Langsung ke konten utama

Amoy Diatas Dongkrak

By : Analconda13

Sore itu Jakarta terasa padat dan panas. Jalanan penuh kendaraan, klakson bersahut-sahutan, dan aroma aspal bercampur debu menempel di udara. Aku duduk di balik kemudi mobilku, membiarkan AC bekerja keras sambil sesekali melirik wajahku di kaca spion sekadar memastikan semuanya tetap rapi.

Namaku Amanda Clarice Haryanto, umurku 25 tahun. Aku keturunan chinese, lahir dan besar di Jakarta. Kulitku putih bersih seperti porselen, hasil dari perawatan yang rajin sejak remaja. Wajahku sering disebut oriental banget dengan mata sipit yang tajam, hidung mancung yang rapi, dan bibir merah alami yang seolah selalu memakai lipstik.

Kedua orang tuaku adalah pedagang smartphone di salah satu pusat HP terbesar di Jakarta. Mereka memulai usaha dari nol, dulu hanya sepetak kios kecil di lantai bawah, sekarang sudah punya dua toko besar lengkap dengan gudang barang. Aku sendiri sudah terbiasa dengan hiruk pikuk suasana pusat perdagangan itu: suara teriakan promosi, deretan etalase kaca berisi ponsel terbaru, dan aroma khas dari pendingin ruangan bercampur bau kardus baru.

Sejak kecil aku selalu dianggap anak rumahan tapi setelah lulus kuliah aku memilih hidup lebih bebas. Orang tuaku memanjakanku, bahkan membelikan mobil listrik hatchback impianku begitu aku mendapatkan sim. Mobil itu seperti simbol kebebasan bagiku karena kapan pun aku mau, aku bisa pergi keluar tanpa harus naik ojek atau menunggu lama di busway.

Aku bukan tipe perempuan polos yang nggak pernah mencoba apa-apa. Aku pernah punya pacar waktu kuliah, dan hubungan kami cukup serius… sampai akhirnya kami sama-sama melewati batas. Itu pertama kalinya aku merasakan tubuhku menyatu dengan seseorang, dan sejak saat itu aku tahu seperti apa rasanya diinginkan sepenuhnya oleh seorang pria. Meski hubungan itu berakhir, memori itu masih menempel, seperti bekas parfum yang samar tapi tak pernah benar-benar hilang.

Pengalaman itu membuatku sedikit berbeda. Aku jadi lebih sadar dengan tubuhku sendiri, bagaimana cara berjalan, duduk, atau memandang seseorang bisa punya efek tertentu. Dan mungkin… sedikit demi sedikit, aku mulai menyukai efek itu.

Sekarang aku sedang menjomblo. Sudah hampir setahun sejak putus dari mantan, tapi bayangan tentang hubungan kelewat batas itu selalu membayang-bayangi pikiranku. Bahkan kadang, saat sendirian di kamar, aku membiarkan diriku tenggelam dalam khayalan-khayalan nakal.

Entah kenapa, imajinasiku sering mengarah ke sesuatu yang lebih liar. Aku pernah membayangkan… seandainya tubuhku yang Chinese, berkulit putih mulus, tengah digumuli oleh salah satu pegawai toko ayahku. Pria pribumi berkulit gelap, bertubuh kekar karena terbiasa mengangkat kardus dan stok barang seharian. Bayangan itu terasa begitu nyata di kepalaku, sampai-sampai membuatku merinding hanya memikirkannya.

Hari itu, sore menjelang malam, aku sedang mengendarai mobil sendirian. Jakarta seperti biasa: panasnya masih menyengat meski matahari sudah condong, dan macetnya minta ampun. Deru knalpot, klakson bersahutan, dan cahaya lampu kendaraan berpendar di permukaan bodi mobilku. Aku mengenakan dress tipis warna pastel, rambutku terurai sebahu, dan di kaca spion aku sempat melihat sedikit keringat di pelipis. Sebuah tanda yang menunjukkan bahwa udara kota benar-benar kejam bagi perempuan yang terbiasa di ruangan ber-AC.

Entah kenapa, di tengah perjalanan, mobilku terasa aneh. Suara mesinnya seperti melemah lalu tiba-tiba seluruh indikator di dashboard meredup. Aku baru sadar ini bukan masalah mesin tapi baterai mobil listrikku yang hampir habis dayanya. Dalam hitungan detik tiba tiba mobil itu benar-benar mati di pinggir jalan. Aku menepi ke area dekat sebuah bengkel kecil di dalam gang, tempat yang jelas bukan kelas orang-orang sepertiku. Justru karena itulah jantungku berdegup lebih kencang, apalagi aku tahu mobil listrik seperti punyaku mungkin jarang mampir di tempat seperti ini untuk sekadar di-charge.

Bengkelnya sempit, penuh oli, dan aroma besi. Seorang pria pribumi berkaos lusuh sedang duduk sambil merokok. Kulitnya legam terbakar matahari, otot lengan kekar, dan tatapan matanya langsung menelanjangiku begitu aku keluar dari mobil.

Aku turun, sengaja membuka pintu pelan-pelan sambil membiarkan rok miniku sedikit tersingkap.

"Bang bisa bantu liatin sebentar nggak… mobil listrik saya kayaknya lagi ada masalah nih. kataku dengan nada manja dan pura-pura gelisah sambil melirik panel indikator yang sudah gelap.

Pria paruh baya yang badannya tinggi besar itu dengan tangan penuh oli, berdiri dan berjalan mendekat. Matanya menelusuri dari ujung rambutku sampai betisku yang mulus.

"Wah jujur aja kalau mobil listrik mah saya kurang begitu paham non. Tapi biar saya bantu periksa dulu deh. Katanya dengan suara yang berat dan agak serak.

Aku berdiri di dekat pintu mobil, membungkuk sedikit untuk mengambil dompet. Gerakanku membuat belahan di kemeja putih tipis ini terbuka, dan aku tahu Pak Darto melihatnya. Bahkan dari jarak sedekat itu, aku bisa merasakan napasnya berubah.

Montir itu lagi memeriksa mobil listrikku yang kehabisan daya. Aku duduk di kursi reyot di seberang mobil, menonton gerakannya dengan mata yang tak lepas dari setiap gerakan tangannya. Suasana bengkel yang kumuh entah kenapa malah bikin jantungku berdebar.

Sambil duduk, aku mulai menggeser kedua kakiku yang awalnya sejajar, pelan-pelan kusilangkan. Napasku sedikit tertahan saat sensasi aneh mulai menjalar di tubuhku. Merasa belum cukup, aku dengan sengaja sedikit membuka kedua kakiku, hingga duduk agak mengangkang. Rok mini yang kupakai tersingkap lebih jauh, membuatku semakin sadar dengan getaran aneh yang kurasakan.

Tepat seperti dugaanku. Pak Darto yang sedang jongkok di samping mobil mulai mengintip secara diam-diam. Matanya tertuju pada kakiku yang terbuka, dan aku bisa merasakan perhatiannya berbeda dari biasanya—seolah ada godaan yang terselip dalam pengamatannya.

Peluh di dahinya menetes pelan, membasahi kaosnya yang sudah menempel di punggung karena keringat. Ia lalu jongkok di depanku sambil berkata. Non.. kayaknya mobil listriknya cuma kehabisan daya. Gimana kalau kita coba cas dulu aja mobilnya. Dari posisinya itu aku tahu persis ia bisa melihat garis dalam pahaku dan karena itu aku sengaja tidak menutupnya, membiarkannya tetap terbuka seolah semuanya terjadi begitu saja.

"Kalau seandainya ngecas disini. Kira kira perlu waktu berapa lama ya bang ? tanyaku sambil sedikit menggigit bibir bawah.

"Saya belum bisa perkirakan non. Soalnya saya belum pernah nanganin mobil listrik kayak begini. Tapi kalau kata orang sih satu jam di charge aja udah cukup kok buat dipake jalan lagi. Kata Pak Darto sambil menghela napas seperti menahan sesuatu. 

Aku tersenyum tipis lalu mencondongkan badan, membiarkan aroma parfume-ku bercampur dengan bau keringat dan oli yang menempel di tubuhnya, dan entah kenapa rasanya justru membuat udara di antara kami terasa panas. Ada sensasi aneh saat melihat tatapan lapar di matanya yang tidak berusaha ia sembunyikan.

Sepanjang sore itu, aku membiarkannya sibuk mengurus mobil sambil sesekali memberi “pemandangan” yang sengaja kubuat seperti kebetulan, entah itu gerakan menyilangkan kaki atau membetulkan kemeja. Dari raut wajahnya, aku bisa melihat jelas kalau ia menikmati setiap momen itu. Setelah di-charge, mobilku kembali menyala seperti semula, tapi aku tahu betul, yang mendapatkan energi baru sore itu bukan hanya baterai mobil—ada sesuatu di antara kami yang juga ikut terbangun.

Dua hari setelah kejadian itu aku sengaja melewati jalan depan bengkel kecil itu. Mobilku sebenarnya baik-baik saja. Namun ada dorongan untuk mampir. Sejak sore itu aku sulit tidur dan terus terbayang wajahnya.

Aku memarkir mobil di depan bengkel. Suasananya masih sama seperti terakhir kali. Sepi. Hanya ada dia, mekanik tinggi besar yang dulu membetulkan mobilku. Kaosnya lusuh dan melekat di tubuh. Lengannya berotot dan kulitnya hitam legam terbakar matahari. Begitu aku turun dari mobil, matanya langsung berubah. Seolah ia sudah mengerti alasan sebenarnya aku datang.

"Halo non… ngambek lagi ya mobilnya ? tanya Pak Darto dengan nada suaranya setengah bercanda.

Aku tersenyum lalu melangkah pelan sambil sedikit memiringkan pinggul. Hari itu aku sengaja memakai dress tipis warna krem dan tidak mengenakan bra sehingga bentuk tubuhku terlihat jelas. Roknya jatuh tepat di atas lutut sehingga setiap langkah terasa lebih ringan.

“Nggak ada masalah pak. Aku cuma mau cek saja karena siapa tahu ada yang perlu diservis.

Dia tertawa kecil lalu membungkuk untuk memeriksa kap mobil, dan gerakan itu membuat punggungnya menonjolkan otot yang tegas. Aku berdiri di belakangnya sehingga bisa mencium bau campuran keringat dan bensin yang anehnya justru membuatku merasa mabuk.

"Sambil nunggu diperbaiki mending non duduk dikursi itu dulu aja.

Aku menurut dan duduk di kursi reyot yang sudah terasa familiar, dan kali ini aku sengaja duduk dengan kaki agak terbuka supaya gerakanku lebih mudah terlihat. Pandanganku menatapnya tanpa malu-malu sehingga ia bisa merasakan sengaja atau tidaknya tatapan itu. Pak Darto berjalan mendekat sambil membawa alat, dan tangannya masih berlumur oli yang kontras dengan bodi mobil listrikku yang mengilap di bawah cahaya sore.

"Kayaknya baterainya masih bagus non. cuma udah mau habis jadi perlu diisi ulang. Katanya sambil tersenyum miring.

Aku merasakan pipiku mulai panas sehingga aku pura-pura mengibaskan rambut agar terlihat santai. Gerakan itu membuat bagian depan dress tipis warna krem yang kupakai sedikit terbuka dan memperlihatkan garis tipis kulit di dada. Tatapan Pak Darto pun turun perlahan dan kali ini ia sama sekali tidak berusaha menyembunyikannya.

Tiba-tiba ia jongkok di depanku dan menumpukan kedua tangannya di sisi kursi sehingga posisinya seperti mengurungku dan deru napasnya langsung terasa di dadaku.

"Non.. Kayaknya bukan cuma mobilnya aja deh yang harus di charge ulang. Gimana kalau pengemudi juga sekalian dicharge aja.

Aku tersenyum samar dan tidak menjawab, tetapi tubuhku tetap diam tanpa menutup kaki sehingga ia bisa melihat dengan jelas. Saat itu aku tahu bahwa permainan ini sudah melewati batas pandang. Hari mulai gelap dan bengkel terasa sepi. Hanya ada dia yang berdiri di dekat pintu sambil mengisap rokok sementara matanya tetap mengikuti setiap gerakanku.

"Aduh… kayaknya udah malam nih. Gimana ya.. Kataku sambil berpura-pura gelisah.

"Makin malam makin enak non. Sepi gak ada yang tahu.. Pak Darto hanya tersenyum dan mematikan rokoknya lalu menutup pintu bengkel setengah rapat. Udara di dalam terasa lebih panas dan aroma oli bercampur dengan bau logam dari peralatan charger.

Aku berdiri di samping mobil listrikku sambil pura-pura melihat kap depan yang terbuka. Dress tipis warna krem yang kupakai mulai menempel di tubuh karena gerah dan kainnya yang lembut sudah basah di bagian punggung. Ia mendekat dari belakang hingga jaraknya nyaris menempel.

“Tahu nggak Non” suaranya berat hampir menyentuh telingaku “kalau kayak gini saya susah fokus kerja”

Aku tidak berbalik dan hanya tersenyum kecil sambil membiarkan napasnya menyentuh leherku. “Ya siapa suruh ngelihatin.

Dia tertawa pendek lalu menumpukan tangannya di kap mobil di kedua sisi tubuhku sehingga aku benar-benar terkepung. Aku berdiri di depan mobil listrikku dan bisa merasakan hawa panas tubuhnya serta napasnya yang berat. Jantungku berpacu. Di momen itu dunia di luar terasa hilang tinggal suara mesin berderit pelan dan detik-detik yang terasa panjang.

Tangannya bergerak pelan mengambil lap yang tergeletak di dekat mobil. Ujung kain lap itu menyentuh pahaku seolah tanpa sengaja. Aku tetap diam dan sedikit menggeser kaki untuk membuka ruang.

Dia membungkuk di depanku pura-pura mengambil sesuatu dari bawah. Dari posisi itu wajahnya nyaris sejajar dengan bagian dalam pahaku dan pandangannya menusuk tajam.

"Non, mobil ini bener-bener harus dicharge sampai penuh" suaranya parau

Aku menelan ludah dan tersenyum tipis. "Kalau begitu kerjakan aja sampai tuntas Bang"

Begitu aku bicara, matanya berubah. Tatapan lapar itu kini tanpa ragu. Ia menutup pintu bengkel sepenuhnya meninggalkan cahaya temaram dari lampu neon yang berkelip di langit-langit.

Aku berdiri bersandar di kap mobil listrikku, dress tipis warna krem menempel di tubuh karena gerah. Pak Darto berdiri di sampingku, satu tangan di pinggang dan tangan lain bergerak pelan mengikuti garis pahaku. Napasnya berat dan dekat sekali di telingaku.

Tangannya perlahan menaiki punggungku. Resleting dress itu terbuka dan kain tipis jatuh sampai pinggang. Aku tetap diam dan menyesuaikan tubuhku dengan gerakannya. Udara bengkel terasa panas bercampur aroma oli dan keringatnya.

Ia menunduk lebih dekat, ujung jarinya menelusuri pahaku perlahan. Matanya tak lepas dari wajahku seolah ingin memastikan setiap detik terasa padaku. Aku menahan napas dan menggigit bibir menahan suara.

Bibirnya nyaris menyentuh telingaku ketika ia berkata pelan “Non, kalau udah mulai saya nggak akan berhenti sebelum puas.”

Resleting dress-ku terbuka sepenuhnya dan kainnya melorot, meninggalkan dadaku yang langsung terkena udara panas bengkel. Aku tidak memakai bra dan putingku menegang begitu ia melihat. Tangannya bergerak dari pinggang ke punggung lalu turun menelusuri pahaku. Sentuhannya kasar tapi membuatku meremang. Ia menunduk dan bibirnya mencari bibirku. Begitu bersentuhan, rasanya liar dan rakus, bukan ciuman manis, membuatku kehilangan kendali.

Aku menyandarkan punggung di kap mobil, membiarkan tubuhku terbuka untuknya. Dia berdiri di antara kedua kakiku, tangannya sudah mulai menjelajah lebih dalam. Aku menarik napas panjang, tapi malah mengeluarkan desahan panjang saat jarinya menemukan titik yang paling sensitif.

"Aakhh.... aku hampir berbisik tapi suaraku bergetar manja.

Dia hanya tersenyum tipis, lalu memajukan tubuhnya lebih dekat lagi, sampai aku bisa merasakan penis di balik celana lusuhnya menekan kemaluanku. Rasa panas itu menyebar cepat, membuatku tak peduli lagi kami ada di bengkel sempit ini.

Aku menggenggam kerah kaosnya, menariknya ke arahku. “Jangan lama-lama, pakk…” bisikku dengan napas memburu.
Dia tidak menjawab, hanya menatapku dalam-dalam, lalu mulai..

Begitu dia menatapku dengan tatapan yang penuh nafsu itu, aku langsung tahu… aku sudah tidak akan bisa menghentikan apa yang sebentar lagi terjadi. Tubuhku sudah terbakar sejak pertama kali dia menutup pintu bengkel ini.

Tangannya yang besar masih di pinggangku, menarikku lebih rapat. Dadaku menempel di dadanya, dan aku bisa merasakan otot keras di balik kaos lusuhnya. Nafasnya berat, hangat, dan setiap kali dia menghembuskannya, bulu kudukku berdiri.

Dia tidak langsung menyerang. Tangannya bergerak pelan, menyusuri garis punggungku, lalu berhenti di lekuk pinggang. Jemarinya menekan pelan, membuatku sedikit menggeliat. Bibirnya mendekat ke telingaku, tapi tidak menyentuh—hanya cukup dekat untuk membuatku frustasi.

"Saya suka cara non menggoda bapak waktu itu. Bisiknya rendah. Suaranya membuat dadaku bergetar aneh.

Dress tipis yang kupakai kini sudah melorot separuh. Bahuku telanjang, kulitku langsung bersentuhan dengan kulitnya. Dia menunduk, mencium leherku pelan… sekali… dua kali… lalu berhenti, membiarkanku menggantung. Ciumannya panas tapi lambat, seolah dia sengaja membuatku kehilangan kesabaran.

Aku memejamkan mata, membiarkan sensasinya meresap. Tangannya turun, menelusuri pahaku dari luar, lalu naik lagi—kali ini dari bagian dalam. Gerakannya pelan, begitu pelan sampai aku nyaris merengek minta dia mempercepat.

Kepalaku bersandar di kap mobil yang masih hangat. Aroma besi dan oli bercampur dengan aroma tubuhnya yang maskulin. Rasanya memabukkan. Dia mencium bahuku, lalu turun ke tulang selangka, lalu berhenti lagi. Pandangannya menatap mataku, seolah bertanya: Non mau sampai mana?

Aku menggigit bibir, lalu menunduk sedikit, membisikkan satu kata di telinganya:

"Terusin aja pak.. Itu seperti isyarat baginya untuk melepas semua penahan. Tangannya langsung menarik dressku hingga benar-benar jatuh ke lantai. Kini aku hanya berdiri dengan…

Kini aku hanya berdiri dengan tubuh nyaris telanjang. Dress tipis itu sudah tergeletak di lantai bengkel, terkena noda oli. Udara panas bercampur dengan aroma besi dan tubuhnya yang maskulin membuatku seperti mabuk.

Dia menatapku dari atas ke bawah, tatapannya begitu langsung dan tanpa malu. Tangannya menyentuh pinggangku lagi, lalu naik ke pinggul, kemudian melingkar di punggungku, menarikku rapat hingga tubuh kami menempel tanpa jarak.

Bibirnya menempel di bibirku, ciumannya rakus. Lidahnya masuk, menari liar, membuatku mendesah pelan. Tangannya mulai menjelajah, kali ini lebih berani. Jemarinya mengusap lembut bagian sensitifku dari luar, gerakannya membuatku tak mampu berdiri tenang.

Aku setengah bersandar di kap mobil, satu kakiku terangkat ke sisi pinggangnya, memberi ruang yang lebih dekat. Dia merespons dengan menunduk, mencium leherku, lalu turun ke dadaku. Bibirnya panas, gerakannya cepat, membuatku mengerang tanpa sadar.

"Paaaak… Akkhh... suaraku nyaris pecah.. aku bener bener nggak tahan.

Dia mengangkat wajah, tersenyum tipis, lalu menurunkan resleting celananya. Suara logam itu terdengar begitu jelas di tengah bengkel yang sepi. Jantungku berpacu lebih cepat. Begitu dia mendekat lagi, aku bisa merasakan kekerasan itu menekan pahaku.

Tangannya mengangkat pinggulku sedikit, posisiku kini setengah duduk di kap mobil. Tatapannya terkunci pada mataku, seolah ingin memastikan aku sadar sepenuhnya apa yang akan terjadi. Aku hanya mengangguk pelan, napasku memburu.

Lalu… perlahan, dia masuk. Sensasinya membuatku mengeluarkan suara panjang yang tak tertahan. Gerakannya di awal masih pelan, seperti tadi saat foreplay—seolah ingin menyiksa sekaligus memanjakan. Tapi setiap tarikan dan dorongan membuatku semakin kehilangan kendali.

Tanganku mencengkram bahunya, punggungku melengkung, dan di setiap gerakan, suara kap mobil yang berderit bercampur dengan napas kami yang berat.

Aku tak lagi peduli pada dunia luar. Yang ada hanya panasnya tubuhnya, desahanku yang semakin cepat, dan ritme yang makin lama makin liar…

Ritme sodokan penisnya semakin cepat. Setiap hentakan membuat tubuhku terdorong sedikit ke belakang, punggungku beradu dengan kap mobil yang hangatnya mulai terasa di kulit. Aku menggigit bibir, mencoba menahan suara… tapi setiap kali dia menarik dan kembali menghujam, suara itu akhirnya lolos juga. Aakkhh..

Tangannya mencengkeram pinggangku kuat, seolah takut aku lepas. Nafasnya berat, memburu di telingaku, bercampur dengan desahanku yang tak beraturan. Otot-otot di pahaku mulai menegang, pertanda gelombang itu sudah mendekat.

“Paak… cepetin….kataku setengah memohon.

Dia merespons dengan dorongan yang lebih dalam, penisnya langsung menghujam tanpa ampun, bergerak keluar masuk dengan sangat kencangnya membuatku memejamkan mata dan mengerang panjang. Jemarinya di satu tangan tak hanya menahan pinggang, tapi juga memijit titik sensitifku, membuat sensasinya berlipat.

Rasanya seperti meledak dari dalam. Tubuhku bergetar, kakiku menekan pinggangnya, dan aku mengeluarkan suara yang tak sanggup kutahan. Puncaknya datang cepat, tapi juga panjang. Aku hampir lunglai kalau bukan karena dia menahan tubuhku erat.

Dia sendiri tidak berhenti. Ritmenya tetap liar sampai akhirnya aku merasakan hentakannya melambat, napasnya berat, dan tubuhnya menegang. Dia mengerang pelan, lalu diam, masih memelukku erat.

Beberapa detik hanya ada suara napas kami. Aku membuka mata, melihat wajahnya yang berkeringat, lalu tersenyum lemah. Dia membiarkan pelukannya bertahan sebentar, seolah enggan melepas.

Perlahan, dia mundur, merapikan celananya. Aku turun dari kap mobil, kakiku agak goyah. Dressku yang sudah kotor terkena oli kemudian kupungut dari lantai dan kupakai lagi tanpa terlalu peduli noda hitamnya.

Saat aku melangkah ke pintu, dia menepuk pinggulku pelan. “Kalau non mau diservis lagi… datang aja kapan pun non mau. katanya sambil tersenyum. Aku hanya menoleh sebentar, membalas senyum itu, lalu keluar ke malam Jakarta yang panas sambil membawa rahasia bengkel kecil ini bersamaku.

Komentar

  1. Plot cerita menarik..sex scene nya bikin penasaran (ditambah detail hehe)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jebakan Minimarket

Pengantin Brutal

Jebakan Minimarket 2

Pemulung Sadis

Pengakuan Cici Pik

Tragedi Pasar Pecinan

Chindo Seksi Jadi Rebutan 6

Chindo Seksi Jadi Rebutan

Draft amarah para buruh 22