By : Kucing Rumah
Viani seorang gadis muda keturunan Tionghoa, duduk di belakang meja kayu di toko buku milik keluarganya. Udara di dalam toko terasa nyaman, dengan aroma kertas dan tinta yang khas. Toko buku itu terletak di pinggir jalan utama kota, di antara gedung-gedung tua yang sudah berusia puluhan tahun. Ayah Viani, seorang pria paruh baya dengan wajah yang selalu serius, mengelola toko buku ini dengan penuh dedikasi. Viani, yang masih duduk di bangku sekolah menengah, seringkali diminta menjaga toko ketika ayahnya harus keluar atau saat toko sedang sepi.
Melodi Ditengah Kota
Hari itu, seperti biasa, Viani duduk sambil membaca buku di meja kasir, menunggu pelanggan yang datang. Toko buku ini tidak terlalu besar, tapi sudah cukup dikenal di kalangan warga sekitar. Namun, yang lebih menarik perhatian Viani bukanlah pelanggan yang datang, melainkan seorang pemuda yang selalu mengamen di depan toko.
Pemuda itu selalu datang saat sore hari, dengan gitar akustik yang sudah terlihat usang. Penampilannya memang tidak mencolok—rambutnya kusut, bajunya kumal, dan wajahnya tampak lelah. Namun, ada satu hal yang membuat Viani selalu terpaku setiap kali mendengarnya: suara pemuda itu. Suaranya begitu merdu, penuh perasaan, dan seolah membawa pendengarnya ke dalam dunia yang berbeda.
Suatu hari, Viani merasa ada yang berbeda. Ketika pengamen itu mulai memainkan gitarnya, Viani merasa jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Lagu yang dinyanyikan pengamen itu adalah sebuah lagu lama yang sering didengarnya di radio, namun kali ini, ada nuansa yang membuat lagu itu terasa lebih hidup dan emosional.
Viani memandangi pemuda itu dari jendela toko. Ada sesuatu dalam diri pemuda itu yang menarik perhatian Viani lebih dari sekadar suaranya. Meskipun tampak kumal dan tak terawat, ada sinar di matanya, semangat hidup yang sulit dijelaskan.
Setelah beberapa hari mendengar pengamen itu bernyanyi, Viani memberanikan diri untuk mendekatinya.
"Mas, suaramu bagus sekali," ujar Viani ragu, saat pemuda itu berhenti bernyanyi dan mulai menyetel gitarnya.
Pengamen itu menoleh, sedikit terkejut. "Oh, terima kasih, Nona. Cuma pengamen jalanan seperti saya ini, enggak banyak yang peduli."
Viani tersenyum. "Aku sering dengerin kamu dari dalam toko buku. Kamu nyanyi dengan penuh perasaan."
Pengamen itu tersenyum malu. "Ah, saya cuma nyanyi karena suka, bukan karena apa-apa."
Viani merasa ada yang menarik dalam kata-kata pengamen itu. Tanpa banyak pikir panjang, dia melangkah maju. "Aku Viani. Kalau kamu butuh minum atau sesuatu, jangan sungkan-sungkan masuk ke dalam toko."
Pengamen itu terlihat ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk. "Terima kasih, Viani."
Malam itu, Viani tidak bisa tidur. Pikiran tentang pengamen muda itu terus mengganggunya. Suaranya, senyumnya, bahkan cara dia berbicara—semuanya terasa seperti magnet yang menarik hatinya. Tanpa sadar, ia mulai merasa tertarik padanya. Sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Hubungan Diam-Diam
Hari-hari berikutnya, Viani semakin sering berinteraksi dengan pengamen itu. Setiap kali ia datang, Viani akan memberinya air minum atau sekadar mengobrol sebentar di depan toko. Waktu berlalu begitu cepat saat mereka berbicara. Ternyata, nama pengamen itu adalah Arif. Meski pengamen jalanan, Arif memiliki cerita hidup yang penuh lika-liku. Ia pernah belajar musik di sebuah sekolah, tapi hidupnya berubah setelah keluarganya jatuh miskin dan dia harus mencari nafkah sendiri.
Suatu malam, setelah Arif selesai mengamen, dia mengajak Viani untuk berjalan-jalan sebentar di sekitar kota. "Kamu suka musik, Viani?" tanya Arif, dengan nada yang lebih pribadi.
Viani mengangguk. "Iya, aku suka. Tapi lebih suka buku sih. Ayahku punya toko buku, jadi aku sering di sini."
Arif tersenyum. "Buku dan musik, dua hal yang berbeda tapi punya kekuatan yang sama untuk menyentuh hati, ya?"
Viani merasa jantungnya berdebar. "Iya, benar."
Sejak malam itu, Viani dan Arif mulai menjalin hubungan yang lebih dekat, meskipun tidak ada yang tahu, terutama ayahnya. Viani selalu memastikan untuk menjaga jarak dengan Arif saat di toko atau ketika ada orang lain di sekitar mereka. Mereka bertemu secara diam-diam, pergi ke tempat-tempat yang tidak diketahui orang, dan saling berbagi cerita.
Namun, seperti yang bisa diperkirakan, hubungan mereka tidak bisa selalu disembunyikan.
Konfrontasi dengan Ayah
Suatu hari, Viani baru saja keluar dari toko buku untuk menemui Arif. Saat dia berjalan menuju tempat biasa mereka bertemu, ayahnya tiba-tiba muncul di belakangnya.
"Viani!" Ayahnya memanggil dengan suara keras, membuat Viani terkejut dan berhenti. "Kemana kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?"
Viani berbalik dan melihat ayahnya, yang tampak marah. "Ayah... aku hanya sebentar saja..."
Tapi sebelum Viani bisa melanjutkan penjelasannya, ayahnya memotong, "Aku tahu apa yang kamu lakukan, Viani. Aku tahu kamu sering bertemu dengan pengamen itu."
Viani terdiam, matanya menunduk. "Ayah, Arif itu... bukan orang jahat. Dia cuma seorang pengamen."
Ayahnya mendekat, wajahnya merah karena marah. "Aku tidak peduli siapa dia! Kamu anak perempuan dari keluarga terhormat. Tidak seharusnya kamu berhubungan dengan orang seperti dia."
Viani merasa hatinya hancur. "Tapi Ayah, aku mencintainya. Arif orang yang baik. Kamu tidak tahu seberapa besar dia berusaha untuk hidup lebih baik."
Ayahnya terdiam, lalu dengan tegas berkata, "Kamu tidak akan bertemu dengannya lagi. Itu perintahku."
Viani menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku akan tetap bertemu dengannya. Aku mencintainya, Ayah."
Rahasia Terbongkar
Beberapa minggu setelah kejadian itu, hubungan Viani dan Arif semakin sulit disembunyikan. Mereka semakin sering bertemu, bahkan beberapa kali Arif mengantarkan Viani pulang setelah pulang sekolah. Suatu hari, saat mereka sedang duduk di taman kota, ayahnya yang kebetulan lewat melihat mereka.
Ayahnya tidak bisa menahan emosinya. Dia berjalan cepat menghampiri mereka. "Viani!" suaranya bergetar, penuh amarah. "Aku sudah melarangmu untuk bertemu dengannya!"
Viani mencoba menjelaskan, "Ayah, ini bukan salah Arif. Dia... dia... baik, Ayah. Aku mencintainya."
Tapi ayahnya tidak mau mendengarkan. "Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga! Ini sudah cukup! Kamu tidak akan bertemu dengan pengamen itu lagi, atau kamu keluar dari rumah ini!"
Viani merasa dunia runtuh di sekelilingnya. Di mata ayahnya, Arif hanyalah seorang pengamen jalanan yang tidak layak untuknya. Semua yang dia impikan, semua yang dia rasakan, hancur begitu saja.
Namun, Viani tidak bisa berhenti mencintai Arif. Ia harus memilih antara keluarganya dan cintanya. Dalam hati, Viani tahu, meskipun keputusan itu berat, cinta kadang tidak bisa dibendung.
Makan Bersama Arif
Beberapa hari setelah konfrontasi dengan ayahnya, Viani merasa gelisah. Ia tahu, hubungannya dengan Arif semakin sulit disembunyikan. Namun, perasaan cintanya tidak bisa ditekan begitu saja. Ketika bel pintu toko buku berbunyi, Viani menoleh dan melihat Arif berdiri di depan pintu, tersenyum seperti biasa. Untuk beberapa detik, rasa cemas di hati Viani sedikit menghilang, tergantikan oleh perasaan hangat yang selalu ia rasakan saat melihat Arif.
"Viani, sudah selesai sekolah?" tanya Arif, suaranya terdengar santai meski ada kecemasan yang terkandung di dalamnya.
"Iya," jawab Viani sambil melirik sekeliling, memastikan tidak ada orang lain yang melihatnya. "Ada apa, Arif?"
Arif mengangkat tangannya, menunjuk ke arah warung kecil yang terletak tak jauh dari toko buku. "Aku tahu tempat makan yang enak, kamu mau ikut makan siang dengan aku?"
Viani tersenyum, meskipun hatinya masih ragu. "Baiklah, aku ikut. Tapi sebentar saja."
Mereka berjalan keluar dari toko buku dan menyusuri jalan kecil yang menuju warung tersebut. Warung itu sederhana, hanya sebuah kedai dengan atap yang sedikit miring, namun aroma makanan yang tercium dari dalam sudah cukup menggoda. Arif duduk di salah satu meja yang ada di pojok, dan Viani mengikuti.
"Ini tempat makan favoritku," ujar Arif sambil memesan dua porsi nasi goreng spesial.
Mereka makan dalam keheningan, hanya sesekali saling bertukar senyum atau tanya jawab ringan. Viani merasakan kedamaian yang langka setiap kali bersama Arif. Di tengah hiruk-pikuk kota yang sibuk, mereka berdua seolah berada di dunia yang berbeda—sebuah dunia yang penuh dengan kenyamanan meskipun serba kekurangan.
"Enak, kan?" Arif bertanya, mata berbinar melihat Viani menikmati makanannya.
"Enak banget," jawab Viani, senyum tipis merekah di wajahnya. "Aku nggak nyangka ada tempat makan semenyenangkan ini di sini."
Arif tertawa pelan. "Tapi cuma orang yang suka ke tempat kecil kayak gini yang bisa tahu."
Setelah selesai makan, Arif mengajak Viani keluar dan menuju ke motor vespa tua miliknya yang terparkir di sudut jalan.
"Kamu suka naik motor?" tanya Arif sambil melemparkan helm ke arah Viani.
Viani mengangguk, meskipun sedikit ragu. "Aku sih belum pernah naik motor vespa, tapi kalau kamu yang bawa, aku yakin aman."
"Jangan khawatir," jawab Arif sambil tersenyum lebar, "Aku sudah biasa. Sekalian ajak keliling kota, biar kamu lihat tempat-tempat yang nggak pernah kamu lihat sebelumnya."
Dengan hati berdebar, Viani mengenakan helm dan duduk di belakang Arif. Mereka melaju pelan, menyusuri jalan-jalan kota yang sudah mulai dipenuhi lampu-lampu jalan. Suasana sore itu terasa begitu berbeda, lebih tenang dan penuh warna.
Keliling Kota
Arif membawa Viani ke beberapa tempat yang jarang dikunjungi orang. Mereka melintasi gang-gang kecil yang dipenuhi toko-toko tua, dan berhenti di sebuah jembatan yang menghadap ke sungai. Di sana, mereka duduk berdua, menikmati pemandangan matahari terbenam yang memantul di permukaan air.
"Tempat ini selalu bikin aku merasa lebih hidup," kata Arif, sambil melihat Viani dengan penuh perhatian. "Sama seperti musik. Kalau kamu tidak mendengarkan dengan seksama, kamu nggak akan merasakan kedalaman dari sebuah lagu."
Viani memandang Arif, merasa semakin dekat dengan pemuda itu. "Aku senang kamu mengajakku ke sini. Tempat-tempat ini... terasa lebih berharga dibandingkan dengan apa yang orang lain lihat di luar."
Arif tersenyum, melanjutkan perjalanan mereka. Sepeda motor melaju melewati jalan-jalan yang semakin gelap, menuju pemukiman yang jauh lebih kumuh, tempat tinggal Arif yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
Kamar Kontrakan Arif
Setelah beberapa waktu, Arif berhenti di sebuah gang sempit yang penuh dengan rumah kontrakan. Kamar-kamar kecil berderet di sepanjang gang, dengan dinding-dinding yang sudah mulai rapuh. Beberapa lampu neon berkedip redup, sementara udara di sana terasa pengap, jauh berbeda dengan suasana di luar.
"Ini rumahku," kata Arif sambil membuka pintu salah satu kamar kontrakan kecil yang berada di ujung gang.
Viani menatap sekelilingnya dengan hati yang berat. Meskipun kamar itu terlihat sederhana, bahkan cenderung kumuh, ia bisa merasakan bahwa di sinilah Arif hidup—di tengah-tengah keterbatasan yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.
"Maaf kalau kamarnya nggak terlalu nyaman," kata Arif, menyadari pandangan Viani yang agak ragu. "Tapi ini yang aku punya. Aku tinggal di sini sendiri setelah keluargaku pindah."
Viani mengangguk pelan, mencoba untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanan yang ia rasakan. Ia masuk ke dalam kamar, dan duduk di salah satu kursi kayu yang terlihat sudah usang. Di dinding kamar terdapat poster-poster musik, beberapa foto hitam putih, dan beberapa alat musik yang tersebar di sudut ruangan.
"Aku bisa lihat dari sini bahwa kamu memang cinta musik," ujar Viani, mengamati dinding kamar yang penuh dengan koleksi kecil milik Arif.
Arif tersenyum malu, kemudian duduk di samping Viani. "Iya, musik adalah cara aku bertahan hidup, Viani. Musik adalah bagian dari aku yang tidak bisa dihilangkan."
Viani merasa hatinya semakin tersentuh. "Aku tahu kamu berjuang keras, Arif. Meskipun kamu tinggal di sini, aku bisa lihat semangatmu untuk terus maju."
Arif menatap Viani, ada kilatan rasa terima kasih di matanya. "Aku bersyukur bisa punya seseorang yang memahami seperti kamu."
Mereka duduk bersama, berbicara tentang kehidupan, tentang impian dan kesulitan yang dihadapi. Dalam kamar yang sederhana itu, Viani merasa lebih dekat dengan Arif dari sebelumnya. Namun, ada perasaan campur aduk dalam dirinya. Ia tahu, hubungan mereka tidak akan mudah. Terutama dengan kenyataan bahwa keluarganya tidak pernah menerima hubungan ini.
Namun, perasaan cinta yang ia rasakan lebih besar dari semua itu. Viani merasa, meski jalan yang mereka pilih penuh rintangan, Arif adalah seseorang yang membuatnya merasa hidup—dalam cara yang berbeda, jauh lebih tulus daripada apa yang ia rasakan di rumah.
Ketika Arif menggenggam tangannya dengan lembut, Viani merasa ketenangan. Meskipun dunia di luar kamar ini mungkin tidak setuju dengan hubungan mereka, di sini, di antara dinding-dinding yang sederhana ini, Viani tahu bahwa cintanya pada Arif adalah sesuatu yang benar dan tidak bisa dihalangi oleh siapa pun.
Didalam kamar yang sederhana dan terkesan berantakan itu kemudian mereka berbincang hangat menceritakan perjalanan hidupnya masing masing. Melihat Viani yang semakin nyaman kemudian Arif mulai memberanikan diri untuk mengungkapkan sebuah ide padanya.
Viani apa bener kamu mencintaiku ? Tanya Arif sambil menatap lembut wajahnya.
Iya aku mencintaimu Arif. Tak peduli apa tanggapan dari keluargaku. Aku ingin selalu bersamamu.
Apa kamu tidak takut hidup menderita jika terus bersamaku seperti ini ?
Tidak Arif. Aku mencintaimu dengan setulus hatiku. Aku rela melakukan apa saja asal bisa tetap bersamamu.
Hmm.. begini saja. Aku punya cara supaya keluargamu mau menerima kenyataan ini.
Setelah mengatakan hal seperti itu kemudian Arif memandangi gadis muda tsb dan Viani pun membalasnya. Keduanya berdiri saling bertatapan satu sama lain memancarkan rasa cintanya masing masing. Arif pun memberanikan diri untuk mengecup kening gadis itu dan Viani hanya bisa pasrah menerimanya. Pengamen jalanan ini merasa kini sudah waktunya untuk menjalankan rencananya, dia melihat Viani sudah merasa nyaman dalam pelukannya.
Arif kembali menatap gadis itu tapi kali ini tatapan matanya agak berbeda dan dipenuhi napsu birahi. Lelaki mana yang tahan bila sedang berduaan didalam kamar sambil ditemani oleh seorang gadis muda chinese secantik Viani. Hal ini pun dirasakan oleh Arif yang merasa jadi orang paling beruntung sedunia karena bisa mendapatkan cinta seorang gadis tionghoa seperti Viani.
Tanpa pikir panjang pengamen yang wajahnya jauh dari kata tampan itu langsung melumat bibir Viani dan selama beberapa waktu keduanya pun saling berpagutan, menambah panas suasana didalam kamar kontrakan yang sempit dan berantakan itu.
Rasa cinta Viani membuat dirinya begitu pasrah menerima setiap perlakuan yang diberikan oleh kekasih jalanannya. Dengan cepat gadis itu membalas lumatan bibirnya dan tanpa disadari Arif membalasnya lagi dengan melucuti satu-persatu kancing baju seragam sekolahnya.
Arif terpana melihat indah tubuh putih Viani yang begitu mulus menggoda, dengan napas memburu diapun langsung meremas buah dada gadis itu yang masih terbungkus oleh pakaian dalamnya.
Engghhh... Viani meringis dan melenguh panjang pasalnya baru kali ini tubuhnya dijamah oleh seorang pria, pengamen jalanan yang dipandang rendah oleh keluarganya namun berhasil menaklukkan hatinya.
Arif semakin tak tahan lalu diapun menyingkap bh berwarna cream milik kekasihnya kearah bawah.
Belum pernah aku melihat tetek seindah ini Viani. Pujinya sambil memandangi sepasang payudara gadis itu yang putingnya berwarna pink.
Boleh aku menyusu sama kamu ? Tanya Arif berbasa basi supaya terlihat sopan dimata kekasihnya.
Viani tak menjawab dan hanya mengangguk pelan, perlahan dia membusungkan dadanya kearah depan, menandakan dirinya sudah rela berkorban demi pengamen jalanan itu. Arif pun tersenyum penuh kemenangan dan beberapa saat kemudian dia merundukan sedikit badannya guna menyusu dibuah dadanya yang menggantung indah, laksana buah mangga mengkal yang siap untuk dipetik.
Srooott.. Arif semakin lupa diri dan terus mengenyot buah dada gadis chinese idaman hatinya tsb, membuat Viani melenguh keenakan dan tanpa sadar tubuhnya yang masih mengenakan seragam sekolah jadi menggeliat.
Arif tak berhenti sampai disitu, dia terus berpindah pindah tempat terkadang menyusu dibuah dada Viani yang sebelah kanan dan terkadang menyusu dipayudara yang sebelah kiri berupaya mencari kenikmatan yang belum pernah dirasakannya.
Meskipun wajahnya terbilang pas pasan namun Arif termasuk pemuda yang beruntung karena dia memiliki sebuah kelebihan dalam dirinya. Suaranya yang merdu seperti seorang penyanyi kawakan mempunyai kekuatan seperti penyihir yang menghipnotis semua pendengarnya, tak jarang ketika sedang mengamen ada pelanggannya yang rela memberikan uang dalam jumlah besar karena merasa kagum dengan suaranya dan juga kemampuannya dalam memainkan gitar. Hal ini pun terjadi pada diri Viani dimana pengamen itu begitu pandai mengambil hatinya dengan menyanyikan lagu lagu romantis bertemakan cinta yang tulus yang membuat dirinya mabuk kepayang, bagaikan sebuah ilmu pelet yang sedang mendegradasi pikiran korbannya.
Arif mendorong pelan tubuh Viani hingga terhimpit dinding kamar kontrakannya yang sudah kusam dan mengelupas. Pengamen itu mengangkat dan menyatukan kedua tangan kekasihnya lurus keatas sambil dipegangi oleh tangan kirinya.
Kamu bener bener cantik Viani. Aku sangat beruntung bisa memilikimu. Ucapnya sambil mengecup kembali bibir gadis sekolahan itu.
Sambil melumat bibirnya tak lupa Arif juga menggunakan tangan kanannya untuk meremasi buah dada kekasihnya, remasan lembut itu membuat gairah Viani semakin meninggi membuat keduanya semakin lupa diri.
Arif tak berhenti sampai disitu karena baginya ini adalah kesempatan langka yang harus dimanfaatkan dengan sebaik baiknya, hasratnya untuk mengekploitasi gadis chinese sekolahan itu pun semakin meluap luap dan ini jelas terlihat dari tangan kanannya yang mulai menelusup masuk kedalam rok seragam gadis itu.
Sambil terus melumat bibir mungilnya Arif melucuti celana dalam Viani hingga turun kebawah, dengan cepat dia berjongkok dan mengangkat sebelah kaki gadis itu sambil memasukan kepalanya kedalam rok.
Slurp.. suara jilatan terdengar keras membahana ketika lidah pengamen itu menyapu kemaluan Viani yang masih perawan dan tersegel.
Oouhh.. Ariiff apa yang kamu lakukan.. lenguh Viani yang baru kali ini merasakan betapa nikmatnya cumbuan seorang pria dikemaluannya.
Arif tak menjawab dan terus melanjutkan perbuatan nakalnya didalam rok Viani, dia jilat jilat dan lumat habis bibir kemaluan gadis itu hingga basah kuyup terkena air liurnya.
Sekarang waktunya kamu belajar untuk menjadi gadis dewasa. Bisik Arif ditelinganya.
Arif segera membaringkan Viani diatas tikar lusuh kamar kontrakannya, dengan cepat dilucuti semua pakaian yang tersisa dibadan gadis itu hingga dalam waktu singkat tubuh mulus Viani sudah telanjang tanpa busana. Melihat keadaan ini Arif pun tak mau ketinggalan dan melucuti pakaiannya sendiri, celana jeans bututnya juga dilemparkan begitu saja ke sudut ruangan.
Setelah cukup lama mencumbui tubuh gadis chinese itu kemudian Arif yang dalam posisi berlutut membuka kedua paha Viani hingga terbuka lebar. Sleebb.. kepala penisnya langsung dia hujamkan kedalam vagina kekasihnya. Uuuhh..
Proses memperawani seorang gadis memang tak semudah itu sehingga Arif yang sudah berpengalaman pun sedikit kesulitan dibuatnya, berkali kali kepala penisnya yang berbentuk seperti cendawan meleset keluar ketika dihujamkan dengan keras. Namun dia tak menyerah dan terus berusaha sampai badannya yang hitam legam jadi dipenuhi keringat.
Jleebb.. Arif mendorong lagi penisnya yang kokoh seperti kayu dan kali ini rupanya dia beruntung karena kepala penis itu berhasil melesak kedalam kemaluan Viani, karena masih terasa ada penolakan maka Arif pun memutuskan untuk melakukan proses tarik ulur penisnya didalam sana, guna merangsang lendir kawin Viani agar lebih banyak yang keluar dan memperlancar proses penetrasinya.
Setelah kekasihnya sudah bisa beradaptasi dengan penis besar itu kemudian Arif mulai menggoyang goyangkan pinggulnya kedepan dan kebelakang, menusuk nusuk kemaluan Viani dengan penisnya yang sangat keras.
Ooughh.. nikmat sekali Vianii.. Ujar Arif sambil menghujam hujamkan penisnya lebih kencang lagi membuat tubuh telanjang Viani jadi tersentak sentak diatas tikar lusuhnya.
Berbeda dengan Arif yang merasakan kenikmatan ketika sedang mengaduk aduk liang kenikmatan seorang gadis cina, Viani justru mengerang kesakitan ketika penis pribumi itu menghujam dengan sangat kasar dan begitu kencangnya, membuat tubuhnya menggeliat geliat dengan hebat diatas tikar.
Melihat Viani kesakitan Arif pun menurunkan lagi irama pompaan penisnya, dia diamkan sebentar penis itu sambil menikmati remasan dinding vagina kekasihnya yang terasa hangat dan lembab.
Arif tau ukuran penisnya memang diatas rata rata sehingga wajar saja kalau Viani merasa kesakitan seperti itu ketika pertama kali diperawanin olehnya. Namun dia sadar ini adalah sebuah proses yang harus dilalui demi menggapai tujuannya guna mendapatkan gadis itu sepenuhnya.
Beberapa saat kemudian Arif kembali memainkan pinggulnya membuat penis besar itu kembali keluar masuk didalam kemaluan Viani. Semakin lama pemuda itu semakin merasakan betapa kuatnya jepitan dinding kemaluannya kekasihnya, sehingga diapun semakin bersemangat untuk memompa lebih kencang lagi.
Slebb.. Sleebb.. rasanya sungguh nikmat sekali bisa memperawani seorang gadis chindo sekolahan seperti Viani, gadis lugu yang selama ini dikenalnya sebagai anak pemilik toko buku itu kini sudah berada didalam genggaman tangannya dan tak akan dilepaskannya apapun yang terjadi.
Arif mengangkat kedua kaki Viani dan meletakkan diatas pundaknya, dengan posisi ini pengamen itu dapat lebih leluasa menghujam hujamkan penisnya kedalam kemaluan gadis cina yang sudah resmi menjadi kekasihnya tsb.
Sleebb.. Slebb.. Semakin lama pompaan itu semakin kuat dan tak terkendali hingga akhirnya Arif merasakan ada sesuatu yang akan meledak keluar dari dalam penisnya.
Oouhh.. Vianiii.. mulai hari ini kamu akan jadi miliku sepenuhnya.. dan keluargamu tak akan bisa menghalangi kita lagi.. enggh.. Crot.. beberapa saat kemudian air mani pengamen itu pun membuncah keluar membanjiri rahim kekasihnya.
Setelah melakukan perbuatan terlarang didalam kamar kontrakan itu Arif pun mengantar Viani pulang kerumahnya dan beruntung saat itu keluarga Viani sedang tak ada dirumah sehingga Viani dapat dengan leluasa masuk kedalam rumahnya tanpa di ketahui oleh siapapun.
Moga dilanjutkan lagi Arif
BalasHapus