Sore itu, aku pulang agak cepat dari kantor. Istriku sepertinya lagi arisan karena pintu rumah tertutup rapat, terpaksa aku harus memendam keinginan untuk lekas menidurinya.
Karena tidak ada kegiatan apa-apa, kuhabiskan waktu dengan mencuci motor di teras depan. Saking seriusnya, aku sampai tidak tahu kalau Nadia, tetangga sebelah yang baru pindah, lewat di depanku. Dia mengenakan kaos tanpa lengan yang sangat ketat, payudaranya jadi terlihat mau tumpah dari tempatnya. Melihat aku sendirian, dia pun mendekat.
”Rajin amat, Mas!” sapanya sambil duduk di bangku kayu.
”Eh, Nadia. Iya, mumpung lagi senggang, biar bersih nih motor.
Aku melirik. Buset! Dia duduk dengan sangat dermawan. Kakinya mengangkang lebar, kancutnya kelihatan jelas, mana rada transparan lagi, jembutnya yang hitam lebat jadi tercetak jelas di balik kain tipis itu. Entah tidak sadar atau memang sengaja, Nadia cuek saja. Malah aku yang blingsatan, mulai merasakan sesak di balik celana. Mataku bolak-balik dari mobil ke selangkangannya.
”Jangan cuma motor yang dirawat, Mbak Berta juga sekali-sekali perlu dimandikan lho.” seloroh Nadia. Berta adalah nama istriku.
“Ah, kalau itu ya sudah pasti. Tiap hari malah.” aku menjawab nakal.
“Hehe… mau dong dimandiin juga!” godanya.
“Hah! Serius?” aku melongo.
“Ya enggaklah. Dasar Mas mesum!” Dia menabok kepalaku, lalu beranjak pergi. “Ya sudah, aku pulang dulu ya, Mas. Nyucinya yang bersih ya,” Dia berjalan sambil tertawa. Aku hanya menatapnya yang masuk ke dalam rumah sambil melenggak-lenggokkan pinggulnya menggoda.
Awas kamu! ancamku dalam hati. Beneran kamu akan kuentoti.
Tak berapa lama aku selesai mencuci motor Saat masuk dapur untuk membikin kopi, masih terbayang celana dalam Nadia tadi. Kulihat jam, biasanya jam segini dia pergi mandi. Waktunya tidak pernah berubah, selalu tepat. Dan dia selalu melakukan kegiatan rutin itu. Kamar mandi rumahnya terletak di pojokan, berbatasan dengan ujung pekarangan rumahku. Di situ banyak pohon jambu sama pohon-pohon lain, kalau dari jauh kesannya rimbun dan rapat. Dari luar kelihatan lebat, menutupi seluruh tembok kamar mandi Nadia. Padahal pas di tengah-tengahnya ada bagian lowong, tempat aku meletakkan pijakan kayu di situ. Kamar mandi Nadia sendiri tidak terlalu tinggi dan ada lubang anginnya. Aku tinggal naik saja kalau mau mengintip, sangat praktis dan aman.
Sambil menunggu keringat hilang, kuputuskan untuk iseng mengintipnya. Aku segera celingak-celinguk memastikan keadaan; sepi, aman. Aku pun beranjak menuju pojokan pekarangan. Kusibak daun pohon jambu yang menutupi dan masuk ke dalamnya. Segera aku naik ke atas pijakan.
Nadia sudah ada di kamar mandi, tubuhnya sudah telanjang. Kontolku langsung ngaceng, maklum bodinya masih sekel dan bikin nafsu seperti biasanya. Di saat Nadia menyabuni payudara, aku mulai mengocok kontolku, membuatnya jadi tambah ngaceng dan lebih kaku lagi. Apalagi saat melihat dia yang main-main dengan memeknya saat menyabuni daerah tersebut. Nadia duduk di pinggir bak mandi dan asyik memainkan jarinya di lubang yang nikmat itu.
Entah karena pengaruh melihat cd-nya tadi atau akibat nafsu yang tertunda kepada istriku, aku jadi sangat bergairah. Aku berjinjit makin tinggi biar tambah jelas dalam mengintip, dan tanpa sadar keseimbangan jadi goyah. Beruntung di saat-saat kritis, saat pijakan kayu yang kupakai terjatuh, aku sempat meraih dahan pohon yang sedikit menonjol. Kalau nggak, bisa menabrak tembok.
Nadia sudah ada di kamar mandi, tubuhnya sudah telanjang. Kontolku langsung ngaceng, maklum bodinya masih sekel dan bikin nafsu seperti biasanya. Di saat Nadia menyabuni payudara, aku mulai mengocok kontolku, membuatnya jadi tambah ngaceng dan lebih kaku lagi. Apalagi saat melihat dia yang main-main dengan memeknya saat menyabuni daerah tersebut. Nadia duduk di pinggir bak mandi dan asyik memainkan jarinya di lubang yang nikmat itu.
Entah karena pengaruh melihat cd-nya tadi atau akibat nafsu yang tertunda kepada istriku, aku jadi sangat bergairah. Aku berjinjit makin tinggi biar tambah jelas dalam mengintip, dan tanpa sadar keseimbangan jadi goyah. Beruntung di saat-saat kritis, saat pijakan kayu yang kupakai terjatuh, aku sempat meraih dahan pohon yang sedikit menonjol. Kalau nggak, bisa menabrak tembok.
Nadia kulihat sempat berhenti sebentar, sekilas nampak curiga. Dia menatap lubang angin yang agak gelap, tapi hanya sesaat. Merasa tidak ada yang salah, dia pun kembali meneruskan aktifitasnya. Sedang aku, sambil bergelantungan seperti monyet, tetap asik mengintip.
Nadia kini nampak lebih panas dari yang tadi. Pantatnya sekarang agak terangkat, makin memperlihatkan secara jelas lubang memeknya. Nampak jari tengahnya keluar masuk dengan cepat menusuk lubang memek itu, sedang tangannya yang lain asyik meremas-remas payudaranya yang besar. Desahannya makin keras dan erotis. Aku jadi tambah cepat dalam mengocok kontol, bahkan karena saking hotnya melihat adegan Nadia yang bermain-main sendiri dengan alat kelaminnya, aku ngecret dengan cepat. Spermaku muncrat membasahi tembok kamar mandi.
Secara bersamaan, Nadia juga memperolah orgasmenya. Setelah terkejang-kejang sebentar, dia mulai membilas tubuhnya, lalu handukan. Masih dengan tubuh telanjang, dia melangkah menuju pintu. Aku sudah akan pergi ketika kudengar suara teguran.
”Mas Gun, ngintipnya enak nggak?”
Mampus aku. Nadia ternyata tahu. Aku memilih diam dan tidak bergerak.
”Nggak nyangka, diam-diam ternyata Mas doyan juga ngintipin aku. Sekarang pilih, aku adukan sama Mbak Berta… atau nanti malam Mas ke rumah untuk meminta maaf.”
Aku masih diam, tak tahu harus berbuat apa.
“Jawab dong, Mas. Jangan jadi pengecut, habis ngintip nggak mau tanggung jawab,”
”I-iya,” kataku pada akhirnya. “A-aku minta maaf.”
“Yang penting Mas Gun mau datang ke rumah.” jawab Nadia.
“Tapi kalau malam nggak enak sama tetangga, Nad.” jawabku dari balik tembok.
”Halah… mana ada tetangga yang melihat?” potongnya. “Awas, jangan sampai Mas nggak datang, atau aku adukan ke Mbak Berta biar Mas kapok.”
”Iya, Nad. A-aku pasti datang.” jawabku kebingungan.
Setelah menunggu sesaat, nampaknya Nadia sudah pergi dari kamar mandi. Aku segera keluar dari rerimbunan pohon dan dengan langkah gontai berjalan ke dalam rumah. Dasar kurang hati-hati, jadinya ketahuan begini. Aku bukannya takut bakal mendapat hukuman dari Nadia, karena aku yakin bentuk hukumannya adalah aku disuruh ngaduk-ngaduk memeknya. Aku yakin itu, yakin sekali. Bukannya ke-GeEr-an, tapi Nadia pasti sudah lama menunggu kesempatan ini.
Sekarang tinggal mikir alasan yang tepat kepada Berta. Nanti malam aku tidak bisa menemaninya, jadi aku mesti punya alasan yang bagus. Kuhampiri Berta yang baru saja datang. Dia sih mau-mau saja kuajak ngentot padahal jarum jam baru menunjuk pukul 7 malam. Di dalam kamar, kugarap dia habis-habisan, tiga ronde sekaligus. Berta langsung terkapar, lemas, puas, senang. Matanya merem redup kecapekan.
”Galak sekali kamu, Mas. Aku sampai gempor rasanya.” bisiknya.
“Biasa saja, ah. Kalau melihat bodi kamu yang semok, bawaannya jadi ngaceng melulu.”
”Sudah dulu ya, Mas. Aku capek sekali. Kalau Mas mau nambah lagi, besok saja.”
”Kenapa nggak nanti malam?” tanyaku memancing.
“Jangan, memekku rasanya masih nyeri. Besok aja ya. Nggak apa-apa kan, Mas?” Berta menggeliat saat kupenceti bulatan susunya.
“Iya deh, Besok nggak apa-apa.”
Hasilnya sesuai yang kuharapkan. Tanpa perlu repot-repot mencari alasan, aku dapat meninggalkan rumah malam ini. Hanya semenit, Berta sudah terlelap kelelahan. Dilihat dari napasnya yang tenang, dia bakalan tepar sampai pagi. Aman!
Aku pun bangun, pergi ke kamar mandi untuk cuci sama bersihkan batang, pakai baju lagi lalu keluar, mengunci pintu rumah dan duduk sebentar di teras depan untuk melihat-lihat situasi. Sepi tidak ada orang, memang biasanya jam segini sudah agak sepi.
Tak terasa hampir dua jam aku main dengan istriku. Dan sekarang giliran tetangga yang aku puaskan. Bersiaplah Nadia, aku datang!
Bergaya seperti ninja, aku mengendap-ngendap menuju pintu belakang rumah Nadia. Seperti yang dia katakan, pintu itu tidak dikunci. Aku kembali melihat sekeliling, walau sedikit terlindung dari pandangan orang, tapi aku mau memastikan kalau keadaan benar-benar aman.
Tanpa mengetuk aku membuka pintu. Nadia sudah menanti dengan memakai kaos ketat lengan panjang berwarna pink muda dengan potongan leher sampai bahu, daleman you can see kuning tampak melintang di pundaknya, dipadu dengan semacam balero jala-jala putih yang agak gombrong sepaha.
Sedangkan di bawahnya dia memakai hotpants dari jeans hitam sebatas paha yang mempertontonkan kakinya yang jenjang dan putih khas ibu-ibu muda. Rambutnya disisir ke belakang dengan memakai japitan di tengah kepala dan sisanya dibiarkan tergerai. Cantik sekali.
Tanpa banyak bicara Nadia menutup pintu dan memberi tanda kepadaku agar aku mengikutinya. Dia berjalan di depan, berlenggak-lenggok seksi, arahnya langsung menuju kamar. Nadia lalu duduk di ranjang, matanya tajam menatap padaku. Wajahnya seperti orang mendapat durian runtuh.
”Mas, aku benar-benar tidak menyangka… kok bisa-bisanya Mas mengintip aku mandi.” dia mulai berkata.
”Iya, Nad. Maaf, aku khilaf.” jawabku lirih. ”Aku tak tahan lihat bodi kamu.”
Nadia diam sejenak, lalu melanjutkan, ”Sebenarnya aku tidak marah, malah justru senang karena Mas diam-diam tertarik padaku. Tanpa diintip pun, kalau Mas meminta, pasti aku turutin. Soalnya aku seneng lihat Mas Gun,”
Nah, bener kan apa yang kukatakan? Ini persis seperti yang aku prediksi. Meski bersorak dalam hati, aku tetap pura-pura diam, ingin mengetahui kelanjutannya.
“Mas tadi lihat aku di kamar mandi lagi ngapain?” tanya Nadia.
“Emm… kamu lagi mainin memek.” jawabku jujur.
“Itu aku lagi masturbasi, Mas. Dan Mas sudah mengganggu acara masturbasiku itu, jadi Mas kudu dihukum.”
Tidak masalah, sahutku dalam hati. Dikasih hukuman yang bikin enak, siapa yang nolak coba? Ini seperti kucing dikasih ikan asin. ”Iya, Nad. Silakan. Aku siap dihukum apapun,” kataku pasrah.
“Apapun?” Nadia tersenyum genit sambil menjulurkan lidah. “Tapi sebelumnya, Mbak Berta tahu nggak kalau Mas ke sini?”
”Ya enggaklah, bisa panjang urusannya kalau dia sampai tahu. Istriku sudah tidur, tadi sudah kubikin teler sebelum aku datang ke sini.”
”Pakai kontol ya? Hihi,” Nadia tertawa.
Aku cuma tersenyum. “Eh, ngomong-ngomong… suamimu kemana, kok sepi?”
“Dia lagi ada acara di luar kota, sudah dua hari ini nggak pulang.” Nadia membenahi posisi duduknya, memamerkan keindahan kakinya lebih banyak lagi. “Mas takut ya sama dia?”
”Ah, nggak. Cuma pengen memastikan aja, kok.”
Nadia diam sebentar, sedangkan aku pasrah menunggu hukuman darinya. ”Mas kan sudah melihat aku bugil, sekarang Mas juga harus bugil. Ayo buka baju, Mas. Cepetan!”
”Ah, aku malu, Nad!” jawabku pura-pura.
”Eh, Mas jangan curang ya! Buka sekarang, atau aku adukan ke…”
“I-iya deh. Aku buka,” Aku segera melepas baju dan celana.
”Celana dalamnya juga, Mas. Aku kan polos waktu Mas intipin tadi.” sergahnya.
Tanpa banyak cing-cong, aku segera menurunkan cd ke bawah, memperlihatkan pusaka wasiat yang sudah memuaskan banyak wanita. Senjataku itu masih tertidur pulas, tapi nampaknya Nadia sudah dibuat terkagum-kagum. Wajahnya sumringah melihat betapa mantab dan menjanjikannya batang kontol itu.
”Hmm, punya Mas besar juga ya.” desahnya.
”Ini masih bobo lho, Nad.” terangku nyengir.
”Maka itu… tidur saja sudah besar, apalagi kalau bangun.” dia berdecak.
”Terus kamu mau apa kalau tahu begini?” tanyaku menantang. “Jangan berpikir lama-lama, aku bisa masuk angin kalau terus berdiri telanjang seperti ini.”
”Mas nggak usah banyak protes, Mas kan lagi kuhukum.” sentaknya. “Sekarang aku mau tanya, Mas suka nggak lihat tubuhku?”
”Ya pasti suka, Nad.” aku menjawab. “Kalau tidak, untuk apa aku repot-repot ngintip? Lha kamu montok begini, siapa pun pasti sanggup dibikin ngaceng. Termasuk juga aku.”
Nadia tersenyum. “Aku senang mendengarnya, Mas.”
”Apalagi pas lihat kamu mainin memek, sampai keras sekali kontolku rasanya.”
”Gitu ya?” Senyumnya semakin lebar. “Kalau misal aku mainin memek sekarang, Mas mau lihat?”
”Bego kalau aku sampai menolak,”
“Kalau begitu Mas diam dan duduk yang manis.”
Mengangguk, aku pun duduk di pinggir ranjang. Nadia segera pindah ke seberang, dia mulai melucuti bajunya. Sebentar saja, bulatan payudaranya yang besar langsung terlihat. Menggantung indah, tidak kalah dengan punya istriku. Putingnya mungil berwarna coklat kemerahan, segar dan sepertinya sangat lezat.
Kontolku kontan bereaksi, dengan cepat batang nakal itu mulai terbangun. Nadia senang melihat pusakaku yang mulai mengeras, matanya terus melihat ke arah situ. Walau masih memakai cd, tapi terlihat bulu-bulu jembut Nadia menyembul keluar. Lebat sekali. Tangannya mulai menggesek dan memainkan permukaan cd itu, lalu masuk ke dalam. Sambil memainkan klitoris, dia sesekali mengetatkan cd-nya ke tengah hingga memperlihatkan pinggiran memeknya yang basah.
“Ahh, Nad…” aku melenguh, bolak-balik menatap antara bulatan payudaranya yang indah dan selangkangannya yang bikin tergoda.
“Ada apa, Mas? Pengen ini dilepas ya?” Nadia memelorotkan cd-nya ke bawah, memperlihatkan seutuhnya memek sempit yang sungguh menawan itu.
Warnanya kemerahan. Jembutnya lebat tapi tertata rapi. Gundukannya gemuk, seperti ingin menyembunyikan belahan yang malu-malu untuk tampil. Tidak ada gelambir sama sekali, semuanya serba tipis dan mengkilat. Lorongnya gelap, menawarkan sejuta kenikmatan dengan kedutan-kedutannya yang ringan. Tak terasa aku jadi kesulitan menelan ludah saat melihatnya.
Tangan Nadia kembali mengelus-elus, sementara tangan satunya memainkan payudara untuk semakin merangsangku. Kontolku jadi keras secara sempurna. Kuperhatikan dia yang meraba dan memain-mainkan itil, juga jari tengahnya yang mulai menyodok-nyodok lobang memek. Suara desahannya sedikit terdengar.
Mengintip saat Nadia melakukannya di kamar mandi memang menyenangkan, tapi menyaksikan secara langsung di depan mata sungguh sangat menggairahkan. Tanpa sadar aku mulai mengocok-ngocok kontol. Nadia hanya nyengir saja, tangannya masih sibuk memainkan memek merah jambu miliknya yang terlihat sangat mengundang. Aku jadi benar-benar tak tahan.
Maka perlahan aku mendekat, kusentuh payudara besarnya yang menggantung indah dan mulai kuremas-remas pelan. Rasanya empuk sekali, juga hangat dan sangat nyaman. Nadia tidak menolak, malah dia membusungkan dada agar aku makin leluasa. Aku menggenggam, tapi payudara itu tidak muat di tanganku karena saking besarnya. Putingnya terasa seperti penghapus kecil, yang terus kupilin dan kuremas-remas gemas.
“Ah, terus, Mas! Jangan sungkan-sungkan,” desah Nadia dengan satu tangan masih memainkan memeknya yang basah, sementara tangan yang lain mulai mengelus dan memainkan batang penisku.
Dia mengocok dengan lembut dan penuh perasaan, seperti ingin mengukur besar dan panjangnya. Setelah yakin kalau milikku benar-benar memuaskan, pelan dia mendorong hingga badanku rebah berbaring di atas ranjang. Dia mulai mendekatkan mulut, lidahnya keluar dan mulai menjilat. Mula-mula di biji pelir, Nadia mencucup dan mengemutnya. Enak sekali rasanya. Sementara satu jari jempolnya mengelus-ngelus kepala kontolku.
“Ahh… Nad!” aku mendesah begitu lidahnya beralih bermain di ujung penis. Dia mengemut, mengelomoh, membasahi semuanya dengan rakus sekali, penuh sensasi.
Jadi lemas rasanya dengkul ini, apalagi saat dia mulai mengulum. Kecepatan hisapannya sedang-sedang saja, namun setiap kontolku menjorok ke dalam, lidahnya ikut bergoyang menjilat. Juga dibarengi emutannya yang terasa mencengkeram namun nyaman, tidak sakit dan juga tidak kena giginya sedikit pun. Harus aku akui, untuk uruan emut-mengemut ini, Nadia sangat lihai, jauh melebihi istriku.
Aku hanya bisa meremas rambutnya. Sesekali mulutku mendesah. Mataku kadang terpejam menikmati gerakan mulutnya. Lidah Nadia juga tak luput menjilati lubang pipisku, enak. Kuperhatikan dia, mulutnya terlihat sesak dijejali batang kontolku. Namun Nadia dengan rakus terus mengulum. Matanya memandang, dia menatapku penuh senyum dan penuh kepuasan.
Meski merasa sangat nikmat, namun aku sadar sekaranglah saatnya untuk mengambil alih permainan. Kutahan kepalanya, lalu tanpa banyak kata kubaringkan dia di atas ranjang. Kucium dan kujlati bulatan payudaranya yang besar, harum menggoda. Lalu kucucup kedua putingnya, mengunyahnya pelan hingga membuat Nadia menggelinjang.
“S-sudah, Mas. Geli. Kamu bikin aku geregetan,” desahnya.
“Kamu juga sukses bikin aku ngaceng, Nad.” Kucium bibirnya. Dia membalas dengan ganas. Ciumanku turun ke bawah, kembali kuhisap putingnya yang mengacung indah sambil tanganku ikut beraksi meremas-remas gemas.
“Aghh… Mas!” Nadia menggoyangkan badan, merasakan geli dan enak.
Lama aku memainkan payudara dan putingnya, sebelum kemudian aku turun menciumi perutnya yang rata. Dan terus turun hingga tiba di daerah vital. Gila, lebat sekali jembutnya, memanjang sampai ke pantat. Dengan ganas tanganku membelai, sementara mulut dan lidahku menciumi permukaan vagina itu. Terasa aroma yang menggoda dan memabukkan di hidungku.
Aku ciumi belahan memek yang sudah terbuka itu sambil lidahku sesekali menyapu masuk. Klitoris Nadia berukuran besar, sangat nyaman saat dimainkan dengan menggunakan lidah. Terasa kenyal ketika coba kupilin-pilin. Dia menggelinjang, sedangkan aku terus memainkan lidah sepuas hati. Jari tengahku juga ikut menambah maksimal kenikmatannya dengan menyodok-nyodok di lubang rahasia. Kaki Nadia makin lebar saja dalam mengangkang, pantatnya sesekali terangkat karena keenakan saat itilnya kubombardir secara terus-menerus.
”Ughhh… enak, Mas! Pinter kamu… teruuus, Mas!” rintihnya lirih. “Duhhh… aku tinggal sedikit lagi! Ahhhh…”
Dengan badan mengejang, terasa cairan hangat menyembur dari memek Nadia. Aku segera menghentikan permainan lidah, bersiap menerobos lobang memeknya yang kian bertambah basah.
”Nanti dulu, Mas. Aku mau istirahat sebentar.” cegah Nadia.
“Iya,” Kuberi dia waktu untuk menata napas. Aku berbaring di sampingnya dan meremas-remas payudaranya yang bulat menggunung. Jariku memilin-milin putingnya yang mungil kemerahan, bergantian kiri dan kanan.
“Mas,” Nadia berbisik. “Selain sama Mbak Berta, kutebak Mas juga sudah tidur dengan perempuan lain. Kalau boleh tahu, siapa saja?”
Aku diam sejenak, menimbang-nimbang. “Ya, kamu benar. Aku memang sering selingkuh.” kataku jujur.
“Padahal Mbak Berta itu cantik lho, tapi masih saja Mas lirak-lirik yang lain.“
“Yah, habisnya tetanggaku pada cantik-cantik semua kayak kamu sih, mana tahan!”
“Tetangga?” Nadia menoleh. “Kukira Mas melakukannya sama teman sekantor?”
“Eh, iya. Maksudku…” aku mendesah, kelabakan.
“Siapa, Mas?” dia mengejar.
Aku hanya bisa nyengir. “Masa kamu nggak bisa menebak?”
Dia menerawang, lalu kemudian tersenyum. “Mbak Sonya ya?”
Aku hanya memberi seringaian kecil sebagai jawaban.
“Memang kalau pria tampan seperti Mas, perempuan mana saja juga pasti mau. Sayang aku telat mendapatkan Mas.” Nadia menepis kekecewaannya dengan meraih batangku. “Tapi tak apa, yang penting kita sudah ngewe, dan selanjutnya Mas harus terus memuaskan aku.”
“Iya, Nad. Pasti,” aku mengangguk.
“Sini aku emut sebentar.” kata Nadia. “Oh iya, nanti pas muncrat, Mas keluarkan saja di dalam. Tidak apa-apa,”
“Iya,” Aku bangkit dan mengangsurkan kontol ke mukanya. Nadia menghisap dan mengulumnya sebentar, lalu mempersilahkan diriku untuk mulai menggarap memeknya.
Pelan aku memposisikan badan di atas tubuhnya yang sintal. Kaki Nadia sudah mengangkang lebar, memeknya yang basah terlihat sangat siap menerima sodokan penisku. Kuluruskan arah tusukan ke sana. Begitu sudah terasa pas, kuturunkan pantat dan blesss… hanya dengan sekali hentak, masuklah kepala kontolku ke belahan memeknya.
“Pelan-pelan, Mas,” Nadia menggelinjang, antara geli dan nikmat.
“Iya, Nad.” Berpegangan pada bulatan payudaranya, aku menekan lagi, kali ini sedikit lebih keras.
Sleeppp… blessh!! Seluruh batang kontolku langsung tertancap, bersarang dengan nyaman di lobang memek Nadia yang berkedut-kedut pelan. Wajahnya terlihat sangat puas karena memeknya berhasil dimasuki oleh pusaka sakti yang menurutnya besar itu. Aku diam sebentar menikmati momen pertama dimana milikku masuk ke dalam tubuhnya. Memang rasanya tidak terlalu sempit, tapi tetap enak dan nyaman.
“Sudah, Mas. Sekarang goyang!” Nadia meminta.
Kupeluk dia dan mulai kupompa batangku. Karena sudah nafsu sekaligus ingin membalas kelakuannya, aku langsung setel kecepatan ke gigi 5. Nampak payudara besar Nadia bergoyang ke sana-kemari, seirama dengan memeknya yang menerima sodokan penisku. Tangannya terangkat ke atas memegangi kepala ranjang, sementara mulutnya mendesah dan merintih tiada henti.
Aku jadi semakin gahar saja, sodokanku benar-benar penuh tenaga dan nafsu, seperti tidak ada hari esok. Nadia merem melek menerima hajaran kontolku, mulutnya mendesah keenakan. Sambil terus mengayun, aku menghisap putingnya, mengemutnya rakus, menambah desahannya.
“Jangan dicupang, Mas. Nanti suamiku curiga.” dia berkata.
Aku mengerti, maka aku ganti menjilat perlahan. Sodokanku terasa semakin nyaman akibat memeknya yang sudah sangat basah. Lagi enak-enaknya menggoyang, Nadia tiba-tiba menyuruhku untuk diam sebentar. Meski agak keberatan, aku tetap menuruti.
”Ada apa sih, Nad? Lagi enak nih.” kataku memprotes.
”Sudah, Mas nurut aja. Nanti Mas bakal merasakan yang lebih enak.
Sudah, Mas nurut aja. Nanti Mas bakal merasakan yang lebih enak.”
“Beneran?”
Baru selesai aku berkata, kontolku terasa seperti disedot dan diremas-remas dengan kuat. Alamak… enak sekali. Padahal Nadia diam saja, sama sekali tidak menggoyang. Tapi sumpah, kontolku rasanya bagai dijepit dan dipijit-pijit oleh daging hidup yang cukup lembut. Nadia tersenyum, dia terus melakukannya sampai merasa pegal. Baru setelah itu dia menyuruhku untuk kembali menggoyang.
”Nad, itu tadi apaan? Gila, enak sekali!” seruku kagum.
Dia tertawa bangga. ”Itu senjata rahasiaku, empot ayam istilahnya. Enak kan?”
Aku mengangguk. ”Lagi dong!”
”Yee… jangan sering-sering. Biar Mas makin kangen nantinya.”
Aku membuat catatan, akan kusuruh istriku untuk melakukan hal yang sama kapan-kapan. Terpengaruh rasa enak tadi, aku semakin bernafsu menyetubuhi Nadia. Kupompa kontolku kuat-kuat, aku tekan sedalam mungkin, makin lama makin cepat hingga Nadia sampai merem melek jadinya. Pantatnya ikut bergoyang mengimbangi tusukanku, desahannya terdengar semakin sering dan nyaring. Aku jadi tambah bernafsu mendengarnya.
“Terus, Mas… terus! Kamu memang pejantan tangguh! Aku puas, Mas! Aku suka!” racaunya saat orgasme. Cairannya kembali menyembur deras membasahi lorong, namun aku tidak peduli.
Malah aku semakin bersemangat. Aku terus memompa. Nadia cuma bisa pasrah, mendesah. Matanya merem melek, payudaranya bergoyang-goyang, memeknya yang tebal terasa sangat basah. Aku juga ikut merem melek merasakan kenikmatan itu.
Tidak lama terasa denyut yang sudah sangat aku hafal. Semakin kupercepat pompaan, kutindih tubuh sintal Nadia. Tanganku memeluknya erat, payudara besarnya menempel kenyal di dadaku. Dengan satu goyangan terakhir aku menekan, lalu…
“Crooott… croott… crooott…”
Pejuku menyembur kuat di dalam lobang memek Nadia. Tetanggaku itu bergetar merasakan ledakannya yang kuat dan hangat. Aku terus menindih, diam, lemas tapi sangat puas. Nadia juga diam, malah dia menutup mata untuk meresapi segala kenikmatan itu.
Lama kami saling berpelukan dalam hening, sampai akhirnya kucabut batang kontolku lalu berbaring di sampingnya.
“Gila, Mas. Enak sekali rasanya, aku suka sama permainan kamu.” Dia mengecup pipiku.
”Aku juga, Nad. Memek kamu top banget deh.” Kuangsurkan dua jempol kepadanya.
”Mulai sekarang, Mas bisa bebas ngelonin aku. Sepuas-puasnya.” Nadia berkata, “Aku juga jadi ada pelampiasan, tidak perlu lagi masturbasi di kamar mandi kalau lagi ditinggal pergi suami kayak sekarang.”
“Siap, Nad.”
Nadia membiarkanku memuaskan diri bermain-main dengan payudaranya. Tidak berapa lama, kontolku mulai pulih. Nadia bergeser untuk menjilati sisa-sisa pejuku yang menempel di sana, dan begitu sudah siap, dia menyuruhku untuk menyetubuhinya kembali.
Akhirnya malam itu kugarap dia berkali-kali. Nadia memang doyan ngentot, sama seperti Sonya dan istriku. Tidak terhitung berapa kali pejuhku muncrat di dalam tubuhnya, sedangkan dia sendiri terus mengencingi sprei dengan cairan orgasmenya yang seperti tiada henti.
Sekitar jam tiga pagi, baru kami berhenti. Itu setelah penisku sudah tidak bisa ngaceng lagi dan memek Nadia luka dan berdarah akibat sodokanku. Tapi kami sama-sama puas.
Dalam diam aku berpikir, kira-kira siapa tetanggaku berikutnya yang bisa kutiduri ya?
Setelah pulang ke rumah, pada malamnya, mbak bertha istrinya, menyuruh mas gun untuk menaggih uang kontrakan rumah, yang sudah beberapa bulan tidak dibayarkan.
Sebenarnya mas gun malas untuk berangkat, bagaimana tidak, kondisi malam itu, hujan turun rintik rintik, letak kontrakan rumah cukup jauh dari tempat tinggal mas Gun, karena terletak di pinggir desa. Apalagi ditambah suasana hati mas Gun yang kurang enak, entah tiba tiba muncul perasaan enak. Akan tetapi....
"Besok siang aja nagihnya, Ma, kan ini sudah malam.” Mas Gun bersungut-sungut. Ia berusaha bergeming dan mencoba menahan tubuhnya yang didorong keluar oleh sang istri.
Malam gelap gulita tengah menyelimuti desa itu. Hanya sesekali terdengar suara jangkrik dan anjing yang melolong di kejauhan. Di sepanjang jalan, kabut menghalangi pandangan. Udara dingin menyusup sampai ke sumsum tulang siapa pun yang berani keluar rumah.
“Nggak! Nggak ada besok-besok lagi. Pokoknya, malam ini harus ditagih. Titik! Kan kemaren Papa sendiri yang bilang kalau Sari mau bayar hari ini.”
Wajah mas Gun menyiratkan keraguan. Kombinasi akan takut berjalan di kegelapan malam dan… takut pada istrinya. Matanya berputar-putar mencari alasan.
“Tapi… ini kan sudah malam, Ma. Mungkin Sari malah lupa mengambil uang di Bank.”
Mata mbak berta berkilat marah. Ada rasa curiga di sana. “Oo.. jadi Papa membela dia?” Perempuan itu memandang menyelidik ke arah suaminya.
“Jangan-jangan, Papa ada main sama Sari? Ayo, ngaku aja.”
Mas Gun hanya menelan ludah. Bisa bahaya kalau istrinya marah-marah begini. Bisa-bisa tujuh hari tujuh malam ia tidur di ruang tamu kalau tidak dituruti apa maunya.
Terakhir Mas Gun membuat kesalahan di bulan Maret yang lalu, ia lupa hari ulang tahun istrinya. Dan sang istri pun tak henti-hentinya mengomel. Selusin gelas pun jadi sasaran: hancur berkeping-keping dilempar ke sana-kemari.
Belum lagi satu hal itu yang paling gawat untuk Mas Gun. Ia dilarang tidur di kamar. Terpaksa berteman nyamuk di ruang tengah dengan selembar kain sarung.
Sejak itu Mas Gun kapok berbuat yang aneh-aneh. Semua hal yang berhubungan dengan pribadi istrinya dihapalnya luar kepala. Jadi maklumlah jika saat ini ia agak gemetar melihat wajah istrinya yang mulai memerah menahan amarah.
“Ngaku apa, sih, Ma? Papa kan hanya kasihan saja.”
Mbak Berta tambah melotot. Matanya yang bulat seolah mau keluar dari tempatnya. Suaranya pun makin meninggi, “Oooh… begitu?! Jadi Papa lebih kasihan sama dia?! Nggak memikirkan anak istri sendiri?”
Waduh. Menyadari situasi yang sama sekali tidak menguntungkan baginya itu, mas Gun segera tergopoh keluar dari dalam rumah.
“Iya, iya. Papa langsung ke sana.”
Tanpa peduli udara dingin dan suara anjing melolong di kejauhan, Mas Gun menerobos gelap malam. Suara pintu dibanting terdengar di belakangnya, mengiringi langkah mas Gun menuju ke jalan setapak desa yang senyap.
Dengan bersungut-sungut, di sepanjang jalan, laki-laki setengah baya itu tak berhenti menirukan omelan istrinya. Seolah-olah, dengan meniru omelan istrinya diam-diam seperti itu, hatinya yang kesal akan terobati. Memang susah punya istri yang bawel setengah mati, batinnya berujar.
Tetapi dulu, istrinya itu seorang kembang desa yang populer di desa ini.
Saat itu.....
Mas Gun merasakan anugerah yang luar biasa karena mampu mendapatkan seorang kembang desa yang cantik dan jelita. Kebanggaan itu membuatnya selalu bersedia dan siap memenuhi apa saja yang diminta sang istri. Dia menyediakan semua harta benda, emas, dan permata sekalipun.
Mbak Berta tampaknya menyadari perasaan suaminya. Dia pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia langsung mengambil alih dan mengelola seluruh keuangan suaminya, termasuk beberapa rumah kontrakan.
Rumah-rumah kontrakan itu menghasilkan dana yang mencukupi untuk kehidupan mereka sekeluarga.
Rumah kontrakan yang ditempati Sari agak besar meski tampak sederhana. Dindingnya dicat warna putih dengan teras sempit berhiaskan beberapa pot bunga. Ada ruang untuk menerima tamu yang terpisah dari ruang tengah yang tidak begitu besar.
Di ruang tengah itu terletak kamar Sari. Rumah itu terletak di tengah kebun yang tak diurus sehingga membuat rumah tersebut tampak menyendiri.
Di samping rumah, ada beberapa rumpun bambu yang tinggi dan setiap tertIup angin, rumpun-rumpun bambu itu mengeluarkan suara gemerisik. Apalagi di malam hari yang dingin dan sunyi seperti ini. Suara gemerisik daun-daun bambu yang tertiup angin menimbulkan kesan mistis yang mendirikan bulu roma siapa pun yang mendengarnya. Ditambah lagi, suara lolongan anjing yang terdengar di kejauhan, seolah-olah menyayat hati.
Dengan terengah-engah, Mas Gun sampai di depan rumah kontrakan Sari. Tadi di sepanjang perjalanan, dia hampir saja sesak napas karena menahan emosi yang tidak tersalurkan pada istrinya.
Rumah Sari sunyi dan sepi, seperti rumah tak berpenghuni. Mas Gun menajamkan matanya,bsk kucing garong berusaha mengamati situasi sekitar rumah yang remang-remang.
Lampu di teras depan tiba-tiba menyala sebentar, tetapi lantas mati kembali, nyala lagi, mati lagi, begitu berkali-kali, membuat pandangan Mas Gun jadi tak begitu jelas. Di samping rumah, ada sebuah lampu neon.
Tetapi, itu pun hanya menyala remang-remang saja, seolah hidup enggan mati pun tak sudi.
Tok.. Tok.. Tok.. Mas Gun berusaha mengetuk pintu depan.
“Sari, Sari?” panggilnya berkali-kali. “Apa sudah tidur, ya?” dia bergumam sendiri.
SambiI menahan kuapan kantuknya, Mas Gun mengulangi ketukan di pintu rumah kontrakan itu. Kali ini, ketukannya lebih keras. Dia setengah berharap Sari lekas keluar dan menemuinya di teras.
Malam terasa semakin dingin dan Mas Gun ingin segera pulang ke rumahnya yang hangat. Dia tak ingin berlama-Iama di teras depan rumah kontrakan Sari yang suasananya sungguh tidak nyaman.
Namun, tetap saja tak ada jawaban dari dalam. Hanya hening yang menyiksa. Mas Gun ngedumel sambil menguap lagi, kali ini kuapannya lebih lebar dari yang pertama. Ia kemudian meluruskan badannya, menyenderkan tubuh ke daun pintu.
Tiba-tiba, pintu terdorong ke dalam, terkuak lebar, seolah membuka rahasia kesunyian di dalam rumah kontrakan itu.
Mas Gun tertegun sejenak. Apa mungkin Sari sengaja tak mengunci pintu rumahnya? Tapi, mengapa? tanyanya dalam hati.
Kemudian, laki-Iaki itu tersenyum penuh arti. Wajahnya merona di kegelapan malam. Mungkin Sari sengaja membukakan pintu ini untuknya, batinnya lagi. Dia segera membayangkan wajah Sari yang cantik dan lebih muda. Lalu, dia membandingkannya dengan istrinya yang cerewet di rumah.
Udah dapat uang..dapat ceweknya. Mantap man gunn
BalasHapus