaki tua itu terdiam. Jemarinya sedikit bergetar di atas meja. Sorot matanya menunjukkan keraguan, ada rasa bersalah tapi juga ada sesuatu yang seperti mendidih di balik tatapannya. Aku menunduk dan wajahku memanas lalu berkata pelan
"Aku sudah baca semuanya… dan aku nggak bisa berhenti mikirin itu. Kataku lirih sambil meremas ujung daster tipisku.
Ruangan hening. Suara hujan deras di luar jadi satu-satunya yang terdengar. Tetesan air dari atap bocor jatuh ke ember di sudut ruangan, ritmenya membuat suasana makin menegangkan.
Perlahan Burhan mengulurkan tangannya ke arahku. Jemarinya yang kasar menyentuh punggung tanganku di atas meja. Sentuhan itu sederhana, tidak lebih dari sentuhan ringan tapi tubuhku langsung bergetar hebat. Rasanya seperti garis tipis antara fantasi yang kutemukan di halaman buku dan kenyataan akhirnya runtuh malam itu.
Jemarinya hanya diam menempel di punggung tanganku. Sentuhannya tidak menekan, hanya berhenti di sana, tapi cukup untuk membuat kulitku merinding. Aku bisa merasakan jelas perbedaan usia puluhan tahun di antara kami. Kulit mudaku yang halus beradu dengan kulit tuanya yang penuh gurat kehidupan. Dadaku terasa sesak, tapi sekaligus hangat.
Aku mendongak perlahan, menatap matanya lagi. Tatapan itu tidak sama dengan dulu. Tatapan itu membuatku sulit bernapas, seolah aku sudah terseret masuk ke dalam isi catatannya sendiri.
Aku menggigit bibir dan ingin menarik tanganku, tetapi tubuhku terasa kaku sehingga aku tidak bisa bergerak. Tatapanku jatuh ke arah tangan kami yang saling menempel di atas meja kayu usang itu.
"Lin… suara Burhan terdengar serak dan berat seolah penuh keraguan. "Seharusnya kamu nggak baca tulisan itu..
Aku menelan ludah lalu berbisik pelan.
"Tapi aku udah baca semuanya. Dan aku… aku juga ikut merasakannya.
Suasana hening untuk beberapa saat. Hujan di luar makin keras dan terdengar seperti genderang yang terus dipukul. Lilin di meja bergoyang karena angin dari celah jendela sehingga cahaya dalam ruangan makin redup. Pelan-pelan aku membalik telapak tanganku sehingga genggaman itu kini datang dariku. Burhan menarik napas panjang dan dadanya terlihat naik turun. Wajah tuanya menegang seolah ia sedang menahan sesuatu yang sudah lama ia sembunyikan.
Tanpa banyak kata aku berdiri dari kursi. Daster tipis bertali yang kupakai ikut bergerak mengikuti tubuhku dan terasa menempel karena udara lembap dari hujan. Aku melangkah mengitari meja lalu berhenti di samping kursi tempat Burhan duduk.
Ia mendongak menatapku. Matanya terlihat campur aduk, ada rasa bersalah, ada keraguan tetapi ada juga sesuatu yang jelas ia sembunyikan dengan susah payah. Aku menunduk dengan wajah penuh gairah lalu menyentuh bahunya dengan tangan gemetar.
"Kalau memang aku yang selalu ada di pikiran Kakek… Bisikku pelan dan hampir tidak terdengar. "Malam ini… biarkan aku benar-benar jadi milik kakek..
Burhan tidak langsung menjawab. Kedua matanya menatapku tajam seolah memastikan ia tidak salah dengar. Aku menunduk lebih dekat sampai wajahku hanya sejengkal dari wajahnya. Aku bisa mencium campuran aroma kopi, hujan, dan samar wangi dari leherku sendiri yang masih tersisa setelah mandi tadi sore.
Aku menahan napas ketika tangannya terangkat. Jemarinya terasa kasar, hangat, dan perlahan menyentuh pipiku. Sentuhan itu membuat seluruh tubuhku merinding. Ia menarik wajahku ke arahnya dan bibir kami pun bertemu. Awalnya ragu, sekadar sentuhan singkat tetapi dengan cepat berubah jadi lebih dalam dan penuh gairah. Rasanya seperti semua kalimat di catatan yang sempat kubaca kini meledak jadi kenyataan di hadapanku.
Aku menghela napas panjang dan seluruh tubuhku langsung merinding. Jemariku mencengkeram kuat bahu Burhan, sementara jantungku berdegup sangat kencang seakan ingin meloncat keluar. Setiap kali bibirnya menyentuh bibirku, aku merasakan sesuatu yang asing sekaligus terlarang namun hal ini justru membuatku semakin larut di dalamnya.
Ciuman itu terputus sebentar ketika kami sama-sama menarik napas. Aku menunduk dengan pipi hangat memerah dan bibirku terasa basah berkilau diterpa cahaya lilin. Jemariku masih menekan bahunya erat seakan aku tidak ingin lepas, seakan tubuhku sendiri butuh pegangan agar tidak roboh.
Burhan menatapku lekat-lekat. Aku bisa melihat matanya bergetar dipenuhi keraguan antara menolak dan menyerah. “Lin… kita tidak seharusnya begini. Tulisan Itu hanya khayalan liar semata.. Gumamnya dengan suara serak yang nyaris pecah.
Aku menggeleng pelan dan wajahku tetap sangat dekat dengannya. “Aku yang memilih kek… aku yang membuka buku itu… dan aku juga yang menginginkan semua ini terjadi. Jawabku lirih namun penuh keyakinan.
Tanganku yang gemetar perlahan menekan bahunya lalu aku mengangkat kakiku dan duduk di pangkuannya menghadap ke arahnya. Kursi kayu itu langsung berderit pelan menahan beban kami berdua. Daster tipis bertali yang kukenakan ikut tersingkap sedikit di bagian pahaku sehingga kulitku langsung bersentuhan dengan kain celana tuanya yang kasar. Burhan terdiam dengan tubuh kaku sementara aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang menyatu dengan tubuhku. Posisi saling berhadapan itu membuatku yakin bahwa batas di antara kami sudah benar-benar hilang
Aku menunduk lagi dan bibirku langsung menyentuh bibir Burhan. Kali ini bukan lagi ragu, melainkan terasa dalam dan penuh gairah. Tanganku yang halus merayap ke belakang lehernya lalu menarik tubuhnya semakin dekat. Daster tipis yang kupakai ikut bergeser hingga bahu kiriku terbuka, menampilkan kulit putih yang terasa dingin karena udara lembap.
Jemari Burhan yang kasar karena bertahun-tahun menggiling kopi dan mengangkat karung berat bergerak hati-hati ke pinggangku. Sentuhan itu membuatku mendesah kecil di sela ciuman. Tubuhku bergetar hebat, namun bukannya menjauh, aku justru menekan tubuhku lebih rapat padanya.
Suara hujan di luar semakin deras hingga menenggelamkan semua bunyi di rumah tua ini. Lilin di atas meja bergoyang ditiup angin dari celah jendela, cahayanya jatuh ke daster tipis yang semakin terbuka sedikit demi sedikit. Kulitku yang hangat terekspos di hadapan lelaki tua itu, dan aku bisa merasakan tatapannya yang dalam.
Aku memejamkan mata, bibirku terlepas perlahan dari ciumannya, lalu aku menempelkan bibirku di dekat telinganya. Napasku gemetar, suaraku manja, namun jelas.
“Kek… tulisanmu di buku itu… biarkan jadi kenyataan malam ini.
Tubuhku masih bergetar ketika aku berbisik di telinga Burhan. Kata-kataku sendiri terasa seperti kunci yang membuka pintu fantasi terlarang, pintu yang selama ini hanya terkunci di lembaran lusuh catatan kulit itu.
Dengan gerakan ragu namun penuh hasrat, jemari kasarnya bergerak menyusuri sisi pinggangku lalu naik ke punggungku yang halus. Daster tipis yang kupakai sebenarnya longgar dan hanya bertahan oleh sepasang tali kecil di bahu. Saat tangannya menarik sedikit, kain itu langsung melorot dan memperlihatkan bahuku yang putih dalam cahaya remang lilin.
Aku memejamkan mata dan tubuhku menegang sesaat sebelum akhirnya melemas. Napasku ikut bergetar, pipiku memanas karena malu, tetapi sensasi panas justru menjalar ke seluruh tubuhku. Jemarinya terus menjelajah, dan aku malah merapatkan tubuhku sendiri, duduk lebih dalam di pangkuannya hingga bisa merasakan hangat tubuh tuanya menempel erat di kulitku.
Suara hujan di luar semakin deras hingga benar-benar menelan dunia, seakan menyisakan hanya aku dan dia di dalam rumah tua ini. Aku menggigit bibir, lalu kedua tanganku pelan-pelan terangkat sendiri. Aku menarik talinya dan membiarkan dasterku jatuh lebih jauh sehingga bagian dadaku terbuka di bawah cahaya lilin yang bergetar.
Burhan menahan napas ketika melihat dasterku turun kebawah. Matanya bergetar seolah tidak percaya karena isi catatannya kini benar-benar menjelma nyata di depan mata. Jemarinya ikut bergetar saat menyentuh kulit mudaku yang halus, lalu aku langsung mendesah kecil. Tubuhku melengkung menanggapi sentuhan itu dan aku tidak bisa lagi menyembunyikan gejolak yang bergemuruh di dalam dadaku.
“Lin…” bisiknya lirih, suaranya serak dan hampir tidak terdengar.
Aku membuka mataku setengah, lalu menatapnya dengan sorot mata yang campur aduk antara malu dan berani. “Tulisan Kakek… sekarang aku yang akan jalani. Perlakukan aku seperti yang kakek inginkan dalam buku catatan itu.
Kalimat itu membuatnya kehilangan seluruh benteng terakhir. Ia langsung menarik tubuhku lebih dekat hingga aku bisa merasakan dadanya yang keras dan hangat menempel pada tubuhku. Bibirnya menempel di leherku, lalu ia menciumi kulitku yang masih beraroma sabun bercampur keringat tipis. Aku mendesah lebih keras, jemariku mencengkeram bahunya erat-erat, sementara nafasku naik turun dengan cepat karena tubuhku sudah tidak bisa lagi tenang.
Daster tipisku yang tadinya masih menutup tubuh kini benar-benar tersingkap. Kainnya tersingkap hingga kulitku terekspos sepenuhnya di dalam dekapan lelaki tua itu. Aku bisa merasakan setiap sentuhan kasar jemarinya di kulit halusku dan aku sadar fantasi yang dulu hanya berupa tinta di buku catatan kini sudah hidup nyata di sini. Ia hadir dalam daging, dalam napas, dan dalam panas tubuh yang menyatu erat denganku.
Malam itu, di rumah Pecinan yang penuh rahasia, tulisan-tulisan lama di buku catatan akhirnya benar-benar terwujud. Aku menyerahkan diriku sepenuhnya hingga menjelma menjadi fantasi yang selama ini hanya bisa dibayangkan oleh kakek angkatku.
Tubuhku kini sudah hampir telanjang di pangkuannya. Daster tipis yang tadinya melekat kini jatuh berantakan ke lantai. Kulitku yang muda dan putih kontras dengan jemarinya yang kasar. Sentuhan tangannya terasa gemetar saat menyusuri kulitku, seakan ia sendiri tidak percaya bahwa semua ini nyata.
Aku memejamkan mata dan kepalaku terlempar ke belakang ketika bibir tuanya menelusuri leherku lalu turun ke dadaku. Desahan lirih keluar dari bibirku tanpa bisa kutahan. “Kek… biarkan aku membalas budi baikmu. Kakek sudah menyelamatkan hidupku waktu itu.. Suaraku parau bercampur malu dan permohonan yang tidak bisa lagi kusembunyikan.
Tangannya meraba pinggangku dengan gerakan naik turun. Jemarinya terus mengikuti lekuk tubuhku yang selama ini hanya ia tulis di dalam catatan. Aku menggeliat di pangkuannya karena tubuhku semakin panas. Kedua pahaku merapat lalu terbuka bergantian, seakan tubuhku sendiri mengundang untuk disentuh lebih jauh.
Dengan gerakan penuh gairah, aku sendiri yang menuntun tangan kakek angkatku untuk turun lebih jauh ke bagian paling sensitif dari tubuhku. Sentuhan pertamanya di sana membuat tubuhku langsung melenting dan desahanku pecah lebih keras. Dadaku naik turun cepat seakan aku kehabisan napas. “Aaahh… K-akek… panggilku dengan suara parau dan bergetar.
Burhan tidak lagi bisa menahan diri. Ia mengangkat tubuhku dengan tenaga yang masih tersisa pada usianya lalu meletakkanku di atas meja kayu tua berbentuk persegi, meja yang biasanya dipakai untuk meracik kopi. Permukaannya dingin menempel di kulitku, tetapi panas tubuhku membuat kontras itu terasa menggairahkan. Aku berbaring dengan rambut hitam yang terurai berantakan di permukaan meja, dadaku terbuka sepenuhnya dan pahaku melebar menyambutnya tanpa ragu.
Kami saling menatap dalam hening. Sesaat waktu terasa berhenti karena hanya ada suara hujan di luar dan detak jantung kami yang berpacu keras. Nafas Burhan makin berat, tubuhnya condong ke arahku dari posisi berdiri di depan meja.
Tubuhku yang telentang di atas meja bergetar ketika pinggulnya mendorong kuat ke arahku. Aku terpekik kecil, tanganku mencengkeram pinggiran meja agar tidak bergeser. Bahuku tertahan oleh genggaman tangannya yang kasar sehingga aku tak bisa banyak bergerak. Rasa kaget itu cepat berubah menjadi gelombang hangat yang menjalar ke seluruh tubuhku.
Meja tua berderit setiap kali tubuhnya menghantamku. Nafasku tersengal, dadaku naik turun keras, kepalaku terhempas pelan ke permukaan kayu. Tangannya mencengkeram pinggangku semakin kuat, menarikku mendekat, sementara kulit kami yang bergesekan menimbulkan panas yang makin menyulutku.
Kedua kakiku yang sejak tadi menjuntai di tepi meja bergerak tanpa sadar, satu menekuk di sisi meja dan satu lagi melingkar di tubuhnya. Aku hanya bisa merintih, tubuhku bergetar mengikuti iramanya yang semakin cepat dan berat.
Keringat di dahinya jatuh ke wajahku, bercampur dengan air mataku yang keluar tanpa bisa kutahan. Semua rasa itu. sakit, malu dan nikmat bercampur jadi satu hingga membuatku benar benar kehilangan kendali.
Gerakannya makin dalam dan kuat. Aku spontan melingkarkan kedua kakiku di pinggangnya, menahan agar dia tetap melekat. Suaraku pecah dalam desahan panjang setiap kali tubuhnya menghantamku, sementara meja kayu tua terus berderit di bawah kami.
Tubuh Burhan semakin berat menindihku. Dorongannya makin cepat dan dalam, membuat meja tua itu bergetar keras. Nafasku terputus putus, desahanku pecah jadi jeritan kecil yang tak bisa kutahan. Tanganku beralih meraih bahunya, kukuku menancap di kulitnya karena tubuhku sudah tak sanggup menahan gelombang kenikmatan yang datang bertubi tubi. Kedua kakiku melingkar erat di pinggangnya seakan menahan agar dia tidak melepaskanku.
Panas di dalam tubuhku kian menumpuk hingga rasanya mau meledak. Aku menggeliat hebat, punggungku melengkung dari permukaan meja, bibirku terbuka melepas suara panjang yang pecah bersama derasnya rasa yang menyalakan seluruh tubuhku.
“Aahhh… Kaaakeeek… aku… aku—!” suaraku pecah, tubuhku mengejang hebat, lalu gelombang hangat itu meledak dari bawah perutku. Aku menjerit panjang sambil mencengkeram punggung Kakek, kukuku menancap ke kulit tuanya.
Seluruh tubuhku gemetar keras, punggungku melengkung, dan aku jatuh dalam kenikmatan yang membuatku hampir kehilangan kesadaran. Beberapa hentakan terakhir dari Kakek menyusul. Tubuhnya rentanya menegang, napasnya tersengal lalu dia pun melepaskan semua puncak kenikmatannya di dalam tubuhku. Crott.. Aku bisa merasakan lendir hangat itu memenuhi tubuhku, deras dan banyak seolah semua fantasi liar yang pernah ia tulis di buku catatan akhirnya tumpah di dalam diriku malam ini.
Aku terkulai lemas, napasku masih tersengal, dan Kakek tetap menindihku dengan tubuhnya yang berat. Di luar, hujan tidak berhenti, tapi bagi kami berdua dunia seakan hilang. Yang ada saat ini hanyalah ledakan gairah dalam tubuh, sisa-sisa getaran, dan kenyataan bahwa semua batas sudah runtuh.
Kami terkulai di atas meja kayu yang dingin. Nafas masih terengah-engah, keringat menempel di kulit, dan pelukan Kakek masih menahan tubuhku agar tidak jatuh. Hujan di luar belum reda, tapi bagiku semua suara seperti menghilang, kecuali detak jantung kami yang saling bertubrukan. Aku menutup mata, wajahku masih panas, lalu berbisik dengan suara pelan yang nyaris tercekat namun juga penuh lega.
“Sekarang… khayalan itu sudah jadi nyata kek..
Aku bisa merasakan tubuh Kakek bergetar kecil. Entah karena kelelahan atau karena kata-kataku. Yang jelas. Malam itu di rumah tua kawasan Pecinan, catatan lusuh yang dulu hanya penuh coretan terlarang akhirnya benar-benar hidup di dalam tubuhku. Aku menyerahkan diriku sepenuhnya dan ia menerimanya tanpa lagi ada batas.
Semuanya sudah berubah
Pagi menjelang, hujan berhenti perlahan, menyisakan aroma tanah basah yang merembes masuk dari celah jendela. Sinar pucat matahari menembus kisi-kisi, jatuh di permukaan meja kayu panjang. Aku membuka mata pelan, tubuhku masih terasa berat, daster tipis yang semalam jatuh kini kusut menempel di kulit.
Kakek sudah duduk di kursi, pandangannya jatuh ke arahku. Wajahnya lelah, matanya sayu, namun ada sesuatu yang tidak bisa ia sembunyikan.kehangatan yang justru membuatku tenang. Aku bangkit dengan gerakan hati-hati, duduk di tepi meja, lalu menunduk menatapnya. Pipi dan dadaku masih terasa panas ketika aku sadar betul apa yang telah kami lakukan.
Namun rasa hangat di dadaku menyingkirkan penyesalan. Aku justru merasa utuh, seakan bagian diriku yang selama ini kosong akhirnya terisi. Suaraku keluar pelan, sedikit serak, tapi mantap.
“Kek… panggilku. Mataku mencari sorot matanya.
Lelaki tua itu akhirnya menghela napas panjang. Bahunya naik turun berat lalu matanya menatapku dengan ragu.
“Lin… apa yang kita lakukan semalam… mungkin tak pernah seharusnya terjadi. ucapnya pelan. Suaranya serak, dan tatapannya bergetar seolah sedang bertarung dengan dirinya sendiri.
Aku justru tersenyum samar. Jemariku bergerak meraih tangannya yang kasar, lalu kugenggam erat, merasakan gurat kehidupan di sana. “Tapi aku yang memilih. kataku pelan sambil menunduk. “Aku tahu semua dari catatan itu… dan aku tetap datang padamu.
Aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Bahu itu keras, penuh gurat usia, tapi terasa hangat bagiku. Napasku teratur perlahan, lalu kuucapkan dengan lirih, “Aku nggak menyesal.”
Ruangan itu hening. Hanya ada suara kicau burung dari luar, tanda pagi benar-benar datang menggantikan hujan malam tadi. Lelaki tua itu tidak langsung menjawab, tapi tangannya akhirnya membalas genggamanku, meski masih bergetar. “Kalau begitu… rahasia ini hanya milik kita berdua. Jangan ada yang tahu, ya?”
Aku mengangguk pelan, pipiku menyentuh bahunya. “Rahasia kita,” bisikku dengan bibir yang melengkung kecil penuh arti.
Kembali Pada Rutinitas
Hari itu kami kembali pada rutinitas seperti biasa. Sejak pagi buta, suara mesin giling tua sudah terdengar dari dapur belakang. Kakek angkatku sibuk menakar biji kopi yang sudah disangrai semalam, lalu menuangkannya ke dalam mesin giling. Jemarinya yang kasar memutar tuas dengan sabar hingga menghasilkan bubuk kopi pekat beraroma kuat. Karung-karung kecil sudah disiapkan di meja panjang, masing-masing akan diisi bubuk hitam itu untuk dijual kiloan kepada pelanggan tetap.
Aku membantu dengan menimbang hasil gilingan, memastikan setiap plastik berisi sesuai permintaan. Ada yang membeli setengah kilo, ada yang satu kilo, bahkan ada yang memesan dalam jumlah besar untuk kedai kopi di pasar. Setelah menimbang, aku menutup kemasan rapat-rapat dengan sealer panas, lalu menyusunnya rapi di rak kayu.
Suasana rumah tua itu ramai dengan aroma kopi yang memenuhi udara, bercampur dengan suara hujan sisa semalam yang masih menetes di luar genteng. Sesekali pintu depan diketuk pelanggan. Aku menyambut mereka dengan senyum tipis, menawarkan kopi kiloan yang baru digiling, sementara Kakek tetap duduk di dekat mesin, menambahkan biji lagi dan lagi ke corong besi.
Bagi orang luar, semua tampak biasa. Seorang lelaki tua yang ulet dengan pekerjaannya, ditemani gadis muda yang rajin membantu. Namun setiap kali mata kami beradu di sela aktivitas itu. Saat aku menyerahkan plastik kopi yang sudah ditimbang, atau ketika ia menoleh memastikan timbanganku tepat. Kali ini ada sesuatu yang berbeda. Pandangan itu hanya sesaat, secepat kedipan, tapi cukup membuat dadaku berdebar.
Ada rahasia di balik rutinitas sederhana ini. Rahasia yang tidak akan pernah dipahami para pelanggan yang hanya datang untuk membeli kopi bubuk. Ikatan itu terlarang, tapi justru semakin mengikat kami berdua, seolah setiap butir kopi yang tergiling menyimpan cerita malam sebelumnya.
Di tengah aroma pekat yang memenuhi ruangan, aku sadar, hidupku di rumah Pecinan ini tidak lagi sekadar membantu. Aku sudah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih dalam. Sebuah ikatan yang hanya bisa kami simpan berdua, diam-diam, di balik wajah tenang dan senyum ramah yang kami tunjukkan pada dunia luar.
Buku catatan tua itu kini tersimpan kembali di dalam lemari kayu, tersembunyi dari pandangan. Tetapi aku tahu, halaman-halaman berikutnya tidak lagi sekadar tulisan fantasi. Malam itu telah menjadikan aku bagian dari kenyataan yang tak mungkin bisa dihapus.
Dan di dalam rumah tua Pecinan yang penuh rahasia, aku kini hidup dengan dua wajah. Di mata orang luar aku tetap cucu angkat yang manis, rajin membantu, dan selalu tersenyum sopan. Tetapi di balik dinding rumah ini, aku sudah jadi perwujudan fantasi terdalam lelaki tua yang membesarkanku.
Beberapa malam berlalu sejak hujan deras itu. Kehidupan rumah tua tampak sama saja bagi tetangga. Kakek angkatku masih sibuk meracik kopi, menakar bubuk dengan telaten, menyapa pelanggan dengan ramah. Aku masih kuliah, masih ikut membantunya, dan masih memberi salam sopan pada tetangga yang lewat di depan rumah. Namun di balik semua itu, kami menyimpan rahasia yang tak seorang pun bisa tebak.
Aku sering memikirkan malam itu. Setiap kali aku berjalan di rumah dengan daster tipis, aku sadar matanya sempat menoleh ke arahku, meski cepat sekali ia palingkan wajah. Setiap kali aku menuang air panas ke gelas kopi, ada debar di dadaku karena aku ingat bagaimana tangan kasarnya pernah menyentuh kulitku. Rutinitas sehari-hari terasa biasa, tapi aku tahu ada sesuatu yang berubah.
Hasrat Dimalam Berikutnya.
Malam ketiga setelah hujan, rumah kembali sepi. Aku berjalan ke kamar belakang, membuka lemari kayu jati yang berdebu, lalu menarik keluar buku catatan tua itu. Sampul kulitnya kusam, namun saat kusentuh aku merasa seolah sedang memegang kunci rahasia hidupku sendiri.
Aku meletakkannya di atas meja, lalu menyalakan lampu meja kecil di sudut ruangan. Cahaya kekuningan menyebar lembut, cukup untuk menerangi halaman-halaman lusuh itu. Bayangannya jatuh di dinding, menciptakan suasana tenang sekaligus membuat dadaku berdebar tak karuan.
Aku membuka halaman yang dulu membuatku tidak bisa tidur. Kata-kata itu masih sama, penuh fantasi tentang diriku, tapi kini terasa lebih dekat karena aku sudah menjalaninya. Aku menarik napas panjang, lalu mengambil sebuah pena. Tanganku bergetar sebentar sebelum ujungnya menyentuh kertas. Untuk pertama kalinya, aku menulis balasan di bawah paragraf terakhir. Ada sebuah jejak nyata dari diriku yang kini masuk ke dalam catatan itu.
"Malam itu aku bukan hanya tokoh di dalam catatan. Aku sendiri yang memilih. Aku ingin lebih. Aku ingin setiap sentuhan, setiap desahan, bukan lagi milik tulisanmu, Kek, tapi nyata di tubuhku sendiri. Dan mulai malam ini, aku akan menuliskan fantasi milikku…
Tanganku terus bergerak. Ujung pena menari di atas kertas, menuliskan imajinasi yang selama ini hanya berputar di kepalaku. Aku menulis tentang bagaimana aku ingin dicumbu di dapur saat aroma kopi memenuhi ruangan. Aku menulis tentang diriku yang ingin dibaringkan di kursi rotan ruang tamu, ditemani cahaya lampu minyak. Aku bahkan menulis tentang diriku yang sengaja berjalan tanpa bra di balik daster, menunggu tatapan penuh rahasia dari kakek angkatku.
Saat kata-kata itu selesai, aku menutup pena. Wajahku terasa panas, pipiku memerah, dan dadaku naik turun cepat. Aku sendiri terkejut dengan apa yang baru saja kutulis, seolah semua yang kupendam mendadak keluar tanpa bisa kuhentikan. Namun sebelum sempat menutup buku, aku mendengar suara langkah pelan dari lorong gelap.
Aku menoleh, dan sosok kakek angkatku muncul. Rambutnya sedikit berantakan, matanya sempat terbelalak sebelum akhirnya terpaku pada diriku. Ia melihatku duduk dengan buku catatan terbuka dan pena masih di tanganku.
“Lin… suaranya pelan, serak, seperti menahan sesuatu. “Apa yang kamu lakukan?
Aku tersenyum samar meski wajahku masih memerah. Dengan hati-hati aku mendorong buku itu ke arahnya. “Sekarang bukan cuma catatan Kakek yang berisi fantasi. Aku juga sudah menulis milikku. Dan aku ingin… kita mewujudkannya.
Ia melangkah mendekat. Jemarinya meraih buku itu, lalu matanya membaca beberapa baris tulisan yang baru saja kutinggalkan. Aku bisa melihat jemarinya gemetar ketika menyentuh kertas. Tubuhnya menegang, dan perlahan tatapannya naik, bertemu dengan mataku.
Aku berdiri, daster tipis yang kupakai sengaja kubiarkan terbuka di bahu. Cahaya lampu meja membuat kulitku terlihat samar, hangat, seakan mengundang. Ia menatapku lama, seolah ingin memastikan apakah ini nyata atau hanya kelanjutan mimpi dari catatan tuanya.
Aku melangkah pelan mendekati Kakek. Tangannya masih memegang buku catatan yang terbuka, matanya terpaku pada tulisan-tulisanku. Aku meraih tangan kasar itu, lalu menempelkannya ke dadaku sendiri yang berdebar keras. Suaraku keluar lirih, hampir seperti bisikan, tapi ada keberanian yang baru saja kutemukan.
“Mulai malam ini. aku bukan hanya bagian dari fantasi Kakek. Aku juga penulisnya dan aku ingin kita mewujudkan setiap kata yang kutulis.
Kakek terdiam. Aku bisa melihat jemarinya sedikit bergetar ketika ia menatap halaman terakhir di buku itu. Semua kalimat yang kutulis begitu jelas, penuh keinginan yang tidak lagi bisa kusimpan. Aku berdiri tepat di depannya dengan daster tipis yang sudah separuh terbuka, dan aku tahu betapa rentan sekaligus beraninya diriku malam ini.
Aku menggenggam tangannya lebih erat, lalu menuntunnya keluar kamar belakang. Lantai ubin terasa dingin di telapak kakiku, setiap langkah memantulkan gema halus di lorong yang remang. Udara malam masuk lewat celah jendela, membawa aroma debu bercampur kayu tua, membuat jantungku semakin berpacu.
Ketika kami sampai di dapur, hanya lampu neon kecil yang menerangi ruangan. Cahayanya putih pucat, menyebar rata, menebarkan bayangan samar di dinding. Aroma kopi sore tadi masih pekat di udara, berpadu dengan dinginnya malam. Aku berhenti di tengah ruangan dan menatap meja kayu besar yang biasanya dipakai Kakek untuk menakar biji kopi.
Aku menoleh padanya, lalu berkata dengan suara pelan namun tegas.
“Di catatan tadi… aku menulis kalau aku ingin di sini.
Kakek menatapku lama, napasnya berat seakan menimbang. Ia akhirnya meletakkan buku catatan itu kembali ke rak, seolah benar-benar menyerahkan dirinya pada kenyataan yang kini kami hadapi. Tangannya terulur, menyentuh pipiku dengan lembut meski kulitnya kasar. Jemarinya turun perlahan ke leher lalu berhenti di bahuku yang terbuka.
Aku memejamkan mata. Tubuhku bergetar, tapi bukan karena takut. Aku justru merapat, membiarkan sentuhan itu semakin dalam. Aku sadar, mulai malam ini aku sendiri yang menulis kisahku, bukan lagi hanya membaca fantasi dari catatan tua itu.
Perlahan, ia menarik tubuhku lebih dekat ke arahnya. Bibirnya menempel di leherku, menciumi kulitku yang panas hingga membuatku menggeliat dan mendesah pelan. Kedua tanganku bertumpu di meja dapur untuk menahan tubuhku yang melemah saat ia mendekap erat dari depan, membuatku benar-benar terperangkap dalam hangat dan berat tubuhnya.
Daster tipis yang kupakai ditarik pelan dari bahu. Kainnya melorot melewati dadaku, turun ke pinggang, hingga akhirnya terlepas seluruhnya dan jatuh ke lantai ubin. Aku menunduk sejenak, wajahku panas, sadar kalau kini tubuhku benar benar telanjang di hadapan lelaki tua itu.
Tangannya yang kasar menelusuri kulitku, dari pinggang naik ke dadaku. Jemarinya menekan lembut namun tegas, membuatku melengkungkan punggung tanpa bisa mengendalikan diri. Napasku memburu, kakiku otomatis naik melingkari pinggangnya, seakan tubuhku sendiri sudah meminta lebih.
Ia lalu meraih pinggangku dan membaringkan tubuhku di atas meja. Permukaan kayu yang dingin menyentuh punggungku, membuatku bergidik sejenak. Kedua kakiku kini menjuntai ke bawah di sisi meja, lututku sedikit menekuk mengikuti posisi tubuh.
Tubuhku sepenuhnya pasrah di bawahnya, sementara ia berdiri kokoh di pinggir meja, menatapku dari atas dengan sorot mata yang membuat nafasku semakin kacau. Tangannya kembali meremas payudaraku, lalu turun ke pinggang, menahanku agar tidak bergeser dari posisiku.
Aku merasakan batangnya yang keras dan panas menggesek pangkal pahaku. Detik itu jantungku berdegup kencang, suaraku nyaris pecah. Dalam satu dorongan kuat, ia menghujam masuk menembus liang kewanitaanku dalam sekali.
“Aahh…!” pekikku pecah, tubuhku terangkat dari tepi meja karena hentakan pertama yang begitu dalam. Rasa perih singkat langsung bercampur dengan gelombang nikmat tajam, membuatku mencengkeram punggungnya erat-erat.
Tubuhku masih terbaring telentang di atas meja, rambutku terurai berantakan menutupi pipi. Dadaku naik turun cepat, napasku terengah. Ia berdiri kokoh di pinggir meja, tubuhnya menunduk sedikit sambil menekan pinggulku agar tetap berada di ujung.
Batangnya menghujam keras setiap kali pinggangnya maju, membuat tubuhku terangkat sedikit lalu jatuh lagi ke permukaan kayu. Suara meja berderit setiap kali hentakan itu masuk lebih dalam.
Tangannya mencengkeram pergelangan kakiku, mengangkatnya tinggi hingga lututku menekuk dan pahaku terbuka lebar. Sementara tangan satunya meremas payudaraku kasar, membuatku meringis sekaligus mendesah panjang.
“Lihat wajahmu, Caroline… kamu makin nggak bisa nahan,” ucapnya serak, dorongannya semakin mantap menghantam masuk tanpa ampun.
Aku hanya bisa menggenggam tepi meja, jari jariku menekan kuat. Setiap kali ia menghujam lebih keras, tubuhku ikut berguncang hebat. Suara desahanku pecah, bercampur dengan dentuman kayu meja yang nyaris tak kuat menahan beban kami.
Dadaku terekspos penuh di hadapannya. Ia merunduk sedikit, bibirnya bergantian menciumi leher dan dadaku, membuat tubuhku semakin panas. Aku tak bisa lagi menahan desahanku yang pecah setiap kali ia menekan lebih dalam.
Kakiku melingkar erat di pinggangnya, menahan agar ia tidak pergi. Setiap hentakan terasa lebih keras, membuat meja kayu itu bergetar dan mengeluarkan suara berderit panjang. Tubuhku otomatis menyesuaikan iramanya, pinggangku bergerak mengikuti setiap dorongan, seakan tubuhku sendiri haus akan setiap tusukan yang ia berikan.
Keringatnya menetes ke kulitku, bercampur dengan panas tubuhku sendiri. Aku bisa merasakan dadanya yang keras menempel rapat di dadaku setiap kali ia mendorong lebih dalam. Aku memejamkan mata, gigi bawahku menggigit bibirku sendiri, menahan jeritan kecil yang hampir pecah setiap kali kenikmatan itu menghantam dari dalam.
“Aaahh… Kek… jangan berhenti…” suaraku pecah, malu bercampur dengan rasa nikmat yang tak lagi bisa kucegah. Tanganku beralih dari meja ke punggungnya, mencengkeram kuat, sementara tubuhku bergetar karena irama kerasnya yang semakin cepat.
Meja kayu di bawahku terus berderit, gelas dan kain lap berjatuhan ke lantai, tapi aku sudah tidak peduli. Yang kurasakan hanyalah tubuhku dipenuhi olehnya, semakin dalam, semakin kuat, hingga aku sadar sebentar lagi aku akan mencapai puncak yang tak bisa kuhentikan.
Tubuhku masih telentang di atas meja dapur ketika ia tiba-tiba menghentikan gerakannya. Nafasnya berat, tangannya masih mencengkeram pinggangku. Aku membuka mata, menatap wajahnya yang berkeringat, lalu mendesah lirih, “Kenapa berhenti, Kek…?
Ia menarik pinggangku kuat hingga tubuhku berputar. Dari posisi telentang aku dipaksa tengkurap di atas meja. Dadaku menempel di permukaan kayu yang dingin, pipiku bersandar di sisi meja, sementara rambutku terurai berantakan menutupi wajah.
"Kakek mau coba dari belakang line.. ucapnya berat, hampir seperti geraman.
Satu tangannya menekan punggungku agar aku tetap menunduk, lalu tangan satunya membuka pahaku. Lutut kiriku bertumpu di atas pinggiran meja, pinggulku ikut terangkat, sedangkan kakiku yang kanan masih menapak di lantai agar tubuhku tidak jatuh. Posisi itu membuat pinggulku sedikit miring, cukup untuk memberinya ruang.
Burhan berdiri rapat di belakangku, tubuhnya menunduk sedikit menyesuaikan. Kedua tangannya mencengkeram pinggangku kuat-kuat, memastikan aku tidak bergerak ke mana pun. Aku hanya bisa meremas tepi meja erat-erat, tubuhku sepenuhnya pasrah di bawah kendalinya.
Lalu aku merasakan batangnya yang keras kembali menggesek di antara pangkal pahaku, dan dalam satu dorongan kuat, ia menghujam masuk dari belakang.
“Ahhh…!” aku hampir berteriak, tubuhku terangkat sedikit lalu terdorong ke depan lagi karena hentakan pertamanya. Rasa penuh itu kembali memenuhi tubuhku, kali ini lebih dalam, lebih menusuk.
Ia mencengkeram pinggangku erat. Menarik tubuhku kembali ke arahnya setiap kali ia mendorong maju. Tubuhku terhentak mengikuti gerakannya, membuat meja kayu berderit keras dan berguncang hebat. Suara kayu tua yang beradu menambah riuh suasana seolah hampir tak kuat menahan beban kami.
Aku menahan dengan kedua tangan di tepi meja. Jari-jariku sampai memutih karena cengkeramannya terlalu kuat. Nafasku terputus-putus, desahanku pecah tanpa bisa kutahan.
Pinggangku bergerak mundur mengikuti irama tubuhnya, seakan mencari keseimbangan agar bisa menerima setiap hentakan. Saat ia menghujam lebih keras, tubuhku bergetar hebat, dadaku bergesekan dengan permukaan kayu dingin yang kasar, membuat kulitku memerah.
Kakiku yang menapak di lantai ikut bergetar menahan tekanan, sementara lututku di atas meja semakin menekuk, membuat pinggulku terdorong lebih tinggi. Tubuhku nyaris tak punya tenaga untuk melawan, hanya bisa mengikuti dorongan kuat yang datang berulang-ulang.
“Aaahh… lebih dalam kek… jangan berhenti…” bisikku lirih dengan suara terputus, mataku terpejam rapat, tubuhku hampir lunglai tetapi terus dipaksa bertahan oleh cengkeramannya.
Tubuhku terguncang setiap kali batangnya menghujam keras dari belakang. Nafasku terputus dan dadaku menekan meja. Keringat bercampur dengan dinginnya permukaan kayu. Suara berderit dari meja makin keras, seakan bisa roboh kapan saja. Tangannya mencengkeram pinggangku makin kuat, seperti takut aku lepas. Tarikannya kasar, hentakannya dalam, batangnya terus menghantam masuk dengan brutal hingga tubuhku terpaksa mengikuti irama itu.
“Aku nggak akan berhenti sebelum kamu benar benar habis Caroline. Suaranya berat terengah di telingaku.
Kakiku bergetar, lututku hampir kehilangan tenaga. Setiap kali batangnya menghujam lebih keras, tubuhku terangkat sedikit lalu kembali menekan meja. Desahanku pecah tanpa bisa kutahan lagi, wajahku terbenam di permukaan kayu yang dingin.
Getaran mulai merambat dari pinggang ke seluruh tubuhku. Aku mencengkeram tepi meja semakin kuat, jariku kaku menahan sensasi yang makin memuncak. Hingga akhirnya tubuhku menegang hebat, punggungku melengkung, lalu aku merasakan ledakan hangat meledak dari dalam diriku.
“Aaaahhh…!” seruanku pecah, seluruh badanku melemas, tapi ia masih menghujam batangnya dengan keras, seolah mengejar puncaknya sendiri.
Beberapa detik kemudian tubuhnya pun ikut bergetar, genggamannya di pinggangku makin kencang. Hentakan terakhir menghantam lebih dalam, lalu napasnya pecah berat saat ia ikut terlepas bersamaku. Suasana hening seketika. Yang terdengar hanya napas kami yang sama sama terengah, meja masih bergetar kecil, dan keringat yang menetes dari tubuh kami.
Burhan masih menahan pinggangku erat dari belakang. Nafasnya berat, dadanya menempel di punggungku, membuatku merasakan hangat sekaligus berat tubuhnya. Peluhnya menetes ke kulitku yang sudah lembap, bercampur dengan sisa keringatku sendiri.
Aku terkulai di atas meja dengan dada menempel permukaan kayu, kedua lenganku lemas terulur ke depan. Kakiku masih gemetar, lututku tak sanggup menopang kalau saja aku berdiri.
Perlahan genggaman Burhan melonggar. Tangannya yang tadi menekan pinggangku bergeser ke punggung, mengusap pelan seperti menenangkan. Ia menunduk, bibirnya hampir menyentuh telingaku. “Kamu nggak apa apa kan. Bisiknya parau.
Aku hanya bisa mengangguk kecil, pipiku masih menempel di permukaan meja yang dingin. “Aku… baik baik aja kek. Suaraku serak dan nyaris hanya berupa desahan.
Burhan menarik tubuhnya mundur pelan, lalu membantu meraih bahuku agar aku tidak jatuh ke lantai. Dengan hati hati ia membalutkan kain yang ada di kursi ke tubuhku dari belakang, menutupiku agar tidak kedinginan. Udara malam menyelinap lewat celah dinding, membuatku merinding. Tapi dengan tangannya yang tetap menahan pundakku, ada rasa aman yang perlahan menggantikan sisa sakit di tubuhku.
caroline membalas budi kakek angkatnya...kini jadi teman si kakek
BalasHapuswuidihh dapet jarahan mahal si burhan nihh
BalasHapus