By : Kucing Rumah
Suatu pagi, ia mendapat pesanan dari seorang wanita muda keturunan chinese. Saat ia sampai di titik penjemputan, Raka terkejut melihat seorang wanita cantik berdiri di sana. Kulitnya putih bersih seperti porcelain dengan rambut hitam panjang tergerai, dan senyumnya memancarkan keramahan. Wanita itu bernama Mei Lin, seorang lulusan baru yang bekerja di sebuah perusahaan startup.
"Selamat pagi, Mas. Ini untuk Mei Lin, kan?" tanya wanita itu sambil tersenyum.
"Iya, betul, Mbak Mei Lin. Silakan naik," jawab Raka sambil sedikit canggung karena dia jarang bertemu penumpang seperti Mei Lin.
Sejak itu, Mei Lin menjadi langganan tetap Raka karena keduanya membuat kesepakatan diluar aplikasi yang ada. Raka menawarkan tarif berlangganan untuk mengantar jemputnya ke kantor dengan harga yang lebih bersahabat sehingga membuat gadis itu tertarik.
Suatu Hari
Hari itu tak seperti biasanya wajah Mei Lin terlihat murung saat Raka menjemput di kantornya.
"Ada apa, Mbak? Kok kelihatannya nggak seperti biasanya ? Biasanya kan full senyum gitu ? Hehe.. Tanya Raka mencoba membuka obrolan dengan gadis pelanggannya.
Mei Lin menghela napas panjang. "Hari ini nggak enak banget, Mas. Bos aku marah-marah gara-gara laporan yang aku buat katanya nggak sesuai ekspektasi. Padahal aku udah kerja keras semalaman.
Raka mengangguk, mendengarkan dengan seksama. "Saya ngerti, Mbak. Kadang orang di atas suka nggak lihat usaha kita. Tapi, saya yakin Mbak Mei Lin pasti bisa belajar dari ini. Kalau nggak salah, Mbak baru kerja, kan?"
"Iya, Mas. Baru tiga bulan. Kadang aku ngerasa nggak cukup baik untuk pekerjaan ini. Jawabnya dengan nada sedih.
"Mbak Mei Lin, saya ini tiap hari ketemu banyak orang. Ada yang senyum ramah, ada juga yang ngomel-ngomel nggak karuan. Tapi, saya belajar satu hal. Selama kita punya niat baik dan mau belajar, pasti ada jalan. Mbak ini pintar, saya yakin lama-lama bos Mbak juga bakal lihat itu. Kata Raka sambil tersenyum kecil di balik helmnya.
Mei Lin tersenyum tipis mendengar nasihat Raka. "Makasih, Mas. Kadang aku cuma butuh denger orang bilang kalau aku bisa.
Perlahan Mereka Menjadi Akrab
Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka semakin dekat. Mei Lin sering membawakan makanan ringan untuk Raka, sementara Raka tak pernah lupa memastikan Mei Lin sampai dengan selamat. Mereka berbagi cerita tentang keluarga, mimpi, dan kehidupan masing-masing.
Suatu hari, di perjalanan, Mei Lin bertanya, "Mas Raka, kok Mas nggak pindah kerja aja ke kantor? Kan pasti lebih enak daripada panas-panasan jadi ojol."
Raka tertawa kecil. "Kalau semua orang mau kerja di kantor, siapa yang bakal antar Mbak tiap hari? Lagi pula, saya ini cuma lulusan SMA, Mbak. Kerja begini aja saya udah bersyukur.
Mei Lin terdiam sejenak. "Tapi, Mas Raka kan orangnya baik, ramah, dan pintar ngomong. Pasti bisa, kok, kalau mau belajar lagi.
Raka tersenyum, tapi ada rasa perih di hatinya. Ia tahu, dunia mereka terlalu berbeda. Mei Lin adalah wanita muda dengan masa depan cerah, sementara dirinya hanyalah seorang pria sederhana dengan beban hidup yang berat.
Hari Ketika Mei Lin Menangis
Suatu sore, saat Raka menjemput Mei Lin, ia melihat wanita itu menangis di depan gedung kantornya. Raka turun dari motornya dan mendekat.
"Mbak, kenapa? Ada masalah lagi di kantor ? Tanyanya dengan nada khawatir.
Mei Lin mengusap air matanya. "Nggak, Mas. Aku cuma... capek aja. Aku jauh dari keluarga, kerjaan nggak pernah berhenti, dan kadang aku ngerasa sendirian."
Raka mengangguk pelan. Ia tahu betapa sulitnya hidup di kota besar sendirian. "Mbak, saya ngerti. Kadang, kita ngerasa sendiri, tapi sebenarnya banyak orang yang peduli sama kita. Mbak punya keluarga, punya teman, dan... yah, kalau nggak keberatan, saya juga selalu ada kalau Mbak mau cerita.
Mei Lin tersenyum di sela tangisnya. "Makasih, Mas. Mas Raka itu baik banget. Aku beruntung kenal Mas."
Raka hanya tersenyum kecil lalu mengantarnya pulang ke tempat kos. Di perjalanan, ia berpikir betapa anehnya hidup. Di atas motor sederhana itu, dua dunia yang berbeda bisa bertemu dan saling menguatkan.
Akhirnya
Hari itu menjadi titik balik hubungan mereka. Mei Lin mulai melihat Raka bukan hanya sebagai pengemudi ojol, tapi sebagai teman yang tulus. Sementara Raka, meski sadar ia tak mungkin menjadi lebih dari itu bagi Mei Lin, merasa bersyukur bisa membuat hidupnya sedikit lebih ringan.
Keduanya tahu, hidup masing-masing memiliki jalannya sendiri. Tapi di tengah hiruk-pikuk kota, mereka menemukan arti persahabatan yang sederhana dan tulus, di atas motor hijau yang setia menemani perjalanan mereka.
Awal Pertemanan
Raka sudah menjadi pengemudi ojol selama lima tahun. Hidupnya tidak mudah, tinggal di kamar kos kecil jauh dari keluarga di kampung. Setiap hari, ia mengais rezeki di jalanan kota dengan motor tuanya. Namun, ia tidak pernah mengeluh. Ia tahu, setiap tetes keringatnya adalah untuk masa depan istri dan dua anaknya di desa.
Saat pertama kali bertemu dengan Mei Lin, seorang wanita muda keturunan tionghoa yang baru memulai kariernya di kota besar, ia tidak menyangka bahwa hubungan mereka akan berkembang sejauh ini. Awalnya, ia hanya mengantarnya ke kantor setiap pagi. Tapi, obrolan ringan di perjalanan berubah menjadi percakapan mendalam. Mereka berbagi cerita, tertawa, bahkan saling curhat.
Hari Mei Lin Terpuruk
Hari itu, Raka baru saja selesai mengantar penumpang terakhirnya sebelum mengambil Mei Lin. Ketika tiba di depan kantor Mei Lin, ia mendapati wanita itu duduk di trotoar dengan wajah muram.
“Mbak Mei Lin, ada apa? Kok duduk di sini? Biasanya nunggu di lobi,” tanya Raka sambil memarkir motornya.
Mei Lin mendongak dengan mata sembab. “Mas… aku nggak tahu harus gimana lagi,” katanya dengan suara serak.
“Ceritain, Mbak. Saya dengerin,” Raka menjawab lembut.
Di atas motor, Mei Lin mulai bercerita. Rekan-rekan kerjanya sering menggunjing dan membully-nya, menganggapnya terlalu "perfeksionis" dan tidak mau berbaur. Hari itu, salah satu dari mereka secara terang-terangan menghina pekerjaannya di depan bos. Bosnya, yang tidak tahu kebenarannya, malah memarahi Mei Lin.
“Aku capek, Mas. Mereka nggak suka aku, padahal aku cuma mau kerja sebaik mungkin. Rasanya pengen berhenti aja,” Mei Lin terisak.
Raka terdiam sejenak, kemudian berkata dengan tenang, “Mbak Mei Lin, saya tahu rasanya nggak dihargai. Tapi kalau kita nyerah, berarti mereka menang. Dulu waktu pertama kali jadi ojol, saya juga sering dipandang sebelah mata. Orang bilang, 'Cuma tukang ojek, nggak ada masa depan.' Tapi saya nggak peduli. Saya kerja buat keluarga saya, bukan buat mereka.
Mei Lin menatapnya. “Tapi Mas, saya nggak sekuat itu…”
Raka tersenyum tipis. “Kuat itu bukan soal nggak pernah jatuh, Mbak. Tapi soal bangkit lagi setiap kali jatuh. Mbak Mei Lin pintar, rajin, dan punya masa depan cerah. Orang-orang yang suka ngebully itu cuma iri, karena mereka nggak punya apa yang Mbak punya.”
Perkataan Raka menusuk hati Mei Lin. Ia merasa ada kekuatan baru dalam dirinya.
“Makasih, Mas,” katanya pelan, matanya mulai berbinar.
“Jangan nyerah, Mbak. Dunia ini memang keras tapi Mbak jauh lebih kuat dari yang Mbak kira.
Akhir Pekan di Taman Kota
Seminggu setelah kejadian itu, Mei Lin tampak lebih ceria. Ia tetap bekerja keras di kantor meski tekanan masih ada. Di akhir pekan, Mei Lin bertanya kepada Raka, “Mas, boleh nggak kalau kita ngobrol lebih lama hari ini? Saya lagi nggak pengen langsung pulang.”
“Boleh banget, Mbak. Mau ke mana?” tanya Raka.
“Ada taman kota nggak jauh dari sini. Katanya bagus,” jawab Mei Lin.
Raka mengangguk dan membawa Mei Lin ke taman itu. Saat sampai, mata Mei Lin berbinar melihat pemandangan hijau yang asri, lengkap dengan air mancur kecil di tengahnya. Mereka berjalan perlahan menyusuri taman, menikmati udara segar.
“Mas Raka, gimana sih bisa kuat hidup jauh dari keluarga?” tanya Mei Lin tiba-tiba.
Raka tersenyum sambil memandang langit. “Kadang nggak kuat juga, Mbak. Apalagi pas orang tua dikampung lagi sakit, saya cuma bisa denger kabar dari tetangga. Tapi saya selalu ingat, semua ini buat mereka. Kalau saya nyerah, mereka gimana?”
Mei Lin terdiam, mencoba memahami perjuangan Raka.
“Mas pernah merasa kesepian?” tanyanya lagi.
“Pernah, Mbak. Tapi saya selalu cari cara buat nggak larut. Kadang ngobrol sama penumpang, kayak Mbak ini, bikin saya lupa sebentar. Hidup ini memang nggak sempurna, tapi selama kita punya tujuan, rasanya lebih ringan,” jawab Raka.
Mei Lin tersenyum kecil. “Mas, saya nggak pernah ketemu orang seperti Mas Raka. Mas itu sederhana, tapi punya hati yang besar.”
“Ah, Mbak terlalu baik. Saya cuma orang biasa,” balas Raka sambil tersenyum.
Benih Cinta yang Tumbuh
Percakapan mereka di taman itu meninggalkan kesan mendalam bagi Mei Lin. Ia mulai melihat Raka sebagai sosok yang bukan hanya teman, tapi juga inspirasi. Ia kagum dengan ketulusan dan kebijaksanaan pria itu.
Di sisi lain, Raka merasa senang bisa membantu Mei Lin menghadapi masalahnya. Namun, ia juga sadar bahwa hubungan mereka tak mungkin lebih dari sekadar teman. Bagi Raka, Mei Lin adalah dunia yang jauh di luar jangkauannya.
Namun, Mei Lin mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Hatinya bergetar setiap kali ia melihat senyuman tulus Raka. Ia tahu, pria itu memiliki tempat istimewa di hatinya.
Malam itu, ketika Raka mengantar Mei Lin kembali ke kosnya, ia berkata, “Mas, makasih ya, udah selalu ada buat saya. Saya nggak tahu apa jadinya kalau nggak ada Mas Raka.”
Raka tersenyum sambil menyalakan mesin motor. “Sama-sama, Mbak. Saya cuma ngelakuin apa yang saya bisa.”
Namun, di balik senyum itu, Raka merasa bimbang. Ia tahu, semakin dekat mereka, semakin sulit untuk menjaga jarak. Tapi untuk saat ini, ia memilih menikmati kebersamaan sederhana itu.
Dan di kota yang hiruk-pikuk, di atas motor hijau yang setia, dua hati yang berbeda dunia perlahan mulai menyatu.
Malam Minggu di Pasar Malam
Malam Minggu itu, Raka mengumpulkan keberanian yang jarang ia miliki. Setelah sekian lama mengenal Mei Lin, ia merasa ada ikatan yang lebih dari sekadar hubungan sopir dan pelanggan. Hati kecilnya berkata bahwa Mei Lin pantas diberi sedikit kebahagiaan di tengah rutinitasnya yang melelahkan.
Saat mengantar Mei Lin pulang sore itu, ia akhirnya mengutarakan niatnya.
“Mbak Mei Lin,” panggil Raka sambil memberhentikan motornya di depan kos Mei Lin.
“Iya, Mas? Ada apa?” tanya Mei Lin sambil melepaskan helmnya.
“Ehm… besok malam Minggu, Mbak ada acara?” Raka bertanya sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
Mei Lin mengerutkan dahi, lalu tersenyum. “Kayaknya nggak ada, Mas. Kenapa emang?”
“Kalau Mbak nggak keberatan… gimana kalau kita jalan bareng? Saya tahu tempat yang seru buat lepas penat,” kata Raka sambil berusaha terdengar santai.
Mei Lin terkejut, tapi senyumnya semakin lebar. “Boleh, Mas! Saya nggak pernah jalan ke mana-mana di malam Minggu. Ke mana kita nanti?”
“Rahasia, Mbak. Pokoknya santai aja,” jawab Raka dengan tawa kecil, meskipun hatinya berdebar-debar.
Di Pasar Malam
Esok malam, Raka menjemput Mei Lin dengan motornya yang sudah dibersihkan sampai mengkilap. Mei Lin terlihat cantik dengan gaun kasual dan rambut yang dibiarkan tergerai.
“Mas, ke mana nih kita?” tanya Mei Lin sambil menaiki motor.
“Nanti juga tahu, Mbak. Pegang yang kenceng, ya,” balas Raka sambil tersenyum.
Setelah sekitar 20 menit berkendara, mereka sampai di sebuah pasar malam yang meriah. Lampu warna-warni bertebaran, aroma makanan kaki lima menyeruak, dan suara tawa pengunjung terdengar di mana-mana.
“Pasar malam?” tanya Mei Lin dengan nada takjub.
“Iya, Mbak. Memang bukan tempat mewah, tapi di sini seru. Banyak makanan enak, dan murah meriah,” jawab Raka, sedikit malu.
Mei Lin tersenyum lebar. “Mas, ini keren banget! Saya belum pernah ke pasar malam sejak kecil. Ayo jalan-jalan!”
Mereka berjalan-jalan menikmati suasana. Raka sesekali menawar makanan atau camilan untuk Mei Lin, yang tak henti-hentinya tertawa melihat cara Raka berbicara dengan penjual.
Setelah puas berkeliling, mereka akhirnya duduk di sebuah warung pecel lele sederhana.
“Mas, kok tahu saya suka pecel lele?” tanya Mei Lin sambil mengambil sambal.
“Ah, feeling aja, Mbak. Lagian siapa sih yang nggak suka pecel lele?” jawab Raka sambil tertawa.
Mereka makan dengan lahap, menikmati malam yang sederhana tapi penuh kebahagiaan.
Di Depan Kos Mei Lin
Setelah puas di pasar malam, Raka mengantar Mei Lin pulang. Di depan kos, mereka duduk di bangku kecil sambil menikmati sisa malam.
“Mas Raka, saya seneng banget hari ini. Rasanya beda dari malam Minggu biasanya. Makasih, ya,” kata Mei Lin sambil tersenyum lembut.
“Saya juga seneng, Mbak. Kadang kita cuma perlu waktu santai kayak gini buat ngilangin capek,” balas Raka.
Mei Lin memandang Raka dengan penuh rasa ingin tahu. “Mas, kok Mas Raka selalu kelihatan sabar dan kuat? Nggak pernah kelihatan stres atau marah.”
Raka tertawa kecil. “Kelihatannya aja, Mbak. Kadang saya juga capek. Tapi, saya selalu ingat keluarga di kampung. Mereka alasan saya kerja keras.”
Mei Lin terdiam sejenak, merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Raka. Namun, ia tidak ingin mendesak.
“Aku iri sama Mas Raka. Saya kadang merasa nggak punya arah, tapi Mas selalu punya tujuan,” kata Mei Lin pelan.
Raka menatapnya sebentar, lalu tersenyum. “Mbak punya tujuan kok, cuma mungkin belum terlalu kelihatan. Yang penting, jangan pernah nyerah, ya.”
Malam semakin larut, dan angin mulai terasa dingin. Raka melirik Mei Lin yang tampak menggigil.
“Mbak, dingin nggak? Di luar sini banyak nyamuk juga. Kalau Mbak nggak keberatan, ngobrol di dalam aja gimana?”
Mei Lin ragu sejenak, tapi kemudian mengangguk. “Boleh, Mas. Di luar sini emang mulai nggak nyaman.”
Percakapan di Dalam Kos
"Selamat pagi, Mas. Ini untuk Mei Lin, kan?" tanya wanita itu sambil tersenyum.
"Iya, betul, Mbak Mei Lin. Silakan naik," jawab Raka sambil sedikit canggung karena dia jarang bertemu penumpang seperti Mei Lin.
Sejak itu, Mei Lin menjadi langganan tetap Raka karena keduanya membuat kesepakatan diluar aplikasi yang ada. Raka menawarkan tarif berlangganan untuk mengantar jemputnya ke kantor dengan harga yang lebih bersahabat sehingga membuat gadis itu tertarik.
Setelah beberapa kali mengobrol di perjalanan, keduanya mulai akrab. Mei Lin merasa nyaman curhat tentang pekerjaannya, sementara Raka menikmati percakapan itu, meskipun kadang ia merasa minder. Ia tahu, dunia Mei Lin jauh berbeda darinya.
Suatu Hari
Hari itu tak seperti biasanya wajah Mei Lin terlihat murung saat Raka menjemput di kantornya.
"Ada apa, Mbak? Kok kelihatannya nggak seperti biasanya ? Biasanya kan full senyum gitu ? Hehe.. Tanya Raka mencoba membuka obrolan dengan gadis pelanggannya.
Mei Lin menghela napas panjang. "Hari ini nggak enak banget, Mas. Bos aku marah-marah gara-gara laporan yang aku buat katanya nggak sesuai ekspektasi. Padahal aku udah kerja keras semalaman.
Raka mengangguk, mendengarkan dengan seksama. "Saya ngerti, Mbak. Kadang orang di atas suka nggak lihat usaha kita. Tapi, saya yakin Mbak Mei Lin pasti bisa belajar dari ini. Kalau nggak salah, Mbak baru kerja, kan?"
"Iya, Mas. Baru tiga bulan. Kadang aku ngerasa nggak cukup baik untuk pekerjaan ini. Jawabnya dengan nada sedih.
"Mbak Mei Lin, saya ini tiap hari ketemu banyak orang. Ada yang senyum ramah, ada juga yang ngomel-ngomel nggak karuan. Tapi, saya belajar satu hal. Selama kita punya niat baik dan mau belajar, pasti ada jalan. Mbak ini pintar, saya yakin lama-lama bos Mbak juga bakal lihat itu. Kata Raka sambil tersenyum kecil di balik helmnya.
Mei Lin tersenyum tipis mendengar nasihat Raka. "Makasih, Mas. Kadang aku cuma butuh denger orang bilang kalau aku bisa.
Perlahan Mereka Menjadi Akrab
Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka semakin dekat. Mei Lin sering membawakan makanan ringan untuk Raka, sementara Raka tak pernah lupa memastikan Mei Lin sampai dengan selamat. Mereka berbagi cerita tentang keluarga, mimpi, dan kehidupan masing-masing.
Suatu hari, di perjalanan, Mei Lin bertanya, "Mas Raka, kok Mas nggak pindah kerja aja ke kantor? Kan pasti lebih enak daripada panas-panasan jadi ojol."
Raka tertawa kecil. "Kalau semua orang mau kerja di kantor, siapa yang bakal antar Mbak tiap hari? Lagi pula, saya ini cuma lulusan SMA, Mbak. Kerja begini aja saya udah bersyukur.
Mei Lin terdiam sejenak. "Tapi, Mas Raka kan orangnya baik, ramah, dan pintar ngomong. Pasti bisa, kok, kalau mau belajar lagi.
Raka tersenyum, tapi ada rasa perih di hatinya. Ia tahu, dunia mereka terlalu berbeda. Mei Lin adalah wanita muda dengan masa depan cerah, sementara dirinya hanyalah seorang pria sederhana dengan beban hidup yang berat.
Hari Ketika Mei Lin Menangis
Suatu sore, saat Raka menjemput Mei Lin, ia melihat wanita itu menangis di depan gedung kantornya. Raka turun dari motornya dan mendekat.
"Mbak, kenapa? Ada masalah lagi di kantor ? Tanyanya dengan nada khawatir.
Mei Lin mengusap air matanya. "Nggak, Mas. Aku cuma... capek aja. Aku jauh dari keluarga, kerjaan nggak pernah berhenti, dan kadang aku ngerasa sendirian."
Raka mengangguk pelan. Ia tahu betapa sulitnya hidup di kota besar sendirian. "Mbak, saya ngerti. Kadang, kita ngerasa sendiri, tapi sebenarnya banyak orang yang peduli sama kita. Mbak punya keluarga, punya teman, dan... yah, kalau nggak keberatan, saya juga selalu ada kalau Mbak mau cerita.
Mei Lin tersenyum di sela tangisnya. "Makasih, Mas. Mas Raka itu baik banget. Aku beruntung kenal Mas."
Raka hanya tersenyum kecil lalu mengantarnya pulang ke tempat kos. Di perjalanan, ia berpikir betapa anehnya hidup. Di atas motor sederhana itu, dua dunia yang berbeda bisa bertemu dan saling menguatkan.
Akhirnya
Hari itu menjadi titik balik hubungan mereka. Mei Lin mulai melihat Raka bukan hanya sebagai pengemudi ojol, tapi sebagai teman yang tulus. Sementara Raka, meski sadar ia tak mungkin menjadi lebih dari itu bagi Mei Lin, merasa bersyukur bisa membuat hidupnya sedikit lebih ringan.
Keduanya tahu, hidup masing-masing memiliki jalannya sendiri. Tapi di tengah hiruk-pikuk kota, mereka menemukan arti persahabatan yang sederhana dan tulus, di atas motor hijau yang setia menemani perjalanan mereka.
Awal Pertemanan
Raka sudah menjadi pengemudi ojol selama lima tahun. Hidupnya tidak mudah, tinggal di kamar kos kecil jauh dari keluarga di kampung. Setiap hari, ia mengais rezeki di jalanan kota dengan motor tuanya. Namun, ia tidak pernah mengeluh. Ia tahu, setiap tetes keringatnya adalah untuk masa depan istri dan dua anaknya di desa.
Saat pertama kali bertemu dengan Mei Lin, seorang wanita muda keturunan tionghoa yang baru memulai kariernya di kota besar, ia tidak menyangka bahwa hubungan mereka akan berkembang sejauh ini. Awalnya, ia hanya mengantarnya ke kantor setiap pagi. Tapi, obrolan ringan di perjalanan berubah menjadi percakapan mendalam. Mereka berbagi cerita, tertawa, bahkan saling curhat.
Hari Mei Lin Terpuruk
Hari itu, Raka baru saja selesai mengantar penumpang terakhirnya sebelum mengambil Mei Lin. Ketika tiba di depan kantor Mei Lin, ia mendapati wanita itu duduk di trotoar dengan wajah muram.
“Mbak Mei Lin, ada apa? Kok duduk di sini? Biasanya nunggu di lobi,” tanya Raka sambil memarkir motornya.
Mei Lin mendongak dengan mata sembab. “Mas… aku nggak tahu harus gimana lagi,” katanya dengan suara serak.
“Ceritain, Mbak. Saya dengerin,” Raka menjawab lembut.
Di atas motor, Mei Lin mulai bercerita. Rekan-rekan kerjanya sering menggunjing dan membully-nya, menganggapnya terlalu "perfeksionis" dan tidak mau berbaur. Hari itu, salah satu dari mereka secara terang-terangan menghina pekerjaannya di depan bos. Bosnya, yang tidak tahu kebenarannya, malah memarahi Mei Lin.
“Aku capek, Mas. Mereka nggak suka aku, padahal aku cuma mau kerja sebaik mungkin. Rasanya pengen berhenti aja,” Mei Lin terisak.
Raka terdiam sejenak, kemudian berkata dengan tenang, “Mbak Mei Lin, saya tahu rasanya nggak dihargai. Tapi kalau kita nyerah, berarti mereka menang. Dulu waktu pertama kali jadi ojol, saya juga sering dipandang sebelah mata. Orang bilang, 'Cuma tukang ojek, nggak ada masa depan.' Tapi saya nggak peduli. Saya kerja buat keluarga saya, bukan buat mereka.
Mei Lin menatapnya. “Tapi Mas, saya nggak sekuat itu…”
Raka tersenyum tipis. “Kuat itu bukan soal nggak pernah jatuh, Mbak. Tapi soal bangkit lagi setiap kali jatuh. Mbak Mei Lin pintar, rajin, dan punya masa depan cerah. Orang-orang yang suka ngebully itu cuma iri, karena mereka nggak punya apa yang Mbak punya.”
Perkataan Raka menusuk hati Mei Lin. Ia merasa ada kekuatan baru dalam dirinya.
“Makasih, Mas,” katanya pelan, matanya mulai berbinar.
“Jangan nyerah, Mbak. Dunia ini memang keras tapi Mbak jauh lebih kuat dari yang Mbak kira.
Akhir Pekan di Taman Kota
Seminggu setelah kejadian itu, Mei Lin tampak lebih ceria. Ia tetap bekerja keras di kantor meski tekanan masih ada. Di akhir pekan, Mei Lin bertanya kepada Raka, “Mas, boleh nggak kalau kita ngobrol lebih lama hari ini? Saya lagi nggak pengen langsung pulang.”
“Boleh banget, Mbak. Mau ke mana?” tanya Raka.
“Ada taman kota nggak jauh dari sini. Katanya bagus,” jawab Mei Lin.
Raka mengangguk dan membawa Mei Lin ke taman itu. Saat sampai, mata Mei Lin berbinar melihat pemandangan hijau yang asri, lengkap dengan air mancur kecil di tengahnya. Mereka berjalan perlahan menyusuri taman, menikmati udara segar.
“Mas Raka, gimana sih bisa kuat hidup jauh dari keluarga?” tanya Mei Lin tiba-tiba.
Raka tersenyum sambil memandang langit. “Kadang nggak kuat juga, Mbak. Apalagi pas orang tua dikampung lagi sakit, saya cuma bisa denger kabar dari tetangga. Tapi saya selalu ingat, semua ini buat mereka. Kalau saya nyerah, mereka gimana?”
Mei Lin terdiam, mencoba memahami perjuangan Raka.
“Mas pernah merasa kesepian?” tanyanya lagi.
“Pernah, Mbak. Tapi saya selalu cari cara buat nggak larut. Kadang ngobrol sama penumpang, kayak Mbak ini, bikin saya lupa sebentar. Hidup ini memang nggak sempurna, tapi selama kita punya tujuan, rasanya lebih ringan,” jawab Raka.
Mei Lin tersenyum kecil. “Mas, saya nggak pernah ketemu orang seperti Mas Raka. Mas itu sederhana, tapi punya hati yang besar.”
“Ah, Mbak terlalu baik. Saya cuma orang biasa,” balas Raka sambil tersenyum.
Benih Cinta yang Tumbuh
Percakapan mereka di taman itu meninggalkan kesan mendalam bagi Mei Lin. Ia mulai melihat Raka sebagai sosok yang bukan hanya teman, tapi juga inspirasi. Ia kagum dengan ketulusan dan kebijaksanaan pria itu.
Di sisi lain, Raka merasa senang bisa membantu Mei Lin menghadapi masalahnya. Namun, ia juga sadar bahwa hubungan mereka tak mungkin lebih dari sekadar teman. Bagi Raka, Mei Lin adalah dunia yang jauh di luar jangkauannya.
Namun, Mei Lin mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Hatinya bergetar setiap kali ia melihat senyuman tulus Raka. Ia tahu, pria itu memiliki tempat istimewa di hatinya.
Malam itu, ketika Raka mengantar Mei Lin kembali ke kosnya, ia berkata, “Mas, makasih ya, udah selalu ada buat saya. Saya nggak tahu apa jadinya kalau nggak ada Mas Raka.”
Raka tersenyum sambil menyalakan mesin motor. “Sama-sama, Mbak. Saya cuma ngelakuin apa yang saya bisa.”
Namun, di balik senyum itu, Raka merasa bimbang. Ia tahu, semakin dekat mereka, semakin sulit untuk menjaga jarak. Tapi untuk saat ini, ia memilih menikmati kebersamaan sederhana itu.
Dan di kota yang hiruk-pikuk, di atas motor hijau yang setia, dua hati yang berbeda dunia perlahan mulai menyatu.
Malam Minggu di Pasar Malam
Malam Minggu itu, Raka mengumpulkan keberanian yang jarang ia miliki. Setelah sekian lama mengenal Mei Lin, ia merasa ada ikatan yang lebih dari sekadar hubungan sopir dan pelanggan. Hati kecilnya berkata bahwa Mei Lin pantas diberi sedikit kebahagiaan di tengah rutinitasnya yang melelahkan.
Saat mengantar Mei Lin pulang sore itu, ia akhirnya mengutarakan niatnya.
“Mbak Mei Lin,” panggil Raka sambil memberhentikan motornya di depan kos Mei Lin.
“Iya, Mas? Ada apa?” tanya Mei Lin sambil melepaskan helmnya.
“Ehm… besok malam Minggu, Mbak ada acara?” Raka bertanya sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
Mei Lin mengerutkan dahi, lalu tersenyum. “Kayaknya nggak ada, Mas. Kenapa emang?”
“Kalau Mbak nggak keberatan… gimana kalau kita jalan bareng? Saya tahu tempat yang seru buat lepas penat,” kata Raka sambil berusaha terdengar santai.
Mei Lin terkejut, tapi senyumnya semakin lebar. “Boleh, Mas! Saya nggak pernah jalan ke mana-mana di malam Minggu. Ke mana kita nanti?”
“Rahasia, Mbak. Pokoknya santai aja,” jawab Raka dengan tawa kecil, meskipun hatinya berdebar-debar.
Di Pasar Malam
Esok malam, Raka menjemput Mei Lin dengan motornya yang sudah dibersihkan sampai mengkilap. Mei Lin terlihat cantik dengan gaun kasual dan rambut yang dibiarkan tergerai.
“Mas, ke mana nih kita?” tanya Mei Lin sambil menaiki motor.
“Nanti juga tahu, Mbak. Pegang yang kenceng, ya,” balas Raka sambil tersenyum.
Setelah sekitar 20 menit berkendara, mereka sampai di sebuah pasar malam yang meriah. Lampu warna-warni bertebaran, aroma makanan kaki lima menyeruak, dan suara tawa pengunjung terdengar di mana-mana.
“Pasar malam?” tanya Mei Lin dengan nada takjub.
“Iya, Mbak. Memang bukan tempat mewah, tapi di sini seru. Banyak makanan enak, dan murah meriah,” jawab Raka, sedikit malu.
Mei Lin tersenyum lebar. “Mas, ini keren banget! Saya belum pernah ke pasar malam sejak kecil. Ayo jalan-jalan!”
Mereka berjalan-jalan menikmati suasana. Raka sesekali menawar makanan atau camilan untuk Mei Lin, yang tak henti-hentinya tertawa melihat cara Raka berbicara dengan penjual.
Setelah puas berkeliling, mereka akhirnya duduk di sebuah warung pecel lele sederhana.
“Mas, kok tahu saya suka pecel lele?” tanya Mei Lin sambil mengambil sambal.
“Ah, feeling aja, Mbak. Lagian siapa sih yang nggak suka pecel lele?” jawab Raka sambil tertawa.
Mereka makan dengan lahap, menikmati malam yang sederhana tapi penuh kebahagiaan.
Di Depan Kos Mei Lin
Setelah puas di pasar malam, Raka mengantar Mei Lin pulang. Di depan kos, mereka duduk di bangku kecil sambil menikmati sisa malam.
“Mas Raka, saya seneng banget hari ini. Rasanya beda dari malam Minggu biasanya. Makasih, ya,” kata Mei Lin sambil tersenyum lembut.
“Saya juga seneng, Mbak. Kadang kita cuma perlu waktu santai kayak gini buat ngilangin capek,” balas Raka.
Mei Lin memandang Raka dengan penuh rasa ingin tahu. “Mas, kok Mas Raka selalu kelihatan sabar dan kuat? Nggak pernah kelihatan stres atau marah.”
Raka tertawa kecil. “Kelihatannya aja, Mbak. Kadang saya juga capek. Tapi, saya selalu ingat keluarga di kampung. Mereka alasan saya kerja keras.”
Mei Lin terdiam sejenak, merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Raka. Namun, ia tidak ingin mendesak.
“Aku iri sama Mas Raka. Saya kadang merasa nggak punya arah, tapi Mas selalu punya tujuan,” kata Mei Lin pelan.
Raka menatapnya sebentar, lalu tersenyum. “Mbak punya tujuan kok, cuma mungkin belum terlalu kelihatan. Yang penting, jangan pernah nyerah, ya.”
Malam semakin larut, dan angin mulai terasa dingin. Raka melirik Mei Lin yang tampak menggigil.
“Mbak, dingin nggak? Di luar sini banyak nyamuk juga. Kalau Mbak nggak keberatan, ngobrol di dalam aja gimana?”
Mei Lin ragu sejenak, tapi kemudian mengangguk. “Boleh, Mas. Di luar sini emang mulai nggak nyaman.”
Percakapan di Dalam Kos
Kamar Mei Lin kecil tapi rapi, dengan dekorasi sederhana yang mencerminkan kepribadiannya. Raka duduk di kursi kecil, sementara Mei Lin duduk di pinggir tempat tidur.
“Mas, dulu waktu kecil, Mas Raka pernah mimpi jadi apa?” tanya Mei Lin tiba-tiba.
Raka tertawa kecil. “Mimpi saya dulu? Banyak, Mbak. Tapi yang paling besar, saya pengen jadi pilot. Lucu, ya? Sekarang malah cuma jadi tukang ojek.”
Mei Lin menggeleng. “Nggak lucu, Mas. Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Dan menurut saya, Mas Raka itu hebat. Saya aja belajar banyak dari Mas.”
Perkataan Mei Lin membuat Raka tersenyum. Tapi di dalam hatinya, ia merasa bersalah. Selama ini, ia tak pernah memberitahu Mei Lin bahwa ia sudah menikah.
“Mbak, saya ini cuma orang biasa. Nggak ada yang spesial,” katanya pelan, mencoba merendah.
“Mas, buat saya, Mas itu spesial. Saya nggak tahu kenapa, tapi saya merasa nyaman banget sama Mas,” jawab Mei Lin, menatap mata Raka dengan tulus.
Raka terdiam, merasa ada sesuatu yang tak terelakkan. Ia tahu, semakin dekat mereka, semakin sulit untuk menjaga batas. Tapi malam itu, ia memilih menikmati kehangatan obrolan mereka.
Dan di kamar kecil itu, dua hati yang berbeda perlahan mendekat, tanpa tahu ke mana arah perjalanan mereka selanjutnya.
“Mas, dulu waktu kecil, Mas Raka pernah mimpi jadi apa?” tanya Mei Lin tiba-tiba.
Raka tertawa kecil. “Mimpi saya dulu? Banyak, Mbak. Tapi yang paling besar, saya pengen jadi pilot. Lucu, ya? Sekarang malah cuma jadi tukang ojek.”
Mei Lin menggeleng. “Nggak lucu, Mas. Setiap orang punya jalan hidupnya sendiri. Dan menurut saya, Mas Raka itu hebat. Saya aja belajar banyak dari Mas.”
Perkataan Mei Lin membuat Raka tersenyum. Tapi di dalam hatinya, ia merasa bersalah. Selama ini, ia tak pernah memberitahu Mei Lin bahwa ia sudah menikah.
“Mbak, saya ini cuma orang biasa. Nggak ada yang spesial,” katanya pelan, mencoba merendah.
“Mas, buat saya, Mas itu spesial. Saya nggak tahu kenapa, tapi saya merasa nyaman banget sama Mas,” jawab Mei Lin, menatap mata Raka dengan tulus.
Raka terdiam, merasa ada sesuatu yang tak terelakkan. Ia tahu, semakin dekat mereka, semakin sulit untuk menjaga batas. Tapi malam itu, ia memilih menikmati kehangatan obrolan mereka.
Dan di kamar kecil itu, dua hati yang berbeda perlahan mendekat, tanpa tahu ke mana arah perjalanan mereka selanjutnya.
Setelah mengobrol panjang keduanya pun merasa semakin nyaman perlahan Raka memberanikan dirinya untuk memegang tangan Mei Lin sambil mengutarakan seluruh perasaan cintanya.
"Mei Lin aku tak sanggup lagi menyembunyikan perasaanku padamu. Maafkan aku kalau sudah selancang ini. Tapi aku bener benar mencintaimu. Ucap Raka sambil menatap matanya dengan penuh harap.
"Iya mas.. aku juga suka sama mas Raka. Mas Raka bener bener perhatian dan baik banget sama aku. Tanpa berpikir panjang Mei Lin yang sudah tenggelam dalam kenyamanannya jika sedang bersama Raka pun langsung mengiyakan permintaannya membuat pengemudi Ojol itu serasa melayang dan dipenuhi kebahagiaan ketika mendengar jawabannya.
Mengetahui hal ini Raka pun bertindak lebih berani dan langsung berpindah tempat untuk duduk di pinggiran ranjang tepat disamping gadis chinese itu. Tangan kirinya berusaha merangkul pundak gadis itu dan tanpa disangka Mei Lin pun langsung menyandarkan kepalanya dibahu Raka yang masih mengenakan jaket ojolnya.
Raka sadar kalau gadis itu sudah sangat nyaman dengannya sehingga diapun mencoba memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Perlahan tangan kirinya yang semula diletakkan dibahu gadis itu kini berpindah tempat kearah kepalanya dan mulai membelai rambut hitamnya yang tergerai sampai ke pundak.
"Mei Lin apakah kamu gak menyesal setelah mengambil keputusan ini ? Mas Raka ini kan hanya seorang pengemudi Ojol. Tanya Raka sambil membeli rambut panjangnya yang indah.
"Gak mas.. bagiku mas Raka bukan hanya pengemudi ojol tapi mas adalah seorang pria sejati yang selalu menyemangatiku dan membuatku merasa tegar dalam menjalani kehidupan yang keras ini. Kata Mei Lin sambil tetap menyandarkan kepalanya dibahu Raka.
Udara sejuk dari pendingin ruangan yang ada didalam kamar kost Mei Lin tak mampu meredam kehangatan mereka berdua yang sedang dimabuk cinta. Namun sayangnya kehangatan cinta itu malah menggiring Raka untuk melakukan tindakan yang kurang bertanggung jawab.
Sambil duduk dipinggiran ranjang keduanya kini saling bertatapan satu sama lainnya, getaran cinta semakin terasa pada diri mereka dan Raka pun memberanikan diri untuk mengecup kening Mei Lin.
Kecupan hangat itu membuat Mei Lin merasa semakin nyaman karena selama ini gadis itu selalu merasa kesepian saat harus merantau dikota sendirian, Biar bagaimana Raka berhasil memenangkan hatinya dan berhasil menghapus semua rasa kesepian yang menerpa dirinya.
Tak puas dengan kecupan itu kemudian Raka mencoba untuk memberikan kecupan lain dibibir kekasih barunya itu dan tanpa disangka Mei Lin malah memejamkan kedua matanya yang sipit seakan pasrah menerima semuanya.
Didalam kamar kost yang sempit itu keduanya pun saling bercumbu dengan penuh kehangatan cinta. Raka yang mulai diselimuti napsu mendekap erat tubuh Mei Lin dengan kedua tangannya sementara mulutnya terus melumat bibir tipis gadis chinese tsb.
Rupanya Raka bukanya hanya type pria yang pandai berbicara dan merayu saja tapi dia juga begitu pintar merangsang lawan jenisnya sehingga Mei Lin yang sudah terbakar napsu akibat cumbuannya pun hanya bisa pasrah ketika pakaianya mulai dilucuti satu persatu oleh pengemudi ojol tsb.
Melihat tubuh putih seorang gadis chinese yang sudah tanpa busana dihadapannya membuat Raka semakin lupa diri, napasnya semakin memburu dan dengan cepat diapun segera membuka jaket ojol dan juga kaos hitamnya.
"Hari ini mas Raka akan tunjukan betapa sayang dan cintanya mas sama kamu. Ucap Raka sambil membaringkan tubuh Mei Lin telentang diatas ranjang kecilnya dan tak lama kemudian pria itu pun langsung menindihnya.
Dengan penuh kelembutan Raka kembali melumat bibir mungil gadis itu berupaya memberikan rangsangan birahi yang membuat Mei Lin semakin lupa diri. Tak hanya melumat bibirnya saja tapi Raka juga menggunakan kedua tangannya untuk meremas remas buah dada gadis chinese itu yang bentuknya begitu indah menggoda dengan putingnya yang berwarna coklat muda.
Raka sepertinya tak puas hanya meremas saja lalu diapun menurunkan sedikit kepalanya kebawah untuk melumat buah dada gadis itu dengan mulutnya, Srott.. Srott.. begitu syahdunya suara kenyotan lembut itu sampai sampai memecah
keheningan kamar kost tsb.
Uuuhh.. Mei Lin yang posisinya masih telentang diatas ranjang kostnya menggeliat pelan sambil mendesah penjang karena tak kuasa menahan kenikmatan yang menderu tubuhnya perawannya secara bertubi tubi, tubuh putihnya yang selama ini tak pernah disentuh oleh seseorang lelaki kini bisa bebas dijarah oleh Raka atas nama cintanya.
Desahan gadis chinese itu membuat Raka semakin bergairah, sambil terus mengenyot buah dadanya secara bergantian baik yang kiri maupun kanan, sesekali Raka melirik kearah wajah gadis itu yang ekspresinya sedang menahan kenikmatan.
"Mas sayang sekali sama kamu Mei Lin. Kelak payudaramu ini akan menyusui anak anak kita. Katanya meyakinkan gadis itu bahwa dirinya pasti akan bertanggung jawab.
Mei Lin sudah tak mempedulikan lagi omongan pengemudi ojol tsb karena gadis itu sudah makin tenggelam dalam lautan birahinya. Pegawai kantoran itu hanya bisa memejamkan kedua matanya yang sipit sambil melenguh dan menggeliat diatas ranjang kostnya ketika Raka bergerak turun kebawah menciumi bagian perut dan juga kedua pahanya.
"Buka yang lebar lin kakinya. Mas mau jilatin punya kamu dulu. Bujuk Raka yang selalu penasaran dengan vagina seorang gadis chinese seperti Mei Lin.
Tiba tiba Mei Lin merasakan bibir kemaluannya disentuh oleh sesuatu yang lembut dan basah dan ketika dia melihat kebawah rupanya Raka sedang mencumbui kemaluannya dengan penuh penghayatan. Lidah pengemudi ojol yang belum lama dikenalnya itu dengan seenaknya menari nari dan menyapu vaginanya hingga basah kuyup terkena air liurnya.
Mendengar suara desahan Mei Lin yang begitu menggoda maka Raka pun tak bisa menahan hasratnya lebih lama. Dengan cepat pria yang sebenarnya sudah mempunyai istri dikampung itu langsung berlutut diantara kedua paha Mei Lin dan mengatur posisi burungnya tepat diatas lubang kemaluan gadis itu, merendahkan badannya dan bless….kejantanannya langsung dihujam kedalam.
“Aaauuhhhh !! Mei Lin melenguh panjang ketika Raka menekan kuat dan mulai memainkan pantatnya turun naik keatas dan kebawah.
Raka tau benar kalau seorang gadis perawan seperti Mei Lin pasti akan kesakitan pada saat diperawani seperti ini sehingga diapun mencoba memompa penisnya dengan penuh kelembutan, berusaha meminimalisir rasa sakit yang mendera tubuh kekasih barunya itu.
Raka terus memompa dengan kecepatan konstan berharap Mei Lin akan terbiasa dengan ukuran penisnya yang lumayan besar. Ketika ekspresi wajah gadis itu mulai menunjukkan kenikmatan maka pengemudi ojol yang beruntung itu pun semakin meningkatkan irama pompaan penisnya.
Sshh.. Badan kamu putih banget Mei Lin. Mas napsu banget kalau ngewe sama gadis chindo seperti kamu. Kata Raka yang sudah tak bisa mengontrol kata katanya karena tubuh Mei Lin memang sangat menggairahkan dimata pria pribumi seperti dirinya.
Ooughh.. ooouhh.. iya mass.. ssshhh... lakukan saaaja.. apa yang mas sukaa.. aku saaayang baaanget sama mas Rakaaa.. Lenguh Mei Lin yang sudah terlanjur nyaman dengan pria itu sehingga bersedia melakukan apapun demi kebahagiaannya.
Serangan Raka kian gencar, kontolnya yang hitam dan besar nampak semakin lancar keluar masuk dalam kemaluan gadis chindo itu membuat kedua mata sipit Mei Lin seakan tinggal putihnya saja, kadang mendelik dan kadang terpejam diiringi suara desisan yang panjang dan pendek dari mulutnya.
Tak puas dengan gaya yang biasa saja kemudian Raka mengangkat kaki kiri Mei Lin ke bahunya dan badan gadis itu dia miringkan kearah samping dengan kaki kanannya dibiarkan lurus diatas ranjang.
Dengan posisi persetubuhan ini kemaluan Mei Lin seakan makin terbuka lalu dengan setengah berlutut Raka kembali memasukan penisnya dalam dalam menembus vagina gadis muda yang baru saja diperawaninya itu. Slebb !! Disaat batangnya sudah hampir masuk setengah Raka pun langsung mengocoknya keluar masuk dengan cepat.
“Uuhh..uuhh..uuhh.. gadis chinese kantoran itu mendesis berulang-ulang menahan serangan kontol Raka yang dihujamkan dengan sangat gencar.
Tangan kanan Raka tak bisa diam lalu dengan gesit meraih dan meremas remas buah dada Mei Lin yang sedang tersembul sembul akibat sentakan kuat dari bagian bawah tubuhnya, hal ini tentu saja membuat Mei Lin menjadi liar dan keblingsatan.
Tangan kanan Raka tak bisa diam lalu dengan gesit meraih dan meremas remas buah dada Mei Lin yang sedang tersembul sembul akibat sentakan kuat dari bagian bawah tubuhnya, hal ini tentu saja membuat Mei Lin menjadi liar dan keblingsatan.
Karena payudaranya diremas dengan kencang, Mei Lin pun sebentar sebentar mengangkat kepalanya dari atas ranjang dengan mulutnya yang kadang ternganga lebar dan kadang juga mendesis tertahan.
Beberapa saat kemudian Raka merubah posisinya. Kali ini badanya sengaja ditelungkupkan diatas Mei Lin untuk kemudian menggenjotkan burungnya dengan sekuat tenaga ke kemaluannya.
Disaat bersamaan bibir keduanya pun saling melumat dengan tubuh berpelukan, kaki dan tangan Mei Lin merangkul ketat badan pengemudi ojol tsb berupaya menahan
hentakan hentakan pantat kekasihnya yang sedang mendorong kontolnya keluar masuk di kemaluannya. Detik demi detik mereka rangkuh kenikmatan itu bersama-sama sampai akhirnya.
“Aaahhhhhhhh… !! Mei Lin mengerang panjang mencapai puncak dengan kuku jari tangannya menancap kuat kepunggung Raka.
“Aaauuuhhhh….Lin !! Raka mendesah panjang sambil menekan kuat kuat pantatnya secara berulang kali dengan sangat cepat dan pada hujaman terakhir
Blesss….pangkal kontol Raka dan bibir kemaluan kekasihnya seakan melebur menjadi satu. Dan sesaat kemudian Crott.. Creett.. spermanya berhamburan keras memenuhi kemaluan gadis chindo itu.
Semenjak kejadian malam itu keduanya pun menjadi pasangan kekasih yang saling mencintai dan menguatkan satu sama lainnya namun sayangnya Mei Lin tak menyadari kalau dibalik itu ternyata Raka sudah berkeluarga dan entah sampai kapan hubungan itu bisa bertahan.
Mantap alur ceritanya..lanjukan suhu
BalasHapus