Budi, dengan senyumnya yang selalu ramah, adalah magnet tenda itu. Dia piawai berinteraksi dengan pelanggan, entah itu mahasiswa, karyawan kantoran, atau warga sekitar. Tenda pecel lele mereka selalu ramai setiap malam, bukan hanya karena rasa makanannya yang enak, tapi juga suasana hangat yang tercipta dari candaan Budi dan kawan-kawannya.
Di salah satu rumah kost tak jauh dari sana, tinggal seorang gadis muda bernama Michelle. Dia seorang mahasiswi jurusan Desain Komunikasi Visual di sebuah universitas swasta ternama di kota itu. Michelle adalah tipe gadis chindo yang lebih suka menghabiskan waktunya sendiri di kamar, entah itu membaca novel, belajar, atau hanya bersantai sambil mendengarkan musik.
Penampilannya memukau: kulitnya putih mulus, rambut hitam lurus sebahu, dan matanya sipit dengan tatapan lembut. Meski cantik, Michelle cenderung pendiam dan pemalu, sehingga dia tak punya banyak teman dekat di kampus. Dia lebih memilih kesendirian daripada harus memaksakan diri bergabung dengan teman-teman sekelasnya yang sering nongkrong di kafe-kafe mahal.
Suatu malam, Michelle keluar untuk membeli makan malam. Hujan gerimis membuat jalanan basah, dan dia melangkah pelan-pelan ke arah tenda pecel lele yang sering dia lewati. Sudah beberapa kali dia membeli tahu dan tempe goreng di sana, tapi malam itu dia merasa ingin makan di tempat.
"Selamat malam, Mbak," sapa Budi ramah begitu Michelle tiba.
"Selamat malam," jawab Michelle singkat, tersenyum kecil.
"Seperti biasa, tahu tempe goreng, kan ? Tanya Budi dengan nada akrab.
Michelle mengangguk sambil duduk di salah satu bangku kayu di tenda itu. Sementara Budi sibuk menggoreng, Agus menyodorkan segelas teh hangat untuk Michelle.
"Ini teh hangatnya, Mbak. Gratis, bonus malam ini," kata Agus sambil terkekeh.
Budi sesekali mencuri pandang ke arah Michelle. Gadis itu terlihat berbeda dari pelanggan lainnya—bukan karena penampilannya saja, tapi juga caranya yang sederhana dan sopan. Saat makanan siap, Budi sendiri yang mengantarkannya.
"Ini pesanan Mbak Michelle," kata Budi.
Michelle terkejut. "Kok tahu nama saya?" tanyanya.
"Sering dengar teman-teman kampus yang lain manggil nama Mbak waktu beli di sini," jawab Budi sambil tersenyum.
Michelle mengangguk kecil, merasa sedikit canggung tapi juga tersanjung. Setelah makan, Michelle memutuskan untuk memesan nomor WhatsApp Budi agar dia bisa memesan makanan tanpa harus keluar rumah, terutama jika sedang hujan seperti malam itu.
"Boleh minta nomor WhatsApp, Mas? Biar kalau saya mau pesan nggak perlu keluar," kata Michelle pelan.
"Tentu saja boleh, Mbak! Saya tuliskan ya," jawab Budi cepat, sedikit gugup. Dia menuliskan nomornya di selembar kertas dan menyerahkannya pada Michelle.
Sejak malam itu, interaksi mereka semakin sering. Michelle beberapa kali memesan makanan lewat chat. Percakapan mereka dimulai dengan formal, namun perlahan menjadi lebih santai. Michelle merasa nyaman berbicara dengan Budi, sementara Budi semakin tertarik pada kepribadian Michelle yang lembut.
Di sisi lain, kehidupan di tenda pecel lele berjalan seperti biasa. Pelanggan datang silih berganti. Ada seorang bapak tukang ojek yang selalu memesan nasi goreng tanpa sambal, seorang karyawan muda yang hobi curhat tentang bosnya yang galak, hingga pasangan mahasiswa yang sering terlihat mesra.
"Mas Budi, aku mau pesan lele bakar dua porsi, tapi sambalnya jangan pedas ya," kata seorang pelanggan tetap, Lina, yang datang bersama pacarnya.
"Siap, Mbak Lina. Sambalnya manis seperti Mbak ya," balas Budi sambil tertawa.
"Masih suka ngegombal aja, Mas Budi," celetuk Lina sambil tertawa.
Setelah pelanggan pergi, Agus sering menggoda Budi soal Michelle.
"Bud, itu Mbak Michelle kayaknya suka sama kamu tuh," kata Agus sambil mengangkat alis.
"Biasa aja kali, Gus. Dia pelanggan yang sopan, aku cuma hormat," balas Budi, meski pipinya sedikit memerah.
Sementara itu, di kamar kostnya, Michelle menjalani rutinitas hariannya dengan tenang. Setelah pulang kuliah, dia langsung mandi, makan, dan membuka laptop untuk mengerjakan tugas-tugas. Kadang-kadang, dia membuka aplikasi chat dan menemukan pesan dari Budi.
"Sudah makan malam, Mbak Michelle?"
"Sudah, Mas. Tadi pesan tahu tempe lagi. Enak seperti biasa."
Percakapan sederhana seperti itu membuat Michelle merasa lebih dekat dengan Budi. Meski tidak selalu bertemu, mereka mulai saling mengenal lebih jauh lewat obrolan-obrolan ringan.
Di kampus, Michelle tetap menjadi dirinya yang pendiam. Dia punya satu atau dua teman yang sesekali mengajaknya makan siang di kantin, tapi lebih sering dia memilih membawa bekal sendiri. Saat teman-temannya sibuk mengobrol tentang pesta atau liburan, Michelle lebih suka menyendiri di perpustakaan atau taman kampus, membaca novel favoritnya.
"Michelle, kamu nggak mau ikut nonton bareng kita malam ini?" tanya Sarah, salah satu teman sekelasnya.
"Maaf, aku nggak bisa. Ada tugas yang harus diselesaikan," jawab Michelle lembut.
Sarah menghela napas. "Kamu terlalu serius, Chel. Sekali-kali santai, dong!"
Michelle hanya tersenyum, tidak ingin memperpanjang obrolan.
Hubungan Michelle dan Budi terus berkembang, meski perlahan. Suatu malam, Michelle datang ke tenda pecel lele untuk makan malam. Kali ini, dia mengajak Budi mengobrol lebih lama.
"Mas Budi, sudah lama ya buka tenda di sini?" tanya Michelle.
"Sudah hampir tiga tahun, Mbak. Lumayan hasilnya buat kirim uang ke kampung," jawab Budi sambil membersihkan meja.
Michelle mengangguk. "Pasti capek ya, kerja sampai larut setiap malam?"
Budi tersenyum. "Capek sih, Mbak. Tapi kalau lihat pelanggan puas, rasanya jadi semangat lagi."
Michelle terdiam sejenak. Dia kagum pada semangat Budi dan keramahannya. Di balik kesederhanaannya, Budi adalah sosok yang pekerja keras dan penuh perhatian.
Di tengah keramaian malam itu, Michelle merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Mungkin, untuk pertama kalinya, dia menemukan seseorang yang membuatnya ingin keluar dari zona nyaman. Di sisi lain, Budi juga merasakan hal yang sama. Meski dia tahu ada jarak sosial dan kehidupan yang berbeda di antara mereka, dia tak bisa membohongi hatinya bahwa dia mulai menyukai Michelle.
Malam itu, di bawah tenda pecel lele, percikan sebuah cerita baru mulai menghangatkan dinginnya kota.
Hujan di Malam Minggu
Malam itu suasana tenda pecel lele sedikit lebih lengang dibandingkan biasanya. Mungkin karena banyak penghuni kost di sekitar sedang menikmati malam Minggu mereka di luar. Hujan rintik mulai turun, membuat udara menjadi lebih dingin dari biasanya. Budi, yang sedang membersihkan meja, melihat sosok Michelle berjalan mendekat ke tendanya. Gadis itu mengenakan sweater biru pastel dan celana pendek berwarna hitam, tampak sederhana namun tetap memancarkan pesonanya.
"Selamat malam, Mbak Michelle," sapa Budi, kali ini dengan senyum yang lebih hangat dari biasanya.
"Selamat malam, Mas Budi. Seperti biasa, tahu tempe goreng," jawab Michelle sambil duduk di salah satu bangku kayu.
Budi memulai percakapan, mencoba mencairkan suasana. "Malam Minggu kok nggak keluar sama pacar, Mbak?" tanyanya, setengah bercanda.
Michelle tersenyum tipis. "Pacar? Saya nggak punya pacar, Mas," jawabnya ringan.
Budi terkejut, namun dia berusaha menutupi ekspresinya. "Ah, nggak mungkin. Gadis secantik Mbak pasti banyak yang antri."
Michelle hanya tertawa kecil, tidak terlalu menanggapi.
Saat pesanan selesai dibuat, tiba-tiba hujan turun lebih deras. Michelle melirik ke luar tenda dengan wajah bingung. "Wah, hujannya deras sekali. Kayaknya saya harus nunggu reda dulu."
Budi, yang selalu sigap membantu pelanggannya, langsung mengambil payung yang hanya satu-satunya ada di warung itu. "Nggak apa-apa, Mbak. Biar saya antar saja ke kost pakai payung ini," tawarnya.
Michelle sempat ragu, tapi akhirnya dia mengangguk. "Baiklah, terima kasih, Mas."
Mereka berjalan kaki bersama di bawah satu payung kecil. Jalanan basah dengan genangan air, sementara suara hujan menciptakan suasana yang tenang. Di bawah payung itu, jarak di antara mereka begitu dekat, membuat Budi bisa mencium aroma wangi yang lembut dari Michelle.
"Mas Budi, nggak capek kerja setiap malam begini?" tanya Michelle memecah keheningan.
"Capek sih, Mbak. Tapi saya sudah terbiasa. Lagipula, kerja ini buat keluarga di kampung," jawab Budi sambil melirik ke arahnya.
Michelle mengangguk, terkesan dengan dedikasi Budi. "Pasti mereka bangga punya anak seperti Mas Budi."
Budi tersenyum tipis. "Semoga begitu, Mbak. Kadang saya juga rindu sama kampung, tapi apa boleh buat. Kalau saya nggak kerja, siapa lagi yang bantu mereka?"
Michelle terdiam sejenak, kemudian berkata, "Saya juga sering merasa rindu rumah. Tapi karena kesibukan kuliah, jarang bisa pulang. Kadang rasanya kesepian."
Budi menangkap nada melankolis di suara Michelle. Dia merasa ada kesamaan di antara mereka—keduanya sama-sama berjuang di tempat yang jauh dari rumah.
"Kalau kesepian, Mbak Michelle bisa cerita sama saya. Saya bukan orang pintar, tapi saya pendengar yang baik," kata Budi sambil tersenyum.
Ucapan sederhana itu membuat Michelle merasa hangat di tengah dinginnya hujan. Namun, Budi merasakan ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mengungkapkan sesuatu yang telah lama dia pendam.
"Mbak Michelle..." Budi memulai dengan nada ragu.
"Iya, Mas?" Michelle menoleh, menatapnya dengan mata yang teduh.
Setelah menarik napas panjang, Budi akhirnya berkata, "Saya nggak tahu harus mulai dari mana, tapi saya suka sama Mbak. Saya tahu kita beda, dan mungkin Mbak nggak akan pernah lihat saya lebih dari sekadar pedagang kaki lima. Tapi saya nggak bisa bohongin perasaan saya."
Michelle terdiam. Kata-kata Budi mengejutkannya, tapi dia tidak tahu harus merespons bagaimana. Melihat ekspresi Michelle yang bingung, Budi buru-buru menambahkan, "Tapi kalau Mbak nggak merasa yang sama, nggak apa-apa. Saya nggak akan maksa."
Hujan masih turun deras ketika mereka tiba di depan kost Michelle. Gadis itu akhirnya berkata, "Mas Budi, saya hargai perasaan Mas. Tapi... saya belum bisa jawab sekarang. Saya butuh waktu untuk berpikir."
Budi mengangguk pelan. "Saya mengerti, Mbak. Maaf kalau saya terlalu terburu-buru."
Setelah kejadian itu, Michelle mulai jarang terlihat di warung pecel lele. Budi, yang awalnya semangat karena telah menyatakan perasaannya, mulai merasa putus asa. Dia mengira Michelle kecewa dan ingin menjauh darinya.
"Mungkin saya terlalu cepat, Gus," keluh Budi pada Agus suatu malam setelah tenda mulai sepi.
"Ah, jangan nyerah dulu, Bud. Mbak Michelle itu mungkin cuma butuh waktu. Siapa tahu dia sebenarnya suka sama kamu juga," balas Agus, mencoba menyemangati.
Tapi Budi tetap murung. "Kalau memang dia nggak suka, saya harus terima. Saya salah langkah."
Beberapa hari kemudian, saat hujan gerimis, Michelle kembali memesan tahu tempe goreng favoritnya. Kali ini, dia meminta Budi mengantarkan pesanannya langsung ke kost. Saat Budi tiba, Michelle sudah menunggu di depan pintu.
"Terima kasih, Mas, sudah mengantar," kata Michelle sambil menerima pesanannya.
"Sama-sama, Mbak," jawab Budi singkat, tidak berani menatap mata Michelle terlalu lama.
Namun, Michelle memanggilnya lagi sebelum dia pergi. "Mas Budi, tunggu sebentar. Aku mau bicara."
Budi berbalik, hatinya sedikit berdebar. "Iya, Mbak. Ada apa?"
Michelle tersenyum lembut. "Mas Budi, saya minta maaf kalau saya membuat Mas berpikir saya kecewa atau marah. Saya bukan menolak Mas, saya hanya ingin hubungan ini berjalan alami. Saya bukan tipe orang yang suka terburu-buru, apalagi untuk hal yang serius seperti ini."
Mendengar itu, Budi merasa lega. Senyumnya perlahan muncul kembali. "Terima kasih, Mbak, sudah jujur sama saya. Saya nggak akan terburu-buru lagi. Saya akan jalani apa adanya."
Michelle mengangguk. "Itu yang saya harapkan. Karena kalau semuanya terjadi secara alami, saya percaya hasilnya akan lebih baik."
Malam itu, di tengah gerimis, Budi kembali ke tendanya dengan semangat baru. Meski belum ada jawaban pasti, dia tahu bahwa harapannya belum sepenuhnya hilang. Michelle, di sisi lain, merasa lega karena akhirnya bisa menyampaikan isi hatinya. Hubungan mereka masih panjang, tapi mereka siap menjalaninya, satu langkah kecil dalam setiap perjalanan hujan.
Malam Mencekam di Gang Sepi
Malam itu, kota tampak lengang. Hanya sesekali suara kendaraan terdengar melintas di jalan raya. Michelle baru saja menyelesaikan tugas kuliahnya di perpustakaan kampus. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam ketika dia memutuskan berjalan kaki pulang ke kostnya. Jalanan yang biasanya ramai kini terasa sepi dan mencekam. Hujan gerimis yang turun sejak sore meninggalkan genangan air di beberapa sudut jalan.
Michelle melangkah cepat, menggenggam erat tas punggungnya. Matanya sesekali melirik ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang mencurigakan. Ketika melintas di dekat sebuah gang kecil, dia melihat sekelompok pemuda tanggung sedang nongkrong. Suara tawa mereka terdengar hingga ke ujung jalan, bercampur dengan suara botol yang saling beradu.
“Eh, lihat tuh, ada cewek cantik lewat!” seru salah satu dari mereka.
Michelle langsung merasa tidak nyaman. Dia mempercepat langkahnya, berusaha mengabaikan godaan yang mulai keluar dari mulut mereka.
“Jalan cepat banget, kayak nggak mau kenal kita aja,” ledek yang lain.
“Cantik, sini dong. Temenin kita sebentar!” teriak salah satu pemuda dengan nada memaksa.
Hati Michelle mulai berdegup kencang. Dia tidak berani menoleh dan terus berjalan lurus. Namun, dia mendengar langkah kaki mereka yang mulai mengikuti di belakangnya.
“Wah, sombong banget ya. Jangan-jangan cewek kota ini nggak tahu sopan santun,” ucap salah satu pemuda sambil tertawa.
Michelle semakin panik. Ketika dia melewati sebuah rumah kosong yang terlihat gelap, para pemuda itu mempercepat langkah mereka dan menghadangnya di tengah jalan.
“Eh, mau ke mana, Neng? Jalan malam-malam begini sendirian, nggak takut?” ujar salah satu pemuda sambil mendekat.
“Udah, temenin kita sebentar aja. Nggak bakal lama kok,” tambah yang lain dengan nada meledek.
Michelle mencoba mundur, namun dia sadar posisinya terpojok. Matanya berkeliling, mencari cara untuk melarikan diri. Saat itu, dia mendengar suara roda gerobak yang sedang didorong mendekat.
Budi dan teman-temannya, Agus, Yanto, dan Sardi, baru saja menutup tenda pecel lele mereka. Mereka berjalan perlahan, mendorong gerobak kembali ke tempat penyimpanan. Ketika mereka mendekati gang kecil itu, Budi melihat Michelle, yang tampak ketakutan dikelilingi oleh beberapa pemuda.
“Eh, itu Mbak Michelle!” seru Budi spontan, membuat teman-temannya menoleh.
Tanpa berpikir panjang, Budi menghentikan gerobaknya dan mendekati kelompok pemuda tersebut. "Hei, kalian ngapain ganggu dia?!" seru Budi dengan suara lantang.
Para pemuda itu menoleh ke arah Budi. Salah satu dari mereka, yang tampaknya pemimpin kelompok itu, mendekat dengan ekspresi tidak senang. “Emang siapa lo? Ngerasa jadi pahlawan, hah?”
“Saya ini orang yang nggak suka lihat perempuan diganggu. Kalau kalian punya sopan santun, mending pergi sekarang sebelum masalah ini makin panjang,” jawab Budi tegas, sementara Agus, Yanto, dan Sardi bersiap di belakangnya.
“Kita nggak takut sama lo!” teriak salah satu pemuda sambil mendorong Budi. Namun, Budi tetap berdiri tegap.
Melihat Budi tidak mundur, Agus ikut maju. “Udah, kalau mau bikin ribut, mending pikir dulu. Kita nggak segan-segan lapor polisi!” ancamnya.
Setelah beberapa saat saling adu mulut, akhirnya para pemuda itu mulai merasa kalah jumlah dan perlahan mundur. “Dasar sok jagoan. Kali ini kita pergi, tapi lain kali, jangan harap bisa selamat!” ancam mereka sebelum pergi.
Michelle yang berdiri gemetar di sudut gang langsung merasa lega. Budi mendekat, menatapnya dengan khawatir.
“Mbak Michelle, nggak apa-apa? Mereka nggak nyakitin, kan?” tanyanya lembut.
Michelle menggeleng pelan. “Terima kasih, Mas Budi. Kalau Mas nggak datang, aku nggak tahu apa yang akan terjadi.”
Budi dan teman-temannya memutuskan untuk mengantar Michelle pulang ke kostnya. Sambil berjalan, Budi mencoba menenangkan Michelle yang masih terlihat syok.
“Kenapa pulang malam banget, Mbak? Bahaya kalau jalan sendirian di sini,” kata Budi dengan nada penuh perhatian.
“Saya tadi nggak sadar waktu sudah malam. Saya terlalu sibuk dengan tugas di perpustakaan,” jawab Michelle pelan.
“Saya ngerti tugas kuliah itu penting, tapi lain kali hati-hati, ya. Kalau perlu, kabari saya. Saya bisa jemput,” ucap Budi dengan tulus.
Michelle menoleh, menatap wajah Budi yang penuh perhatian. "Saya benar-benar beruntung kenal Mas Budi. Kalau Mas nggak ada, saya nggak tahu harus bagaimana.”
Budi tersenyum tipis. “Sudah jadi kewajiban saya, Mbak, buat bantu. Apalagi Mbak Michelle orang baik. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan minta tolong.”
Sesampainya di depan kost, Michelle berhenti dan menghadap Budi. "Mas, terima kasih sekali lagi. Saya nggak akan lupa bantuan Mas malam ini.”
“Jangan dipikirkan, Mbak. Yang penting Mbak selamat,” balas Budi. Dia ragu sejenak, lalu berkata, “Mbak Michelle, hati-hati terus, ya. Kalau ada apa-apa, Mbak bisa telepon saya kapan saja.”
Michelle mengangguk dengan senyum tipis. "Iya, Mas. Saya janji akan lebih hati-hati.”
Malam itu, setelah Michelle masuk ke kostnya, Budi berjalan pulang dengan perasaan lega sekaligus bangga. Dia tahu, malam ini dia telah melakukan sesuatu yang berarti. Dan mungkin, di hati Michelle, rasa kepercayaannya pada Budi semakin bertumbuh.
Malam yang Mencekam di Kost
Langit malam itu gelap pekat. Udara dingin menyeruak ke sela-sela jendela kamar Michelle yang sedikit terbuka. Di luar, angin berdesir, membuat dedaunan di pohon besar depan kost bergesekan satu sama lain, menciptakan suara yang menambah suasana mencekam. Michelle duduk di tepi ranjangnya, memeluk bantal sambil mendengarkan percakapan beberapa penghuni kost yang terdengar dari lorong.
"Mbak, aku nggak tahan lagi di sini. Suara dari kamar mandi itu nggak masuk akal. Seperti ada yang menarik rantai, tapi pas dicek, nggak ada apa-apa," kata salah satu penghuni kost dengan nada panik.
"Belum lagi tadi malam aku dengar suara perempuan menangis di kamar yang kosong itu. Padahal kamarnya udah lama nggak dipakai," sambung yang lain.
"Aku nggak mau ambil risiko. Kita nginap di tempat kost temanku aja. Tempat ini makin nggak aman," kata penghuni lain sambil mengemasi barang-barangnya.
Michelle mendengar semuanya dengan jelas. Dia hanya bisa duduk diam, mencoba mencerna cerita-cerita horor itu. Sejak beberapa hari terakhir, suasana di kost memang terasa berbeda. Ada beberapa penghuni yang pindah mendadak tanpa alasan jelas. Dan kini, dengan cerita yang baru saja dia dengar, Michelle mulai memahami penyebabnya.
Sendirian di Malam yang Sepi
Setelah para penghuni itu pergi, lorong kost menjadi sunyi. Michelle menyadari bahwa dia sekarang sendirian di bangunan itu. Sebagian besar kamar lain kosong karena penghuninya sudah pindah. Perasaan takut mulai merayapi dirinya.
Michelle mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca novel di mejanya. Namun, pikirannya terus-menerus terganggu oleh bayangan cerita yang dia dengar. Beberapa kali dia merasa seperti ada yang mengawasi dari balik pintu kamar, meski dia tahu itu hanya perasaannya saja.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari arah jendela. Michelle terlonjak. Dengan tangan gemetar, dia berjalan perlahan mendekati jendela. Ketika dia membuka tirainya, tidak ada siapa-siapa di luar. Hanya dedaunan pohon yang bergoyang ditiup angin.
Dia mencoba menenangkan diri, meyakinkan bahwa itu hanya angin. Namun, beberapa saat kemudian, suara seperti langkah kaki terdengar dari lorong. Michelle langsung meraih ponselnya dan menelpon seseorang yang dia tahu bisa diandalkan—Budi.
Budi Datang Menemani
Budi sedang beristirahat di kontrakannya setelah selesai membereskan gerobak pecel lele ketika ponselnya berdering. Dia melihat nama Michelle muncul di layar dan suara gadis itu terdengar panik di seberang.
“Mas Budi, bisa ke sini sekarang? Aku takut. Aku sendirian di kost, dan ada yang aneh !! pintanya dengan nada gemetar.
Tanpa banyak bertanya, Budi langsung mengenakan jaketnya dan menuju ke kost Michelle. Tidak butuh waktu lama baginya untuk sampai ke sana. Ketika dia tiba, Budi mendapati Michelle sedang menunggunya di depan kamar, wajahnya terlihat pucat.
“Ada apa, Mbak? Kenapa kelihatan ketakutan begini?” tanya Budi, mencoba menenangkan.
Michelle menceritakan semua yang dia dengar dan rasakan malam itu. Budi mendengarkan dengan serius, lalu berkata, “Tenang, Mbak. Saya di sini sekarang. Kalau Mbak takut, saya bisa temenin sampai pagi.
Michelle merasa lega mendengar tawaran itu. “Terima kasih, Mas. Aku benar-benar nggak tahu harus minta tolong ke siapa lagi.
Karena hujan mulai turun dan angin berhembus kencang, Tak lama kemudian mereka berdua pun memutuskan untuk masuk kedalam kamar kost saja untuk berbincang bincang.
"Saya cuma nebak aja, soalnya hari ini mbak keliatan capek banget. Lagi banyak tugas ya? Tanya Budi tersenyum tipis sambil memandang Michelle yang sibuk mengunyah.
"Iya, Mas. Deadline-nya bertumpuk. Aku sampai nggak sempet mikirin makan, deh. Kata Michelle sambil menaruh potongan tahu di piring kecil di sampingnya lalu memandang ke arah laptop di meja.
"Makanya aku bawain ini. Biar ada tenaga buat nyelesein tugasnya. Kata Budi sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar, memperhatikan Michelle yang tampak lelah.
"Makasih ya, Mas. Kamu perhatian banget."
Kata Michelle dengan suara pelan, nyaris tenggelam di antara suara hujan yang mulai turun diluar sana.
"Kalau capek, jangan lupa istirahat, ya. Tugas memang penting, tapi kesehatanmu lebih penting. Kata Budi sambil menatap Michelle serius, seolah ingin memastikan pesannya sampai.
"Iya, aku tahu... tapi deadline tugas ini nggak ngasih aku ruang buat santai, Mas."
Kata Michelle menghela napas panjang. Tatapannya kembali ke layar laptop, tapi kali ini matanya berkabut lelah.
"Gimana kalau aku bantu? Mungkin aku nggak jago, tapi siapa tahu aku bisa ngeringanin sedikit. Kata Budi menyodorkan diri dengan nada lembut, berharap bisa membuat Michelle merasa lebih baik.
"Serius, Mas? Tapi ini tugas kuliah, loh. Kayaknya rumit buat kamu. Kata Michelle sambil tersenyum kecil dan menoleh kearah Budi. Dia tampak terkejut sekaligus terharu.
"Rumit? Nggak masalah. Rumitnya tugasmu nggak bakal lebih rumit dari hati aku yang berusaha ngungkapin rasa ke kamu. Kata Budi sambil tertawa pelan mencoba mencairkan suasana yang tegang malamm itu.
Michelle terdiam sesaat. Wajahnya memerah, tapi dia berpura-pura tidak mendengar. Budi tertawa lagi, kali ini lebih lepas, sambil mengambil tempat duduk di sebelah Michelle.
Michelle Menggelengkan kepala dengan senyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa malunya.
"Kamu ini ya, bisa aja. Udah, bantu aku baca literatur aja, biar nggak banyak becanda!"
Budi mengangguk semangat, merasa senang karena akhirnya bisa sedikit mendekati hati Michelle, meski suasana di luar makin mencekam dengan suara angin yang kian kencang.
Budi juga menyadarinya, ada suara suara aneh diluar sana dan membuatnya penasaran. Budi bangkit dari tempat duduknya, membuka pintu, dan memeriksa keseluruh bagian lorong. Namun anehnya lorong kamar yang panjang itu ternyata kosong, hanya diterangi lampu redup yang menggantung di langit-langit.
“Mas, apa ada sesuatu di luar?” tanya Michelle dengan nada cemas.
“Iya nih mas udah beberapa hari ini aku kurang tidur kayaknya. Terus badanku juga berasa gak enak gitu, kayak pegel pegel semua. Jawabnya dengan sedikit manja.
Mendengar perkataannya Budi langsung terkejut karena dengan tanpa rasa malu Michelle menurunkan kedua tali baju yang melintang dipundaknya dan juga melepas pengait bra nya. Dan Budi terbelalak.. betapa besar payudaranya dengan putingnya yang berwarna coklat muda. Setelah Michelle kembali menelungkup diatas ranjang, tanpa malu-malu Budi lanjutkan untuk memijat lagi punggungnya yang putih dan mulus. Cukup lama Budi memijatnya hampir setengah jam dan dia memang sengaja memperlambatnya agar bisa berlama lama menyentuh tubuhnya.
Tanpa disadari Michelle malah membalikkan badannya dengan telentang diranjang dan menatap pedagang pecel lele itu dengan sedikit manja.
“Bagian depannya sekalian dipijat mas. ujarnya
“Bagian depan ? maksudnya gimana Mbak ? tanyanya.
“Yang ini kan belum dipijat.. ujarnya sambil meraih tangan Budi dan mengarahkan pada buah dadanya.
Dada Budi langsung berdegub kencang ketika menyentuh buah dadanya yang sudah lama dia kagumi itu. Buah dadanya yang indah seperti sedang membius Budi hingga tanpa sadar tanganya mulai meremasi payudaranya dengan lembut.
“Kamu suka diginiin Mbak ? kayaknya tanggung kalau cuma begini aja deh. ujar Budi yang semakin penasaran.
Bukannya memijat tapi Budi malah semakin berani saja dan mendekatkan wajahnya kearah wajah gadis chindo itu dan berusaha mencium bibirnya.
Michelle hanya diam saja dan memejamkan matanya ketika Budi melumat bibirnya. lantas pria itu semakin nekat dan menciumi buah dadanya sambil kumainkan pentilnya hingga Michelle mendesis keenakan
“Mas.. Mas.. ahh.. aahhh…. Ahhh.. Budi terus mengulum puting gadis chindo itu dan tangannya pun nggak mau ketinggalan bergerilya di kemaluannya yang masih tertutup celana dalamnya yang berwarna pink. Pertama dia mengibaskan tangan pria itu dia bilang, “Jangan Mas.. jangan Mas..” Tapi Budi nggak peduli.. terus saja dia masukkan tangannya ke CD-nya dan ternyata kemaluannya sudah basah sekali.
Dan mendesis-desis kegirangan, tangan Michelle sudah gatal ingin memegang penis Budi saja. Lantas Budi berdiri diatas ranjang, membuka baju dan celananya sendiri kemudian langsung saja Michelle memegang penisnya dan mengocoknya dengan lembut.
“Jilatin saja coba biar nanti tambah besar. pintanya. Lantas Michelle menjilati penisnya, lama-kelamaan dia keenakan juga dan mau untuk mengulum penisnya, tapi pas pertama Michelle mengulum penisnya, dia mau muntah “Huk.. huk.. aku mau muntah Mas, habis penisnya besar dan panjang.. nggak muat tuh mulutku.” katanya.
“Michelle.. Mas masukkan yah.. penis Mas ke vaginamu” katanya.
Budi tetap saja meneruskan makin dia sodok dan slep.. bles.. Michelle menggeliat-geliat dan meringis menahan sakitnya.
Budi mulai menggerakkan penisnya maju mundur. “Ah.. Mas.. ah.. Mas..” Rupanya Michelle sudah merasakan nikmat dan meringis-ringis kesenangan.
“ohh… Mas..” Budi terus dengan cepatnya menggenjot penisnya maju mundur.
“Pelan pelan Mas.. ujarnya dengan tatapan yang memelas.
“Ouchhh sshhhh…. Udah lama mas pengen menikmati tubuh gadis chindo sepertimu sayangg.. ujar Budi sambil melumat buah dada Michelle yang montok dan menggairahkan.
Saat digenjot kedua payudara Michelle yang kencang dan montok bergoyang goyang kesana kemari hingga membuat pria itu makin bergairah saja. Budi terus meremasi buah dadanya yang indah dan mengenyot putingnya hingga pipinya terlihat kempot.
Hampir setengah jam Budi menyetubuhi mahasiswa chindo itu diatas ranjang hingga kain spreinya terlihat berantakan akibat pergumulan panas mereka berdua. Beberapa saat kemudian Budi mempercepat hentakan pinggulnya hingga tubuh Michelle tersentak sentak dan tiba tiba Budi melihat tubuh gadis itu melejang lejang diatas ranjang kecilnya. Oouugh.. Budi baru sadar kalau ternyata gadis chindo yang berdada montok itu sudah mencapai klimaksnya dan matanya pun membeliak keatas seperti sedang menikmati sesuatu dalam dirinya.
“Terus Mas.. terus Mas.. lebih cepat lagi..” pinta Michelle. Tak lama Budi merasakan penisku hampir mengeluarkan mani, pedagang pecel lele itu langsung mencabut penisnya karena dia tak mau kalau gadis itu sampai hamil akibat perbuatannya.
“Terus sayang.. Mas sudah mau keluar nich.. sshhh.. Michelle mempercepat kulumnya hingga kepala penis Budi terasa berkedut dan.. cret.. cret.. maninya sebagian muncrat ke dalam mulut Michelle hingga ia meringis.
“Michelle.. maafkan Mas.. yach.. aku khilaf tadi.. maaf.. yach !
“Nggak apa-apa Mas.. semuanya sudah telanjur kok Mas.. Lantas Michelle menelungkupkan kepalanya diatas dada pria itu dengan manja.
Ketika pagi tiba, sinar matahari mulai masuk melalui jendela, menghapus suasana mencekam malam itu. Michelle terbangun dan merasa jauh lebih tenang.
“Mas Budi, terima kasih sudah menemani saya semalam,” kata Michelle dengan tulus.
“Sama-sama, Mbak. Kalau ada apa-apa lagi, jangan ragu hubungi saya,” jawab Budi sambil tersenyum.
Michelle mengangguk. Dia merasa lebih percaya pada Budi. Dalam hatinya, dia tahu bahwa Budi adalah orang yang selalu bisa diandalkan, tidak peduli situasi apa pun yang dia hadapi. Namun sayangnya Budi tak sebaik yang dia bayangkan karena pria itu begitu terobsesi dengan dirinya dan berupaya mendapatkannya dengan segala cara termasuk menaruh bubuk obat perangsang pada makanan yang dibawanya untuk Michelle malam itu sehingga akhirnya terjadilah perbuatan terlarang dikamar kost tsb.
Pecel lele + ramuan special bikit horny
BalasHapusMistik + erotik
Pecel pelet ni haha
BalasHapus