Udara dingin dalam cuaca mendung gelap
yang menyesakkan. Sudah dua hari ini matahari enggan untuk menampakkan
sinarnya. Angin kencang menggoyang daun-daun kering yang tampak ringkih
bertahan di dahan. Hari-hari di bulan desember yang selalu basah dan gelap.
“Ih, Papa nakal.” wanita itu menepis
tangan suaminya yang mulai merambat menyusuri belahan buah dadanya yang besar.
“Sudah ah, nanti Papa terlambat.” Dia mengingatkan.
Para peronda malam
sudah sampai di belakang rumahnya. Dia tidak boleh bersuara kalau tidak mau
ketahuan.
“Ma, Papa berangkat dulu ya.”
“Hati-hati di jalan, Sayang. Jangan
ngebut, ya?”
Lelaki yang dipanggil sayang itu
tersenyum. Wajahnya sebenarnya cukup lumayan, agak ganteng kalo dilihat dari
Monas pake sedotan. Tubuhnya kurus kering, dengan kulit coklat kehitaman
terbakar matahari. Rambutnya yang kriwil makin menambah kesan tak terurus pada
diri pria itu. Ia mengecup kening dan
pipi istrinya yang bulat dan menggelitik pinggang ramping milik wanita itu.
“Mama cantik deh.” laki-laki itu kembali
mengecup bibir sang istri. Wanita itu membalasnya singkat.
“Sudah siang, Pa. ” dia kembali mengingatkan.
“Nanti masakin yang enak ya, Sayang.”
bisik laki-laki itu sebelum keluar pintu.
Wanita itu tersenyum dan mengangguk. Dia
merasa bersyukur punya suami seperti Tarno, meski jelek tapi cukup bertanggung
jawab. Itulah yang membuat Sari perlahan mulai bisa menerima kehadirannya, dan
tanpa sadar, mulai mencintainya.
Sari |
“Hati-hati di rumah ya, Sayang.” teriaknya
sebelum masuk ke dalam kendaraan.
Di belakangnya, Sari memandangi dengan
mata berkerlip. Ada
cinta disana, yang perlahan makin membesar dari hari ke hari. Suaminya memang
tidak ganteng, dia tahu itu karena Tarno adalah mantan sopir pribadinya. Mereka
menikah karena Sari sudah hamil duluan, dan ironisnya, bukan dengan Tarno. Sari
dihamili oleh pacarnya, yang langsung kabur begitu tahu kalau gadis itu
berbadan dua. Untuk menyelamatkan muka keluarga, ayahnya segera menikahkan
gadis itu dengan siapa saja yang mau, dengan imbalan uang puluhan juta rupiah.
Tarno yang mendengar hal itu, tanpa perlu berpikir 2 kali, langsung
menerimanya.
Sebenarnya, tanpa imbalan uangpun, dia
akan dengan senang hati melakukannya. Siapa sich yang tidak ingin menikahi
gadis secantik Sari, yang kemolekan tubuhnya sanggup membuat Aura Kasih minder,
biarpun gadis itu sedang hamil. Peduli setan, bagi orang jelek seperti Tarno,
itu tidak masalah, yang penting bisa merasakan kehangatan dan kelembutan tubuh
gadis itu. Apalagi ini ditambah iming-iming uang 50 juta rupiah, yang membuat
penawaran itu makin mustahil untuk ditolak.
“Jangan malam-malam ya pulangnya.” wanita itu
mengantar Tarno sampai ke halaman depan. Wajah cerah dan cantik yang setiap
hari melepasnya pergi, dan selalu mengisi benaknya selama jam kerja. Selalu
membuat Tarno tak sabar untuk pulang ke rumah. Selalu?
**
“Ibunya ada, Dek?” Sari bertanya pada
bocah kecil berumur 3 tahun yang sedang asyik mencoret-coret dinding rumah.
Bocah itu mengangguk tanpa mengalihkan
pandangannya. “Di dalam.” sahutnya singkat.
Sari segera masuk ke dalam, meninggalkan
bocah itu sendirian. Seperti biasa, dia menerobos rumah itu tanpa perlu merasa
sungkan sedikitpun. Dia sudah mengenal baik pemilik rumah itu. Anita adalah
tetangganya, sekaligus teman pertamanya saat awal dia pindah ke perumahan ini.
Usia keduanya yang hampir sebaya membuat mereka cepat akrab. Hari ini, Sari
berniat untuk belajar memasak. Kemarin Anita sudah janji untuk mengajarinya
membuat nasi Rawon kesukaannya.
“Mbak, Mbak Nita?” Sari memanggil sambil
terus melangkahkan kakinya. Ruang tamu dan ruang tengah sudah terlewati, tapi
masih belum ada tanda-tanda keberadaan wanita berambut pendek itu.
“Mungkin di dapur, pagi-pagi gini kan biasa dia sibuk di
dapur,” pikir wanita itu. Dengan riang, Sari terus menuju ke belakang. Saat
melintasi kamar Anita, dia mengintip sebentar, tidak ada siapa-siapa disana.
Samar-samar, telinganya menangkap suara gaduh dari arah dapur. Ah, memang
benar, dia sedang berada di dapur sekarang.
“Mbak Nita?” sambil memanggil, Sari
membelokkan kakinya menuju arah dapur.
Tapi langkah kaki wanita cantik itu
langsung terhenti begitu melihat apa yang terjadi. Disana, berbaring di atas
meja makan, tampak Anita tengah bergumul dengan seorang laki-laki. Pakaiannya
acak-acakan. Payudaranya yang besar terlihat menonjol keluar karena kaosnya
yang ketat tertarik ke atas, memperlihatkan sepasang buah dada yang putih
mempesona dengan puting mungil mencuat indah ke atas. Rok pendeknya yang
berwarna abu-abu melorot ke bawah, memperlihatkan kemaluan wanita itu yang
basah, licin dan kemerah-merahan, membuat penis besar milik si laki-laki bisa
menusuk dan menembusnya dengan lancar.
“H-halo, Sar.” sapa Anita sambil merem
melek saat melihat kedatangan sahabatnya. Mukanya licin penuh keringat, dengan
bekas-bekas cupangan merata di seluruh pipi dan lehernya.
Sari terhenyak, sampai tak tahu harus
berkata apa.
“S-sebentar ya, lagi tanggung nih.” tambah
Anita sambil ikut menggoyangkan pinggulnya, mengimbangi tusukan laki-laki
diatasnya yang sekarang tampak semakin cepat.
Dengan muka merona, Sari memalingkan
mukanya. “Ah, aku tunggu di depan aja ya.” Dia merasa tidak enak memergoki
Anita yang lagi berbuat mesum seperti itu.
“J-jangan,” Anita melarang. “T-tunggu
disini aja. Enggak apa-apa kok.” Permintaan yang aneh, tapi entah kenapa Sari
menurutinya.
Dia duduk di salah satu kursi dan menonton
kelanjutan acara itu. Dia penasaran, sekaligus teransang juga, bagaimana Anita
yang cantik bisa berbuat mesum seperti itu, dengan seorang laki-laki tua yang
lebih pantas menjadi ayahnya daripada partner seksnya. Sari tidak mengenal
laki-laki itu, tapi dari ukuran penisnya yang super besar, dia bisa menduga
alasan Anita mau menyerahkan tubuhnya pada laki-laki itu.
“Ahhh... ahhh...” Anita merintih saat
kontol besar si lelaki menusuk dan mengocok memeknya makin cepat.
Dia menyambar bibir si lelaki dan
melumatnya dengan rakus. Lidah mereka bertemu untuk saling menghisap dan
mencampur air liur. Anita tampak sangat menikmati sekali meski bibir laki-laki
itu begitu tebal. Di bawah, tangan si lelaki merambat untuk meremas-remas
payudara Anita yang membusung indah. Kelembutan dan kehangatannya rupanya
membuat laki-laki itu jadi ketagihan. Sepanjang sisa permainan, dia terus
berpegangan pada benda bulat padat itu.
“M-mau ikut g-gabung sini, Sar?” tanya
Anita saat melihat Sari mulai meremas-remas payudaranya sendiri.
“Ah, tidak.” Sari cepat menarik tangannya
dan merapikan bajunya yang mulai tersingkap. “Kamu teruskan aja.” dia masih
malu untuk mengakui kalau sebenarnya dia juga teransang.
Anita tersenyum penuh arti, “S-selalu ada
tempat buatmu k-kalau kamu berubah pikiran.” katanya.
Dan sebelum Sari sempat menjawab, wanita
itu sudah berpaling untuk kembali menghadapi serangan lelaki di atasnya yang
sekarang mendesaknya dengan semakin gencar dan bertubi-tubi. Rupanya, permainan
sudah mulai mendekati babak akhir. Tidak peduli dengan Anita yang menjerit dan
merintih-rintih, laki-laki tua itu terus menusukkan penisnya dalam-dalam, dan
menariknya lagi dengan cepat, untuk kemudian menusukkannya lagi lebih dalam,
hingga membuat Anita memekik dan menjerit keenakan. Sari menonton semua adegan
itu tanpa berkedip sedikitpun. Bahkan, dia juga sampai lupa untuk bernafas.
“Ah, pasti enak juga kalau memekku
digitukan.” wanita itu membatin sambil mengusap-usap vaginanya sendiri. Benda
itu mulai terasa basah.
“Ayo, Pak Karta, tusuk lagi lebih keras.
Tusuk. Lebih keras!” Anita menceracau di sela-sela rintihannya.
Laki-laki tua yang dipanggil Pak Karta
menyahut dengan geraman rendah, dan menusukkan penisnya untuk masuk lebih dalam
lagi. Di atas, tangannya meremas-remas payudara Anita makin keras, membuat
kulitnya yang putih mulus berubah menjadi memar kemerah-merahan. Putingnya yang
mungil kecoklatan, kini tampak makin mencuat indah. Pak karta menunduk untuk menciumnya.
Laki-laki tua itu mencucup dan menjilatinya dengan penuh nafsu. Dia memilinnya
dengan lidah, menggelitiknya dengan gusinya yang mulai ompong, dan membasahinya
dengan air liur berbau tembakau murahan, kiri dan kanan secara bergantian.
Anita yang mendapat serangan brutal seperti itu, cuma bisa menggelinjang sambil
menjerit-jerit kecil. Matanya terpejam, sementara tangannya mendorong pinggul
Pak karta agar bergerak makin kuat dan mantab.
“A-aku sudah mau k-keluar, Pak.” bisiknya
parau.
Laki-laki tua itu segera mengatur posisi
bokongnya untuk menyambut saat-saat yang membahagiakan itu. Diawali dengan
jeritan panjang, tubuh Anita mengejang dan berkedut-kedut. Tangannya terkepal
dengan mata terpejam rapat. Pahanya yang putih mulus menjepit pinggul renta si
lelaki kuat-kuat dan dari dalam kemaluannya, menyembur cairan cinta lengket
yang langsung merembes keluar saat si kakek menarik keluar penisnya.
“Ahh...ahhh..” Anita menghela nafas
pendek-pendek. Sisa-sisa orgasme yang masih dirasakannya membuat tubuh wanita
cantik itu bergetar hebat.
Di depannya, Pak Karta menampung semua
cairan itu dan mengoleskannya rata ke paha dan perut Anita, hingga membuat
kulit mulus wanita itu tampak makin mengkilat dan menggairahkan. Sisanya yang
masih menetes-netes, dijilati oleh laki-laki tua itu.
“Uh, nikmat banget, Pak.” rintih Anita
lirih saat lidah kasap Pak karta mencuci liang kemaluannya yang memerah hingga
bersih.
Dengan penis yang masih tegak mengacung,
laki-laki itu kemudian mendekati bibir Anita. “Di emut ya, Neng?” pintanya.
Tapi Anita menggeleng. “Aku capek, Pak.
Sama dia aja ya?” wanita itu menunjuk Sari yang duduk tak jauh dari mereka.
“Ah, aku?” Sari gelagapan, menyadari
keadaan dirinya yang sekarang tak jauh beda dengan Anita, pakaiannya
acak-acakan, dengan payudara dan vagina yang terlihat jelas dari luar. Selama
menonton pertunjukan tadi, tanpa sadar, wanita itu ternyata sudah mempreteli
bajunya sendiri, dan meremas-remas susu dan kemaluannya untuk mendapatkan
kepuasan. Dia teransang melihat Anita yang sedang disetubuhi Pak Karta. Pak
Karta yang melihatnya, langsung tersenyum lebar.
“Mari, Neng.” bisiknya serak sambil
mengulurkan tangannya.
“Ah, tidak. Jangan!” Sari berusaha menepis
saat tangan laki-laki itu ingin memijit dan meremas buah dadanya. Dia masih
sungkan untuk menunjukkan bagaimana perasaaanya yang sebenarnya, padahal
pakaiannya yang terbuka sudah menunjukkan sebaliknya. Bagaimanapun, dia belum kenal
dengan Pak Karta dan dia tidak tahu siapa laki-laki itu sebenarnya.
“Ayolah, Sar. Nggak usah malu.” Anita yang
tergolek lemah di atas meja makan memberinya semangat.
“Uh, aku...” Sari masih bimbang.
“Ayolah, Neng.” Pak Karta ikut memaksa.
“Apa nggak pengen ngerasain ini.” laki-laki itu memamerkan kontolnya yang besar
di depan Sari dan mengocoknya perlahan-lahan, hingga membuat wanita cantik itu
langsung terdiam tak bergerak.
“Iya, tapi...” Sari menatap tak berkedip,
mulutnya melongo dengan tarikan nafas pendek-pendek tak teratur. Tanda kalau
dia mulai menyerah.
Sadar kalau sudah menguasai mangsanya, Pak
Karta segera menarik tubuh Sari dan meraihnya ke dalam pelukan.
“Auw!” wanita cantik itu menjerit lirih, tapi tidak menolak saat
bibir tebal Pak Karta mulai menyusuri pipi dan lehernya. Bahkan dia mengimbangi
ketika bibir itu melumat dan mencium bibirnya dengan rakus. Sari malah membuka
mulutnya, membiarkan lidah Pak Karta membelit dan menggelitik bibir manisnya.
“Hmmp,” Pak Karta mengaduh saat merasakan
tangan Sari yang mungil memijit dan mengelus-elus penisnya.
“Gede banget, Pak.” lirih wanita itu.
Pak Karta tersenyum bangga, “Bukan Neng
aja yang bilang begitu.” sahutnya sambil kembali mencium bibir dan leher Sari
yang jenjang. Tangannya merayap untuk meraih buah dada wanita itu dan
meremas-remasnya dengan gemas. “Empuk banget, Neng. Gede lagi.” jari-jarinya
memilin dan menjepit puting payudara Sari yang menonjol dan kemudian
menarik-nariknya pelan.
“Ohhh,” Sari langsung melenguh karenanya.
“Geli, Pak.” bisiknya mesra sambil menggelinjang. Anita yang menonton dari atas
meja, cuma tertawa saja saat melihatnya.
Pak Karta kini menunduk untuk mencium dan
menjilat bulatan kecil itu. Lidahnya bergerak liar, mencucup dan menghisap
dengan gemas, membuat Sari yang sudah kegelian makin merintih-rintih tak
karuan.
“S-sudah, Pak. Oooh... geli.” wanita itu
menarik dadanya, menjauhkannya dari jangkauan Pak Karta agar lelaki itu tidak
mempermainkannya lagi. Dia sudah benar-benar tak tahan. Sari sudah
mempersiapkan memeknya ketika Pak Karta malah menyodorkan penisnya yang besar
ke mulutnya.
“Emut dulu ya, Neng?” pinta laki-laki tua
itu.
Dengan berat hati Sari mengangguk dan
mengelus-elus daging panjang itu. Dia mengocoknya pelan sebelum akhirnya
mengulumnya dengan penuh nafsu. Di dalam mulutnya, benda itu terasa semakin
tegang dan membesar, membuat Sari jadi gelagapan dibuatnya. Penis itu juga
berkedut-kedut terus, makin lama makin sering, tanda kalau tidak lama lagi
benda itu akan segera meledak. Sari yang tidak mau itu terjadi, segera
memuntahkannya. Dia belum merasakan benda itu mengaduk-aduk vaginanya. Terlalu
sayang kalau sampai penis itu muncrat sekarang. Pak Karta harus orgasme di
dalam vaginanya.
“Harus!” Sari bertekad, dia sudah telanjur
bergairah.
Wanita itu segera telentang di lantai dan
membuka kakinya lebar-lebar, mempersilahkan Pak Karta untuk segera
menyetubuhinya. Vaginanya yang mungil kemerahan, tampak sudah sangat basah dan
lengket. Pak Karta yang melihatnya, segera menindih dan mengarahkan penisnya tepat
ke bibir kemaluan Sari.
“Bapak masukkan sekarang ya, Neng?” bisik
laki-laki itu parau. Sari mengangguk. Dan bersamaan dengan itu, dirasakannya
penis besar Pak Karta mulai mendesak masuk.
Saat itulah, dari arah luar, seorang bocah
kecil tiba-tiba berlari masuk.
“Adek?!” Anita berteriak panik.
Anaknya yang dari tadi bermain di luar
rumah, tahu-tahu nyelonong ke tempat itu. Cepat wanita itu bangkit dan
menyambar apa saja untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Begitu juga dengan
Sari dan Pak Karta, kebingungan mereka mencari penutup tubuh untuk menghalangi
pandangan bocah kecil itu.
Anita |
“Ayo main di luar, Dek!” Anita merangkul
putranya.
Tapi bocah itu memberontak, “Nggak mau.
Adek mau main disini.”
Anita kebingungan. Di bawahnya, Sari
melotot, menuntut agar Anita bisa segera menyelesaikan masalah itu. Dia sedang
dalam posisi tanggung sekarang, penis Pak Karta sudah menembus kemaluannya,
tinggal digoyang sedikit agar dia bisa mendapatkan kepuasan. Tapi kehadiran
bocah itu telah merusak semuanya. Sari tidak mau bersetubuh dengan ditonton
oleh anak kecil!
“Oke-oke, tenang saja.” Anita berusaha
membujuk putranya sekali lagi, tapi bocah itu tetap saja membandel.
“Adek mau main disini.” teriaknya, malah
kali ini sambil menangis, membuat Anita jadi tambah bingung.
“Bagaimana kalau aku pindah ke kamarmu
saja?” Sari mengusulkan.
“Ehm, n-nggak bisa. A-ada Papanya Adek
d-disana.” Anita menjawab malu-malu.
“Hah,” Sari melongo. Dia menatap
sahabatnya itu dengan muka tak percaya. “Kamu selingkuh disaat suamimu berada
di rumah?”
Anita tersenyum. “Tidak usah kaget seperti
itu. Dia mabuk, dari semalam tidur pulas nggak bangun-bangun.”
“Tapi bisa saja kan dia tiba-tiba bangun sekarang?” Sari
mulai panik.
“Cuma bom Atom yang bisa membangunkannya.”
Anita tertawa. “Tenang saja, aman kok. Aku sudah sering seperti ini.” wanita
itu menenangkan.
Sari teringat kamar Anita yang kosong saat
tadi melihatnya. “Tapi dia tidak ada kamar?”
“Oh, dia tidur di lantai.” jawab Anita
santai. “Aku nggak mau dia muntah diatas ranjang.” tambah wanita itu.
Sari sudah akan bertanya lagi ketika dia
merasakan kedutan keras di dalam selangkangannya dan Pak Karta yang sedang
menindih tubuhnya, tiba-tiba menggeram keenakan.
“Oh tidak. Jangan dulu!” wanita itu
berusaha mencegah, tapi tembakan sperma Pak Karta mustahil untuk dielakkan. Jadilah Sari ikut
menggeliat-geliat setiap kali kontol Pak Karta mengejang untuk memuntahkan
isinya.
“Uhh,”
wanita itu melenguh merasakan liang rahimnya yang sekarang jadi basah
dan begitu penuh.
“Ah, maafkan Bapak ya, Neng.” Pak Karta
menampakkan raut muka penuh penyesalan. “Bapak benar-benar nggak tahan.”
lanjutnya. “Memek Neng benar-benar nikmat,
bikin kontol Bapak jadi kaya dipijat-pijat.”
Sari mengangguk maklum. Dia memang
menggetar-getarkan memeknya tadi. Tapi dia tak pernah menyangka,
getaran-getaran kecil akan mampu membuat Pak Karta melayang. Akibatnya,
laki-laki itu jadi cepat orgasme, hal yang dari sudah tadi berusaha dihindari
oleh Sari, karena dia belum terpuaskan oleh penis laki-laki tua itu.
“Sudah keluar ya?” tanya Anita. Dia yang
sudah sering bercinta dengan Pak Karta, hafal benar bagaimana gaya laki-laki itu saat orgasme melanda.
Sari mengangguk tak bersemangat. Dengan
tubuh lemas, dilepasnya penis Pak Karta yang sudah mulai melembek dari jepitan memeknya.
“Maafkan Bapak ya, Neng.” sekali lagi
laki-laki itu minta maaf.
“I-iya, Pak. Nggak apa-apa kok.” Sari
berusaha tersenyum meski dalam hati masih sedikit jengkel.
“Papa?!” Adek yang sedang berada di
gendongan Anita, berteriak gembira saat melihat seorang lelaki gendut yang
terhuyung-huyung berjalan keluar dari kamar depan.
“Sial!” Anita mengumpat sambil menyambar
pakaiannya dan mengenakannya dengan cepat, sementara bocah kecil dalam
gendongannya meloncat untuk berlari menyongsong Papanya.
“Ada
apa, Ma? Berisik banget dari tadi.” mata lelaki itu masih setengah terpejam.
Anita juga lega karena suaminya tidak mengenakan kaca matanya. Tanpa alat bantu
itu, penglihatan suaminya cuma seawas mata bayi. Benar-benar buram.
“Ah, tidak ada apa-apa.” Dengan isyarat
mata, Anita menyuruh Sari dan Pak Karta untuk bersembunyi. “Ini, si Dedek
ngajak main, padahal mama kan
lagi sibuk memasak.” wanita itu berusaha mengalihkan perhatian suaminya saat
Sari dan Pak Karta merangkak beriringan menuju ke bawah meja makan.
“Ehm,” lelaki gendut itu memicingkan mata,
memperhatikan tubuh istrinya, dan... “Memasak kok pakaiannya gitu?” tanyanya
kemudian.
Nah lo! Anita menelan ludah sebentar
sebelum menjawab. “Gerah, Pa. Begini lebih enak” dia beralasan. Padahal dalam
hati mengumpat karena tidak sempat memakai kaosnya tadi. Akibatnya, payudaranya
yang besar tampak menggantung indah, membuat siapapun yang melihatnya jadi
bertanya-tanya. Setelah mencium dan meremas payudara Anita sebentar, laki-laki
itu berlalu menuju kamar mandi. Dibelakangnya,
Adek mengikuti seperti anjing kecil mengikuti tuannya.
“Ah,” Anita menghembuskan nafas lega. Dia
selamat lagi.
Dari bawah meja, kepala Sari menyembul.
“Gimana?” dia bertanya tanpa mengeluarkan suara.
“Aman.” sahut Anita pelan. “Dimana Pak Karta?”
Sari menunjuk pintu belakang yang terbuka.
Diantara semak-semak berduri, tampak Pak Karta yang sedang berusaha meloncati
pagar belakang yang menjulang tinggi. Meski tubuhnya sudah renta, laki-laki itu
tanpa kesulitan melakukannya.
“Hebat juga dia.” Anita memuji.
Sari mengangguk. “Ngomong-ngomong, kamu
kenal sama dia dimana?”
“Ehm, dia tukang becak langgananku.” Anita
berterus terang.
“Sudah sering kalian melakukannya?” Sari
bertanya lagi.
“Baru 1 bulan sih.” Anita mengambil BH-nya
yang berserakan dan mengenakannya. “Pake dulu bajumu, nanti keburu suamiku
keluar.” dia mengingatkan Sari yang sampai sekarang masih telanjang.
“Oh, iya.” Wanita itu tersenyum.”Penisnya
besar, ya?”
“Siapa? Pak Karta?” Anita bertanya.
Sari mengangguk. “Iya, siapa lagi?”
“Memang itunya yang bikin aku ketagihan.”
bisik Anita sambil tertawa.
Sari ikut tertawa. “BH-ku mana ya?” dia
bertanya saat tidak bisa menemukan BH-nya.
“Masa ilang sih?” Anita ikut membantu
mencari, tapi sampai muter-muter kemanapun, BH itu tetap tidak kelihatan. “Ehm,
mungkin dibawa Pak Karta. Dia suka begitu, BH-ku aja banyak yang diambil buat
kenang-kenangan.”
“Ah, benarkah?” Sari terpaksa mengenakan
kaosnya tanpa BH, membuat payudaranya yang indah makin kelihatan indah.
“Bagaimana kamu tahu kalau Pak Karta punya kontol besar kayak gitu?”
Anita tersenyum, “Suamiku yang cerita.
Biasa, obrolan sebelum tidur. Karena penasaran, ya kubuktikan aja,
haha...”
Sari ikut tertawa. “Dasar istri nakal.”
sahutnya. “Eh, apa dia tidak pernah cerita soal Mas Tarno?”
“Nggak tuh,” Anita menggeleng. “Emang
kenapa dengan suamimu?”
“Ehm, tidak...” Sari tampak ragu-ragu
untuk menjawab.
“Jangan-jangan, kontolnya juga gede ya?”
tebak Anita asal.
Tapi tebakan itu langsung membuat Sari
terhenyak tak mampu bicara.
“Wah, berarti bener dong.” Anita tertawa
untuk merayakan kemenangannya. “Boleh kapan-kapan dicoba?” tambahnya sambil
tertawa lebih keras.
“Enak aja!” Sari menyikut siku sahabatnya
itu, tapi tidak ada nada marah dalam suaranya.
“Rawamangun, Bang?”
Tarno mematikan mesin saat menghampiri.
Kendaraan bergetar sejenak sebelum senyap. Seorang ibu dan seorang anak kecil,
masuk. Tak ada alasan untuk menolak. Maka mereka pun melaju. Sudah berjam-jam
sejak tadi pagi, ia mengitari ibukota. Beredar diantara jalan-jalan besar,
masuk ke ruas jalan-jalan kecil, dengan terik matahari yang terasa menyengat.
Tapi pikiran tentang istrinya yang cantik yang menanti dengan penuh cinta,
menyejukkan perasaan. Seolah ia tak rasakan sempitnya ruangan tempat ia berada,
dan mesin yang membuat pantatnya terasa terpanggang. Cinta memang penawar
mujarab.
“Belok kiri, Bang.” si Ibu memberi
perintah.
Tarno membelokkan setirnya. Kendaraan
terus melaju membelah udara panas ibukota, diantara para pedagang jalanan yang menawarkan rokok,
permen, tisu, boneka, bahkan patung kuda yang terbuat dari kayu. Juga mereka
yang tiba-tiba muncul dari balik tiang lampu merah dan menyanyi tanpa diminta,
dan tak akan pergi sebelum penumpang menyerahkan uang ala kadarnya.
“Enggak ada receh!” si Ibu menukas
menanggapi rengekan pengamen tanggung di samping kendaraan.
“Yang gede juga boleh kok, Tante.” balas
si pengamen tidak mau kalah.
“Kalo yang gede, ngapain aku kasih sama
kamu. Dasar bego!” si Ibu sewot.
Lampu berubah warna. Tarno perlahan
melajukan kendaraannya. Masih sempat didengarnya umpatan pengamen tanggung.
“Brengsek, dasar pelit!” di belakang sana .
Dalam kendaraan, penumpangnya masih mengomel panjang pendek. Anak kecil berusia
6 tahun yang bersamanya, tampak bingung memperhatikan. Barangkali berpikir,
kenapa di rumah dia dilarang bersikap dan berbicara buruk? Sementara sang Ibu
dengan ringan membentak dan bersikap kasar pada orang di jalan?
“Eh, si Abang kok bengong. Kiri, Bang!
Dibilangin dari tadi, malah jalan terus. Budek apa?!” si Ibu membentak.
Tersentak dengan teguran keras itu, Tarno
buru-buru membawa kendaraanya menepi. Sedikit tersinggung juga sebetulnya. Tapi
karena dia yang salah, Tarno tak jadi
marah. Diterimanya uang yang disodorkan wanita gendut itu, kemudian berlalu
setelah mengucapkan terima kasih. Hari makin sore. Lampu-lampu jalan mulai
menyala, cahayanya menerangi papan-papan iklan di pinggir jalan. Tarno hampir
memutuskan untuk pulang, ketika seorang wanita muda menghentikannya.
“Pasar Senen, Bang?”
Ia mengangguk setuju. Arahnya mendekati
jalan pulang, tak ada masalah. Cepat tangannya menghidupkan mesin. Wanita muda
berparas cantik itu tak banyak bersuara sepanjang jalan, malah sesekali
terdengar isakannya diantara lolongan mesin kendaraan. Meski terusik oleh rasa
ingin tahu, Tarno tak berani bertanya. Tugasnya hanya mengantarkan penumpangnya
sampai ke tujuan. Titik. Habis perkara. Dia tidak punya kepentingan untuk
mengetahui permasalahan wanita itu. Karena itulah, Tarno segera memfokuskan
lagi pandangannya ke depan, ke arah jalanan yang sekarang tampak mulai padat.
“Bang... bang... berhenti sebentar.”
Tarno menoleh ke belakang, heran dengan
permintaan penumpangnya. Pasar Senen kan
masih jauh, kenapa minta berhenti sekarang? Berubah pikirankah dia?
“Nggak jadi ke Senen, Mbak?” Tarno
bertanya sopan. Wanita itu mungkin seusia dengan Sari, istrinya.
“Berhenti, Bang. Tolong berhenti.”
wajahnya juga cantik, dengan bentuk tubuh yang indah mempesona.
Tarno menepi. Mesin kendaraan bergetar
sejenak, sebelum akhirnya mati. Saat itulah, tangis penumpangnya mendadak
pecah. Wajahnya yang sendu basah oleh air mata, suara isaknya tertahan di balik
sapu tangan hijau berenda yang menutupi sebagian mukanya. Betul-betul
pemandangan yang mengibakan seandainya saja payudara besar milik wanita itu tidak
ikut bergoyang-goyang seiring jerit tangisnya. Tarno jadi bingung. Di satu satu
sisi, dia tak tega melihat keadaan wanita itu, tapi di sisi lain, kemolekan
tubuhnya mustahil untuk dielakkan begitu saja.
Maka dengan hati-hati, Tarno menegur.
“Ehm, maaf, Mbak, ada apa ya kalau saya boleh tahu?”
Perempuan itu menghentikan tangisnya
sesaat, “Laki-laki memang brengsek!” umpatnya lalu menangis lebih keras.
“Eh-eh, Mbak.” Tarno jadi bingung.
Wanita itu menoleh dengan wajah basah
penuh air mata, ”Coba Abang bayangkan, mentang-mentang saya sudah tidak muda
lagi, tidak cantik lagi, lantas berpaling ke yang lain.” kata-katanya meluncur
cepat dalam sedu sedan.
Wanita itu mengerjapkan matanya, merapikan
wajahnya yang penuh dengan air mata, dan memandang Tarno dengan serius, membuat
lelaki kurus itu jadi salah tingkah. “Coba Abang lihat, apa saya sudah tidak
cantik lagi? Sudah tua? Usia saya baru dua tujuh dan dia sudah selingkuh.”
tanyanya muram.
“Ahh,” Tarno menghela nafas. Diliriknya
wanita cantik itu, tidak ada yang mengecewakan pada dirinya. Dari ujung rambut
sampai ujung kaki, semuanya spesial. Terutama bagian pinggul dan payudaranya,
melihat sekilas saja sudah membuat mata Tarno blingsatan tak karuan.
“Bang, coba pandang saya, apa saya tidak
cantik?” wanita itu mendesak.
Tarno menjawab tanpa berpikir, “Mbak masih
cantik. Sangat cantik malah.”
“Ah, Abang tidak serius.” wanita itu
menegakkan badannya. “Abang bahkan tidak memandang saya!” dia seperti ingin
memamerkan buah dadanya yang besar pada laki-laki itu.
Tarno mengangkat wajahnya. Pandangannya
langsung terpaut pada tonjolan besar yang menggiurkan di dada perempuan itu. Ya
ampun, apa yang sebenarnya dia inginkan? Tarno membatin dalam hati. Semakin
dilihat, payudara itu tampak semakin menggoda.
“Gimana, Bang, saya masih cantik kan ?” tanya wanita itu
lagi, kali ini sambil mengubah posisi duduknya hingga roknya yang pendek agak
tertarik ke atas, memperlihatkan sepasang pahanya yang halus dan putih mulus.
“Ahh,” dengan kesulitan Tarno berusaha
untuk menelan ludahnya. Ia menatap wajah sembab itu sekilas, mencoba mencari
tahu apa yang terjadi, lalu kembali mengulangi kalimatnya dengan suara
tercekik. “Tentu saja. Mbak masih sangat cantik. Dan seksi juga.” tambahnya
tanpa bisa dicegah.
“Tuh kan !?” wanita itu merengut.
“Lho, kenapa, Mbak?” Tarno jadi bingung.
Tadi tanya, sekarang dipuji malah salah. Apalagi pake acara pamer dada dan paha
segala, maunya apa sih perempuan ini? keluh Tarno dalam hati.
“Mas tuh persis suami saya, nggak bisa
kalo lihat cewek cantik!” wanita itu masih merengut.
“Hah?” Tarno terdiam. Daripada menanggapi
perkataan wanita itu, yang bisa makin salah kalo ditanggapi, lebih baik dia
diam saja dan menikmati pemandangan indah yang tersaji di depannya.
Melihat Tarno yang cuma melongo, wanita
itupun langsung curhat panjang lebar. “Saya sakit hati sama suami saya, Bang!
Saya baru saja memergoki dia di rumah istri simpanannya. Dulu saya kira itu
cuma isapan jempol, tapi ternyata...” Air mata kembali menggenang di pelupuk
matanya yang lebar. “A-apalagi gundiknya itu u-umurnya baru 16 tahun.”
tambahnya dengan terbata-bata.
“Hmm, jadi begitu,” Tarno mengangguk, dia
mulai bisa menebak apa yang diinginkan wanita cantik itu. “Bagaimana kalau kita
ke Senen sekarang, Mbak?” tanyanya cepat, takut kesempatan itu terbuang.
Si wanita mendongak. “Tunggu dulu, kenapa
buru-buru? Abang nggak suka ya dengan saya?”
“Hah?” salah paham lagi. Tarno menghela
nafas, “Bukan begitu, Mbak, justru...”
“Abang ternyata sama saja dengan suami
saya, tidak suka lagi melihat saya!” wanita itu kembali menunduk dan terisak.
“Yah,” Tarno menggeleng kebingungan.
Pikirannya berpacu keras mencari cara mendiamkan tangis si perempuan dan
menyampaikan niat dirinya yang sebenarnya.
“Bukan begitu maksud saya,” Tarno mencoba
menjelaskan.”Tidak enak berhenti di pinggir jalan seperti ini. Lebih baik kita
cari tempat yang lebih enak untuk ngobrol.”
“Biar!” wanita itu keras kepala, dia
terlanjur kecewa dengan Tarno hingga tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh
laki-laki itu.
“Disini tidak aman, Mbak.” Tarno membujuk
lagi.
“Biaarrr!” wanita itu menggeleng.
Ah, mentok lagi. Tarno tidak tahu harus
berkata apalagi. Akhirnya dia diam saja sambil memandangi tubuh montok wanita
itu yang bergetar ringan karena isakan.
“Bang?” panggil wanita itu dengan suara
tertahan menahan tangis.
“I-iya, Mbak, ada apa?” Tarno tergeragap,
takut ketahuan kalau saat itu dia tengah menatap payudara besar milik si wanita
dengan mata melotot tak berkedip.
“Nama Abang siapa?” pertanyaan yang
sungguh tak terduga.
“Tarno, Mbak. Lengkapnya Sutarno, tapi
panggil aja Tarno.” jawab laki-laki kurus itu cepat.
Angela |
“Kalo saya Angela, Bang.” wanita itu
menghentikan isakannya dan menyeka air mata yang mengalir di pipi dan bibirnya.
Bibir yang tipis, pasti nikmat sekali kalau dipake buat nyepong kontol.
“Ah,” Tarno mendesah membayangkannya.
“Abang sering dapat penumpang cantik kaya
saya?” Angela bertanya tiba-tiba.
“Jarang banget, Mbak.” Tarno berterus
terang. “Langganan saya kan
rata-rata pedagang Pasar Senen.”
“Emang pedagang nggak ada yang cantik?”
Tarno tersenyum. “Sudah tua-tua dan
gendut-gendut semua, Mbak.” Di dalam hati, dia bersorak. Sambil bertanya tadi,
Angela menyodorkan wajah cantiknya ke depan. Wanita itu sudah tidak menangis
lagi, malah sorot matanya berangsur aneh. Sorot mata yang sudah ditunggu-tunggu
oleh Tarno.
“Penumpang seperti Mbak-lah yang saya tunggu-tunggu,
cantik dan seksi.” Tarno melanjutkan dengan memberi penekanan khusus pada kata
Cantik dan Seksi untuk memperjelas maksudnya.
Dan Angela yang mulai mengerti, langsung
bereaksi dengan makin mendekatkan
wajahnya ke punggung Tarno dan berbisik, “Bang, antar saya ke rumah ya? Saya mau balas dendam sama suami saya. Abang
bantu ya?”
Suaranya lirih, diucapkan dengan kerling
mata dan senyum menggoda yang langsung membuat jantung Tarno berdebar kencang.
Ditambah tangan wanita itu yang terulur dan meraba sebentar kontol Tarno yang
menegang di balik celana, uh! Semakin membuat laki-laki itu tak kuasa untuk
menolak.
“Pindah sini aja, Mbak.” Tarno menawarkan
bangku di sebelahnya.
Angela mengangguk dan dengan cepat beralih
ke depan, “Ayo jalan, Bang.” bisiknya parau sambil kembali meraba-raba penis
laki-laki itu.
Kendaraan pun meluncur lagi, dengan Angela
yang tampak sibuk berusaha membuka resliting celana Tarno.
***
“Minggir sini, Bang.” desah Angela sambil
terus mengulum penis hitam Tarno. Mulutnya basah, sementara wajah cantiknya
sudah bermandikan keringat. Kaos dan rok pendeknya sudah tersingkap di sana sini, memperlihatkan
sebagian besar aurat tubuhnya yang terlarang.
“Lepasin dulu.” Tarno berusaha menarik
penisnya. Dia tidak ingin keluar dari kendaraan dengan penis menggantung
kemana-mana.
“Masukkan aja Bajaj-nya ke dalam.” Angela
menunjuk garasi kecil yang ada di samping rumah.
Tarno segera membelokkan kendaraannya
kesana, memarkirnya tegak lurus, dan mendesah penuh nikmat. Di bawahnya, Angela
terus menghisap dan menjilati penisnya dengan penuh nafsu, membuat benda hitam
panjang itu semakin menegang dan membesar tak terkendali.
“Ayo, kita ke dalam aja.” bisik Tarno
sambil meremas-remas gundukan daging besar yang menggantung di dada
Angela.
Wanita itu mengangguk. Dari garasi hingga
ruang tengah, Angela terus memegang dan mengusap penis hitam itu. Dia tak mau
melepaskannya meski cuma sebentar. Tarno yang keenakan, membalasnya dengan
melepas baju atasan Angela. Jadilah
wanita cantik berdada besar itu berjalan ke dalam rumah dengan tubuh
setengah telanjang. Payudaranya yang besar tampak bergoyang-goyang indah setiap
kali wanita itu melangkahkan kakinya. Tarno langsung meremas-remasnya dengan penuh nafsu hingga membuat
Angela jadi tertawa-tawa karena kegelian.
“Mas suka dengan tubuhku?” tanya wanita
itu saat mereka tiba di dalam kamar.
Tarno mengangguk, dan kembali membenamkan
wajahnya di belahan daging bulat itu. Bibirnya merambat, menciumi permukaannya
yang halus dan mulus. Kehangatan dan kekenyalannya membuat laki-laki itu
terlena. Dia menjelajahinya inci demi inci, pelan dari atas ke bawah,
bergantian antara yang kanan dan yang kiri.
Angela yang kegelian saat Tarno mulai
mencucup putingnya, mendesah sambil menggelinjang, “Ahh, Bang!” desisnya sambil
mengocok penis Tarno makin cepat. Sebenarnya dia ingin menjilati kontol itu
lagi, tapi tidak bisa, terhalang oleh Tarno yang sedang asyik mengerjai
payudaranya.
“Payudaramu besar sekali.” bisik Tarno
sambil terus menjilat.
Angela cuma tertawa mendengarnya. Memang,
selain wajah cantiknya, payudara adalah salah satu keunggulan wanita itu. Benda
itu tetap kelihatan bulat dan padat meski berukuran besar, tidak kelihatan
kendor sedikitpun. Di tambah kulit yang putih dan mulus, membuat siapapun yang
melihatnya akan langsung jatuh cinta.
“Kontol Abang juga gede.” Angela
ikut-ikutan memuji.
Melihat tubuh Tarno yang kurus kering,
sepertinya mustahil bagi laki-laki itu untuk mempunyai penis sebesar ini. Tapi
kenyataanya memang begitu. Angela yang tadi sempat pesimis, demi melihat penis
raksasa milik Tarno, berubah menjadi penuh semangat. Inilah penis terbesar yang
pernah dilihatnya. Dia yang awalnya cuma selingkuh untuk balas dendam,
sekarang ganti selingkuh untuk mendapatkan
kenikmatan. Dan sepertinya Tarno akan dengan mudah memberikannya.
“Dibuka ya?” Tarno menarik celana dalam
Angela ke bawah.
Wanita itu meluruskan kakinya untuk
memudahkan Tarno melakukannya. Sedetik kemudian, tubuh merekapun sudah
sama-sama telanjang. Angela berbaring di ranjang, telentang, dengan kaki
terbuka lebar. Sementara Tarno, terbengong-bengong memandangi tubuh bidadari cantik di depannya
dengan mulut melongo dan mata tak berkedip.
“Abang cuma mau memandangiku saja?” goda
Angela sambil membuka kaki lebih lebar, memperlihatkan kemaluannya yang
kemerahan, yang kini sudah nampak basah.
Tarno melihatnya sambil menelan ludah, ia
berusaha untuk menahan detak jantungnya agar tidak berhenti. Laki-laki itu
mengulurkan jari telunjuknya dan, “Oh, indah sekali.” dia mencoleknya sedikit.
“Auw!” Angela merintih manja. Wanita itu
menahan tangan Tarno agar terus mengusap-usap selangkangannya. “Masukkan ke
dalam.” dia menyuruh Tarno agar mengobok-obok vaginanya dengan jari.
Dengan penuh semangat, laki-laki itu pun
melakukannya. Dia memasukkan jari telunjuknya, disusul kemudian dengan jari
tengahnya, dan diakhiri dengan jari manisnya. Total 3 jari yang kini bersemayam
di dalam vagina Angela.
“Uhh,” wanita cantik itu melenguh saat
Tarno mulai memutar jari-jarinya, mengocoknya maju mundur, dan
menggesek-geseknya untuk mengorek-orek liang rahim Angela yang sudah mulai
basah.
“Ini,” Tarno memberikan penisnya. Dia
memutar tubuhnya hingga posisi kontolnya tepat di depan bibir Angela. “Emut
lagi.” Dia menyodorkannya dan Angela langsung mencaploknya dengan rakus.
“Memekmu sempit sekali, jarang dipake ya?”
Tarno bertanya sambil membuka bibir kemaluan wanita itu. Dia menariknya ke
samping hingga bisa dilihatnya lubang kencing Angela yang berukuran mungil.
“Dipake sih sering, Bang. Cuma, aku belum
pernah melahirkan aja.” jawab wanita itu terus terang.
Tarno tersenyum. “Aku jilat ya?” dan tanpa
menunggu jawaban, dia menjulurkan lidahnya untuk mencicipi bagian dalam
kewanitaan Angela.
“Uaahhhhh,” Angela langsung menggelinjang
karenanya. “Ah, geli, Bang.” Wanita itu merintih.
Tarno terus menusuk-nusukkan lidahnya, ia
tak peduli dengan Angela yang berkelojotan tak karuan di bawah tubuhnya. Dia
sudah terlanjur enak. Ternyata, selain sempit, vagina wanita itu juga begitu
harum. Tarno jadi suka karenanya. Dia terus menjilat dan menjilat. Lidahnya
terus bergerak liar, menjelajahi liang rahim wanita itu, membuatnya jadi licin
dan basah dalam waktu singkat.
“Sudah, Bang. Geli!” Angela kembali
merintih.
Dia berhenti mengulum penis besar Tarno
untuk menikmati setiap hisapan lelaki itu di selangkangannya. Matanya terpejam,
sementara keringat dingin membanjiri dahi dan lehernya, membuatnya makin
kelihatan cantik dan seksi.
Tarno mengangguk. “Tunggu sebentar lagi.”
Dia menyeruput cairan kental yang mengalir keluar dari vagina Angela dan
menelannya tanpa ragu. Uhm, rasanya gurih, membuat laki-laki itu jadi
ketagihan. Lidahnya kembali bergerak dan menjilat dengan rakus, berusaha untuk
mencari cairan itu dan menelannya lebih banyak lagi.
Tindakannya itu membuat Angela makin
menggelinjang hebat dan... “Aaahhhhh!!”
dia memekik tertahan.
Tarno menarik kepalanya. Bibirnya yang
tebal basah oleh air liur yang bercampur dengan cairan cinta Angela. Laki-laki
itu berbalik menghadap Angela dan menunduk untuk mencium wanita itu. Bibir
mereka bertemu, dan untuk sesaat, mereka tidak melakukan apa-apa. Bibir mereka
cuma menempel begitu saja. Di bawah, tangan Tarno bergerak untuk meremas
payudara Angela yang menggunung. Laki-laki itu melakukannya dengan lembut
sambil sesekali memijit dan memilin-milin putingnya yang mungil kemerahan,
membuat Angela terpejam dan merintih keenakan.
“Uhh,” tubuh wanita itu bergetar, dan dia
membuka mulutnya, membiarkan lidah Tarno yang kasap menyusup untuk menghisap
bibirnya.
Mereka saling melumat dan memagut satu
sama lain. Lidah mereka bertemu dan bibir mereka bersatu rapat. Saat terlepas,
air liur lengket membasahi hidung, pipi dan leher Angela yang jenjang. Wanita
berdada besar itu memandang Tarno sambil terengah-engah, terlihat sekali kalau
dia kaget karena tidak menyangka akan mendapat ciuman yang begitu dahsyat dari
laki-laki kurus kering itu. Sementara yang dipandang, tampak tidak peduli sama
sekali, dan meneruskan sapuan bibirnya menuju buah dada Angela yang membukit.
“Aahhh,” wanita itu langsung menggelinjang
begitu Tarno mencaplok dan menggelitik puting payudaranya. Lidah laki-laki itu
bergerak memutar, membasahi benda mungil itu, sambil sesekali mencucup dan
menghisap-hisapnya, membuat Angela makin merintih dan mendesis kegelian.
“Sudah, Bang. Aku sudah nggak kuat lagi.”
wanita itu akhirnya menyerah. Dia mengurut penis Tarno dan membimbingnya menuju
liang kewanitaanya yang sudah sangat
basah.
Tarno mengangguk. Tapi sebelumnya, ia
menyuruh Angela agar menjilati penis sebentar. “Biar gampang masuknya.”
kilahnya.
Dan akhirnya, dengan penis hitam yang
mengkilat, Tarno pun menyetubuhi wanita cantik itu. Pelan, dia memasukkan
penisnya. Tarno mendorongnya dengan hati-hati, takut membuat Angela menjerit
kesakitan. Bagaimanapun, ukuran penisnya begitu besar bagi vagina Angela yang
mungil.
“Tahan, ya?” Tarno mendorong terus.
Sudah sebagian penisnya yang masuk
sekarang. Rasanya sungguh luar biasa, seret sekali. Penisnya serasa dijepit dan
dipijat-pijat daging lembut yang hangat dan licin. Tarno sampai menggigit
bibirnya karena saking enaknya. Sementara di bawah, Angela memejamkan matanya
sambil tangannya berpegangan erat pada kain seprei. Wanita itu mengernyit.
Rupanya, penis besar Tarno membuatnya kesakitan.
“Terus, Bang. Dorong terus.” tapi dia
tidak mau menunjukkannya. Angela tahu, sakit ini cuma terjadi di awal-awal
saja. Nantinya, setelah Tarno menggoyang, dan vaginanya sudah bisa menerima
kehadiran penis besar itu, rasa sakit itu akan berubah menjadi rasa nikmat yang
amat sangat. Dia yakin itu.
Sambil menahan nafas, Tarno menghunjamkan
sisa penisnya. Angela langsung memekik saat ujung penis laki-laki itu menabrak
ujung rahimnya dengan keras. Tapi belum sempat dia mengaduh, Tarno sudah
menggoyangkan pinggulnya dan menarik-dorong penisnya untuk menjelajahi
vaginanya yang hangat.
“Ahhh... ahhh... aahhh!!” akhirnya, cuma
jerit penuh kenikmatan yang keluar dari mulut Angela.
Tarno segera membungkam rintihan wanita
itu dengan ciuman panas yang bertubi-tubi. Dia melumat bibir tipis Angela dan
mencucupnya dengan rakus. Tangannya yang bebas bergerak liar, meremas dan
memijit-mijit buah dada Angela yang bergoyang-goyang indah karena hentakannya.
Jarinya menjepit, memilin dan menarik-narik puting Angela hingga benda mungil
kemerahan itu makin mencuat ke atas.
“Aahhhhh!!” tubuh Angela melenting.
Karena di bawah, Tarno terus menusukkan
penisnya makin dalam dan makin cepat saja. Rasa
sakit sudah meninggalkan tubuhnya sejak tadi, berganti dengan rasa
nikmat yang luar biasa. Setiap tusukan Tarno, disambut teriakan histeris
oleh wanita itu.
“Berbalik, Mbak.” Tarno menyuruh agar
wanita itu menungging, dia ingin menusuknya dari belakang. Sepertinya bakalan
nikmat sekali menggoyang tubuh Angela sambil berpegangan pada bokongnya yang
bulat. Wanita itu menuruti tanpa memprotes.
“Pelan-pelan, ya?” bisik Angela sambil
berusaha mengatur nafasnya yang putus-putus.
Tarno mengangguk, dan kembali memasukkan
penisnya. Kali ini lancar tanpa hambatan karena vagina Angela sudah sangat
basah. Dengan posisi begini, jepitan benda itu menjadi kian terasa, membuat
Tarno makin menggeram dan merem melek keenakan. Dia merangkul tubuh wanita itu
dan menggunakan payudaranya yang menggantung indah sebagai pegangan.
“Goyang terus, Bang. Ohhh, yah... gitu,
goyang terus.” Angela mulai menceracau.
Tarno terus menggerakkan pinggulnya.
Nafasnya yang berat mulai memburu, tanda kalau pertahanan laki-laki sudah
hampir habis. Di ujung penisnya, vagina Angela terus memijat dan mengurut,
memaksa benda panjang itu untuk cepat-cepat memuntahkan isinya. Tapi Tarno yang
tidak mau menyerah, dengan cepat dia merubah posisi. Dia kini berbaring di
bawah, dengan Angela duduk tepat di atas kemaluannya. Mereka saling
berhadap-hadapan, hingga ketika
Angela mulai menggoyang, Tarno tetap bisa
memegangi buah dadanya.
“Uhhh,” dalam posisi begini, Angela bisa
merasakan penis Tarno yang panjang, menusuk mentok hingga ke dasar kemaluannya.
Benar-benar nikmat. Wanita itu pun terus menggerakkan pinggulnya dengan liar,
mengaduk dan memelintir penis Tarno hingga laki-laki itu menggeram tak karuan.
“Enak sekali, Mbak. Ohhhh... terus.” Tarno
memijit-mijit payudara besar Angela sebagai pelampiasan. Detik-detik yang terus
berlalu membuat laki-laki itu makin tak kuasa untuk menahan desakan hasrat yang
terkumpul dalam kemaluannya. Akibatnya, tak lama kemudian, dengan diiringi
jeritan panjang dan tubuh gemetaran, Tarno pun melepaskan spermanya.
“UAARRGGGHHHHHH!!!” tubuhnya melenting seiring tembakan air mani
yang menyembur memenuhi liang rahim Angela. Wanita cantik itu mendelik dan menjerit
lirih saat menerimanya.
“Tahan sebentar, Bang, saya juga mau
keluar.” Angela terus menggoyang pinggulnya. Bisa dirasakannya penis besar
Tarno yang masih berkedut-kedut mengeluarkan isinya. Dia berkejaran dengan
waktu, jangan sampai penis itu lemas duluan sebelum dia orgasme.
“T-tenang saja, Mbak. K-kontolku ini
a-awet kok te-tegangnya.” bisik Tarno putus-putus di sela-sela rintihannya.
“Benarkah?” Angela bertanya tak percaya.
Tarno cuma menjawab dengan seringai
mesumnya yang khas. Dibiarkannya Angela untuk membuktikannya sendiri. Dan
memang benar, setelah 1 menit berlalu, tampak tidak ada perubahan yang berarti
pada penis itu. Benda itu masih tetap tegang dan kencang seperti tadi, kecuali
mungkin panjangnya yang sekarang sedikit agak berkurang. Tapi Angela tidak
mempermasalahkannya, karena itu sudah cukup untuk mengantarkan wanita cantik
berdada besar itu ke nikmatnya orgasme.
“AHHRRGGHHHHH!!” dengan didahului jerit
panjang yang menggetarkan, tubuh Angela melengkung dan ambruk setelah beberapa
kali berkedut-kedut. Dari dalam kemaluannya, mengalir cairan cinta yang
menyembur deras memenuhi rahimnya, bercampur dengan sperma Tarno yang kental
hingga membuat vagina wanita itu jadi basah sejadi-jadinya.
“Hahh.. hahh..” Angela menikmati sisa-sisa
orgasmenya dengan memeluk erat tubuh Tarno yang kerempeng. Dia membiarkan saja
tangan Tarno yang merambat mengusap-usap bokong dan pinggulnya.
“Terima kasih, Mbak. Benar-benar nikmat.”
bisik laki-laki itu.
“Justru aku yang berterima kasih.” Angela
membalas. “Abang sudah memberiku kenikmatan, lebih dari sekedar
perselingkuhan.”
Mereka berciuman. Di bawah, penis Tarno
perlahan mengecil dan akhirnya copot dengan sendirinya. Angela yang kelelahan,
ambruk terkapar di samping tubuh laki-laki itu. Mereka berpelukan dan tak lama
kemudian sudah tertidur pulas dengan tubuh masih tetap telanjang.
***
Tarno terbangun ketika jarum jam
menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Rupanya cukup lama juga dia
tertidur. Angela sudah tidak terlihat lagi di sampingnya. Menggeliat sebentar,
laki-laki itu pun berdiri dan keluar untuk mencarinya. Dia menemukan wanita
cantik itu di dapur, sedang menjerang air. Nampaknya Angela habis mandi karena
wanita itu cuma melilitkan handuk kecil untuk menutupi tubuh sintalnya yang
telanjang. Rambut hitamnya yang panjang masih nampak basah menggairahkan.
Perlahan Tarno mendekatinya.
“Eh, sudah bangun, Bang?” sapa Angela
ramah.
Tarno tidak menjawab, tapi langsung
mendekap dan memeluk tubuh wanita itu dari belakang. Bau wangi sabun mandi
meruap dari tubuh Angela. Tarno mengendusnya sebentar sebelum tangannya
melingkar dan meremas-remas payudara wanita itu dengan gemas.
“Ahhh,” Angela merintih. “M-mau dibikinan
apa, Bang? Kopi apa teh?” tanya wanita cantik itu sambil menggelinjang karena
salah satu tangan Tarno kini menyelinap masuk ke sela-sela pahanya dan merambat
untuk mengusap-usap memeknya yang tidak tertutup, yang saat itu masih basah.
”Saya pengen yang ini,” ujar Tarno sambil
menekan-nekan benda tembem itu.
“Ih, Abang dah pengen lagi?” pekik Angela
dengan riang. Dia tidak mencoba untuk menepis tangan Tarno yang menusuk makin
dalam ke kemaluannnya. Memang itu yang dia inginkan dari tadi, ronde kedua
dengan Tarno yang perkasa.
“Soalnya memek Mbak enak banget. Saya
suka.” Tarno mencium dan menjilati leher
Angela yang jenjang, membuat wanita seksi itu mendesis dan merintih kegelian.
”Ahhhh... Punya Abang juga enak. P-panjang
banget, sampai mentok rasanya.” Angela meraih penis Tarno yang mulai menegang,
yang sejak tadi mengganjal di belakang bokongnya. “Saya tadi keluar banyak,
puas banget pokoknya.” Dan mengocoknya pelan.
“Mbak juga cantik, bikin saya ngaceng
terus.” Tarno mencium pipi wanita itu.
Angela tersenyum, ”Siap untuk yang kedua,
Bang?” tanyanya menggoda.
”Siapa takut!” balas Tarno sambil mencium
bibir tipis Angela dengan rakus. Ia melumat dan mencucup bibir manis itu.
Angela membalas dengan mejulurkan
lidahnya, mengajak Tarno untuk saling membelit dan menghisap. Tubuh mereka
makin merapat hingga tampak sulit untuk dipisahkan. Pelan Tarno menarik turun
handuk yang dipakai Angela hingga tubuh wanita cantik itu kini telanjang bulat
sama seperti dirinya. Dengan manja Angela bersandar di meja makan dan membuka
kakinya, memamerkan kemaluannya yang ternyata sudah sangat basah.
”Jilat ya, Bang?!” pintanya pelan.
Tarno mengangguk mengiyakan dan segera
menunduk untuk mencicipi benda manis itu. Memek itu sempit dan mungil, tapi gundukannya
tebal, sudah terbangun sejak masih di bawah pusar dan makin ke bawah makin
menggunung dan besar, sungguh sangat menarik sekali. Rambut-rambut halus tumbuh
merata di sekitarnya, kontras sekali dengan warna pahanya yang putih mulus,
yang sekarang sedang mengangkang lebar. Dengan tangan gemetar, Tarno merabanya.
Benda itu terasa hangat dan licin,
pantas enak banget saat dientot. Celah kecil di lubang vaginanya
terlihat mulus dan utuh, tanda kalau masih jarang disentuh. Bibir luarnya
mungil dan tipis, dan bentuknya masih sempurna, merah agak kehitaman dengan
kerutan-kerutan kecil yang makin menambah daya tariknya, membuat Tarno makin
penasaran untuk segera menyentuhnya.
”Ahhh,” Angela merintih saat merasakan
lidah kasap Tarno mulai bermain disana. Laki-laki itu menjilati klitnya yang
mencuat dengan rakus, dengan dua jarinya masuk menusuk-nusuk dan mengobok-obok
bagian dalamnya, membuat benda yang sudah basah itu menjadi semakin basah dan
memerah.
”Ah, enak banget, Bang.” Angela
menggelinjang. ”Terus. Jilat terus!” dia menekan kepala Tarno agar laki-laki
itu makin menusukkan lidahnya.
Tarno menyapukan lidahnya pada kerut-kerut
di bibir vagina Angela. Laki-laki itu menggerakkan lidahnya naik turun,
menggelitiknya, dan menyapu seluruh lubang kemaluan wanita itu.
”Berbalik, Mbak.” pintanya setelah puas
mengobok-obok memek Angela dan menjadikan lubang kewanitaan sempit itu
dibanjiri cairan cinta yang bercampur dengan air liurnya.
”Mau apa, Bang?” tanya Angela, tapi tetap
berbalik dan nungging di depan Tarno.
”Saya sudah nggak tahan.” sahut Tarno
sambil memperhatikan bokong Angela yang besar, lebar dan membusung. Lubang
duburnya berwarna coklat kehitaman tetapi terlihat cukup bersih. Ditopang dua
paha yang mulus dan panjang, benda itu terlihat begitu sempurna. Tarno jadi tak
kuat untuk memperhatikan lama-lama. Maka sambil memeluk tubuh Angela dari
belakang, laki-laki itu pun menusukkan penisnya dan...
”Ahhhh,” Angela langsung merintih saat
batang Tarno yang kekar perlahan menembus vaginanya. Dengan sentakan lumayan
keras, batang itu amblas, masuk menusuk vaginanya yang hangat dan basah.
”Sakit, Mbak?” tanya laki-laki itu sambil
perlahan mulai menggoyang pinggulnya.
”Hssshhhh... e-enak banget, Bang.” lirih
Angela dengan mata terpejam dan wajah memerah. ”Terus. Oohhhh... terus!” Wanita
cantik berdada besar itu mengerang-erang saat Tarno meraih susunya yang
berayun-ayun dan meremas-remasnya dengan gemas.
Sambil terus mengayun, Tarno mencium
punggung Angela yang terbuka dan terus merambat ke atas hingga ke tengkuknya.
Disana, Tarno menjilati anak rambut Angela sambil sesekali menggelitik telinga
wanita cantik itu.
”Aahhsss!” Angela kembali menggelinjang.
Dari mulutnya yang tipis keluar
erangan-erangan erotis yang makin membuat Tarno jadi bergairah. Sambil terus
meremasi payudara wanita itu, Tarno mempercepat sodokannya. Dengan sekuat
tenaga dia menghujamkan penisnya hingga membuat tubuh sintal Angela
terlontar-lontar kesana-kemari. Benturan antara pinggang depannya dengan pantat
besar Angela terbukti menambah seru permainan itu.
”Hhssshhh... enak banget, Bang. Terus.
Tusuk lebih dalam!” ceracau Angela dengan nafas memburu.
Di bawah, vaginanya terus berkontraksi
dengan hebat, meremas dan menjepit penis Tarno dengan ketat, hingga membuat
benda itu seperti dicekik dan dipijat-pijat. Rasanya yang nikmat membuat Tarno
jadi merem melek keenakan. Seumur-umur, baru kali ini dia merasakan vagina
seperti itu. Benda itu seperti hidup, terus berdenyut dan menggelitik penisnya.
Kalau terus seperti ini, berapa kalipun dia menyetubuhi Angela, dia tidak akan
pernah bosan.
”Ahhhgggh!” Angela kembali merintih.
Sentakan penis Tarno di dalam vaginanya terasa makin kencang. Tusukannya juga
makin kuat. Beberapa kali ujung penis Tarno mentok menabrak dinding rahimnya.
”S-saya... mau keluar, Mbak.” bisik Tarno
serak. Keringat sudah membanjiri tubuh kerempengnya yang hitam. Begitu juga
dengan Angela, tubuh montoknya tampak mengkilat, membuatnya berkilauan seperti
permata.
”He-eh,” Angela mengangguk, memberi ijin
pada Tarno untuk keluar di dalam vaginanya.
Dan akhirnya, dengan didahului genjotan
penutup yang penuh tenaga, Tarno pun orgasme. Dari dalam penisnya menyembur
sperma kental yang tanpa ampun langsung memenuhi liang rahim Angela. Tubuh
laki-laki itu bergetar dan berkedut-kedut beberapa kali sebelum akhirnya ambruk
memeluk tubuh Angela dari belakang.
”Uahhh... memek Mbak enak banget.”
bisiknya dengan nafas memburu. Tangannya terulur untuk mengusap-usap payudara
Angela yang menggantung indah.
Di bawahnya, Angela terus memutar
pantatnya. Dia juga hampir sampai. Semprotan peju Tarno makin memperdekat rasa
itu. ”K-kontol Abang juga e-enak. Saya suka!” bisik Angela tak kalah manja.
Dia merintih saat merasakan tangan kanan
Tarno meluncur ke bawah dan menggosok-gosok bibir vaginanya yang memerah.
Laki-laki itu mencabut penisnya yang mulai melemah dan menggantikannya dengan
dua jari. Dengan tusukan cepat, jari-jari itu bermain di dalam dan
menjentik-jentik liar untuk mengusap
itil Angela yang tampak semakin mencuat.
Akibatnya, ”Uaahhrghhh!” tubuh Angela
melenting dan setelah mengerang panjang, wanita cantik itupun orgasme.
Entah dari bagian mana, cairan bening
memancar deras dari lubang kenikmatan wanita itu. Sebagian membasahi paha dan
pinggulnya, sebagian lagi menetes di lantai, bahkan ada beberapa yang
menyemprot hingga mengotori meja makan. Setelah kejang beberapa kali, tubuh
Angela akhirnya ambruk kehabisan nafas di dalam pelukan Tarno. Kelelahan akibat
permainan itu, mereka akhirnya tertidur pulas di lantai dapur dengan tubuh
tetap telanjang dan hanya beralaskan handuk kecil yang tadi dipakai oleh
Angela.
***
Hari sudah malam ketika Tarno tiba di
rumahnya. Laki-laki itu segera memarkir Bajaj-nya di tempat biasa, di bawah
pohon jambu depan rumah. Lampu depan rumahnya sudah padam, sepertinya istrinya
sudah tidur. Tarno tidak ingin membangunnya, jadi dia membuka pintu depan
dengan kunci cadangan yang selalu dibawanya. Di meja makan, terlihat sayur sop
kesukaan Tarno yang sudah dingin. Laki-laki itu tidak menyentuhnya, tapi dia
lurus terus ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan membersihkan kaki. Di
dalam kamar, dilihatnya Sari, istrinya,
tidur dengan tubuh telanjang, seperti biasanya. Tarno cepat mencopoti
bajunya dan naik ke atas ke atas ranjang. Dia merangkul tubuh wanita cantik itu
dari belakang.
“Baru pulang, Pa?” Sari bertanya tanpa
membuka mata.
“Iya.” Tarno melingkarkan tangannya di
dada perempuan itu dan meremasnya pelan.
“Ahh,” Sari menggeliat. “Kok tumben
malam?”
“Tadi mogok di jalan, terpaksa mampir ke
bengkel sebentar.” Tarno berbohong. Sambil meremas, dia juga menciumi telinga
dan tengkuk sang istri.
“Tumben, ininya nggak tegang?” Sari meraba
kontol Tarno yang meringkuk malas. Biasanya, tiap hari laki-laki itu minta
jatah, tiap pulang kerja. Ini tumben kok malah gak ngaceng sama sekali. Sari
jadi heran.
“Ehm, mungkin karena capek.” Tarno
beralasan. Ya jelas aja capek, 2 jam dia main dengan Angela, 4 ronde, dengan
ronde penutup dilakukan di kamar mandi. “Mama lagi pengen, ya?” dia bertanya.
Sari mengangguk. Peristiwa dengan Pak
Karta tadi siang berkelebat cepat di benaknya. “Tapi kalau Papa lelah, ya
baiknya nggak usah aja. Besok pagi juga masih bisa kan. ” respon negatif dari suaminya membuat
Sari jadi mengurungkan niat.
“Iya, besok pagi aja.” Tarno menarik selimut
untuk menutupi tubuh mereka berdua. Dia tampaknya benar-benar lelah setelah
bertempur habis-habisan dengan Angela. Sambil bersandar di bahu sang istri,
Tarno mengelus perut Sari yang mulai kelihatan membuncit, dan tertidur pulas.
***
Hasrat yang menggebu membuat Sari tidak
sanggup untuk memejamkan mata. Sampai pukul 1 dini hari, dia masih belum bisa
tidur. Di sebelahnya, suaminya terlelap dengan dengkur ringan yang sudah
menjadi ciri khasnya. Wanita itu menyingkap
selimut dan menengok ke bawah, ke arah selangkangan sang suami. Pebus hitam itu
masih tetap meringkuk lemas, tidak ada tanda-tanda akan segera bangun dalam
waktu dekat. Ah, padahal dia sudah tidak tahan lagi. Gairah dalam dirinya sudah
meletup-letup, menuntut untuk dipenuhi sekarang juga. Saat ini. Detik ini juga.
Disini. Sekarang!
“Mau bertukar suami?” Sari teringat
tawaran Anita tadi siang. Tawaran serius yang membuat wanita itu jadi gelagapan
saat menjawabnya.
“Ayolah, kamu bisa memuaskan hasratmu
sekarang. Tuh, dia lagi di kamar mandi.” Anita menunjuk ruangan kecil disebelah
mereka. Dari dalam, terdengar suara air mengucur, diselingi senandung serak
seorang laki-laki, suami Anita.
“Ah, aku...” Sari bimbang, antara menerima
atau menolak tawaran itu. Memang benar, dia sedang bergairah saat itu, dan
butuh pelampiasan untuk menuntaskan hasratnya yang tadi terputus. Tapi dia juga
tidak rela kalau harus membagi tubuh suaminya dengan orang lain, meski itu
adalah Anita, sahabat baiknya sendiri.
“Ayolah, tunggu apa lagi?” Anita terus
mendesak. Setelah tahu kalau suami Sari mempunyai kontol yang sangat besar,
wanita itu langsung penasaran untuk mencobanya. Caranya, dengan menukar
suaminya dengan laki-laki itu.
“T-tapi aku tidak b-bisa,” Sari
menggeleng.
“Lihat aja dulu, baru kau putuskan.” Anita
mendorongnya agar mengintip ke dalam kamar mandi. Disana, berdiri di bawah
pancuran, tampak suami Anita sedang membasuh tubuhnya. Laki-laki itu telanjang,
dengan perut gendut dan lemak yang menggelambir di seluruh tubuhnya. Di
sebelahnya, si Adek jongkok sambil memainkan busa sabun yang menutupi
tangannya.
“Kok nggak kelihatan?” bisik Sari pada
Anita.
“Ah, masa sih?” Anita ikutan mengintip.
“Itu, sebesar itu masa nggak kelihatan?”
“Ah, anu... Kontolnya yang nggak kelihatan.”
muka Sari merona merah.
Anita tertawa. “Tahu sendiri kan kamu sekarang,
kenapa aku selingkuh dengan Pak Karta?”
Sari mengangguk. Penis suami Anita memang
sangat kecil, mirip dengan punya anak-anak. Mungkin karena pengaruh tubuhnya
yang gendut, jadi penisnya tidak bisa tumbuh maksimal.
“Kalau memang begitu, terus.. bagaimana
kamu bisa punya anak?” Sari bertanya.
“Mirip nggak anakku sama Papanya?” Anita
balik bertanya.
“Eh, jangan bilang kalau dia bukan anak
Mas Danu!” Sari memekik. Danu adalah nama suami Anita, nama laki-laki yang saat
ini sedang mereka intip.
“Hehe... biarlah itu menjadi rahasiaku.”
Anita tersenyum penuh arti. “Yang penting sekarang, mau nggak kamu menerima
tawaranku tadi?”
Sari langsung menggeleng dengan cepat.
“Nggak ah, sepertinya dia nggak bakalan memuaskan.”
Raut kecewa langsung terpasang di wajah
cantik Anita. “Kalau tukar dengan Pak Karta, gimana?” dia memberikan
alternatif.
“Ehm, kalau yang itu boleh juga.” Sari
tersenyum saat membayang penis raksasa milik Pak Karta mengaduk-aduk vaginanya.
Dia tidak akan rugi kalo menukar tubuh suaminya dengan tubuh laki-laki tua itu.
“Ah, dasar kamu, ternyata sama aja.” ledek
Anita sambil mencubit pinggang sahabatnya. Mereka tertawa berbarengan dan pergi
ke depan untuk membahas kapan waktu yang tepat untuk melakukan pertukaran itu.
Suara gaduh di luar rumah menyadarkan Sari
dari lamunan. Tangannya yang saat itu sedang asyik mengocok penis suaminya,
segera berhenti. Meski sudah berusaha dengan keras, penis hitam itu tetap
membandel tidak mau bangun, tetap meringkuk malas-malasan dengan kulit
mengkerut. Sari jadi frustasi karenanya. Padahal saat ini dia sedang pengen
sekali ngentot. Di sebelahnya, Mas Tarno-nya tetap tertidur dengan pulas,
tampak tidak merasakan sama sekali segala usaha yang sudah dilakukannya dari
tadi untuk membangkitkan gairah laki-laki itu.
“Huh,” Sari mendengus kesal. Dengan tubuh
telanjang, wanita itu bangkit untuk melihat apa yang terjadi.
Di jalan depan rumahnya, tampak beberapa
tetangganya berlari atau berjalan cepat sambil membawa pentungan atau senjata
apa saja yang sempat mereka raih. Teriakan dan umpatan terdengar semakin keras
dan gencar. Sepertinya ada maling apes yang kepergok patroli warga.
“Dia lari kesana.” Seseorang menunjuk
rumpun bambu di ujung gang. Beberapa orang langsung merangsek kesana, tapi
tidak menemukan apa yang mereka cari.
“Tidak mungkin dia lari jauh,” itu suara
Pak RT.
Udara malam yang dingin, ditambah tubuhnya
yang telanjang, membuat Sari menggigil dengan cepat. Wanita itu meraih taplak
meja di sebelahnya dan melingkarkannya di tubuh, sekedar untuk sedikit
menghangatkannya. Beberapa orang bersenjatakan parang atau batang bambu, masih
berkeliaran di depan rumahnya. Entah barang apa yang berhasil digondol oleh si
pencuri hingga membuat hampir seluruh warga kampung keluar malam ini.
“Pokoknya dia harus tertangkap!” geram
seorang pemuda sambil berjalan cepat.
Kalau saja dia tahu, 2 meter di sebelah
kirinya, ada seorang wanita cantik yang sedang berdiri mematung dengan tubuh
telanjang dan gairah yang menggebu-gebu, pemuda itu pasti akan langsung
membelokkan langkahnya, tidak jadi mengejar si maling. Sari tertawa sendiri
saat membayangkannya. Ruang tamu yang gelap menyembunyikan tubuhnya dengan
baik, membuat dia aman dari pandangan orang-orang yang berlalu lalang di depan sana .
Klontangg! Suara aneh di belakang rumah
membuat Sari berpaling.
“Apa itu?” dia bertanya dalam hati.
Cepat wanita itu membangunkan suaminya.
Tapi Tarno yang sedang kelelahan, mustahil untuk dibangunkan. Mau tak mau,
tampaknya Sari harus memeriksanya sendiri. Dengan berbekal senter dan gagang
sapu, wanita cantik itu berjalan pelan ke belakang. Dia juga sudah mengganti
taplak meja dengan pakaian yang lebih pantas, sebuah kimono tipis yang masih
tetap tidak bisa menyembunyikan kemolekan tubuhnya karena Sari tidak mau
repot-repot mengenakan apa-apa lagi di baliknya, hingga paha dan payudaranya
yang bulat tampak indah menerawang. Bak seorang ninja yang sedang beraksi, Sari
mengendap-ngendap menuju asal sumber suara. Sepertinya dari arah kamar mandi di
belakang rumah.
Sari menyorotkan senternya dan langsung
memekik. “Ahh...” tapi jeritannya langsung terpotong oleh bungkaman tangan
mungil berbalut sarung tangan hitam.
“Sst... Kak, diamlah. Ini aku.” Orang itu
membuka topengnya untuk memperlihatkan wajahnya yang sebenarnya.
“Budi?” Sari menatap tak percaya. Budi
adalah adik iparnya, dia adik Tarno yang paling bungsu. “Ngapain kamu di...”
kesadaran langsung menghantamnya saat melihat pakaian yang dikenakan bocah itu,
baju hitam, topeng hitam, sarung tangan hitam, jenis baju yang dikenakan oleh
seorang... “Kamu pencuri itu!” suara Sari bergetar penuh ketakutan.
“Ijinkan aku masuk, Kak.” rengek bocah
itu. “Kalau sampai tertangkap, mereka akan membunuhku.” Suaranya serak, seperti
mau menangis.
“Kenapa kamu jadi pencuri?” Sari bertanya
penuh kemarahan.
“Ijinkan aku masuk dulu, Kak. Nanti akan
aku jelaskan semuanya.” Budi merangsek, tapi Sari tetap tidak memberinya jalan.
“Lepas dulu bajumu.” Sari memerintah.
“Hah?” Budi menatap tak percaya. “Buat
apa?”
“Pokoknya, lepas dulu bajumu.” Sari
bersikeras.
“Kenapa, Kak?” Budi meminta alasan.
“Sebagai jaminan. Kalau kamu nakal lagi,
aku akan menyerahkan baju itu ke Pak RT, biar kamu diadili, dimasukkan ke dalam
penjara.” sahut Sari kesal.
“Ah, jangan, Kak.” Budi mengembik.
“Makanya jangan nakal. Ayo, sekarang lepas
bajumu!” Sari melotot.
“Semuanya?” tanya bocah itu ketakutan.
“Iya, semuanya.” Sari menatap tajam saat
Budi mulai mencopoti bajunya satu per satu. “Eh, apa itu?” tanyanya curiga saat
melihat sesuatu yang menonjol di balik celana dalam adik iparnya. “Barang
curianmu, ya?”
“Ah, bukan, ini...” Budi bingung mau
menjawab apa.
“Sini keluarkan!” Sari membentak cepat.
“Jangan, Kak. Ini kon...” tapi belum sempat bocah itu menyelesaikan
kalimatnya, Sari sudah keburu mengulurkan tangannya untuk menyentuh benda itu,
akibatnya...
“Ah,” muka wanita cantik itu langsung
memerah seperti kepiting rebus.
“Ehm, maafkan aku, Kak.” Budi menunduk,
tak berani menatap wajah kakak iparnya.
Gairah Sari yang tadi sempat meredup, kini
terpancing lagi begitu merasakan kehangatan gundukan daging itu. “Kenapa bisa ngaceng kaya gini?” tanyanya sambil
mengelus-elus benda itu dari luar celana.
Budi yang merasa keenakan, tidak langsung
menjawab. Bocah itu malah mendesah kegelian merasakan belaian tangan Sari di
kemaluannya. “Emm, Tapi janji ya, Kak, jangan marah.”
“Iya,” Sari mengangguk.
Setelah menelan ludahnya, bocah itu
berbisik. “Emm, lihat aja tubuh Kakak, siapa juga yang tahan lihat tubuh indah
kaya gini?”
Sari menunduk untuk memandangi tubuhnya.
Meskipun saat itu gelap, tapi tonjolan pinggul dan payudaranya tampak terlihat
jelas, begitu juga dengan puting dan rambut kemaluannya yang tercetak samar-samar,
ditambah dengan paha putih mulus yang sedikit tersingkap, jadilah Sari seperti
bidadari yang telanjang malam itu. Pantas saja Budi jadi ngaceng dibuatnya.
“Kamu suka tubuh Kakak?” Sari bertanya
dengan kerling mata menggoda. Di bawah, tangannya masih terus mengelus-elus
penis bocah itu, membuat kontol Budi yang sudah menegang menjadi makin membesar
dan mengembung di balik celananya.
“Ah, suka, Kak.” bocah itu mengangguk.
“Suka sekali.”
“Kalau begitu, ayo cepat masuk.” suara
orang-orang yang sedang berlari mendekat menuju rumah itu membuat Sari terpaksa
menyingkirkan badan, memberi jalan bagi Budi agar segera bersembunyi di dalam
rumahnya.
“Diam disitu.” Sari menyuruh bocah itu
agar menunggu di dapur. Tapi bukannya menurut, Budi malah mendekat dan
merangkul Sari dari belakang. “Auw!” wanita itu langsung memekik lirih. Senter
yang dipegangnya terjatuh ke lantai saat tangan Budi menyusup untuk
meremas-remas payudaranya yang bulat dengan lembut.
“Ah, apa yang...” protes Sari terpotong
oleh suara gaduh di luar rumah.
“Maling itu lari kesini. Cepat cari!”
lagi-lagi suara Pak RT. Beberapa orang terdengar menyisir semak-semak, diikuti beberapa pemuda
yang membawa lampu sorot besar, sisanya mengintip ke dalam kamar mandi Sari
yang terbuka.
“Tidak ada, Pak.” seorang remaja memberi
laporan.
“Cari terus, dia tidak mungkin lari jauh.”
geram Pak RT.
Sementara di luar orang ramai mencari
dirinya, di dalam, Budi makin merapatkan pelukannya ke tubuh kakak iparnya yang
aduhai. Dengan gemas, bocah itu memijit
dan mengusap-usap payudara bulat milik Sari. Jari-jarinya yang panjang
menari-nari, menggelitik dan memilin-milin puting Sari yang mungil kemerahan.
“Uhh,” wanita itu menggelinjang dan
melenguh tanpa suara. Di depan mereka, cuma dipisahkan oleh tembok dapur,
beberapa orang masih terus menyisir halaman belakang.
“Hentikan, Bud. Banyak orang disini sekarang.”
bisik Sari lirih mengingatkan.
Tapi Budi tetap membandel, “Mereka tidak
dapat melihat kita, Kak.” Bocah itu terus memeluk dan meremas-remas payudara
besar milik kakak iparnya. Bahkan kini salah satu tangannya turun ke bawah
untuk menjamah vagina Sari yang berambut tipis.
“Ah, jangan, Bud.” Sari memberontak, tapi
usahanya yang setengah hati membuat Budi terus menelusurkan tangannya. Bocah
itu mengusap-usap paha Sari sebentar sebelum akhirnya menyusupkan jarinya untuk
mengorek-orek bibir kemaluan wanita cantik itu.
“Ahhh,” tubuh Sari mengejang. Rasa risih
yang dari tadi menyandera dirinya langsung menguap hilang begitu merasakan
nikmatnya tusukan jari-jari itu. Wanita itu melenguh keenakan.
Sambil terus meraba tubuh kakak iparnya,
Budi menyingkirkan rambut yang menutupi tengkuk jenjang Sari. Dengan bibirnya
yang tebal, bocah itu mencicipi kelembutan kulitnya yang sedikit berbulu, juga
pipi Sari yang empuk kemerahan, dan berakhir di bibir wanita itu yang manis dan
tipis. Mereka berciuman, sangat panas dan sangat lama. Bibir mereka bertemu dan
bersatu rapat dengan lidah saling membelit dan menghisap. Hidung mereka yang
saling bergesekan menjadi saksi betapa nikmatnya ciuman pertama itu.
“Hah... hah...” Sari megap-megap saat Budi
melepaskan bibirnya. Wanita itu segera menarik nafas panjang untuk mengisi
paru-parunya yang kosong dengan udara. Dia sampai lupa bernafas karena saking
nikmatnya.
Di belakangnya, Budi tersenyum penuh
kepuasan. Dia yang culun, tak pernah menyangka akan bisa merasakan kehangatan tubuh
kakak iparnya yang aduhai seperti sekarang ini, orang yang sudah menjadi
fantasinya di tempat tidur sejak pertama kali dia melihatnya bersanding dengan
Mas Tarno di pelaminan 2 bulan yang lalu.
“Dilepas ya, Kak?” bisik Budi sambil
berusaha membuka baju tidur Sari. Jari-jari tangannya dengan terampil
meloloskan ikatannya hingga membuat kain tipis transparan itu luruh dengan
cepat ke lantai.
Sari menggeliat merasakan tubuhnya yang
sekarang telanjang. Dibokongnya, dia merasakan penis Budi yang besar menempel
ketat dan menyodok-nyodok minta diijinkan untuk masuk. Entah kapan bocah itu
melepas celana dalamnya karena tahu-tahu sekarang mereka berdua sudah sama-sama
telanjang. Tubuh bugil mereka berpelukan dengan erat, dengan lubang kelamin
yang sama-sama basah, tampak saling menginginkan kehadiran satu sama lain.
“Aiihhh,” Sari mendesah pelan saat
jari-jari nakal Budi kembali menggerayangi kemaluannya. Bocah tanggung itu
mengusap-usap vagina Sari hingga membuat daging kemerahan yang sudah basah itu
menjadi lebih basah lagi.
“Sudah, Bud. Kakak sudah nggak tahan
lagi.” rengek Sari sambil tangannya menggapai-gapai, mencari penis Budi yang
dari tadi terus menyundul-nyundul bokongnya. Saat menemukannya, wanita itu
langsung menggenggamnya erat dan mengocoknya dengan cepat. Benda itu terasa
keras dan hangat, juga besar. Ujungnya yang tumpul sedikit berlendir, dengan
rambut-rambut halus yang mulai tumbuh di sekitar pangkalnya. Sari menyukainya.
Inilah penis brondong pertama yang akan mengisi kemaluannya. Wanita itu menekuk
tubuhnya, menungging. Sambil berpegangan pada pintu dapur, Sari membuka
kakinya, mempersilahkan Budi untuk menusuknya dari belakang.
“Lakukan, Bud. Kakak sudah siap.” Pintanya
tanpa malu-malu.
Budi meludahi penisnya agar benda itu
menjadi sedikit licin. Dengan memajukan pinggulnya, bocah itu mengarahkan
penisnya. Ujungnya yang gundul tepat menuju ke bibir kemaluan Sari yang sedikit
terbuka. sambil menahan nafas, Budi mendorongnya, dan...
“Ohhhhh,” kakak iparnya langsung memekik
lirih, tak peduli dengan kehadiran orang-orang yang saat itu masih memenuhi
halaman belakang rumahnya. Tubuh wanita cantik itu bergetar dan menggelinjang
pelan saat Budi mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur.
“Gimana, Kak, enak?” tanya bocah itu
sambil memegangi pinggul Sari yang bulat dengan kencang.
“Enak banget, Bud. Ohhh... Terus!” Sari
menjawab di sela-sela rintihannya.
Gesekan penis Budi di dinding vaginanya
benar-benar membuat wanita cantik itu melayang. Rasanya sungguh luar biasa.
Inilah yang dia cari sejak tadi, penis yang mampu memuaskan gairahnya. Setelah
dikecewakan dan dicueki oleh suaminya, sekarang Sari mendapat ganti yang
setimpal. Budi adalah orang yang tepat untuk mengantarnya menggapai kenikmatan
tertinggi: orgasme yang dahsyat dan berulang-ulang, terus sepanjang malam,
hingga membuat wanita itu pingsan kelelahan.
“Kamu mau kan , Bud?” tanya Sari diantara lamunannya.
“Em, mau apa, Kak?” Budi bertanya tak
mengerti. Tangannya kini pindah ke depan, memegangi payudara Sari yang
terayun-ayun indah di setiap goyangannya.
“Oh, tidak. Tidak usah dipikirkan.” Sari
mengutuk kebodohannya sendiri. “Teruskan saja goyanganmu.”
Budi kembali menggerakkan penisnya, kali
ini dengan lebih cepat karena vagina Sari sudah sedemikian basahnya. Dia juga
menusuk makin ke dalam, membuat Sari makin merintih dan menggelinjang keenakan.
“Kamu pinter banget, Bud. Sudah sering ya
main beginian?” tanya Sari sambil ikut menggerakkan pinggulnya, mengimbangi
goyangan Budi yang terasa makin kencang.
“Nggak sering juga sih, Kak.” Budi
menunduk untuk menciumi punggung dan leher kakak iparnya. ”Tapi pernah,
beberapa kali.” Dan menggelitikkan lidahnya disana.
“Ahhh,” Sari mendesah kegelian. “S-sama
pacar kamu ya?” tebaknya.
“Budi belum punya pacar.” jawab bocah itu
jujur, membuat Sari sampai menoleh karena kaget.
“Terus sama siapa?” tanyanya penasaran.
“Ehmph,” tapi bukannya menjawab, Budi
malah menyambar dan melumat bibir tipis Sari dengan rakus. Sambil mencium,
bocah itu juga terus memijit dan meremas-remas bongkahan payudara kakak iparnya
yang membusung. Sementara di bawah, penis besarnya terus menusuk-nusuk,
menggesek dan menyeruak masuk, mengobrak-abrik kemaluan wanita itu yang makin
basah kemerahan.
“Uhhhh,” Sari merintih keras. Tidak peduli
meski saat itu di belakang rumahnya sedang banyak orang. Bodoh amat, pikirnya.
Biar aja ketahuan, yang penting dia bisa puas malam ini. Paling kalo ketahuan,
yang mergoki juga pengen ikutan main. Membayangkan para peronda yang jumlahnya
puluhan mengeroyok dirinya, anehnya malah membuat Sari makin bergairah.
“Lebih keras, Bud. Oohhh...” wanita itu
membetulkan posisi bokongnya. “Goyang lebih cepat!” perintahnya. Sari
berpegangan erat ke pintu dapur saat Budi dengan senang hati memenuhi
permintaannya. Penis hitam bocah itu menghunjam keras berkali-kali, menusuk
hingga mentok ke dalam rahimnya, menggesek dinding kemaluannya yang sudah
sangat basah, dan menggelitik kelentitnya hingga membuat wanita itu
merintih-rintih lirih keenakan.
“Jangan keras-keras, Kak, teriaknya.” Budi
mengingatkan Sari yang sepertinya mulai hilang kendali. “Nanti ketahuan.” Dia
tidak mau diarak ke balai desa sekarang karena ketahuan berselingkuh dengan
kakak iparnya yang cantik ini. Bocah itu masih ingin merasakan tubuh sintal
Sari lebih lama lagi. Tapi sepertinya peringatan Budi itu sudah terlambat,
karena tak sampai 1 detik kemudian, terdengar ketukan ringan di pintu dapur di
depan mereka.
“Mbak Sari?” itu suara Pak RT. “Mbak tidak
apa-apa?”
Dengan terkesiap, Budi langsung
menghentikan goyangannya. Begitu juga dengan Sari, wanita itu segera membekap
mulutnya agar tidak bersuara lagi. Untuk sesaat, suasana cukup tegang.
“Mbak perlu bantuan?” tanya Pak RT lagi
sambil mengetuk pintu dapurnya lebih keras.
“Gawat nih,” batin Sari dalam hati. “Kalau
nggak dijawab, bisa-bisa ngebangunin Mas Tarno.” dia tidak mau suaminya
memergoki dirinya yang berdua berpelukan dengan Budi dengan tubuh telanjang, dengan
alat kelamin mereka yang sedang menyatu erat.
“Jawab, Mbak.” bisik Budi sambil menarik
keluar penisnya.
“Ahh,” gesekannya yang memabukkan kembali
membuat Sari merintih.
“Buka pintunya, Mbak.” kembali terdengar
suara cempreng Pak RT, dan sebelum laki-laki itu memukul-mukul pintunya lagi,
Sari segera menguaknya sedikit, sekedar cukup untuk dia mengintip keluar.
“Ohh,” di halaman belakangnya, berkumpul
hampir 10 lelaki. Semuanya adalah tetangganya yang sudah dia kenal. Sementara
Sari menghitung siapa saja yang ada di situ, di depannya, Pak RT memandang
tubuhnya tanpa berkedip. Begitu juga dengan kesembilan orang yang lain. Bahkan
Mbah Kosim, orang tertua yang ada disitu, sampai menjatuhkan pentungannya
karena saking terkejutnya. Berdiri di antara celah-celah pintu, Sari tampak
lupa dengan tubuhnya yang telanjang. Dia cuma menyembunyikan pinggulnya karena
di situ ada Budi yang sekarang asyik menjilati memeknya. Sementara payudaranya
yang besar, tetap dia biarkan terburai keluar, hingga menjadi pemandangan yang
mengasyikkan bagi kesepuluh orang itu.
“Eh, m-mbak Sari t-tidak apa-apa?” tanya
Pak RT gelagapan sambil kesulitan menelan ludahnya. Matanya terpaku pada
payudara Sari yang putih mulus. Meski cuma terlihat sedikit, tapi itu sudah
cukup untuk membuat laki-laki setengah baya itu berkeringat dingin.
Dibelakangnya, para peronda malam berjalan mendekat agar bisa melihat
pemandangan itu lebih jelas lagi.
“I-iya, pak. Tadi ada tikus, auw!” Sari
menjerit saat dibelakangnya, Budi mencucup vaginanya yang basah dengan keras.
“A-ada apa, mbak?” Pak RT bertanya ragu,
bingung antara rasa khawatir dan kepingin.
“B-bukan apa-apa.” Sari mencoba tersenyum.
tapi rasa nikmat di selangkangannya mustahil untuk dielakkan. Akibatnya, wanita
itu kembali mendesah.”Ahhhhh!” membuat kesepuluh orang di depannya, ikutan
mendesah. Bahkan ada beberapa yang sudah gak tahan, mulai mengelus-elus
penisnya sendiri.
“M-mbak hati-hati ya,” kata Pak RT lagi
sambil matanya tetap tak berkedip merayapi tonjolan buah dada wanita
didepannya, berusaha mencari-cari putingnya yang bersembunyi di balik
bayang-bayang. “Tadi ada maling disini.” lanjutnya serak dengan muka merah
padam menahan gairah.
Sari mengangguk tanpa suara. Dia bukannya
tidak menyadari arah pandangan mata pak RT dan semua laki-laki yang ada disana,
dia tahu itu sejak pertama kali dia membuka pintu. Sari cuma tidak mengira, di
malam yang gelap ini, dan dengan celah yang cuma sedikit, tubuhnya akan
terlihat jelas. Padahal sebenarnya, itulah yang terjadi, tubuh Sari seperti
menyala di malam tanpa bulan ini.
“Mau saya bantuin nangkepin tikusnya,
Mbak?” tanya seorang lelaki pendek gempal yang sering dilihat Sari nongkrong di
warung Yu Ijah. Tampak tonjolan daging di selangkangan laki-laki itu sudah
sedemikian besarnya.
“Iya, Mbak. Biar nggak nakutin mbak Sari
lagi.” sahut temannya yang lain, seorang lelaki berkulit gelap dengan rambut
panjang dikuncir kebelakang.
“Kalo soal nangkep tikus, saya jagonya
mbak.” timpal yang lain. Sari tidak tahu siapa yang bersuara karena tiba-tiba
saja semua mengajukan diri untuk membantu menangkap tikusnya.
“Hush, sudah-sudah.” Pak RT melerai. “Kita
disini ini mau nangkep maling, bukan nangkep tikus.” ketus laki-laki itu pada
anak buahnya. Tapi dalam hati juga tidak menolak seandainya Sari tiba-tiba
meminta dirinya untuk membantu menangkap tikus itu. Sapa tau nanti dapat imbalan tubuh Sari yang
montok. Uh, membayangkannya saja sudah membuat laki-laki setengah baya itu
menelan ludah.
“Ehm, m-makasih bapak-bapak. Tapi,
ahhhhh.... t-tikusnya sudah pergi kok.” jawab Sari terbata-bata dengan tubuh
menggelinjang.
Di bawahnya, tersembunyi di balik pintu,
Budi terus mengobok-obok kemaluannya. Bukan hanya dengan lidah, sekarang bocah
itu juga menggunakan dua jarinya untuk mengocok memek Sari, membuat benda itu
makin basah dan panas.
Pak RT sudah akan berkata lagi ketika Sari
mulai menutup pintunya. “Maaf ya, Pak. Sudah malam, saya mau tidur dulu.”
pamitnya ramah. Raut kekecewaan langsung terpancar di wajah para tetangganya
begitu mengetahui kalau pemandangan indah itu akan segera berakhir.
“I-ya, Mbak. Silahkan.” sahut Pak RT.
“Semoga malingnya cepat tertangkap, Pak.”
Sari tersenyum dan menutup pintunya, kemudian menguncinya dari dalam.
Di belakangnya, Pak RT menghela nafas
panjang. Begitu juga dengan beberapa orang yang lain. Sisanya, tanpa permisi
langsung ngacir ke rumah masing-masing untuk meniduri istri-istri mereka yang
meski tidak secantik Sari tapi cukup lumayan sebagai tempat pelampiasan hasrat.
“Sebaiknya kita pulang juga.” Pak RT
akhirnya memutuskan saat melihat cuma tersisa 2 orang di tempat sepi itu.
“Malingnya gimana, Pak?” tanya Mbah Kosim
sambil benerin letak kacamatanya.
“Besok aja. Kita tunggu kalau dia beraksi
lagi.” Akhirnya, beriringan mereka pergi meninggalkan tempat itu, memberi
keleluasaan bagi Sari dan Budi untuk melanjutkan hasrat mereka yang tadi sempat
tertunda.
“Kak, jilatin ya, mau kan ?” Budi mengecup leher Sari yang jenjang,
lalu terus merambat naik ke pipi dan bibirnya. Sari membalas ciuman itu dengan
lembut. Lidah mereka bertemu sebentar untuk saling menyentuh dan menghisap.
“Gede banget kontolmu, Bud.” bisik Sari
lirih sambil membelai-belai daging hitam itu.
“Iya, Kak. Cepet diisep, ya?” Budi tidak
menanggapi pujian kakak iparnya. Dia menyerahkan penis hitamnya pada Sari,
membiarkan wanita cantik itu untuk menggenggam dan mengelusnya pelan. Terasa
begitu kuat dan kokoh, membuat Sari jadi takjub. Mungkin dia akan benar-benar
mendapat kepuasaan kali ini.
“Ayo, Kak, cepet diisep!” pemuda itu
mendorong penisnya, sedikit memaksa saat memasuki bibir mungil Sari.
“Hmmph,” dengan agak kesulitan Sari
membuka mulutnya dan menelan daging panjang itu.
“Iya, gitu, Kak. Isep terus.” Budi
mendesah. “Enak, Kak.” Matanya merem melek merasakan gesekan bibir Sari di
batang penisnya.
Tidak menjawab, Sari terus mengulum benda
hitam itu. Dia juga menyukainya. Penis itu begitu panjang dan gemuk, membuat
mulutnya yang mungil jadi tidak sanggup untuk menampung semuanya. Batang itu
juga terus bergetar dan berkedut-kedut di dalam mulutnya tiap kali Sari
menghisap ujungnya, ujung yang gundul dan tumpul, yang pasti akan terasa nikmat
sekali saat menembus vaginanya nanti.
“Suka ngisep kontol ya, Kak?” Budi
bertanya kurang ajar saat melihat kakak iparnya yang tampaknya bernafsu sekali
menggarap penisnya.
“Ehm, ahmmph!” cuma itu jawaban dari Sari
karena sekarang mulutnya penuh oleh kontol pemuda itu. Sambil mengulum, wanita
cantik itu juga mengocoknya pelan, malah kadang-kadang jilatannya turun menuju
buah pelir Budi untuk sekedar mencucup dan menjilatinya sebentar
“Oouhh, Kak..” Budi kembali mendesah. Dia
tidak pernah menyangka jilatan kakak iparnya akan begitu nikmat seperti ini.
Melihat keseharian Sari yang bersih dan rapi, sepertinya mustahil bagi wanita
cantik itu untuk mau berbuat kotor
seperti ini.
“Apa Kakak nggak jijik?” tanya pemuda itu
dengan suara bergetar.
Sari mendongak. “Kontolmu enak. Kakak
suka.” Dan selesai menjawab, dia kembali mencaplok daging panjang itu, membuat
Budi kembali mendesah dan menggeliat-geliat dengan mata merem melek keenakan.
“S-sudah, Kak. Aku sudah nggak tahan.”
Budi menarik kepala Sari, meminta wanita untuk berhenti. “Aku nggak mau keluar
di mulut Kakak.”
Sari tersenyum dan mengelap bibirnya yang
basah dengan baju tidurnya. “Terus, maunya keluar dimana?” dia memancing.
“Disini!” jawab Budi cepat sambil
mengelus-elus vagina Sari yang sudah sangat basah. Begitu basahnya hingga
beberapa menetes membasahi lantai dimana wanita itu tadi berjongkok.
“Mau melakukannya sekarang?” Sari bertanya
sambil mulai naik ke atas meja makan.
“Iya, Kak. Aku sudah nggak tahan.” sahut
Budi sambil melotot memperhatikan kakak iparnya yang dengan gerakan indah dan
erotis berbaring di atas meja dan membuka belahan pahanya lebar-lebar.
“Lakukanlah, Bud. Kakak sudah siap.” Sari
mengelus-elus vaginanya yang basah, yang tetap terlihat indah dan menggoda
meski saat itu suasana begitu gelap.
Budi yang sudah menunggu saat-saat itu, segera
memposisikan penisnya. Dia berdiri di tepi meja, tepat di depan Sari, dengan
ujung penis menempel di bibir kemaluan wanita cantik itu.
“Ayo, lakukan.” pinta Sari sambil
menggerakkan pinggulnya ke depan untuk menyambut datangnya penis itu yang
perlahan mulai mendesak lubang kencingnya.
“Uughhh,” Budi mendorong terus, berusaha
memaksa penis besarnya untuk terus masuk.
“Tekan lebih kuat!” Sari memberi semangat.
Dia juga sudah tak sabar ingin segera merasakan kontol besar Budi mengisi dan
memenuhi liang rahimnya.
“Tahan ya, Kak.” Budi berpegangan pada
payudara Sari yang besar dan mendorong. Bles... slep! Penis besarnya menyeruak
masuk, merobek dan mengiris kemaluan Sari yang sempit dan legit.
“Uaargghhgggh!” mereka menjerit
berbarengan.
“Sst,” Sari menyambar bibir tebal Budi,
menyuruh pemuda itu untuk diam. “Jangan keras-keras, nanti abangmu bangun.” Dia
membiarkan Budi melumat bibirnya sementara di bawah, penis raksasa milik pemuda
itu mulai bergerak pelan, menggesek dan menjelajahi vaginanya.
“Habisnya...” Budi mempercepat
goyangannya. “Tubuh Kakak nikmat sekali.” bisik pemuda itu sambil meremas
payudara Sari keras-keras.
“Auw!” Sari memekik kesakitan, tapi tidak
marah. Dia malah tersenyum, “K-kamu suka tubuh Kakak?” tanyanya kemudian.
“S-suka banget, Kak.” Budi menunduk untuk
mencium dan menjilati puting payudara Sari yang tampak mencuat indah di
depannya. Seperti bayi yang kehausan, pemuda itu mencucup dan
menghisap-hisapnya dengan penuh nafsu.
“Uhh, geli, Bud,” Sari merintih, tapi
tetap membiarkan pemuda itu melakukannya. Dia bahkan menekan kepala Budi,
seperti menyuruhnya untuk menjilat dan menghisap lebih keras lagi. Siapapun
orangnya, pasti juga akan suka diserang atas bawah seperti itu, tak terkecuali
Sari. Tubuh wanita itu terlonjak-lonjak dan menggelinjang kesana-kemari
mendapat serangan beruntun dari adik iparnya. Dia menceracau panjang pendek
menikmati genjotan dan sodokan Budi pada tubuh sintalnya.
“Aahhh... Yaa, terus, Bud. Terus!” rintih Sari tiap kali paha Budi menabrak
pantatnya.
Penis pemuda itu terus bergerak liar,
menggesek dan menggelitik dinding rahimnya, makin lama makin cepat hingga
membuat Sari makin menggeliat-liat keenakan. Rasa geli, nikmat dan entah
apalagi, berbaur menjadi satu di dalam tubuhnya. Dia bisa melihat bagaimana batang
penis adik iparnya yang besar itu keluar masuk dengan lancar di dalam liang
kemaluannya. Meski tidak bisa menampung semuanya, tapi itu sudah cukup untuk
membuat Sari menahan nafas tiap kali benda itu meluncur masuk menusuk ke dalam
miliknya.
“Oohhhh… memek Kakak enak banget!” gumam
Budi di sela-sela genjotannya. “Sudah dari dulu aku membayangkan ini.”
“Ah, benarkah?” Sari tidak pernah
menyangka kalau diam-diam ternyata dia menjadi fantasi liar adik iparnya. Tapi
Budi tidak salah juga sih, siapapun pasti akan melakukan hal yang sama kalau
punya kakak ipar secantik dan seseksi Sari.
“Sejak pertama lihat Kakak, saya sudah
bayangin bisa ngentot bareng gini.” Budi berterus-terang. Dia sudah tidak malu
lagi untuk mengungkapkan isi hatinya.
Sari cuma bisa bersemu merah saat
mendengarnya. Selain tak menyangka dengan kejujuran adik iparnya, dia juga
sudah mulai tak tahan. Gesekan penis Budi di lubang vaginanya benar benar
nikmat, membuat dia tak tahan untuk menahan lebih lama lagi.
“Kakak nggak marah kan ?” Budi bertanya saat melihat Sari yang
cuma diam dengan mata terpejam.
Sari menggeleng, “Kalau Kakak marah, apa
bisa kamu ngentoti kakak sekarang?” tanyanya.
Budi tersenyum lega. “Terima kasih, Kak.”
Dia menunduk untuk melumat bibir tipis Sari dengan mesra. Tangannya kembali
meremas-remas payudara besar milik kakak iparnya yang membusung.
“Jangan kecewakan Kakak. Tunjukkan kalau
kamu bisa menjadi laki-laki sejati. Puaskan aku!” bisik Sari dengan nafas
memburu. Keringat sudah membanjiri tubuh sintalnya yang telanjang, padahal saat
itu udara malam begitu dingin. Itu tanda kalau Sari sebentar lagi sudah mau
orgasme.
“Iya, Kak.” Budi mengangguk. “Emang Mas
Tarno nggak bisa muasin Kakak ya?” tanya pemuda itu. Seingatnya Mas Tarno juga
punya penis yang besar. Nggak kalah dengan miliknya. Sepertinya nggak mungkin
kalau dia tidak bisa muasin istrinya.
“Bang Tarno sedang tidur.” hanya itu
jawaban dari Sari, sebuah jawaban yang tidak jelas sama sekali.
Tapi Budi tidak ambil peduli. Yang penting
sekarang dia bisa merasakan kehangatan tubuh bugil Sari, tanpa harus tahu apa
alasannya. Dia akan menikmati saat-saat indah ini sebaik mungkin karena bisa
saja sewaktu-waktu Abangnya bangun dan memergoki mereka berdua. Budi tidak mau
itu terjadi karena itu bisa sangat berbahaya. Jadi bocah itu segera memompa
pinggulnya lebih cepat lagi dan menusukkan penisnya lebih dalam, berharap
dengan begitu ia bisa segera meraih orgasmenya bersamaan dengan Sari yang
sekarang mulai menjerit-jerit.
“Ahh, Bud, Ugghhhgh... A-aku dapet, Bud.”
Vagina wanita itu terasa makin berkedut-kedut dan makin lama terasa makin
kencang hingga dua detik kemudian... “AARRGGHHHRGGHHHH!!” Sari pun melengking
tinggi dan melepas. Tubuh wanita itu melengkung ke belakang saat vaginanya
meledak, menyemburkan cairan cinta lengket yang langsung merendam kontol besar
milik Budi hingga ke ujung pangkalnya, beberapa bahkan merembes menetes di
lantai karena saking banyaknya.
“Enak, Kak?” tanya Budi sambil terus
menggerakkan pinggulnya, membuat penisnya yang besar terus bergesekan dengan
dinding rahim Sari yang sekarang sudah begitu basahnya.
“Ehh, hahh.. hahh.. hahh..” cuma itu
jawaban yang keluar dari bibir mungil Sari. Wanita itu bernafas pendek-pendek
untuk menikmati sisa-sisa orgasme yang masih melanda tubuh sintalnya. Matanya
sedikit terpejam dengan tubuh masih setengah gemetar. Dia pasrah saja ketika
Budi menarik tubuhnya dan menyuruhnya untuk nungging di sebelah meja makan.
“Masih lama, Bud?” tanya Sari sambil
menahan nafas saat adik iparnya itu kembali memasukkan penisnya, kali ini dari
belakang. “Ughh!” dia melenguh pelan saat merasakan benda itu menerobos masuk
dan meluncur cepat hingga mentok menabrak dinding rahimnya. “Ehm, pelan-pelan,
Bud.” Sari mengernyit kesakitan, tapi di sisi lain juga menggelinjang kegelian
karena gesekan kontol itu.
“Engh, s-sebentar lagi, Kak. Tinggal
sedikit lagi.” Budi meraih payudara Sari yang menggantung indah dan
meremas-remasnya pelan. “Mau dikeluarin dimana, di dalam apa di luar?” tanyanya
sambil mulai menggoyangkan pinggul. Dari belakang seperti ini, vagina Sari
terasa lebih menggigit, jepitannya terasa semakin kencang.
“N-nggak usah buru-buru, Bud. Santai saja.
Kita nikmati malam ini sepuasnya.” sahut Sari manja. Dia mendesah sambil
meremas-remas taplak meja menikmati genjotan adik iparnya yang terasa makin
mantab.
Dibelakangnya, Budi menggeleng. Mana bisa
dia menahan lebih lama lagi kalau penisnya terus diremas dan diurut seperti
ini. Memek Sari terasa berkedut-kedut
makin kencang membungkus penisnya, membuat Budi yang sudah kegelian
menjadi semakin geli. Geli tapi nikmat. Begitu nikmatnya hingga pemuda itu
menggeram saat tak bisa lagi menahannya.
“UAARRGGGHHHHHHH!!” dengan tusukan dalam,
spermanya yang dari tadi rasanya sudah berada di ujung akhirnya terlepas,
meledak dan menyembur menyiram rahim Sari yang hangat, membuat benda itu
menjadi semakin penuh dan lengket sekarang.
“Ehmmm,” Sari merintih saat perlahan Budi
menarik penisnya dan memberikannya untuk dikulum.
“Bersihkan ya, Mbak.” Bocah itu meminta.
Sedikit mendesah, Sari meraih kontol Budi
yang basah dan lengket. Dengan mata masih setengah terpejam, wanita cantik itu
segera menelannya. Jarum jam menunjukkan pukul 2 dinihari ketika dua insan
manusia itu akhirnya terbaring lemas di lantai dengan tubuh telanjang
berpelukan beralaskan pakaian masing-masing.
“Terima kasih, Bud.” bisik Sari manja
sambil mencium kening adik iparnya.
“Saya yang terima kasih, Kak” Budi meremas pelan payudara Sari yang menempel di
bahunya, terasa begitu lembut dan kenyal. “Saya sudah diijinin ngerasain tubuh
Kakak.” Dengan gemas dia memijit dan memilin-milin putingnya yang mencuat
indah.
“Kamu suka tubuh Kakak yang kaya gini?”
Sari menunjuk perut hamilnya yang sedikit membusung.
“Kakak tetap cantik kok. Tubuh kakak
selalu bisa memancing gairahku, apapun keadaanya.” terang Budi.
“Beneran?” Sari bertanya tak percaya.
“Nih buktinya.” Bocah itu menarik tangan
Sari dan mengarahkan ke selangkangannya.
“Auw,” wanita itu menjerit kaget saat merasakan
penis Budi yang kembali menegang dahsyat dalam genggamannya. “Sudah bangun
lagi? Padahal baru juga 5 menit.” Sari berseru, kagum bercampur senang.
“Lima
menit atau sepuluh menit nggak ada bedanya, Kak. Aku ingin ngentotin Kakak
sepuasnya. Boleh kan ?”
bisik Budi sambil mengendus leher jenjang kakak iparnya.
“Ouh, lakukan, Bud. Lakukan apa yang kamu
inginkan.” Sari mendesah. “Aku milikmu malam ini.” kejantanan bocah itu telah
membuat Sari terbuai. Berapa kalipun Budi menginginkannya, Sari akan dengan
senang hati memberikan tubuhnya karena dia juga menikmati permainan pemuda itu.
Sangat menikmati malah. Jadi saat Budi membaringkan kembali tubuhnya di atas
meja makan, Sari pun langsung menurut dan pasrah saja.
***
“Sayang, bangun. Kok tidur disini sih?”
Tarno menepuk-nepuk bahu sang istri yang terlelap duduk di kursi meja makan.
“Nggak pake baju lagi. Nanti masuk angin lho.” Laki-laki itu memunguti baju
Sari yang berserakan dan menyampirkan ke tubuh sang istri. Tarno luput
mengamati sebuah kain penutup wajah berwarna hitam yang tergeletak di bawah
kursi yang tampak basah penuh dengan sperma.
“Ehm, oaahmm...” Sari menguap dan mengucek
matanya. “Jam berapa sekarang, Pa?” dia menggeliat untuk melemaskan tubuhnya
yang seperti remuk redam setelah dihajar Budi 3 ronde selama semalam suntuk.
Baru satu jam lalu mereka selesai. Budi pulang lewat pintu belakang dan Sari yang kelelahan akhirnya tertidur di
kursi tanpa sempat mengenakan bajunya kembali.
“Jam 5 pagi.” sahut Tarno sambil mencolek
mesra dada sang Istri. Saat laki-laki itu ingin meremasnya, Sari
menghindar.
“Aku mau minum dulu, Pa. Haus.” Wanita itu
beranjak menuju kulkas.
Sambil pura-pura mencari botol air, Sari
mengelap sisa-sisa sperma Budi di payudaranya yang tampak masih belum kering
benar. Tadi, di permainan terakhir, bocah itu menyemprot di wajah dan
payudaranya. Sementara suaminya mandi, Sari segera mengelap tubuhnya dengan air hangat untuk menghilangkan
bau dan jejak perselingkuhannya semalam.
Biasanya, kalau malam nggak dapat jatah,
Bang Tarno akan meminta di pagi hari sebelum berangkat kerja. Kalau sampai dia
mencium bau sperma laki-laki lain di atas tubuhnya, dia bisa marah. Sari tidak
mau itu terjadi. Dia masih ingin mengulangi lagi petualangannya yang
mengasyikkan dengan Budi.
“Lagi ngapain, sayang?” Tarno keluar dari
kamar mandi dengan tubuh telanjang. Penisnya yang besar terlihat tegak
mengacung. Dia berjalan menghampiri Sari sambil mengocok dan mengurut-urut
benda itu.
“Nungguin
Papa.” bisik Sari manja. Dia melirik penis sang suami dan mau tak mau
membandingkannya dengan milik Budi dan Pak Karta. Ketiga-tiganya sama-sama
besar dan panjang, dan semuanya sanggup untuk memuaskannya dengan cara
masing-masing. Sari tidak bisa kalau disuruh memilih salah satu. Dia ingin
tiga-
Komentar
Posting Komentar