Langsung ke konten utama

Dara Dara Muda


“Lepasin gue!”, Gina menepis tangan Bimo yang memegang lengannya.
“Gin, dengerin penjelasan gue dulu…”.
Gadis cantik itu terus meronta berusaha melepaskan pegangan Bimo di lengannya. “Lu tu emang cowok bangsat, gue nggak perlu perjelasan dari lu!”.
“Tapi Gin, semua yang lu liat itu nggak seperti yang lu pikirin…”.
“Gue bisa menilai sendiri apa yang gue liat Bim!”
“Tapi Gin…”, pegangan tangan Bimo sempat terlepas, namun pemuda itu kemudian kembali memegang kedua lengan Gina.
“Lepasin gue Bim!”.
Regina atau kawan-kawannya biasa memanggilnya Gina dan juga Bimo adalah sepasang kekasih – atau mantan kekasih tepatnya – karena dua hari yang lalu Gina baru saja memutuskan hubungan cinta mereka secara sepihak. Hubungan mereka sudah berjalan cukup lama, sekitar 8 bulan, namun semuanya kandas ketika hari itu dengan mata kepalanya sendiri Gina melihat pacarnya menggandeng gadis lain di sebuah pergelaran musik. Saking “murka”-nya, tanpa tedeng aling-aling Gina dengan penuh emosi langsung mendamprat keduanya dan pertengkaran hebat di depan publik pun tidak bisa terhindari lagi. Rupanya Bimo tidak ingin kehilangan cinta Gina dan masih berusaha memperbaiki hubungan mereka, walaupun semua usahanya itu nampaknya sia-sia belaka. Gina sama sekali tidak bisa memaafkan perbuatan Bimo yang berselingkuh dibelakangnya.


Regina

“Please Gin, tolong dengerin gue dulu…”.
“Mending lu pergi Bim, gue udah muak denger omongan lu!”.
“Gin…”, di tengah rontaan Gina, Bimo masih berusaha sekuat tenaga memegang lengan gadis cantik itu guna mencegahnya pergi.
“Lepasin gue!”, Gina terus meronta dan meronta.

Aksi saling tarik menarik pun semakin hebat terjadi antara keduanya. Karena pertengkaran tersebut terjadi di depan sekolah, maka aksi tersebut pun tak pelak mendapatkan perhatian dari beberapa murid yang kebetulan masih menunggu jemputan. Ditengah aksi saling tarik menarik diantara keduanya, dari dalam gedung sekolah nampak tiga orang gadis yang juga berseragam putih abu-abu berlarian menghampiri kedua remaja yang sedang bertengkar tersebut.

“Eh, lepasin temen gue!”, salah satu gadis berdandanan sporty langsung menarik tangan pemuda tersebut dari lengan Gina. Gadis tomboy itu adalah Karen, salah satu sahabat dekat Gina.

“Lu semua jangan ikut campur ya?”.

Gadis tomboy itu kemudian mendorong tubuh pemuda tersebut. “Kita ini temen baiknya Gina, harusnya lu itu yang pergi dari sini!”.

“Gue cuma mau ngomong aja sama Gina!”.
“Eh lu budek ya? Dari kemarin Gina itu udah bilang nggak mau lagi ngomong ama lu, jadi mending sekarang lu minggat deh dari sini!”.

Sementara keduanya bertengkar mulut, dua gadis lainnya nampak memegangi kedua pundak Gina seakan mencoba melindungi gadis cantik tersebut. Kedua gadis itu adalah Hanny dan Nietha, sahabat baik Gina juga.

“Gin… please dengerin gue Gin!”, Bimo berjalan maju dan mencoba menerobos halangan dari Karen.
“Mau kemana lu!”, Karen langsung menghalangi Bimo dengan kedua tangannya agar pemuda itu tidak bisa mendekati sahabatnya Gina.
“Minggir lu!”.

“Eh lu mau ribut-ribut disini? Lu kira gue takut ama lu!”.
Mendengar suara gaduh akibat pertengkaran tersebut, beberapa orang-orang laki-laki yang kebetulan berada disekitar tempat itu pun mulai mendekat. Melihat beberapa laki-laki yang mulai mendekati mereka tersebut Bimo pun nampaknya kemudian memilih untuk meninggalkan tempat tersebut.

“Ok gue pergi sekarang, tapi gue pasti balik lagi”, pemuda itu pun kemudian melangkah menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat tersebut.
Ada apa Non?”, tanya seorang laki-laki yang juga adalah seorang penjual es yang biasa mangkal di depan sekolah kepada Karen.

“Nggak ada apa-apa kok Pak, cuma orang iseng”, jawab Karen singkat
“Non semua nggak apa-apa kan?”.
“Nggak apa-apa kok Pak”.

Mendengar penjelasan Karen beberapa orang laki-laki yang kini nampak berkerumun di tempat itu pun satu per satu mulai membubarkan diri.
“Lu nggak apa-apa Gin?”.

Gina menggelengkan kepala.

“Brengsek banget sih tu cowok, udah ketangkep basah selingkuh masih juga cari-cari alesan!”.

“Udah ah Ren, gue males mikirin Bimo lagi”.

“Mending lu pulang ama kita aja Gin, kalo lu pulang sendiri takutnya Bimo ngejar lu lagi”, ucap Hanny, gadis berparas kalem dan berambut panjang yang kini masih memegang pundak Gina.

“Iya deh, kayaknya lu bener deh Han”.

“Ya udah yuk kita ke mobil gue”, kini giliran Nietha yang berbicara. Nietha berparas cantik, tak kalah dengan Gina dan kedua sahabatnya yang lain. Perawakannya terkesan centil dan berpipi chubby sehingga semakin menambah kesan imut-imut yang ada pada dirinya. Nietha adalah “sponsor” utama di dalam geng Gina, karena orang tuanya yang memang paling tajir diantara yang lain.
“Ok deh”.

Keempat gadis cantik itu pun melangkah menuju jalan depan sekolah, dimana mobil Nietha terparkir. Dan tak lama kemudian mobil picanto hitam itu pun melaju meninggalkan tempat tersebut.

“Bimo dapet ke rumah lu Gin?”, tanya Nietha dari belakang kemudi.

“Dapet sih, tapi nyokap bokap udah gue bilangin supaya bilang gue nggak ada kalo dia ke rumah, eh tadi malahan dia nyari gue ke sekolah”.

Kan dari awal gue udah bilang ke lu kalo Bimo itu cowok nggak bener”.

“Iya sih, tapi kan gue kira Bimo bisa berubah setelah gue pacarin”.
“Halah, pada dasarnya semua cowok sama aja kale”, Karen yang duduk di belakang bersama Hanny langsung berkomentar.

“Kalo gini terus gue jadi males pacaran lagi nih”.
“Nggak bisa gitu juga dong Gin, masih banyak kok cowok-cowok baik di dunia ini”, kini giliran Hanny yang berkomentar.

“Iya kayak cowok lu tu, udah lama pacaran tapi lu nggak diapa-apain juga hehehe”, Karen langsung menyambar komentar tersebut.
“Apaan sih…”, Hanny pun langsung menunduk malu dibuatnya.

“Jangan dengerin Karen Han, lu beruntung dapetin Deni, paling nggak dia bener-bener mencintai lu bukan cuma “mencintai” karena ingin ngedapetin tubuh lu secara gratisan”, Gina memutar tubuhnya dan menatap Hanny dengan pandangan sayu.

Ucapan  Gina tadi langsung membuat ketiga gadis lainnya tersentak. Mereka pun akhirnya hanya bisa membisu. Ketiganya bingung harus memberikan komentar apa terhadap perkataan sahabatnya tersebut.

Cukup lama suasana menjadi sunyi sebelum akhirnya Gina memecahkan kesunyian tersebut dengan melontarkan sebuah ide. “Gue males langsung pulang nih girls, jalan-jalan ke mall dulu yuk!”.

“Iya nih, gue juga bete tadi abis meres otak ulangan matematika”, Neitha pun langsung mendukung ide Gina tersebut.

“Boleh juga tuh, gue setuju!”, dukungan juga terdengar dari Karen dan Hanny hampir bersamaan.

Gina lalu menepuk pundak Nietha. “Ya udah, ayo tancap gas Nit hehehe”.

Mobil Nietha pun lalu melaju kencang menuju lokasi yang hendak mereka tuju. Sepanjang penjalanan terus menerus terdengar suara tawa dari dalam mobil. Mereka semua nampaknya sudah tidak ingin lagi membahas masalah-masalah yang bisa merusak suasana kebersamaan mereka hari itu. Paling tidak dengan tertawa mereka bisa sedikit melupakan segala kepenatan yang sempat melanda. Dan tak perlu waktu lama ketika mobil tersebut terlihat telah  terparkir rapi di parkiran salah satu mall besar di kota tersebut. Kini empat orang gadis cantik berseragam putih abu-abu itu pun dengan lincah memasuki pintu masuk mall.

“Ini bagus nih!”.
“Nggak ah bagusan ini lebih fresh warna-warnanya”.
“Yang itu kayaknya Ok tuh!”.
“Mendingan yang disana deh, lagi pada diskon tuh semuanya”.

Keempat gadis cantik itu kini nampak sedang asyik “mengacak-acak” beberapa counter pakaian yang ada di dalam mall tersebut. Mereka berempat saling memilih pakaian-pakaian yang menurut penilaian mereka masing-masing bagus, untuk kemudian dapat dikomentari oleh yang lainnya. Beberapa SPG penjaga counter-counter pakaian itu hanya bisa melongo tanpa daya melihat tingkah “liar” keempat gadis tersebut. Beberapa pengunjung di counter-counter pakaian itu pun juga nampak memandangi tingkah Gina dan kawan-kawan sambil sesekali berbisik-bisik. Kelihatannya mereka berempat cukup “menghidupkan” suasana mall di siang itu.

Ketika Gina, Nietha dan Karen sedang asyik memilih-milih pakaian, tiba-tiba Hanny menyeletuk. “Ini bagus nggak kalo gue pake?”.

Hanny kini terlihat menempelkan sebuah baju model kemeja dengan model garis-garis kecil.

Tanpa dikomandoi ketiga gadis lainnya langsung saling berpandangan dan kemudian berteriak kompak, “Nggak!!!”.

Mendengar teriakan ketiga gadis tersebut praktis pengunjung mall lainnya yang berada di dekat mereka langsung menoleh. Kini semua pandangan mata pun seakan-akan tertuju kepada Gina dan kawan-kawan. Mungkin karena sudah tidak tahan lagi melihat tingkah polah keempat gadis cantik itu, SPG penjaga di counter pun terlihat mengerutkan kening dan mengacakan pinggang. Bukannya merasa malu, mereka berempat justru nampak tertawa cekikikan dan langsung ngacir dari tempat itu untuk kemudian ber-migrasi menuju ke counter lainnya.

“Nah ini baru pas banget buat Karen!”, Gina mengacungkan sebuah rok mini berbahan jeans.
“Wah lu ngina gue Gin, lu kan tau sendiri kalo rok di lemari pakaian gue cuma yang sedeng gue pake sekarang ini aja”.
“Iya sekali-sekali pake rok lah Ren, klo lu terus-terusan pake celana ntar lama-lama lu berubah jadi cowok baru kapok hehehe”.
“Waduh kayaknya ni anak minta di hajar deh!”, Karen yang pada dasarnya emang tomboy lalu menyingsingkan lengan bajunya.
“Week…!!”, Gina menjulurkan lidahnya dengan mantap kemudian berlari menghindari kejaran Karen.

Hanny dan Nietha hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-geleng kepala melihat Gina dan Karen yang kini berlarian di dalam counter pakaian tersebut. Seperti SPG-SPG di counter-counter lain yang mereka kunjungi, SPG-SPG penjaga di counter ini pun juga seakan tidak bisa melakukan apa-apa selain membiarkan keempat gadis-gadis cantik itu beraksi di tempat mereka.

“Wao… ni celana dalam renda-renda gini, apa nggak gatel ya makenya?”, Karen mengambil sebuah celana dalam mini bermodel renda berwarna merah dan memperlihatkannya kepada sahabat-sahabatnya yang lain.

“Awalnya sih gatel Ren, tapi lama-lama biasa aja kok”, sahut Nietha.
“Ah sok you know banget sih lu Nit?”.
“Ih dibilangin nggak percaya”.
“Emang lu pernah make yang ginian?”, tanya Karen lagi.
“Ya pernah lah, sekarang kan gue juga make yang model gituan”.

Gina, Hanny dan Karen pun saling pandang dan kemudian melongo mendengar pengakuan Nietha tadi.

“Serius Nit? Lu make model renda-renda gitu ke sekolah?”, kini Gina yang mengajukan pertanyaan penuh nada ketidakpercayaan.

“Iya, nggak percaya? Nih gue liatin!”, dengan santainya Nietha mengangkat rok abu-abu pendeknya di depan ketiga sahabatnya. Mungkin karena suasana di counter pakaian dalam itu memang terlihat sepi sehingga Nietha berani untuk melakukannya.

Kembali Gina, Hanny dan Karen dibuat melongo oleh Nietha. Ternyata pengakuan gadis cantik itu benar adanya, karena dibalik rok abu-abu pendek yang telah terangkat itu kini terlihat mengintip sebuah kain mungil tipis berenda berwarna putih. Kain tipis tersebut full dengan renda sehingga apa yang ada di baliknya terlihat menerawang dengan jelas. Beberapa detik saja rok tersebut terangkat sebelum Nietha akhirnya kembali menurunkannya.

“Wah lu emang gila Nit pake gituan ke sekolah dengan rok sependek itu”, ujar Karen.
Nietha nampak tersipu malu. “Iya kan itung-itung ngebiasain diri, abis cowok gue suka banget sih hehehe”.

“Ati-ati tuh ama adik kelas kita Tondi, dia kan terobsesi banget ama celana dalam lu, sekali dia bisa ngeliat lu pake daleman model gitu bisa pingsan bahagia tu anak hahaha”, Karen tertawa kecil.
“Biarin aja, ntar kalo pingsan biar lu yang ngasi nafas buatan hahaha”.

“Ih najis…!!”, teriak Karen mantap yang langsung disambut gelak tawa oleh Hanny dan Gina.
“Gue beli juga ah yang model renda-renda gini buat nyenengin cowok gue hehehe”.
“Sssstt…”, Hanny memberi isyarat kepada Karen.

Karen sendiri nampak heran dengan isyarat Hanny karena tidak mengerti maksudnya. Sekali lagi Hanny memberikan isyarat dengan cara menggelengkan kepala ke arah Gina. Karen lalu menoleh ke arah Gina yang sedang berdiri disamping Hanny. Karen melihat wajah Gina yang nampak sedikit berkerut. Karen pun langsung mengerti maksud sahabatnya tersebut.

“Maaf ya Gin, kita-kita nggak sengaja ngomongin masalah cowok di depan lu.
“Nggak apa-apa kok”, ucap Gina lirih dan mencoba untuk tersenyum.

Nietha dan Karen kemudian mendekati Gina dan memegang pundaknya berusaha menunjukkan kalau mereka benar-benar menyesal.

“Udah ah kok jadi sedih-sedihan gini sih? Hehehe”, Gina menatap kearah sahabat-sahabatnya. Walaupun tadi sebenarnya bayang-bayang perselingkuhan Bimo memang sempat melintas di dalam kepalanya, namun Gina berusaha menutupinya agar tidak merusak suasana yang ada.

“Maaf ya Gin, maaf banget”, kembali Karen merajuk.
“Iya nggak apa-apa kok”, Gina kembali mencoba untuk menyunggingkan senyum guna menghilangkan rasa khawatir sahabat-sahabatnya. “Eh makan yuk! Laper banget nih…”.


Nietha

“Lu bener nggak apa-apa kan?”, Hanny mencoba sedikit meyakinkan kalau perasaan Gina saat ini benar-benar baik-baik saja.
“Iya bener gue nggak apa-apa kok! Ayo dong, laper banget nih hehehe…”, Gina menarik tangan ketiga sahabatnya bersamaan dan memasang wajah memelas.
“Iya deh…”, ketiganya pun kemudian menyahut kompak.

Kini keempat gadis cantik tersebut telah berada di sebuah café. Mereka kini terlihat sedang asyik menikmati makanan yang telah mereka pesan masing-masing. Sesekali masih terdengar suara tawa menyelingi percakapan mereka. Suasana café itu terlihat cukup lengang tidak seperti biasanya yang cenderung ramai, mungkin karena jam makan sudah lewat beberapa jam yang lalu. Yang kini terlihat di tempat itu hanyalah geng Gina, seorang laki-laki paruh baya dan dua orang pasangan muda.

Sedang asyik memakan nasi goreng pesanannya, tiba-tiba Gina merasakan tepukan tangan Nietha di pahanya. “Ada apaan sih Nit?”.

“Lu duduk sopan dikit dong Gin”, sambil berbisik kembali tangan Nietha memegang paha Gina kemudian sedikit mendorongnya.

Gina yang memang merasa kedua kakinya terbuka di bawah meja kemudian mengatupkan kedua pahanya, walau ia sendiri masih belum mengerti maksud Nietha tadi.
“Eh kalian ngapain sih?”, Karen berhenti mengunyah bakso di mulutnya. Akibat pertanyaan Karen, membuat Hanny juga menghentikan aktifitas makannya.

“Lu semua ngeliat om-om yang makan sendirian tu nggak?”.
Hanny dan Karen terpaksa menoleh kebelakang karena memang saat ini mereka dalam posisi membelakangi om-om yang dimaksud oleh Nietha.

“Iya liat, trus?”, jawab Gina.

“Dari tadi tu bapak ngelirik-ngelirik ke meja kita deh”.

“Terus emang kenapa?”, tanya Gina lagi.

“Masalahnya tu om-om  nggak cuma ngeliatin kita, tapi juga ngeliatin di bawah meja kita, gue perhatiin terus kayaknya tu om-om ngintipin lu deh Gin”.

“Aduh masa sih?”, Gina kembali melihat posisi kakinya di bawah meja.

“Serius lu Nit? Wah perlu gue damprat juga tu om-om!”, Karen hendak beranjak dari tempat duduknya, namun beruntung segera dicegah oleh Hanny yang duduk disebelahnya.

“Udah ah Ren, lu jangan bikin ribut deh”, ucap Hanny.
“Om-om genit kayak gitu musti dikasi pelajaran tau nggak?!”.

“Iya tapi nggak enak nih ama yang punya café”, tambah Hanny lagi. “Lagian lom tentu kan tu om-om beneran berniat ngintipin Gina”.
“Gimana kalo kita buktiin aja tu om-om beneran niat ngintipin gue apa nggak”, tiba-tiba Gina menyeletuk.

“Ah? Maksud lu?”, ucap ketiga gadisnya hampir bersamaan.

“Lu semua lanjutin makan aja deh”.

Walau masih tersimpan rasa heran dalam benak mereka masing-masing, namun ketiga gadis tersebut melanjutkan kembali aktifitas makan mereka sebagaimana dikatakan Gina tadi. Gina sendiri juga kembali melanjutkan memakan nasi goreng di hadapannya. Memang diatas meja Gina terlihat biasa-biasa saja, namun dibawah meja secara berlahan gadis cantik itu terlihat kembali membuka lebar kedua kakinya sambil sesekali melirik ke arah laki-laki paruh baya yang duduk beberapa meja di depannya.

Nietha yang sekilas melihat ke bawah meja langsung melotot ke arah Gina, “Ngapain sih lu?”.

“Hehehe mau ngejebak tu bapak-bapak”.
“Wah sakit lu ya!”, bisik Nietha.
“Apaan lagi sih?”, Karen bertanya sambil berbisik pula.
“Ni anak ngangkang tambah lebar di bawah meja”.

Karen dan Hanny hanya tersenyum kecil mendengar kata-kata Nietha. Mereka bertiga memang tahu kalau Gina memang terkadang suka berbuat usil menggoda cowok-cowok dengan cara seolah-olah tidak sengaja memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya. Namun untuk kali ini mereka cukup salut dengan keberanian Gina menggoda seorang laki-laki paruh baya yang mungkin seumuran ayah mereka.

“Kayaknya tu bapak-bapak beneran ngintipin gue deh, liat tu ampe salah tingkah gitu makannya hehehe”.

“Masa sih?”, Karen bertanya tanpa berani menolehkan kepalanya.

“Eh liat deh Gin, kayaknya ada yang nonjol di selakangan tuh om-om genit hehehe”, ucap Nietha berbisik.

“Ah nggak mungkin keliatan lah Nit, model om-om kayak gitu sih biasanya kecil tuh ukuran kon…”.

Nietha langsung menutup mulut Gina sebelum ia melanjutkan kata-katanya lebih jauh. “Huus… ati-ati kalo ngomong, disini kan masih ada perawan!”.

Wajah Hanny langsung memerah mendengar kata-kata Nietha. Memang diantara ketiga temannya ini hanya dirinya-lah yang belum pernah merasakan nikmatnya persetubuhan.
“Ups… sory! Hehehe…”, bisik Gina.

Dipermainkan seperti itu, kini wajah Hanny pun nampak semakin memerah.

“Udahan ah, ntar tu om-om beneran konak bisa bahaya lo!”, Nietha yang kemudian kembali berbisik.
“Nggak ah, gue mau ngasi tu om-om sesuatu yang lebih dasyat hehehe”.

“Maksud lu?”, tanya Karen heran. Sedangkan di sampingnya Hanny hanya terlihat terdiam tak berkomentar.
“Gue pinjem kunci mobil lu dong Nit”.
“Lu mau ngapain Gin?”.
“Udah pinjem bentar”.

Dengan ragu Nietha mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam saku roknya dan menyerahkannya kepada Gina. Sedangkan Karen dan Hanny hanya bisa terheran-heran melihat tingkah aneh dari kedua sahabatnya tersebut.

“Tunggu bentar ya”, dengan santainya Gina beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu keluar café tersebut.

Karen memberikan isyarat kepala kepada Nietha seolah-olah menanyakan kemana Gina akan pergi. Nietha lalu menggelengkan kepalanya menandakan kalau ia juga tidak tahu kemana sahabatnya itu akan pergi. Mereka pun kini hanya bisa menunggu sambil menikmati minuman masing-masing yang masih belum habis. Beberapa menit kemudian Gina sudah kembali duduk di tempatnya semula.

“Nih kunci mobil lu”.
“Kemana lu tadi?”, bisik Nietha.
“Ngelepas ini nih hehehe”, sambil cekikikan kecil Gina mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong rok abu-abunya.

Melihat benda yang dikeluarkan Gina dari sakunya, sontak membuat Nietha yang sedari tadi meminum juice-nya hampir tersentak dibuatnya. Di dalam genggaman tangan sahabatnya itu ia melihat sebuah kain mungil berwarna putih. Nietha yakin dan percaya kalau kain mungil itu adalah sebuah celana dalam. Jika itu benar maka berarti kini sahabatnya itu tidak lagi mengenakan celana dalam di balik roknya.

“Wah lu tu bener-bener sakit jiwa Gin!”, Nietha menepuk paha Gina yang kini telah kembali terbuka dengan lebar.

Gina hanya menanggapi pernyataan sahabatnya itu dengan senyuman kecil.

“Apaan sih?”, Karen sampai harus melongo ke bawah meja agar bisa melihat apa yang membuat Nietha menjadi tersentak hebat.

Dengan segera Nietha menyambar kain mungil yang dipegang Gina. Tanpa sempat dicegah oleh Gina, celana dalam itu kini sudah tergeletak di atas meja. Melihat benda itu, ekspresi keterkejutan yang sama langsung tergurat di wajah Karen dan Hanny. Belum sempat kedua gadis cantik itu mengeluarkan komentar, Gina langsung menyambar celana dalam tersebut dan segera memasukkannya kembali ke dalam saku roknya.

“Gila lu Nit, gue kan bisa malu kalo ada yang liat”.
“Lu itu yang gila, main ngelepas celana dalam di tempat umum kayak gini!”, Nietha langsung menanggapi.
“Ya ampun Gin, penyakit eksi lu kok makin parah aja sih?”, kali ini Hanny yang berkomentar.
“Iya cuma buat lucu-lucuan aja kok”.

Karen langsung sewot mendengar kata-kata Gina. “Lucu-lucuan? Trus klo tu om-om tau terus ngedatengin lu gimana?”.

Kan ada lu-lu semua?”.
“Terserah lu deh!”, Karen kembali menimpali dengan ekspresi sebal.

Karena sedang asyik bertengkar, tanpa mereka berempat sadari kalau om-om yang sedang mereka pertengkarkan kini sudah tidak berada lagi di tempatnya semula.

“Eh… eh… udahan bertengkarnya, lu semua liat deh tu om-om udah pergi tau nggak?”, Hanny berseru.
Karen
“Iya ya tu bapak-bapak kemana ya?”, Gina dan ketiga gadis lainnya menyapu pandangannya ke seluruh areal café.

“Udah ah, harusnya kita bersyukur tu bapak-bapak udah pergi, biar ini anak nggak jadi tambah gila!”, Karen langsung menunjuk hidung ke arah Gina, yang hanya disambut gayanya yang cengengesan.

Karena melihat om-om yang menjadi sasarannya telah pergi, Gina pun memakai kembali celana dalamnya. Emang dasarnya memiliki bakat eksi, bukannya pergi ke toilet gadis cantik itu nampak dengan santainya memakai celana dalam itu di tempat duduknya. Sambil sedikit mengangkat pantatnya dari kursi Gina berlahan mulai mengenakan kain mungil itu berusaha agar tidak menarik perhatian orang-orang yang berada diseliling mereka. Ketiga sahabatnya yang tahu apa yang sedang Gina lakukan hanya bisa menggeleng-geleng pasrah.

Akhirnya mereka berempat pun selesai menyantap makan siang mereka. Setelah membayar makanan tersebut masing-masing kepada pelayan café, mereka pun kemudian nampak bergegas beranjak dari meja tersebut. Namun sebelum mereka beranjak dari meja, seorang laki-laki tua terlihat berjalan mendekati meja mereka.

“Maaf Non, bisa saya berbicara dengan Non sebentar?”, laki-laki itu memandang ke arah Gina.

“Saya?”, Gina seakan-akan ingin menegaskan kembali maksud laki-laki itu.
“Iya Non”.
“Disini aja ngomongnya nggak apa-apa kok Pak”.
“Nggak bisa Non, soalnya ini masalah khusus jadi harus empat mata, saya mohon Non”.

Gina menoleh ke arah sahabat-sahabatnya, seolah meminta pendapat mereka. Ketiga gadis lainnya hanya bisa mengangkat bahu tanpa tidak mengerti.

“Ya udah deh Pak, kalo gitu kita ngobrol disana”, Gina beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan tas sekolahnya di atas meja.

Nietha, Karen dan Hanny hanya bisa saling memandang mendengar jawaban Gina.

“Tungguin ya girls!”, ucap gadis cantik itu sebelum berjalan mengikuti laki-laki tadi.

Cukup lama Gina terlihat berbicara dengan laki-laki itu. Sedangkan ketiga sahabatnya hanya bisa menunggu dengan ekspresi wajah penuh tanda tanya. Beberapa menit kemudian gadis cantik itu lalu kembali ke meja tempat sahabat-sahabatnya menunggu dan duduk di tempatnya semula.

Ada apa sih Gin? Siapa tu bapak-bapak?”, Karen langsung menyerbu Gina dengan pertanyaan.

“Kayaknya gue nggak bisa pulang ama lu semua girls”, Gina berkata sambil mengambil tas sekolahnya.
“Maksud lu?”, tanya Hanny.

“Gue mau pergi ama tu bapak-bapak”, jawab Gina singkat.
“Haaah…!!!”, teriak ketiga gadis itu hampir bersamaan mendengar kata-kata Gina.
“Sumpah, gue nggak ngerti maksud lu Gin, lu kan nggak kenal ama itu bapak-bapak? Kok lu dengan santainya bilang lu bakal pergi ama tu bapak-bapak?”, ucap Karen sewot.

“Iya bener tuh Gin, maksud lu apa sih sebenernya?”, Nietha menambahkan.
“Pokoknya lu semua percaya aja deh ama gue”.

“Percaya ama lu? Apa yang musti kita percayain Gin?”, Karen kembali berseru.
“Besok deh gue cerita di sekolah, sekarang gue pergi dulu ya?”.
“Gin…!! Lu mau kemana sih?”, teriak Karen lagi.
“Pokoknya ampe besok girls”, Gina melambai ke arah sahabat-sahabatnya sambil melangkah pergi. “Oya, kalo mama gue nelpon bilang aja gue pergi ke toko buku”.

Nietha, Hanny dan Karen terlihat tidak bisa melakukan apapun selain memandang keperluan Gina dengan tatapan penuh kecemasan.
“Om, kira kamu nggak bakal mau ikut dengan Om”.

Gina hanya tersenyum kecil.
“Nama kamu siapa?”.
“Gina, Om”.
“Oh, nama yang cantik secantik orangnya”.

Kembali Gina hanya bisa tersipu malu. Saat ini Gina sedang berada di dalam mobil bersama dengan laki-laki yang tadi “digoda”-nya di café bersama teman-temannya. Laki-laki paruh baya itu kah? Iya laki-laki paruh baya yang mereka sebut om-om itu! Entah apa yang ada di dalam pikiran Gina sehingga ia berani bermain api pergi bersama dengan laki-laki yang mungkin seumuran ayahnya ini. Dan parahnya lagi kini Gina dalam status “under booking”. Under booking? Iya, karena laki-laki tua yang tadi berbicara dengan Gina adalah sopir dari laki-laki paruh baya tersebut. Maksud laki-laki tua itu berbicara dengan Gina adalah untuk menyampaikan maksud bos-nya untuk mem-booking Gina guna menemaninya beberapa jam di kamar hotel.

Rupanya sakit hati Gina terhadap pacar-pacarnya sudah sedemikian parah. Kepergian Gina kali ini adalah memang untuk melampiaskan rasa sakit hatinya terhadap laki-laki yang kerap menikmati tubuhnya secara gratis dengan status pacar. Kini Gina ingin menunjukkan kalau tubuhnya ini ada harganya, dan harganya tentu tidak murah.

“Oh ya nama Om, Herdianyah kamu cukup panggil Om dengan panggilan Herdi saja”.
“Iya Om”.

“Senyum mesum tersungging di wajah laki-laki paruh baya tersebut. Laki-laki yang kini duduk disamping Gina berperawakan tidak terlalu tinggi, mungkin setinggi Gina, bertubuh kurus dan rambut yang walaupun masih dominan berwarna hitam namun beberapa helai sudah mulai nampak memutih. Dari perawakannya, terlihat kalau laki-laki ini cukup berada. Mungkin ia adalah seorang pejabat tinggi atau pengusaha yang memiliki bisnis yang cukup sukses, karena kalau tidak tentunya tidak akan mampu membeli sebuah mobil BMW tipe elite seperti ini.

“Maaf Pak, sekarang kita kemana?”, laki-laki tua yang menemui Gina tadi bertanya kepada Om Herdi.
“Ke hotel *** Man”.
“Baik Pak”.
Namun sebelum mbil tersebut berjalan tiba-tiba Gina menyeletuk. “Maaf Om, kalo ke hotel *** aja gimana?”.
Hanny
Memang nama hotel yang disebutkan oleh Om Herdi terdengar asing bagi Gina sehingga ia takut untuk diajak kesana oleh laki-laki yang memang baru dikenalnya ini. Sedangkan untuk hotel yang tadi ia sebutkan, memang sering ia datangi bersama dengan pacarnya untuk melakukan percintaan. Gina merasa lebih nyaman berada dengan orang asing di tempat yang sudah dikenalnya dengan cukup baik.

“Oh boleh saja, kalau begitu kita ke hotel *** saja Man”.
“Baik Pak”.
Mobil BMW biru metalik itupun kemudian melaju pelan menuju lokasi yang disebutkan oleh Om Herdi tadi.

“Ngomong-ngomong tadi kamu di café benar-benar “nakal” waktu duduk ngangkang di depan Om, nganceng lo Om ngeliatnya hehehe”.

Gina hanya tersenyum kecil. Jauh di dalam hatinya ia senang karena “aksi”-nya berhasil menarik perhatian sasarannya. Tapi sebagai seorang wanita tentunya ia tidak mau terkesan terlalu murahan sehingga ia merasa perlu untuk membuat seolah-olah perbuatan tersebut dilakukannya dengan tidak sengaja.

“Maksud Om?”, Gina pura-pura tidak mengerti maksud dari perkataan laki-laki tersebut.
“Itu lo waktu kamu ngangkang di bawah meja hehehe”.

“Oh, Om ngeliat ya?”.

“Ya jelas ngeliat dong, tapi sayang yang mau Om liat masih tertutup sama segitiga warna putih tuh hehehe”, tangan Om Herdi mulai nakal merabai paha Gina.

Gina kembali tersenyum kecil. Rupanya Om Herdi sama sekali ini tidak menyadari kalau di café tadi ia sempat melepaskan celana dalamnya.

“Jangan Om…”, Gina mencoba menepis tangan Om Herdi, walaupun sebenarnya laki-laki itu memiliki hak untuk melakukan itu, namun tentunya Gina malu kalau diraba-raba seperti itu ketika sopir Om Herdi bisa melihat perbuatan tersebut melalui kaca spion.

Namun walaupun kedua tangan Gina berusaha untuk menghentikan tangan Om Herdi untuk terus masuk ke dalam roknya, usaha itu terlihat sia-sia belaka. Kini Gina bisa merasakan usapan jari-jari nakal laki-laki paruh baya itu telah menyentuh permukaan celana dalamnya.

Om… jangan”, kembali Gina mendesah pelan karena rasa geli mulai menjalar ke sekujur tubuhnya akibat sentuhan jari-jari Om Herdi di daerah kewanitaannya. Kedua tangan Gina masih berusaha menghentikan aksi-aksi nakal Om Herdi di dalam rok abu-abunya.
“Jangan apa Gin? Jangan berhenti? Hehehe…”.
“Jangan di sini Om, saya malu…”.

“Kenapa harus malu, di sini kan cuma ada kita saja? Kaca mobil ini kan gelap jadi orang-orang di luar tidak akan tahu apa yang terjadi di dalam”, kini jari-jari Om Herdi yang semula menyerang daerah kewanitaannya mulai mengganti sararan ke arah gundukan bukit kembar Gina.

“Tapi… tapi kan ada sopir Om”.
“Oh si Maman? Dia sih sudah biasa melihat hal-hal seperti ini hehehe…”.

Sekilas ditengah serangan Om Herdi kepada kedua payudaranya, Gina bisa melihat dari kaca spion depan kalau sopir Om Herdi yang katanya bernama maman tersebut tersenyum ke arahnya. Rupanya benar kalau Maman ini sudah biasa melihat tingkah polah bos-nya yang kerap menggarap wanita-wanita di dalam  mobil.

“Saya mohon Om, nanti saja di hotel kita melakukan ini semua…”, rasa risih rupanya masih menyelimuti diri Gina apabila harus bercumbu di depan orang lain, karena hal ini memang tidak pernah ia lakukan bersama pacar-pacarnya.

Bukannya menghentikan aksi-aksinya, Om Herdi justru semakin mengganas. Terlihat sekali kalau nafsu birahi mulai membumbung tinggi membakar akal sehat laki-laki paruh baya tersebut. Bahkan kini Om Herdi berusaha menyerang bibir Gina menggunakan bibirnya. Jelas sekali Om Herdi sudah tidak sabar untuk menikmati tubuh muda dan sintal dihadapannya ini.

Akhirnya setelah sekian lama mencoba melawan Gina pun menyerah dan membiarkan aksi-aksi Om Herdi. Bibir Gina kini telah sepenuhnya berada di dalam lumatan bibir Om Herdi, begitu pula dengan kedua payudaranya yang sudah sejak tadi sepenuhnya dikuasai tanpa perlawanan.

“Hhhmm…”, Gina hanya bisa mendesah pelan menerima serangan demi serangan di tubuhnya. Walaupun tubuhnya masih tertutup pakaian lengkap, namun remasan tangan Om Herdi di dadanya cukup membangkitkan gairahnya.

“Aaah… tubuh kamu benar-benar wangi Gin”, bisik Om Herdi.
“Hhhmm…”, kembali hanya desahan tertahan yang terdengar keluar dari mulut mungil Gina.

Asyik mencumbui Gina di bangku belakang, laki-laki paruh baya itu tidak menyadari kalau mobil yang mereka kendarai akan segera memasuki areal lobi hotel yang mereka tuju.

“Maaf Pak, kita sudah sampai”, sebelum mobil memasuki areal lobi Maman, sopir Om Herdi seolah-olah mengingatkan bos-nya itu untuk segera menghentikan perbuatannya di bangku belakang.

Mendengar suara dari sopirnya tersebut segera saja Om Herdi menghentikan cumbuannya. Gina pun akhirnya bisa bernafas dengan lega karena lumatan bibir Om Herdi akhirnya berhenti. Sekilas Gina sempat melihat sopir Om Herdi yang kini menoleh ke belakang menelan ludah melihat posisi kakinya yang terbuka lebar. Dengan segera gadis cantik itu mengapitkan kedua pahanya. Walaupun masih tertutup celana dalam, tentunya Gina tidak ingin selangkangannya dinikmati oleh mata nanar laki-laki sekelas Maman dengan gratis. Melihat itu, Maman pun lalu segera mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Kini keduanya terlihat merapikan pakaian mereka masing-masing, terutama Gina yang merasakan kalau posisi pakaian dalamnya sudah berpindah akibat remasan tangan laki-laki paruh baya tersebut.

“Ayo kita turun Gin”.
Gina pun lalu menyusul Om Herdi keluar dari mobil.
“Man, kamu parkir mobil dulu setelah itu kami bisa tunggu kami di lobi”.

“Baik Pak”, lalu Joni masuk kembali ke dalam mobil dan kemudian mobil BMW itu pun melaju pelan meninggalkan lobi hotel tersebut.

“Mari Gin”, tak terlihat lagi sosok laki-laki yang tadi nampak ganas mencumbui Gina di dalam diri Om Herdi. Gina cukup salut dengan perubahan sikap Om Herdi, dimana ia bisa terlihat kembali berwibawa dan kebapakan begitu berada di hadapan orang banyak.

Gina tidak memberikan komentar. Gadis cantik itu hanya mengikuti langkah laki-laki paruh baya itu memasuki lobi hotel. Di depan resepsionis Om Herdi bertingkah seolah-olah sedang memesankan kamar untuk anak saudaranya dari luar kota. Ia bertingkah  seolah-olah Gina baru selesai menjalani sebuah tes masuk salah satu universitas negeri dan ia mengantarkannya karena gadis yang kini diajaknya baru pertama kali menginjakkan kaki di kota tersebut. Kembali Gina harus mengakui kelihaian laki-laki paruh baya itu dalam merangkai sebuah kebohongan. Jika Om Herdi tidak lihai tentunya sang resepsionis akan curiga melihat seorang laki-laki paruh baya berpakaian resmi sedang mem-booking sebuah kamar dengan ditemani seorang gadis berpakaian seragam SMU.

Ketika Om Herdi masih sibuk mengurus administrasi, suara ponsel Gina terdengar dari kantong rok abu-abunya. Dengan segera gadis cantik itu mengambil ponselnya. Ia melihat nama “Karen” terpampang di layar ponselnya. Rupanya sahabat-sahabatnya masih khawatir dengan keadaan Gina. Gadis cantik itu langsung mematikan sambungan telepon tersebut dan mengubah status ponselnya menjadi mode getar. Setelah itu Gina memasukkan ponselnya ke dalam tas sekolahnya.

Ada apa Gin?”, Om Herdi rupanya mendengar suara ponsel Gina tadi.
“Hhhm… nggak ada apa-apa kok Om”, Gina terlihat sedikit salah tingkah.

Laki-laki paruh baya itu pun kemudian hanya tersenyum kecil.

Tak perlu waktu lama bagi Om Herdi untuk mendapatkan sebuah kunci kamar dan melakukan pembayaran tunai untuk satu malam. Keduanya kini sudah nampak berjalan menuju lift yang akan mengantarkan mereka ke lantai dua. Di dalam hati Gina berharap dirinya tidak akan bertemu dengan orang-orang yang mengenalinya, karena memang ia sudah beberapa kali mem-booking kamar di hotel ini bersama pacarnya. Beberapa menit kemudian mereka berdua sudah berdiri di depan kamar yang di-booking Om Herdi tadi.
“Silakan Gin”, masih nampak kesopanan di dalam nada bicara Om Herdi.

Gina pun masuk ke dalam kamar hotel tersebut. Tata letak ruangan kamar hotel ini rupanya sama seperti kamar-kamar lain di hotel tersebut yang biasa di booking-nya. Beberapa saat Gina menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan sampai saat ia merasakan sebuah pelukan dari belakang dengan lembut membekap dirinya.

“Aaakhh… Om…”, Gina mendesah pelan ketika Om Herdi mulai menciumi pipi dan lehernya.

“Kamu cantik sekali Gin…”, bisik Om Herdi di telinga Gina.

Kecupan demi kecupan lembut mendarat di pipi, telinga dan leher gadis cantik tersebut. Sementara itu sebuah remasan pelan bergiliran mulai menyerang kedua payudara Gina. Gadis cantik itu sendiri hanya bisa memejamkan matanya dan membiarkan dirinya sepenuhnya larut ke dalam rangsangan yang diberikan Om Herdi. Beberapa kali Gina merasakan sesuatu yang keras diselangkangan laki-laki paruh baya itu menggesek-gesek pantatnya.

“Oohh… Om…”, Gina kembali mendesah lirih. Ia terlihat sudah mulai sepenuhnya menikmati rangsangan yang diberikan oleh Om Herdi.
“Suka?”, tanya Om Herdi di sela-sela ciuman dan jilatan lidahnya.
“Iya Om ooohh…”.

Gina hanya bisa mendesah dan terus mendesah seiring tangan Om Herdi yang mulai nakal membuka dua kancing hem putih yang dikenakannya, sehingga tangan kanan laki-laki itu dapat menyentuh branya secara langsung. Dengan berlahan Om Herdi mulai melakukan remasan-remasan pelan di payudara kanan Gina. Rasa nikmat pun semakin mendera sekujur tubuh Gina.

“Pertama kali ya?”, bisik Om Herdi di telinga Gina ketika melihat gadis itu nampak sedikit kikuk.
Gina hanya mengangguk pelan.
“Dibawa santai saja ya? Kita pelan-pelan saja”.

Kembali Gina hanya mengangguk.

Tak lama kemudian Om Herdi membalikkan tubuh Gina dan kembali memeluknya erat. Kini bibir laki-laki paruh baya itu langsung mendaratkan sebuah ciuman dan melumat lembut bibir mungil Gina. Gadis cantik itu pun kini terlihat memasrahkan diri dan mencoba mengimbangi lumatan bibir laki-laki di hadapannya tersebut. Lidah Om Herdi kini dengan berlahan mulai masuk dan bermain di dalam mulut Gina. Dengan sedikit gelapan Gina kembali harus mencoba mengimbangi liarnya lidah Om Herdi yang sedang menari-nari di dalam mulutnya.

Ketika lumatan bibir keduanya mulai nampak memanas, tiba-tiba saja Om Herdi mendorong pelan tubuh Gina sehingga gadis cantik itu terpaksa berjalan mundur. Ketika Gina merasakan belakang kakinya menyentuh ujung ranjang, Om Herdi mendorong tubuh gadis cantik itu agak keras sehingga membuatnya terjerembab di atas ranjang. Laki-laki paruh baya itu kemudian tersenyum ke arah Gina yang tergolek pasrah di atas ranjang. Gadis cantik itu sendiri hanya berdiam diri dan membiarkan Om Herdi memegang kendali permainan. Kemudian dengan berlahan Om herdi membuka dasi, kemeja berikut dengan sepatu dan kaos kaki yang dikenakannya. Kesemua pakaian itu kini telah teronggok di lantai ketika Om Herdi mulai merangkak naik ke atas ranjang dan menindih tubuh Gina.

Om Herdi mengecup bibir Gina lembut kemudian tersenyum kecil ke arah gadis cantik tersebut. Kemudian seperti layaknya seorang bapak kepada anaknya, dengan perlahan dibukanya sepatu dan kaos kaki Gina sambil menikmati indahnya bentuk betis dan paha gadis cantik dihadapannya. Rupanya Om Herdi ingin menikmati permainan cinta dengan si gadis remaja ini dengan berlahan dan penuh kesabaran. Ia sadar betul kalau harga yang ditawarkan Gina terlalu mahal apabila permainan ini harus diselesaikan secara terburu-buru. Dengan bertelanjang dada, akhirnya tangan-tangan Om Herdi kembali mulai nakal meremas-remas kedua payudara Gina sehingga mengakibatkan gadis cantik itu bergelinjang pelan.

“Benar-benar dada yang montok dan padat!”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Draft Amarah Para Buruh 21

Draft Amarah Para Buruh 20

Lust in Broken Home 4

Akibat Kena Gendam Tetanggaku

Lust In Broken Home 5

Terjebak Didalam Kelas

Kisah Tragis Dikebun Karet

Amarah Para Buruh 17

Binalnya Ibu Tiriku 4

Lust in Broken Home 3