Pagi ini rasanya mata ini begitu
bersemangat menyambut mentari, aku terbangun dengan tubuh yang segar, dan penuh
semangat hari ini. Udara sejuk terasa begitu segar ketika aku membuka jendela
kecil di kamarku. Terlihat taman kecil ku menghiasi rumah sederhana yang
sudahku tempati setahun belakangan ini. Rasanya senang sekali bisa menikmati
pagi yang begitu tenang di kawasan perumahan sederhana yang terletak
dipinggiran kota Palembang .
Aku mulai bercerita dengan mereka, sambil
mengenalkan namaku, tapi karena mereka tidak bertanya aku tidak akan mengatakan
aku adalah dosen disini. Hanya ada 23 orang saja yang mengambil magister tahun
ajaran ini, mereka semua tampak begitu bersemangat juga melanjutkan pendidikan,
bahkan diantara mereka ada yang sudah berusia 50 tahun. Belajar itu tidak
mengenal usia.
Ada yang menarik
perhatianku seorang gadis, sepertinya dia masih baru lulus S1 dan langsung
melanjutkan magister di kampus ini, namanya Fanny. Dia tampak tegang tapi juga
exited disaat bersamaan, mungkin karena nuansa kampus yang baru untuknya. Dia
salah satu lulusan universitas swasta di kota
ini juga, baru pertama masuk kampus negeri sepertinya, dia terlihat canggung.
Aku kemudian tersadar, aku harus
menjalankan kewajibanku sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi ternama di kota sederhana ini. Walau
sebenarnya aku juga memiliki beberapa pekerjaan diluar mengajar. Aku juga
menghabiskan waktuku sebagai konsultan hukum pada sebuah perusahaan swasta dan
juga menjadi konsultan juga untuk perusahaan asing yang berkantor di Jakarta . Dengan teknologi
seperti saat ini, aku bisa mengerjakan pekerjaanku bahkan sambil berada dirumah
Menjadi dosen rasanya sebuah panggilan,
walau gaji tidak seberapa dibanding menjadi konsultan dan jadwal yang padat,
tetap saja rasanya ini adalah panggilan jiwa. Sejak lulus kuliah aku sudah
mendapatkan kesempatan untuk menjadi konsultan di perusahaan kota
ini, berkat kinerja yang cukup bagus akhirnya aku dikenalkan dengan relasi
mereka di Jakarta
itu. Penghasilan dari mereka itu bisaku investasi dalam bentuk rumah sederhana
ini. Selain itu aku juga berhasil melanjutkan pendidikanku hingga magister
dengan kerja itu juga, dan boleh kitakan beruntung karena bahkan sebelum lulus
aku sudah di tawari menjadi dosen karena aku cukup berprestasi. Jadi disinilah
aku sekarang, walau baru berusia 25 tahun, aku sudah cukup mapan dan kalau
masalah finansial sudah terjamin berkat investasi-investasiku yang lain, jadi
boleh dibilang tidak kerjapun aku sekarang sudah bisa hidup seadanya.
Tapi berbeda dari keadaan ekonomiku,
perjalanan cintaku berbeda, jauh dari kata sukses. Selepas SMA aku tidak lagi
pernah memiliki kisah cinta yang serius, aku dihianati olehnya rasanya perih
dalam hati. Walau perih, dia tetap telah mengisi hari-hariku dulu, jadi tak ada
yang perlu disesali, tapi tetap saja harus menjadi pelajaran. Mungkin itu juga
yang membuatku takut menjalani hubungan serius lagi sejak saat itu. Walau
ketika kuliah dulu aku pernah dekat dengan seseorang tapi tetap saja hubungan
itu tidak berjalan hingga pelaminan. Setelah itu ada beberapa teman yang
mengenalkanku, dan ada beberapa yang dekat denganku, mereka hanya menjadi teman
dekat saja tanpa melanjutkan kehubungan yang lebih serius. Banyak rupa yang
menarik mata, tapi tidak ada yang menarik hatiku. Mungkin belum waktunya,
mungkin belum bertemu, atau mungkin tidak akan bertemu.
“Pak Adi, tumben sepagi ini sudah ada di
kampus, ada kelas pagi ya?” tegur Dian seorang staf admin di kampus kami,
melihatku sudah datang pukul 07.00 pagi untuk mengisi absenku. Aku tersenyum
menatapnya.
“Tidaklah, inikan masih orientasi
mahasiswa baru…”, sambil tetap tersenyum kepadanya, diapun membalasku dengan
tawa kecil yang manis. Diana wanita yang cantik, walau sudah berumur 34 dia
tetap terlihat imut, mungkin karena tubuhnya yang kecil, padahal dia sudah
punya seorang anak berusia 3 tahun.
Aku berjalan menuju ruang dosen, aku ingin
duduk dulu memeriksa beberapa bahan ajarku, memastikan semua bahan presentaseku
tertata dengan baik. Melihat mahasiswa baru yang sedang berkumpul, dan penuh
semangat menyongsong hari baru mereka di kampus. Dalam pikiranku terbesit rasa
nostalgia, 10 tahun yang lalu aku juga seperti mereka, di kampus ini bersama
teman-temanku yang kini telah bertualang juga keseluruh penjuru Indonesia .
Melihat empat orang bocah yang nongkrong
di pojokan kantin yang penuh canda tawa mengingatkan aku pada teman-temanku,
Ted, Zaza, dan Edward. Rasanya ingin mencari mereka lagi, rasanya cukup lama
juga aku lost contact dengan mereka. Apa Cuma aku yang merasa nostalgia seperti
ini, atau mungkin karena aku masih berada disini, tempat memori itu dibangun.
“Adi…” sebuah tangan menepuk pundakku
dengan cukup keras, tentu saja aku segera menoleh melihat siapa orang itu.
“Prof Budi, kirain siapa, ngagetin saja…”
kataku dengan sedikit tertawa dan mengelus dadaku. Pria paruh baya ini adalah
dosenku sejak aku mulai belajar di kampus ini. Rasanya sudah lama juga aku
mengenal beliau.
“Sepertinya kamu sedang terbawa nostalgia
ya?” kata padaku, benar sih aku merasa terbawa nostalgia dengan semangat
mahasiswa baru ini. Apa mungkin dia juga merasakannya.
“Iya pak, tidak terasa sudah 10 tahun yang
lalu…”, jawabku pada Prof. Budi.
“Kalau kangen hubungi dong teman-temanmu,
sekarang sosmed gampang!”, sambil pak Budi mencengkram bahuku, sambil menatapku
serius.
“Jangan sampai menyesesal seperti dengan
‘dia’ dulu”, sambungnya lagi, beliau baru saja mengingatkanku akhir hubungan
cintaku dulu, karena aku tidak berani menghadapi masalahku dengan ‘dia’ dan
rasanya masih menggantung hingga kini. Prof. Budi sudah menjadi tempat curhatku
sejak menempuh magister, kami menjadi dekat dan beliau sudah menjadi sosok ayah
bagiku selama ini, sosok yang bijak tapi tetap juga muda bagi usianya. Beliau
juga merupakan langganan beerhouse tempatku kami nongkrong, dia lebih sering
daripada aku nongkrong di sana .
“Mungkin benar juga, aku harus menghubungi
mereka, khususnya ‘dia’”, jawabku, tapi masih ada juga rasa ragu, aku takut
tidak berani meminta maaf padanya, aku takut hubunganku tidak bisa seperti dulu
lagi. Ketakutan ku ini membuatku lebih baik lost contact dan membiarkan
memoriku mengingat yang indah saja tentang hubungan kami, Pengecut. Sudah
waktunya aku memberanikan diri untuk menghadapi itu mungkin.
“Aduh, aku mesti membuka sambutan
mahasiswa baru nih…, kamu ikutkan ke Aula?” tanya Prof Budi padaku, sambil
sepertinya mulai menarik bahuku.
“Iya tentunya, kan asisten kepala Jurusan”, kataku sambil
bercanda pada Prof Budi, iya dia kepala jurusan perdata di kampus ini. Dia
hanya membalasku tersenyum.
“Mau ngegusur Bu Ella?”, sambil melirik
tajam padaku sambil dengan wajah serius.
“Jadi wanita dulu kamu!”, jawabnya singkat
lalu kami berdua tertawa bersama dan berjalan menuju Aula besar fakultas kami.
Prof tua tua keladi ini sepertinya hanya aku yang tahu belangnya, karena semua
orang yang lain tahunya dia itu bijak dan berwibawah banget, mungkin hanya
denganku saja beliau bisa selepas ini.
***
Selama proses penerimaan itu, dengan
berbagai ucapan sambutan dari para petinggi fakultas aku hanya duduk dibelakang
meperhatikan, bersama jajaran para mahasiswa pasca sarjana. Setelah pembukaan
dan penerimaan mahasiswa baru ini, kampus penuh hiruk pikuk mahasiswa baru dan
para BEM yang berkeliaran memberikan perkenalan kampus dan dosen-dosen, salah
satu bentuk orientasi mereka adalah menyuruh pada mahasiswa mengenal dosen.
Jadi para maba ini akan mencari tandatangan dosen dan berfoto bersama para dosen.
Tentunya aku akan menghindari hal ini dengan berpura-pura menjadi mahasiswa
pasca sarjana. Aku mulai mengobrol dengan mahasiswa pasca yang baru masuk, di
kampus kami ini belum memiliki progra doktorat, jadi mereka ini hanya program
magister.
Jenny |
“Adi!” menepuk pundakku dari belakang lagi,
beliau sepertinya senang melihatku terkejut hari ini.
“Siap Prof!”, sambil menoleh padanya
menjawabnya. Beliau tersenyum kepadaku dan para mahasiswa pasca sarjana ini.
“Kalian sudah kenalan?” tanyanya pada para
mereka, mereka lalu satu persatu menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan
beliau dan memperkenalkan diri mereka masing-masing.
“Ini dia nih, dosen muda kampus kami, buat
ngajar strata 1…” kata beliau, tanpa angin tiba-tiba nge-braging tentang aku.
Aku hanya bisa tersenyum, menanggapi itu. Tapi mereka yang ada disana langsung
berubah tatapannya menjadi semangat melihatku. Malah si Fanny terlihat makin
canggung ketika mengetahui aku adalah dosen.
“Aduh… kebetulan saja…” jawabku sedikit
sungkan pada mereka. Kamipun akhirnya melanjutkan percakapan dengan mereka
berusaha menghindari mahasiswa s1 yang mencari foto dan tandatangan.
***
Sehabis dari kampus aku sempatkan diriku
untuk absen hadir dulu di perusahanku berkeja, memastikan semuanya berjalan
dengan lancar tidak ada laporan, gugatan atau konsultasi hukum. Aku juga
benarnya melayani pertanyaan-pertanyaan seputar hukum dari karyawan perusahaan
itu, karena memang masalah gugat menggugat memang jarang terjadi, daripada
nganggur aku temani saja mereka mengobrol seputar hukum.
Di kantor mereka kadang walau sudah lewat
jam kantor masih menungguku, malah ada yang sengaja menelpon agar bisa
berkonsultasi langsung. Aku juga terhitung cukup akrab dengan mereka,
sebenarnya aku cukup supel dalam bergaul tapi sayangnya tidak bagus dalam
bersilahturahmi mempertahankun hubungan dan kontak. Sebenarnya rasanya senang
juga bisa berguna buat orang lain disekitarku sih.
Waktu malamku gunakan untuk mengecek email
dari perusahaan dari Jakarta ,
apakah perlu diproses lebih jelas atau legal opinion, tapi biasanya sih tidak
ada, mereka akan menepon terlebih dahulu sebelum mengemail biasanya.
Pekerjaannya santai, gaji tetap jalan, luarbiasa banget rasanya. Jadinya dengan
gaji seperti ini, semuanya bisa kualihakn kedalam tabungan investasi semacam
reksadana dan juga tabungan emas, lumayanlah.
***
Perkuliahan sudah mulai berjalan, walaupun
nanti masih akan memasuki masa libur lebaran lagi, nuansa puasa tidak begitu
terasa di kampus mungkin karena para mahasiswa baru penuh dengan semangat
mereka melakukan aktifitasnya, tidak hanya S1 tapi juga S2.
***
Entah bagaimana, rasanya aku menjadi akrab
bersama dengan mahasiswa S2 angkatan ini, mungkin karena beberapa di antara
mereka seumuran denganku, itu juga yang membuat rasanya mudah akrab dengan
mereka. Walau dalam seminggu awal kuliah mereka sering kumpul denganku, baik di
kantin ataupun di café di luar kampus.
Fanny juga cukup sering kontak dengan ku,
sering bertanya tentang tugas dan minta diajari mengenai pelaharan Magister
yang sekarang dia pelajari. Beberapa kali aku juga ikut berkumpul bersama
mereka di luar kampus, acara nongkrong sambil belajar gitu. Mereka juga tidak
canggung dengan ku karena aku tidak mengahar mereka dikampus.
“Di, apa sih rasanya jadi dosen semuda
ini?”, tanya Edy, salah satu mahasiswa S2 yang sering kumpul bersama-sama. Kali
ini kami sedang duduk di sebuah café kecil yang cukup ramai dan asik juga.
“Ya sama saja sih, rasanya biasa saja…”
jawabku dengan santai kepada Edy, ya bagiku tidak ada istimewanya, hanya saja
memang sedikit berbeda karena aku jadinya yang harus berdiri di depan dan
memberikan materi.
“Ada
tidak mahasiswi cantik gitu yang jadi incaranmu gitu?” tanya Edy lagi, dia itu
main nyosor saja pertanyaannya. Memang banyak juga mahasiswi cantik juga di
kampus kami, apalagi yang masih S1. Tapi aku tidak permah terlalu memperhatikan
mereka sebenarnya.
“Banyak yang cantik, liat saja sendiri di
fakultas… tapi kalau incaran mah tidak ada” lalu sedikit tidak sadar mataku
melirik kearah Fanny, dan segera aku alihkan agar yang lain tidak
memperhatikan. Jujur saja Fanny memang terlihat kalem dan cantik, lebih ayu
mungkin dari wanita umumnya. Tapi kalau untuk karekter profesi kami, sebenarnya
dia kurang tepat, karena kami harus percaya diri dan berani melabrak semuanya.
“Hahaha… dosen muda, masa tidak ada
mahasiswi yang kepincut juga sih?” sambung Edy lagi, malah diikuti oleh tawa
mereka yang ada di sana .
Akupun hanya tersenyum pada mereka, dan tentunya sedikit malu-malu juga.
“Ada
sih yang kepincut tapi gimana ya…” jawabku berusaha memberikan kode juga, aku
ingin melihat reaksi Fanny. Tapi dia tampak masih asik dengan gawainya saat aku
mengakatan itu.
“Emangnya kenapa? Masih terlalu maba?
Takut dibilang pedofil?” kata Edy lagi, sambil mentoyor pundakku. Lalu mereka
semua tertawa lepas mendengarkan perkataan Edy itu. Fanny terlihat cukup
menarik buatku, senyumnya manis dan kulitnya terlihat kuning langsat dengan
rambut sedikit berombak dan hitam legam, khas Indonesia banget. Pakainya juga
selalu sopan, dengan kemeja lengan panjang dan juga celan panjang jins dan
sepatu casual yang nyaman dikenakkan, dia memang sudah menginjak usia 22 tahun
tapi tetap saja terlihat seperti gadis 18 tahunan.
“Eh tugas kalian sudah selesai belum yang
dari Prof Ahmad?” tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan ini. Wajah mereka
langsung sedikit serius mendengarkan tugas mereka.
“Lagi dikit nih, masa disuruh ngerangkum
buku setebal itu jadi esai 10 halaman, pusing ini…” kata Burhan yang duduk dari
tadi dipojokan sambil mengemil kentang goreng yang sudah hampir habis.
Sebenarnya kadang dosen memberikan tugas seperti itu hanya memastikan agar
mahasiswanya segera menghabiskan buku itu, dan menjadikannya bahan diskusi
dipertemuan berikutnya.
“Hari Kamis loh dikumpul, lagi dua hari
nih…” kataku pada mereka lagi, sambil mengutak atik handphoneku melihat tanggal
di kalender.
“Kalau Fanny pasti sudah selesai tuh” kata
Edy sambil melirik kepadanya, Fanny memang yang sepertinya paling rajin di
antara mereka. Walau ada Dina, dan Jenny juga yang sering ngumpul bareng kami
tetap Fanny yang paling rajin di antara mereka semua.
“Ayo segera selesaikan, minggu depankan
libur lebaran, bisa mudik sebentar, dan bisa buat istirahatkan…”, minggu depan
sudah hari raya Idulfitri jadi perkuliahan akan libur untuk seminggu dan
setelah itu akan kembali seperti biasa.
“Iya juga sih, boleh dimanfaatkan tuh buat
liburan… Aku sendiri disini sih tidak mudik, coba keliling-keliling wisata
lokal di sini”, jawab Edy santai, dia memang berasal dari kota
lain, dan memilih tinggal menikmati kota .
“Kalau yang lain?”, tanyaku lagi kepada
mereka, karena aku sendiri tidak mempunyai sanak keluarga lagi di kota ini, hanya sendirian
sepeninggal Ibuku 6 tahun lalu.
“Aku lahir dan besari di sini, jadi tidak
ada tempat mudik, semua keluarga juga di sini”, jawab Fanny dengan suara lembut
dan merdunya.
“Kalau aku mesti mudik, mesti menghadap
sama orang tua dulu…”, jawab Dina sambil tersenyum.
“Aku sih tidak mudik, tapi mesti bawa
Isteri kerumah mertua, jadi ya sama aja mudik sih…” jawab Burhan, walau berusia
27 tahun tapi dia sudah menikah dan punya dua orang anak, dia memang menikah
cukup cepatlah menurutku.
“Jadinya Edy, dan Fanny saja nih yang di kota ya?” sambungku lagi
kepada mereka, sepertinya aku bisa mengajak mereka jalan-jalan di hari raya
nanti.
“eh aku juga tidak mudik kok”, tiba-tiba
Jenny nyeletuk, iya aku melupakan Jenny dia belum menjawab pertanyaan tadi.
“Oh iya… hahahaha… nanti kita jalan bareng
deh, mobil ku cukup kok kalau buat berempat nanti”, sambungku lagi, aku ingin
lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman, aku sudah sangat jarang
bercengkrama diluar pekerjaan dengan orang lain.
“Boleh juga tuh, emangnya mau kemana?”,
tanya Jenny dengan semangat juga, gadis ini juga seusia dengan Fanny, baru saja
menginjak 22 tahun, masih penuh dengan semangat tentunya.
“Gimana kalau wisata alam? Kalau
perkotaankan sudah biasa?” saranku kepada mereka, karena tentunya aku juga
ingin wisata alam, kalau kota
sudah biasa.
“Iya nih, keluar kota saja, atau kewisata alam… bagus tuh…”
kata Jenny nyeletuk.
“Ayo…” yang lain juga terdengar menyetujui
hal itu, tentunya aku juga senang, karena selama perjalanan kita juga bisa
mengakrabkan diri satu sam lain.
“Gimana kalau ke Gunung Dempo?” aku
menyearankan tempat itu, walau cukup jauh kurang lebih 8 jam dari kota, tempat
itu sangat indah dan sangat asrih dan banyak tempat yang bisa dikunjungi di
sana, tentunya juga lebih enak juga beberapa hari di sana.
“eh bukannya itu sudah kabupaten Pagar
Alam ya?” tanya Burhan, sedikit penasaran.
“Iya sudah masuk wilayah Pagar Alam…”,
jawabku singkat pada Burhan, tapi terlihat dia tertarik ingin ke sana .
“Tidak bisa sehari juga di sana , tempatnya luas
banyak tempat-tempat bagus untuk explore…”, kata Burhan, memang dia sepertinya
tertarik kesana.
“Ya udah, liburkan panjang, bisa seminggu
juga di sana …”,
jawab Jenny dengan santainya. Dia memang hidup sendiri di kota
ini, dia asli Lampung dan sedang kuliah sambil kerja di Palembang ini, masalah uang dan waktu bukan
kendala untuknya.
“Tempatnya keren tuh, kampungkukan di
Bengkulu, dari sana
Aku bisa ikut deh… ” sambung Burhan antusias.
“Tunggu dulu, emangnya Edy, dan Fanny bisa
sampe berapa hari?” segera kupastikan dulu, sebelum mereka berdua malah takut
terlalu lama berkeliaran di luar kota .
“Aku mah santai, bisa diatur itu…” jawab
Edy tentunya dengan santai, sambil melirik ke arah Fanny, tentunya aku juga
menatapnya.
“Aku juga tidak papa kok, yang penting
tetap wajib lapor orang tua tiap hari…” jawab Fanny sedikit malu-malu ditatap
oleh kami semua di sana .
“Oke kalau gitu, aku coba cari informasi
dulu penginapan lokasi, dan kisaran biaya untuk bertahan hidup di sana sampai 7
hari” kataku kepada mereka, karena mungkin di antara mereka aku yang paling
santai dan tidak ada tugas, karena mahasiswaku belum kuberikan tugas sama
sekali di minggu pertama ini, jadi tidak ada yang harus aku periksa.
Sebelum mengatur jadwal perjalan dengan
mereka tentunya aku pastikan dulu apakah mereka akan sanggup untuk hiking atau
hanya akan wisata di tempat yang tidak memerlukan fisik dan stamina untuk di
tanjak. Gunung Dempo juga cukup aktif, dan semoga saat kami kesana gunung itu
tidak sedang merancu. Mereka sih katanya bisa hiking kok, dan sudah beberapa
kali juga ikut pendakian, jadi seharusnya mereka bisalah, mungkin sedikit
bulkup stamina dan membugarkan dirilah sebelum proses hiking, tapi track gunung
Dempo tidak terlalu berat.
Kami berencana untuk memulai perjalanan
kami dari Palembang pada tanggal 28 Juli, tepat pada hari raya, agar jalanan
agak sepi dan kami bisa tempuh dengan waktu yang lebih singkat, dan kemungkinan
jalur hikingpun kemungkinan lebih kosong.
***
Sampailah waktunya kami bersiap berangkat,
tanggal 27, malam sebelum hari raya, kota terasa
ramai karena banyak arak-arakan yang berkeliling kota . Mereka memutuskan untuk menginap di
rumahku, sekaligus mengecek seluruh perlengakapan kami. Mengecek seluruh bawaan
kami, Edy sudah menyiapkan carrier 50 liter, dengan membawa tenda untuk 2
orang, sama sepertiku, aku juga hanya punya tenda untuk 2 orang, dan carrier 80
liter, agak kebesaran untuk perjalanan ini.
Nantinya Aku dan Edy akan menggunakan satu
tenda, dan Jenny dan Fanny akan menggunakan satu tenda lagi. Rencananya kami
ingin menikmati fajar di puncak gunung. Fanny sendiri ternyata sudah beberapa
kali hiking tapi tidak pernah ke gunung Dempo, sedangkan Jenny pernah sekali
sampai puncak gunung Dempo. Tempatnya memang indah, aku sendiri sudah
beberapkali kesana sejak kuliah dulu.
Periksa keperluan lagi, seperti sleeping
bags, kompor kecil, sedikit mie instan, dan juga beberapa tubler berisi air
telah kami siapkan. Bekal makan kami untuk pendakian, seral, sosis, kalengan,
dan beberapa makanan instanlain, dan tentunya madu, air wedang. Tapi selain itu
kami harus menyiapkan bekal perjalanan dari Palembang ke Pagaralam juga, karena ini hari
raya kemungkinan banyak kios yang tutup.
“Oke, kurang senter tambah lagi lah, biar
cukup buat kita semua…”, kata Edy setelah selesai mengecek semua perlengkapan
kami.
“Cobaku ambil dilemari dulu, sepertinya
ada…” kataku sambil berjalan menuju lemari perkakasku, mengecek apakah masih
ada senter yang bisa digunakan. Jenny dan Fanny sedang asik bercerita sambil
memasak sedikit untuk bekal perjalan kami di mobil besok pagi.
“Wih masak apa nih, wangi banget?”,
tanyaku kepada Fanny dan Jenny. Memang aroma masakan mereka terasa sekali dan
cukup menggugah selera, tapi sudah jam 10 malam juga, tidak mungkinku embat sekarang.
“Ini kita masak opor ayam, nuasan hari
rayakan, biar tidak dirayakan tetap dinikmati…” iya aku baru sadar, kami tidak
ada yang merayakan hari raya. Jadi besok tanpa peduli bisa langsung berangkat
sepagi mungkin. Boleh juga bekal kami untuk perjalanan adalah nasi opor, tapi
kira-kira mules dijalan ngak ya karena makan santen? Peduli setanlah, yang
penting besok tidak lapar.
***
Jam 4 dini hari, aku sudah terbangun, Aku
kembali mengecek seluruh perlengkapan yang sudah di naikkan ke mobil, seluruh
tas, air dan beberapa minuman isotonik juga sudah naik semuanya ke mobil sejuta
umatku ini. Kalau sesuai rencana perjalanan kami mungkin akan memakan waktu 7
sampai 8 jam, dan kami akan manfaatkan sisa waktu hari ini untuk menikmati
keindahakn kota Pagaralam, dan besok pagi-pagi sekali kami akan mulai hiking ke
Gunung Dempo.
Fanny terlihat sudah bangun juga,
berkeliaran dari kamar tamuku ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah.
Terlihat dia sudah membawa handuk dan perlengkapan mandinya, mungkin dia ingin
mandi agar segar sebelum perjalanan.
“Eh pagi sekali bangunnya?” tanyaku
membuatnya sedikit terkejut, mungkin dia tidak menduga aku sudah bangun.
“Aduh, ngagetin saja Kak, iya biar
mandinya bisa santai dan agak lama”, sambil tersenyum padaku, manis sekali
senyumannya, walau wajahnya masih berantakan sehabis bangun dan seperinya
matanya masih penuh belek.
“Awas loh, airnya agak dingin, nanti malah
masuk angin…” kataku lagi sambil berlalu. Memang rencana berangkat kami baru
sejam lagi atau jam 5 nanti, tapi aku tetap harus mengecek semuanya lagi,
sebelum berangkat. Hampir saja lupa, kami belum memasak nasi untuk bekal
perjalanan.
Akupun melangkah kedapur, dan mulai
mempersiapkan beras yang akanku masak dengan ricecooker. Dapur dan kamar mandi
hanya berbataskan tembok, lalu mulai terdengar bunyi percikan air saat Fanny
mulai mandi. Entah mengapa pikiranku mulai sedikit kotor, ingin rasanya aku
melihat tubuh moleknya saat ini. Aduh apa yang kupirkan, tidak mungkin aku
intip, jangan sampai nanti Edy atau Fanny bangun dan aku kedapatan bisa gawat.
Akupun menekan perasaan itu dalam, agar tidak kulakukan.
Selesai menyiapkan beras, aku masukkan
dalam ricecooker dan ‘clik’ proses menanaknyapun dimulai. Suara percikan air
itu terhenti sebentar, apakah dia sedang membasuh tubuhnya dengan sabun? Atau
dia mungkin sedang keramas? Apasih yang ada dalam pikiranku ini?
Aku bukannya berjalan menuju kamarku untuk
bersiap mandi di kamar mandi dalam kamar, malah melangkahkan kakiku keteras
belakang. Terdapat sebuah lubang ventilasi kecil, tembok batu yang tinggi itu
membuatku bisa sedikit memanjat untuk mengintip kedalam. Cahaya mentari yang
belum bersinar membuat suasana remang lebih aman untuk melihat kedalam kamar
mandi yang penuh cahaya.
Aku kini telah memposisikan tubuhku,
mataku melirik masuk, memandang diantara celah halus itu. Tubuh Fanny
membelakangi tatapanku, dirinya menghadap ke pancuran air, sambil dia kini
membilas sabun yang menutupi sekujur tubuhnya. Tubuhnya putih, rambutnya hitam
terurai basah oleh derasnya air yang mengguyurnya. Kini dia berbalik membasuh
sabun di punggungnya.
Cantik sekali tubuh itu, payudaranya tidak
begitu besar, tapi terlihat proporsional ditubuhnya. Terlihat kenyal dan
kencang, ingin rasanya tangan ingin segerah meraihnya dan bibir ini menyentuh
pucuk payudaranya. Membelai tiap inci dari tubuh indah itu, mengecup tiap
jengkalnya, dan memiliki tubuh dan jiwanya.
‘knok…knok…’ terdengar ketukan di pintu
kamar mandi, hal itu mengejutkanku. Aku hampir saja terjatuh karena terkejut,
akupun segera turun perlahan dari dinding.
“ya?” tanya Fanny, ke arah ketukan itu.
“Fan, kamu lagi mandi ya?” tanya suara
itu, suara itu jelas milik Jenny, siapalagi wanita di rumahku saat ini. Tidak
peduli lagi pembicaraan mereka, aku segera ngacir berputar dari teras belakang
melalui jalan samping menuju ke teras depan agar dia tidak curiga.
Hampir saja aku ketahuan, aku terduduk
sejenak di kursi teras depan. Terasa sejuk udara pagi ini, tapi rasanya tubuhku
panas, panas karena melihat keindahan alam itu. Bagaimana aku memadamkan gelora
api birahi ini kalau sudah seperti ini. Aku harus menahan diriku, aku seorang
dosen, dan harus tentang dan tidak mencederai profesiku.
“Kak, sudah bangun?” tanya Jenny yang
keluar dari dalam rumah melihatku sedang terduduk melamun di kursi terasku.
“iyalah, masa jalan sambil tidur” jawabku
sedikit bercanda padanya.
“Kali aja…” sambil dia kemudian mencubit
lenganku dengan gemas. Akupun hanya tersenyum melihat tingkahnya. Aku baru
melirik ke tubuh Jenny, dia hanya mengenakkan atasan dari piyama berbentuk
kemeja yang longgar dan pahanya terlihat dengan jelas, cukup tinggi malah,
mungkin 10 centi lagi sudah terlihat pakaian dalamnya, ah mungkin dia
mengenakkan celana pendek di dalamnya.
Aku berusaha tetap tenang dengan tampilan
gadis yang satu ini, tadi baru saja libidoku naik karena Fanny, nanti bisa naik
lagi kalau kuperhatikan terus si Jenny. Tapi sepertinya terlambat, pikiranku
sudah mengawang dan adik kecilku mulai menegang, aku segera mengubah posisi
dudukku, dan membuat tubuhku lebih condong kedepan agar tidak terlihat. Jenny
masih menikmati udara pagi sambil melihat-lihat jalanan depan rumahku, semoga
dia tidak memperhatikan gelagatku.
***
Kini aku dan Edy sudah siap, sudah segar
sehabis mandi, sambil meneguk secangkir kopi dan kami siap berangkat. Sesuai
rencana juga kami sebentar lagi akan menuju Pagaralam. Aku kembali mengecek
keperluan kami semuanya, rute, dan juga rumahku, pastikan semuanya
ditinggalakan dalam keadaan aman.
Edy dan aku hanya mengenakkan kaos oblong
dan celana jins yang nyaman, bedanya aku menggunakan sepatu, dan Edy hanya
menggunakan sendal jepit, tapi biasanya saat nyupir juga aku lebih sukar
nyeker, karena pedal gas lebih terasa. Sedangkan Fanny dan Jenny tampak cantik,
dengan rambut terikat dibelakang, dan dengan kaos oblong yang sedikit longgar
dan Fanny menggunakan celana jins, sedangkan Jenny menggunakan hotpans.
Pahaputihnya terlihat dengan jelas, kalau dikampus tentu saja dia tidak pernah
mempertontonkan paha mulusnya itu.
Perjalanan kami disambut dengan terbitnya
mentari di ufuk timur. Rasanya penuh energi dan penuh semangat menyambut
liburan ini. Mobil kupacu dengan kecepatan sedang, Fanny duduk di depan, karena
takut mabuk perjalanan, sedangkan Edy dan Jenny duduk dibelakang, dan barisan
ketiga kulipat dan penuh dengan carrier kami dan juga bekal makan kami.
Kuputar lagu yang semangat, biar tidak
mengantuk dan lebih ngejreng dipagi ini. Fanny terlihat menikmati pilihan
laguku, begitu juga dengan yang lain. Rasanya lebih semangat lah, kadang juga
aku tetap curi-curi pandang kepada Fanny. Walau hanya sepintas, pikiranku
membayangkan tubuh polosnya lagi. Tapi segeraku tepis harus konsentrasi membawa
kendaraan ini.
Jalanan yang relatif sepi dan kecepatan
kendaraan yang bisa kupacu lebih cepat membuat kami bisa tiba di Prabumulih
lebih cepat, tidak sampai 2 jam kami sudah tiba di kota itu. Mungkin kami akan
beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan kami. Kami melewati sebuah
spot yang sedang dalam proses konstruksi katanya nanti ini akan menjadi ikon
baru kota ini,
katanya sih patung kuda, tapi entah lah. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak
di SPBU, walau tangki masih cukup banyak, biar aman kuisi saja lagi.
“Tukaran yuk, aku yang nyupir”, kata Edy
kepadaku, padahal aku sebenarnya masih kuat saja bawa ini, sampai Pagaralampun
harusnya masih kuat.
“masih kuat kok, santai”, kataku kepada
Edy, karena aku belum mau diganti juga berkendara. Aku lebih nyaman jika aku
yang sedang menyupir.
“Aku bosen nih, mumpung efek kopi masih
nendang juga…” kata Edy sambil tersenyum kepadaku. Ya daripada berebut, paling
tidak aku bisa sedikit bersantai, dan kopi sebenarnya tidak terlalu berpengaruh
padaku, jika ingin tidurpun aku bisa langsung tidur. Aku mengambil tempat di
belakang kursi pengemudi dan bersender kepintu, dan juga Jenny juga mengambil
sisi satunya.
“Oke lah kalau gitu, nanti di Muara Enim
tukaran lagi”, kataku pada Edy sambil mengambil posisi di baris kedua bersama
Jenny. Edy cukup mahir menyupir, kecepatannya tergolong cukup stabil, hanya di
awal saja sedikit tersentak, mungkin karena belum terbiasa dengan perseneling
mobilku. Lepas kota
Prabumilih dia sudah sigap dan mampu berkendara dengannyaman.
***
Selama perjalanan kami menikmati
pemandangan, bersenda gurau, dan juga bernyanyi bersama di mobil diiringi
dengan musik seadanya dari thumbdriveku. Tapi setelah sejam perjalanan
kemudian, suasana mulai sedikit redup, para gadis sepertinya sudah mulai bosan,
dan terlihat Fanny sepertinya sudah mulai tertengun memandang kejendela. Jenny
sendiri sepertinya sudah terkantuk-kantuk karena bosan.
‘duk…’ kepala Jenny terjedut di jendela
mobil, saat sedang bersandar, mungkin karena dia sudah mengantuk banget. Akupun
sedikit tertawa kecil mendengarnya, Edy juga berbalik mengintip melalui spion
tapi sepertinya tidak terlihat olehnya, dia tampak sedikit kecewa. Fanny
sendiri sepertinya sudah tertidur di depan, tapi karena ada safty belt jadinya
tidak terlalu terantuk.
“Pinjam bahumu dong kak”, sambil Jenny
mulai menarik tubuhnya merapat padaku, dan langsung sadar menyenderkan bahunya
padaku tanpa persetujuanku dulu. Lalu dia mengambil jaket milikku yang
kuletakkan tadi di jok mobil pengemudia dan menggunakannya menutup tubuhnya.
Dia meringkukkan tubuhnya naik hingga tubuhnya yang mungil tertutup oleh
jaketku.
Edy menatapku melalui spion, sambil
mengangkat jempolnya dan tersenyum mengejek dan mesum. Sialan, tentu sebagai
laki normal aku akan senang diperlakukan seperti itu, tapi mereka ini mahasiswa
pascasarjana di kampusku, dan aku dosen, ini sepertinya kurang pantas. Paling
tidak aku bukan dosen pengajar mereka.
Aku terus berusaha menemani Edy mengobrol
agar dia juga tidak bosan saat berkendara, dan tetap terjaga dan awas selama
jalur antar kota
ini. Karena beberapa jalanan yang terasa berkelok, tubuh Jenny hampir terjatuh,
dan aku secara refleks lalu merangkul tubuhnya mencegahnya dari terjatuh. Aku
melihat matanya terbuka dan sepertinya dia terbangun, bukannya kembali bangun,
tapi dia malah berganti posisi.
“Biar tidak jatuh”, dia kini tiduran di
pahaku, dia tidur di pahaku. Apa yang bisa kuperbuat di mobil sempit ini,
kakinya terlihat sedikit tertekuk menyentuh pintu, dan paha putihnya kembali
terlihat karena tentunya jaketku tidak bisa menutupinya. Dia menggunakan
jaketku untuk menutupi kepalanya dari cahaya matahari yang mulai terang. Aku
merasa sedikit panik dengan posisinya yang seperti itu, tentunya kepalanya akan
sangat dekat dengan penisku, semoga saja si otong tidak berulah dan tiba-tiba
bangun.
Akupun karena bosan sempat tertidur, dan
ternyata kami sudah sampai ke Muara Enim, sebuah kecamatan kecil yang cukup
ramai dilalui orang, tapi mungkin karena hari raya tempat ini cukup sepi.
Bahkan SPBU yang kami singgahi ini tidak operasional, tapi untung saja terbuka,
jadi Edy bisa menumpang buang air kecil.
Aku masih duduk di kursi belakang, tidak
bergerak karena Jenny masih tidur di pahaku. Fanny sendiri terlihat
mereganggkan tubuhnya, padahal yang aku harapkan di pahaku sekarnag adalah
Fanny, eh malah Jenny. Fanny malah terlihat memaklumi kelakukan Jenny yang
seenaknya tidur dipahaku itu, malah dia hanya cengengesan melihatnya.
Aku sebenarnya juga ingin ke toilet, saat
aku berusaha mengangkat tubuhnya menarik tubuhku keluar, tiba-tiba tangannya
merangkul pinggulku dan tidak membiarkanku pergi. Aduh, apakah dia mengigau
atau dia sengaja, aku tidak bisa melihat wajahnya karena tertutup oleh jaketku.
Aku berusaha mengintipnya tapi tidak berhasil melihat wajahnya dibalik jaket
itu. Akhirnya akupun tidak jadi ke toilet. Edy pun kembali yang membawa
kendaraan kami, hingga spot selanjutnya, Lahat.
Mobil kembali dipacu, tapi aku merasa
sedikit was-was, karena aku tadi tidak sempat buang air kecil, rasanya kurang
nyaman. Tanganku kuletakkan di pundak Jenny yang tertutup jaket, dan tubuhnya
saat ini menghadap ke arah depan mobil atau membelakangiku. Tapi aku merasa ada
pergerakan dari tubuh Jenny, mungkin dia sudah tidak nyaman dengan posisi itu.
Tubuhnyapun berbalik, dan kini dia
terlentang dan tubuhnya menghadap ke atas. Tentunya aku menyingkirkan tanganku
ke samping. Menggantung pada jok mobil baris kedua itu. Sambil menikmati
perjalanan rasanya cukup lama juga ya perjalanan ini, matahari juga sepertinya
sudah hampir di tengah. Aku mulai terkantuk, dan tidak sengaja tangankupun
terjatuh, mengenai pinggir tubuh Jenny.
Aku tidak langsung menariknya, karena
posisiku yang memang sedikit blank karena tergegun akibat kantukku. Terasa
tiba-tiba tangan Jenny meraih tanganku dan menariknya masuk kedalam jaket, dan
membuat tanganku tidak terlihat berada di bawah jaket. Aku sendiri masih
berusaha memproses apa yang terjadi barusan, kini tanganku telah merangkul
perutnya. Terasa bidang dan langsing, terasa hangat tubuh Jenny dari balik
kaosnya itu. terasa sedikit lenganku menyentuh bagian bawah payudaranya yang
sekal, dan montok. Tapi aku bersaha menepis segala birahi yang timbul, mungkin
dia hanya ngigau cari guling. Aku meresakan juga tangannya merangkul tangganku,
menahannya tetap diposisinya. Kubirakan saja, toh hanya merangkulnya, kalau
bisa membantunya tidur mengapa tidak.
Aku melihat tubuh kecil Jenny mulai
bergeliat lagi, tapi tidak berubah dari posisinya. Tapi ada yang lain yang
kurasakan di tanganku, ini kulit, aku menyentuh kulit perutnya secara langsung.
Jenny mengangkat bajunya perlahan keatas membuat telapak tanganku menyentuh
langsung kulit perutnya yang halus itu. Apa yang dia lakukan? Rasa halus
kulitnya, rasa hangat di telapak tanganku, rasa lembut yang sudah lama tidak
kurasakan ini.
Beberapa menit tanganku hanya disana,
merasakan dan menikmati perasaan itu. Tapi perlahan tanganku diarahkannya naik,
ini sudah bukan mengigau lagi, dia ingin aku menyentuh tubuhnya, Jenny
menginginkannya. Tapi apakah harus di mobil ini, dalam perjalanan, dan ada
Fanny dan Edy di barisan depan kami, Kalau ketahuan bisa kacau.
Tanganku menyentuh payudara Jenny,
membuyarkan pikiranku, rasa kenyal dan lembut itu terasa diujung jemariku,
walau masih tertutup oleh pakaian dalamnya. Dia sepertinya menggunakan sportbra
karena aku tidak merasakan cup dari branya itu. Rasanya kenyal dan hangat, ketika
tangan yang mengarahkan tanganku itu tidakku lawan, semakin naik tangan ini,
kini tepat berada di atas gundukan surgawi itu. Tangan Jenny mengencang,
membuat tanganku yang berada di bawahnya juga ikut meremas payudara itu.
Perlahan dengan lembut di bawah arahannya
tanganku terus bergerak, meremas dan merasakan kenyalnya payudara Jenny.
Namun
ketika tangannya telah berhenti menuntunku, aku tetap meremasnya. Tangan nakal
ini terus bergerak, walau otakku terus ingin menghentikannya, tapi tangan ini
terus bergerak. Tentunya perlahan penisku mulai menegang karena perbuatanku
sendiri, perlehan mengeras di balik jinsku.
Sepertinya Jenny menyadari perubahan di
balik celanaku ini, ketika dia mulai menggerakkan tubuhnya. Dia sedikit
memiringkan tubuh bagian atasnya kearahku, tapi kakinya tetap berusaha lurus,
dan dia memperbaiki jaketnya, berharap tubuh miring terlihat oleh Edy dan Fanny
di depan, dan semoga saja tidak. Dengan posisi tubuh yang memiring tersebut aku
bisa lebih leluasa menikmati payudara Jenny.
Wajah Jenny tidak terlihat di balik
jaketku, namun aku merasakan nafasnya menjadi sedikit cepat. Rasanya perlahan
tangan kanannya mulai merogoh resliting celanaku dan menarinya turun, karen
suara lagu dalam mobil yang cukup keras, bunyi reslitingkupun tersamarkan.
Perlahan tapi pasti jemarinya yang lentik berusaha mengeluarkan penisku yang
sudah menegang dan terjebak di balik celana dalamku. Tidak butuh waktu lama,
penisku sudah mencuat keluar dari dalam celana dalamku, dan masih tertutup
jaket.
Terasa deru nafas Jenny yang hangat
menerpa batang penisku yang tegang. Hembusan nafas yang hangat itu semakin
mendekati penisku, dan perlahan rasa basah dangan hangat menyapu batang
penisku. Aku berusaha menahan perubahan nafasku agar tidak terdengar oleh Edy
yang sedang mengemudi, tapi sepertinya dia asik menikmati lagu, dan Fanny
terlihat tertidur di sisi depan.
Aku tidak ingin kalah dari Jenny, aku
kemudian berusaha untuk menyelipkan tanganku masuk dalam sportbranya, dan
ternyata cukup mudah melalui karet bra itu. kini aku bisa menyentuh payudara
kenyalnya secara langsung dan aku mencari putingnya. Ternyata putingnya juga
sudah menegang dan segeraku pilin puting itu dengan perlahan. Terasa perubahan
nafas dari bibir Jenny yang tengah menjilati penisku. Nafasnya perlahan menjadi
lebih tidak beraturan, namun dia dengan cepat sudah bisa mengatur kembali
nafasnya.
Tangan kanannya menekan penisku turun,
membuat lidahnya mampu untuk menyapu kepala penisku, sensasi lidahnya dan rasa
hangat itu membuatku merem melek. Beberapa kali juga dia menyelipkan lidahnya
diantara celah penisku memberikan sensasi yang luarbiasa.
Dia beberapa kali berusaha menarik penisku
agar masuk dalam mulutnya, tetapi sepertinya posisinya tidak memungkinkan untuk
dia memasukkannya kedalam mulut. Akhirnya dia kembali menjilati batang penisku,
tapi rasanya itu sudah membuatku merem melek, permainan lidahnya benar-benar
nikmat. Tangan kananku menyelip masuk kedalam jaket dan mengusap-usap rambut
Jenny yang lembut dan hitam itu.
Aku hanya bisa memejamkan menikmati
sensasi di telapak tanganku dan di penisku, sensasi yang sudah lama tidak
kurasakan, aku tidak membayangkan akan memperolehnya dari Jenny, gadis yang
baruku kenal tidak lebih dari sebulan ini. Aku menjadi bersemangat apa yang
akan kudapat jika kami sudah tiba di Pagaralam nanti, apakah aku bisa menikmati
tubuh Jenny sepenuhnya atau hanya sebatas ini saja. Pikiranku berpetualang dan
tubuhku bergejolak, aku harus mendapatkan seluruhnya.
Aku merasa kenikmatan ini sudah di
ubun-ubun tapi, juiniorku masih jauh dari akan klimaks tentunya. Aku berusaha
menurunkan tanganku, aku ingin menjamah vaginanya, tapi cukup sulit aku untuk
menggapainya, dan tangan Kiri Jenny juga berusaha menahan tanganku, dan kembali
meletakkannya ke atas payudaranya. Ya tanganku kembali menikmati ranumnya
payudara Jenny. Lidah Jenny juga terus menelusuri batang penisku, naik dan
turun, tapi sepertinya dia juga sudah mulai bosan, dia kini berusaha
menyelipkan tangannya dan menarik biji zakarku untuk keluar, untung saja celana
yang kugunakan sedikit longgar, kalau tidak sudah terjepit diantara celana
dalam dan jelana jinsku.
Kini biji zakarku sudah keluar, tapi
sedikit tertekan kearah penisku, itu membuatku malah ingin kencing, karena
tadipun aku tidak sempat mengeluarkan air seniku di SPBU tadi. Bisa gawat nih
kalau aku malah kencing sekarang, tapi sepertinya perjalanan tidak lama lagi,
mungkin sekitar 15 menit lagi kami akan tiba di Lahat, dan semoga segera bisa
singgah di SPBU terdekat. Tapi apakah aku akan bisa bertahan dengan jilatan-jilatan
ini hingga nanti.
Rasanya jilatan Jenny di kantung zakarku
semakin intens, isapan dan kuluman itu semakin cepat, dan juga terasa lidahnya
menyapu seluruh permukaannya, membuat bulukudukku merinding merasakan sensai
itu.
‘pok..’ terdengar kecil suara saat dia
menyedotnya dengan kencang, memberikan rasa sakit tapi nikmat, tapi bisa-bisa
Edy mendengarnya bisa gawat. Tapi beruntung dengan hal itu, rasa ingin bunag
airku menghilang. Beberapa kali terdengar lagi suara itu, tapi sepertinya lagu
berhasil menutupi suara itu.
TIdak lama kami memasuki wilayah Lahat,
dan berharap agar segera bisa tiba di SPBU, agar bisa buang air kalau tidak
bisa gawat. Aku menghentikan usapakan tangan kananku di kepala Jenny, dan
sedikit mendorong kepalanya, kuharap dia mengerti bahwa sebentar lagi kita akan
tiba diperhentian berikutnya.
“Ed, bentar lagi sampai SPBU ya?” aku
sengaja bertanya pada Edy agar Jenny mendengarnya dan menghentikan aktifitasnya
dulu.
“Iya, paling dua kilo lagi sampai, si
Jenny masih tidur?” tanya Edy sambil mengintip lewat spion mobil, terlihat
Fanny juga masih pulas dengan tidurnya.
“Iya nih, kalau nanti sampai SPBU ngak
bangun ya aku bangunin, aku sudah tidak tahan pengen buang air…” kataku sembari
menepuk-nepuk kepala Jenny agar dia mengerti maksudku. Sepertinya dia mengerti
maksudku, karena tidak lama kemudian dia sudah mengehentikan aktifitasnya dan
mendorong penisku masuk kedalam celanaku dan perlahan mengancing reslitingku.
Aku juga menarik tanganku dari payudaranya, dan merapikan pakaiannya.
Tidak sampai 10 menit kemudian kami telah
tiba di sebuah SPBU, SPBU itu terlihat sepi, dan sebenarnya dipalang dengan
bambu, sepertinya memang SPBU itu tutup karena hari raya. Tapi kondisi mendesak
ini, aku harus turun.
“Jen… bangun dulu…” kataku pura-pura
menepuk-nepuk pundaknya. Diapun membuka perlahan jaket yang menutup wajahnya
itu, sambil pura-pura juga baru bangun, memperhatikan sekitarnya.
“sudah sampai kah kak?” tanyanya yang
pastinya sandiwara.
“Belum baru di lahat, masih dua jam lagi
perjalanan ke Pagaralam…”, kataku sambil menjelaskan padanya.
“Kok dibangunin padahal belum juga
sampai…” katanya dengan nada yang merajuk.
“Ah si Adi itu udah kebelet pipis, kalau
kamu tidak bangun bisa-bisa dia ngompol…” kata Edy nyeletuk dari kursi depan.
Jenny seperti menahan tawanya, dan menatapku.
“Kalau kak Adi ngompol, aku basah juga
dong… pergi deh sanah…”, sambil Jenny mendorongku dengan manja. Ah dia itu,
bukan lagi basah kalau tadi aku ngompol, ku cekoki air urin dia.
“Aku ke toilet dulu deh…” sambil membuka
pintu mobil, dan bergerak meninggalkan mobil kami, Fanny, sepertinya kembali
tidur dan Edy, berjalan keluar meninggalkan mobil sambil berusaha mereganggkan
tubuh.
“Aku ikut dong…” terdengar suara dari
Jenny memanggil dan mengikutiku menju kedalam SPBU itu.
Dia merangkulku dengan cepat, tapi aku
refleks memperhatikan Edy dan Fanny, aku tidak melihat Fanny, dan aku rasa dia
tidak akan bisa melihat kami dari dalam mobil, dan Edy sepertinya sedang
mencari sesuatu di bagasi belakang, mungkin air minum. Aku segera mempercepat
langkahku menuju toilet yang terletak di belakang kantor SPBU itu, sedikit
tersembunyi memang. Aku mengecek pintu toiletnya ternyata terbuka, baik yang
pria maupun yang wanita. Tapi bukannya melangkah masuk ke Toilet wanita, Jenny
malah ikut denganku masuk ke toilet pria dan memasuki salah satu bilik dalam
toilet itu.
“Eh, toilet pria…” kataku, sambil membuka
reslitingku dan mulai kencing di toilet berdiri untuk pria dalam ruangan itu.
“Takut kalau sendiri disebelah… mending di
sini, ada kak Adi…” lalu terdengar juga suara desiran air, sepertinya dia juga
buang air kecil di dalam bilik itu.
Setelah selesai buang air kecilku, aku
membasuh tanganku, dan dari belakang Jenny juga sudah keluar. Dengan sedikit
menyempil dia juga ikut mencuci tangannya. Tubuh kami jelas bersentuhan dengan
posisi yang rapat.
“Pantas saja tadi agak rasa pesing,
ternyata mau kencing toh…” sambil tersenyum nakal Jenny menatapku melalui
cermin.
“Ah sialan…” aku lalu mencubit pinggulnya,
membuatnya menjerit kecil. Lalu dengan cepat aku meraih dagunya, lalu mengecup
bibirnya. Dia tampak sempat terkejut namun tidak ada perlawanan malah tangannya
dengan sigap melingkar di leherku. Bibir kami tertaut dan saling mengecup
dengan hangat dan saling merangkul dengan erat dalam toilet SPBU itu.
Aku mengecupnya dengan buas, dan dia juga
menyambutnya dengan sama buasnya. Lidah kami saling berduet dalam mulut kami,
saling meraba sekujur tubuh kami, tangannya di tubuhku dan tanganku di
tubuhnya.
“Quikie?”, bisikku padanya, tanpa suara
Jenny hanya menantapku dan mengangguk. Laluku rangkul tubuh kecilnya dan
kubopong masuk kedalam salah satu bilik toilet, dan kupastikan bilik itu
terkunci. Segera kuluciti kaosku sendiri dan kutarik ketas kaos yang menutupi tubuh
Jennny. Mataku tertegun melihat mulusnya tubuh gadis manis dihadapanku ini.
Tubuhnya mungil dengan payudara yang proporsional dan juga bentuk tubuh yang
ramping dan fit ini. Guratan tubuhnya begitu singset dan menggoda, seperti
biola yang indah dan elegan.
“Ayo melamun…” tegur Jenny dengan
berbisik, aku kembali tersadar dan segera membuka celanaku, ikat pinggang dan
juga seluruhnya, kuletakkan pakaian kami di atas bak closet. Aku kemudian
mengecup lehernya dengan buas menyusuri jenjangnya leher itu dengan cepat, lalu
dengan sekali tarik ku lepaskan sportbranya dari tubuh indah itu.
Kini putingnya terekspose di hadapanku,
dan begitu indah terlihat pink dan menggoda. Tapi waktu kami tidak banyak, akan
ada waktuna aku bisa menikmati keindahan tubuh Jenny nanti, tapi sekarnag aku
ingin menikmati liang senggamahnya.
AKu kemudian segera menurunkan celana
dalamku dan penisku segera mencuat dan berdiri kokoh.
“Besarnya, pantas tadi tidak bisa ku
embat…” kata Jenny sambil tersenyum manja. Aku kemudian menarik celana jins dan
sekaligus celana dalamnya turun hingga lututnya. Terdengar jerita kecil dari
bibir mungilnya itu, dan akupun segera duduk di atas closet yang tertutup itu.
Jenny kini dalam posisi membelakangiku,
dan perlahan ku turunkan tubuhnya, Ku arahkan penisku kedalam liang senggah
Jenny dari belakang. Sekali tarik, kubuat tubuh kecil itu bergetar saat penisku
masuk, kering dan seret.
“AH… pelan kak…”, terdengar desahannya
dengan lembut, pasrah tapi merdu. Kubirkan penisku terdiam sejenak dalam
vagiannya yang kering itu, perlahan kurasakan rasa hangat sudah membasahi
penisku, vaginanya perlahan menerima kehadiran penisku. Lalu akupun perlahan
mulai menggerakkan tubuh kecilnya dengan kedua tanganku mengangkatnya sedikit
lalu menjatuhkannya kembali ke atas penisku. Membuat penisku bergerak kerluar
masuk dengan perlahan.
Kupercepat gerakan kami, kubuat tubuh
Jenny naik turun dengan cepat, dengan bantuan sedikit pahaku membuat tubuhnya
terangkat dan membuat kecepatan keluar masuk penisku semakin cepat, membuatnya
sedikit merancuh.
“Ah…ah…”, terdengar desah halus
dibibirnya, tapi berusaha dia tutupi dengan meletakkan tangannya di depan
mulutnya. Aku gerakkan tubuhnya dengan cepat, aku berusaha meraih kenikmati ini
dengan segera, tapi aku juga ingin dia mencapi klimaksa sebelum diriku.
“Ah…ah… kak…”, aku terus mempercepat
gerakanku, membuat tubuh kecil itu bergetar. Tapi sepertinya tidak lama, Jenny
sudah bergetar, tubuhnya seperti kejang halus, dan desah nafasnya melemah, dia
telah lunglai, dan tidak berdaya lagi.
“AKu keluar kak…” sambil menahan tubuhnya
agar tetap tegang saat penisku merajam vaginannya, tapi sepertinya pun dia
sudah tidak berdaya.
“Di…sudah belum..” terdengar suara Edy
berteriak dari depan toilet. AKu sedikit panik, tapi aku harus segera menjawabnya.
“Belum nih, jadinya BAB gue…” kataku dari
dalam bilik toilet itu, mencegah hal yang tidak diinginkan ku angkat kaki Jenny
keatas, jaga-jaga jika Edy melihat ke bawah bilik.
“Si Jenny mana ya?”, tanya Edy lagi, sudah
kuduga dia akan menanyakan itu.
“Ngak tahu, aku dari tadi dalam sini
brooo…” jawabku asal kena biar dia cepat pergi.
“Ok aku cari dulu…”, lalu suara derap kaki
Edy menghilang, semoga dia tidak curiga pada kami dan segera pergi.
Akupun tidak ingin menarik curiga lagi,
aku dan Jenny segera berbenah dan kembali kemobil, dengan alasan Jenny sehabis
dari toilet berkeliaran sekitar SPBU untuk mencari toko yang buka, dan ternyata
tidak ada. AKhirnya kami melanjutkan perjalanan ke Pagaralam, dan setelah
kejadian itu aku dan Jenny belum memiliki kesempatan lagi untuk mengulanginya.
Komentar
Posting Komentar