Langsung ke konten utama

Hasrat Terpendam Dalam Diriku 3


Kak Lidya hanya diam saat mendengar semua ceritaku. Aku tak tahu harus berbuat apa saat ini, baik tubuhku maupun pikiranku benar-benar sudah tidak sejalur."Siniin hape kamu!"
"Kak Lid?"
"Siniin kataku!"
Dengan lemah kuserahkan ponselku padanya, Kak Lidya pun dengan cepat menyambar hapeku lalu mengutak-atiknya sebentar sebelum menyerahkannya kembali padaku.Saat kubuka lagi ponselku benar saja, aplikasi TV itu sudah dihapus oleh Kak Lidya."Kamu tuh udah kelewat batas tahu ngga. Itu udah bukan have fun lagi, Yu. Kamu tuh udah nyaris diperkosa," omelnya.
"Ya aku juga maunya nolak, tapi gimana lagi kak udah nafsu. Aku udah merasa terkekang di rumah, Bayangin coba kalau Kak Lidya waktu itu ngga ngomong sama Mas Rian, bisa-bisa aku ngga bakal bisa lihat matahari lagi di luar rumah. 

Dia ngga pernah muasin aku di ranjang, ngga pernah mau ngertiin aku maunya gimana, ngga pernah mau peka, aku tuh capek pura-pura bahagia di depan Mas Rian kak, pura-pura jadi istri yang ideal ngikut dia maunya gimana," cecarku setengah terisak di depan Kak Lidya.
"Aku tuh ngga tahu sebenernya aku tuh cinta apa ngga sih sama Mas Rian," lanjutku merintih.

Kak Lidya menghela napas panjang seraya mengelus-elus bahuku. "Ya tapi jangan sampai gitu lagi lho. Aku ngomong gini ke kamu buat kebaikan kamu juga, Yu. Kalau kamu sampai masuk ke sana, mau baliknya lagi itu susah."
"Kak Lidya buktinya bisa," sanggahku.

Dia memandang lesu wajahku lalu berjalan menuju meja kasir, dibukanya laci dan dikeluarkannya satu pack rokok beserta korek. Aku sedikit terperangah, ternyata Kak Lidya diam-diam masih merokok.

"Ssshhhhh fuuuhhh .... aku pun masih belum berubah sampai sekarang, Yu. Kupikir kamu ngga bakal senekat itu .... aku salah ternyata ...." Dia kembali menghisap panjang batang cigar itu lalu mengembuskan asapnya ke arah display pakaian.

"Kamu jangan lagi ngikut-ngikut aku, fokus ama suamimu aja Yu," lanjutnya. Aku pun duduk pasrah, menundukkan kepalaku.
"Sekarang mesti gimana dong? Aku mesti bujuk Mas Rian buat pecat Pak Danang 'kah?"
"Bilang aja kamu maunya ART yang cewe."

Sepanjang jalan selepas meninggalkan butik Kak Lidya, aku hanya bisa melamun, cepat sekali sensasi baru itu datang merayapi tubuhku namun cepat juga dia harus pergi meninggalkan hidupku.

Kupandangi pangkalan becak dan ojek yang kulewati, terlihat bapak-bapak tukang becak dan mas-mas ojek berkumpul sambil ngopi di posnya. Pikiranku buyar membayangkan bagaimana jika saat ini juga aku singgah di depan mereka lalu mengangkat rokku dan melepaskan celana dalamku sebelum kemudian melemparkannya ke arah mereka. Kupertontonkan lubang kewanitaanku sesaat baru kutinggal mereka pergi pas lagi sange-sangenya.

Duh, fantasiku menyeret hidupku menuju kehidupan yang lebih liar dari sekarang, namun nuraniku sebagai wanita yang bermartabat menepisnya jauh-jauh.

Kak Lidya benar, aku sudah kelewatan. Lebih dari ini aku akan terperosok lebih dalam lagi. Sebaiknya kita tidak usah bermain api lebih dari ini.

Sialan, lagipula apa salahnya sih berfantasi? Toh, aku ngga merugikan siapapun. Ini adalah kali pertama aku benar-benar merasa hidup, kalau berhenti sekarang aku bakal kembali ke hidupku yang membosankan seperti sebelumnya. Kalau harus memasang senyum palsu lagi lebih baik aku mati sekalian.

Jiwaku berkecamuk. Nurani dan birahi saling berbenturan satu sama lain. Perlakuan yang kuinginkan takkan pernah bisa kudapatkan di lingkungan yang agamis. Aku tidak butuh lelaki pecundang, aku butuh pejantan. Pria yang bisa mendominasiku, pria yang membuatku bertekuk lutut akan keperkasaannya, pria yang membuatku bersukarela menjadi budak hawa nafsunya.

Sesampainya di rumah, kutemukan Mas Rian tengah memainkan hp di ruang tamu. Aku menarik napas dalam sesaat lalu memasang wajah manisku di depannya.

"Mas," panggilku dan beralih duduk di sampingnya.
"Ay, udah pulang?" jawabnya sebelum sesaat kemudian mengalihkan lagi pandangannya ke hpnya.
"Mas ngga kerja?"
"Meetingnya di reschedule, Ay. Palingan besok pagi dikabarin lagi."
"Aku mau ngomong sesuatu, Mas."
"Iya ngomong aja, aku dengerin."
"Mas, aku .... aku pengennya Pak Danang diganti. Aku maunya ART yang cewe."

Mendengar ucapanku Mas Rian pun mengalihkan pandangannya dan menatap serius wajahku.
"Kenapa? Ada yang salah? Dia nyuri?"
"Bukan Mas. Aku udah ngga betah lagi sama dia."

Mustahil tentunya aku cerita hampir diperkosa oleh Pak Danang, kalau sampai Mas Rian gelap mata bisa-bisa dibunuhnya pria itu.

"Ay, kalau pembantunya cewe susah loh, mungkin kalau nyuci sama ngurus rumah dia bisa lah, tapi kalau nyupir, ngurus kebun, servis mobil, 'kan belum tentu. Sedangkan kamu tahu sendiri uangku sekarang cuman cukup buat gaji satu orang."

Aku mendesah, memalingkan wajahku darinya, sudah kuduga bakal begini jadinya.
"Kamu 'kan bisa nyupir sendiri mas, servis mobil sendiri, ngga harus dianterin segala macam," rengekku.

Mas Rian pun turun dari kursinya dan berjongkok di depanku sambil memegang tanganku. "Ay, nyari pembantu itu ngga sesimpel itu, kita harus cocok-cocokan lagi, sikap luarnya baik belum tentu dalamnya baik. Orangnya jujur tapi mulutnya ngga bisa dijaga ya sama aja musingin. Sabar dulu sebentar ya, nanti kalau udah ada uangnya mas usahain cari yang sesuai kamu mau."
"Udah Mas, udah. Aku ngga tahu harus ngomong apa lagi sama kamu," balasku yang berdiri bersamaan dengannya.
"Ayu!" panggilnya namun tak kugubris sedikitpun dan pergi menuju kamar.

Sekarang gimana, kalaupun mau memecat Pak Danang pun tidak bisa sekarang. Kalau mengaku pun belum tentu hasilnya baik, bahkan malah mungkin memperburuk keadaan. Aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tanganku. Kenapa sih semua harus jadi seperti ini?

Suara pintu kamar yang terbuka membuatku mengangkat wajahku. Kulihat Mas Rian masuk ke kamar menyusulku dan aku hanya bisa menatap sendu wajahnya.
"Kamu sayang aku ngga sih, Mas?" tanyaku sedikit serak.
"Sayang, Ay. Aku sayang kamu. Maafin aku ya," jawabnya lalu mengecup pipi kiriku.

Kupegang kerah bajunya untuk sekadar merasakan napasnya di kulitku, kubiarkan sentuhan lembutnya merayapi bagian-bagian tubuhku. Pria itu mencium bibirku, kami bertukar kecupan dan air liur sampai aku memeluk erat lehernya, mencoba merengkuhnya, kucoba masukkan lidahku untuk menjelajahi setiap inci dari mulutnya. Mas Rian nampak kewalahan namun aku tak peduli, saat ini aku benar-benar menginginkan sentuhan seorang pria.
"Mhhhhh .... hahhhnnnn .... massssss ...." desahku saat melepaskan ciumanku darinya.

Kulepaskan satu persatu kancing kemejanya sementara Mas Rian meremas-remas dadaku dari luar sweaterku. Kucium dadanya yang terasa panas terus kujilati putingnya hingga pria itu pun mengaduh nikmat. Tak tahan dengan rangsanganku lantas didorongnya tubuhku ke ranjang dan dilepasnya habis seluruh kemejanya. Dengan buru-buru dia melepas retsleting celananya lalu menurunkan celana panjang itu ke lantai.

Didekatkannya penis mungilnya ke arah perutku yang membuat perutku terasa mual, meski begitu tak ingin kupasang raut wajah jijikku di hadapannya, kupegang benda itu dan kukocok perlahan sampai dia menegang, butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya penis mungil itu bangun ke ukuran aslinya yang hanya mentok sepuluh senti panjangnya.

Mas Rian pun menggosok selangkanganku yang masih tertutupi rok dengan batang mungilnya yang sudah tegang, meski rasanya jijik dan kecewa namun dengan kerja kerasnya aku pun terangsang juga. Napasku terasa berat dan dadaku terasa sesak, keringat membasahi wajahku.
"Aku buka ya dek."

Bola mataku membesar, untuk sesaat bayangan Pak Danang muncul saat aku melihat Mas Rian. Hati kecilku berharap pria itulah yang menelanjangi tubuhku saat ini, bukannya Mas Rian. Berharap dialah yang mengucapkan kata-kata itu dan bukannya Mas Rian. Namun apa mau dikata, saat ini pria inilah yang memiliki hak utuh atas tubuhku, bukan Pak Danang.
Aku tersenyum kecut lalu menatap wajahnya, "Buka aja, ngga apa?"

Dengan semangat Mas Rian menarik lepas rokku lalu mengelus-elus lubang kenikmatan milikku yang masih tertutupi celana dalam. Belum selang dua menit dia mengelusku, dengan tak sabaran ditarik lepasnya lagi celana dalamku dan dilemparkannya ke sudut ruangan. Diarahkannya tongkat panas itu bersiap memasuki lubang surgawiku, aku meringis menahan sakit saat Mas Rian memasukkan miliknya ke dalam tubuhku, baru beberapa senti sudah kudorong balik tubuhnya untuk menjauh.

"Uhhhhhhh .... sakittttt .... sakittt mashhhh .... punya Ayu belum becek banget .... jilatin dulu mas .... jilatin punya Ayu ...." pintaku setengah memohon namun dia mendesah kecewa.

"Tahan bentar lah Ay, nanti lama-lama enak kok," balasnya kecut, namun saat dia mau memasukkan miliknya untuk yang kedua kali benda itu sudah lembek karena pemiliknya terlanjut bete.

"Duhhhhhh .... udah ahhhh .... sini biar aku aja ...." Aku bangun dari tidurku dan mendorong balik Mas Rian hingga duduk ke tepi ranjang.


Aku berjongkok di depan selangkangannya lalu mengocok pelan batang kejantanan miliknya, dengan hati meringis aku menciumi benda miliknya yang sontak membuat pemiliknya mengaduh keenakan. Terus kukocok dan kujilati batang kejantanan milik Mas Rian sampai akhirnya kutaruh kepalanya di depan bibirku dan kumasukkan ke mulutku.

"Ohhhhhhnnnnnnn .... duhhhhh enak banget Ayyyyy .... akhirnya kamuhhhhh uhhh shhhhhh mau nyepongin punyakuhhhhhh .... ohhhhhh ...." Dia mendesah bak kesetanan menikmati servis oralku.

Kupejamkan mataku, fantasi dalam diriku membawaku ke dalam alam alternatif dimana saat ini aku tengah mengoral milik Pak Danang. Seketika itu pula sebuah energi misterius terasa memenuhi lekuk-lekuk tubuhku. Muncul semangat dalam diriku saat berfantasi melakukannya dengan Pak Danang. Aku semakin semangat memasukkan kejantanan Mas Rian dalam-dalam dan memainkan lidahku untuk terus merangsang penis mungil itu.

"Ohhhhhnnn .... Ayyyyyy .... enak bangett Ayyyy .... enak bangettttt ...." teriak pemiliknya yang tanpa sadar mencengkram kepalaku dan memompanya--mulutku kini seolah mainan seks dibuatnya.

Aku hampir kehabisan napas namun tetap kupaksakan, sedikit ingus keluar dari hidungku akibat tangan kasarnya, yahhh benar, terus Pak Danang, terus sodok mulut wanita ini. Aku milikmu, Pak! Aku milikmu!

"Ayyyyy .... aku keluarrr ohhhhnnnnn ...." Didekapnya erat kepalaku dan ditekannya dengan kedua pahanya, bagaikan orang kerasukan setan Mas Rian tak sadar saat ini tengah mencekikku, aku suka, aku benar-benar menyukainya, sial mengapa malah bayangan Pak Danang yang muncul di saat seperti ini.


Kurasakan cairan muncrat membasahi tenggorokanku, kubiarkan terus batang itu berkedut menyemburkan sperma sampai aku nyaris pingsan, setelah beberapa kali berkedut dan kehabisan amunisi, cekikan Mas Rian pun melonggar lalu dilepaskannya diriku yang jatuh ke lantai dengan wajah kemerahan, aku meraup udara sebanyak mungkin seolah baru lolos dari maut, aku batuk beberapa kali dan memuntahkan sedikit air mani Mas Rian di lantai kamar kami.

Pria itu berbaring di ranjang dengan kaki menjuntai di pinggirannya, terengah-engah mencapai kepuasannya sendiri, dia lupa lubangku masih memerlukan pelayanan kejantanannya yang menyedihkan itu untuk ikut sampai ke puncak kenikmatan.

Aku berdiri di hadapannya yang masih terengah-engah lalu memanggilnya mesra, "Mas, lihat Ayu deh."

Kulepas satu persatu kancing sweaterku dan menanggalkannya ke lantai, kuliuk-liukkan badanku dan menari bak penari erotis untuk menggoda priaku lagi. Tubuh putih Mas Rian memudar menjadi kulit coklat kehitaman Pak Danang, wajah tampannya berganti menjadi wajah lelaki tua yang sudah lama mendambakan seks dari bidadarinya. Itulah satu-satunya alasan mengapa aku masih tahan melakukan ini dengan Mas Rian, yakni fantasi terlarangku yang Kak Lidya coba kubur kembali setelah dibangkitkannya dengan cara yang tidak bertanggung jawab.

Kutanggalkan behaku dan memaparkan kedua dada indahku di hadapan Mas Rian, lalu mengerlingkan mataku dengan nakal padanya, Mas Rian menatap nanar dan mematung melihat aku meliuk-liuk binal mencoba menggodanya, penis mungilnya kembali membesar setiap kali tangan lentikku menyentuh dadaku sendiri dan memainkan puting merah mudaku.

Aku melangkah pelan lalu merayapi tubuhnya, kugesek-gesekkan dadaku di depan wajahnya hingga lelaki itu mendesah kesetanan, beberapa kali bibirnya mencoba meraih putingku namun kuloloskan ke atas dan ke bawah hingga membuatnya menggila.

"Mas aku minta izin mau masukin kont"lnya ke punyaku. bisikku pada telinganya, memparodikan seorang istri yang haus akan tusukan meriam suaminya. Sontak saja godaanku disambut napas berat dan desah tertahan Mas Rian.
"Astagaa, Ayu," lirihnya lemah, kurasakan detak jantungnya amatlah cepat saat kutaruh tanganku di dadanya.

Batang panas yang masih berlumurkan liurku dan lendir sperma itu pun mengacung tegak bersiap melakukan penetrasi, kupegang batang Mas Rian lalu kutuntun ke dalam lubang kemluanku.

BLESS!

"Ahhhhnnnn .... shhhhh ...." Aku mendesah kecil saat benda panas itu kini berada di dalam tubuhku, meskipun kecil tapi suhu panas dari tubuhnya lumayan memberi kesan tersendiri bagiku.

Perlahan kunaik-turunkan tubuhku dengan tempo yang pelan, mencoba menikmati setiap detiknya, kubayangkan ekspresi Mas Rian adalah raut wajah Pak Danang yang saat ini tengah menikmati jepitan memekku. Sepertinya aku sudah gila, syaraf otakku sudah terputus sehingga sampai hati membayangkan saat ini tengah memuaskan seorang pembantu yang kasta hidupnya jauh lebih rendah daripada diriku.

Suara ranjang bergernyit memenuhi ruangan kamar kami, perlahan kupercepat goyanganku hingga Mas Rian melenguh kenikmatan.
"Ahhhhhhnnnn .... Ahhhhhhnnnsshhhhh .... Ohhhhnnnnnn binal banget kamu hari ini Yuuuu .... Ohhhnnnnnn ...."

Aku tersengal, capek rasanya mengejar kenikmatan hanya dengan satu posisi, terlebih saat ini aku yang mencarinya seorang diri, sementara pria ini hanya menguik-nguik bak kerbau. Jika aku tidak berfantasi saat ini tengah melakukannya dengan Pak Danang mana sudi aku main sama kamu, Mas.

"Terushhhh .... mashhhh .... dikit lagi masshhhhh .... ohhhhnnn Ayu dikit lagi sampee ...." desahku yang sudah mandi keringat, perlu jerih payah yang banyak sampai aku bisa sampai ke titik ini dengan kejantanan mungil milik Mas Rian.

Namun belum juga aku mencapai puncak kenikmatan, Mas Rian sudah memegang erat-erat pinggulku dan mengunci tubuhku selagi pinggulnya ditusukkannya ke atas. Aku terengah-engah dan mendesah kecewa saat kurasakan beberapa semburan hangat masuk membasahi rahimku. Mas Rian keluar lebih dahulu. Padahal andaikan dia menahannya sedikit saja lebih lama kami bisa keluar sama-sama. Aku menggigit bibir bawahku. Terus kupaksa memompa batang kejantanan milik Mas Rian namun penis kecil itu semakin lembek dan menjadi mungil kembali seperti ukuran aslinya sehingga terlepas sendirinya dari lubang kenikmatanku.
"Hhhh .... Hhhhhnn .... Hhhh ...." Mas Rian terengah-engah kehabisan tenaga.

Aku pun turun dari atas tubuh Mas Rian dan naik ke atas ranjang. Kupangku kepalanya dan kutempelkan sesekali dadaku di wajahnya. Mulut pria lemah itu pun bergerak mengulum putingnya dan menghisap-hisapnya.
"Shhnnnn .... Ahnn ...." desahku, meski sudah orgasme, jilatan dan hisapannya masih terasa cukup kuat.

Tanganku bergerak menuju selangkangan Mas Rian, beberapa kali sudah kukocok namun penis itu tak lagi membesar. Sebal rasanya,

Aku tak kehabisan akal lalu kukulum kejantananya sambil kusedot sedot hingga membuat melenguh pelan.
"Enakk Ayyyy ..... uhhhh ..... Terus Ayyy ouchhh ...." jeritnya sambil menekan nekan kepalaku keselangkangannya.

Tak lama kemudian kejantanannya pun kembali berdiri tegak.
Kutangkap penisnya yang sudah menegang untuk kemudian kutunggangi kembali hingga pria itu menguik memohon ampun. Setiap kali dia orgasme lebih dulu aku melakukan hal yang sama berulang-ulang demi mengejar kenikmatan yang sama.

Hingga waktu sore tiba semenjak permainan seks kami, baru akhirnya kudapatkan orgasme yang sudah kucari-cari. Mas Rian menatap kosong ujung ruangan, bibirnya kering dan pecah-pecah akibat dehidrasi, dan spermanya berserakan di sepanjang kasur kami. Mulutnya terbuka dan tertutup secara konstan, lemas tak berdaya sampai tak mampu berkata apa-apa.

Aku yang sudah mencapai puncak pun, tubuhku bermandikan keringat.
Aku pun berjalan menuju kepala Mas Rian. Dengan masing-masing dua jariku—kubuka lubang kewanitaanku lalu mengucurkan semua air mani yang ada di dalamnya ke wajah lemasnya, setelah semua terkuras habis air kencing pun ikut mengalir dan kuciprati wajah Mas Rian hingga basah seluruhnya.

Pria itu tak merespon apapun yang kulakukan sekarang padanya, dia hanya terbaring lemas dan tertidur, entah mungkin pingsan. Aku tidak peduli.

Aku pun turun dari ranjang dan melangkah masuk ke kamar mandi membersihkan tubuhku dari bekas percintaan kami.
Sengaja kulamakan kucuran air shower di kepalaku untuk mendinginkan otakku. Ini kali pertama aku benar-benar memaksa Mas Rian melebih batas biasanya. Dan aku terus menaiki benda mungil miliknya betapapun memuakkannya rasa seks itu.

Kemana aku melangkah sekarang, jika kuturuti nuraniku maka seks seperti itulah yang akan kurasakan selama sisa hidupku. Namun jika aku melangkah mengikuti birahiku tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Semua berpusat pada satu pertanyaan yang sama.
Bagaimana rasanya jika itu bukan suamiku?

Sore itu Mas Rian masih terbaring di ranjang—tidur. Dia sempat bergerak sebentar untuk sekadar mandi dan ganti sprei, ternyata pria itu pun tak sanggup tidur dalam kubangannya sendiri.

Ini kali pertama aku melihat Mas Rian
Nampak bermalas malasan, biasanya dia yang selalu semangat. kemudian aku keluar kamar dan menuruni tangga.
Suasana rumah kali ini cukup asing, tidak biasanya ruang tamu gelap dan lampu luar belum dinyalakan Pak Danang, padahal senja sudah lewat. Kutekan saklar lampu sehingga ruang tamu dan ruang keluarga pun jadi terang benderang, begitu pula dengan teras depan rumah.
"Keluar kah dia?" tanyaku.
"Meooowwwww...."

Aku terkejut saat Icha—kucing kami datang mengelus-elus kakiku, bergegas aku mengambil pakan kucing di lemari lalu menuangkannya ke mangkuk makanan Icha.

"Caca .... duhh maafin mami ya sayang, lupa ngasih makan kamu sore ini," ucapku lembut disambut meongan setengah menggeram darinya.

Aku pun lanjut berjalan menuju dapur yang juga nampak masih gelap namun sayup-sayup kudengar cahaya dan suara di sana.
Saat aku melangkah ke sana nampak cahaya menyorot dari celah pintu kamar Pak Danang, semakin aku mendekat semakin jelas pula sayup-sayup suara tersebut.

Sedikit kuintip dari balik celah pintu itu, nampak punggung seseorang tengah melakukan sesuatu. Aku menutup mulutku, terkejut melihat Pak Danang menutupi mukanya dengan celana dalam wanita.
"I-Itu 'kan?" gumamku dalam hati.

Ya, benar, itu adalah celana dalamku yang dirampasnya saat aku sedang tidur di ruang tamu. Ternyata masih dia simpan bahkan dia pakai sebagai bahan onani.

"Mmmphhssshhhh .... ahhhhh .... Non Ayuuuuu .... bau tubuhmu ngangenin banget nonnn ...." desahnya sembari terus menghirup dalam-dalam aroma celana dalamku.

Kuremas sedikit dadaku, ternyata bukan hanya aku yang mendambakannya tapi dia pun mendambakan kehangatan tubuhku. Memori di malam itu kelihatannya masih lah menjadi dosa yang terindah bagi kami berdua.

Kugigit bibir bawahku, suhu tubuhku ikut menghangat menyantap suguhan adegan amoral di depan mataku saat ini. Pak Danang membuka celananya dan mengeluarkan batang kejantanannya lalu membalutnya dengan celana dalamku.

Aku mengigit jari melihat benda itu. Meski belum tegak sempurna namun ukurannya sudah melebihi milik Mas Rian di saat primanya.
"Ssshhhh ahhhhh .... shhhhh ahhhh Non Ayuuu .... shhhhh terus Non .... shhh terusss mainin punya bapakk ...." geramnya.

Bulu kudukku merinding mendengarnya, sesuatu dalam suaranya menghidupkan bibit nafsu dalam diriku, seolah minyak yang terus dituangkan kepada percikan api, awalnya kecil lalu tumbuh menjadi bara yang besar.

Kulup pada kepala penisnya membuatku tergiur, sesuatu yang biasa kutemui hanya pada anak kecil memberi efek yang berbeda saat kulihat pada sosok orang dewasa. Jantungku berdentum begitu keras, adrenalin dalam diriku terpompa melihat batang itu mulai bangun dan menegak sempurna.

Lututku terasa lemah, aku berusaha sekuat yang kubisa menahan untuk tidak menimbulkan suara, karena jika kulakukan maka pejantanku itu akan mengakhiri pertunjukannya segera. Ketika benda itu tegang sempurna, kepala penisnya keluar dari kulit khitannya, aku menelan air liurku memandangi betapa perkasanya tongkat pria yang selama ini menghabiskan waktu dekat denganku tersebut.

"Pak Danang," gumamku pelan, tangan kananku bergerak meremas-remas dadaku sendiri sementara tangan kiriku menyusup turun ke selangkanganku dan mengoles-oles kemlaunku dari luar pakaianku.

Dia pun mulai mengocok kejantanannya yang sudah tegak sempurna menggunakan celana dalamku. Rasa gatal yang luar biasa muncul di area selangkanganku, aku menatap nanar benda milik Pak Danang dan terus berandai-andai jika saat ini benda itu tengah keluar masuk dalam tubuhku dan menghujami lubang surgawiku.
"Ohhhhhh .... Ohhhhhnnnnn .... Non Ayuuuu .... Non ...." panggilnya.

Setengah dari jiwaku membuatku berdiri seolah ingin menjawab panggilannya namun saat aku memegang knop pintu kamarnya setengah lagi menarik tubuhku.
"Kalau kamu sampai masuk ke sana, mau baliknya lagi itu susah."

Kata-kata Kak Lidya terus terngiang di kepalaku. Pintu kamar ini adalah perbatasan antara kehidupan lama dan kehidupan baruku. Titik aku berdiri bukanlah aplikasi live untuk video call seks, dimana aku bisa bermasturbasi sepuasnya bersama orang asing. Jika aku melewatinya tidak ada jalan kembali, baik tubuh dan jiwaku mungkin akan tenggelam seutuhnya menjadi pribadi yang baru.

Tanganku melemah dan kulepas knop pintu kamar itu seraya menunduk. Nyatanya aku tak cukup kuat untuk melakukannya, nyatanya aku tak cukup kuat untuk membuang hidupku untuk sekadar kepuasan seksual semata. Pada akhirnya—
"Ngapain nurutin saran dari orang yang juga hidupnya selama ini ngga bener."
—Hawa nafsuku berbicara di titik balik ini.

Kenapa aku harus menuruti saran Kak Lidya? Toh, selama ini dia juga ngga suci-suci amat. Buktinya dia masih ngerokok? Manatahu dia juga mabok dan main cowo lain di belakangku.

Tanganku menyentuh dinding pintu itu dan kubuka pelan, ketika aku melangkahkan kakiku masuk pria tua itu terkejut mendapatiku sedang berdiri di depannya.
"N-Non Aaayuuu ...." ucapnya mengerang setengah terkejut.

Dia menghadap tubuhku di saat hampir mencapai puncak kenikmatan. Seketika itu juga spermanya menyembur dengan kuat, begitu kuatnya sampai terciprat sebagian di wajahku. Pak Danang panik dan bergegas mengambil tisu lalu mengelap spermanya dan memasukkan kembali batang kejantanannya ke dalam celananya.

"A-A-Ampun Non .... M-Maafkan bapak .... Bapak khilaf .... J-Jangan pecat bapak, Non ...." ucapnya dengan nada sesal sembari mengelap air maninya dari wajahku.

Suaranya terdengar begitu panik, bingung, dan penuh ketakutan. Padahal aku tak berbicara sepatah katapun, aku hanya diam di sana mematung dan membiarkan dia membersihkan wajahku.

Tak ada satupun suara yang keluar dari bibirku bahkan untuk sekadar menenangkan kecemasannya. Seolah-olah melompat dari kapal menuju air laut yang dalam, kubiarkan tubuhku tenggelam dengan sendirinya. Aku sudah melewati pintu itu, sekarang tak ada jalan kembali.
Kusentuh tangan tuanya yang gemetaran saat mengelap wajah dan bajuku dengan tisu, lalu kupegang sehingga dia pun terhenti.
"N-Non Ayu?" panggilnya.
Aku mendongkak menatap wajahnya, kupegangi tangannya dan kusentuhkan ke pipiku memberikan persetujuan padanya.
"Pak," balasku balik.

Tisu itu pun terjatuh ke lantai bersamaan dengannya yang memberanikan diri mengecup bibir manisku. Bau rokok kretek yang cukup menyengat dari mulutnya masuk ke dalam indra penciumanku, namun aku tak peduli, lidahnya begitu liar menari-nari dalam mulutku seolah ingin menghisap jiwaku keluar dari dalam ragaku. Tangan kekarnya dengan sigap meremas payudaraku dari luar gamisku sementara tangan satunya meremas-remas pantatku. Ketika aku ingin memundurkan kepalaku dia terus mendesaknya maju hingga tubuhku terlontar kebelakan dan membentur pintu kamarnya, pintu itu pun tertutup sempurna sehingga resmi sudah kuserahkan diriku pada predator yang selama ini mengintaiku.

"Udah lama bangethhh .... cuphhhh cupppphhhh .... saya pengen beginian sama Non Ayuu .... cuphhhhh ...." ucapnya di sela-sela ciumannya, namun aku tak menjawabnya, aku hanya diam memandanginya dengan wajah terangsang.

Puas dengan bibirku dia turun mengecupi payudaraku dari luar bajuku, digigit-gigit kecilnya putingku yang sontak membuatku mengerang tertahan. Tangannya pun tak tinggal diam meremas-remas bongkahan dadaku yang lain dan terus membenamkanku dalam kenikmatan.

"Ohhhhh .... Hohhhhnnnnn .... Ohhhhh ...." lenguhku menikmati kasarnya perlakuannya padaku.

Pak Danang pun lanjut berjongkok di hadapanku yang masih berdiri bersender pintu kamarnya, dia menelusup masuk ke dalam gamis sutraku dan mengincar lubang kenikmatanku.
Kuremas rambutnya dari balik bajuku saat merasakan embusan napasnya di area selangkanganku.

"Ohhhhkkkk ...." rintihku nikmat saat pria tua itu membenamkan wajahnya di memekku, mataku berubah lemah dan sayu saat dia menjilati lubang vagina dan klitorisku dengan membabi buta.

Kutekan lagi wajahnya ke area selangkanganku untuk merengkuh kenikmatan lebih kala lidah itu bergerak masuk di dalam lubangku.
"Ohhhhhh .... Ahnnnnnnn Ahhhhhhhhnnnnn .... Hooohhhhhnnnn .... Pak aku keluar pakkkk ...." rintihku sepelan mungkin sambil menepuk-nepuk bahu pejantanku.

Mataku terbelalak sesaat, kenikmatan yang susah payah kucari dari Mas Rian bisa semudah ini kudapatkan dari Pak Danang hanya dari permainan lidahnya saja. Kujepit kepalanya erat dengan kedua pahaku sebelum akhirnya melepaskan orgasmeku di wajahnya. Kini celana dalamku basah sempurna bukan hanya dari air liur Pak Danang namun juga lendir cintaku sendiri.

Pak Danang keluar dari bawah rok panjangku sehingga aku pun jatuh terduduk di lantai, terengah-engah.
Dia pun membuka kembali celananya dan mengeluarkan tongkat keperkasaannya di hadapan wajahku.
Ya, nampak kontras sekali batang coklat kehitaman dengan kulup itu ketika berhadapan dengan bibirku.
"Non," ucapnya singkat sambil mengelus rambutku.

Aku memahami apa yang pejantanku sekarang inginkan, kuciumi benda itu dan kuoleskan ke seluruh wajahku menikmati betapa hangatnya kejantanan itu saat menyentuh kulit suciku.

Tidak ada satupun laki-laki di luar sana yang mengira wanita terhormat sepertiku mau mengoral kemaluan pembantu semacam Pak Danang, namun dibalik sifat alimku ternyata selama ini hawa nafsu yang buas tersembunyi dengan rapat, menunggu datangnya hari ketika aku dilecehkan, direndahkan, dan diperlakukan hanya sebagai alat pemuas semata.

"Ohhhnnnn .... Shhhhh .... Mantap Non Ayu .... Saya suka Nonnn ...." lenguh Pak Danang saat bibirku terbuka dan mengulum kepala penis miliknya. Belum beberapa saat di dalam mulutku, benda itu sudah mulai menegang dan membesar sehingga menusuk masuk ke dalam tenggorokanku.

"Hoooqqqqq .... Uhk uhk ...." Aku mendorong paha Pak Danang agar memberiku ruang buat bernapas, saat keluar dari mulutku tongkat keperkasaannya pun menegang sempurna ditandai dengan ujung kepalanya terbebas dari kulupnya.

Tubuhku yang kini membara terbakar birahi menatap nanar batang penis itu, sungguh begitu besar, ketika tegang sempurna tanganku nyaris tidak cukup untuk menangkupnya.

Kumasukkan lagi benda itu ke dalam mulutku namun hanya muat sepertiga dari bagian atasnya saja, kubuka lebar-lebar rahangku agar gigiku tidak menyakiti pejantan kesayanganku ini, sementara itu satu tanganku mencoba menutupi gap yang tidak bisa kucapai sepenuhnya dengan mulutku dan mengocok batangnya.

"Ohhhhhnnnn .... lonte bangsatttt .... dasar perempuan sangean... ngga puas sama kont*l suami malah nyari kont*l orangg .... Di luar alim dalamnya lontheeee .... ohhhnnnn anjingggg ...." hinanya saat aku mulai mengoralnya, bukan malah merasa terhina aku malah semakin semangat memberikan servis terbaikku saat Pak Danang menghina martabatku.

Semakin aku mengoralnya, semakin semangat pula dia menusukkan kejantanannya padaku. Cukup lama adegan intim ini terjadi sampai kurasa rahangku mungkin akan lepas, namun bukannya berhenti dia malah menekankan kejantanannya lebih dalam menusuk masuk kerongkonganku. Aku menepuk-nepuk pahanya bahkan mencoba mendorong tubuhnya namun Pak Danang tak mempedulikannya. Ketika tenggorokanku terisi penuh hingga bibirku sampai menyentuh pangkal batang penisnya, dia menembakkan air mani bertubi-tubi ke dalam sana, air mata keluar membasahi pipiku menahan rasa mual dan muntah dari rasa sperma pejantanku ini belum lagi bau pesing dari rambut kemaluannya.

Setelah puas, ditarik lepasnya kejantanannya dari mulutku dan lanjut menembakkan sisa-sisa spermanya di bagian wajahku.
"Uhk uhk .... hoqqqqq .... uhkkkkk uhk uhkkkk ...." Aku terbatuk-batuk dengan mata berkaca-kaca memandanginya yang berdiri tegak di depanku.

Diangkatnya tubuhku yang lemah dan dibawanya ke atas ranjangnya.
Aku mengangkat kedua tanganku dan membantunya melepas gaun tidurku. Dibalik sutra itu terpampang bra yang masih mengekang kedua dada ranumku. Pak Danang mencoba melepasnya namun dia sedikit kesulitan dengan pengaitnya, kubantu pria itu melepaskan sisa-sisa kain di tubuhku yang kemudian disambut dengan sambaran ganasnya.

"Cppphhhh .... cpphhhhh .... cuphhhhhh ...." Mulutnya berkecipak dengan air liurnya saat mengulum erat putingku.
"Sssshhhhh .... Hhhhhnnnn .... Ohhhhnnnnnnnnn Pakkkkkhhhh ...." erangku saat tubuhku dihujaninya dengan kenikmatan tiada tara.

Begitu lama dia menyusu hingga berpindah dari payudara kiri ke kanan sementara tangannya yang lain meremas dan memilin putingku. Aku melenguh nikmat merangkul kenikmatan yang selama ini kucari, kenikmatan yang tidak bisa kudapatkan dari malam-malamku bersama Mas Rian, sebuah kenikmatan dari hewan buas yang kastanya jauh di bawahku.

Puas dengan dadaku dia menatap wajahku yang sayu lalu memegang pipiku.
"Non Ayu .... saya suka sama Non. Saya sayang sama Non," panggilnya membuat hatiku berbunga-bunga.
"Saya juga suka sama Pak Danang," jawabku.

Didorongnya bahuku hingga jatuh ke ranjangnya lalu dilepaskannya kain yang menutupi selangkanganku sehingga lubang surgawiku terpampang sempurna di hadapannya. Kini tubuhku benar benar polos.
"Non, kita nikah yuk," ucapnya sambil menggesekkan batang kejantanannya di bibir kewanitaanku.
"Hnggghhh .... ngga .... ngga mau pakkkk ...." balasku lemah, membuatnya berhenti menggesek lubang becekku.
"Ayu ngga mau jadi istri bapak .... Ayu maunya jadi lonte bapak ...." lanjutku sambil tersenyum.

Nampak raut wajah Pak Danang berubah saat mendengar jawabanku. Tangan kanannya bergerak mencekik leherku sementara tangan kirinya menuntun batangnya yang tegak sempurna menuju lubang kewanitaanku.

"Dasar perempuan lonte!" ucapnya seraya menusukkan batangnya masuk memenuhi vaginaku.
Ucapan itu adalah titik penanda bahwa hidup baruku sekarang dimulai. Aku telah resmi menjadi alat pemuas nafsunya.

Aku meringis saat benda panas itu baru memasuki gerbang awalku, dengan cepat batang panas itu memenuhi setiap inci dari lubang kemaluanku, membuatku menengadahkan kepalaku, namun ketika kejantanan milik Pak Danang sudah masuk setengahnya aku merasakan sebuah kenikmatan baru muncul. Sensasi seksual yang sesungguhnya merayapi setiap lekuk tubuhku.

Saat aku mengira sudah masuk seluruhnya batang itu terus merayap masuk dan membuatku setengah panik, sampai mana dia mau memasukkannya pikirku, tetapi saat ujung penisnya menyentuh bibir rahimku rasanya otakku meleleh seketika. Apakah seks bisa memunculkan kenikmatan ini hanya dengan satu tusukan? Dia bahkan belum menggoyangkan pinggulnya namun aku sudah meraih orgasme keduaku.
"Saya mulai ya, Non." Dia menarik kembali penisnya sehingga jiwaku serasa dihisap habis olehnya.
"BLES!

"Ohhhnnnnnnnnn...." tanganku reflek mengambil bantal dan meneriakkan lenguhanku sekeras-kerasnya saat merasakan tusukan dari Pak Danang. Separuh diriku rupanya masih peduli kalau-kalau Mas Rian bisa masuk ke kamar ini dan memergoki perbuatan kami kapan saja.
PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!

Hempasan demi hempasan dilepaskannya ke dalam tubuhku, setiap kali kepala penisnya menyentuh titik di bibir rahimku setiap kali pula aku serasa dibawa ke langit ke tujuh dan dihempaskan lagi ke bumi, lagi berulang kali.

"Ohhnnnnn .... Hohnnnn sempit banget Non Ayuuuu .... Punyamu memang paling mantepphh .... lonte anjingggg ...." racaunya tak karuan.
"Terushh pakkk .... ohhh terus pakkkkhhh .... aku lontemu pakkkk .... aku lontemuhhh ohhhhnnnn ...." balasku menikmati setiap tusukannya.

"Pecun jancukkk .... lepas samua bajumu saja terus ngelacur di jalan sana. Dasar perempuan jalang !! ucapnya geram sambil menusukkan lebih dalam lagi kejantananya dalam tubuhku, membuatku menguik kesetanan.


Kami terus berpacu di ranjang itu hingga tubuh tuanya menegang.
"Aku mau keluar jancukkkk. Mem*k lu memang terbaik ouhhh..
"Saya juga pakhhhh .... saya juga mau nyampehhhhh .... terushh pakkk tusuk terus sshh..
"Ahhhh jiiinggggg .... ohhhhnnnnnnnn ...."

Pak Danang memegangi pinggulku dan menembakkan air maninya beberapa kali ke dalam rahimku bersamaan dengan lendir cintaku yang juga keluar membasahi batang keperkasaannya.
Ditariknya lepas batang kejantanannya dari lubang kemaluanku membuat cairan cinta kami mengalir keluar beberapa kali seiring dengan kedutan alat intimku.

Sekarang aku paham mengapa orang-orang susah kembali ke jalan yang benar setelah berzinah. Manusia mana yang bisa menolak kenikmatan semacam ini.

Pak Danang mencium bibirku sementara satu tangannya, mengorek-ngorek liang kewanitaanku, membuatku merintih nikmat. Dikoreknya cairan cinta kami berdua lalu didekatkannya jari yang yang penuh dengan lendir ke bibirku.

Aku pun menurut dan menjilati habis semua lendir cinta kami yang menempel di tangannya.
Pria tua itu pun bergerak mengangkangi wajahku dan menyodorkan kejantanannya di hadapan wajahku.
Luar biasa, meskipun sudah orgasme, batang Pak Danang masih tampak tegang sempurna dan belum menunjukkan tanda-tanda lelah sedikitpun, aku penasaran perlu berapa kali pejantanku ini orgasme sampai dia kehabisan tenaga.

Ditengah lamunanku tiba-tiba kejantanan perkasa itu bergerak menampar pipiku, sebagian lendirnya pun mengenai wajahku. Aku tersadar akan keinginannya dan mulai membersihkan kejantanannya dari sisa-sisa percintaan kami.

Mas Rian,
Kak Lidya,
Maafin aku.
Ayu yang selama ini selalu bersama kalian udah ngga ada.
Sekarang aku sudah jadi milik Pak Danang.
Kupegangi kejantanan besar milik Pak Danang lalu kutaruh di samping pipi.
"Paaakkk .... Ayu mau lagi," panggilku mesra yang disambut dengan senyuman lebar dari pejantanku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Draft Amarah Para Buruh 21

Draft Amarah Para Buruh 20

Lust in Broken Home 4

Lust In Broken Home 5

Terjebak Didalam Kelas

Akibat Kena Gendam Tetanggaku

Kisah Tragis Dikebun Karet

Amarah Para Buruh 10

Amarah Para Buruh 17

Binalnya Ibu Tiriku 4