By : Kucing Rumah
Toko ini adalah hasil jerih payahku sendiri. Dengan tabungan dari bekerja sebagai admin selama tiga tahun, aku memberanikan diri membuka usaha kecil-kecilan ini. Setiap hari aku berdiri di balik meja kasir, melayani ibu-ibu yang membeli beras, telur, minyak goreng, dan apa pun kebutuhan sehari-hari mereka. Kadang ada juga pria muda yang mampir, entah karena memang butuh sesuatu, atau hanya ingin ngobrol.
Pagi di Toko Sembako 88
Hari ini seperti biasa, aku membuka toko pukul 6 pagi. Suara langkah kaki dan obrolan orang mulai ramai di gang depan toko. Tak lama, Bu Siti, salah satu pelanggan setiaku, datang membawa tas belanja.
“Pagi, Lin! Tumben nggak buka lebih pagi?” tanyanya sambil tersenyum.
Aku tersenyum balik. “Pagi, Bu Siti! Tadi kesiangan sedikit, habis begadang nyusun stok.”
“Ih, kerja terus. Harus jaga kesehatan, lho. Masa gadis cantik kayak kamu nggak ada yang ngurusin?” godanya sambil tertawa kecil.
Aku hanya tertawa sambil mulai menakar beras pesanannya. “Kalau sudah ada yang mau, Bu, pasti saya urusin juga. Ini berasnya ya, 5 kilo. Minyak goreng sekalian?”
Pria Muda yang Kepo
Kadang, pembeli pria muda suka mampir dengan alasan yang terasa dicari-cari. Seperti Deni, tetangga sebelah gang.
“Pagi, Kak Lina! Ada kopi hitam sama gula kiloan, nggak?” tanyanya sambil mengusap rambutnya yang berantakan.
“Pagi, Den. Ada. Kamu sering beli kopi, nggak takut begadang terus?” balasku sambil menyerahkan kopi sachet dan gula.
Deni tertawa kecil. “Ah, biar begadang juga nggak apa-apa, Kak. Kalau capek, kan tinggal mampir ke sini buat lihat Kak Lina. Langsung semangat lagi.”
Aku menggeleng sambil tertawa kecil. “Aduh, gombal banget. Nanti saya tagih ekstra, lho, kalau gitu.”
“Boleh, asal Kak Lina juga sekalian jadi bosnya,” jawab Deni dengan senyum jahil.
Pak Wira yang Suka Goda
Ada juga pelanggan seperti Pak Wira, pria paruh baya yang tinggal tiga rumah dari sini. Ia sudah punya istri, tapi hampir setiap hari datang untuk membeli sebatang rokok.
“Lina, sudah sarapan belum?” tanyanya dengan nada ramah seperti biasa.
“Sudah, Pak. Bapak sendiri?” jawabku sambil mengambilkan rokoknya.
“Belum, nih. Kalau ada yang masakin, kan enak. Lina bisa masak, kan?” tanyanya sambil tersenyum lebar.
Aku hanya tertawa kecil, mencoba menjaga suasana tetap nyaman. “Bisa, Pak. Tapi Bapak kan sudah ada yang masakin di rumah.”
“Ya, tapi masakan dari tangan yang cantik seperti Lina pasti beda rasanya,” katanya sambil tertawa, sedikit terlalu lama memandangku.
Aku menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa tidak nyaman. “Ini rokoknya, Pak. Lima ribu, ya.”
Pak Wira tertawa kecil, membayar, lalu melangkah keluar toko sambil melambaikan tangan.
Penutup Hari
Walaupun ada pelanggan yang suka menggoda, aku selalu berusaha menjaga keramahan dan profesionalisme. Toko kecil ini adalah tempatku mencari rezeki, dan pelanggan adalah bagian dari hidupku sekarang. Kadang, saat tutup toko dan menghitung hasil penjualan hari itu, aku teringat obrolan mereka. Aku tersenyum sendiri, bersyukur bisa menjadi bagian dari kehidupan mereka, meski hanya lewat sekantong beras atau sebungkus rokok.
Setiap hari di Toko Sembako 88 adalah cerita baru, dan aku menikmatinya. Siapa tahu, dari sini, aku bukan hanya membantu memenuhi kebutuhan mereka, tapi juga menemukan kisah hidupku sendiri.
Persaingan dan Tuduhan
Toko Sembako 88 tidak hanya menarik perhatian pembeli, tetapi juga menjadi buah bibir di antara para pemilik warung di sekitar. Kebanyakan adalah ibu-ibu yang sudah lama membuka usaha sembako sebelum aku datang. Mereka tidak menyukai cara aku berjualan, terutama karena aku sering memberi harga sedikit lebih rendah daripada mereka. Aku tidak bermaksud merusak harga pasaran; aku hanya ingin barang-barangku terjangkau bagi warga sekitar.
Salah satu yang paling terang-terangan mengungkapkan ketidaksukaannya adalah Bu Yati, seorang wanita gempal yang memiliki warung sembako tak jauh dari toko milikku. Hari itu, dia datang ke tokoku dengan wajah berkerut, kedua tangannya berkacak pinggang.
Konfrontasi di Toko
“Lina! Saya mau bicara!” teriaknya dari depan toko, membuat beberapa pelanggan yang sedang mengantri menoleh.
Aku mengangkat kepala dari timbangan beras dan tersenyum kecil. “Iya, Bu Yati. Ada apa?” tanyaku lembut.
Dia melangkah masuk, langsung berdiri di hadapanku dengan mata menyipit tajam. “Saya dengar kamu jual terigu lebih murah dari saya. Itu benar?”
Aku tetap tenang, meskipun nadanya membuat suasana terasa tegang. “Iya, Bu. Saya memang lagi ada promo untuk terigu. Ada stok lebih, jadi saya jual sedikit lebih murah.”
“Promo? Promo apaan?! Kamu tuh merusak harga pasar, tahu nggak? Gara-gara kamu, pelanggan saya semua pindah ke sini!” suaranya meninggi. Beberapa pelanggan mulai berbisik-bisik.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap ramah. “Bu Yati, saya nggak bermaksud begitu. Ini cuma strategi dagang saya. Kalau harga saya murah, pelanggan kan juga senang. Nggak ada niat apa-apa, Bu.”
“Tapi kamu sadar nggak, kalau caramu ini bikin orang lain susah?! Kamu cantik, Lina, pelanggan pria pasti pada betah di sini. Kamu nggak cuma jual murah, tapi juga pakai senyum-senyum manis buat godain mereka! Dasar nggak tahu diri!”
Kata-kata itu menampar telingaku, tapi aku tetap berusaha tersenyum. “Bu, saya hanya berusaha ramah ke semua pelanggan, nggak peduli mereka pria atau wanita. Kalau ada yang salah paham, itu di luar kendali saya.”
Tanggapan Pelanggan
Salah satu pelanggan, Bu Siti, yang kebetulan sedang duduk menunggu belanjaannya, ikut angkat bicara.
“Bu Yati, jangan gitu dong. Lina tuh baik, dia nggak pernah pilih-pilih pembeli. Kalau warungnya ramai, itu karena pelayanannya bagus, bukan karena dia menggoda siapa-siapa.”
“Iya, Bu,” sambung Pak Rahmat, salah satu pelanggan tetap yang sering membeli rokok. “Saya ke sini bukan karena Lina cantik, tapi karena barang-barangnya murah dan lengkap.”
Bu Yati mendengus kesal, tapi tampaknya mulai merasa tersudut. Dia melirik sekeliling, lalu menatapku lagi.
“Kamu hati-hati aja, ya, Lina. Nggak semua orang suka caramu jualan.”
Aku hanya tersenyum kecil. “Terima kasih, Bu, sudah mengingatkan. Saya akan tetap berusaha yang terbaik. Kalau ada masalah, saya terbuka untuk bicara baik-baik.”
Bu Yati mendelik sekali lagi sebelum pergi dengan langkah berat. Setelah dia pergi, suasana di toko kembali seperti semula.
Obrolan Setelah Kejadian
Setelah semua pelanggan pergi, Bu Siti mendekat ke meja kasir. “Sabar ya, Lin. Namanya juga orang usaha, pasti ada yang iri. Kamu tetap aja kayak biasanya. Kita, para pelanggan, tahu kok mana yang bener.”
Aku tersenyum lega. “Makasih, Bu Siti. Saya cuma pengin dagang dengan cara saya. Nggak nyangka bakal jadi masalah.”
“Masalah mah pasti ada, Lin. Tapi kalau niat kamu baik, pasti rezekinya lancar terus,” katanya sambil menepuk pundakku.
Penutup Hari yang Berat
Setelah tutup toko malam itu, aku duduk di kursi kecil di belakang meja kasir, merenung. Hidup memang tidak selalu mudah. Persaingan dan gosip mungkin akan terus ada, tapi aku tidak boleh menyerah. Aku hanya perlu fokus pada usahaku, melayani pelanggan sebaik mungkin, dan percaya bahwa usaha keras dan kejujuran akan membawa hasil yang baik.
Toko Sembako 88 adalah mimpiku. Aku akan terus berjuang, apa pun yang terjadi.
Pertemuan dengan Pemasok Telur Ayam
Hari itu matahari cukup terik. Toko Sembako 88 sedang sepi karena sudah lewat jam sibuk pagi, ketika biasanya ibu-ibu belanja. Aku sedang menyusun ulang stok mi instan di rak ketika suara klakson mobil pickup terdengar dari depan toko.
“Telur ayam lagi nih,” gumamku sambil melongok keluar. Benar saja, sebuah mobil pickup hitam berhenti di depan toko. Seorang pria dengan kemeja flanel biru keluar, tersenyum hangat sambil melambaikan tangan.
“Pagi, Lina! Masih semangat?” sapanya dengan nada ceria.
Aku tersenyum balik. “Pagi, Mas Ardi! Semangat terus. Mas Ardi sendiri gimana? Nggak capek keliling?”
“Namanya juga kerja. Tapi kalau mampir ke sini, capeknya hilang,” balasnya sambil mengangkat peti telur dari bak mobilnya.
Aku tertawa kecil, menggeleng sambil menyiapkan tempat di rak telur. “Mas Ardi ini ya, bisa aja ngomongnya.”
Obrolan di Toko yang Sepi
Setelah selesai menurunkan telur, Ardi duduk di kursi kecil dekat kasir sambil mengelap keringatnya dengan sapu tangan. Toko masih sepi, jadi aku duduk di belakang meja kasir, menikmati obrolan santai dengannya.
“Lina, tiap kali saya ke sini, toko kamu makin ramai aja. Gimana caranya?” tanyanya sambil menatapku dengan senyum ramah.
Aku tersenyum, sedikit malu. “Ah, nggak juga, Mas. Saya cuma berusaha ramah ke semua pelanggan. Sama, ya, jual barang dengan harga wajar aja.”
“Wajar tapi lebih murah dari yang lain. Itu yang bikin pelanggan betah,” godanya.
Aku tertawa kecil. “Kan supaya mereka balik lagi, Mas. Kalau harga tinggi, nanti mereka lari ke tempat lain.”
Ardi mengangguk, lalu menatapku dengan serius. “Tapi kalau kamu, Lin, kamu sendiri nggak mau lari ke mana-mana, kan?”
Aku mengernyit, bingung dengan maksudnya. “Maksudnya, Mas?”
“Ya… maksud saya, kamu udah bahagia di sini? Sendirian? Nggak pernah kepikiran buat punya teman hidup?” tanyanya dengan nada hati-hati.
Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Bahagia, sih, Mas. Tapi soal teman hidup… ya belum ada aja yang cocok. Lagian saya masih sibuk ngurusin toko.”
Ardi tertawa kecil, tapi matanya tetap menatapku dengan lembut. “Lina, kamu tahu nggak? Di luar sana banyak yang mau jadi teman hidup kamu. Tinggal kamu kasih kesempatan aja.”
Aku merasa pipiku memanas, tapi mencoba tetap tenang. “Mas Ardi ini ngomong apa sih, jadi nggak enak didengar.”
Haha.. ya sudah saya cuma becanda aja kok. ohh iya Lina, udah makan siang belum?” sapanya sambil menaruh kantong plastik di meja kasir.
Aku tersenyum kecil, menggeleng. “Belum, Mas. Belum sempat. Ini baru selesai ngurus stok.”
“Pas banget. Saya tadi beli nasi Padang di jalan, kepikiran buat bawa dua bungkus. Ayo makan bareng, kan sepi nih,” katanya sambil mengeluarkan bungkus nasi dari kantong plastik itu.
Aku tertawa kecil. “Wah, Mas Ardi kayaknya tahu aja kalau saya suka lupa makan.”
“Bukan lupa, Lin. Kamu terlalu sibuk. Makanya, ada yang harus ngingetin,” balasnya dengan nada bercanda, tapi matanya terlihat serius.
Obrolan Santai
Kami duduk di bangku kecil dekat meja kasir. Ardi membuka bungkus nasi Padang dan menyerahkannya padaku. Aromanya membuat perutku keroncongan.
“Mas Ardi, nggak rugi nih makan di sini? Kan bisa makan di rumah,” tanyaku sambil membuka bungkus nasi.
“Nggak rugi, Lin. Malah untung. Bisa ngobrol sama kamu sambil makan, itu kesempatan langka,” jawabnya santai sambil menyendok nasi.
Aku hanya tersenyum kecil. Suasana hening sejenak, hanya suara sendok dan piring yang terdengar. Setelah beberapa suap, Ardi mulai bicara lagi.
“Lin, keluarga kamu di desa semua ya?” tanyanya, nada suaranya terdengar penasaran.
“Iya, Mas. Papa sama Mama tinggal di desa. Saya di sini sendirian, ngerantau buat cari rezeki,” jawabku sambil tersenyum tipis.
“Sendirian? Nggak ada saudara atau teman dekat di sini?”
Aku menggeleng. “Nggak ada, Mas. Awalnya berat juga, sih. Tapi mau gimana lagi? Saya anak sulung, harus bantu keluarga. Papa udah tua, nggak bisa kerja berat lagi. Jadi saya harus ambil tanggung jawab ini.”
Ardi terdiam sejenak, matanya menatapku penuh kekaguman. “Kamu hebat, Lin. Jarang ada yang mau berkorban kayak gitu buat keluarga. Pasti sering kesepian, ya?”
Aku tertawa kecil, meskipun ada rasa sedih di dalamnya. “Iya, Mas. Kadang kalau malam, setelah tutup toko, rasanya sepi banget. Tapi saya selalu ingat tujuan saya di sini, itu yang bikin saya kuat.”
Ardi mengangguk pelan. “Kamu luar biasa, Lin. Nggak semua orang punya keberanian buat jalanin hidup kayak kamu.”
Perbedaan Budaya yang Mengganjal
Ardi terdiam sejenak, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Aku menatapnya bingung.
“Mas, kok tiba-tiba diem?” tanyaku, mencoba mencairkan suasana.
Dia tersenyum tipis, tapi ada keraguan di matanya. “Lin, aku boleh tanya sesuatu nggak? Tapi kalau nggak nyaman, nggak usah jawab.”
“Tanya aja, Mas. Kalau saya bisa jawab, pasti saya jawab,” kataku sambil tersenyum.
Ardi menghela napas sebelum bicara. “Aku sering dengar cerita kalau gadis Chinese jarang mau serius sama cowok pribumi. Katanya karena perbedaan budaya. Itu benar, nggak?”
Aku terkejut mendengar pertanyaannya, tapi aku mencoba menjawab dengan jujur. “Mungkin ada yang seperti itu, Mas. Tapi nggak semua, kok. Semua kembali ke orangnya masing-masing. Kalau saya, sih, selama orang itu baik dan tulus, budaya nggak jadi masalah besar.”
Ardi terlihat lega mendengar jawabanku, meskipun ia tetap berusaha menyembunyikan ekspresinya. “Oh, gitu ya. Syukurlah kalau kamu mikirnya gitu.”
Aku tertawa kecil. “Mas Ardi kok nanyanya serius banget? Ada apa nih?”
Dia tergagap sedikit, lalu tertawa. “Ah, nggak apa-apa, Lin. Cuma penasaran aja.”
Makin Dekat
Setelah selesai makan, Ardi membantu membereskan bungkus nasi dan meletakkannya di tempat sampah. Sebelum pergi, dia menatapku dengan senyum hangat.
“Lin, kamu jangan sungkan buat cerita apa pun ke aku, ya. Kalau ada apa-apa, aku selalu siap bantu.”
Aku tersenyum, merasa ada ketulusan dalam kata-katanya. “Makasih, Mas. Saya nggak tahu harus bilang apa, tapi saya senang punya teman seperti Mas Ardi.”
Dia tersenyum lebar, lalu berjalan keluar toko, masuk ke mobil pickup-nya. Aku menatapnya pergi, merasa ada sesuatu yang hangat di dalam hati. Mungkin, hidup di kota ini tidak akan selalu sepi.
Pagi yang Tegang di Toko Sembako 88
Hari itu Toko Sembako 88 tampak lebih ramai dari biasanya. Aku sedang sibuk menakar beras untuk Bu Siti ketika suara Bu Yati terdengar nyaring dari depan toko.
"Lina! Kamu ada di dalam, kan?!" serunya dengan nada tinggi.
Aku mengangkat kepala, melihat Bu Yati berdiri di pintu masuk bersama tiga orang temannya. Mereka tampak penuh amarah, dan pelanggan lain mulai berbisik-bisik. Aku berusaha tetap tenang meskipun hatiku sudah berdebar-debar.
"Iya, Bu Yati. Ada apa lagi, ya?" tanyaku sambil mencoba tersenyum.
Bu Yati melangkah masuk, kali ini tidak sendiri. Teman-temannya mengikutinya dengan wajah yang sama-sama tidak bersahabat.
"Kamu ini ya, makin lama makin keterlaluan! Jual barang murah, oke lah, itu urusan kamu. Tapi cara kamu berpakaian itu, apa nggak malu? Kamu pikir ini pasar malam apa? Buka toko, tapi bajunya kayak mau cari perhatian pelanggan laki-laki!" serang Bu Yati sambil melirik tajam ke arahku.
Aku terkesiap mendengar ucapannya. Hari itu aku hanya mengenakan kaos biasa dan celana jeans, sama seperti biasanya. Tidak ada yang berlebihan, menurutku. Tapi kata-katanya menusuk hati.
"Bu Yati, maksud saya..." Aku mencoba bicara, tapi Bu Yati memotong.
"Jangan bilang nggak ada maksud apa-apa! Lihat saja, pelanggan laki-laki di sini pada suka nongkrong lama-lama. Kamu kira kami semua nggak tahu trikmu? Apa ini toko sembako atau apa?!" serunya dengan suara yang semakin tinggi.
Teman-temannya ikut menimpali.
"Iya, Bu Yati benar. Lina ini pura-pura polos, tapi sebenarnya cari perhatian laki-laki. Dasar perempuan nggak tahu malu!"
"Kita yang dagang dengan jujur malah jadi kalah saing. Orang kayak dia memang merusak lingkungan!"
Tangis yang Tak Tertahankan
Aku merasa tubuhku bergetar. Semua tuduhan itu tidak benar, tapi aku tidak bisa menemukan kata-kata untuk membela diri. Mataku mulai memanas, dan air mata mulai menggenang. Pelanggan di toko hanya bisa menonton dalam diam, tidak ada yang berani bicara.
"Bu Yati, saya tidak pernah bermaksud seperti itu. Saya cuma jualan seperti biasa," kataku pelan, suaraku bergetar.
"Ah, sudah lah! Jangan sok polos! Dasar gadis muda yang cuma mengandalkan wajah!" balas Bu Yati dengan sinis.
Aku tidak bisa menahan tangis lagi. Air mata jatuh begitu saja, dan aku membalikkan badan, berusaha menyembunyikan wajahku. Tapi sebelum aku sempat melangkah pergi, suara klakson pickup terdengar di depan toko.
"Eh, ada apa ini ribut-ribut?" tanya suara yang familiar. Aku menoleh dan melihat Ardi berjalan masuk, wajahnya penuh tanda tanya.
Ardi Melerai
"Ada apa ini, Bu Yati? Kok kelihatannya rame banget?" tanya Ardi, berdiri di antara aku dan Bu Yati.
Bu Yati menoleh, masih dengan wajah kesal. "Oh, Ardi. Kamu juga sering ke sini, kan? Nggak usah pura-pura nggak tahu. Lina ini cara jualannya nggak benar! Jual barang murah biar pelanggan pindah ke sini, terus gayanya sok menggoda pelanggan laki-laki. Nggak cocok untuk lingkungan kita!"
Ardi mengerutkan kening. "Bu, saya sering ke sini karena barang-barangnya memang bagus dan murah. Tapi soal gayanya Lina, saya rasa itu nggak ada hubungannya dengan cara dia jualan."
"Ah, kamu juga kena pengaruhnya, Ardi. Laki-laki memang gampang terpesona," sahut salah satu teman Bu Yati.
Ardi menarik napas panjang, lalu berkata tegas, "Bu, Lina ini kerja keras sendirian. Dia nggak pernah bikin masalah ke siapa pun. Kalau toko dia ramai, itu karena pelayanannya bagus, bukan karena yang Bu Yati tuduhkan."
Ucapan Ardi membuat Bu Yati dan teman-temannya terdiam sejenak. Tapi Bu Yati masih sempat melontarkan kalimat terakhir sebelum pergi. "Kita lihat saja, Lina. Cara seperti ini nggak akan bertahan lama."
Setelah mereka pergi, suasana di toko menjadi sunyi. Pelanggan yang tadi menonton perlahan meninggalkan toko, tidak ingin terlibat lebih jauh. Aku duduk di kursi kecil di belakang meja kasir, air mata masih mengalir.
Percakapan yang Menenangkan
Ardi mendekat, menyerahkan sebotol air mineral yang diambil dari rak. "Lina, minum dulu. Tenang, ya. Mereka cuma iri," katanya pelan.
Aku menggeleng, menahan tangis. "Kenapa mereka selalu menuduh saya begitu, Mas? Apa saya salah jualan di sini?"
Ardi duduk di bangku kecil di dekatku, menatapku dengan lembut. "Kamu nggak salah, Lin. Kadang orang yang nggak bisa bersaing dengan cara sehat suka mencari alasan buat menjatuhkan orang lain. Kamu nggak perlu dengar mereka."
"Tapi mereka bilang saya... saya..." Aku terisak, tidak sanggup menyelesaikan kalimatku.
Ardi menghela napas, lalu menepuk pundakku dengan lembut. "Lina, kamu tahu siapa diri kamu. Kamu kerja keras, jujur, dan nggak pernah berniat buruk ke siapa pun. Itu yang penting. Biarkan mereka bicara, tapi jangan biarkan kata-kata mereka memengaruhi kamu."
Aku menghapus air mata dengan punggung tangan, mencoba tersenyum. "Makasih, Mas. Kalau nggak ada Mas Ardi tadi, saya nggak tahu harus gimana."
Ardi tersenyum hangat. "Kamu nggak sendirian, Lin. Saya selalu ada kalau kamu butuh bantuan."
Semakin Dekat
Sejak kejadian itu, aku merasa kehadiran Ardi membawa ketenangan dalam hidupku. Dia tidak hanya seorang pemasok, tapi juga teman yang selalu mendukungku. Setiap kali dia datang mengantar barang, aku merasa lebih ringan menjalani hari-hariku.
Suatu sore, ketika toko sedang sepi, Ardi kembali datang. Kali ini, dia membawa sebungkus gorengan dan makanan ringan.
"Lin, aku tahu hari-hari kamu berat. Jadi aku bawain ini biar kita bisa ngobrol santai," katanya dengan senyum.
Aku tertawa kecil, menerima teh yang dia sodorkan. "Mas Ardi ini baik banget. Nggak ada pemasok lain yang kayak Mas."
"Ya karena Lina juga nggak ada yang lain," jawabnya sambil tersenyum lebar.
Obrolan kami sore itu membuatku semakin yakin bahwa Ardi adalah orang yang tulus.
Semua kejadian ini menyadarkanku bahwa aku tidak sendiri. Di Toko Sembako 88 ini, bukan hanya rezeki yang kutemukan, tapi juga seseorang yang membuat hidupku lebih berarti.
Isu Baru di Toko Sembako 88
Hari itu Toko Sembako 88 ramai seperti biasa. Lina sedang sibuk melayani pembeli yang mayoritas ibu-ibu rumah tangga. Di tengah suasana sibuk itu, terdengar suara bisik-bisik di luar toko. Rupanya, Bu Yati sedang berdiri di seberang jalan bersama beberapa ibu-ibu lain, berbicara dengan nada yang sengaja dikeraskan agar terdengar.
“Pantes aja toko itu selalu ramai, ya. Katanya pakai pesugihan. Barang-barangnya murah, tapi pasti ada tumbalnya,” ucap Bu Yati dengan nada penuh sindiran.
“Iya, saya dengar juga. Lagian, nggak heran, kan? Toko baru, kok tiba-tiba langsung laris. Ada yang aneh pasti,” sahut salah satu temannya, Bu Lastri.
Lina berusaha tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, beberapa pelanggan yang mendengar bisikan itu mulai saling pandang dengan raut wajah penuh keraguan.
“Bu, betul nggak itu? Kok saya jadi takut belanja di sini,” bisik salah satu pelanggan, Bu Rina, saat membayar di kasir.
Lina menarik napas panjang, mencoba tersenyum meski hatinya sedikit perih. “Nggak usah dengarkan mereka, Bu. Saya cuma jualan biasa, kok. Semua barang saya beli dari distributor resmi. Kalau ada yang bilang macam-macam, itu cuma fitnah.”
Bu Siti, pelanggan setia Lina yang berdiri di dekat pintu, langsung ikut menimpali. “Iya, Bu Rina. Jangan percaya omongan orang iri. Saya langganan di sini, nggak ada yang aneh. Lagian, kalau murah kan memang strategi jualan. Nggak ada hubungannya sama pesugihan.”
Mendengar pembelaan itu, Bu Yati malah semakin bersemangat menyebar isu. “Ya, terserah kalian mau percaya atau nggak. Tapi saya cuma kasih tahu aja. Hati-hati, nanti ada apa-apa,” katanya sambil berbalik pergi dengan langkah penuh kemenangan.
Isu Rasis yang Menyakiti Hati
Beberapa hari kemudian, Bu Yati kembali membuat ulah. Kali ini, ia mencoba memainkan isu rasis dengan mendekati para pelanggan yang sedang dalam perjalanan menuju toko Lina.
“Lho, Bu Sari, kok belanja di sana terus sih? Tahu nggak, si Lina itu kan orang pendatang. Uangnya nggak akan muter di kita. Kita malah kasih rezeki ke orang luar,” katanya sambil menahan lengan Bu Sari.
Bu Sari tampak bingung. “Tapi di sana murah, Bu. Lagian Lina kan baik, selalu kasih bonus kalau belanja banyak.”
“Mau murah gimana pun, kita ini harus saling dukung sesama orang kita. Jangan mau dimanfaatkan,” balas Bu Yati dengan nada penuh emosi.
Beberapa pelanggan mulai terpengaruh dengan isu itu, meskipun banyak juga yang tetap membela Lina karena mengenalnya sebagai pribadi yang jujur dan baik hati.
Perlawanan Lina
Setelah beberapa minggu mendengar gosip yang semakin menyebar, Lina memutuskan untuk mengambil sikap. Pada suatu pagi, saat toko sedang agak sepi, ia mengajak Bu Siti untuk berbicara.
“Bu Siti, saya bingung harus gimana. Gosip-gosip itu bikin saya sedih. Apa saya harus berhenti jualan?” tanyanya dengan suara bergetar.
Bu Siti langsung menepuk bahu Lina dengan lembut. “Lina, jangan pernah menyerah. Kamu nggak salah apa-apa. Gosip itu cuma datang dari orang yang iri. Selama kamu jujur, pelanggan pasti tetap percaya.”
Mendengar nasihat itu, Lina merasa lebih kuat. Ia memutuskan untuk tidak lagi hanya diam. Ia mulai lebih aktif menjelaskan kepada para pelanggan bahwa ia menjalankan usahanya dengan cara yang halal dan jujur.
“Kalau ada yang ragu, saya selalu terbuka untuk menunjukkan nota pembelian barang-barang di sini. Saya nggak mau ada yang merasa curiga,” katanya kepada setiap pelanggan yang datang.
Kedatangan Ardi
Pada suatu sore, saat suasana toko sedang lengang, Ardi mampir dengan membawa kantong plastik berisi makanan ringan.
“Lina, kamu kelihatan capek. Ada apa?” tanyanya sambil menaruh barang di meja kasir.
Lina tersenyum kecil, meski matanya terlihat lelah. “Mas Ardi, kamu tahu kan gosip-gosip yang beredar? Kadang rasanya nggak kuat dengar mereka ngomongin hal-hal yang nggak benar.”
Ardi mengangguk, lalu menatap Lina dengan serius. “Aku dengar semuanya, Lin. Tapi kamu nggak boleh kalah sama omongan mereka. Mereka cuma iri. Kamu harus percaya diri. Aku yakin, pelanggan kamu tahu mana yang benar.”
“Tapi mereka main isu rasis juga, Mas. Itu yang bikin sakit hati,” kata Lina sambil menunduk.
Ardi mengepalkan tangan, tampak marah. “Lin, kalau mereka terus-terusan seperti ini, aku bantu. Kita bisa bicara ke pihak RT atau RW. Nggak boleh ada yang merusak usaha orang dengan cara kotor seperti itu.”
Lina terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Makasih, Mas Ardi. Kamu selalu ada buat aku.”
Ardi tersenyum hangat. “Aku nggak akan biarin orang-orang jahat menang. Kamu orang baik, Lin. Usahamu halal, dan aku bangga sama kamu.”
Toko Semakin Ramai
Meskipun gosip terus beredar, pelanggan Lina yang loyal tetap datang. Bahkan, semakin banyak orang yang mendengar tentang pelayanannya yang ramah dan harga barangnya yang terjangkau.
“Bu, kenapa tetap belanja di sini? Kan katanya tokonya begini-begitu,” tanya seorang ibu kepada Bu Siti.
Bu Siti tersenyum lebar. “Saya belanja di sini karena saya tahu Lina orang baik. Gosip itu cuma omong kosong.”
Lina merasa semakin percaya diri menghadapi hari-harinya. Meskipun tantangan terus datang, ia tidak lagi merasa sendirian. Dukungan dari pelanggan setia dan kehadiran Ardi di sisinya membuatnya yakin bahwa ia mampu melewati semuanya.
“Gosip akan selalu ada,” pikirnya sambil melayani pelanggan. “Tapi kejujuran dan kebaikan pasti akan menang pada akhirnya.”
Pagi yang Kelam
Matahari belum sepenuhnya terbit ketika Lina tiba di depan tokonya. Namun, ia langsung merasakan ada yang tidak beres. Gembok tokonya rusak, pintu sedikit terbuka. Dengan perasaan campur aduk antara takut dan panik, ia mendorong pintu lebih lebar.
Rak-rak yang biasanya penuh dengan barang dagangan kini kosong melompong. Uang yang ia simpan di laci meja pun lenyap. Lina terduduk di lantai, lemas. Air mata mulai mengalir di pipinya.
Tak lama kemudian, beberapa tetangga datang setelah mendengar kabar. Namun, Ibu Yati, yang selama ini sering menyindir dan iri, malah mendekati Lina dengan senyuman mengejek.
"Ya ampun, Lin, kok bisa begini, ya? Mungkin ini teguran dari Yang Di Atas karena cara kamu jualan itu nggak bener," katanya dengan nada sinis.
Lina hanya terdiam. Kata-kata itu menusuk hatinya lebih dalam daripada kehilangan barang-barang di tokonya.
Dukungan Ardi
Saat Lina masih terisak di depan tokonya, Ardi datang dengan tergesa-gesa setelah mendengar kabar dari tetangga lain. Ia langsung menghampiri Lina dan membantunya berdiri.
“Lina, aku dengar apa yang terjadi. Kamu nggak apa-apa? Kamu terluka?” tanya Ardi khawatir.
Lina menggeleng, namun air matanya terus mengalir. “Mas Ardi, semua barangku habis. Uang di laci meja juga hilang. Gimana aku mau terusin usaha kalau begini?”
Ardi mengepalkan tangan, wajahnya menunjukkan kemarahan yang ia coba tahan. “Lina, aku tahu ini berat. Tapi kita nggak bisa menyerah. Kita harus lapor polisi, dan aku akan bantu kamu bangkit lagi.”
“Aku nggak tahu, Mas. Modalku udah habis. Aku nggak punya apa-apa lagi,” kata Lina dengan suara bergetar.
Ardi menatap Lina dengan penuh empati. “Dengar, Lin. Aku nggak mau lihat kamu menyerah. Aku punya sedikit tabungan, dan aku mau bantu kamu mulai lagi. Kita beli barang-barang dagangan yang paling laku dulu. Kamu nggak sendiri, Lin.”
Bangkit dari Kejatuhan
Dengan dukungan Ardi, Lina mulai mengumpulkan semangatnya kembali. Ardi memberikan sebagian tabungannya sebagai modal awal. Mereka pergi ke pasar bersama untuk membeli barang-barang yang paling dibutuhkan oleh pelanggan setia Lina. Ardi juga membantu memasang gembok baru yang lebih kuat di pintu toko.
Beberapa tetangga yang mendengar kabar itu juga datang untuk memberi dukungan. Bahkan Bu Siti membawa beberapa barang dagangan miliknya untuk membantu Lina.
“Lina, kamu pasti bisa. Semua orang di sini tahu kamu jujur,” kata Bu Siti sambil memeluk Lina.
Perlahan, toko Lina kembali beroperasi. Meskipun stok barang masih terbatas, pelanggan setianya tetap datang. Mereka percaya pada Lina, dan hal itu memberi Lina kekuatan untuk terus maju.
Kebahagiaan yang Baru
Hubungan Lina dan Ardi pun semakin dekat setelah kejadian itu. Lina merasakan perhatian Ardi yang tulus dan dukungannya yang tak pernah surut. Ia merasa nyaman berbagi cerita, termasuk kekhawatiran dan impiannya.
Suatu sore, saat mereka duduk di depan toko yang baru selesai direnovasi, Ardi menatap Lina dengan serius. “Lin, aku tahu hidup kamu nggak selalu mudah. Tapi aku ingin selalu ada di sisimu, membantu kamu melewati semuanya.”
Lina terdiam sejenak, menatap mata Ardi. “Mas Ardi, aku nggak tahu gimana caranya aku bisa balas semua kebaikanmu.”
Ardi tersenyum hangat. “Aku nggak minta balasan apa-apa, Lin. Aku cuma mau kamu tahu kalau aku peduli sama kamu.”
Keheningan sejenak menyelimuti mereka, namun kehangatan perasaan yang tumbuh di antara mereka terasa begitu nyata. Lina mengangguk pelan, senyuman kecil menghiasi wajahnya. “Mas, kalau kamu serius, aku nggak keberatan kalau hubungan kita lebih dari sekadar teman.”
Ardi tertawa kecil, lalu menggenggam tangan Lina. “Aku serius, Lin. Mulai sekarang, kita jalani semuanya bersama, ya?”
Akhir yang Bahagia
Dengan dukungan Ardi, toko Lina perlahan kembali ramai seperti dulu. Ia bahkan mulai menabung untuk memperbesar usahanya. Gosip-gosip yang dulu sempat membuatnya terpuruk kini tak lagi menjadi hal yang penting. Lina tahu bahwa dengan kejujuran, usaha keras, dan dukungan orang-orang tercinta, ia mampu melewati semua rintangan.
Dan kini, di samping usahanya yang semakin berkembang, Lina juga memiliki Ardi—orang yang selalu ada untuknya, baik dalam suka maupun duka. Mereka yakin bahwa bersama, mereka mampu menghadapi apa pun yang datang.
Malam yang Sepi dan Derasnya Hujan
Hujan turun dengan derasnya malam itu. Suara gemuruh dan angin yang berhembus membuat suasana di sekitar toko Lina semakin sunyi. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Lina masih sibuk membereskan barang-barang di tokonya. Kardus-kardus kosong ditumpuk di sudut ruangan, sementara Lina menyusun barang-barang dagangan yang baru datang pagi tadi.
Saat ia sedang memasukkan barang terakhir ke rak, terdengar suara mesin mobil mendekat. Sebuah pickup berhenti tepat di depan toko Lina. Pintu mobil terbuka, dan keluarlah Ardi dengan payung di tangannya. Ia berjalan cepat menuju toko Lina, membuka pintu, dan menatap Lina yang terlihat kelelahan.
"Lina, kok belum selesai juga? Udah malam banget, lho. Hujannya juga nggak reda-reda," kata Ardi dengan nada khawatir.
Lina menoleh dan tersenyum tipis. "Masih ada yang harus diberesin, Mas. Aku nggak mau barang-barangnya berantakan besok pagi."
Ardi menggeleng pelan sambil menaruh payungnya di sudut toko. "Udah, biar aku bantu. Kalau kerja terus, kapan istirahatnya?"
Tanpa menunggu jawaban, Ardi mulai membantu Lina merapikan sisa barang yang belum selesai disusun. Mereka bekerja bersama, meski hujan di luar masih mengguyur dengan deras.
Obrolan di Tengah Kesunyian
Setelah semua selesai, mereka duduk di kursi kecil di dekat meja kasir. Hujan terus mengguyur atap toko, menciptakan suara ritmis yang menenangkan. Lina menyeduh dua gelas teh hangat yang ia siapkan dari termos kecil di pojok toko. Ia menyerahkan salah satu gelas kepada Ardi.
"Terima kasih ya, Mas. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku bakal selesai lebih lama lagi," kata Lina sambil meniup perlahan teh di tangannya.
Ardi tersenyum. "Ah, nggak apa-apa, Lin. Aku seneng bisa bantu kamu. Tapi aku khawatir, kamu terlalu sibuk sampai lupa istirahat. Jangan terlalu memforsir diri, ya."
Lina tertawa kecil. "Aku baik-baik aja kok, Mas. Kamu aja yang suka terlalu khawatir."
Ardi menghela napas, menatap Lina dengan raut serius. "Lin, aku pengen ngomong sesuatu."
Lina menoleh, melihat Ardi yang tampak ragu-ragu. "Apa, Mas? Kok kelihatan serius banget?"
Ardi menggenggam gelasnya erat-erat. "Aku mikirin hubungan kita. Kamu tahu kan, aku bukan dari keluarga chinese yang sama kayak kamu. Aku cuma orang biasa, dan aku takut keluargamu nggak bisa terima aku."
Lina terdiam sejenak. Ia tahu kekhawatiran Ardi bukan hal yang sepele. Keluarganya memang memiliki tradisi yang kuat, dan perbedaan latar belakang sering menjadi halangan dalam hubungan seperti mereka.
Namun, Lina tersenyum dan menatap Ardi dengan lembut. "Mas, aku nggak peduli soal itu. Yang aku lihat adalah kamu. Kamu orang yang baik, perhatian, dan selalu ada buat aku. Kalau keluargaku nggak setuju, aku akan coba jelaskan ke mereka. Ini hidupku, Mas. Aku yang pilih, dan aku pilih kamu."
Mata Ardi tampak sedikit berkaca-kaca. "Tapi aku nggak mau kamu susah gara-gara aku, Lin. Aku nggak mau jadi penyebab kamu jauh dari keluargamu."
Lina menggenggam tangan Ardi dengan penuh keyakinan. "Mas, selama kita saling percaya dan mendukung, aku yakin semuanya akan baik-baik aja. Aku nggak mau kehilangan kamu hanya karena pendapat orang lain."
Hening sejenak menyelimuti mereka. Hanya suara hujan yang terdengar. Ardi akhirnya mengangguk pelan dan tersenyum. "Aku akan berusaha jadi yang terbaik buat kamu, Lin. Aku janji."
Akhir Malam yang Hangat
Setelah beberapa saat, mereka memutuskan untuk pulang. Lina mengunci tokonya dengan hati-hati. Ardi membukakan pintu mobil untuk Lina, memastikan ia nyaman sebelum menyalakan mesin pickup-nya.
Sepanjang perjalanan, hujan mulai mereda. Meski jalanan masih basah, suasana di dalam mobil terasa hangat. Keduanya merasa semakin yakin dengan keputusan mereka untuk bersama, meskipun jalan yang mereka hadapi mungkin tidak akan mudah.
Bagi Lina, Ardi adalah bukti bahwa cinta sejati tidak ditentukan oleh latar belakang, tetapi oleh kepercayaan dan ketulusan hati. Dan malam itu, ia semakin yakin bahwa ia telah menemukan orang yang tepat untuk mendampinginya.
Moga Ardi & Lina bersatu hrhe
BalasHapusMoga dientot dgn panas ya hehe
BalasHapusKapan disambung ya suhu..enak cerita ni..moga scene ekse nya penih detail apa lagi keduanya berbeda segalanya..hehe
BalasHapusplak plak plak plak plak
BalasHapusbunyi asik pertemuan selangkangan pemilik toko vs pemasok telur ayam
yang putih mulus mendesah -desah menahan asakan tubuh hitam perkasa ardi
memek mulus gundul tidak bersunat akhirnya ditawan kontol bersunat ardi
telur pemasok telur ayam dihisap pemilik toko...