Langsung ke konten utama

Derita Saat Kerusuhan


Namaku Rendi bukan salahku kalau aku terlahir berbeda dari yang lain. Kalau aku bisa memilih lebih baik aku tidak pernah dilahirkan. Setidaknya itu kata hati kecilku, satu-satunya unsur kebaikan yang tersisa dalam diriku.
Aku berasal dari keluarga warga keturunan yang minoritas di negeri ini. Ayahku pengusaha yang berhasil dan cukup kaya. Aku kira cukup beralasan mengingat dia memiliki beberapa toko elektronik serta beberapa toko kelontong yang tersebar di kawasan pinggiran kota
Kami sekeluarga tinggal di kawasan yang dekat dengan pusat perbelanjaan.
Aku adalah anak ke-2 dari 3 bersaudara dan satu-satunya anak laki-laki di keluargaku.
Keluargaku jauh dari harmonis. Ayah bagiku lebih mirip diktator yang kejam serta berhati dingin. Ibu dan saudara-saudara perempuanku pun tidak jauh berbeda.

Sejak kecil aku akrab dengan sumpah serapah bahkan kutukan dari orang tuaku maupun saudara-saudaraku yang lain. Pukulan badan menjadi makanan sehari-hari bahkan untuk kesalahan yang paling sepele sekalipun. Akan tetapi secara keuangan aku tercukupi dan aku mulai terbiasa bahkan menyukainya. Siapa butuh keluarga bila kita punya uang? itu yang ada dalam pikiranku. Sadar atau tidak sadar aku memupuk dendam. Aku tidak tahu kapan dan bagaimana membalas segala perlakuan ini. Yang jelas aku menikmati perasaan dendam dan amarah dalam batinku. 

Ayah bagiku adalah iblis yang selalu menghalangi jalanku. Dalam hatiku aku berharap agar dia segera lenyap dari dunia ini. Ibu bagiku bagaikan wanita yang tidak tahu diri dan hanya mabuk dalam kesenangannya akan kemewahan. Sedangkan kakak dan adik perempuanku ibarat pelacur-pelacur binal yang mencari muka pada sang iblis demi kepuasan dan kemanjaan mereka. Semuanya berjalan seperti itu sampai tibanya hari mengenaskan itu.

Saat itu usiaku 21 tahun dan masih kuliah di sebuah PTS di pusat kota. Aku ingat saat itu terjadi kerusuhan di kotaku dan keadaan sedang panik. Aku tinggal di kawasan yang mayoritas penduduknya adalah warga keturunan yang saat itu sedang dilanda ketakutan yang amat sangat. Beberapa tetangga telah mengungsi, tapi ayahku dengan sifat arogannya (seperti biasa) bersikeras untuk tetap tinggal di rumah. Dia berkata kalau dia sudah menghubungi kenalannya seorang yang berpangkat di militer untuk melindungi daerah tempat tinggal kami. Nyatanya itu adalah arogansinya yang terakhir.

Saat itu pukul setengah sebelas malam, ketika aku terbangun karena suara gaduh di rumahku. Bibir dan mataku masih lebam dan kakiku masih terpincang-pincang bekas di pukul ayahku dengan raket tenisnya karena malam sebelumnya aku keluar membawa mobil mewah kesayangannya. Aku mendengar suara teriakan dari luar. Salah satu suara yang kukenali adalah suara ciciku yang kamarnya satu lantai denganku di lantai atas. Terdengar juga suara bentakan yang keras. Jelas bukan suara bentakan ayahku yang kudengar. Dengan tertatih-tatih aku segera membuka pintu menuju arah suara itu. Alangkah terkejutnya ketika di depan pintu kulihat seseorang pria berbadan kekar dengan menggenggam parang di tangannya maju ke arahku. Saat itu seluruh persendianku lemas dan aku hanya menunduk menutupi wajahku ketika dia mendekat. 

Saat itu kematian begitu dekat bagiku, bahkan aromanya dapat tercium hidungku. Kutunggu pria itu mengayunkan parangnya menghabisiku. Sesaat aku sempat merasa kelegaan dalam hatiku. Aneh tapi nyata, sepertinya aku tersenyum menghadapi kematianku. Tapi ayunan parang itu tak kunjung datang dan waktu sedetik itu berlalu lama serasa sejam bagiku. Tiba-tiba aku melihat kaki mengayun menendang perutku.. "Aaahh!" aku berteriak keras. Lalu kemudian aku merasa kepalaku dipukul benda keras. Keras sekali sehingga segala sesuatunya menjadi gelap gulita, aku pingsan.

Ketika sadar aku mendapati diriku dalam keadaan tangan terikat. Kepalaku masih pusing saat aku melihat pemandangan yang mengerikan terpampang di hadapanku. Kulihat tepat di hadapanku ibuku tergeletak oingsan dilantai, Kupalingkan wajahku dari dirinya hanya untuk menyaksikan suatu pemandangan lain yang tidak kalah mengerikan. Irene, ciciku yang berusia 27 tahun telentang di atas meja dengan tubuh telanjang. Kedua tangannya terikat tali plastik di belakang kepalanya, sedangkan kedua kakinya mengangkang terikat di kedua kaki meja. Aku juga melihat ayahku yang pingsan terikat di kursi. Ada perasaan senang melihat sang iblis tua itu dalam keadaan tidak berdaya. Aku tidak melihat Mirna adiku yang masih duduk dibangku SMU.

Di ruangan itu aku melihat sekitar 5 orang pria berbadan kekar dengan kulit hitam. Mata mereka tampak merah seperti terbius oleh sesuatu. Tiga orang dari mereka sibuk menjarah barang-barang yang ada di ruangan itu. Sementara 2 orang lagi terlihat berada di samping ciciku. Yang berambut gondrong sedang meremas-remas buah dada ciciku dengan kedua tangannya yang kasar dan berbulu lebat. Seorang lagi yang berambut cepak menghampiri ciciku sambil membuka celananya. Aku bergidik mengetahui apa yang akan diperbuatnya. Ingin kupalingkan wajahku agar tidak melihat kejadian itu tapi entah mengapa urung kulakukan. Aku mendengar ciciku berteriak memohon-mohon pengampunan pada mereka. "Ampuun.. jangaan", suaranya penuh nada ketakutan. Tubuhnya gemetar tertekan rasa teror yang nyata di depan mata.


"Diam lu amoy! diam dari pada lu mati sekarang juga", suara parau dan kasar keluar dari mulut pria gondrong yang terus menggerayangi payudara ciciku. "Mending lu diem dan mati enak.." timpal si cepak sambil mengeluarkan kemaluannya yang hitam dan besar. Terlihat ciciku bergidik memalingkan mukanya sambil menjerit bercampur tangis, "Toloong.. ampuun.. ampuun.. toloo.. Aaauuhshh!" teriakan tolong ciciku berubah menjadi jeritan ketika si cepak menghujamkan batang kemaluannya ke dalam liang kemaluan ciciku. "Diam lu anjing!" suaranya bagai kutukan dari neraka. "Eh Min.. si amoy ini rupanya udah gak perawan!" seru si cepak pada temannya. Rupanya dia merasa kalau ciciku memang sudah bolong. Dasar pelacur! dalam hatiku mengumpat. "Udah bagus lu kagak gue bakar hidup-hidup!" si gondrong menambahkan. "Heheh.. lumayan juga nih amoy..
Rupanya stamina si cepak cukup kuat juga.


Sekitar 5 menit dia memompa ciciku dan belum ada tanda-tanda mengendur. Malah garakannya semakin cepat, kasar dan buas. Sementara itu jeritan-jeritan histeris ciciku semakin melemah bahkan suaranya jadi erangan-erangan lirih lebih mirip orang yang dilanda kenikmatan daripada ketakutan. "Aaah.. udaah.. ampuun.. ammpuu.. aauhffssh!" wajahnya terlihat semakin merah padam karena perasaan malu terhina, takut tidak dapat membohongi kenikmatan yang menjalari sekujur tubuhnya. Beberapa kali matanya mendelik dan badannya bergelinjang tidak sanggup menahan rasa geli yang nikmat itu.


Akhirnya ciciku terlihat menggigit bibir bawahnya dan bola matanya memutih. Kepalanya mendongak, suaranya seperti tertahan-tahan. Ciciku mendekati orgasme. "Mmmh.. hhmmph..!" sepertinya dia hendak melepas gejolak perasaanya tapi malu karena berarti dia mengakui akan kenikmatan yang diberikan pria kekar bertubuh hitam legam yang terlihat kontras di atas tubuhnya yang putih bersih itu. Si cepak juga rupanya telah mendekati klimaksnya. Dia menggerakkan pinggulnya seperti mengocok liang kemaluan ciciku hingga mejanya berderit-derit. Saat itu ciciku rupanya tidak sanggup lagi menahan kenikmatan. Hampir 2 menit dia menahan orgasmenya, kini dia tidak mampu lagi menggigit bibirnya menahan jeritan puncaknya. Matanya terpejam sampai kedua alisnya seperti bertemu. Dia masih berusaha sebisanya menahan jeritan kenikmatannya. "Uuhhssh.. uuhhss.. uuhhss!" nafasnya berat satu-satu dan suaranya mirip ibu hamil yang sedang berkontraksi.

Ciciku memang pantang menyerah. Ia tetap berusaha menahan orgasmenya sampai saat-saat terakhir. Ia tetap tidak mau mengaku kalah terhadap pemerkosanya. Ternyata hanya sesaat dia berhasil. Ketika si cepak menghujamkan tusukan terakhirnya saat batang kemaluannya dia benamkan dalam-dalam ke liang kemaluan ciciku, akhirnya cici menyerah juga. Tubuhnya mengejang, kedua telapak tangannya terkepal kuat dan kedua kakinya yang terikat di kaki meja tampak mengejang. Ujung jari-jari kakinya terlihat meregang dan kontraksi otot dari ujung kaki sampai kepalanya terlihat jelas. Satu lenguhan panjang dan dalam menandai runtuhnya pertahanan ciciku. "Uuhh.. uhh.. uhh.. sshh.. aaffsshh!" jeritnya seiring tubuh pemerkosanya mengejang dan menyemburkan air maninya ke dalam liang kemaluan ciciku. "Walaah.. enak tenan!" si cepak berseru dengan suara menjijikkan melepaskan kenikmatannya.

Hampir bersamaan dengan itu, terdengar suara tangis dan jeritan pilu yang kukenali sebagai suara Mirna adiku. Dia dibawa paksa dengan setengah diseret ke ruangan ini oleh seorang pria bertubuh gendut brewokan. "Man.. dapat satu lagi nih.. dia rupanya ngumpet di gudang dari tadi", seru si brewok kepada si cepak yang sepertinya pemimpin mereka. Pakaian Mirna terlihat compang-camping pertanda dia mengadakan perlawanan. "Wah daun muda nih.. pasti masih perawan!" seru si gondrong. "Kagak kayak kakaknya yang udah bolong.. puihh!!" si cepak berkata mengumpat sambil meludahi tubuh ciciku yang tergolek lunglai. Darahku terasa panas membara melihat perlakuan itu. Saat itu aku agak merasa iba pada saudari-saudariku. Sejenak melupakan kebencianku pada mereka. Mirna begitu melihat ciciku langsung histeris dan menubruk tubuh ciciku. Segera sepasang tangan kasar si brewok merenggut kembali tubuh adikku.
Setelah semua selesai melampiaskan nafsunya lalu mereka pun meninggalkan kami begitu saja

Komentar

  1. Bagus jg gan tp endingnya kyk mo cepet2 ditamatin pdhl adiknya msh bs dicritain diapain aja tuh.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Draft Amarah Para Buruh 21

Draft Amarah Para Buruh 20

Lust in Broken Home 4

Lust In Broken Home 5

Terjebak Didalam Kelas

Akibat Kena Gendam Tetanggaku

Kisah Tragis Dikebun Karet

Amarah Para Buruh 10

Amarah Para Buruh 17

Binalnya Ibu Tiriku 4