Malam itu, Rustam sedang duduk di kursi plastik di depan pintu kontrakannya. Rokok kretek menyala di tangannya, sementara matanya sesekali melirik ke arah kamar sebelah. Di sana tinggal seorang wanita bernama Ninggsih bersama suaminya, Bayu. Ninggsih adalah wanita muda bertubuh semok dengan kulit sawo matang yang cerah. Senyum dan tatapan matanya sering membuat Rustam susah tidur.
Bayu bekerja shift malam di sebuah pabrik, membuat Ninggsih sering sendirian di rumah pada malam hari. Kali ini, Linda keluar untuk membuang sampah ke tong di depan gang. Mengenakan daster ketat yang sedikit memperlihatkan lekuk tubuhnya, dia tidak menyadari pandangan mata Rustam yang seperti elang.
“Eh, Mbak Ninggsih ! Malem-malem buang sampah, nggak takut ada yang godain?” Rustam membuka obrolan dengan senyum yang penuh maksud.
Ninggsih menoleh, sedikit terkejut. “Oh, Mas Rustam. Nggak kok, cuma sebentar aja.”
Rustam bangkit dari kursinya dan mendekati Ninggsih, dengan rokok masih mengepul di tangannya. “Kalau saya jadi suami Mbak Ninggsih, nggak bakal saya biarin keluar sendirian gini. Bahaya, lho.”
Ninggsih terkekeh kecil, mencoba mengabaikan nada menggoda di ucapan Rustam. “Ah, Mas Rustam bisa aja. Udah biasa kok, lingkungan di sini aman.”
“Aman sih aman,” balas Rustam sambil melirik tubuh Ninggsih, “tapi kalau cantik kayak Mbak Ninggsih, susah juga kalau ada yang iseng.”
Ninggsih hanya tersenyum tipis dan cepat-cepat masuk kembali ke kontrakannya. Rustam menghisap rokoknya dalam-dalam, puas dengan reaksi yang dia dapatkan.
Keesokan harinya setelah menyelesaikan pekerjaannya, Rustam duduk bersama beberapa tetangga di depan gang kontrakan. Ada Joni, seorang pedagang asongan, dan Muklis, buruh bangunan yang juga tinggal di kontrakan itu. Mereka berbagi cerita sambil menyeruput kopi sachet dan mengudap kacang goreng.
“Tam, penumpang lo hari ini gimana? Ada yang seru?” tanya Muklis sambil tertawa kecil.
Rustam menyeringai. “Seru banget, bro. Gue dapet penumpang cewek chindo tadi sore. Ya ampun, cantik banget! Kulitnya putih, rambut panjang, dandanannya rapi. Gue kayak nggak mau dia turun dari mobil.”
Joni terkekeh. “Waduh, yang kayak gitu mah nggak ada di sekitar sini. Itu pasti orang kaya, Tam.”
Rustam mengangguk. “Iya, gue yakin dia kerja kantoran. Kayaknya anak kampus juga, soalnya gue pernah anter dia ke kampus. Udah dua kali dia naik mobil gue. Mungkin dia mulai langganan.”
Muklis menyela sambil terkikik. “Lo hati-hati aja, Tam. Jangan sampe lo kelewat suka sama dia. Beda kasta itu, bro.”
Rustam hanya tertawa kecil, tetapi matanya berbinar. Dia jelas terpesona dengan gadis itu, meskipun dia tahu itu hanya angan-angan.
Malam semakin larut. Rustam duduk di kasurnya yang usang di dalam kontrakan. Udara pengap dan kipas angin tua yang berderik tidak mengganggunya. Dia sibuk memainkan ponselnya, membuka aplikasi belanja online untuk mencari barang-barang murah. Matanya tiba-tiba terpaku pada satu produk: pengharum ruangan mobil dengan efek relaksasi tinggi.
Rustam membaca deskripsi produknya dengan saksama:
“Pengharum ruangan dengan aroma khusus yang membantu relaksasi dan meningkatkan kualitas tidur. Efek samping: membuat orang merasa sangat mengantuk.”
Dia tersenyum penuh arti. Harganya murah, hanya Rp45.000, dan ulasan-ulasan pembeli menyatakan bahwa produk itu benar-benar efektif.
“Wah, ini menarik banget,” gumamnya. “Kalau beneran bikin ngantuk, bisa gue pake buat sesuatu...”
Tanpa ragu, Rustam menekan tombol “Beli Sekarang.” Malam itu, dia tidur dengan perasaan penuh rencana.
Tiga hari kemudian, paket yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Rustam membukanya dengan hati-hati, lalu mencium aromanya. Wangi lembut yang menenangkan langsung menyeruak. Malam itu, dia memasang pengharum tersebut di mobilnya, mencoba efeknya sendiri.
Benar saja, ketika salah satu penumpangnya, seorang wanita muda berkulit sawo matang, duduk di kursi belakang, dia melihat wanita itu mulai menguap setelah beberapa menit.
Rustam melirik lewat kaca spion, senyum liciknya muncul. “Aromanya enak, ya, Mbak? Bikin rileks di jalan.”
Wanita itu mengangguk sambil menguap. “Iya, Pak. Enak banget wanginya. Saya jadi ngantuk.”
Rustam terus menyetir dengan pikiran yang penuh rencana. Malam itu, Rustam merasa telah menemukan senjata barunya di dunia yang gelap dan kumuh.
Rencana Baru di Siang Terik
Pagi itu, matahari bersinar lembut di langit kota. Rustam baru saja selesai mengantarkan seorang penumpang ke kawasan perkantoran. Udara hangat membuatnya berkeringat meskipun AC mobil sudah menyala. Ia memutuskan untuk memarkirkan mobilnya di bawah pohon rindang, berharap ada pesanan masuk sambil menikmati sebotol air mineral yang ia bawa.
Ponselnya berbunyi. Ada pesanan baru. Rustam langsung membaca nama penumpangnya, dan wajahnya langsung berseri-seri.
“Stevani !” gumamnya, senyum merekah di wajahnya.
Stevani adalah seorang mahasiswi yang sudah beberapa kali menggunakan jasa taksi online Rustam. Gadis chindo itu selain cantik dan ramah juga memiliki pembawaan ceria. Setiap kali bertemu Stevani, Rustam merasa harinya jadi lebih menyenangkan. Kali ini, hatinya semakin gembira karena dia punya rencana baru.
Rustam meluncur ke lokasi penjemputan, sebuah kampus swasta di pusat kota. Tidak butuh waktu lama, Stevani muncul dari pintu gerbang kampus. Gadis itu mengenakan blouse putih sederhana dan celana jeans biru. Rambut hitam panjangnya tergerai, melambai tertiup angin. Rustam keluar dari mobil untuk membukakan pintu.
“Selamat siang, Mbak Vani ! Wah, senang banget ketemu lagi,” ucap Rustam dengan senyum hangat.
Stevani tersenyum manis. “Siang, Pak Rustam. Iya nih, kayaknya saya sering banget ketemu Bapak ya. Jadi langganan, nih.”
Rustam tertawa kecil. “Rejeki saya nih kalau Mbak Vani terus naik mobil saya. Silakan masuk.”
Stevani masuk ke mobil dan Rustam kembali ke kursi pengemudi. Begitu mobil melaju, Rustam membuka obrolan.
“Lagi sibuk kuliah, Mbak? Atau udah liburan?”
“Masih sibuk, Pak. Tadi baru selesai ngumpulin tugas sama diskusi sama teman-teman,” jawab Stevani santai. “Pak Rustam sendiri gimana? Lagi sibuk banget ya?”
Rustam tersenyum. “Ya gini-gini aja, Mbak. Kerja sopir tuh, rejekinya nggak bisa ditebak. Tapi kalau dapat penumpang kayak Mbak Stevani, capeknya langsung hilang.”
Stevani terkekeh. “Pak Rustam bisa aja deh. Tapi saya senang kok naik mobil Bapak. Nyaman dan Bapak selalu ramah.”
Rustam merasakan dadanya menghangat mendengar pujian itu. “Wah, terima kasih, Mbak. Kalau gitu saya harus jaga pelayanan biar Mbak Stevani betah.”
Stevani tersenyum. Sepanjang perjalanan, mereka berbincang tentang berbagai hal. Stevani bercerita tentang kuliah, teman-temannya, dan rencana liburan ke Bali. Rustam mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menimpali dengan komentar atau pertanyaan kecil.
Ketika perjalanan hampir sampai di tujuan, Rustam merasa inilah waktu yang tepat untuk menjalankan rencananya. Dia meraih pengharum ruangan di dashboard dan memutarnya ke mode maksimal, memastikan aroma relaksasinya menyebar dengan cepat.
“Wah, harum banget ya, Pak,” komentar Stevani sambil menarik napas dalam-dalam.
Rustam tersenyum kecil. “Iya, Mbak. Saya baru beli pengharum ruangan ini. Katanya bagus untuk relaksasi. Bikin rileks kalau lagi di jalan.”
Stevani mengangguk setuju. “Iya, aromanya enak banget. Kayak di spa.”
Rustam melirik kaca spion, memperhatikan Vani yang mulai bersandar lebih santai di jok. Gadis itu tampak menikmati aroma tersebut. Rustam terus mengobrol dengan nada santai.
“Mbak Stevani nggak capek? Kalau mau istirahat, silakan lho. Saya nyetirnya pelan-pelan aja,” kata Rustam dengan nada lembut.
Stevani menggeleng kecil. “Nggak kok, Pak. Tapi memang aromanya bikin agak ngantuk ya. Efek relaksasi kali, ya?”
Rustam tertawa kecil. “Mungkin, Mbak. Yang penting Mbak nyaman aja.”
“Terima kasih, Pak Rustam. Lain kali saya pesan mobil Bapak lagi ya.”
Rustam membalas dengan senyum lebar. “Pasti, Mbak. Hati-hati di jalan, ya.”
Stevani melambaikan tangan sebelum masuk ke kafe. Rustam memperhatikan gadis itu hingga menghilang dari pandangannya. Dalam hati, Rustam merasa senang karena rencananya berjalan lancar. Namun, di sisi lain, ada sedikit perasaan bersalah yang muncul di hatinya.
“Ah, nggak apa-apa. Ini cuma iseng aja,” gumamnya sambil menyalakan rokok.
Rustam menghela napas panjang, menyalakan aplikasi taksi online-nya lagi, dan melanjutkan hari kerjanya. Namun, pikiran tentang Stevani dan rencana berikutnya terus berputar di kepalanya. Apakah Rustam akan tetap bermain aman, atau rencananya akan semakin berani? Hanya waktu yang bisa menjawab.
“Ah, Stevani lagi. Gumam Rustam sambil tersenyum kecil.
Dia segera menyalakan mesin mobilnya dan meluncur menuju titik penjemputan.
“Pak Rustam!” sapa Stevani ceria saat masuk ke dalam mobil.
“Halo, Neng Stevani. Lama nggak ketemu. Apa kabar?” tanya Rustam, berusaha terdengar santai meskipun hatinya berdebar.
“Baik, Pak. Eh, kok bisa Bapak lagi sih yang dapat order saya?”
Rustam hanya tertawa kecil. “Mungkin karena kita sudah jodoh, Neng.”
Stevani tertawa mendengar candaan itu. “Aduh, Pak Rustam ada-ada aja. Tapi saya nyaman kok kalau sama Bapak. Aman, nggak kaya sopir yang lain.”
Rustam merasa senang mendengar pujian itu. Dia yakin, Stevani pasti juga punya rasa yang sama dengannya.
Setelah beberapa waktu mengemudi dan terjebak ditengah kemacetan, Rustam merasa keberaniannya semakin besar. Kemudian dia pun memutuskan untuk mengungkapkan perasaan sukanya.
“Neng Stevani,” kata Rustam pelan, memecah keheningan dalam mobil.
“Ya, Pak? Ada apa?”
Rustam menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Neng, saya mau ngomong sesuatu. Jangan marah, ya.”
“Wah, serius banget, Pak? Kenapa?”
Rustam tersenyum kecil. “Neng, sebenarnya saya suka banget sama kamu.”
Stevani terdiam. Dia berpikir Rustam sedang bercanda.
“Ah, Pak Rustam ini. Jangan bercanda, deh. Bapak kan seumuran sama ayah saya.”
Rustam merasa sakit hati mendengar jawaban itu, tetapi dia tetap mencoba tersenyum. “Saya nggak bercanda, Neng. Saya sungguh-sungguh.”
“Pak, saya menghormati Bapak, tapi... saya nggak bisa melihat Bapak lebih dari seorang teman atau sopir saya. Maaf ya,” jawab Stevani dengan nada lembut.
Rustam menganggap enteng penolakan gadis itu dan berusaha memacu kendaraan seperti biasanya dan ketika tiba disebuah jalanan yang agak sepi diapun menepikan sesaat kendaraannya dipinggiran jalan.
Sekarang kamu bisa saja menolak saya. Tapi setelah melihat foto ini kamu pasti akan berkata lain. Hehe.. Kata Pak Rustam sambil menunjukan beberapa buah foto telanjang Stevani yang sedang tertidur lelap didalam mobilnya beberapa waktu yang lalu bahkan ada juga sebuah foto mesum ketika penis pak rustam yang sedang ereksi ditempelkan ke wajahnya.
Aroma di Tengah Hujan
Sejak mencoba pengharum ruangan baru yang ia beli secara online, Rustam semakin yakin akan keefektifannya. Pengharum itu bekerja seperti sihir, membuat penumpang merasa rileks, bahkan mengantuk. Rustam mulai menggunakannya secara rutin di mobilnya, tetapi dia sendiri selalu memakai masker dengan alasan kesehatan.
Malam itu hujan gerimis membasahi kota. Rustam memarkirkan mobilnya di pinggir jalan besar yang berdekatan dengan sebuah mal mewah. Meskipun dia belum pernah masuk ke dalamnya, Rustam tahu bahwa mal itu menjadi tempat favorit bagi gadis-gadis muda keturunan Tionghoa dan mahasiswi dari kampus ternama di sekitar area tersebut. Setiap kali ada pesanan dari mal itu, Rustam selalu berharap mendapat penumpang wanita cantik yang bisa membuat harinya lebih ceria.
Pukul sudah menunjukkan jam 9 malam ketika aplikasi taksi online-nya berbunyi, menandakan ada pesanan masuk. Rustam tersenyum kecil. Lokasinya tepat di depan mal, hanya beberapa meter dari tempatnya parkir.
“Semoga kali ini hoki,” gumamnya sambil menyalakan mesin mobil dan menuju lokasi penjemputan.
Saat Rustam sampai, seorang gadis keluar dari mal dengan payung kecil di tangannya. Gadis itu tinggi, berkulit putih mulus, dengan rambut panjang yang diikat rapi. Dia mengenakan tube minidress seksi berwarna cerah dan sepatu berhak tinggi, yang membuat penampilannya semakin anggun. Yang paling mencolok adalah aromanya. Bahkan sebelum gadis itu masuk, Rustam sudah bisa mencium wangi parfum mahal yang dia kenakan.
Rustam buru-buru keluar untuk membuka pintu belakang. “Selamat malam, Mbak. Silakan masuk.”
Gadis itu masuk tanpa banyak bicara, hanya mengangguk kecil. Setelah memastikan pintu tertutup, Rustam kembali ke kursi pengemudi dan berkata, “Kita langsung ke alamat ya, Mbak? Kalau ada rute favorit, bisa kasih tahu saya.”
Gadis itu menjawab singkat, “Iya, Pak. Langsung aja.”
Rustam melirik lewat kaca spion. Gadis itu tampak sibuk dengan ponselnya. Rustam mencoba mencairkan suasana.
“Wah, hujan gerimis begini enaknya di rumah sambil minum teh atau kopi ya, Mbak,” katanya dengan nada ramah.
Gadis itu hanya menggumamkan “Iya, Pak” tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya.
Rustam tidak menyerah. “Mbak sering ke mal itu ya? Pasti tempat favorit nih, soalnya malnya bagus banget.”
Kali ini gadis itu mengangkat wajahnya, sedikit tersenyum tipis tetapi dengan nada agak dingin. “Iya, Pak. Tapi nggak sering juga. Cuma kebetulan aja.”
Melihat respons yang kurang ramah, Rustam memutuskan untuk tidak banyak berbicara lagi. Dia kembali fokus menyetir, tetapi pikirannya melayang. Gadis ini benar-benar menarik. Wajah cantik, tubuh proporsional, dan wangi yang luar biasa. Dalam hati, Rustam merasa iri dengan pria yang mungkin menjadi pacarnya.
Di tengah perjalanan, Rustam melirik pengharum ruangan yang terpasang di dekat AC mobil. Dia merasa tergoda untuk menguji aromanya sekali lagi. Dengan gerakan perlahan, dia menyentuh tombol kecil pada pengharum itu, memastikan aromanya menyebar lebih cepat.
“AC-nya nggak terlalu dingin kan, Mbak? Kalau mau saya atur,” tanya Rustam sambil menatap kaca spion, memastikan reaksinya.
Gadis itu menggeleng pelan. “Nggak kok, Pak. Udah pas.”
Rustam memperhatikan. Dalam beberapa menit, gadis itu terlihat lebih tenang. Dia meletakkan ponselnya di pangkuan dan mulai menyandarkan kepala ke jok mobil. Sesekali dia menguap kecil.
“Perjalanan panjang ya, Mbak? Kalau capek, istirahat aja. Nanti saya bangunin kalau sudah sampai,” kata Rustam dengan suara lembut.
“Ah, nggak apa-apa, Pak,” jawab gadis itu, meskipun nada suaranya terdengar semakin lesu.
Rustam tersenyum kecil. Dalam hati, dia merasa pengharum ruangan itu benar-benar bekerja sesuai yang dijanjikan. Sepanjang perjalanan oknum sopir taksol itu terus mengamati gerak gerik pelanggannya melalui kaca spion yang ada didalam mobilnya.
Ketika mobil sampai di tujuan, gadis itu terlihat sedikit kebingungan karena tertidur sebentar. Dia merapikan rambutnya dan berkata dengan nada malu-malu, “Maaf ya, Pak. Tadi sempat ketiduran. Capek banget soalnya.”
Rustam tersenyum ramah. “Nggak apa-apa, Mbak. Itu tandanya mobil saya nyaman. Hati-hati di jalan ya.”
Gadis itu mengucapkan terima kasih sambil keluar dari mobil. Rustam memandangi gadis itu berjalan menjauh sebelum kembali melajukan mobilnya. Malam itu, Rustam merasa aneh. Di satu sisi, dia menikmati momen singkat bersama penumpangnya. Namun, di sisi lain, ada rasa bersalah yang muncul karena pikirannya yang sering melayang terlalu jauh.
Rustam menatap pengharum ruangan di dashboard mobilnya dan bergumam, “Kayaknya gue harus berhenti main-main begini. Tapi... ah, susah juga.”
Dia menghela napas panjang, menyalakan rokok, lalu melanjutkan perjalanannya mencari penumpang berikutnya.
awas sopir ni mau direport ya sopir cabul :p
BalasHapus