“Lepasin gue!”, Gina menepis tangan Bimo
yang memegang lengannya.
“Gin, dengerin penjelasan gue dulu…”.
Gadis cantik itu terus meronta berusaha
melepaskan pegangan Bimo di lengannya. “Lu tu emang cowok bangsat, gue nggak
perlu perjelasan dari lu!”.
“Tapi Gin, semua yang lu liat itu nggak
seperti yang lu pikirin…”.
“Gue bisa menilai sendiri apa yang gue
liat Bim!”
“Tapi Gin…”, pegangan tangan Bimo sempat
terlepas, namun pemuda itu kemudian kembali memegang kedua lengan Gina.
Regina |
“Please Gin, tolong dengerin gue dulu…”.
“Mending lu pergi Bim, gue udah muak
denger omongan lu!”.
“Gin…”, di tengah rontaan Gina, Bimo masih
berusaha sekuat tenaga memegang lengan gadis cantik itu guna mencegahnya pergi.
“Lepasin gue!”, Gina terus meronta dan
meronta.
Aksi saling tarik menarik pun semakin
hebat terjadi antara keduanya. Karena pertengkaran tersebut terjadi di depan
sekolah, maka aksi tersebut pun tak pelak mendapatkan perhatian dari beberapa
murid yang kebetulan masih menunggu jemputan. Ditengah aksi saling tarik
menarik diantara keduanya, dari dalam gedung sekolah nampak tiga orang gadis
yang juga berseragam putih abu-abu berlarian menghampiri kedua remaja yang
sedang bertengkar tersebut.
“Eh, lepasin temen gue!”, salah satu gadis
berdandanan sporty langsung menarik tangan pemuda tersebut dari lengan Gina.
Gadis tomboy itu adalah Karen, salah satu sahabat dekat Gina.
“Lu semua jangan ikut campur ya?”.
Gadis tomboy itu kemudian mendorong tubuh
pemuda tersebut. “Kita ini temen baiknya Gina, harusnya lu itu yang pergi dari
sini!”.
“Gue cuma mau ngomong aja sama Gina!”.
“Eh lu budek ya? Dari kemarin Gina itu
udah bilang nggak mau lagi ngomong ama lu, jadi mending sekarang lu minggat deh
dari sini!”.
Sementara keduanya bertengkar mulut, dua
gadis lainnya nampak memegangi kedua pundak Gina seakan mencoba melindungi
gadis cantik tersebut. Kedua gadis itu adalah Hanny dan Nietha, sahabat baik
Gina juga.
“Gin… please dengerin gue Gin!”, Bimo
berjalan maju dan mencoba menerobos halangan dari Karen.
“Mau kemana lu!”, Karen langsung
menghalangi Bimo dengan kedua tangannya agar pemuda itu tidak bisa mendekati
sahabatnya Gina.
“Minggir lu!”.
“Eh lu mau ribut-ribut disini? Lu kira gue
takut ama lu!”.
Mendengar suara gaduh akibat pertengkaran
tersebut, beberapa orang-orang laki-laki yang kebetulan berada disekitar tempat
itu pun mulai mendekat. Melihat beberapa laki-laki yang mulai mendekati mereka
tersebut Bimo pun nampaknya kemudian memilih untuk meninggalkan tempat
tersebut.
“Ok gue pergi sekarang, tapi gue pasti
balik lagi”, pemuda itu pun kemudian melangkah menuju mobilnya yang terparkir
tak jauh dari tempat tersebut.
“Ada
apa Non?”, tanya seorang laki-laki yang juga adalah seorang penjual es yang
biasa mangkal di depan sekolah kepada Karen.
“Nggak ada apa-apa kok Pak, cuma orang
iseng”, jawab Karen singkat
“Non semua nggak apa-apa kan ?”.
“Nggak apa-apa kok Pak”.
Mendengar penjelasan Karen beberapa orang
laki-laki yang kini nampak berkerumun di tempat itu pun satu per satu mulai
membubarkan diri.
“Lu nggak apa-apa Gin?”.
Gina menggelengkan kepala.
“Brengsek banget sih tu cowok, udah
ketangkep basah selingkuh masih juga cari-cari alesan!”.
“Udah ah Ren, gue males mikirin Bimo
lagi”.
“Mending lu pulang ama kita aja Gin, kalo
lu pulang sendiri takutnya Bimo ngejar lu lagi”, ucap Hanny, gadis berparas
kalem dan berambut panjang yang kini masih memegang pundak Gina.
“Iya deh, kayaknya lu bener deh Han”.
“Ya udah yuk kita ke mobil gue”, kini
giliran Nietha yang berbicara. Nietha berparas cantik, tak kalah dengan Gina
dan kedua sahabatnya yang lain. Perawakannya terkesan centil dan berpipi chubby
sehingga semakin menambah kesan imut-imut yang ada pada dirinya. Nietha adalah
“sponsor” utama di dalam geng Gina, karena orang tuanya yang memang paling
tajir diantara yang lain.
“Ok deh”.
Keempat gadis cantik itu pun melangkah
menuju jalan depan sekolah, dimana mobil Nietha terparkir. Dan tak lama
kemudian mobil picanto hitam itu pun melaju meninggalkan tempat tersebut.
“Bimo dapet ke rumah lu Gin?”, tanya
Nietha dari belakang kemudi.
“Dapet sih, tapi nyokap bokap udah gue
bilangin supaya bilang gue nggak ada kalo dia ke rumah, eh tadi malahan dia
nyari gue ke sekolah”.
“Kan
dari awal gue udah bilang ke lu kalo Bimo itu cowok nggak bener”.
“Iya sih, tapi kan gue kira Bimo bisa berubah setelah gue
pacarin”.
“Halah, pada dasarnya semua cowok sama aja
kale”, Karen yang duduk di belakang bersama Hanny langsung berkomentar.
“Kalo gini terus gue jadi males pacaran
lagi nih”.
“Nggak bisa gitu juga dong Gin, masih
banyak kok cowok-cowok baik di dunia ini”, kini giliran Hanny yang berkomentar.
“Iya kayak cowok lu tu, udah lama pacaran
tapi lu nggak diapa-apain juga hehehe”, Karen langsung menyambar komentar
tersebut.
“Apaan sih…”, Hanny pun langsung menunduk
malu dibuatnya.
“Jangan dengerin Karen Han, lu beruntung
dapetin Deni, paling nggak dia bener-bener mencintai lu bukan cuma “mencintai”
karena ingin ngedapetin tubuh lu secara gratisan”, Gina memutar tubuhnya dan
menatap Hanny dengan pandangan sayu.
Ucapan
Gina tadi langsung membuat ketiga gadis lainnya tersentak. Mereka pun
akhirnya hanya bisa membisu. Ketiganya bingung harus memberikan komentar apa
terhadap perkataan sahabatnya tersebut.
Cukup lama suasana menjadi sunyi sebelum
akhirnya Gina memecahkan kesunyian tersebut dengan melontarkan sebuah ide. “Gue
males langsung pulang nih girls, jalan-jalan ke mall dulu yuk!”.
“Iya nih, gue juga bete tadi abis meres
otak ulangan matematika”, Neitha pun langsung mendukung ide Gina tersebut.
“Boleh juga tuh, gue setuju!”, dukungan
juga terdengar dari Karen dan Hanny hampir bersamaan.
Gina lalu menepuk pundak Nietha. “Ya udah,
ayo tancap gas Nit hehehe”.
Mobil Nietha pun lalu melaju kencang
menuju lokasi yang hendak mereka tuju. Sepanjang penjalanan terus menerus
terdengar suara tawa dari dalam mobil. Mereka semua nampaknya sudah tidak ingin
lagi membahas masalah-masalah yang bisa merusak suasana kebersamaan mereka hari
itu. Paling tidak dengan tertawa mereka bisa sedikit melupakan segala kepenatan
yang sempat melanda. Dan tak perlu waktu lama ketika mobil tersebut terlihat
telah terparkir rapi di parkiran salah
satu mall besar di kota
tersebut. Kini empat orang gadis cantik berseragam putih abu-abu itu pun dengan
lincah memasuki pintu masuk mall.
“Ini bagus nih!”.
“Nggak ah bagusan ini lebih fresh
warna-warnanya”.
“Yang itu kayaknya Ok tuh!”.
“Mendingan yang disana deh, lagi pada
diskon tuh semuanya”.
Keempat gadis cantik itu kini nampak
sedang asyik “mengacak-acak” beberapa counter pakaian yang ada di dalam mall
tersebut. Mereka berempat saling memilih pakaian-pakaian yang menurut penilaian
mereka masing-masing bagus, untuk kemudian dapat dikomentari oleh yang lainnya.
Beberapa SPG penjaga counter-counter pakaian itu hanya bisa melongo tanpa daya
melihat tingkah “liar” keempat gadis tersebut. Beberapa pengunjung di
counter-counter pakaian itu pun juga nampak memandangi tingkah Gina dan
kawan-kawan sambil sesekali berbisik-bisik. Kelihatannya mereka berempat cukup
“menghidupkan” suasana mall di siang itu.
Ketika Gina, Nietha dan Karen sedang asyik
memilih-milih pakaian, tiba-tiba Hanny menyeletuk. “Ini bagus nggak kalo gue
pake?”.
Hanny kini terlihat menempelkan sebuah
baju model kemeja dengan model garis-garis kecil.
Tanpa dikomandoi ketiga gadis lainnya
langsung saling berpandangan dan kemudian berteriak kompak, “Nggak!!!”.
Mendengar teriakan ketiga gadis tersebut
praktis pengunjung mall lainnya yang berada di dekat mereka langsung menoleh.
Kini semua pandangan mata pun seakan-akan tertuju kepada Gina dan kawan-kawan.
Mungkin karena sudah tidak tahan lagi melihat tingkah polah keempat gadis
cantik itu, SPG penjaga di counter pun terlihat mengerutkan kening dan
mengacakan pinggang. Bukannya merasa malu, mereka berempat justru nampak
tertawa cekikikan dan langsung ngacir dari tempat itu untuk kemudian
ber-migrasi menuju ke counter lainnya.
“Nah ini baru pas banget buat Karen!”,
Gina mengacungkan sebuah rok mini berbahan jeans.
“Wah lu ngina gue Gin, lu kan tau sendiri kalo rok
di lemari pakaian gue cuma yang sedeng gue pake sekarang ini aja”.
“Iya sekali-sekali pake rok lah Ren, klo
lu terus-terusan pake celana ntar lama-lama lu berubah jadi cowok baru kapok
hehehe”.
“Waduh kayaknya ni anak minta di hajar
deh!”, Karen yang pada dasarnya emang tomboy lalu menyingsingkan lengan
bajunya.
“Week…!!”, Gina menjulurkan lidahnya
dengan mantap kemudian berlari menghindari kejaran Karen.
Hanny dan Nietha hanya bisa tersenyum
sambil menggeleng-geleng kepala melihat Gina dan Karen yang kini berlarian di
dalam counter pakaian tersebut. Seperti SPG-SPG di counter-counter lain yang
mereka kunjungi, SPG-SPG penjaga di counter ini pun juga seakan tidak bisa
melakukan apa-apa selain membiarkan keempat gadis-gadis cantik itu beraksi di
tempat mereka.
“Wao… ni celana dalam renda-renda gini,
apa nggak gatel ya makenya?”, Karen mengambil sebuah celana dalam mini bermodel
renda berwarna merah dan memperlihatkannya kepada sahabat-sahabatnya yang lain.
“Awalnya sih gatel Ren, tapi lama-lama
biasa aja kok”, sahut Nietha.
“Ah sok you know banget sih lu Nit?”.
“Ih dibilangin nggak percaya”.
“Emang lu pernah make yang ginian?”, tanya
Karen lagi.
“Ya pernah lah, sekarang kan gue juga make yang model gituan”.
Gina, Hanny dan Karen pun saling pandang
dan kemudian melongo mendengar pengakuan Nietha tadi.
“Serius Nit? Lu make model renda-renda
gitu ke sekolah?”, kini Gina yang mengajukan pertanyaan penuh nada
ketidakpercayaan.
“Iya, nggak percaya? Nih gue liatin!”,
dengan santainya Nietha mengangkat rok abu-abu pendeknya di depan ketiga
sahabatnya. Mungkin karena suasana di counter pakaian dalam itu memang terlihat
sepi sehingga Nietha berani untuk melakukannya.
Kembali Gina, Hanny dan Karen dibuat
melongo oleh Nietha. Ternyata pengakuan gadis cantik itu benar adanya, karena
dibalik rok abu-abu pendek yang telah terangkat itu kini terlihat mengintip
sebuah kain mungil tipis berenda berwarna putih. Kain tipis tersebut full
dengan renda sehingga apa yang ada di baliknya terlihat menerawang dengan
jelas. Beberapa detik saja rok tersebut terangkat sebelum Nietha akhirnya
kembali menurunkannya.
“Wah lu emang gila Nit pake gituan ke
sekolah dengan rok sependek itu”, ujar Karen.
Nietha nampak tersipu malu. “Iya kan itung-itung
ngebiasain diri, abis cowok gue suka banget sih hehehe”.
“Ati-ati tuh ama adik kelas kita Tondi,
dia kan
terobsesi banget ama celana dalam lu, sekali dia bisa ngeliat lu pake daleman
model gitu bisa pingsan bahagia tu anak hahaha”, Karen tertawa kecil.
“Biarin aja, ntar kalo pingsan biar lu yang
ngasi nafas buatan hahaha”.
“Ih najis…!!”, teriak Karen mantap yang
langsung disambut gelak tawa oleh Hanny dan Gina.
“Gue beli juga ah yang model renda-renda
gini buat nyenengin cowok gue hehehe”.
“Sssstt…”, Hanny memberi isyarat kepada
Karen.
Karen sendiri nampak heran dengan isyarat
Hanny karena tidak mengerti maksudnya. Sekali lagi Hanny memberikan isyarat
dengan cara menggelengkan kepala ke arah Gina. Karen lalu menoleh ke arah Gina
yang sedang berdiri disamping Hanny. Karen melihat wajah Gina yang nampak
sedikit berkerut. Karen pun langsung mengerti maksud sahabatnya tersebut.
“Maaf ya Gin, kita-kita nggak sengaja
ngomongin masalah cowok di depan lu.
“Nggak apa-apa kok”, ucap Gina lirih dan
mencoba untuk tersenyum.
Nietha dan Karen kemudian mendekati Gina
dan memegang pundaknya berusaha menunjukkan kalau mereka benar-benar menyesal.
“Udah ah kok jadi sedih-sedihan gini sih?
Hehehe”, Gina menatap kearah sahabat-sahabatnya. Walaupun tadi sebenarnya
bayang-bayang perselingkuhan Bimo memang sempat melintas di dalam kepalanya,
namun Gina berusaha menutupinya agar tidak merusak suasana yang ada.
“Maaf ya Gin, maaf banget”, kembali Karen
merajuk.
“Iya nggak apa-apa kok”, Gina kembali
mencoba untuk menyunggingkan senyum guna menghilangkan rasa khawatir sahabat-sahabatnya.
“Eh makan yuk! Laper banget nih…”.
Nietha |
“Lu bener nggak apa-apa kan ?”, Hanny mencoba sedikit meyakinkan
kalau perasaan Gina saat ini benar-benar baik-baik saja.
“Iya bener gue nggak apa-apa kok! Ayo
dong, laper banget nih hehehe…”, Gina menarik tangan ketiga sahabatnya
bersamaan dan memasang wajah memelas.
“Iya deh…”, ketiganya pun kemudian
menyahut kompak.
Kini keempat gadis cantik tersebut telah
berada di sebuah café. Mereka kini terlihat sedang asyik menikmati makanan yang
telah mereka pesan masing-masing. Sesekali masih terdengar suara tawa
menyelingi percakapan mereka. Suasana café itu terlihat cukup lengang tidak
seperti biasanya yang cenderung ramai, mungkin karena jam makan sudah lewat
beberapa jam yang lalu. Yang kini terlihat di tempat itu hanyalah geng Gina,
seorang laki-laki paruh baya dan dua orang pasangan muda.
Sedang asyik memakan nasi goreng
pesanannya, tiba-tiba Gina merasakan tepukan tangan Nietha di pahanya. “Ada apaan sih Nit?”.
“Lu duduk sopan dikit dong Gin”, sambil berbisik
kembali tangan Nietha memegang paha Gina kemudian sedikit mendorongnya.
Gina yang memang merasa kedua kakinya
terbuka di bawah meja kemudian mengatupkan kedua pahanya, walau ia sendiri
masih belum mengerti maksud Nietha tadi.
“Eh kalian ngapain sih?”, Karen berhenti
mengunyah bakso di mulutnya. Akibat pertanyaan Karen, membuat Hanny juga
menghentikan aktifitas makannya.
“Lu semua ngeliat om-om yang makan
sendirian tu nggak?”.
Hanny dan Karen terpaksa menoleh
kebelakang karena memang saat ini mereka dalam posisi membelakangi om-om yang
dimaksud oleh Nietha.
“Iya liat, trus?”, jawab Gina.
“Dari tadi tu bapak ngelirik-ngelirik ke
meja kita deh”.
“Terus emang kenapa?”, tanya Gina lagi.
“Masalahnya tu om-om nggak cuma ngeliatin kita, tapi juga ngeliatin
di bawah meja kita, gue perhatiin terus kayaknya tu om-om ngintipin lu deh
Gin”.
“Aduh masa sih?”, Gina kembali melihat
posisi kakinya di bawah meja.
“Serius lu Nit? Wah perlu gue damprat juga
tu om-om!”, Karen hendak beranjak dari tempat duduknya, namun beruntung segera
dicegah oleh Hanny yang duduk disebelahnya.
“Udah ah Ren, lu jangan bikin ribut deh”,
ucap Hanny.
“Om-om genit kayak gitu musti dikasi
pelajaran tau nggak?!”.
“Iya tapi nggak enak nih ama yang punya
café”, tambah Hanny lagi. “Lagian lom tentu kan tu om-om beneran berniat ngintipin
Gina”.
“Gimana kalo kita buktiin aja tu om-om
beneran niat ngintipin gue apa nggak”, tiba-tiba Gina menyeletuk.
“Ah? Maksud lu?”, ucap ketiga gadisnya
hampir bersamaan.
“Lu semua lanjutin makan aja deh”.
Walau masih tersimpan rasa heran dalam
benak mereka masing-masing, namun ketiga gadis tersebut melanjutkan kembali
aktifitas makan mereka sebagaimana dikatakan Gina tadi. Gina sendiri juga
kembali melanjutkan memakan nasi goreng di hadapannya. Memang diatas meja Gina
terlihat biasa-biasa saja, namun dibawah meja secara berlahan gadis cantik itu
terlihat kembali membuka lebar kedua kakinya sambil sesekali melirik ke arah
laki-laki paruh baya yang duduk beberapa meja di depannya.
Nietha yang sekilas melihat ke bawah meja
langsung melotot ke arah Gina, “Ngapain sih lu?”.
“Hehehe mau ngejebak tu bapak-bapak”.
“Wah sakit lu ya!”, bisik Nietha.
“Apaan lagi sih?”, Karen bertanya sambil
berbisik pula.
“Ni anak ngangkang tambah lebar di bawah
meja”.
Karen dan Hanny hanya tersenyum kecil
mendengar kata-kata Nietha. Mereka bertiga memang tahu kalau Gina memang
terkadang suka berbuat usil menggoda cowok-cowok dengan cara seolah-olah tidak
sengaja memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya. Namun untuk kali ini mereka cukup
salut dengan keberanian Gina menggoda seorang laki-laki paruh baya yang mungkin
seumuran ayah mereka.
“Kayaknya tu bapak-bapak beneran ngintipin
gue deh, liat tu ampe salah tingkah gitu makannya hehehe”.
“Masa sih?”, Karen bertanya tanpa berani
menolehkan kepalanya.
“Eh liat deh Gin, kayaknya ada yang nonjol
di selakangan tuh om-om genit hehehe”, ucap Nietha berbisik.
“Ah nggak mungkin keliatan lah Nit, model
om-om kayak gitu sih biasanya kecil tuh ukuran kon…”.
Nietha langsung menutup mulut Gina sebelum
ia melanjutkan kata-katanya lebih jauh. “Huus… ati-ati kalo ngomong, disini kan masih ada perawan!”.
Wajah Hanny langsung memerah mendengar
kata-kata Nietha. Memang diantara ketiga temannya ini hanya dirinya-lah yang
belum pernah merasakan nikmatnya persetubuhan.
“Ups… sory! Hehehe…”, bisik Gina.
Dipermainkan seperti itu, kini wajah Hanny
pun nampak semakin memerah.
“Udahan ah, ntar tu om-om beneran konak
bisa bahaya lo!”, Nietha yang kemudian kembali berbisik.
“Nggak ah, gue mau ngasi tu om-om sesuatu
yang lebih dasyat hehehe”.
“Maksud lu?”, tanya Karen heran. Sedangkan
di sampingnya Hanny hanya terlihat terdiam tak berkomentar.
“Gue pinjem kunci mobil lu dong Nit”.
“Lu mau ngapain Gin?”.
“Udah pinjem bentar”.
Dengan ragu Nietha mengeluarkan kunci
mobilnya dari dalam saku roknya dan menyerahkannya kepada Gina. Sedangkan Karen
dan Hanny hanya bisa terheran-heran melihat tingkah aneh dari kedua sahabatnya
tersebut.
“Tunggu bentar ya”, dengan santainya Gina
beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu keluar café tersebut.
Karen memberikan isyarat kepala kepada
Nietha seolah-olah menanyakan kemana Gina akan pergi. Nietha lalu menggelengkan
kepalanya menandakan kalau ia juga tidak tahu kemana sahabatnya itu akan pergi.
Mereka pun kini hanya bisa menunggu sambil menikmati minuman masing-masing yang
masih belum habis. Beberapa menit kemudian Gina sudah kembali duduk di
tempatnya semula.
“Nih kunci mobil lu”.
“Kemana lu tadi?”, bisik Nietha.
“Ngelepas ini nih hehehe”, sambil
cekikikan kecil Gina mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong rok abu-abunya.
Melihat benda yang dikeluarkan Gina dari
sakunya, sontak membuat Nietha yang sedari tadi meminum juice-nya hampir
tersentak dibuatnya. Di dalam genggaman tangan sahabatnya itu ia melihat sebuah
kain mungil berwarna putih. Nietha yakin dan percaya kalau kain mungil itu
adalah sebuah celana dalam. Jika itu benar maka berarti kini sahabatnya itu
tidak lagi mengenakan celana dalam di balik roknya.
“Wah lu tu bener-bener sakit jiwa Gin!”,
Nietha menepuk paha Gina yang kini telah kembali terbuka dengan lebar.
Gina hanya menanggapi pernyataan
sahabatnya itu dengan senyuman kecil.
“Apaan sih?”, Karen sampai harus melongo
ke bawah meja agar bisa melihat apa yang membuat Nietha menjadi tersentak
hebat.
Dengan segera Nietha menyambar kain mungil
yang dipegang Gina. Tanpa sempat dicegah oleh Gina, celana dalam itu kini sudah
tergeletak di atas meja. Melihat benda itu, ekspresi keterkejutan yang sama
langsung tergurat di wajah Karen dan Hanny. Belum sempat kedua gadis cantik itu
mengeluarkan komentar, Gina langsung menyambar celana dalam tersebut dan segera
memasukkannya kembali ke dalam saku roknya.
“Gila lu Nit, gue kan bisa malu kalo ada yang liat”.
“Lu itu yang gila, main ngelepas celana
dalam di tempat umum kayak gini!”, Nietha langsung menanggapi.
“Ya ampun Gin, penyakit eksi lu kok makin
parah aja sih?”, kali ini Hanny yang berkomentar.
“Iya cuma buat lucu-lucuan aja kok”.
Karen langsung sewot mendengar kata-kata
Gina. “Lucu-lucuan? Trus klo tu om-om tau terus ngedatengin lu gimana?”.
“Kan
ada lu-lu semua?”.
“Terserah lu deh!”, Karen kembali
menimpali dengan ekspresi sebal.
Karena sedang asyik bertengkar, tanpa
mereka berempat sadari kalau om-om yang sedang mereka pertengkarkan kini sudah
tidak berada lagi di tempatnya semula.
“Eh… eh… udahan bertengkarnya, lu semua
liat deh tu om-om udah pergi tau nggak?”, Hanny berseru.
Karen |
“Udah ah, harusnya kita bersyukur tu
bapak-bapak udah pergi, biar ini anak nggak jadi tambah gila!”, Karen langsung
menunjuk hidung ke arah Gina, yang hanya disambut gayanya yang cengengesan.
Karena melihat om-om yang menjadi
sasarannya telah pergi, Gina pun memakai kembali celana dalamnya. Emang
dasarnya memiliki bakat eksi, bukannya pergi ke toilet gadis cantik itu nampak
dengan santainya memakai celana dalam itu di tempat duduknya. Sambil sedikit
mengangkat pantatnya dari kursi Gina berlahan mulai mengenakan kain mungil itu
berusaha agar tidak menarik perhatian orang-orang yang berada diseliling
mereka. Ketiga sahabatnya yang tahu apa yang sedang Gina lakukan hanya bisa
menggeleng-geleng pasrah.
Akhirnya mereka berempat pun selesai
menyantap makan siang mereka. Setelah membayar makanan tersebut masing-masing
kepada pelayan café, mereka pun kemudian nampak bergegas beranjak dari meja
tersebut. Namun sebelum mereka beranjak dari meja, seorang laki-laki tua
terlihat berjalan mendekati meja mereka.
“Maaf Non, bisa saya berbicara dengan Non
sebentar?”, laki-laki itu memandang ke arah Gina.
“Saya?”, Gina seakan-akan ingin menegaskan
kembali maksud laki-laki itu.
“Iya Non”.
“Disini aja ngomongnya nggak apa-apa kok
Pak”.
“Nggak bisa Non, soalnya ini masalah
khusus jadi harus empat mata, saya mohon Non”.
Gina menoleh ke arah sahabat-sahabatnya,
seolah meminta pendapat mereka. Ketiga gadis lainnya hanya bisa mengangkat bahu
tanpa tidak mengerti.
“Ya udah deh Pak, kalo gitu kita ngobrol
disana”, Gina beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan tas sekolahnya di
atas meja.
Nietha, Karen dan Hanny hanya bisa saling
memandang mendengar jawaban Gina.
“Tungguin ya girls!”, ucap gadis cantik
itu sebelum berjalan mengikuti laki-laki tadi.
Cukup lama Gina terlihat berbicara dengan
laki-laki itu. Sedangkan ketiga sahabatnya hanya bisa menunggu dengan ekspresi
wajah penuh tanda tanya. Beberapa menit kemudian gadis cantik itu lalu kembali
ke meja tempat sahabat-sahabatnya menunggu dan duduk di tempatnya semula.
“Ada
apa sih Gin? Siapa tu bapak-bapak?”, Karen langsung menyerbu Gina dengan
pertanyaan.
“Kayaknya gue nggak bisa pulang ama lu
semua girls”, Gina berkata sambil mengambil tas sekolahnya.
“Maksud lu?”, tanya Hanny.
“Gue mau pergi ama tu bapak-bapak”, jawab
Gina singkat.
“Haaah…!!!”, teriak ketiga gadis itu
hampir bersamaan mendengar kata-kata Gina.
“Sumpah, gue nggak ngerti maksud lu Gin,
lu kan nggak
kenal ama itu bapak-bapak? Kok lu dengan santainya bilang lu bakal pergi ama tu
bapak-bapak?”, ucap Karen sewot.
“Iya bener tuh Gin, maksud lu apa sih
sebenernya?”, Nietha menambahkan.
“Pokoknya lu semua percaya aja deh ama
gue”.
“Percaya ama lu? Apa yang musti kita
percayain Gin?”, Karen kembali berseru.
“Besok deh gue cerita di sekolah, sekarang
gue pergi dulu ya?”.
“Gin…!! Lu mau kemana sih?”, teriak Karen
lagi.
“Pokoknya ampe besok girls”, Gina melambai
ke arah sahabat-sahabatnya sambil melangkah pergi. “Oya, kalo mama gue nelpon
bilang aja gue pergi ke toko buku”.
Nietha, Hanny dan Karen terlihat tidak
bisa melakukan apapun selain memandang keperluan Gina dengan tatapan penuh
kecemasan.
“Om, kira kamu nggak bakal mau ikut dengan
Om ”.
Gina hanya tersenyum kecil.
“Nama kamu siapa?”.
“Gina, Om ”.
“Oh, nama yang cantik secantik orangnya”.
Kembali Gina hanya bisa tersipu malu. Saat
ini Gina sedang berada di dalam mobil bersama dengan laki-laki yang tadi
“digoda”-nya di café bersama teman-temannya. Laki-laki paruh baya itu kah? Iya
laki-laki paruh baya yang mereka sebut om-om itu! Entah apa yang ada di dalam
pikiran Gina sehingga ia berani bermain api pergi bersama dengan laki-laki yang
mungkin seumuran ayahnya ini. Dan parahnya lagi kini Gina dalam status “under
booking”. Under booking? Iya, karena laki-laki tua yang tadi berbicara dengan
Gina adalah sopir dari laki-laki paruh baya tersebut. Maksud laki-laki tua itu
berbicara dengan Gina adalah untuk menyampaikan maksud bos-nya untuk
mem-booking Gina guna menemaninya beberapa jam di kamar hotel.
Rupanya sakit hati Gina terhadap
pacar-pacarnya sudah sedemikian parah. Kepergian Gina kali ini adalah memang
untuk melampiaskan rasa sakit hatinya terhadap laki-laki yang kerap menikmati
tubuhnya secara gratis dengan status pacar. Kini Gina ingin menunjukkan kalau
tubuhnya ini ada harganya, dan harganya tentu tidak murah.
“Oh ya nama Om, Herdianyah kamu cukup
panggil Om dengan panggilan Herdi saja”.
“Iya Om”.
“Senyum mesum tersungging di wajah
laki-laki paruh baya tersebut. Laki-laki yang kini duduk disamping Gina
berperawakan tidak terlalu tinggi, mungkin setinggi Gina, bertubuh kurus dan rambut
yang walaupun masih dominan berwarna hitam namun beberapa helai sudah mulai
nampak memutih. Dari perawakannya, terlihat kalau laki-laki ini cukup berada.
Mungkin ia adalah seorang pejabat tinggi atau pengusaha yang memiliki bisnis
yang cukup sukses, karena kalau tidak tentunya tidak akan mampu membeli sebuah
mobil BMW tipe elite seperti ini.
“Maaf Pak, sekarang kita kemana?”,
laki-laki tua yang menemui Gina tadi bertanya kepada Om Herdi.
“Ke hotel *** Man”.
“Baik Pak”.
Namun sebelum mbil tersebut berjalan
tiba-tiba Gina menyeletuk. “Maaf Om, kalo ke hotel *** aja gimana?”.
Hanny |
“Oh boleh saja, kalau begitu kita ke hotel
*** saja Man”.
“Baik Pak”.
Mobil BMW biru metalik itupun kemudian
melaju pelan menuju lokasi yang disebutkan oleh Om Herdi tadi.
“Ngomong-ngomong tadi kamu di café
benar-benar “nakal” waktu duduk ngangkang di depan Om, nganceng lo Om ngeliatnya hehehe”.
Gina hanya tersenyum kecil. Jauh di dalam
hatinya ia senang karena “aksi”-nya berhasil menarik perhatian sasarannya. Tapi
sebagai seorang wanita tentunya ia tidak mau terkesan terlalu murahan sehingga
ia merasa perlu untuk membuat seolah-olah perbuatan tersebut dilakukannya
dengan tidak sengaja.
“Maksud Om?”, Gina pura-pura tidak
mengerti maksud dari perkataan laki-laki tersebut.
“Itu lo waktu kamu ngangkang di bawah meja
hehehe”.
“Oh, Om
ngeliat ya?”.
“Ya jelas ngeliat dong, tapi sayang yang
mau Om liat masih tertutup sama segitiga warna
putih tuh hehehe”, tangan Om Herdi mulai nakal merabai paha Gina.
Gina kembali tersenyum kecil. Rupanya Om
Herdi sama sekali ini tidak menyadari kalau di café tadi ia sempat melepaskan
celana dalamnya.
“Jangan Om…”, Gina mencoba menepis tangan
Om Herdi, walaupun sebenarnya laki-laki itu memiliki hak untuk melakukan itu,
namun tentunya Gina malu kalau diraba-raba seperti itu ketika sopir Om Herdi
bisa melihat perbuatan tersebut melalui kaca spion.
Namun walaupun kedua tangan Gina berusaha
untuk menghentikan tangan Om Herdi untuk terus masuk ke dalam roknya, usaha itu
terlihat sia-sia belaka. Kini Gina bisa merasakan usapan jari-jari nakal
laki-laki paruh baya itu telah menyentuh permukaan celana dalamnya.
“Om …
jangan”, kembali Gina mendesah pelan karena rasa geli mulai menjalar ke sekujur
tubuhnya akibat sentuhan jari-jari Om Herdi di daerah kewanitaannya. Kedua
tangan Gina masih berusaha menghentikan aksi-aksi nakal Om Herdi di dalam rok
abu-abunya.
“Jangan apa Gin? Jangan berhenti?
Hehehe…”.
“Jangan di sini Om ,
saya malu…”.
“Kenapa harus malu, di sini kan cuma ada kita saja?
Kaca mobil ini kan
gelap jadi orang-orang di luar tidak akan tahu apa yang terjadi di dalam”, kini
jari-jari Om Herdi yang semula menyerang daerah kewanitaannya mulai mengganti
sararan ke arah gundukan bukit kembar Gina.
“Tapi… tapi kan
ada sopir Om ”.
“Oh si Maman? Dia sih sudah biasa melihat
hal-hal seperti ini hehehe…”.
Sekilas ditengah serangan Om Herdi kepada
kedua payudaranya, Gina bisa melihat dari kaca spion depan kalau sopir Om Herdi
yang katanya bernama maman tersebut tersenyum ke arahnya. Rupanya benar kalau
Maman ini sudah biasa melihat tingkah polah bos-nya yang kerap menggarap
wanita-wanita di dalam mobil.
“Saya mohon Om ,
nanti saja di hotel kita melakukan ini semua…”, rasa risih rupanya masih
menyelimuti diri Gina apabila harus bercumbu di depan orang lain, karena hal
ini memang tidak pernah ia lakukan bersama pacar-pacarnya.
Bukannya menghentikan aksi-aksinya, Om
Herdi justru semakin mengganas. Terlihat sekali kalau nafsu birahi mulai
membumbung tinggi membakar akal sehat laki-laki paruh baya tersebut. Bahkan
kini Om Herdi berusaha menyerang bibir Gina menggunakan bibirnya. Jelas sekali
Om Herdi sudah tidak sabar untuk menikmati tubuh muda dan sintal dihadapannya
ini.
Akhirnya setelah sekian lama mencoba
melawan Gina pun menyerah dan membiarkan aksi-aksi Om Herdi. Bibir Gina kini
telah sepenuhnya berada di dalam lumatan bibir Om Herdi, begitu pula dengan
kedua payudaranya yang sudah sejak tadi sepenuhnya dikuasai tanpa perlawanan.
“Hhhmm…”, Gina hanya bisa mendesah pelan
menerima serangan demi serangan di tubuhnya. Walaupun tubuhnya masih tertutup
pakaian lengkap, namun remasan tangan Om Herdi di dadanya cukup membangkitkan
gairahnya.
“Aaah… tubuh kamu benar-benar wangi Gin”,
bisik Om Herdi.
“Hhhmm…”, kembali hanya desahan tertahan
yang terdengar keluar dari mulut mungil Gina.
Asyik mencumbui Gina di bangku belakang,
laki-laki paruh baya itu tidak menyadari kalau mobil yang mereka kendarai akan
segera memasuki areal lobi hotel yang mereka tuju.
“Maaf Pak, kita sudah sampai”, sebelum
mobil memasuki areal lobi Maman, sopir Om Herdi seolah-olah mengingatkan
bos-nya itu untuk segera menghentikan perbuatannya di bangku belakang.
Mendengar suara dari sopirnya tersebut
segera saja Om Herdi menghentikan cumbuannya. Gina pun akhirnya bisa bernafas
dengan lega karena lumatan bibir Om Herdi akhirnya berhenti. Sekilas Gina
sempat melihat sopir Om Herdi yang kini menoleh ke belakang menelan ludah melihat
posisi kakinya yang terbuka lebar. Dengan segera gadis cantik itu mengapitkan
kedua pahanya. Walaupun masih tertutup celana dalam, tentunya Gina tidak ingin
selangkangannya dinikmati oleh mata nanar laki-laki sekelas Maman dengan
gratis. Melihat itu, Maman pun lalu segera mengalihkan pandangannya ke tempat
lain. Kini keduanya terlihat merapikan pakaian mereka masing-masing, terutama
Gina yang merasakan kalau posisi pakaian dalamnya sudah berpindah akibat
remasan tangan laki-laki paruh baya tersebut.
“Ayo kita turun Gin”.
Gina pun lalu menyusul Om Herdi keluar
dari mobil.
“Man, kamu parkir mobil dulu setelah itu
kami bisa tunggu kami di lobi”.
“Baik Pak”, lalu Joni masuk kembali ke
dalam mobil dan kemudian mobil BMW itu pun melaju pelan meninggalkan lobi hotel
tersebut.
“Mari Gin”, tak terlihat lagi sosok
laki-laki yang tadi nampak ganas mencumbui Gina di dalam diri Om Herdi. Gina
cukup salut dengan perubahan sikap Om Herdi, dimana ia bisa terlihat kembali
berwibawa dan kebapakan begitu berada di hadapan orang banyak.
Gina tidak memberikan komentar. Gadis
cantik itu hanya mengikuti langkah laki-laki paruh baya itu memasuki lobi
hotel. Di depan resepsionis Om Herdi bertingkah seolah-olah sedang memesankan
kamar untuk anak saudaranya dari luar kota .
Ia bertingkah seolah-olah Gina baru
selesai menjalani sebuah tes masuk salah satu universitas negeri dan ia
mengantarkannya karena gadis yang kini diajaknya baru pertama kali menginjakkan
kaki di kota
tersebut. Kembali Gina harus mengakui kelihaian laki-laki paruh baya itu dalam
merangkai sebuah kebohongan. Jika Om Herdi tidak lihai tentunya sang
resepsionis akan curiga melihat seorang laki-laki paruh baya berpakaian resmi
sedang mem-booking sebuah kamar dengan ditemani seorang gadis berpakaian
seragam SMU.
Ketika Om Herdi masih sibuk mengurus
administrasi, suara ponsel Gina terdengar dari kantong rok abu-abunya. Dengan
segera gadis cantik itu mengambil ponselnya. Ia melihat nama “Karen” terpampang
di layar ponselnya. Rupanya sahabat-sahabatnya masih khawatir dengan keadaan
Gina. Gadis cantik itu langsung mematikan sambungan telepon tersebut dan
mengubah status ponselnya menjadi mode getar. Setelah itu Gina memasukkan
ponselnya ke dalam tas sekolahnya.
“Ada
apa Gin?”, Om Herdi rupanya mendengar suara ponsel Gina tadi.
“Hhhm… nggak ada apa-apa kok Om ”, Gina terlihat sedikit salah tingkah.
Laki-laki paruh baya itu pun kemudian
hanya tersenyum kecil.
Tak perlu waktu lama bagi Om Herdi untuk
mendapatkan sebuah kunci kamar dan melakukan pembayaran tunai untuk satu malam.
Keduanya kini sudah nampak berjalan menuju lift yang akan mengantarkan mereka
ke lantai dua. Di dalam hati Gina berharap dirinya tidak akan bertemu dengan
orang-orang yang mengenalinya, karena memang ia sudah beberapa kali mem-booking
kamar di hotel ini bersama pacarnya. Beberapa menit kemudian mereka berdua
sudah berdiri di depan kamar yang di-booking Om Herdi tadi.
“Silakan Gin”, masih nampak kesopanan di
dalam nada bicara Om Herdi.
Gina pun masuk ke dalam kamar hotel
tersebut. Tata letak ruangan kamar hotel ini rupanya sama seperti kamar-kamar
lain di hotel tersebut yang biasa di booking-nya. Beberapa saat Gina menyapu
pandangannya ke sekeliling ruangan sampai saat ia merasakan sebuah pelukan dari
belakang dengan lembut membekap dirinya.
“Aaakhh… Om …”,
Gina mendesah pelan ketika Om Herdi mulai menciumi pipi dan lehernya.
“Kamu cantik sekali Gin…”, bisik Om Herdi
di telinga Gina.
Kecupan demi kecupan lembut mendarat di
pipi, telinga dan leher gadis cantik tersebut. Sementara itu sebuah remasan pelan
bergiliran mulai menyerang kedua payudara Gina. Gadis cantik itu sendiri hanya
bisa memejamkan matanya dan membiarkan dirinya sepenuhnya larut ke dalam
rangsangan yang diberikan Om Herdi. Beberapa kali Gina merasakan sesuatu yang
keras diselangkangan laki-laki paruh baya itu menggesek-gesek pantatnya.
“Oohh… Om …”,
Gina kembali mendesah lirih. Ia terlihat sudah mulai sepenuhnya menikmati
rangsangan yang diberikan oleh Om Herdi.
“Suka?”, tanya Om Herdi di sela-sela
ciuman dan jilatan lidahnya.
“Iya Om ooohh…”.
Gina hanya bisa mendesah dan terus
mendesah seiring tangan Om Herdi yang mulai nakal membuka dua kancing hem putih
yang dikenakannya, sehingga tangan kanan laki-laki itu dapat menyentuh branya
secara langsung. Dengan berlahan Om Herdi mulai melakukan remasan-remasan pelan
di payudara kanan Gina. Rasa nikmat pun semakin mendera sekujur tubuh Gina.
“Pertama kali ya?”, bisik Om Herdi di
telinga Gina ketika melihat gadis itu nampak sedikit kikuk.
Gina hanya mengangguk pelan.
“Dibawa santai saja ya? Kita pelan-pelan
saja”.
Kembali Gina hanya mengangguk.
Tak lama kemudian Om Herdi membalikkan
tubuh Gina dan kembali memeluknya erat. Kini bibir laki-laki paruh baya itu
langsung mendaratkan sebuah ciuman dan melumat lembut bibir mungil Gina. Gadis
cantik itu pun kini terlihat memasrahkan diri dan mencoba mengimbangi lumatan
bibir laki-laki di hadapannya tersebut. Lidah Om Herdi kini dengan berlahan
mulai masuk dan bermain di dalam mulut Gina. Dengan sedikit gelapan Gina
kembali harus mencoba mengimbangi liarnya lidah Om Herdi yang sedang
menari-nari di dalam mulutnya.
Ketika lumatan bibir keduanya mulai nampak
memanas, tiba-tiba saja Om Herdi mendorong pelan tubuh Gina sehingga gadis
cantik itu terpaksa berjalan mundur. Ketika Gina merasakan belakang kakinya
menyentuh ujung ranjang, Om Herdi mendorong tubuh gadis cantik itu agak keras
sehingga membuatnya terjerembab di atas ranjang. Laki-laki paruh baya itu
kemudian tersenyum ke arah Gina yang tergolek pasrah di atas ranjang. Gadis
cantik itu sendiri hanya berdiam diri dan membiarkan Om Herdi memegang kendali
permainan. Kemudian dengan berlahan Om herdi
membuka dasi, kemeja berikut dengan sepatu dan kaos kaki yang dikenakannya.
Kesemua pakaian itu kini telah teronggok di lantai ketika Om Herdi mulai
merangkak naik ke atas ranjang dan menindih tubuh Gina.
Om Herdi mengecup bibir Gina lembut
kemudian tersenyum kecil ke arah gadis cantik tersebut. Kemudian seperti
layaknya seorang bapak kepada anaknya, dengan perlahan dibukanya sepatu dan
kaos kaki Gina sambil menikmati indahnya bentuk betis dan paha gadis cantik
dihadapannya. Rupanya Om Herdi ingin menikmati permainan cinta dengan si gadis
remaja ini dengan berlahan dan penuh kesabaran. Ia sadar betul kalau harga yang
ditawarkan Gina terlalu mahal apabila permainan ini harus diselesaikan secara
terburu-buru. Dengan bertelanjang dada, akhirnya tangan-tangan Om Herdi kembali
mulai nakal meremas-remas kedua payudara Gina sehingga mengakibatkan gadis
cantik itu bergelinjang pelan.
“Benar-benar dada yang montok dan padat!”.
Komentar
Posting Komentar