Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar di ruang seni sekolah elite yang terletak di kawasan perumahan mewah. Ruangan itu dipenuhi aroma khas cat minyak dan kanvas. Di tengah ruang, Pak Ratno sedang mempersiapkan peralatan melukis untuk kelas seni pagi itu. Usianya sudah 52 tahun, namun wajahnya masih memancarkan semangat seorang guru yang mencintai seni. Rambutnya sudah mulai beruban, tetapi matanya berbinar setiap kali berbicara tentang seni.
Hari itu, ia memperhatikan salah satu siswanya, seorang gadis bernama Sellin. Gadis keturunan tionghoa itu selalu menarik perhatian dengan kulit putih bersihnya, wajah oriental yang selalu tersenyum, serta sikap ramahnya yang membuat semua orang nyaman berada di dekatnya. Namun, bukan hanya itu yang membuat Pak Ratno tertarik—kemampuan melukisnya yang luar biasa menjadi alasan utama.
Saat kelas berlangsung, Pak Ratno berjalan mengitari meja-meja siswanya, memeriksa pekerjaan mereka. Ketika sampai di meja Sellin, ia berhenti sejenak untuk mengamati lukisan gadis itu.
“Sellin, kamu melukis pemandangan gunung dengan perpaduan warna yang sangat bagus. Katanya sambil tersenyum.
Sellin mengangkat wajahnya, membalas senyuman itu. “Terima kasih pak. Saya mencoba mencampur warna agar terlihat lebih hidup.
“Kamu berhasil. Tapi coba tambahkan bayangan di bagian bawah pohon ini ya. Itu akan memberi kesan lebih realistis. Ujar Pak Ratno sambil menunjuk salah satu bagian di lukisan itu.
“Baik pak. Jawab Sellin dengan penuh semangat.
Setelah kelas selesai dan siswa-siswa lain mulai membereskan peralatan mereka, Pak Ratno mendekati Sellin yang masih sibuk menyempurnakan lukisannya.
“Sellin, kamu ada waktu sebentar ? Tanya Pak Ratno.
“Tentu pak. Jawab Sellin sambil meletakkan kuasnya.
“Kamu punya bakat luar biasa dalam melukis. Saya pikir, kalau bakatmu ini diasah lebih jauh, kamu bisa menjadi seorang seniman hebat. Kata Pak Ratno dengan nada serius.
“Terima kasih pak. Saya sangat senang mendengar itu. Kata Sellin sambil tersenyum lebar.
“Saya ada ide. Lanjut Pak Ratno.
Sellin tampak berpikir sejenak lalu wajahnya kembali cerah. “Saya mau pak !! Itu pasti seru.
“Bagus! Kita bisa mulai minggu depan. Kamu boleh pilih waktu yang nyaman untukmu. Kata Pak Ratno sambil menepuk bahu Sellin dengan penuh semangat.
“Baik, Pak. Saya akan bicara dengan orang tua saya juga. Kata Sellin sambil membereskan perlengkapannya.
Kelas Tambahan Dimulai
Minggu , kelas tambahan pertama dimulai. Ruangan seni yang biasanya ramai kini hanya diisi oleh Pak Ratno dan Sellin. Di tengah meja besar, tersedia beberapa kanvas baru, kuas, dan cat minyak yang sudah disiapkan oleh Pak Ratno.
“Baik, Sellin. Hari ini kita akan belajar teknik melapisi warna untuk membuat lukisan terlihat lebih dalam. Kamu sudah pernah mencoba teknik ini sebelumnya ? tanya Pak Ratno.
“Belum pak. Saya biasanya langsung mencampur warna saja. Jawab Sellin jujur.
“Kalau begitu, ini kesempatan bagus. Kita mulai dengan dasar lalu nanti kita eksperimen bersama.
Sellin mengikuti instruksi Pak Ratno dengan penuh perhatian. Selama beberapa jam, mereka melukis bersama. Pak Ratno menunjukkan bagaimana caranya membuat gradasi warna yang halus, sementara Sellin mencoba mengaplikasikan teknik tersebut ke dalam lukisannya.
“Bagus sekali Sellin. Lihat !! Warna langitnya sekarang terlihat lebih hidup kan ? Kata Pak Ratno sambil menunjuk hasil pekerjaan gadis itu.
Sellin mengangguk antusias. “Iya, Pak. Saya juga tidak menyangka kalau hasilnya bisa seperti ini.
“Dengan latihan, kamu bisa lebih hebat lagi. Jangan lupa, melukis itu bukan cuma soal teknik. Kamu harus melibatkan perasaanmu. Kalau kamu merasakan sesuatu, cobalah tuangkan itu ke kanvas.
Sellin mengangguk lagi. “Nanti Saya akan mencobanya pak.
Seiring berjalannya waktu, hubungan antara guru dan murid ini semakin erat. Bagi Pak Ratno, mengajar Sellin bukan hanya tentang seni, tetapi juga menjadi momen untuk berbagi pengalaman hidup. Sementara bagi Sellin, Pak Ratno adalah mentor sekaligus inspirasi.
Mimpi yang Terbentuk
Suatu sore, setelah kelas tambahan selesai, Sellin mendekati Pak Ratno dengan wajah penuh semangat.
“Pak, saya punya ide,” katanya.
“Apa itu, Sellin?” tanya Pak Ratno.
“Saya ingin membuat pameran kecil untuk lukisan-lukisan saya. Apa menurut Bapak itu mungkin?”
Pak Ratno terkejut, tetapi juga kagum dengan keberanian Sellin. “Tentu saja mungkin! Saya akan bantu kamu mempersiapkannya. Ini akan jadi pengalaman hebat untukmu.”
Sellin tersenyum bahagia. “Terima kasih, Pak. Saya sangat beruntung punya guru seperti Bapak.
Pak Ratno hanya tersenyum sambil menatap gadis itu. Dalam hatinya, ia merasa bangga melihat bagaimana seni telah membentuk mimpi dalam diri Sellin. Hari itu, mereka memulai rencana untuk pameran yang akan menjadi langkah pertama Sellin menuju dunia seni yang lebih besar.
Kanvas tidak hanya menjadi tempat menuangkan warna, tetapi juga menjadi saksi perjalanan seorang guru dan murid yang menemukan makna dalam seni dan kehidupan.
Persiapan Pameran
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Pameran kecil karya Sellin digelar di aula besar sekolah. Dengan bantuan Pak Ratno, Sellin telah mengatur lukisan-lukisannya dengan rapi di berbagai sudut ruangan. Setiap karya diberi bingkai sederhana namun elegan, dan di bawah setiap lukisan terdapat keterangan singkat tentang inspirasinya. Tema pameran adalah “Warna Kehidupan”, menggambarkan berbagai emosi yang dituangkan Sellin ke dalam kanvas.
“Semuanya terlihat luar biasa, Sellin,” kata Pak Ratno sambil memeriksa tata letak terakhir.
“Terima kasih, Pak. Kalau bukan karena Bapak, saya mungkin tidak akan berani melakukan ini,” jawab Sellin dengan senyuman.
“Kamu yang bekerja keras, Sellin. Ini adalah momenmu,” kata Pak Ratno dengan bangga.
Hari Pameran
Pameran yang awalnya hanya dirancang untuk kalangan sekolah ternyata menarik perhatian banyak orang. Selain siswa, guru, dan orang tua murid dari sekolah itu, ada juga pengunjung dari sekolah lain dan komunitas seni lokal yang datang untuk melihat karya Sellin. Aula yang semula sunyi kini dipenuhi suara kagum dan kekagetan.
“Lukisan ini luar biasa. Anak seusianya sudah bisa membuat karya seperti ini?” bisik seorang pengunjung.
Salah satu lukisan yang paling menarik perhatian adalah sebuah karya berjudul “Senja yang Diam”. Lukisan itu menggambarkan matahari terbenam di sebuah desa kecil dengan warna-warna hangat yang seolah-olah memeluk penontonnya.
Di tengah kerumunan, seorang pria tua berpakaian rapi tampak mengamati setiap lukisan dengan saksama. Wajahnya yang keriput memancarkan aura kebijaksanaan, dan matanya memancarkan ketertarikan yang mendalam.
“Apa ini karya Sellin?” tanya pria itu kepada salah satu panitia.
“Betul, Pak. Semua lukisan di sini adalah karya Sellin. Jawab panitia dengan sopan.
Pria itu lalu mendekati Sellin yang sedang berbincang dengan beberapa pengunjung lainnya.
“Permisi, kamu Sellin?” tanya pria tua itu dengan suara lembut.
Sellin menoleh dan sedikit terkejut, namun tetap tersenyum ramah. “Iya, Pak. Saya Sellin. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya adalah orang tua salah satu murid di sini. Nama saya Pak Jatmiko. Saya pengusaha dan penggemar seni, khususnya barang-barang antik. Tapi melihat lukisan-lukisanmu ini, saya benar-benar kagum. Anak seusiamu yang memiliki bakat seperti ini sungguh langka. Kata Pak Jatmiko dengan nada tulus.
“Terima kasih pak. Saya hanya mencoba menuangkan apa yang saya rasakan ke dalam lukisan. Jawab Sellin sedikit gugup namun bahagia.
Pak Jatmiko mengangguk. “Saya terutama terkesan dengan lukisan ‘Senja yang Diam’. Itu mengingatkan saya pada kampung halaman saya. Apakah lukisan ini untuk dijual ?
Sellin tertegun sejenak. “Um... sebenarnya saya belum berpikir untuk menjualnya pak.
Pak Jatmiko tersenyum. “Kalau begitu, saya ingin menjadi kolektor pertama karyamu. Saya akan membelinya dengan harga lima juta rupiah.”
Mata Sellin melebar. “Benarkah, Pak?”
“Tentu saja. Karyamu layak dihargai. Saya yakin ini hanya awal dari perjalanan panjangmu sebagai seorang seniman.”
Sellin hampir tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Terima kasih banyak, Pak! Ini benar-benar berarti bagi saya.”
Pak Jatmiko tersenyum puas. “Teruslah berkarya, Sellin. Saya yakin kamu akan sukses besar suatu hari nanti.”
Setelah transaksi selesai, Sellin berlari ke arah Pak Ratno yang sedang berdiri di pojok aula.
“Pak Ratno! Bapak tahu tidak? Lukisan saya baru saja dibeli seseorang!” katanya dengan antusias.
Pak Ratno tersenyum lebar. “Saya sudah bilang, Sellin. Karyamu punya kekuatan untuk menyentuh hati orang. Ini adalah awal yang bagus.”
Meningkatkan Latihan
Setelah pameran sukses, semangat Sellin untuk melukis semakin membara. Ia kini menghabiskan lebih banyak waktu di ruang seni, sering kali hingga sore hari. Pak Ratno, yang melihat potensi besar dalam diri Sellin, dengan senang hati meluangkan waktunya untuk terus membimbing gadis itu.
“Sellin, coba gunakan palet warna ini untuk membuat efek cahaya pada lukisanmu,” kata Pak Ratno suatu sore saat mereka sedang melukis bersama.
“Baik, Pak. Seperti ini, ya?” tanya Sellin sambil memadukan warna kuning dan oranye pada kanvas.
“Bagus sekali. Lihat bagaimana cahayanya tampak menyinari objek di sekitarnya,” ujar Pak Ratno sambil mengangguk puas.
Hari-hari itu, Sellin merasa semakin nyaman dengan gurunya. Mereka berbagi banyak hal, bukan hanya tentang seni, tetapi juga cerita-cerita kehidupan.
“Pak, kenapa Bapak memilih menjadi guru seni?” tanya Sellin suatu hari.
Pak Ratno tersenyum. “Seni adalah hidup saya Sellin. Tapi saya merasa, lebih dari sekadar menciptakan karya, saya ingin berbagi cinta saya terhadap seni dengan generasi muda seperti kamu. Itu memberi saya kebahagiaan.
Sellin mengangguk pelan. “Saya bersyukur punya guru seperti Bapak. Kalau bukan karena Bapak, saya mungkin tidak akan percaya diri untuk melukis seperti sekarang.”
Pak Ratno tersenyum lembut. “Kamu istimewa, Sellin. Dan ingat, seni bukan hanya tentang keindahan. Itu adalah cara kita menyampaikan cerita dan emosi kepada dunia.
Hubungan mereka semakin erat. Pak Ratno tidak hanya menjadi seorang guru bagi Sellin, tetapi juga mentor dan teman yang selalu mendukungnya. Sellin merasa bahwa bersama Pak Ratno, ia tidak hanya belajar tentang seni, tetapi juga tentang keberanian untuk bermimpi dan bekerja keras demi mewujudkan impiannya.
Persiapan Pameran Kedua
Beberapa bulan setelah kesuksesan pameran pertamanya, Sellin kembali dipercaya untuk menggelar pameran di sekolahnya. Namun, kali ini pihak sekolah memutuskan untuk membuat acara yang lebih besar. Undangan disebar tidak hanya ke orang tua murid dan komunitas seni lokal, tetapi juga ke berbagai kalangan, termasuk influencer media sosial, kolektor seni terkenal, dan wartawan. Tema pameran kali ini adalah “Realitas dan Imajinasi”, sebuah refleksi dari perkembangan teknik melukis Sellin yang semakin tajam dan detail.
Di ruang seni, Sellin dan Pak Ratno sedang mempersiapkan karya-karya yang akan dipamerkan. Sebagian besar adalah lukisan-lukisan realistis yang menggambarkan potret manusia, pemandangan alam, dan kehidupan sehari-hari.
“Sellin, lukisan-lukisanmu luar biasa. Lihat detail pada potret ini, bahkan bayangan halus di kulitnya terlihat hidup,” puji Pak Ratno sambil mengamati salah satu karya Sellin.
“Terima kasih, Pak. Saya banyak belajar dari teknik yang Bapak ajarkan,” jawab Sellin dengan senyum cerah.
“Kamu pantas mendapatkan semua perhatian ini. Tapi ingat, tetaplah rendah hati dan terus belajar,” ujar Pak Ratno dengan bijak.
Sellin mengangguk. “Tentu, Pak. Saya tidak akan lupa pesan Bapak.”
Hari Pameran Kedua
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Aula besar sekolah dihiasi dengan gaya minimalis namun elegan, membiarkan lukisan-lukisan Sellin menjadi pusat perhatian. Undangan yang hadir kali ini jauh lebih ramai, termasuk beberapa influencer media sosial yang membawa kamera untuk mendokumentasikan momen tersebut. Para pengunjung tampak terkagum-kagum dengan karya-karya Sellin.
“Ini gila! Lukisan-lukisan ini terlihat seperti foto!” seru seorang influencer sambil merekam salah satu karya Sellin.
“Benar, lihat detail di rambut dan mata ini. Dia benar-benar berbakat!” balas temannya.
Di tengah-tengah pameran, panitia mengumumkan bahwa Sellin akan mendemonstrasikan proses melukisnya secara langsung. Seorang pengunjung, seorang pria muda dengan wajah ramah, bersedia menjadi model untuk dilukis.
“Terima kasih sudah bersedia menjadi model, Kak,” ujar Sellin sambil tersenyum saat pria itu duduk di kursi yang telah disiapkan.
“Dengan senang hati, Sellin. Saya juga penasaran melihat cara kamu melukis,” jawab pria itu.
Sellin mengenakan seragam sekolahnya yang rapi—blus putih dan rok abu-abu—dengan rambut yang diikat sederhana. Ia memulai proses melukis dengan tenang, namun penuh konsentrasi. Setiap goresan kuasnya tampak penuh perhitungan, menciptakan lapisan demi lapisan detail yang menakjubkan.
Para pengunjung berkumpul di sekelilingnya, menahan napas saat melihat kemampuannya. Dalam waktu kurang dari dua jam, lukisan itu selesai. Hasilnya luar biasa—wajah pria muda itu tergambar dengan sangat realistis, hingga pori-pori kulit dan kilaunya seperti hidup.
“Luar biasa! Ini seperti foto!” seru seorang pengunjung.
“Bagaimana mungkin seorang gadis seusianya bisa melukis dengan detail seperti ini?” tambah yang lain.
Tepuk tangan membahana di aula, membuat wajah Sellin memerah karena malu bercampur bahagia. Pak Ratno yang berdiri di sudut ruangan tersenyum bangga, sementara beberapa kolektor seni yang hadir mulai mendekati Sellin untuk berbincang.
Pengakuan dan Kekaguman
Di sela-sela pameran, seorang wanita muda yang dikenal sebagai influencer seni mendekati Sellin.
“Sellin, saya Jessica, seorang konten kreator seni di media sosial. Saya ingin membuat video tentang karya-karyamu. Apa kamu bersedia?” tanya wanita itu sambil memegang kamera.
“Tentu, Kak Jessica. Saya akan sangat senang!” jawab Sellin.
Jessica mulai merekam dan bertanya tentang inspirasi dan proses melukis Sellin. Gadis itu menjawab dengan penuh percaya diri, menjelaskan bagaimana ia selalu berusaha menyampaikan emosi melalui setiap lukisannya.
Di sisi lain ruangan, seorang kolektor seni senior, Pak Jatmiko—yang sebelumnya membeli salah satu karya Sellin di pameran pertama—kembali hadir. Kali ini, ia membawa beberapa teman yang juga kolektor.
“Sellin, karya-karyamu semakin luar biasa. Saya ingin membeli satu lagi untuk koleksi saya,” katanya dengan senyum ramah.
“Oh, terima kasih banyak pak. Silakan pilih karya yang Bapak suka,” jawab Sellin dengan sopan.
Setelah melihat-lihat, Pak Jatmiko memilih sebuah lukisan pemandangan yang menggambarkan hamparan sawah dengan detail yang memukau.
“Saya akan membayar sepuluh juta untuk karya ini,” katanya tanpa ragu.
Sellin terkejut, namun dengan cepat tersenyum. “Terima kasih banyak pak. Ini benar-benar berarti bagi saya.”
Pak Jatmiko tersenyum. “Teruslah berkarya, Sellin. Saya yakin kamu punya masa depan yang cerah di dunia seni.
Semakin Dekat dengan Pak Ratno
Setelah pameran kedua ini, hubungan antara Sellin dan Pak Ratno semakin erat. Hampir setiap hari setelah jam sekolah, Sellin meluangkan waktu untuk belajar melukis bersama gurunya. Bagi Sellin, Pak Ratno bukan hanya guru seni, tetapi juga seorang mentor dan sahabat yang selalu memberinya semangat.
“Pak, kenapa Bapak tidak pernah mencoba memamerkan karya-karya Bapak sendiri?” tanya Sellin suatu sore saat mereka melukis bersama.
Pak Ratno tersenyum kecil. “Saya lebih senang melihat murid-murid saya berkembang. Itu sudah cukup bagi saya.”
“Tapi karya Bapak juga luar biasa. Saya yakin banyak orang yang akan mengapresiasinya,” kata Sellin dengan penuh keyakinan.
“Mungkin suatu hari nanti,” jawab Pak Ratno dengan nada bercanda. “Tapi sekarang, fokus saya adalah mendukungmu.”
Sellin merasa nyaman bersama Pak Ratno. Mereka sering berbicara tentang seni, kehidupan, dan mimpi-mimpi mereka. Gadis itu merasa bahwa Pak Ratno adalah orang yang benar-benar memahami dirinya.
“Pak, terima kasih untuk semuanya. Saya tidak tahu apa jadinya saya tanpa Bapak,” ujar Sellin tulus.
Pak Ratno tersenyum. “Seni adalah perjalanan, Sellin. Dan saya bersyukur bisa menjadi bagian dari perjalananmu.”
Sellin mengangguk, yakin bahwa dengan bimbingan dan dukungan gurunya, ia akan mampu menghadapi semua tantangan di masa depan. Perjalanan seninya baru saja dimulai.
Bakat atau Harapan Keluarga?
Hari itu, suasana di ruang makan keluarga Sellin terasa tegang. Ayahnya, seorang pengusaha sukses keturunan Tionghoa, duduk di ujung meja dengan wajah serius. Di sebelahnya, ibu Sellin tampak gelisah. Sellin duduk di seberang mereka, menunduk sambil memainkan jari-jarinya.
“Sellin,” suara ayahnya terdengar tegas. “Papa dan Mama sudah memutuskan. Setelah kamu lulus sekolah, kamu akan kuliah di luar negeri, mengambil jurusan kedokteran di universitas terbaik.”
Sellin mengangkat kepalanya perlahan. “Papa, Mama… aku ingin bicara soal itu.”
Ayahnya menyipitkan mata. “Bicara apa lagi? Bukankah kita sudah sepakat soal ini?”
Sellin menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Papa, Mama… aku tidak ingin menjadi dokter.”
Ruangan itu langsung sunyi. Ayahnya menatapnya tajam. “Apa maksudmu, Sellin?”
“Aku ingin menjadi pelukis profesional,” jawab Sellin dengan suara gemetar namun tegas.
Wajah ayahnya memerah. “Pelukis? Apa-apaan ini, Sellin? Kamu tahu berapa banyak uang yang Papa keluarkan untuk sekolahmu? Semua itu supaya kamu punya masa depan yang cerah, bukan untuk main-main dengan kuas dan cat!”
“Itu bukan main-main, Papa,” jawab Sellin dengan suara sedikit bergetar. “Melukis adalah hidupku. Itu yang membuatku bahagia.”
Ibu Sellin mencoba menenangkan situasi. “Sellin, sayang… Mama mengerti kamu suka melukis. Tapi melukis itu bisa dijadikan hobi, bukan karier. Kuliah kedokteran akan memberimu masa depan yang pasti.”
“Papa dan Mama tidak mengerti,” ujar Sellin dengan nada memohon. “Aku sudah melakukan banyak hal di seni. Aku mengadakan pameran, orang-orang mengapresiasi karyaku. Bahkan aku bisa menghasilkan uang dari melukis. Ini bukan sekadar hobi, ini panggilan hidupku.”
Ayahnya mengetukkan tangan di meja dengan keras, membuat ibu Sellin tersentak. “Cukup, Sellin! Papa tidak mau dengar alasanmu lagi. Kamu akan mengikuti apa yang Papa dan Mama rencanakan. Titik.”
Air mata mulai menggenang di mata Sellin, namun ia tetap berusaha kuat. “Papa selalu bilang ingin aku bahagia. Tapi kenapa Papa memaksaku melakukan sesuatu yang tidak aku cintai? Apa arti kebahagiaan bagimu?”
Ayahnya terdiam sejenak, namun wajahnya tetap keras. “Kebahagiaan adalah hidup yang stabil, terhormat, dan aman. Menjadi dokter adalah jalan yang pasti. Lihat keluarga kita, semua orang sukses karena mereka mengikuti jalur yang benar.”
“Lalu bagaimana dengan mimpiku, Papa? Haruskah aku mengorbankan kebahagiaanku hanya untuk memenuhi harapan Papa dan Mama?”
Ibu Sellin memegang tangan suaminya, mencoba menenangkan. “Biarkan dia menjelaskan, Sayang. Mungkin ada cara lain.”
Namun, ayah Sellin berdiri dari kursinya, menarik napas panjang untuk meredam emosinya. “Sellin, pikirkan baik-baik. Papa dan Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Kita akan bicara lagi nanti. Tapi sampai saat itu, Papa berharap kamu mulai mempertimbangkan apa yang penting dalam hidup.”
Ayahnya kemudian meninggalkan ruang makan, meninggalkan Sellin dan ibunya dalam keheningan.
Mencari Dukungan
Keesokan harinya di ruang seni, Sellin duduk di depan kanvasnya, tapi pikirannya melayang-layang. Air matanya menetes perlahan, membuat Pak Ratno yang baru saja masuk ke ruangan itu berhenti di pintu.
“Sellin, ada apa? Kamu terlihat sedih,” tanya Pak Ratno sambil mendekatinya.
Sellin mengusap wajahnya dengan cepat, mencoba menyembunyikan air matanya. “Tidak apa-apa, Pak.”
Pak Ratno duduk di sampingnya. “Kamu tidak pandai menyembunyikan perasaan, Sellin. Ceritakan saja. Mungkin saya bisa membantu.”
Sellin terdiam sejenak sebelum akhirnya membuka suara. “Papa dan Mama ingin aku kuliah kedokteran di luar negeri. Tapi aku tidak mau. Aku ingin menjadi pelukis. Aku sudah mencoba menjelaskan, tapi mereka tidak setuju.”
Pak Ratno mengangguk pelan, memahami situasinya. “Saya bisa mengerti perasaan mereka, Sellin. Orang tua mana yang tidak ingin yang terbaik untuk anaknya? Tapi saya juga bisa mengerti kamu. Karena seni adalah bagian dari dirimu.”
“Apa yang harus aku lakukan, Pak? Aku tidak mau kehilangan dukungan mereka, tapi aku juga tidak ingin menyerah pada mimpiku,” ujar Sellin, suaranya nyaris berbisik.
Pak Ratno menatapnya dengan lembut. “Kamu harus menunjukkan kepada mereka bahwa ini bukan sekadar mimpi kosong. Tunjukkan dedikasimu, hasil karyamu, dan potensimu. Kadang, tindakan lebih kuat dari kata-kata.”
Sellin mengangguk pelan. “Tapi bagaimana kalau mereka tetap tidak setuju?”
“Sellin,” kata Pak Ratno dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan, “kehidupan ini adalah kanvasmu. Kamu yang memegang kuasnya. Tidak ada yang bisa memaksamu melukis sesuatu yang bukan dari hatimu. Namun, cobalah untuk tetap menghormati mereka. Jalan yang benar sering kali penuh tantangan.”
Kata-kata itu memberi Sellin semangat baru. Ia tahu perjuangannya belum selesai, tapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Pak Ratno, bakatnya, dan keyakinannya pada seni akan menjadi alat untuk meyakinkan orang tuanya bahwa ia mampu melukis masa depannya sendiri.
Hari itu, Sellin merasa sangat lelah secara emosional setelah perbincangannya dengan orang tuanya. Dalam diam, ia melangkah menuju ruang seni di sekolah, tempat di mana ia selalu merasa bebas. Ruangan itu kosong, hanya diterangi oleh sinar matahari senja yang masuk melalui jendela besar.
Tanpa sepatah kata pun, Sellin menyiapkan kanvas putih di atas easel, mengambil palet warna, dan mulai melukis. Air matanya jatuh perlahan, membasahi pipinya. Dengan setiap sapuan kuas, ia menuangkan semua kesedihan dan konflik yang ia rasakan. Warna-warna gelap seperti biru tua dan abu-abu mendominasi, menggambarkan suasana hatinya yang muram. Namun di tengah lukisan itu, Sellin menambahkan semburat warna oranye dan merah, simbol harapan yang berusaha bertahan di tengah kegelapan.
Ketika selesai, ia berdiri diam di depan lukisan itu, merasa seolah semua perasaannya telah dituangkan ke dalam kanvas. Ia menyebut lukisan itu "Harapan dalam Gelap".
Persiapan Pameran di Hotel Mewah
Beberapa bulan kemudian, pihak sekolah kembali meminta Sellin untuk menampilkan bakatnya, kali ini dalam sebuah pameran besar yang digelar di ruang pameran sebuah hotel mewah di kota metropolitan. Acara ini dirancang untuk mempromosikan nama sekolah sekaligus mendukung bakat luar biasa Sellin.
“Sellin, ini kesempatan besar,” kata kepala sekolah saat mengundangnya ke kantor. “Kami percaya karya-karyamu bisa menarik perhatian yang lebih luas. Kami sudah mengatur segala sesuatunya.”
Sellin mengangguk dengan rasa campur aduk antara gugup dan semangat. “Terima kasih atas kepercayaannya, Bu. Saya akan memberikan yang terbaik.”
Beberapa minggu sebelum pameran, Sellin bersama Pak Ratno mempersiapkan karya-karyanya dengan teliti. Pak Ratno melihat lukisan "Harapan dalam Gelap" yang pernah dibuat Sellin di ruang seni.
“Sellin, ini… ini luar biasa,” kata Pak Ratno sambil mengamati lukisan itu. “Lukisan ini memiliki emosi yang sangat kuat. Saya yakin ini akan menjadi pusat perhatian di pameran nanti.”
Sellin tersenyum tipis. “Saya membuatnya saat merasa sangat sedih, Pak. Mungkin itu sebabnya emosinya begitu terasa.”
Pak Ratno menepuk bahunya. “Justru itulah seni sejati. Karya yang berasal dari hati selalu memiliki daya tarik tersendiri.”
Hari Pameran
Ruang pameran di hotel itu dipenuhi dengan suasana elegan. Lukisan-lukisan Sellin dipajang dengan pencahayaan yang sempurna, membuat setiap detail terlihat hidup. Pengunjung yang datang kali ini tidak hanya berasal dari kalangan akademik, tetapi juga para kolektor seni, pengusaha ternama, dan influencer media sosial yang membawa serta ribuan pengikut mereka.
Ketika para pengunjung berjalan-jalan mengagumi karya-karya Sellin, perhatian mereka terhenti pada satu lukisan: "Harapan dalam Gelap". Lukisan itu berdiri sendiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh sorotan lampu khusus yang membuatnya semakin dramatis.
“Luar biasa.. Bisik seorang kolektor seni. “Lukisan ini… seperti berbicara langsung pada jiwa saya.
“Siapa yang membuat ini?” tanya seorang pengusaha kaya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Seorang gadis muda bernama Sellin. Jawab panitia dengan bangga.
Ketika banyak kolektor mulai bertanya tentang lukisan tersebut, panitia memutuskan untuk melelangnya demi mendapatkan harga terbaik. Proses lelang berlangsung tegang. Beberapa kolektor seni dan pengusaha besar saling bersaing untuk mendapatkan lukisan itu.
"Dua puluh juta. Tawar seorang kolektor.
“Tiga puluh lima juta!” teriak pengusaha lainnya.
Akhirnya, seorang pengusaha kaya bernama Pak Herman, yang dikenal gemar mengoleksi karya seni berkualitas tinggi, memenangkan lelang dengan harga fantastis: lima puluh juta rupiah.
Ketika panitia mengetuk palu tanda lelang selesai, seluruh ruangan bergemuruh dengan tepuk tangan. Sellin yang menyaksikan dari sudut ruangan merasa campur aduk. Air matanya menggenang, tapi kali ini karena rasa syukur dan kebanggaan.
Pak Herman mendekati Sellin setelah acara selesai. “Sellin, kamu adalah seniman muda yang sangat berbakat. Teruslah berkarya. Lukisanmu ini akan menjadi salah satu koleksi terbaik saya.”
“Terima kasih, Pak Herman. Saya benar-benar terhormat,” jawab Sellin dengan suara bergetar.
Konfrontasi dengan Orang Tua
Setelah pameran berakhir, Sellin kembali ke rumah dengan hati penuh keberanian. Ia merasa ini adalah waktu yang tepat untuk kembali berbicara dengan orang tuanya tentang mimpinya.
“Papa, Mama,” kata Sellin di ruang tamu. “Saya ingin membicarakan sesuatu.”
Ayahnya meletakkan koran yang sedang dibacanya. “Ada apa lagi, Sellin?”
“Pameran tadi berjalan dengan sangat baik. Salah satu lukisan saya terjual dengan harga lima puluh juta. Kata Sellin dengan hati-hati.
Ayahnya tampak terkejut tapi hanya sejenak. “Lalu? Apa yang ingin kamu sampaikan?”
“Papa, melukis adalah jalan hidup saya. Saya ingin menjadi pelukis profesional. Saya tahu Papa dan Mama ingin yang terbaik untuk saya, tapi ini yang membuat saya bahagia,” kata Sellin dengan penuh keyakinan.
Wajah ayahnya mengeras. “Sellin, uang lima puluh juta itu tidak ada artinya dibandingkan dengan masa depan yang stabil. Kamu tidak bisa hidup hanya dari melukis.
“Tapi Papa, ini lebih dari sekadar uang. Saya merasa hidup ketika melukis. Saya ingin berkarya, bukan menjalani hidup yang tidak saya cintai,” jawab Sellin dengan nada memohon.
Ibu Sellin mencoba menengahi. “Sayang, kami bangga dengan bakatmu. Tapi kami hanya ingin kamu punya masa depan yang pasti. Dunia seni itu tidak mudah.”
Sellin menunduk, merasa kelelahan. “Kalau begitu, apa arti kebahagiaan bagi Papa dan Mama? Apakah hanya soal uang dan stabilitas?”
Ayahnya menghela napas panjang. “Sellin, kami tidak akan mengubah keputusan kami. Kamu tetap akan kuliah kedokteran. Ini adalah yang terbaik untukmu.”
Air mata kembali mengalir di wajah Sellin. Kali ini, ia tidak melawan. Ia hanya berbalik dan naik ke kamarnya, membawa beban yang semakin berat di hatinya.
Namun, dalam hati kecilnya, Sellin tahu bahwa ia tidak akan menyerah. Ia akan terus melukis, terus berjuang untuk mimpinya, dan suatu hari nanti ia akan membuktikan kepada dunia—dan kepada orang tuanya—bahwa seni adalah jalan hidup yang layak. Perjuangannya masih panjang.
Melukis Takdir Sendiri
Sellin merasa semakin terhimpit oleh tekanan kedua orang tuanya. Ia telah mencoba segala cara untuk menyakinkan mereka—dari pameran hingga penghargaan yang ia dapatkan—namun semuanya sia-sia. Ayahnya tetap keras, bersikeras bahwa jalan hidup yang benar adalah menjadi dokter.
Hari itu di ruang seni sekolah, Sellin duduk di kursi dengan wajah lesu. Pak Ratno masuk dan langsung menyadari sesuatu yang tidak beres.
“Sellin, kamu kelihatan tidak seperti biasanya. Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada lembut.
Sellin mengangkat wajahnya, menatap gurunya dengan mata penuh air mata. “Pak, saya sudah mencoba segalanya. Saya sudah membuktikan bakat saya, tetapi Papa tetap tidak mau mengerti. Dia bahkan tidak mau mendengarkan apa yang saya inginkan.”
Pak Ratno duduk di kursi di depannya, menatap gadis itu dengan prihatin. “Sellin, orang tuamu hanya ingin yang terbaik untukmu. Tapi saya juga tahu, kamu tidak bisa menjalani hidup berdasarkan harapan orang lain.”
“Tapi Pak, saya tidak tahu harus bagaimana lagi,” ujar Sellin dengan suara gemetar. “Saya merasa tidak punya tempat untuk melarikan diri dari semua ini.”
Pak Ratno menghela napas. “Apa yang ingin kamu lakukan sekarang?”
Sellin menatapnya dengan penuh tekad. “Saya ingin keluar dari rumah untuk sementara waktu, Pak. Saya tidak ingin terus-menerus ditekan seperti ini. Saya butuh waktu untuk menenangkan diri dan berpikir.”
Malam Pelarian
Sepulang sekolah, Sellin mengirim pesan kepada ayahnya:
"Papa, tolong jangan jemput aku hari ini. Aku ingin sendiri dulu. Jangan khawatir, aku akan aman."
Kemudian, ia berjalan menuju studio seni tempat Pak Ratno sering bekerja di luar jam sekolah. Dengan sebuah tas kecil berisi pakaian dan barang-barang pribadinya, Sellin mengetuk pintu studio.
Pak Ratno yang sedang merapikan beberapa lukisan tampak terkejut saat melihatnya. “Sellin? Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini?”
Sellin berdiri di pintu dengan wajah tegas. “Pak, saya butuh tempat untuk tinggal sementara. Saya tidak bisa pulang ke rumah malam ini.”
Pak Ratno menatapnya dengan cemas. “Sellin, ini keputusan besar. Kamu sadar kalau ini bisa menimbulkan masalah? Bagaimana jika orang tuamu menganggap saya membawa kabur kamu?”
“Pak, ini keputusan saya sendiri. Saya tidak kabur, saya hanya butuh waktu untuk menenangkan diri. Saya akan menjelaskan semuanya kepada mereka nanti,” jawab Sellin sambil berusaha meyakinkan gurunya.
Pak Ratno menghela napas panjang. Ia tahu betapa keras kepala Sellin jika sudah mengambil keputusan. “Baiklah, kamu bisa tinggal di sini untuk malam ini. Tapi besok pagi, kita harus mencari solusi. Kamu tidak bisa terus lari dari masalah.”
“Terima kasih, Pak. Saya janji ini hanya sementara,” jawab Sellin dengan suara pelan.
Di Studio Seni
Malam itu, Sellin duduk di salah satu sudut studio. Ia membuka tasnya, mengambil buku sketsa, dan mulai menggambar. Gambarnya kali ini adalah potret dirinya sendiri—dikelilingi bayangan gelap, tapi di tangannya ia memegang kuas dengan warna-warna cerah.
Pak Ratno memperhatikan dari kejauhan. Ia melihat betapa tekunnya Sellin, meski dalam keadaan penuh tekanan.
“Sellin,” panggilnya lembut. “Apa yang kamu gambar?”
“Gambar ini… adalah bagaimana saya merasa saat ini, Pak,” jawabnya tanpa menghentikan tangannya yang sibuk menggambar.
Pak Ratno tersenyum tipis. “Kamu benar-benar memiliki cara luar biasa untuk menyampaikan perasaanmu melalui seni. Kamu tahu, ini adalah salah satu hal yang membuatmu spesial.
Sellin berhenti menggambar sejenak dan menatapnya. “Tapi kenapa papa tidak bisa melihat itu pak ? Kenapa dia hanya peduli pada apa yang dia anggap benar untuk saya ?
“Karena orang tua terkadang melihat dunia dengan cara yang berbeda. Jawab Pak Ratno bijak.
Sekarang keduanya sudah tidak memakai penutup sama sekali. Sellin kagum sampai mulutnya menganga melihat batang kejantanan yang besar dan keras berdiri tegak dengan gagahnya, baru pertama kali ini dia melihat benda erotis seperti itu secara langsung. Vagina Sellin tentu sudah sangat geli dan gatal, gadis itu juga tidak peduli lagi kalau dirinya masih perawan, kemudian sambil telentang gadis ituoun pelan-pelan membuka lebar lebar pahanya.
Sellin hanya tertegun saat pak Ratno berada di atasnya dengan penis yang tegak berdiri. Sambil bertumpu pada lutut dan siku, bibir pria itu melumat, mencium, dan kadang menggigit kecil menjelajahi seluruh tubuhnya. Kuluman di puting susu yang disertai dengan gesekan-gesekan ujung burung ke bibir vaginanya dia lakukan dengan hati-hati, makin membasah dan nikmat tersendiri.
"Paaak.. ahh.. terus ppak.. ohh.. uhh.. penis lelaki itu terus menghunjam semakin dalam. Ditarik lagi, "Aaahh", masuk lagi.
Melihat Sellin sudah mencapai orgasme, pak Ratno kini melepas seluruh rasa birahi yang tertahan sejak tadi dan makin cepat merojok keluar masuk lubang vagina murid amoynya.
"Bagaimana kalau Finny hamil pak ? Katanya sambil sudut matanya mengeluarkan air mata.
Kejadian tadi bisa berlangsung karena merupakan keinginan dan kerelaannya juga. Diapun bisa tersenyum puas dan menitikkan air mata bahagia, kemudian tertidur pulas dipelukan guru lukisnya yang telah menjadikannya sebagai seorang perempuan
Pagi itu, sebelum sekolah dimulai, Sellin bangun lebih awal. Ia merasa sedikit lebih tenang setelah malam yang panjang di studio seni. Namun, ia tahu bahwa pelariannya tidak bisa berlangsung lama.
Saat sarapan, Pak Ratno memberinya secangkir teh hangat. “Sellin, saya rasa kamu perlu berbicara lagi dengan orang tuamu. Kali ini, ajak mereka untuk benar-benar mendengarkanmu.”
“Tapi Pak, mereka tidak mau mendengarkan,” jawab Sellin pelan.
“Kalau begitu, kamu harus berbicara dengan hati. Tunjukkan kepada mereka bukan hanya bakatmu, tapi juga betapa pentingnya seni bagimu. Dan jika kamu butuh, saya akan mendukungmu,” ujar Pak Ratno dengan tegas.
Sellin mengangguk, merasa sedikit lebih kuat dengan dukungan gurunya. Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang, tapi ia tidak akan menyerah untuk melukis takdirnya sendiri. Perjuangannya baru saja dimulai.
Ayo Sellin moga berjaya dalam karier & kehidupan
BalasHapus