“Kamu udah sampe di pameran kan. Om mau kamu jalan seperti biasa aja dan jangan nutupin apa apa.
Ketika aku keluar dari toilet, hawa dingin AC menyapu kulitku, membuat rok yang masih lembap itu terasa makin berat di belakang. Setiap langkah membuat kainnya menempel-lepas-menempel lagi di kulit, meninggalkan sensasi yang sulit dijelaskan.
Begitu memasuki area pameran, beberapa orang yang duduk di kursi pengunjung langsung melirik. Ada yang matanya mengikuti dari bawah ke atas. Aku berpura-pura tak peduli, meski pipiku terasa panas.
Di kejauhan, aku melihat Pak Jarwo berdiri di dekat stand brosur. Ia tak tersenyum, hanya mengangguk tipis… seolah memastikan bahwa aku melakukan persis seperti yang ia mau.
Dari arah keramaian, aku kembali melihat sosok yang sudah terlalu akrab—Pak Jarwo. Ia berjalan santai mendekat, membawa tas kecil di bahunya, pura-pura melihat-lihat stand seperti pengunjung lain.
“Produk baru ya mbak ? tanyanya ramah tapi tatapan matanya punya maksud lain.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya Om. Kameranya lebih tajam dan fiturnya juga lengkap banget.
Ia menunduk sedikit lalu berbisik cepat nyaris tak terdengar oleh orang lain.
"Om mau kamu kasih lihat semua foto seksimu. Bilang aja itu contoh hasil jepretan kamera yang kamu jual ini.
Tak lama kemudian seorang pria paruh baya dengan kemeja rapi mendekat ke booth, wajahnya penuh rasa penasaran. Aku langsung mengalihkan pandangan dari Pak Jarwo dan menyambutnya dengan senyum profesional.
“Selamat sore pak. Ini type yang paling baru. Kameranya juga sudah dilengkapi sensor buat kondisi yang minim cahaya. Bapak mau lihat hasil jepretan kameranya ? Tanyaku sambil meraih ponsel demo dari meja.
Dia mengangguk lalu aku mulai membuka galeri foto. Degup jantungku langsung terasa lebih kencang karena urutan fotonya memang sudah kusetel seperti permintaan Pak Jarwo. Diawali beberapa foto pemandangan dan produk lalu perlahan bergeser ke gambar-gambar yang lebih pribadi.
Pria itu awalnya mengangguk-angguk sambil memuji ketajaman kamera. Tapi saat jarinya menggeser ke foto berikutnya, matanya melebar sedikit. Di layar, terlihat hasil jepretan kamera ketika aku berpose di kamar mandi hanya dengan handuk merah muda yang dililitkan di tubuhku. Rambutku diikat ke atas, beberapa helai basah menempel di leher dan pipi, membuat penampilanku terlihat semakin seksi. Bibir pria itu terangkat membentuk senyum yang sulit disembunyikan.
Pria itu kembali menggeser foto dan muncul gambar diriku yang sedang berbaring di atas ranjang. Gaun tidurku sedikit tersingkap keatas, memperlihatkan paha mulusku, sementara ekspresi wajahku tampak menggoda seolah sengaja mengundang. Ia terkekeh pelan lalu berkomentar, “Waduh… kalau hasil fotonya begini sih, siapa juga yang nggak mau beli.
Aku pura-pura tetap menjelaskan fitur kamera dengan suara tenang, padahal aku bisa melihat jelas tatapannya yang sekarang fokus ke layar, bukan ke aku. Dari sudut mataku, Pak Jarwo berdiri agak jauh sambil menonton, ekspresinya puas melihat aku mengikuti permintaannya.
Ketika suasana mulai sepi dan pengunjung lain menjauh, Pak Jarwo kembali mendekat. Ia berdiri di samping meja pameran, pura-pura melihat brosur, lalu menoleh ke arahku.
“Sini, Om kasih sesuatu,” ucapnya pelan.
Tangannya merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah stiker berwarna merah terang dengan tulisan besar “Sentuh Gratis Jika Membeli”. Bibirnya tersenyum miring, sementara matanya menatapku seperti menunggu reaksiku. Aku menelan ludah, jantungku langsung berdetak lebih cepat.
"Ayo tempel di sini,” ucapnya pelan sambil menunjuk tepat di bagian dadaku.
Refleks aku mundur setengah langkah. “Om… ini kelihatan banget…”
“Memang itu tujuannya Cel. Jawabnya ringan seakan ini hal biasa. “Biar mereka tertarik.”
Aku ambil stiker kecil yang tadi dikasih Pak Jarwo. Warnanya merah mencolok, tulisannya besar-besar: "Sentuh Gratis Jika Membeli".
Tanganku sedikit ragu waktu mulai menempelkannya di bagian dada seragam SPG-ku. Kain tipis itu langsung ikut menempel, dan tulisan di stiker makin kelihatan jelas karena letaknya pas di atas belahan. Rasanya agak panas dilihatin orang-orang yang kebetulan lewat.
Begitu aku berdiri lagi di depan booth, beberapa pasang mata langsung melirik ke arah dada. Dan seperti yang sudah kuduga, nggak lama kemudian lima orang pengunjung mulai mendekat, senyumnya penuh rasa penasaran.
Salah satu dari mereka nunjuk stiker sambil nyengir.
“Mbak, ini maksudnya sentuh gratis apanya?”
“Maksudnya saya. mas kalau beli nanti boleh pegang saya” kataku sambil senyum tipis
“Beneran kalau beli boleh pegang mbaknya” mereka saling pandang
“Iya tapi jangan bilang siapa siapa cuma untuk 5 pembeli pertama. Kataku pelan
Temannya ikut tanya. “Pegang di mananya, Mbak?”
Aku senyum kecil. “Terserah Mas mau pegang di mana dan yang penting waktunya cuma dikasih dua menit.
Salah satu dari mereka nyengir “Kalau pegang toked boleh gak”
Aku tarik napas sebentar lalu angguk pelan “Iya boleh tapi pegangnya dari luar baju aja ya.
Yang satu lagi ikut nimbrung “Gue juga mau beli, tapi nanti gue minta bonus pegang paha lu ya”
Aku nyengir tipis “Ya boleh… tapi jangan kaget kalau nanti malah keenakan.
Mereka ketawa. Satu orang nanya lagi, “Itu buat produk yang mana?”
Aku tunjuk etalase. “Beli smartphone yang tipe XX69 cuma 700 ribu. Udah dapat bonus sesuai stiker.
Orang itu langsung ambil dompet. “Ya udah, saya beli.
Aku kasih nota. “Bonusnya diambil nanti, setelah pameran selesai. Jam 11 malam nanti aku tunggu di ruangan kosong belakang booth.
Hall pameran udah mulai lengang. Musik latar pelan, lampu-lampu sebagian udah diredupkan. Booth-booth lain banyak yang udah tutup, tapi di sekitarku masih ada lima orang yang dari tadi nggak beranjak. Mereka ini pembeli smartphone yang udah dijanjiin olehku.Aku lagi pura-pura sibuk merapikan display saat ponselku bergetar. Pesan dari Pak Jarwo:
“Rekam semuanya. Kirim ke om nanti. Anggap aja bukti kalau mereka udah dapet jatahnya. pastikan semua kerekam dengan baik.
Aku menelan ludah, terus nengok ke arah lima orang itu. Beberapa udah nyender di meja, senyum-senyum nunggu giliran.
Aku tarik napas, lalu bilang pelan ke mereka, “Oke… tapi sebelum mulai, aku mau ngerekam ya. Ini cuma buat dokumentasi pribadi dan muka kalian nggak akan keliatan di video. Jadi santai aja.
Salah satu dari mereka nyeletuk, “Oh… gitu ya? Ya udah, aman berarti.”
Yang lain malah ketawa kecil sambil ngelirik ke temannya, “Yang penting bonusnya dapet.”
Aku nyalain kamera, sengaja pegang agak rendah biar angle-nya cuma nangkep bagian yang diinginkan. “Oke, siapa duluan?” tanyaku sambil pura-pura tenang.
Cowok berbadan jangkung maju duluan. Tangannya ragu sebentar, lalu mulai bergerak. Teman-temannya di belakang langsung nyengir lebar, tapi tetap diam karena sadar mereka bakal dapet giliran juga.
Dia agak kaget, “Buat apaan?”
Aku senyum tipis, nada suaraku dibuat santai. “Buat kenang-kenangan aja. Nanti videonya gue bagi ke kalian semua. Jadi nggak cuma diinget di kepala.”
Cowok gondrong di belakang langsung nyeletuk sambil ketawa, “Wih, mantap. Jadi bisa diputer ulang, ya?”
Aku cuma ngangguk sambil pura-pura merapikan rambut, “Asal janji nggak nyebar kemana-mana. Ini bener-bener buat pribadi.”
Si kurus mulai merekam, posisinya agak miring biar yang terekam cuma badan dari bahu ke bawah. “Oke, udah siap nih,” katanya pelan.
Pemuda pertama berdiri tepat di depanku. Jaraknya begitu dekat sampai aku bisa mendengar napasnya yang sedikit berat. Dia menatap dari ujung kaki sampai ke atas, matanya seperti sedang merekam setiap lekuk yang terbungkus seragam putih ketatku.
Aku refleks menunduk sedikit, pura-pura sibuk membetulkan ujung rok, tapi sebenarnya untuk menghindari tatapan matanya yang terlalu langsung. Meski begitu, aku masih bisa merasakan pandangannya menyapu turun-naik, seperti ingin memastikan semuanya nyata.
Pelan-pelan, pemuda itu mendekat. Matanya tak lepas dari wajahku, menatap dengan intens seolah ingin menyimpan setiap lekuknya. Nafasnya mulai berubah, dia menghirup aroma tubuhku dengan dalam, terhanyut oleh harum yang tak bisa ia tahan. Perlahan dia mengendus leherku, kemudian pundak, lalu rambutku yang terurai, membuatnya seolah lupa diri.
Setelah itu, dia berputar mengelilingi tubuhku, matanya terus menelusuri setiap sudut, seakan mencoba menghafal semua yang ada di hadapannya.
Tangannya mulai bergerak, ragu di awal, tapi lalu menempel di pinggangku. Sentuhannya hangat dan agak gemetar, mungkin karena gugup. Dari pinggang, jemarinya naik pelan ke sisi perut, menelusuri garis lembut di balik kain tipis yang sudah pas menempel di kulitku.
Aku menarik napas pendek, mencoba tetap terlihat santai, sementara telapak tangannya kini berpindah ke punggung bagian bawah. Dorongan kecil dari tangannya membuat tubuhku sedikit condong mendekat, cukup untuk membuat jarak di antara kami hampir hilang.
Aku sempat melirik ke si kurus yang memegang ponsel. Dia sudah mengarahkannya tepat ke area pinggang dan perutku, memastikan frame tetap aman tanpa menangkap wajah siapa pun.
Pemuda itu menelan ludah, matanya masih terpaku padaku. Jemarinya bergerak lagi, kali ini menyapu perlahan ke sisi luar pinggul, menekan lembut, lalu kembali ke pinggang seperti tak mau kehilangan momen.
Di sudut booth, teman-temannya berusaha menahan tawa, tapi tatapan mereka jelas iri. Aku tahu, ini baru giliran pertama, dan detak jantungku sudah terasa kencang.
Tak terasa waktu berjalan cepat. Sentuhannya yang tadi ragu kini sudah lebih mantap, tapi aku tahu batasnya. Dari awal, aku memang sudah menyetel timer di ponsel, tersembunyi di balik tumpukan brosur di meja. Ponselku bergetar pelan di balik tumpukan brosur di meja. Itu merupakan tanda peringatan pertama. Tak lama kemudian alarm kecil berbunyi pelan, dan hanya aku yang bisa mendengarnya, menandakan waktu dua menit sudah habis.
Aku menarik napas, lalu menepuk pelan lengannya.
“Udah ya, gilirannya selesai,” bisikku sambil tersenyum tipis, seolah ini cuma permainan biasa.
Dia menatapku dengan wajah kecewa, matanya jelas belum puas. Bibirnya bergerak seperti ingin protes, tapi akhirnya hanya menghela napas panjang. Sambil melangkah mundur, tangannya masih sempat meremas pantatku sekali lagi, singkat, seperti enggan melepas.
Di sudut booth, teman-temannya langsung bereaksi. Ada yang menepuk bahunya, ada yang tertawa pelan sambil menggoda. Tapi dia hanya mengangguk pasrah, tahu bahwa aturannya memang begitu.
Aku menoleh ke si kurus yang masih pegang kamera, kasih kode kecil supaya dia tetap siap. Karena sebentar lagi giliran berikutnya bakal mulai.
Pemuda kedua datang dengan langkah yang lebih mantap dan wajah yang penuh hasrat. Tatapannya buas, berbeda jauh dari yang pertama, membuat bulu kudukku berdiri. Aku bisa merasakan getaran ngeri yang bercampur dengan adrenalin memenuhi tubuhku.
Dia langsung mendekat tanpa ragu, seperti ingin memangsa. Tangannya melingkar di pinggangku dengan kuat, menarikku lebih dekat. Bibirnya menekan bibirku tanpa kompromi, kasar tapi penuh nafsu. Aku terkejut ketika tangan kanannya merayapi rambutku, mengelus dengan lembut di sela-sela keinginan yang ganas, sementara tangan kirinya tak segan meremas buah dadaku, menggenggam erat sampai aku hampir tak bisa bernapas.
Aku meringis menahan sakit akibat remasan kuat tangan kekarnya, tapi justru ekspresinya semakin beringas. Dengan gerakan penuh nafsu, tangannya mulai menyusup masuk ke dalam seragam SPG putihku, yang menyatu antara atasan dan bawahan, mencoba mencari celah untuk menjamah lebih jauh.
Aku menggeliat sementara dadaku naik-turun dengan cepat. "Aduhh.. Baaang… kok napsu banget sih… suaraku terputus-putus, terdengar manja tapi juga pasrah. Kaki dan pinggulku bergerak gelisah tapi tangannya terus menahanku, membuat aku hanya bisa merintih pelan di bawah tatapannya yang beringas.
"Uuukh… sialaan… gue remes nih tetek lu…desahnya berat sambil menarik napas kasar sementara jemarinya makin menekan seolah nggak mau lepas sedikit pun. Tubuhku terus bergetar antara rasa takut dan terhanyut. Aku tahu aku harus kuat, tapi desakan naluri membuatku sulit menolak dan sialanya semua ini ternyata belum berakhir.
Setelah pemuda itu mundur, tiga orang yang tadi belum kebagian jatah tiba-tiba maju hampir bersamaan. Gerak mereka cepat dan kompak, seolah sudah janjian. Dalam hitungan detik aku sudah berada di tengah lingkaran mereka.
Tubuhku nyaris menempel dengan mereka dari segala sisi. Nafas mereka terdengar berat dan panas di telingaku. Salah satu berdiri tepat di depan, yang lain di belakang, dan satu lagi di sisi kanan. Ruang gerakku nyaris nggak ada, aku hanya bisa memutar kepala mencoba mencari celah.
Tangan-tangan kasar itu mulai bergerak, menyentuh dan merayap setiap jengkal tubuhku dan membuatku sulit fokus. Aku bisa merasakan tatapan mereka yang intens, seperti takut waktu keburu habis.
Satu pria mendekapku dari belakang, napasnya hangat saat menciumi pundakku. Tangannya menyibak rambutku dan ujung bibirnya menyentuh leherku dengan lembut tapi penuh nafsu.
"Akkhh… udah.. lepasin aku.. suaraku terputus-putus dengan napas memburu. Aku mencoba menarik tangan yang mencengkeramku tapi genggaman itu malah semakin kuat.
"Dua menit mana cukup ? Badan semulus ini harus dinikmati lebih lama. Kata temannya.
Di depanku, pria lain menarik wajahku ke arahnya, bibirnya langsung melumat bibirku dengan kasar. Sementara itu, dari samping, temannya meremas dadaku dengan kuat, membuat tubuhku terpaku di antara genggaman mereka yang tak terhindarkan.
Pria yang tadi sudah kebagian jatah kini mengambil posisi baru. Dengan wajah penuh nafsu, dia memegang ponsel, mengarahkan kameranya ke arahku. Matanya berkilat, menatapku sambil memastikan setiap gerakanku terekam dengan jelas. Suasana makin tegang saat aku sadar setiap langkah dan ekspresiku jadi bahan tontonan mereka.
Hasrat Yang Belum Terpuaskan
Suara dari depan booth terdengar samar, tapi di belakang sini suasananya makin panas dan menekan. Kelima pemuda itu sebenarnya sudah dapat jatahnya sesuai kesepakatan, tapi nyatanya mereka belum puas. Mereka mulai ribut minta waktuku ditambah.
Sebelum sempat kujawab, mereka langsung bergerak bersamaan, menyergapku dari segala arah. Tubuhku terhimpit di tengah lingkaran mereka, hampir nggak punya ruang buat bergerak. Tangan-tangan itu bergerak cepat dan berani, menjamah ke mana-mana tanpa memberi kesempatan untuk mundur.
"Remes terus bro… kapan lagi kita bisa ngobok-ngobok cina seksi kayak gini. Ucap temannya sambil tertawa rendah sementara matanya nggak lepas dari tubuhku.
"Aduh… pelan-pelan bang… gantian pegangnya… suaraku nyaris bergetar tapi mereka malah tertawa. Malah sengaja makin ngeremas, seolah mau ngetes sampai sejauh mana aku bisa tahan.
"Udah cici diem aja.. biar kita puas dulu. salah satu dari mereka nyaris nyentuh telingaku sambil ngomong begitu. Napasnya panas di kulitku. Aku yang berdiri ditengah cuma bisa meringis, badanku gemetar, tapi entah kenapa kakiku malah terasa makin lemas waktu genggaman mereka makin kuat.
Belum puas dengan posisi itu, salah satu dari mereka memberi isyarat cepat dan tiba-tiba aku didorong ke arah meja kayu usang di pojok booth. Mereka seperti nggak mau memberi kesempatan aku kabur.
Tubuhku setengah diseret, setengah terdorong, sampai punggungku menempel di permukaan meja yang dingin dan agak goyah. Kaki-kakiku menjuntai ke bawah, nyaris kehilangan pijakan. Dua orang langsung memegang kedua lenganku erat, menahannya di atas permukaan meja, sementara yang lain berdiri rapat di depanku, tatapannya penuh nafsu dan rasa ingin memiliki.
Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri, bercampur dengan suara napas mereka yang berat dan tergesa, seakan waktu yang tersisa terlalu singkat untuk memuaskan keinginan mereka.
Di saat suasana makin memanas dan aku nyaris nggak bisa bergerak, tiba-tiba terdengar suara berat dari arah pintu belakang booth. “Eh, udah… udah, cukup!”
Pak Jarwo muncul dengan langkah cepat, matanya menyapu tajam ke arah mereka. Tapi bukannya langsung bubar, kelima pemuda itu malah saling pandang lalu mulai berdebat dengannya. Nada suara mereka rendah, tapi aku bisa menangkap maksudnya—mereka belum mau pergi dengan tangan kosong.
Pak Jarwo menghela napas, lalu membungkuk sedikit sambil berbisik, entah menyampaikan apa. Salah satu dari mereka tersenyum tipis, lalu yang lain ikut mengangguk. Sepertinya sebuah kesepakatan sudah terjadi.
Mereka kembali menatapku dengan sorot mata penuh maksud. Aku bisa merasakan udara di belakang booth jadi lebih berat. Dari cara mereka memandang, aku tahu apa yang mereka inginkan… dan dari cara Pak Jarwo berdiri menyamping, aku juga paham dia memberi isyarat untuk tidak melawan.
Agar suasana nggak makin ribut dan menarik perhatian orang luar, Pak Jarwo menatapku singkat lalu memberi isyarat dengan dagunya. “Udah, ikutin aja,” katanya pelan tapi tegas. Aku mengerti maksudnya.
Dengan langkah ragu, aku kembali ke meja kayu pendek di pojok booth dan membaringkan tubuhku seperti tadi. Suasananya terasa makin panas, apalagi saat kelima pemuda itu bergerak mendekat hingga membentuk lingkaran di sekelilingku. Mereka sibuk dengan gerakan masing-masing, membuatku paham betul apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sambil berdiri mengelilingiku yang telentang di atas meja kayu, mereka bergerak pelan namun pasti masing masing sibuk dengan gerakan tangannya sendiri mengocok batang mereka yang sudah tegang penuh. Urat urat di lengan dan leher mereka menonjol napasnya berat terdengar jelas di telingaku seperti deru hewan buas yang siap menerkam.
Sorot mata mereka menusuk tajam buas dan liar, tidak pernah lepas dari setiap lekuk tubuhku yang terhampar di hadapan mereka. Pandangan itu membuat kulitku merinding sekaligus terasa panas seolah tubuhku sudah menjadi milik mereka sepenuhnya.
Suara gesekan tangan mereka di kulit yang tegang bercampur dengan desahan napas yang semakin cepat setiap detiknya, membuat suasana di tempat itu semakin padat oleh hawa panas dan ketegangan. Aku bisa merasakan aura lapar mereka menekan dari segala arah, seperti tak ada lagi yang bisa menghentikan mereka untuk menuntaskan hasrat yang sudah menguasai kepala dan tubuh mereka.
Aku bisa merasakan bagaimana setiap tatapan itu menelusuri lekuk tubuhku, tanpa rasa malu sedikit pun. Dari sudut pandangku, Pak Jarwo yang berdiri agak ke belakang juga ikut terhanyut dalam suasana, matanya sama panasnya dengan yang lain, seakan tak mau ketinggalan dalam momen ini.
Tak lama kemudian, satu per satu dari mereka mulai mengeluarkan suara erangan yang tertahan seperti sedang mencapai puncak dari kenikmatan yang ada. Mereka maju mendekat ke arahku bahkan ada juga yang maju hampir bersamaan, membuat jarak di antara kami semakin sempit.
Aku hanya bisa terbaring pasrah sambil menatap mereka dengan ekspresi tak berdaya, napasku ikut memburu sementara tatapan mereka tak lepas dari wajahku. Gerakan tangan mereka makin cepat, urat-urat di lengan tegang, dan suara napas bercampur desahan memenuhi udara dibelakang booth.
Beberapa gerakan terakhir terasa lambat di mataku, padahal semuanya berlangsung cepat. Mereka mendekat, mengelilingi wajahku dari jarak yang nyaris menempel. Aku bisa merasakan hawa panas tubuh mereka dan aroma yang khas menusuk hidungku.
Lalu dalam sekejap. Ahhh… hhh… SPG Lontee… dasar cina sialan… ahhh… muka sipit lo… enak banget gua pejuinn… hhh… ahhh…! Crott.. Crett.. Crett.. semburan sperma hangat yang putih dan kental menghantam kulit wajahku, membuat mataku spontan terpejam. Terasa begitu licin dan panas, cairan itu meninggalkan jejak yang mengalir pelan. Aku menarik napas pendek, terkejut oleh intensitasnya, sementara suara erangan mereka memenuhi telingaku secara bergantian satu demi satu.
Setelah semua pemuda mundur, aku masih terbaring di meja kayu dengan napas yang belum teratur. Kulit wajahku terasa hangat, sisa dari apa yang baru saja terjadi. Dari sudut mata, aku melihat Pak Jarwo melangkah maju.
Dia sudah tanpa celana, mendekat dengan tatapan yang sulit diartikan. Dalam diam, dia naik ke atas meja, posisinya tepat di atasku. Gerakannya mantap, kedua lututnya menahan beban tubuh sambil menunduk memandangi wajahku.
Tangannya sibuk dengan gerakan cepat, napasnya berat, dan matanya tak sekali pun lepas dari mataku. Udara di sekitar kami terasa semakin pekat, seolah hanya menunggu satu momen terakhir sebelum semuanya pecah.
Beberapa saat kemudian, suara erangan berat keluar dari mulut Pak Jarwo.
"Ahhh… anjiinggg… hhh… uuhhh… gila… m-muka… cina… sipit… ahhh… nggak kuat… hhh… ini… paling… enak… hhhaaahhh… buat… buang… pejuuu… ahhh… iyaaa… iyaaa… ahhh… mampus… hhhaaahhh… ahhh… ahhh… gua keluarin semuaaa… ahhh… ahhh… gila… nggak tahan… anjinggg…! suaranya berat, napasnya memburu, diselingi desis panjang. “Hhh… muncrat… ahhh… Lanjutnya sambil tubuhnya menegang sebentar lalu mengendur pelan dengan helaan puas.
Aku bisa merasakan ada sesuatu yang hangat jatuh mengenai wajahku, menyebar perlahan di kulit. Sensasinya membuatku refleks menarik napas pendek. Pak Jarwo masih terdiam beberapa detik, menahan sisa gejolak, sebelum akhirnya mengendurkan tubuhnya dan menatapku lagi dari atas.
Setelah semuanya selesai, aku langsung bangkit pelan, bergegas menuju kamar mandi di belakang booth. Air dingin kutepukkan ke wajah, berusaha menghapus sisa kejadian barusan, meski rasa hangatnya masih tertinggal di kulit. Kupandangi pantulan wajahku di cermin—sedikit kusut, tapi aku mencoba menarik napas panjang dan merapikan rambut, pakaian, serta riasan seperti biasa.
Tanpa banyak bicara, aku pamit pada Pak Jarwo dan keluar dari arena pameran. Perjalanan pulang ke kos terasa biasa saja, seolah tak ada yang baru saja terjadi.
Begitu sampai di kamar kos, aku menjatuhkan tubuh ke kasur. Ponselku yang tergeletak di meja tiba-tiba bergetar. Notifikasi dari aplikasi m-banking muncul di layar: saldo bertambah tiga ratus ribu rupiah. Aku hanya menatap layar itu beberapa detik, lalu tersenyum tipis, entah karena lega atau karena sadar ini mungkin bukan yang terakhir kalinya.
gas terus
BalasHapusdamn nice update suhu
BalasHapus