Hidupku jadi berantakan sejak kejadian di gudang minimarket malam itu. Setiap kali mataku terpejam. Bayangan tubuh mereka muncul lagi. Suara kasar dan ejekan mereka masih terdengar jelas di kepalaku. Dadaku sering merasa sesak dan penyesalan yang mendalam berulang kali menyiksaku. Bagaimana bisa aku merendahkan diriku sendiri hanya karena dorongan sesaat ?
Tapi anehnya tubuhku justru bereaksi sebaliknya. Setiap kali ingatan itu datang, ada getaran halus di antara pahaku seolah otakku kehilangan kendali. Aku menggeliat gelisah di tempat tidur sambil menggigit bibir karena rasa malu tapi juga ada hasrat yang tak bisa kubenarkan.
Beberapa hari ini aku mengurung diri di kamar dan menghindari pertemuan dengan siapa pun. Aku bilang aku sakit, padahal sebenarnya aku takut. Takut bertemu orang lain, takut terlihat hina, dan takut tubuhku kembali menginginkan hal yang sama. Semakin kuberusaha melawan, semakin kuat dorongan itu. Akal sehatku berteriak untuk melupakan, tapi gairah liar itu selalu menang.
Aku menatap bayanganku di cermin. Wajahku pucat, mataku sayu, tapi ada sesuatu di dalamnya yang tak bisa kusembunyikan. Tubuhku bereaksi bahkan hanya dengan mengingat perlakuan kasar mereka. Dan yang paling aneh, alih-alih benci, aku justru ingin mengalaminya lagi.
Aku tahu aku sedang tenggelam dalam konflik: antara penyesalan dan kenikmatan, antara rasa hina dan kepuasan yang tak terucapkan. Tapi satu hal yang pasti: malam di gudang itu bukanlah akhir. Itu adalah awal, pintu yang membuka sisi tergelap dalam diriku.
Malam itu aku memberanikan diri melangkah kembali ke minimarket kecil di sudut Pecinan. Udara dingin menusuk kulit dan jalanan sudah sepi, hanya lampu toko yang masih menyala temaram. Degup jantungku kacau tapi tubuhku justru terasa panas.
Aku sengaja mengenakan pakaian yang tak pernah kupakai sebelumnya, kaos putih ketat yang menempel di lekuk tubuhku dan celana pendek hitam yang memperlihatkan pahaku tanpa malu. Setiap langkah terasa seperti pamer seolah aku sengaja menantang siapa saja yang menatap.
Begitu masuk aku berpura-pura sibuk memilih belanjaan di rak. Tanganku gemetar ketika meraih botol minuman tapi mataku sudah melirik ke arah meja kasir. Dan benar saja, Raka berdiri di sana, seragam minimarket melekat di tubuhnya tapi tatapannya sama sekali tidak seperti seorang kasir. Matanya langsung mengunci tubuhku, tajam dan lapar, membuat darahku berdesir.
Tak butuh waktu lama ia meninggalkan meja kasir dan berjalan mendekat. Tubuh tingginya langsung mendekap ruang di sekitarku dan membuat nafasku tercekat. Aku bisa mencium bau keringat dan sabun dari tubuhnya yang begitu dekat. Senyumnya miring dan penuh arti, membuat lututku lemas.
"Kayaknya kamu sengaja ya datang malam malam pakai baju ketat sama celana pendek kayak gini ? Suaranya terdengar rendah dan kasar serta menusuk telingaku.
Aku buru-buru menunduk, pura-pura sibuk meraih satu bungkus snack. “Aku cuma… belanja,” kataku pelan, padahal suaraku jelas bergetar.
Raka mendekat lebih dekat lagi, dadanya hampir menempel di punggungku. Nafasnya panas di telingaku. “Belanja? Jangan bohong. Aku tahu apa yang kamu cari.” Tangannya dengan berani meraih pinggangku, menekan lembut tapi kuat, membuat tubuhku tak bisa bergerak mundur.
Aku terkejut lalu menepis pelan.
"Mas jangan di sini ini tempat umum kalau ada yang lihat" bisikku terbata.
Raka terkekeh pendek, nadanya penuh ejekan.
"Tempat umum justru bikin makin panas. Cina nakal kayak kamu datang jam segini pakai baju seksi apa kamu kira nggak ada yang pengen nyentuh" kata Raka sambil menatapku sinis.
Wajahku panas, tubuhku bergetar, tapi aku tak bisa menjawab. Ada rasa takut bercampur malu, sementara di dalam dadaku gairah itu meledak hingga tak terbendung.
Raka menunduk menatapku lekat-lekat.
"Kali ini kita buat lebih menegangkan Lus.. Cina.. putih.. seksi datang ke minimarket cuma buat dijarah langsung di dalam toko. Dan mungkin bukan cuma aku yang bakal nikmatin kamu. Ucapnya dengan senyum miring.
Aku menelan ludah, jantungku berdegup liar. Kata-katanya membuat tubuhku semakin panas meski akal sehatku berteriak. Dengan wajah memerah aku mengangguk pelan.
"Aku… aku siap Mas" jawabku hampir tanpa suara.
Senyum rakus muncul di wajah Raka. Tangannya mencengkeram pinggangku lebih keras lalu menarik tubuhku menempel erat.
"Bagus. Malam ini kamu bukan cuma belanja kamu jadi hiburan di sini. Dan aku bakal pastikan semua orang tahu betapa nakalnya kamu. Katanya pelan namun menusuk.
Lorong itu sunyi, hanya suara pendingin udara yang mendesis pelan. Aku masih berdiri di depan rak minuman tapi tubuhku sudah terjepit oleh badan Raka yang begitu dekat. Dadanya menekan punggungku dan tangannya bebas merayap di pinggang lalu naik perlahan ke perutku. Aku terperangkap di antara tubuhnya dan rak yang penuh botol plastik hingga tak ada ruang untuk mundur.
"Mas jangan di sini. Nanti kalau ada yang lihat gimana ? Bisikku gemetar sambil mencoba menahan tangannya.
Raka terkekeh kasar dan mulutnya terasa dekat sekali dengan telingaku.
"Justru itu Lus. Sensasinya bakal beda kalau kita main di tempat umum kayak gini. Siapa pun bisa lihat kamu. Amoy cina yang pura-pura belanja tapi sebenarnya pengen disentuh habis-habisan. bisiknya dengan nada tajam.
Aku menggigit bibir dan wajahku terasa panas tapi herannya tubuhku malah merespons sentuhannya. Tangannya semakin berani menyusuri lekuk pahaku yang terekspos karena celana pendek. Aku menepis pelan tapi usahaku begitu lemah hingga malah terlihat seperti membiarkan.
"Kamu tahu nggak. Betapa seksinya kamu malam ini. Pakai kaos ketat pamerin badanmu yang putih ini kayak umpan. Kamu pikir aku bakalan diam aja ?!! Ucap Raka sambil menempelkan dadanya ke punggungku.
Jantungku berdegup kencang sementara napasku tercekat. Aku tahu ini gila. Aku tahu ini salah namun tubuhku justru terbakar oleh kata-katanya. Gairahku juga semakin memuncak menelan rasa takut.
Tangan Raka kini menelusuri pahaku lebih dalam membuat lututku hampir lemas. Ia menunduk sedikit matanya menatap wajahku dari samping. Senyumnya terlihat tajam dan puas.
"Kamu suka kan diginiin ? Disentuh sama pribumi. Jangan bohong sama aku Lus. Amoy nakal kayak kamu pasti suka diperlakuin begini. Bisiknya dengan nada menekan.
Aku menutup mata sejenak mencoba menahan desahan yang nyaris lolos dari bibirku. Tanganku mencengkeram rak di depanku hingga botol-botol bergetar pelan. Aku ingin berkata tidak padanya tapi entah kenapa suaraku malah tenggelam.
Kemudian Raka menempelkan bibirnya ke telingaku lalu berbisik lebih keras penuh perintah. "Malam ini kamu akan kembali menjadi budakku. Kalau ada orang lewat biarin aja. Biarkan mereka tahu siapa kamu yang sebenarnya. Tunjukin kalau kamu memang amoy cina yang haus seks. Katanya dengan nada tajam. Kata-katanya membuat tubuhku bergetar lebih hebat. Aku tahu aku di ambang kehilangan kendali.
Suara bel pintu tiba-tiba terdengar dari arah depan toko. Tubuhku sontak menegang. Aku hampir meloncat menjauh tapi Raka justru menahan lebih erat. Dadanya menempel ke punggungku dan tangannya masih mencengkeram pinggangku.
"Mas itu ada orang datang. Bisikku panik dengan wajah memanas setengah ingin kabur.
Aku bisa melihat dari ujung lorong seorang lelaki paruh baya melangkah masuk. Ia berjalan pelan sambil menenteng kantong kain kosong. Ia tampak hendak membeli sesuatu dan matanya menelusuri rak-rak.
Raka tertawa rendah lalu menunduk lagi di telingaku.
"Tenang… dia nggak bakal sadar kalau kita lagi main. Lagian bukannya makin menegangkan kalau ada yang lihat. Bisiknya sambil merapatkan tubuhnya.
Aku menggeleng cepat tapi suaraku gemetar ketika mencoba memohon.
"Mas tolong jangan di sini. Nanti dia bisa lihat kita. Kataku nyaris menangis.
Raka justru makin berani. Tangannya naik ke dadaku lalu meremas pelan dari balik kaos putih ketat yang kupakai. Bibirnya menyusuri leherku dan napasnya panas menusuk kulit. Aku terhuyung berusaha menahan suara desahan agar tidak lolos.
Pelanggan itu kini sudah berada di rak sebelah hanya beberapa meter dariku. Aku bisa mendengar suara plastik berkeresek saat ia mengambil barang. Tanganku mencengkeram kuat pada botol minuman di rak depan. Jantungku berdegup begitu keras sampai kupikir lelaki itu bisa mendengarnya.
"Lihat Lus.. Bisik Raka dengan suara rendah namun penuh desakan. "Kamu pasti lagi deg-degan kan ? Tubuhmu berasa panas banget. Aku tahu kamu takut ketahuan tapi bagian tubuhmu yang lain justru makin basah. Katanya sambil merapatkan badannya lagi.
Aku menahan napas wajahku merah padam. Ada ketakutan dan ada rasa malu yang menusuk namun bersamaan dengan itu tubuhku bergetar hebat hingga gairah itu malah membanjiriku. Pelanggan paruh baya itu sempat menoleh sebentar ke arah lorong tempatku berdiri. Aku buru-buru menunduk pura-pura memilih botol minuman tapi tanganku masih terkunci oleh genggaman Raka di pinggang. Tiba tiba Ia berbisik lagi tapi kali ini jauh lebih keras dan hampir membuatku meringis.
Aku hampir pingsan oleh rasa malu sekaligus nikmat yang bertarung di dalam diriku. Lelaki paruh baya itu hanya sekilas menoleh lalu kembali menunduk meneliti rak berisi makanan instan. Ia tampak acuh seolah tidak melihat apa pun yang janggal.
Tubuhku sedikit lega tapi sebelum bisa bernapas panjang Raka justru menekan tubuhnya lebih rapat ke belakangku. Aku hampir menjerit tertahan ketika merasakan desakan tonjolan celananya yang keras menempel di lekuk pantatku.
"Lihat tuh.. dia nggak peduli sama sekali.
Tangannya menyusup ke bawah kaos ketatku. Jari-jarinya panas menyentuh kulit perutku lalu naik perlahan sampai dada. Aku mendesah tertahan dan bahuku bergetar. Aku mencoba menepis tapi usahaku lemah hingga lebih terlihat seperti pura-pura menolak.
"Mas jangan. Nanti… nanti kedengeran. Ucapku hampir tak bersuara.
Mendengar perkataan itu Raka malah terkekeh di telingaku. "Bukannya kamu suka ?!! Buktinya kamu aja balik lagi kesini. Udah gitu sengaja pakai baju seksi lagi. Yang pasti hari ini aku gak bakalan lepasin kamu.. Katanya pelan namun menusuk.
Aku menggigit bibirku kuat-kuat mencoba menahan suara ketika jarinya meremas dadaku dari balik bra tipis. Nafasku tercekat dan kepalaku menunduk sampai hampir menyentuh rak. Pelanggan di lorong sebelah masih terdengar mondar-mandir menurunkan satu dua barang ke dalam kantong kainnya.
"Denger baik baik ya. Kalau seandainya dia mendekat. Aku bakal tetap terus grepein badanmu. Salah sendiri punya badan seksi dan mulus kayak gini. Dan kamu nggak bakalan bisa hentiin semua ini. Ucap Raka dengan nada lebih berani.
Tubuhku langsung gemetar hebat. Setengah karena takut setengah lagi karena gairah yang semakin tak tertahan. Aku tahu malam itu aku sudah benar-benar terjebak dalam permainan berbahaya ini dan anehnya aku sama sekali tak ingin keluar. Pelanggan itu berjalan makin dekat. Lorong hanya dipisahkan satu rak tipis. Jantungku hampir meledak. Tapi Raka malah makin nekat. Tangannya meremas buah dadaku dengan keras dari balik kaos sementara tubuhnya menekan pantatku tanpa jarak.
Aku menggigit bibir kuat-kuat menahan agar suara tidak lolos. Tapi setiap gesekan dari pinggul Raka membuatku nyaris merintih. Ia tahu dan justru menunduk berbisik kasar di telingaku.
"Diam Lus. Kalau kamu bersuara dia bakal tahu. Tapi aku rasa kamu justru suka kalau ketahuan ya. Katanya dengan tawa kecil.
Aku menggeleng cepat dengan wajah memerah tapi tubuhku berkhianat. Pinggulku justru sedikit bergerak mengikuti dorongannya. Raka terkekeh rendah dan napasnya panas di leherku. Tiba-tiba pelanggan itu berdeham pelan di lorong seberang lalu mengambil sekotak susu dari rak paling atas. Aku menahan napas dan tubuhku kaku. Tapi Raka dengan sengaja menurunkan resleting celananya lalu mendesakkan miliknya di celah pantatku hanya terhalang kain tipis celana pendekku.
Uuhh.. Aku hampir pingsan oleh rasa takut dan gairah yang bercampur jadi satu.
"Mas tolong jangan di sini. Bisikku nyaris menangis.
Raka menjawab dengan tawa kecil.
"Kenapa nggak. Kamu kan suka tantangan. Lihat kita hampir ketahuan tapi kamu malah makin panas. Ucapnya penuh puas.
Tangannya merayap turun menyusup di balik celana pendekku. Jari-jarinya langsung menemukan kelembapan yang sudah tidak bisa kusembunyikan lagi. Aku mendesah keras lalu buru-buru menutup mulut dengan tangan sendiri agar tak terdengar.
"Basah banget.. Raka berdesis puas. "Di tempat umum dengan pelanggan cuma beberapa langkah dari sini kamu beneran amoy nakal yang nggak bisa menahan nafsu. katanya sambil menekan tubuhku lebih rapat.
Aku terhuyung dan tubuhku gemetar hebat hampir roboh ke rak. Pelanggan itu masih ada hanya beberapa meter tapi dunia di sekelilingku seakan menghilang. Aku hampir tidak sanggup menahan diri ketika tiba-tiba suara langkah berhenti. Pelanggan itu menoleh perlahan dan matanya sempat menyipit seakan curiga ada yang aneh. Jantungku seketika berhenti berdetak. Wajahku memanas sementara tubuhku sudah setengah terperangkap dalam dekapan Raka.
Tanganku refleks meraih rak pura-pura sibuk membaca label barang padahal tubuhku bergetar keras. Tapi Raka sama sekali tidak mundur. Ia justru semakin menekan dari belakang napasnya kasar dan tangannya masih bercokol di dalam celana pendekku. Tatapan pelanggan itu turun sebentar. Matanya seperti menangkap sesuatu yang tak seharusnya. Wajahnya terdiam beberapa detik lalu kembali menatap wajahku. Aku nyaris pingsan menahan malu dan takut. Bibirku terbuka tanpa suara. Raka malah terkekeh rendah lalu membisikkan di telingaku dengan nada penuh tantangan.
Namun bisikan itu justru terdengar begitu erotis di telinga Raka. Ia semakin nekat dan jari-jarinya bergerak lebih cepat didalam celana hingga membuat tubuhku merinding hebat. Pelanggan itu terlihat makin kikuk. Tangannya sudah memegang barang yang ingin dibeli tapi seolah enggan beranjak. Matanya terpaku ke arah kami.
Aku menutup wajahku dengan satu tangan ingin menenggelamkan diri dari rasa malu. Tapi tubuhku mengkhianati. Pinggulku sedikit terangkat mengikuti ritme dorongannya. Raka tersenyum miring ke arah pelanggan itu lalu dengan suara cukup keras untuk terdengar ia berkata.
Pelanggan itu membelalakkan mata seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wajahnya memerah tapi tidak bergerak pergi. Justru ia menatapku lebih lama seolah terperangah.
Pelanggan itu sempat berdehem dan wajahnya masih agak tegang lalu bertanya pelan sambil melirik ke arahku yang tubuhnya masih ditahan Raka di lorong sempit.
"Ehh mas jaga sikap dong. Masa di tempat umum main grepein cewek kayak gitu. ucapnya dengan nada keberatan.
"Saya bukan grepein dia pak. Tapi saya lagi geledah badannya soalnya saya curiga dia ngambil sesuatu. Sahut Raka dengan santai.
"Eh emang bener Mas. Cewek ini nyolong barusan. Tanya pelanggan itu dengan nada heran.
Raka langsung menyeringai lalu tangannya menekan pinggangku makin kuat.
"Iya Mas. Saya sendiri yang liat. Dia selipin barang kedalam celananya.. Udah jelas-jelas maling. Padahal muka imut badan seksi begini eeh.. ternyata kelakuannya kayak gitu. Katanya sambil menahan tubuhku agar tidak bergerak.
Pelanggan itu melirikku dari atas sampai bawah. Tatapannya penuh penilaian lalu ia terkekeh kecil. "Nggak nyangka ya. Cina seksi begini ternyata bisa nyuri juga. Ucapnya dengan nada mengejek.
Aku hanya bisa menunduk dengan wajah panas menahan malu. Raka menahan kepalaku agar tetap mendongak memaksaku menatap ke arah pelanggan.
"Daripada nyuri Mbak mending sekalian aja jadi jablay. Kalau emang butuh duit tinggal buka paha. Nggak usah repot-repot maling di minimarket" katanya sambil terkekeh.
Aku tercekat dan bibirku bergetar ingin membantah tapi suaraku hilang. Ia mencondongkan tubuhnya hampir sejajar dengan wajahku. Senyumnya melebar penuh nafsu.
"Kalau kamu jadi jablay beneran aku pasti jadi pelanggan tetapmu. Tiap hari aku setor peju ke rahimmu sampai penuh. Gimana lebih enak kan daripada nyuri barang receh. Ucapnya sambil menatap tajam.
Kata-kata kasar itu menghantam telingaku dan membuat tubuhku makin bergetar antara malu takut tapi juga ada aliran panas yang sulit kuingkari. Aku akhirnya memberanikan diri membuka suara meski suaraku bergetar.
"Pak saya bukan pencuri. Kataku lirih nyaris memohon.
Pelanggan itu langsung menyipitkan mata dan mulutnya miring mengejek.
"Hah mana ada sih pencuri yang ngaku. Semua maling juga kalau ditanya pasti bilang bukan saya. Sahutnya dengan nada meremehkan.
Aku tersentak. Wajahku semakin panas dan napasku tersengal. Raka di sampingku terkekeh rendah lalu menempelkan tubuhnya di punggungku dan menoleh ke arah pelanggan.
"Udah lah Pak nggak usah berdebat terus. Mendingan bapak sekalian aja bantu saya geledah badannya biar ketahuan jelas dia nyimpen barang curian di mana" ucap Raka dengan santai.
Pelanggan itu mengangkat alisnya lalu tatapannya berubah liar.
"Geledah badannya" katanya sambil tertawa pendek. "Heh kalau cara geledahnya begitu saya paling jago Mas"
Tangannya mulai bergerak mendekat ke arahku. Aku mundur setengah langkah tapi pinggangku langsung dicengkeram keras oleh Raka menahanku agar tetap di tempat. Tubuhku bergetar hebat dan jantungku berdetak kencang tak karuan.
Pelanggan itu menatapku dengan senyum sinis.
"Kamu tenang aja Neng. Kalau bener nggak nyuri ya ketahuan. Tapi kalau sampe ada barang yang nyelip di badanmu ya siap-siap aja dihukum. Ucapnya sambil melirik penuh maksud.
Tubuhku kaku ketika Raka menekan bahuku hingga aku bersandar ke rak minuman dingin. Mataku membulat apalagi ketika bapak pelanggan itu makin mendekat. Ia melipat tangan di dada sambil mengamati tubuhku.
"Pak saya bukan pencuri. Suaraku bergetar hampir berbisik.
Bapak itu terkekeh.
"Heh mana ada maling ngaku. Apalagi maling seksi kayak kamu. Daripada nyuri mending jadi jablay aja. Kalau kamu mau tiap hari gue setor peju dijamin nggak bakal kekurangan duit. Katanya sambil menelanjangiku dengan tatapan.
Pipiku panas bukan cuma karena malu tapi ada sesuatu di dalam diriku yang bergetar aneh dan berbahaya. Raka tersenyum miring. "Udah nggak usah banyak alasan !! Sekarang badanmu mau kita periksa. Biar semuanya jelas.. Bener kan pak ? Katanya sambil menoleh.
Bapak itu mengangguk cepat dengan mata berbinar. "Betul. Pencuri harus digeledah seluruh badan. Satu-satu dari atas sampai bawah. Ucapnya mantap.
Tanganku refleks ingin menutup dada dan pahaku tapi Raka langsung menepisnya.
"Jangan berontak. Ini konsekuensinya. Kamu yang bikin permainan ini jadi panas. bisiknya kasar di telingaku.
Aku gemetar ketika tangannya mulai menelusuri pinggangku lalu masuk ke dalam kaos ketatku. Bapak itu makin mendekat sambil mengawasi dengan napas berat.
"Waduh.. ternyata amoy tuh badannya mulus banget ya. Daripada nyuri mending jadi lonte aja non. Pasti banyak lelaki yang pengen antri buat nyicipin. Hehe.. Katanya sambil terkekeh.
"Hmmm iya apalagi di balik bra-nya tuh. Sana bang angkat aja biar jelas. Katanya bernafsu.
Aku menjerit kecil ketika kaos ketatku yang berwarna putih terangkat paksa. Udara dingin minimarket langsung mengenai kulitku dan mata mereka langsung menatap dengan buas.
"Waduh.. jarang banget loh ada pencuri yang sipit dan mulus kayak gini.. biasanya yang ketahuan mencuri kan yang badannya dekil. Hehe..
Raka mulai menurunkan tangannya ke celana pendek hitamku dan meraba kasar sepanjang pinggang hingga ke pangkal paha.
"Harus dicek sampai sini juga siapa tahu dia sembunyikan barang kecil di dalam celananya. Kata Raka datar.
“Betul bang. Sahut bapak itu cepat lalu mendekat dengan tatapan yang melecehkan.
“Waduh.. bang. Ternyata paha amoy licin banget ya.. Kayaknya dia cuma pura pura mencuri aja disini. Padahal sebenarnya pengen ngerasain digeledah kayak gini.
“Lihat pak. katanya sambil menoleh. “Saya curiga dia sembunyiin barang curian di sini.
Bapak itu mendekat, matanya menyapu liar tubuhku sambil terkekeh.
“Cina seksi begini kok bisa nyuri, ya? Sayang banget. Mendingan kamu jadi jablay aja neng kalau butuh duit.
Aku menggigit bibir, wajahku memanas. “Pak… saya beneran bukan pencuri…” bisikku gemetar.
Pelanggan itu menyeringai.
“Mana ada maling ngaku? Udah jelas kamu perlu diberi pelajaran.
Raka mendorongku makin keras ke rak, tangannya meraih pinggang celana pendekku.
“Betul, Pak. Nggak usah ribut lagi. Kita periksa aja langsung. Bantu saya geledah badannya.
Dengan kasar ia menurunkan paksa celana pendekku sampai melorot ke lutut, memperlihatkan celana dalam tipis yang sudah lembap menempel di kulit.
Pelanggan itu jongkok, menatap paha putihku yang kini terbuka.
“Wih… basah sendiri, Mas. Ini bukan maling kayaknya tapi perempuan nakal.
Tangannya mengusap kasar permukaan celana dalamku. Aku tersentak, mencoba menepis, tapi Raka menahan kedua pergelanganku di atas kepala.
“Diam.. bisiknya serak. “Tubuhmu udah jujur sendiri.
Aku menggigit bibir, tubuhku bergetar hebat, dada naik turun cepat. Celana pendekku akhirnya ditarik lepas hingga jatuh ke lantai. Aku berusaha merapatkan paha, tapi pelanggan itu langsung menekan bahuku agar tak bergerak.
“Kalau maling biasanya sembunyiin barang. Tapi ini malah basah,” ia terkekeh sambil menepuk pahaku.
Raka menunduk, menciumi leherku, tangannya meremas dadaku.
“Sudahlah… berhenti bohong. Kalau kamu bersih, kenapa tubuhmu sudah begini?”
Dengan tarikan kasar, bra-ku ikut terlepas. Buah dadaku terekspos di hadapan pelanggan itu. Ia bersiul rendah.
“Gila… montok banget. Cina kayak gini lebih baik jangan dihukum tapi dimanfaatin.
Raka melumat salah satunya tanpa ampun, membuatku melengkung dan mengerang lirih. Tangan pelanggan tak kalah rakus, langsung mencubit sisi satunya. Tubuhku bergetar, suara kecil lolos dari bibirku.
“Periksa bawahnya, Pak,” kata Raka sambil masih menahan tanganku.
Pelanggan itu menyeringai, lalu meraih celana dalamku. Dengan tarikan kasar, kain tipis itu melorot hingga tersingkap seluruh kewanitaanku. Aku terpekik kecil, paha mencoba merapat, tapi langsung dipaksa terbuka.
“Wih, Mas… udah banjir. Mana ada maling basah kayak gini? Ini jelas-jelas jablay yang nyari masalah.” Ia mengusap kasar celah itu dengan jari-jarinya, membuatku menjerit lirih.
Raka mencengkeram rambutku, memaksa wajahku menatap lurus ke pelanggan. “Dengar sendiri lus? Bahkan bapak ini bilang begitu. Kamu perempuan nakal yang haus dihukum. Aku menggigit bibir, tubuhku bergetar tak terkendali. Antara malu, takut, dan rasa asing yang justru membuatku semakin tenggelam.
Senyumnya bengis, matanya menatap tajam ke arahku. Tubuhnya menekan dari depan, mendorongku semakin dalam ke rak display besi yang berguncang keras setiap kali ia menghajar. Suara hentakan tubuh dan napas berat bercampur jadi satu dengan suara barang jatuh di sekitarku.
Aku mengerang parau, tangan meraba rak mencari pegangan. Setiap gerakannya membuatku tersentak, dadaku naik turun cepat, wajahku panas bercampur keringat dan air mata. Raka berdiri di samping sambil tertawa rendah, menikmati pemandangan kacau di depannya.
"Ayo Lus, jangan pura pura lagi. Badanmu sendiri yang minta diperlakukan kayak gini" katanya sambil menepuk pipiku keras.
Aku hanya bisa terengah, tubuhku bergetar hebat, terperangkap antara rasa malu dan gelombang panas yang makin sulit kutahan. Rak di belakangku terus berderak, seakan siap roboh kapan saja.
Tiba-tiba tubuhku diputar kasar olehnya. Aku yang masih berdiri menghadapnya dibalik hingga kini memunggunginya. Nafasku tercekat dan tubuhku terdorong ke depan, kedua tanganku spontan berpegangan kuat pada tepian rak display di depanku agar tidak jatuh. Punggungku kini menghadap tepat ke arahnya sementara dadaku menempel setengah ke rak yang berderak pelan menahan beban.
Pinggulku ditarik mundur secara paksa. Tubuhku langsung tersentak saat hentakan-hentakan brutal kembali menghajar dari belakang. Suara dentuman tubuh kami bercampur dengan derak besi rak yang berwarna putih membuat seluruh lorong terasa bergemuruh.
Barang-barang di rak berguncang hebat, bungkus makanan, botol, dan kotak kecil berjatuhan menimbulkan suara gaduh di sekitarku. Kepalaku terhentak ke kanan dan kiri tanpa kendali mengikuti irama dorongan yang makin cepat. Rambutku berantakan menutupi sebagian wajahku, keringat bercucuran hingga menetes ke rak yang kupegang erat-erat.
Nafasku tersengal, dadaku naik turun liar, sementara tubuhku bergetar hebat menahan hantaman yang datang tanpa henti. Jemariku mencengkeram tepian rak semakin kuat, buku-buku jariku memutih karena tekanan. Kakiku goyah, lututku gemetar, namun genggamanku di rak tetap menahan agar tubuhku tidak ambruk.
Setiap hentakan membuatku terangkat sedikit dari lantai lalu terhempas kembali, membuat rak bergetar semakin keras. Suara barang berjatuhan, napas berat, dan erangan kecil bercampur jadi satu memenuhi lorong minimarket yang kacau.
Dorongan itu makin lama makin cepat, makin keras, hingga rak di depanku bergetar seakan akan roboh. Tanganku mencengkeram kuat, tapi tubuhku tak bisa lagi mengikuti irama yang begitu liar. Nafasku terputus-putus, mataku berair, kepalaku terhentak ke depan setiap kali tubuhku diguncang.
Keringat bercampur air mata mengalir di wajahku, rambutku menempel berantakan di pipi. Suara eranganku pecah jadi desahan panjang, tidak lagi bisa kutahan. Setiap hentakan membuat tubuhku menegang lalu lemas kembali, berulang-ulang hingga kakiku hampir tidak sanggup menopang.
Barang-barang terus berjatuhan, sebagian menimpa kepalaku dan berserakan di lantai, menambah riuh suasana. Lorong minimarket kini kacau balau, penuh suara berderak, napas kasar, dan lenguhan yang tidak bisa dipadamkan.
Pelanggan itu akhirnya meraung pendek dengan wajah menegang, cengkeramannya di pinggangku semakin dalam. Tubuhnya menghantamku sekali lagi dengan keras sebelum akhirnya ia terdiam, hanya napas beratnya yang terdengar memburu di belakangku.
Aku terkulai, kedua tanganku masih berpegangan pada rak yang hampir roboh. Kakiku gemetar hebat, tubuhku basah oleh keringat, nafasku terengah-engah, tapi ada sensasi panas yang membakar di seluruh tubuhku.
Giliran Raka Memberi Hukuman
Aku masih terkulai membungkuk di depan rak. Kedua tanganku gemetar hebat, masih berpegangan erat pada tepian kayu agar tidak jatuh. Nafasku tersengal, keringat menetes deras, rambutku berantakan menutupi wajahku. Rak di depanku hampir roboh, barang-barang berserakan di lantai, membuat lorong minimarket tampak porak poranda.
"Kayaknya hukuman ini masih belum cukup untuk pencuri cantik sepertimu. Gumam pelanggan itu sambil menyeka keringatnya. Ia menoleh ke samping, matanya melirik Raka yang sejak tadi hanya menyaksikan dengan senyum miring.
Raka Memberi Hukuman
Raka terkekeh pendek lalu melangkah mendekat. Tangannya meraih rambutku, menarik kepalaku ke atas dengan kasar.
“Udah puas pak? Kalau gitu sekarang giliran saya yang kasih hukuman buat amoy nakal ini. Katanya dingin.
Aku mendesah lemah. Tubuhku masih goyah dan lututku hampir tak sanggup menopang. Namun genggaman Raka di rambut membuatku kembali terangkat, dipaksa menatap wajahnya yang penuh nafsu.
Raka menyeret tubuhku sedikit ke tengah lorong minimarket, tepat di antara rak-rak yang sudah berantakan. Dengan satu tarikan kasar di rambut, ia memaksaku turun hingga kedua telapak tanganku menempel di lantai yang dingin. Lututku sempat goyah, tapi ia mendorong punggungku sampai aku benar-benar membungkuk rendah. Rambut panjangku jatuh terurai, sebagian menutupi wajahku yang panas dan basah oleh keringat.
“Begini lebih pas. Suaranya terdengar puas, penuh dominasi. “Kamu lihat sendiri, lus, semua orang bisa tahu kamu udah nggak lebih dari mainan.
Aku merasakan udara dingin lantai menusuk kulitku, sementara posisiku begitu terbuka—kedua kaki dipaksa mengangkang, bertumpu kuat agar tidak terjatuh. Rasa malu membakar wajahku, seluruh tubuhku terasa hina karena diposisikan seperti itu, seolah benar-benar dipajang tanpa daya.
Tiba-tiba, plak! tamparan keras mendarat di pantatku. Suaranya menggema di lorong sempit, membuatku tersentak dan menjerit pendek. Raka tertawa puas mendengar reaksiku, lalu menampar sekali lagi, lebih keras. Sensasi perih bercampur hangat menyebar di kulitku, membuatku menggigil antara sakit dan gairah yang tak tertahan.
Kedua tangannya kemudian mencengkeram pinggangku erat, posisinya tepat berdiri di belakangku. Dengan hentakan kasar, ia menarik pinggulku sedikit ke belakang, menundukkan tubuhku makin rendah, lalu tanpa peringatan menghujam keras.
“Aaahh!” pekikku pecah, tubuhku tersentak keras ke depan, telapak tanganku terpeleset sedikit di lantai licin karena keringat. Rak-rak di samping berderak, beberapa barang jatuh berserakan menambah kekacauan. Nafasku tersengal, dada naik-turun cepat, rambutku bergoyang liar ke kanan dan kiri setiap kali hentakan itu menghantamku dari belakang.
Raka semakin brutal, tarikan tangannya di pinggang membuat tubuhku terdorong maju lalu ditarik mundur lagi mengikuti irama hentakannya. Suara langkahnya menjejak lantai bercampur dengan derak rak, sementara desahanku makin lama makin tidak terkendali.
Aku merasakan diriku begitu rapuh, tapi juga tak mampu melawan. Seluruh badanku hanya bisa mengikuti arah gempuran itu, sementara genggamanku di lantai semakin erat, kukuku sampai mencakar ubin dingin demi menahan tubuhku agar tidak terjerembab.
Raka mulai menghujam pelan, seolah ingin mempermainkan tubuhku yang sudah lelah. Namun setiap detik gerakannya bertambah cepat, semakin dalam, semakin menghantam hingga membuatku merangkak tanpa kendali. Kedua telapak tanganku menekan lantai licin, lututku bergeser maju, dan pinggulku tetap ditarik mundur olehnya agar tetap terbuka.
“Merangkak, Lus… kayak anjing,” suara Raka berat dan penuh tawa puas, tangannya mencengkeram pinggangku kuat-kuat sambil terus menghajar dari belakang.
Aku terdorong maju sedikit demi sedikit melewati lorong minimarket yang sempit. Rak-rak di sampingku berderak, kaleng dan botol berguling jatuh, sebagian mengenai lenganku. Rambutku terurai ke lantai, wajahku hampir menyentuh ubin dingin setiap kali tubuhku tersentak. Nafasku terengah, dada naik-turun tak terkendali, sementara suara desahan dan erangan bergema di ruang sempit itu.
Batang hitam berurat itu terus menghantam dari belakang, tanpa memberi jeda. Raka sengaja mengaduk-aduk bagian terdalamku, membuat tubuhku bergetar hebat. Setiap hentakan membuatku maju lagi, bergerak merangkak ke depan seolah tubuhku hanyalah mainan yang bisa diarahkan sesukanya.
Lorong minimarket itu makin terasa panjang dan sempit. Setiap kali aku bergerak maju, suara dug dug dug hentakan Raka bergema, bercampur dengan suara benda-benda jatuh di rak. Rasa malu, sakit, dan kenikmatan bercampur jadi satu, membuat tubuhku terasa makin tak berdaya di bawah kendalinya.
Lorong sempit itu jadi jalur panjang penuh derak dan denting. Setiap kali Raka menghentak dari belakang, tubuhku terdorong maju tanpa kendali. Telapak tanganku bergeser di lantai licin, kedua kakiku menyeret maju sementara pinggulku tetap ditarik mundur olehnya agar tak lepas dari gempuran.
Aku merangkak dengan posisi berdiri membungkuk kedepan dan menungging, rambut panjang terurai ke bawah, sebagian menempel di ubin yang dingin dan kotor. Nafasku memburu, dada naik turun, dan keringat bercampur dengan debu yang menempel di kulitku. Setiap hentakan membuatku semakin merosot ke depan, mendekati ujung lorong, seolah tubuhku digiring paksa hanya dengan dorongan kasar dari belakang.
Rak di kiri dan kanan bergetar keras saat bahuku beberapa kali membentur tepian kayu. Barang-barang kecil jatuh bergelinding, botol plastik terinjak, bunyinya pecah di bawah telapak tanganku yang berusaha menjaga keseimbangan. Tapi aku tetap merangkak, maju terus, karena pinggangku terus digenggam erat dan ditarik sesuai irama brutal Raka.
Kepalaku terhentak ke kanan-kiri mengikuti ritme hentakan, pandanganku berkunang, bibirku terbuka lebar mengeluarkan erangan lirih yang tak bisa kutahan. Semakin jauh aku bergerak di lorong itu, semakin terasa betapa posisiku begitu rendah, begitu dipaksa tunduk. Namun tubuhku tetap merespons, terus maju sambil menahan derasnya guncangan dari belakang.
Raka akhirnya menghentikan dorongan maju yang memaksa tubuhku merangkak. Ia menahan pinggangku di satu titik, menekanku tetap menungging di lantai lorong. Kedua tangannya mencengkeram kuat, lalu batangnya yang sudah basah dan licin kembali menghujam masuk dengan keras, menimbulkan suara kecipak berulang yang menggema di ruang sempit itu.
Setiap hentakan terasa lebih dalam, lebih berat, membuat tubuhku terlonjak ke depan meski telapak tanganku menahan di lantai. Lusi melenguh panjang, tubuhnya bergetar, napasnya patah-patah. Raka ikut mengerang, desahannya kian berat, sorot matanya memanas.
Saking nikmatnya, kepala Raka mendongak ke atas, urat-urat lehernya menegang. Rahangnya terkatup kuat, sementara gerakannya justru makin liar, makin dalam. Suara hantaman pinggul yang bertubrukan dengan pantat Lusi berpadu dengan kecipak basah, menciptakan irama brutal yang memenuhi lorong minimarket yang sumpek itu.
Pelanggan Itu Kembali Bergabung
Pelanggan yang tadi sempat mundur kini kembali terangsang. Aku melihatnya menarik napas kasar, lalu menjatuhkan tubuhnya duduk mengangkang di lantai, tepat di depanku yang masih menungging dengan tubuh terguncang hebat. Dari belakang, Raka tak berhenti menghantam, setiap hentakannya membuat nafasku tersengal dan tubuhku maju-mundur tanpa kendali.
Pria itu meraih batangnya sendiri, menggenggam erat sambil mengocok pelan. Tatapannya panas menusuk ke arahku, menelusuri wajahku yang sudah berantakan oleh peluh dan rambut panjang yang menjuntai. Dengan suara berat ia berbisik, “Isepin, Non…”
Aku mendongak, wajahku kini tepat sejajar dengan selangkangannya. Batangnya yang keras digenggamnya, lalu diarahkan ke bibirku. Nafasku kacau, tapi dorongan kasar dari belakang memaksa tubuhku terus terdorong maju. Ujung batangnya menyentuh bibirku, rasa asin dan hangat langsung menyeruak. Aku membuka mulut, perlahan mengulum, meski kepalaku terus terdorong ke depan setiap kali Raka menghujam lebih keras dari belakang.
Pelanggan meringis nikmat, jemarinya menahan belakang kepalaku agar tidak bisa mundur. “Bagus… begitu…” desisnya, napasnya memburu. Lidahku bergerak lincah di sekeliling batangnya, meski tersendat-sendat karena tubuhku terus terhentak ke depan.
Raka terkekeh rendah di belakang, genggamannya di pinggangku makin kuat, seolah sengaja menghantam lebih dalam agar aku makin kewalahan. Suara kecipak basah dari belakang berpadu dengan suara isapanku yang makin keras, menciptakan irama liar yang memenuhi lorong sempit minimarket itu bersama erangan dua pria yang tak terbendung.
“Ahhh… keluar, Non…!” desisnya parau.
Sekejap kemudian, mulutku dipenuhi semburan panas dan kental. Aku tersedak, cairan itu memancar deras ke lidah dan tenggorokanku, menetes keluar melewati bibirku yang masih melumat. Aku meringis, sebagian terpaksa kutelan, sebagian lagi bercucuran membasahi dagu dan rambut panjangku yang terurai ke lantai. Pelanggan itu jatuh terduduk, napasnya terengah, sementara tangannya melepas genggaman di kepalaku.
Aku belum sempat mengatur napas ketika dorongan Raka dari belakang makin brutal. Pinggulku ditarik kuat, hentakannya makin dalam dan cepat. “Hhh… badan lo enak banget, Lus…” geramnya. Tubuhku gemetar hebat, sensasi panas merambat dari perut bawahku hingga ke seluruh tubuh. Aku tak kuasa menahan, suara lenguhan panjang lolos dari bibirku.
“Uhhh… aku… aku keluar…!” jeritku, tubuhku melengkung ke depan, telapak tanganku menghantam keras lantai dingin lorong minimarket itu. Tubuhku bergetar liar, orgasme menerjangku habis-habisan, membuat nafasku terputus-putus dan mataku berkunang.
Raka justru semakin menggila, menghujam tanpa henti, seakan ingin menyalurkan semua tenaganya. “Anjing… gue nggak tahan lagi!” raungnya. Dengan hentakan terakhir yang menghujam dalam, tubuhnya menegang keras. Suara erangannya membelah lorong, lalu semburan panas memancar deras, memenuhi liangku hingga aku meringis, merasakan hangatnya menumpahi dalam tubuhku.
Kami bertiga terkulai, napas berat bercampur dengan bau keringat dan cairan yang memenuhi udara sempit minimarket. Lantai dingin, rak yang berantakan, dan tubuhku yang masih gemetar jadi saksi betapa liarnya permainan itu berakhir.
Begitu Raka menghela napas panjang, tubuhnya masih menempel di punggungku yang lelah, ia langsung menarik diri lalu terkekeh kecil. Dengan suara serak, ia menoleh ke arah gudang kecil di ujung lorong.
“Andi! Bimo! Cepet sini, ada yang enak banget!” teriaknya lantang.
Dari gudang terdengar suara berisik—gesekan kursi, langkah terburu-buru. Tak lama kemudian, Andi dan Bimo muncul dengan wajah penuh penasaran. Begitu melihatku yang masih menungging di lantai lorong, rambut kusut menutupi wajah, tubuh bergetar lemas dengan cairan hangat mengalir di antara pahaku, tatapan mereka langsung berubah liar. Senyum nakal muncul di bibir keduanya.
Sementara itu, pelanggan yang tadi sudah puas berusaha bangkit dengan napas masih memburu. Celananya belum sepenuhnya terpasang saat ia berjalan pincang ke arah pintu kaca minimarket. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu yang memang tidak terkunci, lalu menjulurkan kepala keluar sambil melambai heboh.
“Bro, sini! Cepet!” teriaknya terbata, suaranya serak bercampur sisa gairah.
Di luar, seorang tukang parkir berkaus lusuh dengan tubuh kekar terbakar matahari langsung menoleh penasaran. Di sampingnya, seorang pemuda berjaket ojol ikut menoleh, matanya menyipit begitu melihat apa yang terjadi di dalam. Keduanya saling pandang sejenak, lalu melangkah cepat mendekat dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
Dari posisiku di lantai, aku bisa melihat jelas wajah mereka menempel di kaca pintu. Tatapan haus itu menusukku, membuatku semakin merinding. Tukang parkir itu menyeringai lebar, sementara si ojol terlihat menelan ludah keras-keras, jelas terangsang dengan pemandangan yang mereka saksikan.
Raka hanya terkekeh rendah, melangkah mendekat ke pintu lalu menariknya lebih lebar. Udara malam langsung menyeruak masuk, membawa aroma jalanan bercampur asap kendaraan.
“Masuk lo berdua…,” kata Raka dengan nada licik, memberi isyarat dengan tangannya. “Malam ini belum kelar.”
Andi dan Bimo terkekeh, saling pandang dengan senyum geli. Dua pria baru itu pun akhirnya melangkah masuk, mata mereka langsung mengarah padaku yang masih menunduk di lantai. Tubuhku gemetar, sadar betul kalau giliran berikutnya sudah menunggu.
Sip, aku tambahkan adegan basa-basi biar lebih natural sebelum mereka ikut masuk ke alur:
Tukang parkir itu masuk lebih dulu, langkahnya santai tapi tatapannya liar. “Wah, rame amat di dalem…” katanya sambil terkekeh, matanya tak lepas dariku yang masih terengah di lantai.
Pemuda ojol mengikuti di belakang, menutup pintu kaca pelan. Ia sempat melirik kanan-kiri, lalu mendekat sambil berbisik, “Gila… ini beneran? Gue kira tadi cuma halu pas liat dari kaca.”
Andi menepuk bahu tukang parkir, tertawa kecil. “Santai aja, bro. Malam ini kita lagi ada… hiburan spesial.”
“Ya ampun, mana dapet beginian gratis pula,” tukang parkir menimpali dengan senyum penuh nafsu.
Raka yang masih berdiri dekatku mengangkat dagunya, menunjuk ke arahku. “Nih, liat sendiri. Amoy cantik ini udah siap main sama siapa aja. Tinggal kalian mau ikutan atau cuma nonton.”
Si ojol menelan ludah lagi, wajahnya memerah. “Asli, gue udah nggak kuat nahan. Baru ngeliat tadi aja rasanya udah mau meledak.”
Tukang parkir yang dari tadi berdiri di sampingnya tiba-tiba menyipitkan mata, wajahnya penuh ragu. “Lah… bukannya ini anaknya penjual bakmi di Jalan Mangga?” katanya setengah tak percaya, matanya tak lepas menatapku yang masih menunduk di lantai.
Aku sontak gemetar mendengarnya. Rasa malu dan panas bercampur jadi satu, membuat pipiku terbakar.
Si ojol menoleh cepat. “Serius, Bang? Yang di dekat perempatan itu?”
Tukang parkir mengangguk pelan, masih menatapku dengan ekspresi antara kaget dan takjub. “Iya… gue sering liat dia kalau beli jajan sore-sore. Nggak nyangka… anak itu polos banget mukanya. Kalem, pendiem. Siapa sangka bisa kayak gini…”
Andi menyeringai lebar, matanya berkilat nakal. “Justru itu yang bikin makin panas, kan? Muka kalem, badan kecil gini, tapi ternyata doyan juga.”
Bimo ngakak keras, menepuk bahu tukang parkir. “Udah lah, Bang. Kadang yang keliatan polos malah yang paling liar. Buktinya ada depan mata.”
Aku hanya bisa menunduk makin dalam, tubuhku bergetar. Tatapan mereka menusukku dari segala arah, dan semakin lama basa-basi itu berlangsung, aku semakin sadar kalau sebentar lagi tubuhku akan jadi rebutan.
Tukang parkir masih berdiri terpaku, matanya tak lepas dari tubuhku. Wajahnya antara bingung, terkejut, tapi juga jelas-jelas terangsang. “Gila… nggak kebayang sama sekali. Gue kira anak bakmi itu nggak pernah neko-neko…” gumamnya.
Si ojol meneguk ludah, langkahnya maju setengah. “Bang, kalo dilihat-lihat… malah makin bikin penasaran. Boleh kan nyoba dulu?” tanyanya, suara bergetar karena nafsu.
Raka yang berdiri di belakangku hanya terkekeh pendek. “Coba aja. Malam ini semua bisa kebagian.”
Aku terperangah, tubuhku makin gemetar. Kedua pria itu saling pandang sebentar, lalu tukang parkirlah yang pertama mendekat. Tangannya kasar, penuh bekas kapalan, tiba-tiba menyentuh pipiku. Aku reflek mengangkat wajah, menatap matanya sekilas. Ada ragu di sana, tapi lebih kuat nafsu yang sudah nggak terbendung.
“Anjrit…” desisnya pelan sambil mengusap rambutku yang berantakan. “Beneran lo mau kayak gini?”
Aku tak sanggup menjawab. Hanya bisa terengah, tubuhku masih terasa panas dan lelah setelah digempur Raka tadi.
Tiba-tiba si ojol ikut berjongkok di sampingku, matanya liar menelusuri dada dan wajahku. Tangannya langsung meraih bahuku, mengusap pelan lalu turun ke lenganku. “Halus banget… asli bikin nagih,” katanya sambil mendekatkan wajah.
Aku merinding, tak tahu harus lari atau pasrah. Dua pasang tangan asing kini mulai berani menelusuri tubuhku, satu di pipi dan rambut, satu lagi di bahu dan lengan.
Si tukang parkir yang dari tadi cuma membelai rambutku akhirnya nggak tahan lagi. Dengan kasar ia membuka resleting celananya sendiri, lalu mengeluarkan batangnya yang sudah keras. “Nih, Non… coba pake mulutmu,” ucapnya serak, nadanya antara memaksa dan menantang.
Si ojol tak mau kalah. Ia juga buru-buru menurunkan celananya, wajahnya memerah menahan nafsu. “Gue juga. Ayo, cepetan…” katanya dengan napas terburu-buru.
Aku terbelalak, mundur sedikit, tapi tangan mereka berdua langsung menahanku. Tukang parkir meraih tengkukku, menekan pelan agar aku berlutut di lantai. Si ojol ikut menahan pundakku. Tubuhku lemas, akhirnya aku jatuh berlutut tepat di depan dua batang keras yang berdiri tegak di hadapanku.
“Pilih yang mana duluan?” ejek si tukang parkir sambil menggeser batangnya dekat ke wajahku.
Aku gemetar, bibirku terbuka sedikit tanpa sadar. Si ojol sudah tak sabar, mendorong pelan kepalaku ke arahnya. “Mulut manis begini sayang kalo diem aja,” desisnya.
Dengan terpaksa aku mengulum salah satunya, merasakan keras dan panas menyesaki mulutku. Suara isapan dan desahan langsung terdengar. Sementara itu, yang satunya lagi menunggu giliran, tangannya tak henti mengusap kepalaku agar jangan berhenti.
“Anjir… enak banget,” tukang parkir mendesis puas.
“Gantian, bro, jangan lama-lama,” si ojol menyahut dengan suara serak, matanya merah penuh nafsu.
Aku hanya bisa megap-megap, mulutku sibuk bergantian mengoral batang mereka berdua, sementara dari belakang aku bisa merasakan tatapan Raka dan yang lain makin panas menyaksikan semuanya.
Mulutku terus dipaksa bergantian melayani mereka. Kadang batang tukang parkir yang tebal menghujam masuk begitu dalam sampai aku nyaris tersedak, lalu ditarik keluar dan segera digantikan batang si ojol yang lebih panjang tapi tak kalah keras. Suara isapan dan desahan bercampur jadi satu, memenuhi ruangan sempit itu.
Tukang parkir sudah kelihatan nggak tahan. Tubuhnya menegang, tangannya makin kuat menekan kepalaku. “Sial… gue udah mau keluar!” geramnya. Dalam sekali dorongan, batangnya mengisi mulutku penuh, lalu meledak dengan semburan panas yang deras. Cairannya langsung tumpah ke dalam tenggorokanku, sebagian mengalir keluar membasahi bibir dan daguku.
Aku terbatuk, mataku berair, tapi belum sempat menarik napas lega, si ojol langsung menarik kepalaku ke arahnya. “Sekarang gue… telan semua!” desisnya kasar. Ia menghujam cepat-cepat, dan dalam hitungan detik tubuhnya pun kaku. Semburan hangat lain memenuhi mulutku lagi, lebih banyak, sampai aku hampir tak sanggup menelan semuanya.
Anjir, badan mulus gini… Cina seksi ternyata gampang juga dijinakin.”
Keduanya mengerang panjang, wajah mereka puas setengah mabuk. Aku terduduk lemas di lantai, dagu dan bibirku belepotan cairan, napasku tersengal-sengal. Dari belakang kudengar tawa rendah Raka dan teman-temannya, jelas mereka menikmati tontonan itu.
Setelah puas, tukang parkir dan si ojol mundur sebentar, terengah sambil merapikan celana. Aku terduduk lemas di lantai, tubuh masih bergetar dan dagu belepotan cairan yang belum sempat aku bersihkan. Suasana jadi hening beberapa detik, hanya tersisa suara napas berat yang tak beraturan.
Raka yang sejak tadi berdiri dengan senyum licik akhirnya membuka suara. Ia menepuk bahu Andi dan Bimo sambil terkekeh. “Amoy tuh paling enak dipake rame-rame. Satu-satu nggak bakal cukup.”
Tukang parkir, yang masih duduk bersandar di dinding, ikut menimpali sambil menyeringai. “Bener juga. Dapetin amoy emang nggak gampang. Mereka kan biasanya jaga diri banget. Tapi kalo udah dapet… ya mesti dibagi-bagi biar semua bisa ngerasain.”
Si ojol mengangguk cepat, matanya masih terpaku padaku yang lunglai di lantai. “Asli, gue nggak nyangka bisa nyicipin beginian. Rasanya bikin ketagihan.”
Andi dan Bimo saling pandang, lalu terkekeh puas. “Giliran kita lagi, bro. Jangan keburu capek dulu, Amoy masih bisa dipanasin,” kata Andi sambil melangkah mendekat ke arahku.
Aku hanya bisa menunduk, tubuhku gemetar, sementara mereka semua kini makin berani, tatapan lapar tak pernah lepas dariku.
Ronde Kedua Yang Melelahkan
Andi yang sudah tak sabar langsung maju. Tangannya kasar mendorong bahuku hingga aku terjatuh telentang di lantai dingin. Nafasku memburu dan tubuhku lemas tapi kedua pahaku ditarik lebar tanpa ampun.
"Ayo buka amoy" desis Andi dengan suara berat penuh nafsu.
Aku sempat mencoba merapatkan kaki tapi cengkeramannya terlalu kuat. Ia berlutut tepat di antara pahaku yang terbuka paksa dan wajahnya menunduk dengan tatapan liar. Tanpa basa basi batangnya yang keras langsung menghujam masuk dengan satu hentakan.
"Arghh!" teriakku refleks saat tubuhku tersentak kuat.
Andi menggeram puas. Kedua tangannya menekan pinggangku keras agar aku tidak bisa bergerak. Tubuhku terguncang setiap kali ia menghantam dan hentakannya kasar membuat punggungku menghantam lantai berulang. Suara kecipak cepat memenuhi ruangan bercampur dengan lenguhan kasar dari mulut Andi.
"Uukkhh.. Sialan !! Nih memek bener bener bikin gue ketagihan. Erangnya sambil terus menghajar dalam dalam.
Aku hanya bisa memejamkan mata. Tanganku meremas lantai dan tubuhku pasrah saat ia terus memompa beringas.
Andi masih menghantam dengan kasar sambil menoleh ke teman temannya. "Jangan diem aja bro, amoy lebih nikmat kalau dipake barengan" katanya setengah terengah.
Bimo segera maju lalu duduk tepat di atas dadaku. Ia menjepitkan batangnya di antara payudaraku sambil menggoyang pinggul pelan. "Anjir lembut banget" gumamnya puas.
Raka juga ikut bergerak cepat. Ia mengangkangi wajahku lalu menepuk pipiku dengan batangnya yang sudah keras. "Ayo isep ini" perintahnya sambil menekan batang itu ke bibirku.
Aku hanya bisa megap megap, tubuhku terjepit di antara mereka semua sementara hentakan Andi dari bawah makin brutal.
Andi menghantam semakin keras di bawah, wajahnya memerah menahan nafas. "Gantian bro, jangan rakus sendiri" seru Raka sambil terus menepukkan batangnya ke bibirku.
Bimo ikut terkekeh sambil menggoyangkan pinggul di dadaku. "Santai aja, kita bisa rotasi kok" katanya sambil menarik rambutku pelan agar kepalaku menengadah.
Aku terengah, napasku pendek pendek. Begitu Andi menarik batangnya keluar dengan kasar, Raka langsung menggantikannya dari bawah, menghujam keras hingga aku menjerit lagi. Bimo naik ke kepalaku, memaksakan batangnya masuk ke mulutku yang sudah basah.
Sementara itu tukang parkir dan Reno si ojol ikut maju. Mereka berlutut di samping kanan dan kiri tubuhku, masing masing meraih tanganku yang lemas lalu menempelkannya ke batang mereka yang keras berdenyut. "Pake tangan lo yang halus itu" desis tukang parkir sambil menggenggam telapak tanganku ke batangnya.
Reno menelan ludah keras keras, wajahnya tegang. "Asli, ini mimpi gue jadi kenyataan" katanya sambil mengarahkan tanganku untuk mengocok batangnya pelan.
Tubuhku bergetar, semua lubang dan kedua tanganku dipaksa melayani mereka bergiliran tanpa henti, posisinya tetap sama hanya saja mereka terus berotasi. Ruangan minimarket dipenuhi erangan, hentakan, dan tawa puas pria pria itu.
Aku merasa tubuhku begitu terhina, dipaksa melayani mereka ramai-ramai di lantai dingin itu. Nafasku tersengal, wajahku panas bukan hanya karena lelah tapi juga malu. Aku sadar aku sedang dikeroyok, diperlakukan kasar tanpa ampun, seolah aku hanyalah mainan. Hati kecilku menjerit, namun tubuhku berkhianat.
Bayangan diriku sebagai amoy, oriental dengan kulit putih mulus yang selalu dipandang sopan di jalanan pecinan, kini justru tergolek liar diperas nafsu pria-pria pribumi kasar. Fantasi yang dulu hanya berputar di kepalaku kini nyata terjadi, membuat dadaku berdebar tak karuan.
Aku menggigit bibir, gairahku bangkit begitu kuat hingga kedua tanganku secara refleks mengocok batang tukang parkir dan Reno lebih cepat. Suara erangan mereka meninggi, tubuh mereka bergetar keenakan, dan aku merasa makin terbakar.
Di bawah, setiap sodokan keras Andi membuat pinggulku otomatis menentak-nentak ke atas. Gerakanku semakin liar, mencari kenikmatan lebih besar dari setiap hentakan yang menghantam dalam-dalam. Tubuhku tak lagi bisa berbohong, gairahku meledak, membanjiri rasa hina itu dengan gelombang nikmat yang memabukkan.
Aku merasa tubuhku begitu terhina, dipaksa melayani mereka ramai-ramai di lantai dingin itu. Nafasku tersengal, wajahku panas bukan hanya karena lelah tapi juga malu. Aku sadar aku sedang dikeroyok, diperlakukan kasar tanpa ampun, seolah aku hanyalah mainan. Hati kecilku menjerit, namun tubuhku berkhianat.
Bayangan diriku sebagai amoy, oriental dengan kulit putih mulus yang selalu dipandang sopan di jalanan pecinan, kini justru tergolek liar diperas nafsu pria-pria pribumi kasar. Fantasi yang dulu hanya berputar di kepalaku kini nyata terjadi, membuat dadaku berdebar tak karuan.
Aku menggigit bibir, gairahku bangkit begitu kuat hingga kedua tanganku secara refleks mengocok batang tukang parkir dan Reno lebih cepat. Suara erangan mereka meninggi, tubuh mereka bergetar keenakan, dan aku merasa makin terbakar.
Di bawah, setiap sodokan keras Andi membuat pinggulku otomatis menentak-nentak ke atas. Gerakanku semakin liar, mencari kenikmatan lebih besar dari setiap hentakan yang menghantam dalam-dalam. Tubuhku tak lagi bisa berbohong, gairahku meledak, membanjiri rasa hina itu dengan gelombang nikmat yang memabukkan.
Andi akhirnya melepas genggamannya setelah puas menghantam habis-habisan. Nafasnya terengah, keringatnya menetes ke dadaku. Ia menarik batangnya keluar dengan kasar, membuat tubuhku sedikit terangkat karena hentakan terakhirnya begitu dalam.
“Gila, mantap banget,” desahnya sambil mundur dengan wajah puas.
Bimo langsung maju tanpa menunggu aba-aba. Tangannya menarik kedua kakiku hingga tertekuk, lalu ia menunduk, menempelkan tubuhnya di atasku. “Sekarang giliran gue,” katanya dengan napas berat.
Aku hanya bisa meringis ketika tubuhnya menekan, batangnya langsung menusuk masuk dengan hentakan keras. Aku menggeliat, tetapi pinggangku terkunci kuat olehnya. Bimo menggeram, lalu mulai menghajar cepat.
Raka yang tak sabar segera mengambil posisi di belakang kepala, menjambak rambutku agar wajahku menoleh ke arah batangnya yang sudah menegang. “Jilat dulu, Amoy. Biar makin panas,” perintahnya dengan suara keras.
Sementara itu, si ojol dan tukang parkir saling lirik. Mereka bergeser lebih dekat, menunggu giliran. Salah satunya berkata sambil terkekeh, “Ayo cepetan gantian, biar kita juga bisa ngerasain ketatnya..
Tubuhku yang masih terguncang tiba-tiba dibalik kasar. Bimo menarik pinggangku hingga aku tengkurap di lantai, sementara wajahku menempel dingin ke ubin. Ia segera menindih dari belakang dan tanpa jeda menghujam lagi, hentakannya semakin liar karena posisinya kini lebih leluasa.
“Astaga… makin dalam gini enaknya, Amoy!” geramnya sambil menekan pinggangku keras.
Raka yang tadi menjambak rambutku kini malah duduk di depan wajahku. Ia menekan kepalaku agar mulutku langsung menelan batangnya. Nafasnya memburu, tubuhnya sedikit bergetar saat aku terpaksa menuruti.
Si ojol dan tukang parkir pun tak mau kalah. Mereka berlutut di sisi kanan dan kiri, masing-masing meraih tanganku lalu menekankan batang mereka di telapak tangan. Mereka menggiring gerakan tanganku maju mundur, memaksa agar aku mengocok mereka bergantian dengan cepat.
“Anjir, asli gila! Kayak mimpi bisa dapet Amoy kayak gini,” desis tukang parkir sambil mendesah berat.
Aku merasa tubuhku benar-benar terkepung. Dari belakang Bimo menghajar tanpa ampun, dari depan Raka menjejalkan batangnya ke mulutku, sementara kedua tanganku sibuk mengocok milik ojol dan tukang parkir yang berdenyut panas.
Dalam hatiku ada rasa terhina, tapi bersamaan dengan itu gairahku malah memuncak. Tubuhku bergoyang tak terkendali mengikuti hentakan, dan setiap sentakan pinggulku membuat Bimo menggeram makin puas.
Bimo di belakangku makin beringas, hentakannya dalam dan cepat membuat tubuhku terguncang hebat. Raka di depanku mendorong kepalaku makin dalam hingga batangnya membuatku hampir tersedak. Desahan kasar mereka memenuhi ruangan, bercampur dengan erangan berat tukang parkir dan ojol yang masih bertahan sambil menahan klimaks meski tanganku mengocok batang mereka semakin cepat.
“Uhh… nggak kuat lagi gue, anjrit!” geram Raka sambil menarik rambutku. Dengan satu hentakan terakhir tubuhnya menegang lalu meledak, cairannya menyembur deras memenuhi mulutku. Aku terpaksa menelan sebagian, sisanya tumpah berceceran di dagu dan leherku.
Melihat itu, Bimo di belakang juga meraung panjang. “Sial, gue keluar juga!” Ia menghujam sekali keras lalu menekan pinggangku kuat-kuat. Tubuhnya menegang dan semburan panasnya menghantam dalam-dalam membuatku terpekik tak berdaya. Aku tergeletak lemas di lantai, napasku terengah. Raka dan Bimo mundur sambil terkekeh puas, membiarkan tubuhku masih terbuka tak berdaya.
Tukang Parkir Dan Ojol
Aku masih merangkak di lantai, tubuhku lemas setelah dihajar Bimo dari belakang. Cairan hangat masih menetes di antara pahaku. Kedua tanganku gemetar menopang tubuh, sementara pinggulku masih terangkat tanpa daya. Raka dan Bimo mundur sambil terkekeh puas. Membiarkan aku tetap dalam posisi doggy yang terbuka.
“Sekarang giliran kita bro. Kita bikin nih cina gak bisa ngelupain nikmatnya kontol pribumi. Kata tukang parkir sambil melirik ojol.
Tukang parkir langsung bergerak mendekat lalu menarik pinggangku kasar agar tetap bertahan dengan pantat terangkat. Sementara itu ojol berlutut di depanku, meraih rambutku dan memaksa wajahku mendongak. Batangnya yang keras sudah tepat di depan bibirku, siap dijejalkan masuk.
"Amoy kayak gini sayang kalau nggak dimaksimalin,” bisik tukang parkir dengan suara berat sambil menyiapkan diri menancap dari belakang sementara mulutku dipaksa menerima batang ojol dari depan.
Aku masih bertumpu dengan tangan dan lutut di lantai, tubuhku gemetar lemas tapi pantatku tetap terangkat. Tukang parkir berlutut di belakang, kedua tangannya mencengkeram pinggangku lalu langsung menghujam masuk keras.
“Aarrghh, gila ketat banget!” desisnya sambil menghentak tanpa ampun.
Tubuhku tersentak maju setiap kali batangnya menancap dalam-dalam. Di depanku, ojol meraih rambutku kasar lalu menjejalkan batangnya ke dalam mulutku. Nafasku terhenti sesaat karena mulutku dipaksa penuh.
“Hisep yang dalam, Amoy… ayo!” sergahnya, pinggulnya maju mundur menghajar wajahku.
Aku terjebak di tengah, dipompa brutal dari belakang sementara mulutku dipaksa melayani di depan. Suara kecipak, hentakan, dan erangan mereka bercampur memenuhi ruangan.
Tukang parkir makin menghajar liar, setiap hentakan membuat pinggulku bergetar, sementara tangannya menekan punggungku agar aku tetap merangkak. Di saat yang sama, ojol memegang kepalaku dengan kedua tangannya, mendorong batangnya makin dalam hingga membuatku tersedak.
“Anjir, rasanya mantap banget, bro,” tukang parkir menggeram di belakang.
“Gue juga udah nggak kuat nahan ini,” sahut ojol sambil terus menggempur mulutku.
Aku hanya bisa pasrah, tubuhku terguncang dari dua arah. Rasa terhina bercampur dengan gairah yang meledak-ledak, membuat tubuhku bergetar hebat saat mereka mengeroyokku bersamaan.
Tubuhku masih merangkak di lantai ketika tukang parkir menghajar dari belakang. Cengkeramannya di pinggangku makin kuat, hentakannya semakin cepat hingga akhirnya ia meraung panjang.
“Arghhh… gue keluar juga moy!” desisnya dengan napas terengah.
Ia menekan pinggangku dalam-dalam dan menghujam sekali keras. Semburan panasnya muncrat deras di dalam, membuatku terpekik tak berdaya. Badanku ikut bergetar saat ia menahan tubuhku erat, lalu perlahan ia menarik batangnya keluar dan mundur sambil terengah.
Aku masih tertinggal di posisi merangkak, kedua tanganku lemas menahan beban tubuh di lantai dingin. Paha dan pinggulku terbuka lebar, nafas tersengal-sengal, tubuhku bergetar akibat permainan brutal barusan.
Ojol segera maju mengambil giliran. Ia meraih bahuku, membalik tubuhku kasar hingga aku terbaring telentang. Kaki-kakiku ditarik dan dilipat ke arah dada, membuat posisiku terbuka penuh.
“Sekarang giliran gue moy. Gue nggak bakal kasih ampun. Katanya dengan tatapan panas.
Batangnya langsung menancap dalam sekali hentakan, membuat tubuhku terlonjak dan mulutku mengerang keras.
Batangnya menancap dalam sekali hentakan membuatku terlonjak keras. Kakiku masih tertekuk menempel di dadaku, sementara pinggulku ia tekan kuat-kuat agar tak bisa menghindar.
"Anjiir.. masih peret aja nih memek. Padahal udah dihajar abis abisan sama lu pada. Desisnya sambil menghajar cepat tanpa jeda.
Tubuhku terguncang hebat tiap kali ia menghantam, punggungku berulang kali terbentur lantai dingin. Aku mengerang panjang, antara sakit, lelah, dan gairah yang makin tak terbendung. Tanganku refleks meraih lengannya, bukan untuk menolak, tapi agar aku bisa menahan laju hentakannya yang semakin brutal.
“Lihat tuh mukanya. Kayak lagi keenakan diewe sama lu. Tukang parkir terkekeh sambil duduk di samping. Napasnya masih terengah setelah mencapai klimaks tadi.
Ojol semakin menggila. Keringat menetes dari dahinya jatuh ke dadaku, napasnya memburu kasar. Batangnya keluar masuk cepat membuat suara kecipak basah menggema keras di ruangan itu. Pinggulku refleks ikut terangkat mencari irama, meski aku merasa terhina karena tubuhku pasrah dikeroyok bergiliran.
“Arghhh… gue udah nggak tahan lagi!” raungnya.
Dengan satu hentakan keras ia menancap dalam, tubuhnya menegang kaku. Aku menjerit ketika semburan panasnya memuntahkan deras di dalam, membuatku bergetar hebat. Ia menekan kuat-kuat pinggangku agar tak bergerak, sembari terus mengerang panjang sampai hentakannya melambat.
Tubuhku akhirnya terkulai lemas di lantai, telentang dengan kaki masih tertekuk di dada. Nafasku terengah, rambutku berantakan, dan tubuhku berkeringat basah. Ojol perlahan menarik batangnya keluar sambil terengah, meninggalkanku masih terbuka dan bergetar.
Aku terkulai telentang di lantai, tubuhku masih gemetar hebat setelah digempur bertubi-tubi. Nafasku tersengal, keringat membasahi kulitku, sementara kakiku perlahan aku luruskan karena sudah terlalu pegal ditekuk sejak tadi.
Ojol mundur sambil terkekeh puas, lalu menjatuhkan diri duduk ke lantai. Tubuhnya basah keringat, dadanya naik turun cepat. Tukang parkir menyandarkan punggungnya ke dinding, masih terengah sambil menyalakan rokok. Bau asap bercampur dengan aroma tubuh basah dan keringat yang memenuhi ruangan.
Raka dan Bimo sudah lebih dulu duduk menyandar, wajah mereka merah karena lelah tapi puas.
"Bener bener gak tahan gue kalau maen sama amoy. Kata Tukang parkir sambil tertawa kecil.
Aku sendiri hanya bisa berbaring, rambutku berantakan menutupi wajah. Rasa lelah dan pegal bercampur dengan degup jantung yang belum juga tenang. Tapi di sela-sela itu, ada getaran aneh di tubuhku, gairah yang seolah belum padam meski sudah begitu dikuras.
Ruangan menjadi hening sesaat, hanya terdengar suara napas berat masing-masing. Semua tampak menikmati jeda singkat itu, menunggu tenaga pulih sebelum giliran berikutnya.
Diatas lemari pendingin es krim
Obrolan mereka masih diselingi tawa, tapi mata tukang parkir tiba-tiba kembali terpaku ke arah tubuhku yang masih telentang lemas. Batangnya perlahan bangkit lagi, semakin keras melihat kulitku yang putih kontras dengan lantai gelap minimarket.
“Ayo non, kita lanjutin lagi. Gue masih belom puas nikmatin badan lu yang putih ini,” katanya sambil bangkit berdiri.
Ia menghampiri lalu menjambak rambutku kasar, menarik kepalaku ke atas hingga aku terpaksa bangun. Tubuhku masih goyah, tapi cengkeramannya membuatku tak bisa melawan.
“Berdiri !! Cina kayak lu emang perlu dilatih buat muasin pribumi. Katanya sambil menyeringai buas. Matanya menelanjangiku lagi tanpa berkedip.
Aku terhuyung bangun dengan kaki gemetar. Tanpa banyak bicara, ia menyeretku ke arah lemari pendingin es krim di sudut ruangan. Tubuhku terhuyung lalu dadaku membentur pintu kacanya yang dingin, kontras dengan panas tubuhku yang masih terbakar.
Kaca lemari mulai berembun karena kulitku yang telanjang menempel di atasnya. Aku menelungkup dengan dada terhimpit, napasku terengah. Rambutku masih dijambak ke belakang, membuat wajahku terangkat. Dari kaca itu aku bisa melihat bayangan tubuhku sendiri. Bayangan seorang perempuan Cina yang tampak hina, telanjang, pasrah, dan diperlakukan kasar di tempat umum.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang keras menyentuh dari belakang. Tubuhku langsung tegang, jari-jariku mencengkeram sisi lemari. Tukang parkir berdiri rapat menekanku, pinggulnya menghantam keras dan membuat nafasku tersengal. Suara tawanya kasar di telingaku.
Aku menggelinjang, mencoba menahan. Tapi begitu hentakan pertama masuk begitu dalam, mulutku terbuka menjerit tertahan. Tubuhku terdorong ke depan tapi kaca dingin menahanku.
"Badan amoy yang putih gini emang paling cocok buat dijadiin pelampiasan. Kata Tukang parkir.
Tukang parkir menggenggam pinggangku kuat, hentakannya makin keras. Lemari es ikut bergetar setiap kali ia menghujam. Aku bisa merasakan betapa brutalnya setiap dorongan, perutku tertekan ke kaca, payudaraku melebar, dan embun kaca menempel di kulitku.
Aku menggeliat, air mataku menetes. Bukan hanya sakit tapi juga sensasi liar yang menjalar tanpa bisa aku cegah.
Aku hanya bisa merintih, wajahku merah dan nafasku tidak beraturan. Belum sempat aku pulih dari hantaman bertubi itu, tukang parkir menarik batangnya keluar dengan kasar lalu menepuk bokongku keras.
"Memek cina seketat gini bikin gue ketagihan," katanya sambil terengah.
Tubuhku langsung goyah ketika ia menarik batangnya keluar begitu saja. Ada kekosongan mendadak yang menusuk, membuat rahimku seakan berteriak minta diisi lagi. Aku hampir roboh kalau saja genggamannya di pinggangku tidak masih menahan.
Aku menoleh sedikit, bingung, napasku masih tersengal. “K-kenapa…,” suaraku nyaris tak terdengar, lebih mirip isakan.
Tukang parkir hanya menyeringai, keringatnya menetes deras dari pelipis.
“Tenang aja, gue belum kelar, Moy. Gue cuma pengen bikin lo makin gila nungguin gue masukin lagi.”
Tangannya menepuk-nepuk bokongku, keras dan penuh kuasa. Lalu ia menggesek-gesekkan batangnya yang masih keras di celahku, sengaja membuat tubuhku menggeliat tanpa sadar. Setiap gesekan meninggalkan rasa panas yang menjalar, tapi tetap tak kunjung menusuk ke dalam.
Aku menggeliat, tanganku gemetar menekan kaca. Tubuhku bergetar, antara malu, sakit, dan haus akan dorongan yang tadi tiba-tiba hilang.
“Jangan… jangan mainin aku kayak gini…” suaraku tercekat, tapi tubuhku justru mendorong pinggulku ke belakang, mencari-cari lagi.
Tukang parkir tertawa rendah, kasar.
“Nah gitu dong. Badan lo sendiri yang minta, kan? Baru sebentar ditarik keluar udah kayak kecanduan.”
Ia lalu kembali menempelkan ujungnya di bukaan yang masih basah, menekan pelan tapi tidak menembus. Nafasnya memburu, sementara aku hampir menangis karena disiksa menunggu.
Ujung batangnya terus digesekkan di celahku, membuatku hampir gila menunggu. Setiap kali aku mendorong pinggulku ke belakang, dia justru mundur, sengaja mempermainkanku.
“Udah nggak tahan ya, Moy? Nih badan lo udah kayak nagih dihajar lagi,” bisiknya kasar di telingaku.
Aku menggeliat, air mataku jatuh, entah karena frustasi atau karena kenikmatan yang terlalu dalam. “Masukin… jangan mainin aku…” suaraku pecah, penuh malu tapi tubuhku berkhianat.
Tawa tukang parkir pecah, rendah dan mengejek. “Gue suka banget liat amoy rapih kayak lo akhirnya minta-minta kayak gini.”
Tanpa aba-aba, ia menghantam masuk penisnya dengan keras, dalam, bruta. Lebih dalam dari sebelumnya. Tubuhku langsung melenting, kaca berembun itu bergetar keras saat dadaku menghantamnya. Jeritanku pecah, nyaring, bercampur dengan desah napasnya yang berat.
Dorongannya kini lebih liar, menghantam tanpa ampun. Pinggulku ditarik maju mundur dengan paksa, bokongku bertepuk keras tiap kali bertubrukan dengan pangkal batangnya. Aku terjepit, tak berdaya, hanya bisa pasrah pada hantaman yang seolah ingin merobek tubuhku dari dalam.
“Anjir, ini baru puas! Memek cina seketat gini kudu dihajar sampe ampe jebol. teriaknya parau, suaranya bergetar menahan ledakan.
Aku hanya bisa merintih, tubuhku panas, lututku hampir menyerah tapi genggamannya di pinggangku makin kuat, memastikan aku tak lari. Setiap hentakan terasa lebih brutal, lebih dalam, sampai seluruh tubuhku bergetar hebat, tercabik antara malu, sakit, dan kenikmatan yang tak terbendung.
Tubuhku menegang tiba-tiba, gelombang panas merambat deras dari perut ke seluruh tubuh. Aku menjerit kecil, kepalaku terhentak ke kaca yang berembun, lututku bergetar hebat. Puncak itu menyeretku tanpa ampun, membuatku menggeliat dan meremas udara kosong seolah mencari pegangan.
“Ahhh.. aku… aku nggak tahan lagi!” isakku, tubuhku bergetar liar saat gelombang klimaks merobekku habis-habisan.
Tukang parkir menahan hentakan terakhirnya, lalu mendesis kasar di telingaku. “Rasain tuh, badan lo udah kebiasa dihajar. Baru gue bikin lo pecah gitu aja udah keliatan rusak.”
Ia menarik batangnya keluar tiba-tiba, masih keras dan berdenyut, basah dengan cairan hangat. Tepukan keras mendarat di bokongku, membuatku meringis.
“Udah cukup gue dulu. Nih, gantian lo hajar, Bro,” katanya sambil menoleh pada si ojol yang dari tadi menunggu dengan napas berat.
Si ojol melangkah maju dengan tatapan penuh nafsu. "Amoy rumahan kayak gini ini emang cocok digilir rame-rame.
Tubuhku masih gemetar lemah, tapi sebelum aku bisa menarik napas, tangannya yang kasar sudah meraih rambutku, memaksa wajahku menempel lagi ke kaca. Batangnya yang keras menekan kasar ke celahku yang masih basah berdenyut setelah klimaks barusan.
"Gila, Amoy… pantatmu ini udah kayak nagih digarap. Tadi baru dihajar, sekarang udah basah lagi,” desisnya di telingaku.
Aku ingin menyangkal, tapi suara yang keluar dari bibirku justru hanya desahan panjang. Saat itu juga aku merasakan hentakan pertamanya. Keras, dalam, membuat tubuhku terangkat sedikit dari kaca lalu kembali terhempas.
“Ahh—!” suaraku pecah, tak bisa kutahan.
Pantulan di kaca menunjukkan wajahku meringis, bercampur dengan ekspresi nikmat yang tak bisa kusembunyikan. Tangan si ojol makin erat di pinggangku, tubuhnya menempel rapat di punggungku, sementara hentakannya makin teratur, makin menghujam.
“Anjing… masih peret aja nih memek. Pantes lu semua pada gak mau berhenti.
Setiap dorongan membuat dadaku menghantam kaca, dingin bercampur panas tubuhku. Bayangan perempuan yang sedang dilumat tanpa ampun memantul jelas di sana. Aku ingin menutup mata tapi jambakan di rambutku tidak mengizinkan. Aku dipaksa menatap diriku sendiri, dipermalukan dan ditelanjangi, tapi di saat bersamaan aku tidak bisa mengingkari bagaimana tubuhku bergetar mencari irama dorongan itu.
Ya ampun, aku tenggelam. Tapi kenapa aku malah takut jika ini berhenti.
Hentakannya makin menggila, tubuhku dipompa tanpa jeda. Napasku sudah tidak teratur, dada naik turun cepat, keringat bercampur dengan dinginnya kaca pendingin di bawahku. Tiba tiba si ojol menarik rambutku lebih keras lalu dengan kasar ia membuka penutup kaca lemari es krim di depanku.
Sebelum sempat aku bereaksi, kepalaku ditekan masuk ke dalam lemari pendingin yang penuh kabut dingin. Uap es langsung menyelimuti wajahku, rasa beku menusuk kulitku, membuat nafasku tercekat. Tapi di saat bersamaan tubuhku tetap bergetar mengikuti hentakan brutalnya dari belakang.
"Lonte cina kayak lu pasti suka ya diewe kasar sambil disiksa kayak gini. teriaknya sambil menghantam lebih keras lagi.
Aku berusaha menjerit tapi suaraku teredam di dalam ruang sempit kaca itu. Dada menekan tepi lemari, perutku tergencet, sementara batangnya menghujam tanpa ampun. Tubuhku serasa ditarik dua arah, dingin yang menusuk wajahku dan panas yang membakar di dalam tubuhku.
Tangannya meremas pinggulku kuat lalu sekali sekali menepuk bokongku sampai terdengar bunyi keras. Aku bergetar, tubuhku seperti terbakar habis. Sensasi brutal itu membuatku tidak lagi mampu membedakan apakah aku ingin lari atau justru bertahan selamanya di posisi itu.
Tubuhku hampir tidak sanggup lagi menahan. Si ojol tiba tiba mengangkat salah satu kakiku dan menaruhnya di atas kaca lemari es krim. Posisi itu membuat tubuhku makin terbuka, keseimbanganku tergantung penuh pada cengkeraman tangannya di pinggang. Hentakannya makin brutal, keras, seolah ingin merobekku dari dalam.
"Ahhh.. desisnya kasar dengan napas memburu.
Di saat bersamaan tangannya menekan kepalaku lebih dalam ke dalam lemari pendingin. Pipi dan dahiku menempel di permukaan es, dingin menusuk tulang, sementara tubuhku diguncang panas di belakang. Kontras itu membuatku hampir kehilangan kesadaran.
Raka mendekat, tangannya langsung meraih dadaku yang berguncang liar setiap kali hentakan itu masuk begitu dalam. Jemarinya meremas keras mempermainkan puncaknya sambil terkekeh.
"Liat nih Lus, ini baru hukuman yang pas buat amoy cina sipit pencuri kayak kamu. Dihajar sampai nggak bisa nafas sambil teteknya diginiin.
Aku hanya bisa terisak bercampur desahan, tubuhku melengkung tak berdaya. Setiap kali batang ojol itu menghantam lebih keras, badanku maju mundur tak terkendali sementara tanganku gemetar meraih tepi lemari kaca yang dingin.
"Aakk.. Udah mau tumpah nih. Lu siap siap nerima peju gue moy !! Teriak si ojol. Hentakannya semakin gila, tubuhnya menempel kuat di belakangku membuatku tidak punya ruang sedikit pun untuk lari.
Tubuhku bergetar keras ketika hentakan si ojol makin tidak beraturan, makin dalam, makin kasar. Kakinya masih mengangkat sebelah kakiku di atas lemari es krim, membuatku terentang penuh, terbuka lebar tanpa daya. Kepalaku ditekan lebih keras ke kaca dingin sampai napasku terpotong potong bercampur kabut uap dari permukaan yang beku.
"Ahhh gila moy, gue udah nggak tahan lagi," teriaknya parau dengan suara penuh ketegangan.
Seketika tubuhnya menegang, pinggulnya menghujamku begitu dalam hingga aku melengkung tajam. Ledakan hangat itu membanjir deras memenuhi rongga terdalamku. Aku menjerit pelan, tubuhku bergetar hebat, setengah shock dan setengah tak kuasa menahan nikmat yang mengguncang.
"Rasain nih Amoy sipit. Rahim lo sekarang jadi tempat gue nanem benih. Desisnya sambil menghantam dengan sisa tenaga terakhir memastikan semuanya tumpah di dalam.
Aku hanya bisa terengah, tubuhku lemas, lututku gemetar. Raka yang masih meremas dadaku tertawa rendah dengan suara penuh ejekan.
"Bagus, kayak gini baru pas. Amoy gatel pencuri akhirnya dijadiin penampung peju. Liat mukanya udah pasrah banget, tapi badannya malah minta lebih."
Aku menggigil, setengah malu setengah diliputi sensasi aneh yang membuatku tak bisa berhenti bergetar. Tubuhku seolah masih berdenyut merespon setiap sisa detakan di dalam diriku.
Tubuh si ojol akhirnya melemah, genggamannya di rambutku pelan-pelan lepas. Ia mundur dengan napas terengah, sementara sisa cairannya masih menetes dari dalam tubuhku, mengalir hangat di antara pahaku. Aku terkulai menempel di kaca, dada naik turun tak beraturan, wajahku basah oleh keringat dan air mata.
Raka tertawa rendah di belakang.
“Baru dua ronde aja udah ambruk gini. Masih kuat kan, Non?”
Aku menggigil, bibirku bergetar tanpa kata. Tubuhku masih berdenyut, panasnya belum reda.
Tiba-tiba lenganku ditarik kasar. Tubuhku terhempas jatuh ke lantai, ubin dingin langsung menyentuh kulitku yang telanjang. Sebelum sempat bangkit, rambutku dijambak lagi, kepalaku dipaksa menengadah. Mulutku terbuka lebar menahan erangan, nafasku terpotong-potong.
Suara tukang parkir parau di telingaku.
“Udah cukup manisnya. Sekarang kita bikin lo bener-bener jadi mainan.”
Aku ditarik ke tengah lorong, dipaksa merangkak. Lututku menekan ubin keras, tanganku rapuh menopang badan. Rambutku masih ditarik, tubuhku diposisikan doggy di lantai. telanjang, pasrah, siap dipakai lagi.
Dipaksa Doggy Dilantai
Rambutku dijambak kuat hingga kepalaku menengadah dengan mulut ternganga. Nafasku memburu, tubuhku sudah telanjang bulat, kulitku panas bercampur dinginnya lantai minimarket. Lututku menekan keras ke ubin, tanganku bertumpu rapuh sementara tubuhku diposisikan doggy di lantai, benar benar diserahkan.
Andi berdiri di belakangku, tubuhnya menunduk, batangnya menekan ujung bibir vaginaku yang basah berdenyut. Sentuhan pertama itu membuatku bergetar. Sementara itu Bimo berlutut di depanku, wajahnya menatap puas sambil menepuk pipiku.
"Ayo buka mulutmu.. Ucap Bimo dengan senyum tipis. Aku membuka bibir sambil terengah.
"Bagus. Kalau mau jadi budak harus nurut sama tuannya. Bisik Bimo sambil mendorong masuk. Batangnya memenuhi rongga mulutku terasa keras dan panas membuat lidahku terjepit.
Tubuhku terhimpit di antara mereka. Dari belakang Andi menghujam dengan hentakan penuh tenaga.
"Uuhh nikmatnya.. Desis Andi sambil mencengkeram pinggangku
Setiap dorongan membuat tubuhku terdorong ke depan dan mulutku semakin dalam menelan batang Bimo. Aku tersedak, air mataku menetes tapi rasa itu justru membuatku semakin bergairah.
Di kanan dan kiriku Raka dan tukang parkir ikut turun tangan. Mereka jongkok di samping dan masing masing meremas buah dadaku dengan rakus hingga aku menjerit tertahan dengan mulut penuh. Putingku dicubit, dipelintir dan diremas sampai tubuhku melengkung tak berdaya.
Raka menunduk ke telingaku, suaranya kasar dan mengejek, "Lihat dirimu amoy gatel, dua lubang dipakai barengan, tetek digarap juga. Ini yang kamu cari kan, biar semua tahu kamu nggak bisa hidup tanpa kontol pribumi."
Tubuhku berguncang di antara mereka. Setiap kali Andi menghantam dari belakang buah dadaku bergoyang keras terjepit dalam remasan tangan Raka dan tukang parkir. Setiap kali Bimo mendorong lebih dalam ke tenggorokanku aku hanya bisa mendesah tercekik, mataku berair tapi tubuhku justru semakin liar menanggapinya.
Aku seperti diperas dari semua sisi, dari depan, dari belakang, dari samping. Brutal, keras dan kasar, tapi darahku mendidih seakan tubuhku sendiri yang menuntut lebih.
Tubuhku sudah tidak karuan lagi. Lututku gemetar menahan beban tapi genggaman kuat di pinggang membuatku tidak bisa lari. Andi di belakang makin buas, setiap hentakannya keras dan dalam menghantam sampai perutku seperti ditusuk dari dalam. Aku terhuyung ke depan, mulutku makin dalam dipaksa menelan batang Bimo. Air liur bercampur lendir menetes ke daguku lalu jatuh ke lantai.
Aku tercekik dengan mata basah tapi justru tubuhku yang malah semakin panas. Punggungku melengkung dan pantatku bergetar menahan serangan sementara tangan Raka dan tukang parkir tidak berhenti menyiksa buah dadaku. Putingku diremas dan dicubit sampai rasanya nyaris meledak.
Andi sambil makin menekan pinggangku ke arah batangnya. Bimo ikut menepuk pipiku dengan batangnya yang masih menjejali mulutku. "Nggak nyangka ya, amoy yang keliatan alim kayak gini ternyata doyan diperkosa rame rame. Kata Bimo sambil menyeringai.
Desahan, erangan dan benturan tubuh terdengar memenuhi lorong sempit itu. Barang barang di rak bergetar dan sebagian jatuh berserakan di lantai. Aku makin terhimpit, tubuhku dipaksa menerima semuanya sekaligus. Dalam hatiku aku hampir menjerit. Ya ampunn.. tubuhku bener bener udah nggak kuat lagi. Rasanya ingin meledak saja.
Raka mendekat ke telingaku lagi dan menggertakkan giginya sambil meremas lebih keras. "Ngaku Lus, kamu udah ketagihan dipakai barengan kayak gini kan. Lihat badanmu sendiri, udah minta dikoyak sampai habis. Ucap Raka dengan suara penuh ejekan.
Andi di belakang semakin brutal, hentakannya berderak hingga membuatku berteriak tercekik dengan mulut penuh. Tubuhku sudah di ambang, pinggangku serasa patah dan dadaku sakit ditekan, tapi di balik semua itu rasa nikmat aneh menyeruak begitu gila sampai membuatku hampir kehilangan kesadaran.
Aku bisa merasakan klimaks itu mendekat, kuat, brutal dan memaksa, seperti gelombang yang siap menghantam lalu menenggelamkanku habis habisan.
Andi tiba tiba menggeram keras, tubuhnya menegang di belakangku. Cengkeramannya di pinggang semakin kuat lalu satu hentakan terakhir menghujam begitu dalam hingga aku hampir menjerit tercekik dengan mulut masih dijejali batang Bimo. Tubuhku ikut tersentak lalu kurasakan panas menyembur deras di dalam, membanjiri rongga tubuhku.
Andi menahan napas panjang, dadanya membungkuk menindih punggungku sebentar sebelum akhirnya ia mundur perlahan. Batangnya terlepas dengan bunyi basah yang memalukan. Pahaku bergetar dan cairan hangat mengalir turun di sela kakiku. Aku nyaris roboh kalau saja rambutku tidak masih dijambak keras oleh Bimo di depan.
Raka langsung menyeringai, "Bagus Andi, sekarang biar giliran yang lain," kata Raka sambil menatapku.
Tukang Parkir Yang Tak Pernah Puas
Aku hanya sempat menarik sedikit napas ketika tiba tiba tukang parkir maju. Tubuhnya yang lebih kekar langsung meraih pinggangku kasar dan menarik pantatku ke arahnya. Sekali dorong, batang tebalnya sudah menembus masuk tanpa basa basi.
Aku terpekik tertahan, tubuhku tersentak ke depan. Bimo langsung mendorong lebih dalam ke mulutku hingga aku kembali tercekik. Kedua ujung tubuhku dijejali tanpa ampun sementara di samping Raka masih meremas buah dadaku sampai nyeri bercampur nikmat.
Aku hanya bisa mengerang, tubuhku dipaksa menanggung serangan bergantian, brutal dan tanpa ampun. Cairan yang masih mengalir dari Andi bercampur dengan hentakan baru tukang parkir membuat sensasi di dalamku makin gila, panas dan nyaris membakar.
Tubuhku bergetar hebat setiap kali hentakan tukang parkir menghantam dari belakang. Rasanya lebih keras dan lebih kasar dibanding Andi tadi seolah ia sengaja ingin menghancurkan tubuhku dari dalam. Cairan yang masih menetes membuat setiap gesekan terasa licin tapi justru semakin mempercepat hentakannya.
Aku ingin menolak tapi suaraku hanya keluar dalam bentuk erangan panjang, tercekik karena mulutku masih dijejali Bimo. Air mata menetes di pipi, bukan karena sakit tapi karena tubuhku sama sekali tidak bisa bohong. Pinggangku malah ikut bergerak mengikuti iramanya seperti sudah kehilangan kendali.
"Ughh… aaahhh," suaraku teredam sambil gemetar.
Kurasakan buah dadaku diperas dan diremas keras dari samping oleh Raka. Putingku ditarik hingga tubuhku melengkung ke depan. Gairah itu makin membuncah hingga membuatku menjerit dalam hati.
Kenapa aku begini, kenapa rasanya malah makin enak, batinku berteriak. Tapi justru semakin ia menghujam semakin tubuhku memohon lebih. Punggungku melengkung dan pantatku terangkat tinggi mengikuti setiap tusukan brutalnya.
"Liat tuh Raka, amoynya udah nggak tahan. Badannya minta dihajar lebih keras," desis tukang parkir dengan napas memburu.
Raka tertawa kecil di sampingku sambil masih menjambak rambutku. "Emang dasar cina gatel. Dibilang hukuman malah dinikmatin. Nih badan udah ngaku duluan," kata Raka dengan nada meremehkan.
Aku memejamkan mata, seluruh tubuhku panas dan menggigil bersamaan. Sensasi itu makin menumpuk hingga membuatku seperti terombang ambing di antara malu, takut dan kenikmatan yang semakin tak tertahankan. Aku bisa merasakan puncak itu semakin dekat, tubuhku menegang setiap kali ia menghantam dalam dalam.
Tukang parkir menghujamku semakin brutal, hentakannya makin dalam dan makin cepat seolah ingin merobek seluruh tubuhku dari belakang. Pegangannya di pinggangku begitu kuat sampai aku tidak bisa lari meski tubuhku bergetar hebat menahan terjangan itu. Napasnya makin memburu, makin dekat dan makin liar.
"Uhh, sial, gue nggak tahan lagi," geram tukang parkir sambil menjambak rambutku ke belakang. Sekali hentakan terakhir yang keras tubuhnya menegang dan aku merasakan hangat yang menyembur deras memenuhi rongga tubuhku. Aku sendiri menjerit panjang, tubuhku ikut kejang dan klimaks menyambar seperti badai. Seluruh tubuhku lemas dan gemetar sampai hampir roboh ke lantai.
Tukang parkir menggeram puas lalu melepaskan tubuhku yang basah oleh keringat dan cairan. Aku terengah engah, dadaku naik turun cepat, tapi belum sempat beristirahat Bimo sudah maju mengambil giliran. Ia menarikku kasar dan membalik tubuhku hingga aku telentang di lantai yang dingin.
Telentang Pasrah Dilantai
"Sekarang giliran gue," kata Bimo sambil menyeringai. Ia meraih kedua kakiku lalu mengangkatnya tinggi dan menyandarkannya ke pundaknya. Posisi itu membuat pinggulku terangkat, tubuhku terbuka sepenuhnya untuknya. Aku menggeliat dengan wajah memerah dan nafasku tercekat.
"Lihat nih Lus, posisi kayak gini bikin lo nggak bisa lari. Tinggal pasrah dihajar," ucap Bimo dengan suara rendah penuh nafsu.
Ia menekan batangnya ke arahku lalu masuk dengan sekali dorongan keras. Tubuhku melengkung seketika dan erangan panjang meluncur dari bibirku. Dadaku naik turun cepat, buah dadaku berguncang keras ketika Bimo mulai menghentak tanpa ampun sambil menekan kakiku tetap di pundaknya supaya aku tidak bisa bergerak kemana mana.
Bimo menghajar tubuhku makin keras. Setiap hentakan membuat pinggulku terangkat tinggi lalu jatuh terbanting ke lantai. Kakiku masih terkunci di pundaknya, posisiku benar benar pasrah tanpa bisa lari.
"Akhirnya bisa gue rasain juga," desis Bimo penuh nafsu.
Tangannya meraih dadaku dan meremasnya kasar sampai aku meringis. Ia tidak berhenti di situ, tangannya menampar buah dadaku berulang kali hingga kulitnya memerah. Suaranya nyaring bercampur dengan desahan napasku yang terputus putus.
Aku menggeliat hebat, tubuhku melengkung mengikuti setiap genjotannya yang brutal. Hentakannya cepat dan dalam hingga tubuhku terdorong maju mundur di lantai yang keras.
"Lus.. lo keliatan makin seksi aja kalau dihajar kayak gini. kata Bimo sambil kembali meremas keras buah dadaku. Jari jarinya mencubit putingku sampai aku berteriak lirih.
Tamparannya kembali mendarat di dadaku, kali ini lebih keras hingga aku tersentak. Air mataku menetes tapi tubuhku justru semakin panas, eranganku semakin tidak terkendali.
Bimo tertawa kasar, keringatnya menetes ke wajahku. "Lihat diri lo sekarang, jablay murahan yang malah keenakan ditampar dan dihajar," ucap Bimo sambil menatapku puas.
Bimo menghajar tubuhku tanpa ampun, hentakannya semakin cepat dan semakin dalam sampai tubuhku terhentak keras ke lantai tiap kali ia menancapkan batangnya. Aku menjerit, suaraku pecah jadi erangan panjang bercampur tangis, dadaku terus diremas dan ditampar hingga panas berdenyut.
"Gue udah nggak tahan Lus," raung Bimo dengan wajah menegang. Ia menekan kakiku makin keras di pundaknya dan menghajar dengan hentakan terakhir yang brutal.
Tubuhnya bergetar hebat lalu semburan hangat muncrat deras ke dalam tubuhku. Cairan itu memenuhi kemaluanku hingga terasa menumpuk dan meluap, menetes ke paha dan lantai dingin di bawah.
Aku sendiri menegang, tubuhku melengkung kaku saat klimaks menyambar. Gelombang nikmat itu membuatku kejang kejang, suaraku pecah jadi jeritan panjang yang memalukan. Kakiku bergetar di pundaknya, tanganku mencakar lantai tapi tubuhku justru semakin tenggelam dalam rasa itu.
Bimo menunduk dan masih menghentak pelan beberapa kali untuk memastikan semuanya masuk lalu ia menggeram puas, "Anjing !! Lo emang barang paling enak Lus. kata Bimo dengan napas terengah.
Pesta Selesai
Tubuhku ambruk lemas, dadaku naik turun cepat dan putingku masih perih memerah akibat cubitan serta tamparannya. Cairan panas bercampur keringat mengalir hingga membuat seluruh tubuhku lengket dan berantakan.
Begitu Bimo melepaskan kakiku dari pundaknya tubuhku langsung terhempas ke lantai. Aku terkapar telentang dengan napas tersengal berat, dada naik turun cepat seperti habis lari jauh. Seluruh tubuhku gemetar, lemas tak berdaya, keringat bercampur cairan menetes deras dari sela pahaku hingga mengotori lantai dingin pabrik itu.
Tanganku mencoba menutupi dada yang memerah karena remasan dan tamparan tadi tapi rasanya sia sia. Putingku masih berdenyut sakit, perih sekaligus hangat seolah menuntut disentuh lagi. Kakiku terbuka lebar dan paha terasa pegal tapi aku tidak punya tenaga untuk merapatkannya.
Air mataku mengalir pelan entah karena malu, sakit atau sisa kenikmatan brutal yang baru saja meluluhlantakkan tubuhku. Aku hanya bisa menggeliat kecil dengan bibir bergetar tanpa kata.
Bimo sendiri terduduk sebentar di sampingku, masih terengah sambil menatap puas tubuhku yang porak poranda. "Habis lo sekarang Lus, ampe lemes gitu," kata Bimo sambil tertawa rendah. Ia menepuk kasar pahaku sebelum bangkit berdiri.
Tubuhku masih terkapar di lantai dingin ketika akhirnya Bimo menarik napas panjang lalu bangkit. Cairan putihnya menetes dari batang yang mulai melemas hingga mengenai pahaku. Ia menyeringai puas lalu menarik celananya kembali ke atas. "Udah cukup, gue puas banget," ucap Bimo sambil menepuk keras bokongku sekali sebelum menjauh.
Tukang parkir yang pertama tadi sudah lebih dulu duduk di sudut sambil merapikan celananya. Ia mengambil botol minum dari rak yang jatuh lalu menenggak sekali sebelum berdiri dan keluar tanpa banyak kata, wajahnya masih tampak puas.
Raka yang sejak tadi mengawasi menyusul menutup resleting celananya. Ia menunduk sebentar dan menepuk pipiku ringan sambil tersenyum miring, "Kamu hebat Lus, tahan juga," kata Raka dengan nada puas. Lalu ia berdiri, meraih beberapa barang yang jatuh berserakan dan mengangkatnya kembali ke rak.
Bimo ikut membantu menegakkan rak yang sempat bergeser. "Ayo rapihin dulu ntar ketahuan orang. Ujar Bimo sambil mengembalikan bungkus mie instan, botol minuman dan beberapa barang kecil yang berserakan akibat hentakan brutal tadi.
Aku masih lemas. Perlahan aku mengangkat tubuh dan duduk bersandar ke rak. Cairan lengket di paha membuatku meringis kecil. Dengan tangan gemetar aku meraih kaos ketatku yang sempat terlepas ke lantai lalu memakainya lagi. Kaos itu menempel kencang di kulit yang masih basah oleh keringat. Setelahnya aku meraih celana pendekku dan menariknya perlahan ke pinggang.Begitu semuanya selesai suasana minimarket tampak seperti semula. Rak sudah rapi dan barang kembali ke tempatnya. Raka berdiri sambil menatapku, matanya penuh arti, lalu berbisik pelan, "Jangan lupa… kamu sekarang milik kita," ucap Raka dengan suara rendah.
Aku menunduk, wajahku merah dan jantungku masih berdebar. Tak ada kata keluar, hanya napas berat yang tersisa.
Satu per satu mereka meninggalkan tempat. Tukang parkir lebih dulu melangkah keluar sambil menguap panjang seolah baru saja selesai bekerja keras. Bimo menyusul, menepuk pundak Raka sambil tertawa kecil, "Mantap bro. Gue bener bener puas banget malam ini. Lain kali kalau dia masih mau kita bawa pasukan lebih banyak lagi. Kata Bimo lalu keluar menuju parkiran.
Raka masih tinggal sebentar. Ia menutup pintu minimarket dan memastikan tidak ada orang yang melihat. Setelah itu ia berjalan mendekat ke arahku yang masih duduk bersandar di rak. Tangannya menyingkap rambutku yang berantakan lalu ia berbisik, "Inget Lus, sekarang kamu nggak cuma pembeli di sini, kamu bagian dari kami," kata Raka sambil tersenyum miring. Setelah itu ia melangkah pergi meninggalkanku sendirian.
Aku menunggu beberapa saat dan memastikan tidak ada yang tersisa. Nafasku masih berat, tubuhku pegal luar biasa terutama di antara pahaku yang masih lengket dan berdenyut. Dengan susah payah aku berdiri, menarik napas dalam lalu berjalan pelan menuju pintu.
Di luar udara malam terasa dingin menampar kulitku. Aku merapatkan kaos ketat dan celana pendekku yang sudah kembali kupakai meski rasanya kusut dan menempel basah di tubuh. Setiap langkah pulang terasa berat, kakiku goyah seakan habis dilindas sesuatu.
Jalan Pecinan yang sepi hanya ditemani suara deru motor di kejauhan. Aku melangkah cepat tapi pikiranku penuh campur aduk, malu, takut, namun juga ada sisa sensasi aneh yang membuat dadaku berdegup lebih cepat.
Begitu tiba di rumah aku langsung masuk kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Tubuhku aku rebahkan di kasur masih dengan pakaian kusut itu. Air mata menetes tapi bibirku justru menggigit lembut seolah otakku tidak bisa membedakan mana penderitaan dan mana kenikmatan. Malam itu aku tertidur dalam keadaan lelah total dengan tubuh masih menyimpan jejak mereka bertiga.
Makin terjebak permainan sex sama cowo berbeda ras..menikmati
BalasHapusmasih bisa di lanjut gan
BalasHapus