Langsung ke konten utama

Hasrat Terpendam Dalam Diriku 4


Kupakai kembali gaun tidurku yang dipenuhi dengan noda sperma dan dengan langkah sedikit tertatih aku berjalan keluar kamar sambil menenteng bra dan celana dalam milikku yang juga bernasib sama. Dalamanku tak bisa kupakai lagi namun aku juga tak cukup gila untuk keluar kamar ini dengan keadaan tanpa busana.
"Non."
Tangan kasar itu merengkuh tubuhku dari belakang, menghentikanku di daun pintu. Diciumnya leher bagian belakangku dan diremasnya dadaku yang kini tak dihalangi apapun lagi."Besok lagi, pak." Aku mencoba melepaskan diri dengan meyakinkan pejantanku bahwa ini bukanlah yang terakhir, namun tangan itu seolah tak ingin membiarkanku pergi.

Dia terus menghirup aroma keringat yang mengalir deras di leherku seolah itu adalah narkoba pribadinya. Aku mendengus lemah mencoba melepaskan diri, di tengah perlawananku tak sengaja tangan kananku menyentuh selangkangannya dan benda hangat itu sudah kembali menegak sempurna. Bahkan setelah berjam-jam dia menyetubuhiku, batang penis ini masih berdiri tangguh memperlihatkan keperkasaannya.
"Udah pakkhhh .... nanti Mas Rian bangunnhh ...." lanjutku hingga pria itu pun melonggarkan pelukannya.
Aku berbalik sebentar menghadapnya lalu mendongkakkan kepalaku, "Istirahat dulu sayang."

Pria tua itu pun menyambar bibirku saat mendengar ucapan genitku sehingga kami bertukar ciuman terakhir dengan penuh gairah. Selagi menciumku tangannya tak mau berhenti meremas bongkahan pantatku seolah tak rela aku pergi meninggalkan dirinya.

Kudorong dadanya dan melepas ciuman kami sehingga saliva antara aku dan dirinya sesaat membentuk benang yang mehubungkan antara bibirku dan bibir tuanya.
"Kita lanjut besok sayang," balasnya, membuatku jatuh hati pada suaranya.

Suara decakan jarum jam di dapur menunjukkan pukul sebelas lewat tigapuluh tujuh menit. Nyaris enam jam lamanya aku di dalam sana, tanpa mempedulikan Mas Rian bisa kapan saja mendobrak pintu masuk kami dan memergoki aku tengah bercinta dengan Pak Danang. Tetapi birahiku sudah kepalang tanggung mengalahkan akal sehatku sendiri sehingga rasa takutku sirna selama aku bersama Pak Danang.
"Sssshhhh .... uhhhhh ...." desahku.

Rasa ngilu bersarang di selangkangku. Bisa kurasakan cairan mani Pak Danang yang sebelumnya memenuhi rahimku kini meluber keluar dan mengaliri pahaku. Selagi aku berjalan menuju ruang tamu, cairan putih itu terus menetes di lantai melalui bajuku.

Apakah kata orang-orang jika melihat wanita sepertiku berjalan melewati mereka dengan keadaan seperti ini. Sudah jadi apa aku sekarang. Pikiran-pikiran itu datang dan pergi di tengah aku menaiki tangga menuju kamarku dan Mas Rian.

Kubuka pintu kamarku dan melihat Mas Rian masih berkutat di atas ranjang dalam selimutnya. Kutanggalkan semua pakaianku yang sudah acak-acakan lalu kucampakkan di lantai sebelum kemudian masuk ke kamar mandi kamar kami.
Kubasuh seluruh tubuhku di sana sambil menikmati guyuran air shower.
"Ssshhhh duuhhhh...." Aku meringis sambil melebarkan bibir kemaluanku dan mengorek-ngorek cairan di dalamnya.

Kukencangkan otot perutku dan kudorong keluar semua sisa-sisa lendir percintaanku hingga bersih tak bersisa. Kugosok tubuhku dengan sabun dan kulapisi lagi dengan cairan sampo untuk menghilangkan aroma-aroma tidak sedap dari kulitku.

Keluar dari kamar mandi, kukeringkan tubuh dan rambutku lalu kuambil sepasang pakaian dalam di lemari dan mengenakannya.
Selagi kusisir rambutku di depan cermin, tak sengaja pandanganku jatuh pada kalender kecil di samping meja riasku. Nampak sebuah tanda melingkar merah pada tanggal yang temponya jatuh pada lusa terpampang di sana

Aku pun mengambil ponselku dan mencoba membuat pesanan. Saat pesan itu kukirim baru kuteringat waktu sudah hampir mencapai pertengahan malam. Yah sudahlah, besok pagi-pagi kucoba telepon langsung saja tokonya, siapa tahu masih sempat.
Kurebahkan tubuhku di samping Mas Rian. Tak perlu waktu lama sebelum aku akhirnya ikut terlelap bersama dirinya. Nampaknya aku sudah mencapai batasanku juga.

Arus waktu terasa begitu singkat namun berlalu menghayutkan kami berdua dengan begitu cepat. Suara alarm dari ponsel Mas Rian yang berbunyi berkali-kali pun tak lagi bisa kuhiraukan.

Padahal rasanya baru sesaat yang lalu aku memejamkan mata namun waktu berlalu begitu cepat di alam tidurku,
"Mas, bangun mas! Mas Rian .... bangun .... udah pagi. panggilku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.

Kuambil ponselnya dan kubawa mendekat, pria itu pun terpaksa membuka matanya saat mendengar bunyi alarm hapenya sengaja kubiarkan berada di dekat wajahnya.

Masih nampak warna kemerah-merahan di bola matanya dan dengan raut muka sedikit kesal dia mematikan alarm ponselnya. Beberapa detik dia utak-atik hapenya sebelum air mukanya berubah menjadi segar dan panik. Dia bergegas turun dari ranjang kami, namun karena baru bangun dan masih pusing dia justru jatuh tersungkur ke lantai karena kehilangan keseimbangan.
"Mas! Mas Rian! Ada apa mas?" tanyaku panik.

"Meeting yang kemarin di-reschedule, Ay, di Hotel Andalusia—Kota B. Tadi malam baru masuk pemberitahuannya suruh kumpul di bandara jam sembilan buat check-in penerbangan," jawabnya sambil memaksa berdiri dan lari ke kamar mandi.
"Tiketnya segala macam gimana mas?" tanyaku.
"Udah dipesanin orang kantor, suruh kumpul di sana dulu," jawab Mas Rian setengah berteriak di dalam kamar mandi.

Kota B? Jaraknya cukup jauh dari kota tempatku dan Mas Rian sekarang. Kalau mau sampai bandara jam sembilan berarti harus dari pagi-pagi sekali dong berangkatnya.
"Kamu kenapa ngga bangunin aku sih tadi malam, jadinya kan malah buru-buru gini pagi-pagi," gerutunya sambil mengelap tubuhnya dengan handuk.
"Yah kamunya aja yang susah dibangunin. Udah kucoba bangunin kok," kilahku.

Dia memasukkan laptop dan berkas-berkas lain ke dalam tasnya, sementara aku menyetrika kemeja dan celana miliknya. Selesai dengan itu lalu aku keluar mengikutinya menuruni tangga.

Di lantai bawah terlihat Pak Danang tengah sibuk mengepel lantai rumah kami sementara Mas Rian datang dengan terburu-buru.
"Hati-hati pak, lantainya masih licin," ucap Pak Danang.
"Pak Danang, mobil udah siap?" potong Mas Rian.
"Masih dipanaskan pak di luar."
"Bapak ngga usah ganti baju, pakai gini aja, anterin saya ke bandara sekarang supaya saya bisa sambil bikin powerpoint di mobil."
"Baik, pak."

Pak Danang pun menaruh pelnya kembali di dapur lalu permisi melangkah keluar, membuka pagar. Sekilas mata kami bertemu namun aku bergegas mengalihkan pandanganku kembali pada Mas Rian.
"Lama ya, Mas?" tanyaku.
"Kemungkinan lusa baru pulang, Ay. Sehari aja kok di sana, kamu jangan nakal ya," jawabnya seraya mencium keningku.

Ketika mobil itu sudah keluar Pak Danang membukakan pintu untuk Mas Rian dan menutup kembali pagar sebelum pergi meninggalkanku yang masih termanggu di teras.

Kukeluarkan ponselku dan kutelepon salah satu toko kue langgananku.
"Permisi kak, mau pesan kue buat tanggal 17 nanti, kira-kira bisa ngga? Model sama kartu ucapannya tadi pagi sudah saya kirim," panggilku.
"Oh baik kak reservasi atas nama siapa kak?"
"Atas nama Ayu Andini.
"Baik, kak. Rencana mau diambil jam berapa?"
"Kurang tahu sih, mungkin sekitaran siang-siang gitu, nunggu suami saya pulang dari luar kota."

"Kalau pukul sebelas sampai setengah satu itu masih tutup kak, soalnya pegawainya keluar istirahat, Kalau kakak mau diatas jam segitu sih."
"Oh yasudah, saya ambil jam dua siang, lusa nanti ya."
"Baik kak."

Kututup panggilanku dan masuk kembali ke dalam rumah. Kupandangi potrait diriku dan Mas Rian dalam figura besar menggantung di ruang keluarga. Siluet senyumku terpatri indah seraya memegangi tangan Mas Rian dalam bingkai foto itu. Mungkin saat itu aku bermimpi akan bahagia bersamanya.

Apakah aku bahagia sekarang?
Apa kurangnya Mas Rian?
Mungkin banyak wanita di luar sana yang rela mengantri demi bersanding di foto itu bersama suamiku.
Mungkin aku masih kurang bersyukur.

Tapi apakah benar ini semua salahku? Mengapa? Mengapa aku tidak bisa bahagia? Seberapa banyakpun senyuman dan kasih sayang yang kucurahkan padanya, tetap saja rasa kosong di dadaku menghantui setiap tidurku.
Bimbang.
Mengapa rasa bimbang ini muncul. Padahal aku sudah sejauh ini. Betapapun bencinya aku pada Mas Rian, separuh hatiku masih berharap dia mengerti diriku. Separuh jiwaku berharap dia bisa mengisi kekosongan dalam dadaku—membantuku menemukan apa yang selama ini aku dambakan sebagai sosok wanita. Bukan sekadar mencekokiku dengan materi namun memperlakukan aku layaknya seorang wanita.
Tak terasa bulir air mata jatuh membasahi pipiku.
"Maafin Ayu, Mas ...." ucapku sedikit terisak, aku menyesal .... aku menyesal rasanya sudah jatuh ke kubangan nafsu ini.

Kucoba hibur diriku dengan melakukan pekerjaan rumah yang ditinggalkan Pak Danang. Kulanjutkan mengepel rumah, membersihkan teras dan pekarangan, mencuci piring, lalu lanjut mencuci pakaian kotor.
Sedikit demi sedikit lara di hatiku memudar, merasakan bahwa aku juga seorang manusia yang layak dapat kesempatan kedua.

Di tengah penyesalanku, pandangan mataku tertuju pada kamar Pak Danang yang berada di bagian Dapur. Memoar tadi malam kembali tersaji dalam benakku. Setiap kali jiwaku berteriak mundur, setiap kali pula kakiku melangkah menuju kamar itu. Otakku terus beralasan bahwa aku hanya ingin membersihkan kamarnya, namun hatiku mendambakan kembali memutar waktu menuju malam itu. Ya, malam dimana aku menuruti hawa nafsuku dan melemparkan tubuhku ke hewan buas yang selama ini menanti tubuhku sebagai santapannya.

Kubuka pintu kamar itu dan kudapati hampir semuanya sudah bersih, namun aroma kental persetubuhan kami masih tercium di seluruh sudut ruangan.

Spreinya memang rapi, tapi itu adalah sprei tadi malam yang hanya dia balik bagian bawahnya, noda cairan cintaku berceceran masih menempel lekat di sana.

Tidak ada pakaian yang berserakan di lantai, namun semua pakaian kotornya dia taruh di keranjang yang ada di bawah ranjangnya. Kutarik keluar keranjang itu dan mendapati pakaian yang Pak Danang kenakan tadi malam.

Ketika tanganku menyentuh celana pendek berjenis kargo itu perasaan hangat dan meletup-letup muncul di dadaku. Mengingat betapa perkasanya lelakiku tadi malam saat menusuk liang senggamaku tanpa ampun, berapa kalipun aku memohon padanya untuk berhenti sebanyak itu juga dia terus datang dan menjejalkan kembali batang perkasanya ke dalam lubang vaginaku.
"Hmmmphhhssshhh .... Hahhh ...." Kuhirup dalam-dalam aroma selangkangannya yang masih menempel di celana itu sambil meremas sedikit buah dadaku.

Hilang sudah rasa maluku pada kehormatan dan statusku sebagai istri orang, penyesalanku bagaikan rebusan air—betapapun banyak isinya namun jika terus terbakar dia akan menguap habis tak bersisa.

"Shhhhh ohhhhhnnnn .... Pak Danangggg .... Sshhh Pakkk .... Pak Dananghhh Mmphhhsshh ...." racauku sambil terus menghirup aroma tubuhnya dari celananya, sementara tanganku yang satu lagi bergerak mengelus-elus celana dalamku.

Tak ada yang bakal menyangka wanita sepertiku akan memiliki nafsu dan fantasi sekotor ini. Polosnya penampilanku takkan bisa sepenuhnya menyembunyikan lautan birahi dalam tubuhku. Saat aku tengah menenggelamkan diriku dalam kenikmatan terlarang.

Ya suara mobil terdengar di depan rumah kala pagi bergeser menjelang siang. Tubuhku merespon dengan menaruh celana itu kembali ke dalam keranjang dan berjalan keluar kamar.
Setiap langkah yang kuambil menuju pintu depan bak langkah seorang Napi menuju tiang eksekusi. Dentuman demi dentuman jantungku berdebar seolah ingin memecahkan tubuhku dari dalam.

Ketika pintu itu terbuka, kutemukan pria tua itu berdiri di depanku dan menatap wajahku penuh arti, kudongkakkan wajahku menatap balik pejantanku itu dan disentuhnya lembut pipiku. Jari jempolnya berjalan menuju bibirku dan menyeruak masuk, membuat hatiku bersorak agar aku menjilati jarinya.

Ya benar, betapa kontrasnya seorang wanita muda sepertiku kini tengah menjilati seorang pria tua yang umurnya mungkin sudah seperti ayahku sendiri, bahkan hanya berprofesi sebagai seorang pembantu.
"Bapak Rian besok baru pulang. Jadi seharian ini saya terpaksa menggantikan tugas bapak buat jadi kepala rumah tangga di sini, Non Ayu," ucapnya tegas, yang lantas membuatku seolah kecil di hadapannya.

Ditariknya jari jempolnya dari mulutku lalu tangannya bergerak menekan bahuku. Kuatnya tekanan Pak Danang, membuatku jatuh berlutut di hadapannya.
"Jadi selama satu hari ini saya adalah majikan Non Ayu, dan Non Ayu adalah budak saya."

Aku terperanjat mendengar kata-kata itu.
Harusnya aku sudah harus memperhitungkan akan terjadi hal seperti ini di kemudian hari saat aku menyerahkan tubuhku padanya. Meski begitu merasakannya langsung hal itu terjadi dan membayangkannya adalah dua sensasi yang berbeda.

Aku sudah tahu bahwa ketika aku kehilangan martabatku, maka aku juga kehilangan kendali atas dirinya.
"Cuppphhhhh .... Cphhhhhhhh .... Cuphhhhhhhh Cphhh Cphhhh .... Slrpphhhh .... Hhhhh ...."

Dia berlutut dengan kaki kirinya, mencium bibirku dengan membabi-buta. Lidahnya menyeruak masuk dalam mulutku lalu merayapi setiap sisi dari gigiku. Dipancingnya lidahku untuk bertarung dengan lidahnya hingga saat aku tergerak dia menghisap balik lidahku.

Kini keadaan berbalik, hisapannya membuat lidahku yang masuk ke dalam mulutnya, meski tak begitu berpengalaman aku mencoba meniru apa yang dia lakukan padaku. Kusapu lidahku pada bagian langit-langit mulutnya dan sesekali menautkan lidahku pada lidahnya.

"Sllrpphhhhh .... Slrrphhhhhhhhh .... Mhhh ...." ucapku setengah mendesah saat lidah kami saling bertaut dan mulut saling menghisap bibir masing-masing.

Air liurku dan air liur Pak Danang bercampur menjadi satu memenuhi mulut kami berdua, sebagian terpaksa kutelan agar tidak tersedak, sementara sebagian lagi meluber keluar.

Bau mulutnya yang tak sedap ataupun rasa air liurnya yang sedikit bercampur aroma tar tak lagi menggangguku. Malah aku semakin bersemangat untuk mempersembahkan ciumanku buatnya.

Di sela-sela ciuman kami, tangan kanannya bergerilya masuk, menyusupi baju tunikku, dengan kasar dia remas buah dadaku yang masih ditahan oleh bra milikku.

"Sslrpphhh .... Sllrpphhh .... Ahhhhnnn .... Cpphhh .... Uhhh Ahhhnnn Pakh .... Cpphhhh ...." Aku mendesah tak karuan berusaha melepas ciumanku karena tangannya kini berhasil menelusup ke balik bra milikku dan memilin-milin putingku. Namun ketika aku memundurkan kepalaku dia malah mendesaknya hingga kami berdua pun jatuh di lantai dimabuk kecupan demi kecupan penuh nafsu ini.

Aku melenguh saat tangannya yang lain masuk melewati celana panjangku dan memutar jarinya di dinding vaginaku yang masih tertutup celana dalamku.
Tubuhku pun merespon dengan mengeluarkan lendir cinta seolah ingin memberi pelumas buat jari-jari nakalnya—berharap jari itu akan menyeruak masuk melewati kain tipis itu.

Dan benar saja, merasa celana dalamku mulai basah dan basah, jari itu menyelip masuk melalui lipatan pahaku lurus menuju lubang senggama milikku.

"Ohhhhhhhnnnnn .... Hoohhhhnnn .... Pakkk ...." Aku mendorong wajahnya, melepas ciuman pria itu, sehingga Pak Danang pun mulai memfokuskan dua jarinya keluar masuk dalam lubang surgawiku.
CLK CLK CLK CLK CLK

Suara kocokan tangannya bergema dalam celanaku, setiap kali jarinya menyentuh sebuah titik asing di dalam sana rasanya seperti tubuhku disentrum ratusan volt listrik hingga otakku terasa meleleh.
"Ohhhhkkkkk .... Ohhnnnn .... Hghhhhhh uhhhhh .... Dikit lagi pakkkk .... Dikit lagi Ayu keluarrr .... Ohhhhnnn ...." Tubuhku menggelinjang hebat menikmati permainan jarinya.

Namun bukannya mempercepat gerakannya, Pak Danang justru menurunkan tempo kocokannya menjadi semakin pelan dan pelan sampai akhirnya berhenti, mendiamkan jari-jemarinya di dalam lubangku.

Aku meringis tertahan. Hampir saja mencapai puncak tapi sudah kembali tergelincir masuk dalam kubangan nafsu. Rasa gatal pada lubangku berubah menjadi perasaan panas, gagalnya orgasme membuat perasaan ingin kencingku menguat.

"Paak Ayu mau pipisss .... Ayu mau pipis bentar pakkk ...." Aku berusaha bangkit namun Pak Danang menahanku, membekapku dengan begitu kuatnya.
Kakiku bergetar hebat, aku tak mampu bertahan lagi, kedua lututku pun saling bertemu sebelum akhirnya air kencing mengucur deras membasahi celana dan sebagian bajuku.

Air pesing itu mengalir membasahi lantai sementara aku hanya bisa menatap sendu. Ini kali pertama aku kencing di celana, belum lagi kulakukan di hadapan orang yang bukan mahramku.
Aku menggeliat dalam pelukan Pak Danang. Ditariknya keluar dua jarinya dari dalam kemaluanku kemudian diarahkannya ke mulutku.

Aku menggeleng namun jari itu terus memaksa untuk memasuki bibirku. Semakin aku menolak semakin dia mengasariku, hingga akhirnya aku menyerah membiarkan mulutku membasuh jari-jari Pak Danang. Rasanya asin dan kecut karena lendirku bercampur dengan air kencingku sendiri.

"Non pecun, seharian ini Non Ayu bakal saya jadiin pemuas nafsu saya. Saya jamin mulai besok Non Ayu ngga bakal bisa balik lagi ke kont"l Mas Rian. Selama sisa hidup Non, saya pastikan Non Ayu bakal jadi budak saya," bisik Pak Danang di samping telingaku sambil mengelapkan jari-jari tangannya menggunakan rambutku.

"P-P-Pak," ucapku lemah bergetar takut mendengar suaranya.
"Jangan panggil saya bapak, Non. Khusus hari ini, Non Ayu mesti manggil saya tuan!" perintahnya sambil mengangkat daguku dengan tangannya.
"Paham?"
"Paham .... tuan ...." lanjutku lemah lalu ditariknya aku berdiri.
"Buka celanamu!" perintahnya.

Kakiku yang masih bergetar cukup kesulitan menopang tubuhku, namun perasaan takjub, lemah, rendah, dan kalah dalam diriku seolah memaksaku untuk mematuhi suaranya. Begitu kuatnya perasaanku yang bahagia ketika dihina dan direndahkan oleh orang sepertinya membuatku rela membuang semua harga diriku di depannya.

Kutarik lepas celana panjangku menyisakan celana dalamku yang basah dimana cairan kencingku membuat sedikit gambaran vaginaku terlihat. Beruntung pakaian tunikku panjangnya sepinggul sehingga sedikit banyak aku bisa menutupi belahan pantatku.
"Sekarang masakin tuanmu ini makanan! Tuanmu ini lapar habis kerja," perintahnya lagi.
"Baik .... tuan," jawabku lemah sebelum kemudian berjalan tertatih menuju dapur.

Entah apa yang kupikirkan sekarang, tubuhku menurut sekali pada suaranya, hawa nafsuku tanpa protes mengiyakan semua perintahnya, karena semakin aku menurutinya semakin pula tubuhku terasa terbakar dibuatnya.

Aku suka figurku yang dilihat orang alim di luar namun liar di dalam. Bibit suka yang terus tumbuh semenjak aku dilecehkan pria di aplikasi live, kini telah menjadi pohon besar dengan buah maksiat paling sedap yang pernah kurasakan.
PLAKKKK!!!
"Auhhhhhhh .... sakit tuannnn ...." jeritku saat sedang memotong ayam dan meremas jeruk nipis.
"Lonte!" bisiknya singkat di telingaku membuat darahku berdesir mendengarnya.

Selagi aku memotong-motong bawang bombay, tangan Pak Danang melalar menuju pantatku. Kuangkat kakiku saat ditarik lepasnya celana dalamku sehingga kini separuh bagian bawahku sudah telanjang sempurna, kain yang tersisa untuk menutupi kulitku saat ini hanyalah baju tunik, dan bra yang menutupi dadaku.
"Nungging, Non. Saya mau ngerasain tempikmu!" bisiknya lagi.
"T-Tapi tuan, Ayu lagi masak, nanti—"

"Kamu mau kukasih kont*l lagi apa ngga?" balasnya lagi dengan kasar membuatku menggigit bibir bawahku. Aku mau. Aku mau menghisap benda itu. Aku mau batang perkasa itu mengobrak-abrik liang senggamaku seperti kemarin malam. Sayangnya semua itu hanya bisa kudapatkan dengan menuruti semua perintahnya dan merendahkan lagi diriku di hadapannya.

Kutunggingkan pinggulku ke belakang sementara melanjutkan memotong bawang, saat kulakukan itu dia tertawa remeh memandangku.
Jujur telingaku panas mendengarnya, tetapi liang senggamaku jauh lebih panas dan tubuhku justru merespon positif meski Pak Danang sudah merendahkan martabatku sebagai wanita serendah-rendahnya.

"Oooqqqq .... Ohhhhhnnnnn .... Huuhhhhh ...." Aku mendesah tak berdaya saat kurasakan lidah kasar Pak Danang menyeruak masuk ke dalam vaginaku.

"Sllrrrphhhhhhh .... Shhhhh Slrppphhhhhh Haahhhhhh .... Memang beda rasanya kemaluan perempuan yang alim-alim gini .... lebih terawat .... Sssllrpphhhh ckkkkk ckkkkkk ...." racau Pak Danang di tengah jilatannya pada liang senggamaku.

Rasanya semakin tidak fokus, aku menutup mulutku menahan kalut, jika memotong sekarang bisa-bisa keiris tangan sendiri. Tubuhku melebur didera kenikmatan terlarang ini.

Nuraniku tak lagi bersuara, semakin dalam lidahnya bermain di sana semakin pula birahiku menggema di seluruh jiwa. Saat aku sedikit menegang tiba-tiba Pak Danang menghentikan jilatannya membuatku bisa memotong bawang kembali.

Kali ini kurasakan sebuah benda hangat menusuk-nusuk di belakang pantatku, rupanya Pak Danang tengah mengoleskan batangnya yang sudah tegang di bibir kemaluanku. Mataku mendelik ke atas sesekali mengimpresikan kenikmatan akan permainannya, saat kurasa batang itu akan masuk namun tiba-tiba ditariknya, saat kepalanya sudah masuk ke gerbang kenikmatanku tiba-tiba dikeluarkannya lagi, Kucoba lanjut menumis bumbu sambil menggigit bibir bawahku menanggung rasa frustrasi itu.
"Masukin pakkk.. ucapku tanpa sadar namun gesekan kepala hangat pada bibir vaginaku pun terhenti.
"Berani ya kamu merintah majikan!" jawabnya dengan nada rendah namun menyiratkan rasa kesal di dalamnya.

PLAKKKK!!!!
"Ahnnnnn!!!"
PLAKKKKK!!!
"Ahnnnnnnnnn!!!"
PLAKKK!!! PLAKKK!!! PLAKKK!!!
"Ohoqqqq....."

Aku jatuh berlutut saat pantatku diberi tamparan keras olehnya, rasanya benar-benar panas, kurasa saat ini pantatku benar-benar memerah dibuatnya. Rasa takut dan terangsang bercampur jadi satu saat dia memperlakukanku dengan amat kasar.

"Lain kali panggilnya pakai tuan ya Non Ayu," ucapnya lembut seraya duduk di kursi yang biasanya ditempati oleh Mas Rian di meja makan.

Aku berdiri kembali menahan rangsangan yang mendera tubuhku. Rasanya dia sudah bukan seperti Pak Danang yang kukenal lagi. Meski masih memanggilku dengan sopan namun tingkah pria itu menunjukkan kebuasannya tanda sudah mendapatkan hak penuh atas tubuhku.

Memakan waktu cukup lama sampai ayam kecap buatanku matang. Aku kemudian menyendokkan nasi ke piring Pak Danang seperti yang kulakukan pada Mas Rian. Kusuguhkan hidangan itu di depannya lalu duduk di sampingnya.
"Non Ayu sayang, yang namanya budak itu duduknya di bawah, ngga setara sama majikan," sindirnya.

Aku pun dengan sendu duduk di lantai tepat di bawah meja makan. Dinginnya keramik serasa menjadi obat bagi pantatku yang sebelumnya sempat diberi tanda tangan oleh Pak Danang.

Belum cukup sampai di situ, penderitaanku berlanjut saat pria tua itu meloloskan celananya sehingga kini dia duduk dengan telanjang.
"Non, daripada bengong di situ mending sini sepongin bapak," perintahnya. Aku pun menurut dan merangkak mendekat menuju selangkangannya.

Bau tidak sedap menyeruak masuk ke dalam hidungku, aroma keringat basah dan pesing tercium dari lipatan pahanya.

Tanganku melingkari batang kejantanannya lalu kukocok naik turun benda itu sementara lidahku menari-nari dari pangkal batangnya sampai kepala penisnya yang masih tertutup kulup—mencoba merangsang pejantanku ini.
"Clkk .... Clkkkk Clkkkk Clkkkk .... Slurpphh ...." Terus kujilati kejantanan milik Pak Danang sampai pria itu mendesis sesekali di tengah santapan makanannya.

Kukecup buah zakarnya dan kupercepat kocokanku pada batangnya saat merasakan organ intimnya mulai memanas dan mengeras sehingga kini tegak sempurna.
"Ohhhnnnnnn Hohhhhhhhhhhhh ...." lenguh Pak Danang.

Bibirku bergerak ke puncak penisnya dan mendorong sebagian kulupnya menggunakan mulutku sehingga pemiliknya pun mengerang nikmat dibuatku. Mendengar desahan pejantanku itu membuatku semakin bersemangat untuk memberikan servis terbaikku padanya, seolah-olah aku kini sedang melacur padanya.

Kumasukkan perlahan kepala penis itu ke dalam tenggorokanku, terus kudorong dengan amat pelan sampai setengahnya dan dengan mata berair kupaksakan masuk hingga sampai kerongkonganku. Butuh waktu dan usaha sampai akhirnya bibirku mencapai pangkal penisnya yang ditumbuhi dengan bulu-bulu lebat.

"Hooqqqloqqq .... Oqllokkkkk .... Hoqllloqq .... Oqqqqqhhhh Oqqqhhhhh Oqhhh ...." Air mata mengalir membasahi pipiku saat menaik turunkan wajahku untuk mendeepthroat Pak Danang.

"Ohhhh .... shhh ohhhh .... Hohhhhhhhh .... Shhhhh mantap kali sepongan lonte... tanda bakti sama tuannyahh ...." racau Pak Danang sambil menekan-nekan kepalaku, dicengkramnya rambutku sebelum kemudian dipompanya mulutku dengan begitu beringas.

Hingga rahangku terasa ingin lepas karena tak sanggup lagi membuka lebih lebar, dia pun menekan kepalaku dalam-dalam sampai ke pangkal batangnya dan memeluk kepalaku menggunakan kedua pahanya.
"Hoooqqqqq .... Hooqqqqqqq ...." Aku berteriak tertahan menerima semburan demi semburan air mani di dalam tenggorokanku, mataku memanas, dan sebagian dari air mani Pak Danang mengalir keluar melewati lubang hidungku.

"Ahhhhnnnnnnnn .... puasssshhhhhh ...." lenguh Pak Danang lalu melepasku, aku pun menarik keluar mulutku dan jatuh terkapar di lantai.
"Uhkkkk ... Uhk uhk uhkkkkk .... Hoqqqq .... Hoqqqqq ...." Aku kesulitan bernapas dan begitu mual setelah diperlakukan seperti itu.
"Kalau sampai muntah saya suruh Non telanjang di luar pagar sana," kata Pak Danang yang melanjutkan menyantap sisa makanannya.

Mendengar ucapan itu mentalku jatuh juga, kupaksa menelan kembali sperma Pak Danang yang sudah mau keluar dari tenggoranku. Kusapu ingusku yang juga bercampur dengan air maninya kemudian naik ke atas kursi.
"Tuannnn .... pengennn ...." ucapku dengan nafsu yang sudah di ubun-ubun.

Pak Danang membuka bajuku lalu mencaplok dada kiriku yang masih berlapiskan bra. Sebagian kecap di mulutnya menempel di bra milikku sementara tangannya yang masih belepotan nasi dimasukkannya ke dada kanan lalu meremas dan memilinnya.
"Uhhhhhhh .... Heuhhhhhhh enakk tuannnnnhh .... Enakkkkk ...." desahku sambil menggesek-gesekkan liang senggamaku pada batangnya yang sudah tegang.

Saat kepalanya ingin kemasukkan, Pak Danang menggesernya ke atas sehingga hanya gesekan yang terjadi. Saat sudah masuk kepalanya, dia keluarkan lagi dari dalam sana sehingga gagal, begitu terus menerus sampai aku mendesah sebal dibuatnya.
"Udah sange tuannnn ...." ucapku sebal padanya, setengah menangis.
"Ngga boleh Non, kan non istrinya orang godanya yang sontak membuatku kesal

Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menggesek-gesekkan bibir vaginaku pada kejantanannya yang hangat tanpa diperbolehkan memasukkannya oleh Pak Danang.

Setengah menangis aku menangkup wajah pejantanku itu dengan kedua dadaku, berusaha sekeras yang kubisa untuk merangsangnya.

Saking lamanya petting yang kami lakukan, tak terasa kami pun merasa lelah. Hari menjelang malam sehingga Pak Danang pun mendorongku turun dari kursi.
"Mandi dulu Non. Biar nanti lanjut ngewenya," ucap Pak Danang.
"Ngewe dulu tuannnhhh .... bentarrrrr aja. balasku memelas. Aku sudah sange berat dibuatnya.
"Non itu budak saya, kalau ngga mau nurut kata-kata saya ya udah, pakai kont*l Mas Rian aja sana," balas Pak Danang sinis.

Setengah menangis aku memasuki kamar mandi utama yang ada di lantai bawah atas sedangkan Pak Danang menunggu diruang tengah sambil menonton televisi.

Kemudian Tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhku aku berjalan menuruni tangga. Kulihat Pak Danang memandangiku tanpa berkedip sedikitpun kagum akan keindahan lekuk lekuk tubuhku.

Aku datang menghampirinya dan duduk mengangkang di pahanya, lalu menyodorkan dadaku ke arahnya.
"Udah selesai mandinya ? tanyanya sambil mencupang payudara kiriku.
"Udah," jawabku sedikit merajuk.
"Kalau udah makan dulu, tadi ada nasi sama sarden udah bapak siapin," lanjutnya.
SRAK!

Aku termanggu melihat kakinya menggeser mangkuk makanan Icha—kucing kami, yang berisikan nasi dan sarden dan telah dicampur aduk menggunakan tangan.
"M-M-Maksudnya apa tuan?" tanyaku gemetaran.
"Ya makan! Udah disiapin loh, Non. Saya bukan majikan kayak Non yang ngga pernah nyiapin makan buat pembantu. Budak saya ya saya kasih makan pakai masakan buatan tangan saya sendiri," jawabnya tegas.

Aku tertunduk lesu dan turun dari pahanya.
"Nungging makannya dan jangan pakai tangan!" perintahnya, membuatku terperanjat mendengarnya. Serendah inikah aku ingin dibuatnya? Aku meneteskan air mata, bukan karena aku malu tapi karena birahi dalam tubuhku malah terasa meletup-letup bersemangat ingin menjalankan perintahnya.

Aku menungging dan mulai memakan nasi sarden itu langsung menggunakan mulutku. Tentu tidak sulit karena nasi itu sudah dilumat-lumat oleh tangan Pak Danang, dan tulang sarden pun bisa langsung ditelan karena lembek.

Selagi aku makan, kulihat Pak Danang tengah bermasturbasi menggunakan baju dalam yang kupakai tadi. Ya ampun, sudah jadi apa aku yang sekarang, kujatuhkan semua yang ada di diriku hingga serendah ini hanya demi hawa nafsu duniawiku. Namun parahnya, kemaluanku terasa amat gatal saat melihat adegan itu terjadi di hadapan mataku.

"Ohhhhh .... Ohhhhnnnn .... Ohhhnnnnnnnkkkkkk ...." Pak Danang nampak melenguh dan menyemburkan spermanya dicelana dalam yang kupakai, setelah puas menodainya dilemparkannya kembali ke arahku.
"Pakai," ucapnya singkat.
"T-Tapi tuan ...." balasku lemah.
"PAKAI!" perintahnya lagi dengan nada sedikit membentak, membuatku berdehem kecil.

Kupakai lagi celana dalamku yang sempat dijadikannya bahan masturbasi sebelum melanjutkan kembali santapanku.

Awalnya aku ragu tapi melihat pandangannya kuteruskan untuk menyantap habis makanan yang sudah disiapkan pejantanku padaku.
"Merangkak sini!" perintahnya lagi kuseka nasi yang belepotan di bibirku sebelum kemudian merangkak menuju Pak Danang.
"Balik!" lanjutnya, aku pun berbalik menghadap televisi dan naik ke pangkuannya.

Dipeluknya tubuhku dan diciumnya leherku. Kedua tangannya menangkup dadaku yang ranum sambil memilin-milin putingku. Aku yang sudah horni berat hanya bisa menggesek-gesekkan liang senggamaku pada batang kejantanannya yang perkasa, menunggu persetujuan dari Pak Danang untuk memasukkannya.

Namun berapa lamapun aku mencoba merangsangnya, pria itu sungguh tak bergeming. Malah aku yang semakin horni meminta dia memasuki tubuhku.
"Angkat tangannya, Non!" perintah Pak Danang lagi, dengan cepat aku mematuhinya.

Diremas-remasnya dadaku lalu kepalanya bergerak menjilati ketiakku.
"Ahhhhnnnnn gelihhhh tuannnnhhh .... Ahhhshhh ...." dengusku menahan rasa geli dan nikmat yang ditimbulkan oleh setiap jilatannya.

Kedua jari kirinya memutar di bibir vaginaku, membuatku mendesah tak karuan. Dijilatnya ketiakku kiri dan kanan sebelum kami bertukar ciuman sesaat. Dilepasnya pagutannya dan aku pun mendesah kesetanan kala jarinya terus bermain di selangkanganku.
"Iyaahhhh terus tuanhhhh .... terus.. dikit lagi tuann.. teriakku.

Tetapi dia kembali menghentikan permainan tangannya disaat tubuhku tengah dibakar api birahi. Dadaku naik turun, napasku tak beraturan. Yang kubisa hanya mendesah kecewa dengan badan berapi-api.

Tiga jam lebih lamanya kami melakukan petting sampai posisi berasa terbalik, kini aku yang lebih ingin memerkosa Pak Danang ketimbang lelaki itu yang ingin memasukiku. Baik aku dan dirinya sudah bermandikan keringat, kupegangi pundaknya dan kucoba lagi masukkan ujung batang kejantanannya ke dalam lubang kemaluanku yang sudah banjir. Namun, dia selalu menggerakkannya sehingga susah memasukkannya dan membuatku putus asa.

Aku pun berlutut dan sujud di hadapannya dengan sedikit terisak.
"Pak sodokk  mem*k Ayuuu pakkkkk .... Ayu udah ngga tahan lagi .... Istrimu, budakmu, atau lontemu, terserah mau bapak jadikan apa .... yang penting entot Ayu sekarangg ...." ucapku dalam sujudku setengah menangis.

Pak Danang pun tertawa gahar sebelum akhirnya berdiri dan mendekat ke arahku.
"Jilatin Non!" perintah Pak Danang, aku pun lekas bangun dari sujudku dan dengan semangat menjilati batang kejantanan milik Pak Danang. Kujilati pangkalnya sampai pucuknya seperti es krim, lalu kumasukkan kepala kejantanannya ke dalam tenggorokanku.

"Ssssshhhhhh .... Ohhhhhh manteppp noonnnnnn .... Enakkk bangettthhhh ...." erangnya sambil terus menekan kepalaku  dalam-dalam diselangkangannya.

Aku terus memaksa memasukkan seluruh kejantanannya ke dalam tenggorokanku, meskipun air mata meleleh karena hampir muntah dibuatnya, meski napasku terasa sesak, namun semua rela kukorbankan untuk merasakan kembali kenikmatan yang kurasakan seperti malam itu.

"Hoooqqqq .... Hoqloqqqqqq .... Hoqloqqq oqqqqqhhhh ...." Suara mulutku dan air liurku berdecakan saat mengoral batang besar milik Pak Danang.
"Ahhhhh segarnyaaaahhhh ...." lenguh Pak Danang yang kemudian melepaskan mulutku sebelum mencapai puncak kenikmatan dan duduk kembali di sofa sambil merentangkan tangannya.
"Coba dong joget Non. Kayak cewe-cewe binal di TikTok gitu loh yang ketat-ketat pakaiannya. Bapak pengen ngelihat tanyangan langsung cewek yang pengen ngelonte gimana."

Aku pun mencari lagu-lagu erotis yang biasa kutemukan di aplikasi tsb menggunakan ponselku lalu kemudian bergoyang mengikuti irama, kugerakkan pinggulku berputar dan meremas sedikit bagian dadaku sebelum mengerlingkan mataku di depannya. Kugigit bibir bawahku sambil mengulum ibu jariku sendiri lalu kugerakkan pinggulku maju mundur. Kusingkap sedikit demi sedikit bajuku lalu menampakkan paha putihku terus sembari melangkah menuju pejantanku. Kemudian kutarik lagi bajuku hingga nampak liang senggama milikku lalu bergoyang sedekat mungkin pada wajahnya.

Saat tangan kanan Pak Danang mengocok kejantanannya yang amat tegang, tangan kirinya menangkup pantatku dan mendekatkan bibir vaginaku ke mukanya.
"Ahhhhnnnnn Yeshhhhhh .... Uhhhhh ...." Aku mengerang nikmat merasakan jilatan demi jilatan yang dihantarkannya menambah becek lubang kewanitaanku.
"Yuk, sini naik!" perintah Pak Danang yang membuat hatiku berbunga-bunga mendengarnya.

Kali ini Pak Danang memperbolehkanku untuk memegangi kepala penisnya agar bisa melakukan penetrasi ke dalam lubang surgawiku.

Ketika kepalanya masuk, aku meringis dan menarik napas panjang, rasanya seperti tubuhku tengah memasukkan pipa yang panas ke dalam lubang vaginaku sendiri. Mustahil benda sebesar ini masuk jika tidak dibantu oleh cairanku dan liur Pak Danang di lubang senggama milikku.

Separuh masuk dan aku sudah melolong nikmat, aku orgasme ringan dan merasa sedikit lemah buat meneruskan. Tetapi Pak Danang dengan keras menarik pinggulku lagi ke bawah hingga bibir vaginaku hampir mencapai pangkal kejantanannya.
BLESS!

Satu hentakan darinya membuatku jatuh tersungkur memeluknya. Perasaan nikmat di malam itu kembali membuaiku tepat saat kepala kejantanan miliknya mencium bibir rahimku.

"Sssshhhh .... Ahhhnnnnn .... Bentar dulu tuannhhhhh .... Bentarrrr ...." Selagi aku memohon pada Pak Danang untuk menyesuaikan diri terlebih dahulu pada penisnya, dia sudah mendorong tubuhku ke atas.

Meski batang itu sudah masuk ke lubangku beberapa kali, namun aku masih perlu menyesuaikan diri dengan bentuknya. Tetapi tanpa rasa kasihan Pak Danang melepaskan pegangan tangannya sehingga aku yang masih lemah pun tak bertenaga untuk menopang berat badanku sendiri.
BLESSSH!

"Ohhhhhnnnnnnnnn!!!!!" Aku melolong panjang saat batangnya kembali mencium bibir rahimku, bola mataku terputar ke belakang saat menerima sengatan listrik yang serasa dialirkan dari vaginaku menuju otakku.

Dilakukannya berkali-kali hingga aku pun melolong panjang dan mencapai puncak kenikmatan.
PLOPH!

Terdengar suara penisnya yang basah saat melepaskan batang itu dari bibir vaginaku, aku mengeluh ngilu sebelum jatuh menggantung di sofa. Kurasakan lendir cintaku mengalir melewati bibir kemaluanku.
Pak Danang berdiri dan kembali memposisikan kepala penisnya di depan vaginaku, kali ini dia mencoba melakukan penetrasi dari arah belakang.

"B-Bentar pakhhh Ayu masihhhhh ohhhhhhhhokkkkk ...." Aku mengaduh tak berdaya saat batang itu kembali melesak masuk memenuhi dinding kewanitaanku.

Dipompanya dengan kencang tanpa mempedulikan eranganku yang menggema di seluruh ruangan. Selagi kedua tangannya meremas payudaraku sebagai pegangan, pinggulnya menghempas pantatku tanpa ampun hingga suaraku menipis dan makin sulit untuk berteriak.

PLOK! PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!
PLOK! PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!
PLOK! PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!

"Ahhhhhh Ahhhhnnnnn Ahhhhnnnnmmmpunnnn Tuannnhhhh Ammmpunhhhhh ...." Aku mendesah tak berdaya dan orgasme untuk yang pertama kalinya. Tubuhku menegang membasahi penisnya namun dia hanya menghiraukannya, pantatku terus dihempaskannya dengan tusukan mautnya dan tiap kali batang panas itu menggesek dinding liang senggamaku, tiap kali batang itu mencium bibir rahimku, otakku terasa meleleh karena tak sanggup menahan nikmatnya.
CPLAK! CPLAK! CPLAK! CPLAK!

Suaranya pinggul dan pantat beradu memenuhi ruangan, vaginaku yang sudah banjir menimbulkan suara kecipak tiap kali Pak Danang memompa batang kejantanannya.

Dilambatkannya goyangannya dan digantinya posisiku dengan posisi menyilang. Diangkatnya satu kakiku ke bahunya lalu ditusukkannya kembali ke dalam liang senggamaku.

"Ohhhhnnnn .... Ohhhnnnnn .... Sshhh Haahhnnnnnn ...." Alisku terangkat menahan kenikmatan yang bersarang di liang senggamaku dengan keringat mengucur deras membasahi bagian wajahku.
"Hoshhhh .... Hoshhhhh .... Saya mau keluar Nonnn ...." lenguh Pak Danang yang mempercepat genjotannya.
"Di dalam tuannhhhhh .... Di dalammmm ajahhhh ...." balasku berteriak.
"Hohhnnnnnnnnn Ahhhhhhhhhshhhhhhhh!!!!!"

Erangan kami menggema di seluruh bagian rumah ini. Semburan hangat dari lahar putihnya bisa kurasakan mengucur di seluruh bagian dinding lubang surgawiku dan membuat rasa hangat muncul di perutku.

Aku meringis menahan sakit saat Pak Danang melepas kejantanannya dari kemaluanku. Aku pun jatuh terbaring di sofa dengan mukena yang dipenuhi dengan noda sperma.

"Hhh ... hhh ... hhh ... Kita mandi dulu, Non. Baru habis itu lanjut lagi," ucap Pak Danang, namun aku tak mampu lagi membalasnya, mataku menatap sayu batang perkasa miliknya yang tak juga roboh meski sudah keluar beberapa kali hari ini.

Diselipkannya tangan di lipatan kakiku kemudian digendongnya tubuhku menuju kamar mandi, aku hanya membisu membiarkan semua perlakuannya padaku. Lembut ataupun kasar, sakit ataupun nikmat, tubuhku sudah jatuh ke pelukannya.

Tanpa melepaskan bajuku, Pak Danang menyemprotkan air shower di sekujur tubuhku. Pakaian tidruku pun berubah menjadi terang dan menampakkan payudara serta liang vaginaku. Dengan semangat dia menyabuni tubuhnya dan tubuhku sambil sesekali mencupang dada ranumku dari luar baju basahku. Lagipula lelaki mana yang tidak tergiur dengan tubuh wanita alim seperti ini. Wanita yang dari luar tampak begitu polos namun di dalamnya penuh dengan kebobrokan.

Air mataku mengalir namun disembunyikan dengan rapi oleh gemericik air shower. Saat berada di titik terendah, kudengar nuraniku berbisik, menaruh harap pada Mas Rian agar bisa menarikku keluar dari kubangan nafsu ini. Jauh di lubuk hatiku aku masih berharap ada sedikit bagian dari Mas Rian yang membuatku jatuh hati kembali padanya.

Sayangnya bisikan itu tak cukup kuat bergema dalam jiwaku, suaranya memudar saat Pak Danang mengangkat tubuh lemahku ke pinggir bak mandi dan memposisikan kembali batang penisnya di depan lubang senggamaku.

"Ahhhhhhhnnnnn .... Paaaaakhhhhhh!!!!" Aku melenguh panjang sambil mencengkram kuat punggung Pak Danang.
CPLAK! CPLAK! CPLAK! CPLAK!
CPLAK! CPLAK! CPLAK! CPLAK!

Suara gempuran pejantanku kini bergaung di seluruh ruangan kamar mandi. Sesekali dia meringis merasakan jepitan erat dari lubang milikku.

"Ahhnnnn mantaphhh Non Ayuuuhhhhh .... Cewek lonte. tapi rasa perawannn .... Ssshhhh hohhhhh.. Dia merem-melek menikmatinya, dengan penis sebesar itu vagina macam apapun akan terasa mencengkram miliknya pikirku.
"Ohhh..  Saya keluar pak.. Ohhhhh.. Tubuhku menegang lalu bergetar beberapa kali diiringi dengan kedutan dari kemaluanku yang membantu melicinkan gempuran pejantanku.

Meski aku sudah lemas tak berdaya, Pak Danang tanpa ampun terus menggerus dinding kewanitaanku dengan batang kejantanannya.

"Uhhhhhh .... Saya keluarhhh Non Ayuhhhhhh .... Non Ayuhhhh pecun bangsatttt .... anjingg ...." teriaknya sambil mendorong jauh-jauh batang penisnya ke dalam tubuhku, mataku terbelalak sesaat dikala benda itu membentur dinding rahimku dan mengguyurnya dengan mani sebelum kemudian menarik lepas batangnya secara paksa.
PLOPH!
Diturunkannya tubuhku dan dijatuhkannya ke lantai keramik, rupanya sebagian muncratannya masih sengaja ditahannya sebelum kemudian disemburkannya ke wajahku beberapa kali.


Aku menatap kosong batang kejantanannya. Orang ini, dia bukan ingin menyantap tubuhku, dia ingin menghancurkanku berkeping-keping. Pak Danang meangkat daguku hingga kami bertukar pandangan. Diratakannya sperma miliknya di wajahku sebelum kemudian diciumnya bibirku, dimainkannya lidahku sesaat, sebelum kemudian dilepasnya kecupannya.

Tiba-tiba batang kejantanannya mengucurkan air hangat ke arah wajahku. Air seninya membasahi wajahku dengan begitu derasnya hingga baluran sperma itu bersih sempurna dari wajahku.

Aku terkapar di lantai kamar mandi—nyaris pingsan—sementara dia mengencingi tubuhku.

Kurasa tekanan berat dari seks ini benar-benar tidak sanggup ditanggung badanku. Setelah berjam-jam tersiksa dengan foreplay tubuhku dihantam dengan seks yang begitu brutal.

Mataku tertutup dan kurasa aku sudah kehilangan kesadaran atas apa yang terjadi selanjutnya.

Aku terbangun di kamarku dan Mas Rian. Meski telanjang, tubuhku berlapiskan selimut kami dengan rapi. Sayup-sayup kudengar suara kendaraan melintas dari luar jendela, kulihat jam dinding menunjukkan pukul tujuh lewat.

Aku merebahkan kembali kepalaku di ranjang. Memejamkan mataku. Namun sayangnya saat aku mengira mimpi ini sudah berakhir, pintu kamar kami terbuka dan Pak Danang yang sudah bertelanjang bulat masuk sambil meminum sebotol air.
"Udah bangun, Non. Yuk, lanjut lagi," ucapnya sambil mengocok batang kejantanannya di hadapanku.

Jantungku berdegup kencang—takut dan terangsang di saat yang bersamaan—namun mau lari pun mustahil, tenagaku belum terkumpul sepenuhnya, aku bagaikan mangsa empuk di hadapan predator buas.

Ditariknya kepalaku ke pinggir ranjang dan dipaksanya mendekat ke arah selangkangannya. Kubuka perlahan mulutku namun Pak Danang langsung menyodokkan kepala penisnya hingga melesak masuk dalam tenggorokanku.


"Hoqqqqq .... Oqqqqq .... Oqqqqqqqqhhh .... Hoqqqqqq ...." Air mataku kembali keluar disertai dengan ingus dari lubang hidungku saat dia dengan brutalnya menggunakan kepalaku yang ada di pinggir ranjang seolah itu hanyalah boneka seks baginya.

Ditariknya dengan kasar selimutku dan ditepuknya kedua pahaku agar mengangkang mempertontonkan kemaluanku. Dimainkannya kedua jarinya di sana hingga membuatku melenguh, tanpa sadar rahangku melonggar sehingga gigiku pun mengenai batang kejantanan miliknya.

"Duhhhhh sakittthhh .... gimana sih Non ...." ucapnya kesal lalu menarik keluar batang penisnya. Aku pun terbatuk beberapa kali dan nyaris muntah.​
"Yang bener dong nyepongnya, udah jadi lonte main masih kayak perawan aja!" lanjutnya kasar sembari menampar-nampar wajahku dengan kejantanan miliknya.

Perasaan hina itu membakar kembali birahi dalam dadaku, sayangnya nafsu tidak sesuai dengan kemampuan dari tubuhku. Sehingga betapapun aku ingin bergerak memuaskannya, aku hanya mampu memandanginya dengan tatapan horni.

"Balik Non! Nungging!" perintahnya, aku menurut dan dengan lemah membalikkan tubuhku lalu menunggingkan pantatku ke arahnya.
Ditariknya pantatku mendekat ke pinggir ranjang lalu dihujamkannya kejantanan miliknya masuk ke dalam kewanitaanku.

Mataku terbelalak merasakan benda hangat itu tidak lagi datang dengan baik-baik, melainkan dengan penuh paksaan tanpa memikirkan perasaanku. Sayangnya saat sebuah titik dalam tubuhku berhasil disentuhnya, arus kenikmatan mengalir deras memenuhi relung dadaku dan mendobrak masuk dalam kepalaku.
"Uhhhhh .... Huuuhhhhhnnnnn .... Ohhhhh ...." Aku mendesah tak karuan menikmati gempuran di bagian kemlauaku sebelum akhirnya menjatuhkan kepalaku di ranjang.


Ya, di ranjang ini, tempatku dan Mas Rian memadu kasih, kini sedang kupakai untuk memuaskan hasrat seksualku bersama lelaki lain. Perbuatan ini begitu nikmat, tak bisa kubayangkan bagaimana caranya orang berhenti dari kenikmatan ini. Bahkan Kak Lidya sekalipun mengakui dia tak bisa pergi dari kehidupan lamanya. Sekarang aku mengerti kata-katanya.

"Ohhhhnnnnn.. saya keluar Nonnnnnnhhhhh.. lonte anjinggggg.. Pak Danang memeluk erat pantatku lalu melepaskan semua cairannya hingga membasahi rahimku.
"Hhhhh .... Hhhhhh .... Hhhh .... saya narik napas bentar Non. Baru habis ini kita lanjut lagi ya," ucapnya seraya menampar pelan pantatku dan mencabut kejantanannya dari lubang kemaluanku.​

Aku hanya menatap kosong lemari riasku, yang di atasnya terpampang foto kecil saat aku memeluk tubuh Mas Rian—foto keluarga tercinta kami.
Kurengkuh kenikmatan sebanyak mungkin di hari ini dan tenggelam semakin jauh dalam kubangan birahiku.
Dosa yang kulakukan hari ini tentu akan dibalas di lain hari.
Karena tahukah kalian ....
Bahwa setiap dari perbuatan tentunya selalu memiliki sebuah konsekuensi.

Komentar

  1. Kalau istrinya makin binal tanpa sepengetahuan suami lebih seru tuh

    BalasHapus
  2. Wah makin penasaran aja nih

    BalasHapus
  3. nakal nya seorang istri kebahagian suami

    BalasHapus
  4. Lanjut bang aq tunggu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Draft Amarah Para Buruh 21

Draft Amarah Para Buruh 20

Lust in Broken Home 4

Lust In Broken Home 5

Terjebak Didalam Kelas

Akibat Kena Gendam Tetanggaku

Kisah Tragis Dikebun Karet

Amarah Para Buruh 10

Amarah Para Buruh 17

Binalnya Ibu Tiriku 4