By : Kucing Rumah
Veronica Liu adalah seorang manajer di perusahaan multinasional yang terkenal. Ia dikenal sebagai sosok yang tangguh, tegas, dan perfeksionis. Namun, karakter ini membuatnya sering tidak disukai oleh para bawahannya. Jika ada yang melakukan kesalahan, ia tidak segan-segan memarahi mereka dengan nada tinggi.
“Kenapa laporan ini bisa salah?!” teriaknya suatu pagi pada asisten manajernya, Kevin, yang berdiri dengan kepala tertunduk di depan mejanya.
“Ma-maaf, Bu Vero. Saya akan segera memperbaikinya,” jawab Kevin gugup.
“Perbaiki? Itu saja? Kamu pikir perusahaan ini punya waktu untuk menunggu perbaikanmu yang tidak profesional itu?!” suara Veronica semakin tinggi, membuat semua orang di lantai kantor terdiam.
Sikapnya yang keras membuat Veronica dijauhi banyak orang. Namun, ia tidak peduli. Baginya, kerja adalah segalanya. Hidupnya di luar kantor terlalu kacau untuk dipikirkan. Orang tuanya yang tinggal bersamanya di rumah besar sering bertengkar tanpa henti. Tekanan keluarga untuk menikah juga semakin menjadi-jadi.
“Vero kamu ini sudah 35 tahun! Apa tidak malu terus melajang? Lihat anak tetangga, dia sudah punya dua anak!” omel ibunya suatu pagi.
“Kalau hanya untuk menikah dan berakhir seperti kalian, aku lebih baik sendiri!” balas Veronica dingin sebelum pergi bekerja.
Setiap malam, ia memilih untuk lembur di kantor. Kantornya menjadi pelariannya, tempat di mana ia merasa memiliki kendali penuh. Namun, malam itu, ada sesuatu yang berbeda.
Veronica mengetik di depan laptopnya dengan serius. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Di lantai itu, hanya ia seorang diri. Suasana mulai hening, hanya terdengar suara pendingin ruangan dan ketikan jarinya di atas keyboard.
“Ah, lapar,” gumamnya. Ia meraih telepon dan menelepon satpam gedung.
“Pak Bondan, bisa tolong belikan makanan seperti biasa?” pintanya.
“Baik, Bu Li. Tunggu sebentar, ya,” jawab Bondan, satpam yang sudah bekerja di gedung itu selama lima tahun.
Bondan adalah pria sederhana berusia 40-an. Meski sering disuruh-suruh oleh Veronica, ia tidak pernah mengeluh. Mungkin karena Bondan melihat sisi kesepian dalam diri Veronica yang tidak pernah ia tunjukkan kepada orang lain.
Tidak lama kemudian, Bondan datang membawa kantong plastik berisi makanan.
“Ini makanannya bu. Katanya dengan senyum ramah.
“Terima kasih, Pak Bondan. Maaf, saya selalu merepotkan,” ujar Veronica tanpa menatap matanya, tetapi kali ini dengan nada sedikit lembut.
“Tidak apa-apa. Kalau Bu Li tidak lembur, saya juga bosan berjaga sendirian,” Bondan tertawa kecil.
Veronica tersenyum tipis. Dalam hati, ia merasa senang ada seseorang yang menemani, meskipun hanya sebentar.
Malam semakin larut. Setelah Bondan kembali ke posnya di lantai dasar, Veronica melanjutkan pekerjaannya. Namun, tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki.
“Siapa itu?” tanya Veronica dengan suara tegas, mencoba menutupi rasa takutnya. Tidak ada jawaban. Suara langkah itu semakin mendekat. Ia mematung di tempat, tidak berani bergerak.
“Pak Bondan?!” panggilnya, berharap satpam itu mendengar. Namun, tidak ada respons.
Rasa takut mulai menjalar. Ia menoleh ke sekeliling ruangan yang gelap. Tiba-tiba, sebuah bayangan melintas di belakangnya. Veronica berteriak kecil, tetapi suaranya tertahan.
Tepat saat itu, Bondan muncul di pintu.
“Bu Li, ada apa?” tanyanya, melihat wajah Veronica yang pucat.
“Ada... ada sesuatu di sini!” jawab Veronica gemetar.
“Tenang, saya di sini. Mari saya periksa,” Bondan mencoba menenangkannya.
Bondan memeriksa setiap sudut ruangan. Ternyata, suara itu berasal dari kipas angin tua di gudang yang menyala karena saklar otomatis.
“Hanya kipas angin, Bu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata Bondan sambil tersenyum.
Veronica menarik napas lega. Ia menatap Bondan dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar aman.
“Terima kasih, Pak Bondan,” katanya pelan.
“Bu Li, tegas di pekerjaan itu bagus, tapi jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kadang-kadang, kita butuh orang lain untuk menemani,” ujar Bondan bijak.
Veronica hanya terdiam. Kata-kata itu menancap dalam di hatinya. Mungkin, selama ini ia terlalu sibuk mengejar kesempurnaan hingga lupa bahwa ia juga butuh kehangatan dan kepedulian.
Malam itu, di tengah hujan yang semakin deras, dua jiwa yang berbeda perlahan mulai saling memahami. Bagi Veronica, Bondan bukan hanya sekadar satpam. Ia adalah seseorang yang mampu membuatnya merasa bahwa ia tidak sendiri.
Persahabatan di Tengah Malam
Sejak kejadian malam itu, Veronica mulai merasa ada perubahan kecil dalam rutinitas lemburnya. Sebelumnya, ia selalu merasa sendirian di lantai kantor yang sepi. Kini, ia menemukan kenyamanan dalam kehadiran Bondan, satpam yang sederhana tetapi selalu siap membantu.
Setiap kali Veronica lembur, ia akan memanggil Bondan ke atas, bukan hanya untuk membeli makanan, tetapi juga untuk sekadar mengobrol di sela-sela pekerjaannya. Malam-malam panjang yang biasanya membosankan kini terasa lebih hangat.
Suatu malam, setelah Bondan membawakan makan malam yang biasa ia pesan, Veronica memutuskan untuk beristirahat sejenak dari pekerjaannya.
“Pak Bondan, duduklah sebentar,” ujarnya sambil menunjuk kursi di depannya.
“Baik, Bu,” jawab Bondan, duduk dengan canggung.
“Berhenti memanggil saya dengan sebutan ‘Bu’ setiap waktu. Panggil saja Vero. katanya sambil tersenyum kecil.
“Maaf Vero soalnya sudah menjadi kebiasaan. Kata Bondan sambil tertawa pelan.
“Pak Bondan, sudah lama bekerja di sini ? Tanya Vero sambil terse lagi.
“Sudah lima tahun. Dari sebelum perusahaan ini sebesar sekarang. Bagaimana dengan kamu ? Sepertinya kamu sudah lama di sini juga. Bondan bertanya balik karena peansa dengan latar belakang wanita karir tsb.
“Kalau aku kurang lebih delapan tahun. jawab Veronica sambil memutar-mutar cangkir kopinya.
“Pak Bondan, sudah lama bekerja di sini ? Tanya Vero sambil terse lagi.
“Sudah lima tahun. Dari sebelum perusahaan ini sebesar sekarang. Bagaimana dengan kamu ? Sepertinya kamu sudah lama di sini juga. Bondan bertanya balik karena peansa dengan latar belakang wanita karir tsb.
“Kalau aku kurang lebih delapan tahun. jawab Veronica sambil memutar-mutar cangkir kopinya.
“Saya benar benar memulainya dari level bawah. Karir saya cepat naik tapi mungkin karena itu juga, banyak yang tidak suka dengan saya. Kata Veronica dengan suara yang tegas.
"Mereka mungkin tidak suka karena tidak mengenalmu. Dari yang saya lihat, kamu adalah orang yang sangat tegas, tetapi dibalik itu sebenarnya saya yakin kalau hatimu sangat baik. Kata Bondan sambil menatapnya.
"Mereka mungkin tidak suka karena tidak mengenalmu. Dari yang saya lihat, kamu adalah orang yang sangat tegas, tetapi dibalik itu sebenarnya saya yakin kalau hatimu sangat baik. Kata Bondan sambil menatapnya.
Veronica terdiam, sedikit tersentuh oleh kata-kata Bondan. Tidak banyak orang yang melihat sisi baiknya, bahkan dirinya sendiri terkadang lupa ia memilikinya.
Malam malam berikutnya obrolan mereka semakin dalam dan berkesan bahkan Bondan dengan santainya bertanya sesuatu yang selama ini menjadi topik sensitif bagi Veronica.
“Veronica boleh saya bertanya sesuatu padamu ?
“Tentu. Apa itu?” jawab Veronica tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
“Kenapa sampai sekarang kamu belum juga menikah ? Dengan wajah secantik itu dan karir sehebat ini aku yakin pasti banyak pria yang tertarik denganmu.
Veronica menghentikan ketikannya. Ia mengangkat kepalanya, menatap Bondan dengan mata yang lembut namun penuh pemikiran.
“Karena saya belum menemukan orang yang tepat. Jawabnya singkat.
"Bukankah orang yang tepat itu bisa ditemukan kalau kita mencoba ? Atau kamu tidak ingin mencoba ? Kata Bondan sambil tertawa kecil berusaha mencairkan suasana.
Veronica tersenyum samar. “Bukan begitu. Saya pernah melihat banyak pernikahan yang gagal, termasuk pernikahan orang tua saya. Mereka terus bertengkar setiap hari. Lalu, teman-teman saya selalu bercerita tentang pria yang hanya ingin mengambil keuntungan atau lari dari tanggung jawab. Saya tidak ingin hidup seperti itu.”
Bondan mengangguk mencoba memahami sudut pandangnya.
“Tapi tidak semua pria seperti itu Vero. Masih banyak pria diluar sana yang baik dan penuh perhatian. Katanya lembut.
Veronica mengangkat bahu. “Mungkin. Tapi saya belum pernah bertemu pria yang cukup membuat saya percaya.”
Malam-malam berikutnya, Bondan terus menunjukkan perhatian kecil yang membuat hati Veronica perlahan luluh. Suatu malam ketika hujan turun deras. Veronica meminta Bondan untuk membeli makanan seperti biasa. Ia tidak tahu bahwa Bondan harus menerjang hujan tanpa jas hujan.
Ketika Bondan kembali keruangannya ternyata baju seragam satpamnya sudah basah kuyup terkena air hujan. Ia menyerahkan makanan itu dengan senyum yang sama seperti biasanya.
“Bondan! Kenapa tidak pakai jas hujan?” Veronica terlihat panik.
“Tidak apa-apa. Tadi saya pikir hujannya tidak begitu deras,” jawab Bondan sambil mengelap wajahnya dengan tisu.
“Kenapa tidak bilang saja kalau tidak bisa? Saya bisa menunggu sampai hujan reda,” ucap Veronica dengan nada kesal, tetapi terlihat jelas bahwa ia merasa bersalah.
“Saya tidak ingin melihat kamu kelaparan. Saya tahu kamu tidak akan berhenti bekerja sebelum makan.
Veronica terdiam. Ia memandang Bondan yang basah kuyup, tetapi masih tersenyum tulus. Hatinya bergetar. Ada pria yang rela berkorban untuk dirinya, sesuatu yang selama ini sulit ia bayangkan.
“ya sudah kamu duduk di sini sebentar. Saya akan cari handuk. Katanyan
Beberapa saat kemudian Veronica mengambil handuk kecil dari dalam laci meja pribadinya dan memberikannya kepada Bondan.
“Terima kasih,” ujar Bondan sambil mengeringkan rambutnya.
“Lain kali, jangan terlalu memaksakan diri, Bondan. Saya tidak mau kamu jatuh sakit hanya karena saya.
Bondan hanya tersenyum. “Kamu selalu bilang pada orang lain untuk bekerja keras, tetapi kamu sendiri peduli dengan mereka lebih dari yang kamu tunjukkan.
Veronica tersenyum kecil, tetapi tidak menjawab. Dalam hati, ia merasa bahwa Bondan perlahan mulai memecahkan tembok yang selama ini ia bangun untuk melindungi dirinya dari dunia luar.
Seiring waktu, keduanya semakin akrab. Veronica merasa nyaman berbicara dengan Bondan, bahkan tentang hal-hal pribadi yang biasanya ia simpan sendiri. Bondan juga selalu hadir dengan sikap tenang dan kata-kata bijaknya.
Veronica mulai menyadari bahwa tidak semua pria sama seperti cerita buruk yang pernah ia dengar. Ada pria seperti Bondan, yang sederhana tetapi penuh perhaBondan, tulus tanpa pamrih.
Pada suatu malam yang tenang, Veronica berkata sambil tersenyum lembut, “Bondan, jika semua pria seperti Anda, mungkin saya tidak akan takut untuk menikah.”
Bondan hanya tertawa. “Saya hanya melakukan apa yang saya pikir benar, Veronica. Kamu berhak mendapatkan yang terbaik.”
Malam itu, Veronica merasa bahwa hatinya mulai terbuka, untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Bondan, dengan kesederhanaannya, telah menunjukkan bahwa cinta dan Perhatian bisa datang dari tempat yang tidak terduga.
Malam di Kedai Nasi Goreng
Hujan rintik-rintik malam itu memberikan udara dingin yang menusuk kulit. Seperti biasa, Veronica duduk di meja kerjanya, tenggelam dalam tumpukan laporan dan dokumen yang harus diselesaikan. Di lantai 20 gedung perkantoran itu, ia kembali seorang diri, dengan hanya Bondan di lantai dasar yang berjaga.
Setelah jam menunjukkan pukul 9 malam, Veronica merasakan perutnya mulai keroncongan. Ia mengangkat telepon dan menghubungi Bondan.
“Pak Bondan, tolong belikan makanan seperti biasa, ya. Apa saja yang hangat,” ujarnya singkat.
“Baik, Veronica. Tapi malam ini ada ide lain,” jawab Bondan dengan suara yang terdengar penuh semangat.
Veronica mengerutkan kening. “Ide lain? Maksudnya apa?”
“Bagaimana kalau kita makan di luar? Saya tahu ada kedai nasi goreng di gang sebelah gedung ini yang rasanya enak sekali,” ajaknya santai.
Veronica terpana mendengar ajakan itu. Ini pertama kalinya ada pria yang berani mengajaknya makan di luar, terlebih di tengah malam seperti ini. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ajakan itu terdengar seperti kencan, sesuatu yang jarang terjadi dalam hidupnya.
“Pak Bondan, bukannya saya minta kamu beli makanan untuk saya saja?” jawabnya mencoba menghindar.
“Tapi kenapa tidak coba sesuatu yang berbeda? Sebenarnya pekerjaanmu bisa ditunda sebentar, tidak akan kabur kok. ujar Bondan sambil tertawa kecil.
Veronica terdiam. Dalam hatinya, ada perasaan ragu tetapi juga penasaran. Ia melirik layar laptopnya yang penuh dengan angka dan laporan yang membosankan. Mungkin Bondan benar, pikirnya.
“Baiklah. Jawabnya. “Tapi kalau nasi gorengnya tidak enak, kamu harus tanggung jawab ya. Sahut Veronica.
Bondan tertawa. “Setuju. Saya jamin kamu pasti tidak akan kecewa.
Mereka berjalan bersama ke gang kecil di samping gedung kantor. Lampu jalanan yang redup memantulkan genangan air di trotoar, menambah suasana malam yang sepi. Veronica mengenakan mantel panjang untuk melindungi diri dari udara dingin, sementara Bondan, dengan seragam satpamnya, terlihat santai seperti biasa.
Kedai nasi goreng itu sederhana, hanya sebuah gerobak kecil dengan beberapa kursi plastik yang berjajar di bawah tenda. Asap dari wajan besar mengepul, membawa aroma bumbu yang harum dan menggoda.
“Ini tempatnya?” tanya Veronica dengan nada skeptis.
“Ya. Jangan lihat tempatnya, lihat rasanya,” jawab Bondan dengan senyum percaya diri.
Mereka duduk di salah satu kursi plastik. Pemilik kedai, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, segera mendekat.
“Nasi goreng dua, pedas sedang, ya,” ujar Bondan tanpa menunggu persetujuan Veronica.
Veronica hanya mengangguk pelan. Ia merasa sedikit canggung berada di tempat yang jauh dari gaya hidupnya yang biasa. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tertarik untuk tetap duduk di sana.
Saat nasi goreng disajikan, aroma bawang putih dan kecap langsung memenuhi udara. Veronica mengambil sendok pertamanya dengan hati-hati, sedikit ragu. Namun begitu suapan pertama menyentuh lidahnya, matanya membelalak.
“Ini... enak sekali!” serunya dengan nada kaget.
Bondan tersenyum puas. “Saya bilang juga apa. Terkadang, yang sederhana itu lebih memuaskan.
Veronica mengangguk sambil terus makan. “Rasanya bahkan lebih enak daripada nasi goreng di restoran mewah yang biasa saya pesan.
“Mungkin karena dibuat dengan hati. Kata Bondan sambil tertawa kecil.
Veronica melirik Bondan dan tertawa kecil. “Kedengarannya memang klise tapi mungkin omonganmu ada benarnya juga.
Sambil menikmati makanan, mereka mulai berbincang tentang banyak hal. Bondan menceritakan masa lalunya, bagaimana ia harus berhenti sekolah untuk membantu keluarganya setelah ayahnya meninggal. Ia bercerita tentang adiknya yang kini berhasil menjadi guru berkat kerja kerasnya.
“Saya tidak pernah menyesal berhenti sekolah. Lihat adik saya sekarang, dia adalah kebanggaan keluarga.vkata Bondan dengan senyum bangga.
“Luar biasa sekali Bondan. Kamu berkorban begitu banyak untuk keluargamu. Ujar Veronica dengan tulus.
Kini giliran Veronica yang bercerita. Ia membuka sedikit tentang tekanan yang ia alami dari keluarganya.
“Orang tua saya terus mendesak saya untuk menikah. Mereka tidak mengerti bahwa saya tidak bisa asal memilih seseorang hanya untuk menyenangkan mereka. katanya dengan nada lelah.
“Lalu, kenapa belum menikah? Apa karena pekerjaan?” tanya Bondan sambil menatapnya serius.
“Bukan hanya itu. Saya belum menemukan orang yang cocok. Saya butuh seseorang yang bisa membuat saya merasa nyaman, seperti... seperti yang kamu bilang tadi, seseorang yang tulus dan membuat semuanya terasa lebih baik.
Bondan tersenyum lembut. “Orang seperti itu ada Vero. Terkadang dia ada di sekitar kita tapi kita terlalu sibuk untuk menyadarinya.
Veronica terdiam sejenak. Kata-kata Bondan terasa menohok, seolah mengarah padanya, tetapi ia memilih untuk tidak terlalu memikirkannya.
Malam itu, ketika mereka kembali ke kantor, Veronica merasa ada sesuatu yang berubah. Hatinya terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia menikmati makan malam bukan karena makanannya saja tetapi karena kebersamaan yang hangat.
Sebelum Bondan kembali ke posnya, Veronica berhenti sejenak di depan pintu lift.
“Bondan !! panggilnya.
“Ya, Vero ?
“Terima kasih. Bukan hanya untuk makan malam ini, tapi untuk... segalanya.
Bondan tersenyum, membungkuk kecil dan berkata, “Kapan pun kamu butuh teman makan, saya selalu siap menemani.
Veronica tertawa kecil dan masuk ke lift, meninggalkan Bondan yang berdiri dengan senyum di wajahnya. Di dalam lift, Veronica menyadari bahwa untuk pertama kalinya, ia tidak lagi merasa sendirian. Bondan telah membuka pintu kecil di hatinya, pintu yang selama ini ia tutup rapat-rapat.
Pengakuan di Malam Lembur
Hubungan antara Veronica dan Bondan berkembang secara alami. Awalnya hanya sekadar obrolan ringan di sela lembur, tetapi lambat laun Bondan menjadi tempat Veronica berbagi cerita yang selama ini tak pernah ia bagi kepada siapa pun. Begitu pula dengan Bondan, ia mulai membuka diri tentang masa lalunya, termasuk pernikahannya yang telah berakhir beberapa tahun lalu.
Suatu malam, saat suasana kantor sunyi seperti biasa, Veronica menghela napas panjang di depan laptopnya. Tugas-tugas yang menumpuk terasa semakin membosankan, dan pikirannya melayang ke kehidupan pribadinya yang hampa. Bondan, yang duduk di sofa kecil di sudut ruangan sambil minum teh, memperhatikan raut wajah Veronica yang muram.
“Vero.. panggil Bondan dengan nada lembut.
"Yaa ? Sahut wanita itu sambil menoleh kearahnya.
“Ada apa ? Kamu kelihatan tidak seperti biasanya. Apakah pekerjaan kali ini terlalu berat ? Tanya Bondan sambil mendekat.
Veronica menggeleng pelan. “Bukan pekerjaannya. Saya hanya merasa... jenuh. Rasanya, hidup saya hanya berputar di antara kantor, rumah, dan tuntutan keluarga. Tidak ada yang benar-benar membuat saya bahagia.”
Bondan menatapnya dengan penuh perhatian. “Saya mengerti. Saya juga pernah merasa seperti itu. Setelah bercerai, hidup saya terasa kosong. Tidak ada keluarga yang peduli, tidak ada teman yang benar-benar mengerti. Tapi saya belajar menerima keadaan itu dan mencoba menemukan kebahagiaan dari hal-hal kecil.”
Veronica mengerutkan kening. “Seperti apa hal kecil itu?”
“Seperti makan nasi goreng di pinggir jalan. Jawab Bondan sambil tersenyum.
Veronica tertawa kecil. “Itu memang cukup menyenangkan.”
Bondan mendekati meja kerja Veronica dan duduk di kursi di seberangnya. “Hidup memang tidak selalu sempurna Vero. Tapi kamu juga harus tahu, kamu tidak sendirian. Saya di sini dan saya peduli padamu.
Veronica tersenyum samar. “Terima kasih, Bondan. Kamu selalu tahu cara membuat saya merasa lebih baik.
Malam itu, suasana semakin tenang. Veronica memutuskan untuk beristirahat sejenak dari pekerjaannya. Ia menutup laptopnya dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Bondan masih duduk di sofa, tetapi tatapannya terus tertuju pada Veronica.
“Ada yang ingin saya katakan, Veronica,” Bondan akhirnya membuka suara setelah beberapa saat.
Veronica menoleh penasaran. “Apa itu?”
Bondan terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Selama ini, saya merasa hidup saya biasa saja. Tidak ada yang spesial. Tapi sejak mengenalmu, saya mulai merasa ada yang berubah. Jujur saja kamu sudah membuat hidupku lebih berwarna.
Veronica menatap Bondan dengan mata membesar. Ia tidak menyangka Bondan akan berkata seperti itu. “Bondan...”
“Saya tahu ini mungkin terdengar aneh,” lanjut Bondan, “tapi saya ingin kamu tahu, kalau saya menyukaimu. Bukan hanya sebagai atasan atau teman tapi sebagai seorang wanita.
Veronica terdiam sejenak dan hatinya berdebar. Kata-kata Bondan terdengar begitu jujur dan tulus. Ia tidak pernah menyangka seseorang seperti Bondan, yang sederhana tetapi penuh Perhatian, akan memiliki perasaan seperti itu padanya.
“Saya tidak tahu harus berkata apa. Ujarnya.
“Saya tidak meminta kamu untuk memberi jawaban sekarang. Kata Bondan. Saya hanya ingin kamu tahu apa yang saya rasakan.
Veronica mengangguk pelan. “Bondan, kamu adalah orang yang luar biasa. Selama ini, saya selalu takut dengan hubungan cinta karena saya berpikir semua pria hanya akan menyakiti saya. Tapi kamu... Kamuu berbeda.
Bondan menatapnya dengan penuh harapan. “Apakah itu berarti kamu tidak keberatan dengan perasaanku ?
Veronica tersenyum lembut. “Saya tidak keberatan. Bahkan, saya rasa saya juga mulai memiliki perasaan yang sama.”
Bondan terkejut tetapi juga bahagia mendengar pengakuan itu. Ia mendekati Veronica tetapi tetap menjaga jarak yang sopan.
“Terima kasih, Veronica. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku akan selalu ada untukmu.
Veronica merasa hatinya lebih ringan dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa percaya pada seseorang. Bondan telah membuktikan bahwa cinta tidak selalu menyakitkan. Ada cinta yang tulus seperti yang ditunjukkan Bondan kepadanya.
Malam itu, mereka berbincang lebih dalam tentang perasaan masing-masing. Veronica merasa seperti menemukan sahabat sekaligus seseorang yang bisa ia andalkan. Bondan, di sisi lain, merasa hidupnya yang selama ini kosong mulai terisi kembali.
Hubungan mereka mungkin baru dimulai, tetapi keduanya tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang indah. Di tengah kesibukan dan tekanan hidup, mereka menemukan kebahagiaan dalam satu sama lain.
Tak lama kemudian keduanya pun berdiri saling berhadapan, keduanya saling menatap dengan penuh cinta sampai akhirnya Bondan memberanikan diri untuk lebih mendekat dan berusaha mengecup bibirnya.
Didalam ruangan kantor yang dingin dan sunyi itu keduanya saling bercumbu rayu melampiaskan rasa kesepiannya masing masing. Tanpa ragu Bondan mendekap tubuh sintal Veronica dengan kedua tangannya sambil terus melumat bibir mungilnya.
Gairah asing tiba tiba hadir dalam diri Veronica ketika dirinya dicumbui sedemikian rupa oleh pria yang telah memenangkan hatinya tsb. Dengan penuh semangat dia menyambut setiap serbuan bibir lelaki itu, lidah keduanya saling mengait seolah menunjukan betapa dekatnya hubungan mereka saat ini, hubungan yang dibina secara perlahan dan kini telah mencapai puncaknya.
Tanpa ragu Bondan mulai melucuti blazer putih yang menutupi tubuh Veronica, dengan lembut diletakan satu persatu pakaian wanita itu diatas meja kerja kantornya.
Napas Bondan semak memburu ketika melihat bagian atas tubuh Veronica yang sudah polos tanpa busana namun masih mengenakan rok kerja hitamnya.
"Aku sangat kagum dengan keindahan tubuhmu Vero. kamu memang luar biasa. Puji Bondan sambil meremasi buah dada wanita karir itu dengan kedua tangannya yang kekar.
Veronica merasakan remasan tangan Bondan begitu lembut dipayudaranya, seakan ingin memancing gairahnya agar lebih berani untuk keluar. Oouhh.. wanita itu tiba tiba melenguh ketika Bondan sedikit menundukan badannya kebawah dan mulai menciumi buah dadanya, pelan pelan dicumbuinya payudara wanita itu dengan penuh perasaan seperti seorang pelukis yang sedang melukis dengan penuh penghayatan, membuat Veronica semakin tenggelam dalam birahinya.
"Bagaimana Vero apakah aku boleh melanjutkannya ? Tanya Bondan sambil bersikap sopan karena biar bagaimanapun wanita itu jauh lebih terhormat dibanding dirinya yang hanya seorang pegawai rendahan.
Oooghh.. Lanjutkan Bondan. Aku butuh kehangatan laki laki yang penuh perhatian seperti dirimu. Kata Veronica sambil menikmati setiap cumbuan ditubuh putihnya.
Perkataan wanita itu membuat Bondan semakin berani untuk bertindak. Dia tak menyangka kalau seorang wanita yang dikenal begitu tegas oleh bawahannya dikantor ternyata bisa begitu pasrah dihadapannya.
Bondan berhenti sejenak dan berusaha melucuti celana satpamnya kemudian dia baringkan tubuh kekasih barunya diatas meja dengan kedua kaki yang menjuntai kebawah. Bondan segera menggesser rok span ketat berwarna putih yang dikenakan oleh Veronica kearah atas lalu dengan cepat kedua tangannya membuka paha wanita itu agar terbuka mengangkang.
Bondan terdiam sejenak sambil memandangi tubuh indah Veronica yang sudah terbaring pasrah dihadapannya sampai akhirnya wanita chinese itu merasakan kenikmatan yang belum pernah dirasakannya sebelum.
Kenikmatan itu terjadi ketika Veronica merasakan bibir kemaluannya mulai digesek gesek oleh moncong kepala burung
milik Bondan
“Auuww!” Vero merintih saat merasakan kontol Bondan menyeruak masuk tanpa permisi di antara bibir kemaluannya yang masih rapat.
Tanpa sadar Veronica malah membuka kedua kakinya lebar lebar untuk memberikan jalan padanya. Pinggulnya berkutat agar batang penis yang sudah tegang itu bisa masuk seluruhnya.
Ooughh.. pelan pelan Bondan.. Wanita karir itu menarik napas panjang ketika Bondan menusuk penisnya lebih dalam dan berhasil merobek semua lapisan yang menghalanginya.
Slebb.. Slebb.. penis yang ukurannya tak wajar itu mulai didorong dan ditarik secara perlahan berupaya menyesuaikan dengan liang kenikmatan yang ada.
Ssshh.. Veronica mendesis dan menarik napas lega ketika melihat Bondan mulai lancar menggoyang pantatnya. Sementara itu ukuran penis Bondan yang semakin besar membuat ruang vaginanya terasa penuh. Bondan terus memacu tubuhnya dalam posisi berdiri dipinggiran meja kantor dengan masih mengenakan seragam satpam namun sudah tak memakai celananya. Pria berbadan kekar itu memompa dengan penuh semangat berusaha menikmati setiap gesekan yang ada.
Gesekan urat-urat batang penis Bondan yang menonjol sampai terasa ke ulu hati. Ujung kepalanya terasa menyodok-nyodok bagian terdalam vagina Veronica. Wanita itu sampai kehabisan nafas mengimbangi goyangan kekasihnya. Oouuhhh.. kamu benar-benar perkasa Bondan. Aku benar benar takluk padamu.
Saat itu tubuh mulus Veronica serasa dipanggang oleh batang panjangnya. Otot-otot kemaluan wanita itu pun jadi berkedut kedut dengan kencang. Aaaaghh.. Verooo.. nikmat sekali rasanya..
Bondan mengerang merasakan kenikmatan kedutan kekasihnya yang terasa seperti sedang menghisap-hisap kontolnya.
Meskipun sudah cukup lama tapi Bondan nampak masih perkasa menggenjotnya. Belum terlihat tanda-tanda lelaki itu akan segera orgasme. Veronica semakin kewalahan dalam mulai merasakan desiran kuat dalam dirinya.
Wanita tionghoa itu panik oleh gejolaknya sendiri. Dia mencoba bertahan sekuat mungkin, tetapi batang kontol Bondan masih terus menusuk-nusuk dengan cepatnya. Gesekan kulit batangnya yang keras dan gerinjal urat-uratnya pada kelentit perempuan cina itu, membuat pertahanannya jebol.
Pada akhirnya Veronica pun berteriak sekuat tenaga saat aliran deras menyembur dari dalam dirinya. Oough... Bondaaan.. Veronica yang biasanya tegar akhirnya
menyerah, pasrah dan membiarkan otot-ototnya melemas, melepaskan orgasmenya yang meledak-ledak.
“Masukiinn.. semuaannyaa..!” Jerit Veronica seraya menarik badan kekar Bondan yang sedang mendekap tubuhnya diatas meja.
Crett.. Creett.. Veronica merasakan semburan demi semburan memancar dari dalam liang vaginanya dan tak lama kemudian Bondan pun merasakan hal yang sama ketika kepala len berkedut kedut lalu menyemburkan spermanya yang hangat dan kental. Crott..
"Mulai hari ini aku adalah milikmu Bondan. Berjanjilah kalau kamu tak pernah menyia-nyiakan diriku. Ucap Veronica dengan tatapan matanya yang sayu.
"Tentu saja Vero. Aku pasti akan selalu menemanimu. Aku tak akan pernah membiarkan merasa kesepian lagi. Sahutnya sambil membelai rambut wanita itu.
Semenjak saat itu keduanya pun resmi menjalin hubungan percintaan sampai akhirnya Bondan memutuskan untuk menikahi Veronica dan hidup bahagia bersamanya.
Ayo Bondan..gaskuen
BalasHapus