Namaku Rizal. Aku lahir dan besar di keluarga pribumi sederhana. Hidupku berjalan biasa saja tanpa ada kemewahan dan tanpa nama besar. Sejak remaja aku sudah terbiasa mandiri, bekerja serabutan sambil kuliah dan bergaul dengan banyak orang tanpa peduli status.
Namun ada satu hal dalam diriku yang sering kusembunyikan, yaitu aku seorang pria dengan gairah yang besar bahkan terlalu besar hingga kadang aku sendiri kewalahan. Ada saat-saat tertentu aku merasa diriku hyperseks. Fantasi-fantasiku pun berbeda dari kebanyakan orang. Aku sering membayangkan diriku mendominasi penuh, bahkan sampai memaksa pasanganku. Fantasi brutal itu menempel di kepalaku, tetapi aku juga tahu itu hanya bisa terjadi bila ada seseorang yang benar-benar mempercayai dan menginginkannya.Pertemuanku dengan Meilin terjadi ketika masih kuliah. Ia seorang gadis chindo yang cantik. Berwajah anggun dan memiliki sikap berkelas. Pertama kali aku melihatnya aku langsung tahu bahwa ia bukan berasal dari duniaku. Ia adalah anak dari keluarga terpandang yang terbiasa dengan kehidupan mewah sementara aku hanyalah anak kampung dengan kehidupan pas-pasan. Justru hal itu yang membuatku ingin mendekatinya tanpa ragu karena sejak awal aku memang tidak pernah suka tunduk pada gengsi.
Awalnya aku hanya memberanikan diri mengajaknya berbincang ringan. Meilin terlihat sedikit kikuk tetapi ia tidak menjauh dariku. Malah ada sesuatu dari cara ia menatapku yang membuatku yakin ia menyimpan rasa penasaran. Dari obrolan ke obrolan kami semakin dekat. Aku tidak pernah menutupi siapa diriku. Aku selalu jujur tentang kehidupanku yang sederhana, tentang sifatku yang keras hingga tentang fantasi-fantasi liarku yang selama ini kusimpan rapat-rapat.
Aku masih ingat malam itu dengan jelas. Kami duduk berdua di taman kampus ketika langit sudah gelap dan hanya ada cahaya lampu jalan yang redup. Dengan suara rendah aku berkata “Aku orangnya aneh lin. Aku suka fantasi yang agak kasar dan aku suka dominasi. Kalau kau takut aku bisa mengerti.
Meilin menatapku lama dengan mata yang sedikit bergetar. Wajahnya memerah, tetapi bukannya menjauh ia justru berbisik pelan, “Aku tidak takut… aku hanya tidak pernah membayangkannya sebelumnya. Tapi aku percaya padamu.
Jawaban itu seketika membuat tubuhku seperti disambar api. Saat itu aku tahu bahwa Meilin bukan hanya sekadar gadis cantik dari dunia yang berbeda denganku. Ia adalah seseorang yang bisa menerimaku bahkan pada sisi tergelap yang selama ini aku sembunyikan.
Hubungan kami semakin serius. Namun tentu saja keluarga Meilin menentang keras. Bagaimana mungkin anak mereka yang chindo dan terpandang bisa menjalin cinta dengan pria pribumi sederhana sepertiku. Aku dipandang rendah, bahkan sempat diusir ketika datang. Meski begitu aku tidak pernah menyerah. Aku datang lagi dan lagi. Aku buktikan bahwa aku bukan sekadar lelaki singgah. Aku bekerja keras, aku hadir dalam setiap masalah Meilin dan yang paling penting aku tidak pernah berhenti mencintainya dengan jujur.
Waktu yang panjang akhirnya mencairkan pertentangan itu. Makan malam bersama yang dulu terasa dingin perlahan berubah menjadi akrab. Kata-kata tajam dari keluarganya semakin jarang terdengar. Hingga akhirnya restu itu datang juga dan aku berdiri di pelaminan menggenggam tangan Meilin dengan penuh keyakinan.
Saat resepsi dimulai. Pandanganku tak pernah lepas dari Meilin. Ia berdiri di sampingku dengan balutan gaun pengantin putih yang begitu mewah dan anggun. Membuatnya tampak seperti putri dari negeri dongeng. Gaun itu panjang terbuat dari satin lembut yang berkilau. Setiap kali tertimpa cahaya lampu gantung kristal seolah tubuhnya diselimuti cahaya.
Bagian atas gaunnya dirancang model off-shoulder sehingga menampakkan bahu jenjangnya dengan indah. Renda halus menjuntai sampai ke lengan sementara potongan hati di bagian dada membingkai tubuh rampingnya dengan pas. Dari pinggang ke bawah, rok gaun mengembang lebar dengan lapisan tulle transparan yang ditaburi payet dan kristal kecil sehingga setiap langkahnya memunculkan kilau bintang yang menari di lantai.
Di kepalanya bertengger mahkota perak berhiaskan permata bening, tidak terlalu besar namun cukup untuk memberi kesan bangsawan. Rambut hitam panjangnya disanggul sebagian sementara sisanya dibiarkan jatuh bergelombang lembut di punggung. Dari balik mahkota itu ada kerudung tipis menjuntai hingga hampir menyapu lantai dan bergerak mengikuti setiap gerakan anggunnya.
Lehernya dihiasi kalung mutiara yang berkilau lembut, serasi dengan anting menjuntai yang mempercantik wajahnya yang sudah sempurna. Di tangannya tergenggam buket bunga mawar putih dengan sentuhan merah muda. Terkesan sederhana namun menambah pesona romantisnya.
Ketika ia tersenyum pada para tamu yang menatapnya, suasana seolah berhenti sejenak. Semua mata terarah padanya dan tidak ada seorang pun yang bisa menyangkal bahwa hari itu Meilin benar-benar tampak seperti putri dari negeri dongeng. Dan aku dengan tangannya yang hangat tergenggam di jemariku, merasa menjadi pria paling beruntung di dunia.
Hari itu semua orang melihat kami sebagai pasangan yang bahagia. Namun di dalam hatiku aku menyimpan satu hal yaitu malam pertama ini akan menjadi puncak dari segalanya. Aku akan menyalurkan fantasi yang selama ini hanya kusimpan rapat-rapat. Dan Meilin yang kini resmi menjadi istriku sudah memberiku izin penuh untuk melakukannya.
Malam Pertama Yang Menggebu gebu.
Malam itu bukan sekadar tentang cinta yang lembut. Malam itu adalah panggung untuk fantasi liarku. Tentang memaksa, tentang dominasi dan tentang bagaimana aku merebut Meilin sepenuhnya meskipun pada kenyataannya ia sendiri yang menyerahkan kunci untuk menguasainya.
Pintu kamar pengantin tertutup rapat dan suara pesta di luar tidak lagi terdengar. Hanya ada kami berdua di dalam ruangan yang temaram dengan cahaya lampu kristal yang jatuh lembut ke lantai. Aku berdiri beberapa langkah dari Meilin yang duduk di tepi ranjang. Ia tersenyum gugup dan kedua tangannya meremas kain di pangkuannya seolah ingin mencari pegangan.
Semakin cepat aku menanggalkan lapisan demi lapisan kain itu semakin jelas terlihat tubuh yang selama ini hanya bisa kubayangkan. Kini hanya tersisa stocking putih yang masih menempel di kakinya, sarung tangan putih yang membungkus lengannya, serta mahkota kecil di kepalanya yang membuatnya tampak seperti pengantin yang dipaksa pasrah. Lapisan tipis gaun pengantinnya masih menggantung di tubuh, menempel erat pada kulitnya yang bergetar. Setiap tarikan napasnya terdengar berat seakan ia benar-benar ditundukkan. Aku mencengkeram pergelangan tangannya lalu menekannya ke atas ranjang supaya ia tidak bisa bergerak dan di detik itu wajahnya menegang antara takut dan pasrah.
"Jangan coba-coba melawan. Aku bakal bikin kamu rasain semua fantasi liar yang udah lama kupendam. Ucapku sambil menekan tangannya makin kuat ke ranjang.
"Kalau ini memang yang kamu mau… aku gak punya pilihan selain nurut. Lanjutnya pelan dengan matanya yang berkaca-kaca namun tubuhnya tetap gemetar di bawah tekanan ini.
Gaun putih itu kini tinggal sisa tipis yang menempel di tubuhnya. Bagian bahunya terbuka lebar dan kulitnya terlihat jelas. Dada naik turun cepat karena napasnya tak teratur. Kain yang tadinya rapi di pinggang sekarang kusut dan tersingkap, memperlihatkan paha dengan stocking putih yang masih melekat.
Sarung tangan putih masih membungkus lengannya, sementara sepatu hak perak tetap menempel di kakinya yang bergerak gelisah. Rambut hitamnya terurai berantakan menutupi sebagian wajah. Di kepalanya masih ada mahkota kecil yang membuatnya tampak seperti pengantin pasrah. Sisa busana itu justru membuatnya terlihat makin menggoda di mataku.
Meilin mengangkat wajahnya sebentar lalu menunduk lagi. Bibirnya terbuka seakan ingin berkata sesuatu namun tidak ada suara yang keluar. Aku menatapnya tanpa berkedip karena setiap gerakannya terasa seperti panggilan yang halus. Malam ini aku tahu semua kain yang membalut tubuhnya hanyalah permulaan karena kebersamaan kami akan benar-benar dimulai di kamar ini.
Aku menatapnya lama dan dadaku terasa bergemuruh karena malam ini bukan sekadar malam pertama, melainkan malam ketika fantasi yang selama ini hanya hidup di kepalaku akhirnya menjadi kenyataan. Aku melangkah mendekat perlahan lalu menundukkan wajah dan berbisik di telinganya.
"Mulai sekarang kamu tidak punya pilihan lin. Kamu sudah jadi milikku seutuhnya. Ucapku dengan suara rendah.
Meilin menelan ludah dengan napas pendek. Matanya bergetar dan menunjukkan campuran rasa gugup sekaligus percaya karena ia tahu malam itu bukan hanya tentang cinta yang lembut. Melainkan juga permainan gelap yang akan segera kuciptakan dan yang paling penting ia sudah setuju untuk ikut masuk ke dalamnya.
Tanganku terulur meraih dagunya dan memaksa wajahnya mendongak menatapku. Aku tidak memberinya kesempatan untuk menjawab karena bibirku langsung menempel kasar di bibirnya. Lidahku masuk menjarah sementara tanganku mendorong bahunya hingga tubuhnya rebah di atas ranjang. Ia mengerang kecil dan sempat mendorong dadaku seolah melawan tetapi aku tahu itu hanya gerakan simbolis karena itu adalah peran yang sengaja ia mainkan demi membakar fantasi yang sudah kami sepakati.
"Jangan coba melawan !! ucapku kasar sambil menindih tubuhnya. "Malam ini aku akan rebut paksa semuanya darimu.
Seorang gadis cina secantik bidadari kini sudah pasrah di hadapanku sehingga gairahku langsung meledak tak terbendung. Matanya yang bening menatapku dengan campuran gugup dan pasrah, pipinya merona, dan bibirnya terbuka seakan menunggu untuk direbut lagi. Tubuh putihnya bergetar halus namun ia tidak bergeming sedikit pun. Justru sikapnya yang diam dan menyerahkan diri membuat dadaku semakin panas. Aku tahu malam ini tidak ada lagi penghalang antara kami karena semua yang ada padanya sudah sepenuhnya menjadi milikku.
Aku menarik pita gaun pengantinnya dengan cepat hingga kain putih itu makin longgar. Lapisan tipis yang tersisa di tubuhnya bergeser, membuka bahunya yang halus dan berkilau terkena cahaya lampu kamar. Meilin memejamkan mata, tubuhnya bergetar, namun ia sama sekali tidak menghentikanku.
Semakin aku menyingkirkan sisa kain tipis itu semakin jelas terlihat tubuh yang selama ini hanya bisa kubayangkan. Stocking putih masih menempel di kakinya, sarung tangan tipis membungkus lengannya, dan mahkota kecil di kepalanya membuatnya tampak seperti pengantin yang pasrah. Napasnya terdengar berat seakan ia benar-benar ditundukkan. Aku mencengkeram pergelangan tangannya lalu menekannya ke atas ranjang supaya ia tidak bisa bergerak, dan di detik itu wajahnya menegang antara takut dan pasrah.
"Rizal… bisiknya lirih hampir tidak terdengar. Suara itu membuat darahku semakin mendidih sehingga aku menunduk lalu menggigit pelan lehernya hingga meninggalkan jejak merah dan desisku terdengar kasar di telinganya. "Katakan kamu milikku !!
Ia terengah dan matanya terbuka setengah lalu dengan suara bergetar ia berbisik, "Aku… milikmu. Kalimat itu menghantamku seperti api yang menyambar sehingga aku merasa malam ini bukan hanya menjadi seorang pengantin pria melainkan juga predator yang menyalurkan fantasi tergelapnya. Sedangkan Meilin, istriku yang cantik adalah mangsa yang dengan penuh percaya menyerahkan dirinya dan membiarkanku merebutnya dengan cara yang paling liar yang pernah kubayangkan.
Aku menekan pergelangan tangannya lebih kuat di atas ranjang sampai tubuhnya benar-benar terkunci. Ototku tegang dan aku bisa merasakan betapa ia berusaha melawan sia-sia di bawahku. Nafasnya tersengal, matanya terbuka setengah menatapku dengan rasa takut bercampur pasrah. Ekspresi itu yang selama ini selalu hadir dalam fantasi liarku.
Aku menunduk menciuminya lagi, kali ini buas tanpa memberi kesempatan. Bibirku berpindah ke pipinya lalu turun ke lehernya. Aku menggigit keras hingga tubuhnya terkejut dan suara lirih lolos dari mulutnya. Tubuhnya melengkung ingin lepas, tapi aku tidak membiarkan ada ruang untuknya.
"Diam, Meilin," ucapku dengan suara berat dan menggeram, tepat di telinganya. Tanganku menyibak paksa sisa gaun tipisnya hingga terbuka lebar. Aku ingin ia merasa tak berdaya sepenuhnya. Jari-jariku menelusuri kulit putihnya lalu menekan dan meremas kasar, seolah aku sedang merebut tubuh yang memang sudah menjadi milikku.
Meilin menggeleng kecil dengan napas terputus-putus. "Rizal… jangan…" suaranya bergetar namun aku tahu itu hanya mempermainkan rasa takutnya sendiri. Di balik kata itu, aku bisa lihat ia menikmati caraku mendominasi tanpa ampun.
Aku berlutut di atas ranjang, tepat di antara pahanya yang sudah kupaksa terbuka lebar. Kedua lututku menekan kuat di sisi pinggulnya sehingga ruang geraknya habis sama sekali. Aku menatapnya dari atas dengan tatapan penuh nafsu, ingin menyalurkan semua fantasi liarku pada gadis cina yang seksi ini tanpa ada batasan.
"Aku udah lama bayangin ini… nundukin kamu. Bikin kamu gak bisa ngelawan. Bikin kamu cuma bisa pasrah di bawahku. Ucapku dengan suara yang semakin kasar.
Aku menunduk di atas tubuhnya, kedua pahanya sudah kupaksa terbuka lebar. Satu tanganku menahan pinggangnya kuat-kuat agar tidak bisa bergeser, sementara tangan satunya kupakai untuk mengarahkan milikku. Begitu ujungnya menempel, aku mendorong keras tapi terasa sempit dan sulit untuk menembus.
Meilin menegang, tubuhnya bergetar hebat sambil mengerang lirih. "Ahh… Rizal… jangan…" suaranya patah-patah. Aku menggeram pelan, keringat bercucuran di dahiku. Dorongan berikutnya lebih kuat, membuat pinggangnya terangkat ke kasur. Ia menggeliat berusaha kabur, tapi genggamanku di pinggangnya membuatnya tak bisa ke mana-mana.
"Aku gak peduli seberapa susah… kamu harus nerima aku malam ini," ucapku sambil menggertakkan gigi. Setelah beberapa kali hentakan keras akhirnya aku berhasil menerobos masuk sedikit demi sedikit. Tubuh Meilin menegang makin kuat, matanya terpejam erat menahan rasa yang bercampur antara sakit dan pasrah.
Setelah itu aku meraih kedua tangannya, kusatukan di atas kepala lalu kutahan dengan satu tangan. Lututku menekan sisi pinggulnya agar ia tetap terbuka, sementara tubuhku menunduk rendah, dada dan perutku menindih sebagian tubuhnya. Jemariku mencengkeram pergelangan tangannya keras-keras, menekannya ke kasur sehingga ia benar-benar tidak bisa bergerak.
Pinggulku terangkat sedikit lalu menghujam keras dengan hentakan brutal. Ranjang berderit setiap kali aku menghantam masuk, berat tubuhku sepenuhnya menekan dirinya dari atas. Aku menarik pinggulku mundur setengah, batangku bergesekan kasar di dalam, lalu kembali menghantam masuk dengan kekuatan lebih keras. Tubuhnya melengkung tak terkendali mengikuti setiap dorongan.
Wajahku menunduk dekat ke telinganya, napasku menghembus hangat di kulitnya yang berkeringat. "Kamu istriku. Mulai malam ini aku lakukan apa saja. Kamu harus terima semuanya," desisku berat tepat di telinganya.
Aku mulai menemukan ritme. Satu kali hentakan panjang, lalu dua kali cepat. Tarikan kasar, kemudian tusukan brutal yang membuat Meilin terpekik dan menggeliat. Bahuku menekan bahunya agar ia tetap rata di kasur, sementara wajahku menunduk di samping telinganya, napas panas membasahi kulit lehernya.
Tubuhku bergerak seperti mesin. Pinggulku maju mundur tanpa henti. Setiap kali aku tarik keluar hampir sepenuhnya, aku kembali menghantam masuk habis-habisan. Gerakan itu membuat dadaku berulang kali menindih dadanya, seolah ingin menekan seluruh tubuhnya sampai tak ada ruang tersisa.
"Ahhh… haaah… gila rasanya, Lin…" desahku berat di telinganya. Suaraku terputus-putus mengikuti irama hentakan.
Sesekali aku menghantam lebih keras dengan ayunan penuh tenaga. Pahaku menampar keras sisi pahanya, suaranya bercampur dengan derit ranjang dan desahan tertahannya. Tanganku yang semula mencengkeram pergelangan sempat turun sebentar, meremas dadanya dengan genggaman kuat, lalu kembali menahan tangannya agar tetap terkunci di atas kepala.
Setiap dorongan brutal membuat tubuhnya berguncang hebat. Pinggulnya reflek ingin menghindar, tapi lututku menekan erat posisinya. "Nggak ada jalan kabur, Lin… haaah… rasain semuanya…," desisku kasar sambil terus menghantam brutal.
Ranjang berderit keras setiap kali aku menghantam masuk. Ritmeku makin cepat dan berat, hentakan demi hentakan bertubi-tubi hingga tubuhnya terpaksa mengikuti alur gerakanku. Tanganku yang bebas kembali mencengkeram dadanya bergantian, jemariku menekan keras sampai ia terpekik. Tubuhnya melengkung di bawahku, napasnya terputus-putus, sementara aku terus menghujam dalam dengan desahan panas yang tak bisa lagi kutahan.
Pinggulku kuangkat tinggi, lalu kuturunkan dengan paksa, menghantam dalam-dalam hingga ia menjerit tertahan. Wajahnya menoleh ke samping, mata terpejam rapat, rambutnya berantakan menempel di kulit basahnya. Lenguhan kecil lolos dari bibirnya, bercampur dengan napas tersengal.
Tanganku mencengkeram kuat pergelangan tangannya, menekannya ke kasur di atas kepala agar ia tak bisa bergerak. Tangan satuku menahan pinggangnya keras-keras, menekan tubuhnya tetap di tempat, membuatnya benar-benar terkunci di bawahku.
Aku menunduk dekat, menggigit bahunya hingga ia meringis, lalu menghantam lagi berulang, makin kuat, makin cepat, membuat tubuhnya terpaku di ranjang seolah tertancap. Cengkeramanku di pergelangan semakin keras, jemariku hampir menancap ke kulitnya, sementara genggamanku di pinggang menahan agar ia tak bisa lari dari setiap hentakan brutal yang kutanamkan.
Gerakanku semakin liar: satu tusukan panjang menembus habis, dua hentakan dangkal cepat, lalu kembali menghantam penuh tenaga. Irama brutal itu mengguncang tubuhnya berkali-kali, ranjang berderit keras, sprei kusut berkerut tak karuan di bawah tubuhnya yang terguncang tanpa henti.
Nafasku memburu panas di telinganya, setiap dorongan membuatnya terpekik tak berdaya. Tubuhnya sudah tak bisa menolakhanya terhuyung, pasrah, mengikuti hentakan buas yang terus kutancapkan dalam-dalam.
Membalik Tubuhnya
Aku berhenti sejenak sambil tetap menekan kedua pergelangannya di kasur. Nafas kami sama-sama terengah dan tubuhnya basah oleh keringat. Dadanya naik turun cepat. Aku tersenyum tipis lalu melepaskan cengkeraman tangannya dengan kasar dan menarik bahunya kuat-kuat.
Tubuhnya kupaksa berputar dan dibalik jadi telungkup di ranjang sementara aku masih berlutut di belakangnya. Ia sempat meronta kecil tapi aku langsung menindih punggungnya dengan dada dan berat tubuhku sehingga ia terhimpit penuh di kasur.
Tanganku mencengkeram keras pinggangnya lalu menarik ke belakang hingga pantatnya terangkat dan tubuhnya menungging sempurna di depanku. Pahanya bergetar dan lututnya menekan kasur sementara wajahnya tertelungkup di bantal hingga napasnya pendek-pendek.
Aku menahan kedua tangannya di punggung lalu menyilangkannya dan menekan dengan satu tangan supaya ia tidak punya ruang gerak. Dengan posisi itu tubuhnya hanya bisa pasrah mengikuti setiap dorongan brutal dariku.
Pinggulku menghantam lagi dari belakang keras dan dalam sampai tubuhnya sedikit terangkat ke depan. Ranjang berderit dan punggungnya melengkung paksa. Bersamaan dengan itu erangan tertahan keluar dari mulutnya namun teredam bantal.
"Aku mau kamu terima semuanya malam ini. jangan coba kabur !! ucapku kasar di telinganya.
"Ahh… jangan terlalu kasar… aku… aku ga kuat Zal.. jawabnya terputus-putus sambil meringis.
Tanganku yang lain meraih buah dadanya dari bawah lalu meremas dengan kasar sambil terus menghujam dari belakang. Setiap dorongan membuat tubuhnya terdorong ke depan tapi genggamanku di pinggang menariknya kembali sehingga ia tetap harus menerima setiap hentakan tanpa bisa lari.
"Kamu itu istriku. Mulai hari ini dan seterusnya kamu harus nurut sama aku. kataku sambil menahan pinggangnya makin kencang.
"Terserah kamu… aku ga bisa melawan lagi. jawabnya lirih sambil matanya terpejam.
Hentakan dari Belakang
Pinggulku terus bergerak liar menghujam masuk dari belakang dengan hentakan keras dan dalam. Setiap kali batangku menancap penuh tubuhnya tersentak maju dan wajahnya semakin tertekan ke bantal. Suara erangannya pecah teredam kain dan bergema samar tapi tetap jelas menusuk telingaku.
Satu tanganku menahan kedua pergelangan tangannya di punggung lalu aku tekan kuat ke bawah seolah memaku tubuhnya agar tidak bisa bergerak sedikit pun. Tanganku yang lain bergantian meremas dadanya dari bawah dan menekan keras sampai ia melenguh panjang.
Aku mengganti ritme dengan tiga hentakan cepat dangkal lalu satu dorongan panjang dan dalam. Ranjang berguncang makin liar hingga kaki-kakinya berderit dan sprei kusut di bawah tubuh kami.
Punggungnya melengkung terpaksa mengikuti dorongan brutal. Pahanya bergetar hebat setiap kali aku menarik keluar lalu menancap lagi dengan kasar tanpa memberi jeda. Pinggulku menampar bokongnya berulang kali dan suara tepukan basah bercampur dengan derit ranjang serta desahan napas kami.
Aku menunduk lalu mulutku menempel di tengkuknya. Lidahku menjilat kasar sepanjang lehernya membuat ia meringis di bawah tubuhku. Aku menggigit kecil bahunya lalu menancap lagi lebih keras sampai tubuhnya nyaris terangkat dari ranjang.
Setiap dorongan membuat lututnya merosot sedikit ke kasur tapi genggamanku di pinggang langsung menariknya kembali ke posisi menungging sempurna. Aku tidak memberinya kesempatan lari karena tubuhnya terkunci dan hanya bisa pasrah menerima setiap hentakan brutal dariku.
Aku menarik lengannya dengan kasar dan memaksanya bangkit dari posisi menungging. Sekejap kemudian tubuhnya sudah berlutut di ranjang dengan punggung melengkung sementara milikku masih menghunjam dalam dari belakang.
"Aaahh.. udah Zall.. hentikan… aku ga tahan lagi. Erangnya parau dengan tubuh bergetar hebat.
"Nikmati aja Lin… kamu ga bisa lari kemana-mana. ucapku kasar sambil menarik pinggangnya lebih dalam.
Kucengkeram kedua pergelangan tangannya lalu kutarik ke belakang menahannya agar tetap pada posisinya. Aku menunduk ke telinganya dan berbisik kasar,
"Kamu istriku. Malam ini aku habisin kamu. Kamu milikku !! Aku punya hak penuh menguasai tubuhmu ini !!
Tubuhnya tersentak ketika aku menghujam lebih dalam sekuat tenaga sampai terasa dasar rahimnya menahan.
"Ya ampuun… aaahhh masuknya terlalu dalam… tapi aku suka… aku sukaaa Zall.. pekiknya nyaris meraung sambil menyerahkan seluruh kendali padaku.
Tanganku menjambak rambutnya dengan sangat keras dan memaksa kepalanya mendongak ke atas. Rambutnya kusut di genggamanku, lehernya teregang, membuat erangannya semakin keras dan liar. Wajahnya penuh gairah pasrah dengan mata setengah terpejam dan bibir basah berdesah tak terkendali.
"Jangan berhenti. Aku mau lebih, lebih dalam lagi, robek aku kalau bisaaa!"
Aku menggertakkan gigi dengan napas memburu lalu mulai menghentak dengan ritme brutal. Beberapa tusukan cepat dangkal lalu satu dorongan panjang menghantam habis-habisan ke dalam. Tangan kiriku meremas dadanya dengan kasar sementara tangan kananku tetap menjambak rambutnya dan membuat tubuhnya melengkung sempurna mengikuti paksaanku.
"Lihat tubuhmu. Kamu sudah tak berdaya sekarang. Tak berdaya karena permainanku. Meilin mengerang panjang dengan suara parau namun penuh gairah yang membuatku semakin beringas menghujam tubuh putihnya.
"Aaaaaakh.. Akuuu sudah pasrah.. Akuuu tidak berdaya karenamu. Teruskan Zall.. Jangan lepaskan aku. Lakukan apapun yang kauuu mauuu.. Erang Meilin yang semakin terbawa suasana liar diatas ranjang pengantin.
Aku semakin kehilangan kendali ketika tubuhnya benar-benar sudah kutundukkan. Dengan kasar kutarik rambutnya lalu kubanting hingga menelungkup rata di atas ranjang. Dadanya menekan kasur, pipinya yang halus menempel di seprai, deru napasnya terengah engah sementara lengannya terentang lemah di samping tubuh.
Aku segera menduduki kedua pahanya dan menekan tubuhnya agar tidak bisa bergerak sedikit pun. Posisi itu membuatnya benar-benar terkunci di bawahku dan ia tidak memiliki ruang untuk melawan sehingga hanya bisa pasrah menerima.
Gaun pengantin putihnya sudah kusut dan tersingkap tinggi, bagian bawah terangkat ke pinggang. Lapisan tipis dalam gaun menempel basah di kulitnya, sarung tangan renda putih masih melingkar di lengannya, stocking putihnya melorot, dan mahkota kecil di kepalanya miring berantakan.
Aku menunduk dengan mulut hampir menempel di telinganya dan berbisik,
“Lihat kamu sekarang… pengantin cantik keturunan Cina, akhirnya ditaklukkan sama aku, pria pribumi. Gaun putihmu tidak ada artinya lagi dan hanya jadi saksi tubuhmu ditelanjangi.”
Tubuhnya tersentak ketika aku menghujam lebih dalam dan ia meraung pelan dengan wajah yang tertekan ke seprai.
“Aaahh… jangan bilang gitu… tapi aku… aku nggak bisa berhenti… rasanya terlalu enak…”
Tanganku menjambak rambutnya keras dan memaksa kepalanya mendongak.
“Dasar perempuan manja. Dari luar kelihatan anggun pakai gaun pengantin, tapi di ranjang kamu tunduk dan jadi milik pribumi seutuhnya.
“Aku… aku milikmu… aku nggak bisa bohong lagi!” suaranya pecah, setengah terisak dan setengah bernafsu.
Aku menghentak lebih brutal sehingga ranjang berderit hebat menahan ritme liarku. Tanganku menekan punggungnya kuat-kuat agar tubuhnya tetap rata di kasur dan payudaranya bergesekan liar dengan seprai.
“Begitu. Biar semua tau, pengantin Cina pun kalau sudah di ranjang sama aku, cuma bisa merintih kayak gini.
Ia meraung lagi dan kali ini suaranya makin parau, pasrah serta terbakar.
“Ya ampun… aku memang kalah… aku kalah di tanganmu…
Aku terus menduduki kedua pahanya, menghujam dengan hentakan liar yang membuat ranjang berderit tak henti. Tubuhnya menelungkup rata di atas kasur, terjepit sepenuhnya oleh bobotku. Satu tanganku mencengkeram rambutnya, menarik kepalanya mendongak, sementara tangan satunya menekan kuat di punggungnya agar tetap rata tak bisa bergerak.
“Uuhhh… aku… nggak kuat… keras banget…” desahannya pecah, suaranya bergetar di antara tarikan napas cepat.
Aku merapatkan bibirku ke telinganya, berbisik penuh dominasi.
“Kamu suka ini, kan? Katakan… kamu milikku sepenuhnya.
Ia menggelinjang, tubuhnya bergetar, tapi bukan untuk melawan. Gerakan kecil pinggulnya justru seolah mengikuti hentakanku, ritme yang makin liar. Napasnya tersengal, erangan yang semula tertahan kini pecah lepas.
“Ya… yaa… aku milikmu… jangan berhenti Zal..
Kata-kata itu membuatku semakin menggila. Aku menghantam lebih keras, setiap dorongan memaksa tubuhnya maju menyeret di atas seprai, lalu tertahan lagi karena genggamanku yang menjambak rambutnya. Payudaranya tergesek hebat dengan seprai, membuat desahannya makin tak terkendali.
Tubuhnya mulai bergetar hebat di bawahku, suaranya meninggi, patah-patah.
“Aku… aku… keluar… ahhh—!”
Seluruh tubuhnya melengkung, kakinya menegang, dan ia pun terseret klimaks brutal di bawah kendaliku, gemetar tak berdaya sambil merintih panjang. Aku tetap menghentak tanpa henti, memompa dengan tenaga penuh, membuat puncaknya semakin panjang, membanjiri kasur dengan getaran tubuhnya yang tak terkendali.
Aku hanya bisa menunduk, menggigit bahunya, berbisik kasar di telinganya.
“Begitu… rasakan sampai habis. Kamu milikku. Sampai kapanpun.”
Tubuhnya masih gemetar hebat, napasnya tersengal-sengal di bawahku. Aku bisa merasakan bagaimana otot-ototnya masih berdenyut, seolah gelombang klimaksnya belum reda sepenuhnya. Namun aku tidak memberi kesempatan untuk pulih.
Aku tetap menduduki kedua pahanya, menindih penuh tubuhnya yang menelungkup rata di atas ranjang. Hentakanku tidak berhenti—justru semakin brutal. Setiap sodokan memaksa tubuhnya terdorong maju, wajahnya terhimpit di kasur, sementara rambutnya tetap kujambak keras agar kepala mendongak.
“Aaahhh… Rizal… cukup… aku… nggak sanggup…” suaranya terputus-putus, tapi desahnya justru makin dalam, seolah tubuhnya berkhianat terhadap kata-katanya.
Aku menunduk, menempelkan bibir ke lehernya, menggigit dengan buas sambil menghentak lebih dalam.
“Kamu sanggup. Tubuhmu minta lebih. Aku tahu itu.”
Erangannya pecah, tubuhnya kembali terguncang, bahkan lebih liar dari sebelumnya. Tangannya berusaha meraih seprai, mencengkeram erat seolah menahan gelombang kenikmatan yang terus kupaksa masuk.
Aku menekan punggungnya kuat-kuat dengan telapak tanganku, memastikan ia tetap rata, tak bisa mengangkat pinggul atau melawan hentakanku. Ranjang berderit keras, menghantam dinding, tapi aku tak peduli.
Tubuhnya bergetar lagi, napasnya semakin kacau.
“Ahhh… aahhh… lagi… lagi… aku keluar lagiii!” teriaknya histeris, terjebak di bawah tubuhku.
Dan kali ini, aku terus memompa tanpa ampun, memaksa setiap tetes energinya terkuras habis, membuat tubuhnya hanyut dalam puncak yang panjang dan menyiksa.
Tubuhnya sudah benar-benar lemas di bawahku, wajah menelungkup tertindih kasur, rambut berantakan menempel pada pipinya yang basah oleh keringat. Punggungnya masih naik-turun cepat, napasnya tersengal, seolah baru saja terseret badai. Aku bisa merasakan jelas bagaimana otot-otot di dalamnya masih berdenyut kuat, tanda ia baru saja dihantam klimaks yang dahsyat.
Tapi aku sendiri belum selesai.
Aku menekan kedua pahanya dengan lututku dan tetap menduduki agar ia tidak bisa menghindar. Kedua tanganku mencengkeram kuat pada pinggangnya dan menarik tubuhnya ke arahku setiap kali aku menghentak masuk dengan kasar. Ranjang berderit makin keras dan beradu dengan dinding seirama hentakan yang tidak juga melambat.
Ia sempat mencoba menggerakkan tubuhnya seolah ingin meraih kebebasan dan aku langsung menekan tengkuknya dengan telapak tangan untuk menghimpitnya rata ke kasur.
"Diam, nikmati saja sampai aku selesai. suaraku serak penuh api.
Desahannya pecah lagi dan kali ini bercampur isakan kecil, sementara tubuhnya justru terus bergetar dan tidak kuasa menolak. Ototnya yang basah dan hangat menelanku dengan rakus setiap kali aku sodok lebih dalam. Aku menunduk dan menggigit bahunya lalu menghentak dengan sekuat tenaga dan iramaku semakin brutal. Keringatku menetes deras di punggungnya dan bercampur dengan keringatnya, tubuh kami melebur dalam satu gerakan liar yang tidak mengenal jeda.
Gelombang panas mendesak dari dalam tubuhku dan semakin lama semakin kuat hingga akhirnya aku tidak mampu menahannya lagi. Dengan satu hentakan panjang dan dalam aku menancap habis lalu tubuhku menegang keras.
"Aaahhhhhh!" pekikku pecah saat seluruh ledakan klimaksku menyembur deras dan mengalir panas ke dalam dirinya.
Tubuhku bergetar hebat dan masih menindihnya. Napasku tersengal sementara aku tetap terbenam di dalamnya dan membiarkan semburan terakhirku habis tanpa sisa. Ia hanya bisa merintih pelan di bawahku dan pasrah dalam cengkeramanku, tubuhnya kini sama sekali tidak berdaya dan aku tahu ia sudah kutarik sampai benar-benar ke ambang batas.
Sisa gaun putih itu masih melekat di tubuhnya dan sobek di sana sini, justru membuat lekuknya makin menggoda. Stocking putih menempel rapat di sepanjang pahanya dan sarung tangan renda masih menutupi lengannya. Mahkota kecil yang sempat terlepas kupasang lagi di kepalanya, berkilau samar di antara helai rambut yang kusut. Yang paling membuatku semakin tidak terkendali adalah sepasang sepatu hak putihnya yang masih terpasang, menambah kesan dirinya tetap sebagai pengantin sempurna meski tubuhnya sudah kutundukkan liar.
Menelungkup Diatas Meja Kayu
Aku menyeretnya kasar ke arah meja kayu. Ia sempat terhuyung dan langkah kecil dengan hak tipisnya berderap tergesa di lantai sampai akhirnya tubuhnya kutekuk di atas permukaan keras itu. Ia menelungkup rata dengan dada dan pipinya menempel pada kayu dingin dan kedua lengannya terentang dengan sarung tangan putih renda yang kini kotor oleh gesekan.
Kedua kakinya tetap menapak di lantai, sepatu haknya bergetar setiap kali pahanya merapat, lalu kugapai dan kubuka sedikit lebih lebar. Gaun putihnya tersingkap tinggi, memperlihatkan garis stocking yang menegangkan.
Tanganku menjambak rambutnya hingga wajahnya menoleh ke samping, bibirnya terbuka dengan desah panjang. “Lihat dirimu… pengantin cantikku, masih dengan sepatu dan mahkota, tapi tubuhmu jadi milikku sepenuhnya.”
Aku menekan pinggangnya ke tepi meja, tubuhnya terjepit antara doronganku dengan kayu yang keras. Batangku sudah menegang, menempel erat di belakangnya, sesekali kuusap naik-turun di celah yang panas dan basah, membuatnya merintih terputus-putus.
Hak sepatunya berderit di lantai saat ia mencoba menahan posisi, tapi genggamanku di pinggang membuatnya tak bisa bergerak ke mana pun. Tubuhnya bergetar pasrah, semakin larut dalam kendaliku. Aku berdiri tepat di belakangnya, tubuhku menempel rapat pada bokongnya yang terdorong ke tepi meja. Kedua kakiku menapak kuat di lantai, menyeimbangkan setiap hentakan yang kupompa ke dalam tubuhnya.
Tanganku mencengkeram pinggangnya dengan kasar, jari-jariku menekan dalam hingga kulit putihnya berbekas merah. Gaun pengantin tipisnya tersingkap tinggi, hanya menyisakan sedikit kain kusut yang terjepit di pinggang. Stocking putih yang masih melekat di kakinya tegang mengikuti posisinya yang terbuka, hak tingginya bergetar setiap kali aku menghantam masuk dengan keras.
Kepalanya menunduk di atas meja kayu, mahkota kecil di rambutnya bergoyang liar, hampir jatuh setiap kali tubuhnya terguncang oleh sodokanku. Nafasnya memburu, tersengal, bercampur desah panjang yang terdengar semakin dalam seiring ritme brutal yang terus kutekan dari belakang.
Aku menunduk sedikit, menempelkan dada ke punggungnya lalu berbisik dengan suara berat di telinganya. “Kamu milikku sepenuhnya… dan malam ini aku akan menghancurkanmu berkali-kali.
Tubuhnya bergetar hebat setiap kali aku menghantam dari belakang. Punggungnya melengkung tak terkendali, dadanya tertekan rata di permukaan meja kayu, membuat payudaranya tergencet hingga terdengar desahan tertahan dari bibirnya.
Kedua tangannya mengepal di atas meja, sarung tangan putih panjangnya mulai kusut dan licin oleh keringat. Jari-jarinya mencakar-cakar permukaan kayu, seakan mencari pegangan agar tidak tenggelam dalam gelombang yang terus menghantam tubuhnya.
Pinggulnya spontan tersentak ke depan setiap kali aku menghujam keras, tapi kemudian otot pahanya justru melemas, membuat bokongnya pasrah menunggu sodokan berikutnya. Hak tingginya bergetar, menjejak lantai keras dengan hentakan tak beraturan, seirama dengan ritme pompa brutal yang menembusnya dari belakang.
Dari kerongkongannya lolos suara parau. Campuran erangan nikmat dan pekikan kecil, seakan tubuhnya tak lagi sanggup membedakan antara sakit atau kenikmatan. Setiap kali aku menahan batangku dalam-dalam, tubuhnya bergetar halus, paha dan betisnya kaku sesaat, lalu melemas gemetar, menandakan ia terbawa arus klimaks yang tak bisa dihentikan.
Aku berdiri rapat di belakang tubuhnya yang tertekuk menelungkup di atas meja kayu, kedua tanganku menekan pinggangnya keras. Gaun putihnya yang sudah tersingkap hanya menyisakan robekan renda di punggung, stocking putihnya menempel di kulit halus, dan sepatu haknya masih terpasang rapat di kedua kaki.
Dengan gerakan kasar aku meraih pahanya, lalu mengangkat satu kakinya ke belakang dan ke samping, membuatnya hanya bertumpu pada satu kaki di lantai. Posisi itu membuatnya semakin terbuka, membuatku bisa menghujam lebih dalam. Ia meringis, tubuhnya sedikit bergetar, tapi aku justru terkekeh rendah di telinganya.
“Lihat dirimu sekarang… persis seperti anjing betina yang dipaksa nurut.
Aku menampar bokongnya sekali, bunyinya keras memantul di ruangan, lalu langsung kembali menghentakkan pinggulku. Hentakanku semakin brutal, dorongan masuk yang panjang dan dalam, membuat meja bergetar setiap kali aku membenamkan diriku habis-habisan.
Hak tingginya berderap tak beraturan di lantai, stocking putihnya meregang, sementara tubuhnya hanya bisa menerima hentakan demi hentakan. Rambutnya kusut, mahkota yang tadi kupasang kembali kini terguncang hampir terlepas lagi. Ia mengerang panjang, suaranya campuran antara malu, sakit, tapi juga pasrah terbawa oleh derasnya ritme buas yang kuciptakan.
Tubuhnya yang tertekuk di atas meja mulai gemetar hebat setiap kali aku menghentakkan pinggul dari belakang. Hak tingginya berderap di lantai, stocking putihnya meregang, dan gaun robeknya terayun setiap hentakan. Tanganku yang menekan pinggangnya makin kuat, sementara satu kakinya yang kuangkat tinggi membuatnya tak bisa berpegangan stabil, hanya bisa pasrah menerima.
Aku terus membenamkan diri lebih dalam, sengaja mempercepat ritme hingga meja berderit dan bergeser. Di antara erangan yang tercekat, terdengar pekikan panjang keluar dari bibirnya. Tubuhnya menegang lalu bergetar keras, perutnya berkontraksi, dan ia melenguh tercekik. Paha yang masih menapak di lantai berusaha merapat, tapi aku menahannya dengan kasar, membuat getaran klimaksnya pecah tanpa bisa ditahan.
“Aaahhh…!! suaranya melengking, wajahnya menelungkup di atas meja, mahkota di kepalanya bergeser miring. Tangan berbalut sarung putihnya mencakar permukaan kayu, meninggalkan bekas goresan.
Aku menunduk di atas punggungnya, tertawa pendek di telinganya sambil tetap menghentakkan keras sampai tubuhnya benar-benar lemas di bawahku. Sensasi kontraksi liar dari dalamnya menyambut setiap hentakan terakhirku, membuat aku sendiri hampir kehilangan kendali.
Tubuhnya sudah terkulai di lantai, gaun putih berantakan, stocking dan sepatu hak tinggi masih melekat di kakinya. Aku berlutut di antara pahanya, menarik kasar hingga terbuka lebar, lalu menghujam lagi tanpa memberi jeda.
Wajahnya menoleh ke samping, rambut hitam panjang terurai menempel pada pipinya yang basah keringat. Sorot matanya sayu, nafasnya terengah, dan raut wajah cinanya yang memelas serta kelelahan justru membuat gairahku semakin liar. Ada campuran pasrah dan kenikmatan di sana, membuatku ingin terus mengguncangnya lebih dalam.
Tangannya yang masih berbalut sarung putih mencoba meraih apa saja di lantai, tapi aku menekan kedua pahanya kuat-kuat, menahan agar tetap terbuka untuk terhujam habis. Payudaranya berguncang liar tiap kali aku menghantam keras, gaun putihnya tersingkap makin tinggi, hampir tak menutupi apa pun.
Aku membungkuk ke arahnya, menggertakkan gigi, lalu menghujam lebih buas, ritme cepat dan kasar, tubuhnya berguncang keras di bawahku. Erangan parau yang keluar dari bibirnya hanya semakin menyalakan api dalam diriku.
Berbaring Miring Dilantai
Tubuhnya yang semula telentang di lantai kutarik kasar lalu kumiringkan ke samping. Gaun putihnya yang tersisa kini semakin kusut, sebagian kain menempel pada keringat di kulitnya, stocking putih dan sepatu haknya masih terpasang membuat tubuhnya tampak semakin tak berdaya.
Aku berlutut rapat di antara pahanya yang terbuka menyamping, lalu kembali menghujam dari posisi itu. Dorongan keras membuat tubuhnya bergeser pelan di lantai kayu, rambutnya berantakan menutupi wajah oriental yang memerah karena lelah bercampur gairah.
Satu tanganku menahan pahanya agar tetap terangkat ke samping, sementara tangan lain meremas dadanya yang terhempas naik-turun mengikuti hentakanku. Setiap kali kutekan lebih dalam, erangan panjang lolos dari bibirnya, tubuhnya meliuk tak kuasa menahan gelombang yang terus kupaksakan masuk ke dalam dirinya.
Posisi miring itu membuat payudaranya jatuh ke samping, berguncang liar setiap kali aku menghentak, sementara wajahnya yang memelas dengan mata setengah terpejam justru semakin memicu kebuasan dalam dadaku.
Aku terus memompa tanpa henti, mengangkat sebelah kakinya tinggi-tinggi lalu kupegang erat agar tetap terbuka. Tubuhnya masih terbaring miring di lantai, gaun putih yang compang-camping menempel di kulit lembapnya, stocking dan sepatu haknya masih melekat, membuat pemandangan itu semakin liar di mataku.
Setiap hentakan membuat pinggulnya tersentak ke depan. Tubuhnya bergetar dan payudaranya berguncang liar mengikuti irama. Ia hanya bisa menggeliat dengan wajah terpejam setengah. Nafasnya terengah dan bibirnya mengerang tertahan di antara gelombang yang kupaksakan masuk lebih dalam.
Peganganku di pahanya semakin kuat. Aku menahan kakinya tetap terangkat sementara pinggulku menghantam tanpa ampun dari belakang. Suara hantaman tubuh dan desahan bercampur memenuhi ruangan. Doronganku makin brutal, semakin dalam dan semakin cepat, seolah aku ingin menandai tubuhnya dari dalam.
Pada hentakan terakhir yang meledak liar aku meraung pelan. Tubuhku menegang lalu meledakkan klimaks yang hangat dan deras ke dalam dirinya, sementara tanganku masih mencengkeram pahanya kuat-kuat agar tetap terbuka menantikan semburan terakhirku.
Tubuhnya langsung bergetar hebat begitu aku menghujamkan hentakan terakhir dan melepaskan luapan klimaksku di dalam. Kakinya yang tadi kuangkat tinggi sempat bergetar lemas, hampir terlepas dari genggamanku, tetapi aku tetap menahannya agar ia tetap terbuka.
Wajahnya miring di lantai. Rambut panjangnya berantakan menempel pada pipinya yang basah oleh keringat. Matanya terpejam rapat dan bibirnya terbuka mengeluarkan desahan panjang yang putus-putus. Tubuhnya melengkung tipis ke belakang. Perut dan dadanya naik turun cepat menahan sisa gelombang kenikmatan yang menjalari syarafnya.
Aku bisa merasakan dari setiap denyut dinding hangat di dalamnya bahwa ia ikut tenggelam dalam puncaknya sendiri. Paha dan betisnya bergetar tanpa kendali. Stocking putihnya sedikit melorot di satu sisi dan membuat pemandangan itu semakin liar.
Begitu ledakan terakhirku reda aku melepaskan genggamanku pada pahanya. Kakinya langsung jatuh terkulai di lantai. Tubuhnya benar-benar tidak berdaya dan ia terbaring miring dengan dada naik turun cepat, wajah memerah, serta tubuh yang sesekali masih tersentak kecil karena sisa klimaks.
Aku menunduk dan bibirku hanya menyentuh bibirnya sekilas sebelum menatap wajah lelahnya yang memerah. Napasku berat, tetapi kata-kata keluar dengan nada dalam penuh kuasa.
“Selama kamu jadi milikku, kamu harus mau menuruti semua kemauanku. Apa pun yang aku inginkan, kamu harus rela aku lakukan padamu. Ucapku serak di telinganya lalu jemariku menekan lembut pipinya agar ia menatapku.
Ia terdiam sejenak. Matanya bergetar dan tubuhnya masih limbung tetapi jelas mendengarkan setiap kata. Senyum tipis muncul di bibirnya, samar namun penuh makna. Napasnya bergetar lalu ia membalas pelan.
“Kalau memang itu keinginanmu, aku akan pasrah. Karena aku memang milikmu sepenuhnya. Ucapannya membuat dadaku menghangat sekaligus membakar kembali bara di tubuhku. Jemariku menyapu pelan lehernya. Wajah pasrah bercampur gairah yang ia tunjukkan justru semakin menegaskan bahwa ia telah menyerahkan diri seutuhnya padaku.
Gaun pengantin Meilin sudah berantakan dan tercabik cabik sementara lapisan tipisnya menempel di kulit yang basah oleh keringat. Stocking dan sarung tangan putihnya masih melekat, slayer tipis di rambutnya terjatuh menutupi sebagian wajah. Ia terbaring miring di lantai, tubuhnya masih limbung setelah resepsi panjang yang melelahkan.
Rizal menunduk, bibirnya hanya menyentuh bibir Meilin sekilas sebelum menatap wajah lelah yang memerah itu. Napasnya berat, namun kata-katanya keluar dengan nada dalam penuh kuasa.
"Selama kamu jadi milikku, kamu harus mau nurutin semua kemauanku. Apa pun yang aku inginkan, kamu harus rela aku lakukan padamu," ucapku serak di telinganya sambil menekan lembut pipi Meilin agar ia menatapnya.
Meilin terdiam sejenak. Matanya bergetar, tubuhnya masih lemas, tapi jelas mendengarkan setiap kata. Senyum tipis muncul di bibirnya, samar namun penuh makna. Napasnya bergetar lalu ia membalas pelan.
"Kalau memang itu keinginanmu, aku akan pasrah. Karena aku memang milikmu sepenuhnya."
Ucapan itu membuat dadaku menghangat sekaligus membakar kembali bara di tubuhnya. Jemariku menyapu pelan lehernya lalu turun menekan pinggangnya agar tetap terbuka. Wajah pasrah bercampur gairah yang ditunjukkan Meilin semakin menegaskan bahwa ia telah menyerahkan diri seutuhnya padaku.
Rizal mencengkeram pergelangan tangannya dan menekannya ke lantai. Napasnya memburu, keringat menetes ke wajah Meilin. "Malam ini kamu harus tahu, Li… aku nggak akan biarkan ada bagian dari tubuhmu yang tidak kutaklukkan," bisiknya dingin.
Tubuh Meilin bergetar, stocking putihnya bergesekan dengan kulitku yang panas. Gaun tipis yang compang-camping menempel erat, dadanya naik turun mengikuti hentakan napas cepat. Aku menarik rambutnya hingga wajahnya menengadah, sementara tanganku yang lain menekan bahunya ke lantai.
Udara kamar pengantin itu penuh dengan desahan, suara gesekan kain, dan benturan tubuh yang liar. Aku melepaskan seluruh fantasi liarku, menjadikan malam setelah resepsi bukan sekadar perayaan cinta tapi juga penaklukan brutal seorang suami atas istrinya.
Aku menatap Meilin yang masih tergeletak lemas di lantai. Napasnya tersengal, gaun tipisnya kusut menempel di kulit basahnya. Stocking putih dan sarung tangan pengantinnya masih melekat, membuat tubuh pasrah itu terlihat semakin menggoda di mataku.
Tanpa ragu aku menjambak rambut panjangnya keras-keras sampai kepalanya menengadah ke atas. Ia langsung meringis, tubuhnya bergetar di bawah cengkeramanku. Aku sengaja menariknya lebih kencang agar ia tahu kalau aku benar-benar menguasainya.
"Aku mau dengar suara jeritan amoy waktu aku bikin kamu takluk kayak gini," ucapku bengis di telinganya dengan nada berat.
"Aahhh… mas… jangan terlalu kasar… jeritnya lirih, suaranya pecah di antara tangis dan desahan.
Aku makin keras menjambak rambutnya sampai tubuhnya setengah terangkat dari lantai. Punggungnya melengkung, dadanya terhempas ke depan. Tanganku yang lain mencengkeram pinggangnya erat supaya dia tidak bisa menghindar.
"Mas… sakit… aku nggak kuat…," teriaknya melengking, jeritannya nyaring menusuk telingaku.
Aku menunduk di dekat telinganya sambil tetap menarik rambutnya kasar. "Jeritlah lebih kencang… aku mau dengar suara amoy yang sedang diperkosa pribumi..
"Aaahhhhhh…!" jeritnya pecah lebih keras entah karena takut atau karena terangsang. Suaranya menggema di seluruh ruangan kamar pengantin. Tubuh mulusnya terguncang liar di bawah tekananku, wajahnya meringis dan rambutnya kusut berantakan di genggamanku.
Aku mendengar jelas setiap jeritannya yang memekakkan telinga. Dan semakin ia menjerit, semakin kuat aku ingin membuatnya bertekuk lutut di hadapanku. Bagiku suara jeritan itu adalah bukti kalau ia sudah benar-benar takluk.
Aku bergerak cepat dari belakang. Slayer tipis yang masih menempel di kepalanya langsung kutarik lepas lalu kulilitkan ke lehernya. Dengan sekali hentakan kasar, kujerat slayer itu dari belakang sambil menariknya kuat-kuat hingga tubuh Meilin mendongak paksa.
Jeritannya langsung pecah keras. "Aaahhhhhh…!" suaranya melengking, tangannya berusaha meraih jeratan di leher, tapi aku tidak memberinya kesempatan.
Tubuhnya masih tergeletak lemas di lantai, tapi aku paksa ia bertahan dengan menarik slayer itu ke belakang. Sambil terus menghujam tubuhnya dengan hentakan brutal, aku tarik kain tipis itu makin kencang hingga ia setengah tercekik.
"Aku suka denger suara jeritan gadis cina waktu aku taklukan kayak gini," ucapku bengis tepat di telinganya. Napasku berat, setiap kata keluar bersama geraman rendah.
"Aaaahhhhhh…! Mas… nggak… aaaahhhhhh!" teriaknya pecah-pecah, tubuhnya terguncang hebat.
Tanganku yang satu mencengkeram pinggulnya kuat, menahannya tetap terbuka di lantai, sementara tangan lainnya menarik slayer makin kencang dari belakang. Tubuhnya melengkung, punggungnya tegang, jeritannya menggema memenuhi ruangan.
Setiap hentakanku membuat gaun pengantinnya makin robek, stocking putihnya terkoyak, dan tubuhnya terus bergetar hebat di bawah kuasa. Slayer di lehernya bergeser kencang, kain tipis itu menegang keras di tanganku.
"Aaaahhhhhh…! Aaaaaaahhhhhh!" suaranya makin panjang, jeritannya seperti terlepas habis-habisan, membuatku semakin brutal menghantam tanpa henti.
Slayer tipis itu masih melingkar kuat di lehernya, membuat setiap tarikan tanganku memaksa kepalanya mendongak dengan kasar. Nafasnya tersendat, wajahnya memerah, tapi aku justru makin menikmatinya.
Ujung kain yang sama kupilin ke belakang lalu kuikatkan ke kedua pergelangan tangannya. Sekarang tubuhnya terjerat ganda. Lehernya tercekik, tangannya terikat ke belakang, benar-benar tak punya ruang untuk melawan.
Meilin terjerembab di lantai, dadanya menghantam keras ubin dingin. Jeritannya pecah panjang. "Aaaaaahhhhhh…!"
Aku tertawa rendah sambil menjambak rambutnya. "Aku suka dengar suara jeritan amoy kayak kamu waktu kupaksa takluk begini.
Setiap kali kuhantamkan tubuhku, ikatan itu menegang, menarik leher dan tangannya sekaligus, membuat tubuhnya melengkung paksa di bawahku. Ia hanya bisa meraung, napasnya terputus-putus, stocking putihnya sudah robek, sarung tangan dan gaun pengantinnya kusut berantakan.
Jeritan Meilin menggema lagi, keras, panjang, liar, seolah ruangan itu hanya diisi oleh suara siksaan nikmatnya.
Aku berdiri setengah jongkok di belakangnya, kakiku menekan keras pahanya agar tetap terbuka di lantai. Satu tanganku menjambak rambut hitam panjangnya, memaksa wajahnya mendongak, sementara tangan satunya menarik kuat slayer yang melilit leher dan mengikat tangannya ke belakang.
Dengan posisi itu tubuh Meilin terangkat sedikit dari lantai, punggungnya melengkung karena tarikan ganda di rambut dan lehernya. Dadanya menempel di ubin dingin, pantatnya terangkat sempurna di hadapanku.
Setiap kali kuhentakkan pinggulku, tubuhnya maju ke depan menghantam lantai, lalu kutarik lagi dengan slayer agar tetap rapat menempel denganku. Gerakannya brutal, hentakanku makin cepat dan dalam, membuat jeritan panjangnya pecah-pecah tak beraturan.
"Aaaahhhhhh… Rizaaaalll…!" suaranya melengking, bercampur tangis, tapi aku justru makin keras menghajarnya.
Aku menunduk, berbisik bengis di telinganya sambil terus menghujam tanpa ampun. "Aku mau dengar suara jeritan gadis cina lagi… lebih keras… sampai ruangan ini penuh dengan jeritmu.
Aku bangkit berdiri penuh tanpa melepaskan slayer yang melilit leher Meilin. Tarikanku makin kuat hingga tubuhnya terangkat dari lantai. Kedua tangannya masih terikat di belakang punggungnya, sehingga ia terpaksa menekuk tubuhnya ke belakang mengikuti kekuatan talian itu.
Kakinya gemetar menopang tubuh, stocking putihnya yang sudah robek makin tersingkap, gaunnya terjuntai compang-camping. Aku menarik slayer itu ke atas dengan satu tangan, membuat lehernya terjerat kencang. Sementara tangan satuku mencengkeram keras pinggangnya agar tetap rapat padaku.
Posisinya kini setengah berdiri membungkuk dengan punggung melengkung. Tubuhnya kutarik seperti boneka tak berdaya, hanya bisa menjerit setiap kali aku menghujam dari belakang dengan hentakan brutal.
"Jerit lagi Meilin! Aku mau dengar lebih keras! Biar semua tahu gadis cina ini udah takluk sama aku!" bentakku dengan tawa bengis.
"Aaaaahhhhhh… Rizaaaal…!" suaranya melengking panjang, tercekik karena tarikan slayer, tapi jeritannya justru semakin liar memenuhi ruangan.
Aku menghantam makin cepat, tubuhku berayun kuat. Tiap kali hentakan terakhir menabrak, badannya terangkat ke depan lalu tertarik lagi ke belakang oleh jeratan di lehernya. Napasnya terputus-putus, payudaranya berayun liar, stockingnya robek makin parah, tapi aku sama sekali tidak berhenti.
Aku menarik lebih keras slayer itu, tubuh Meilin makin melengkung, kepalanya mendongak ke atas dengan leher tercekik kain putih pengantinnya sendiri. Kakinya gemetar menopang, setengah berdiri dengan lutut bergetar hebat. Aku mencengkeram pinggangnya kuat-kuat, menghujam makin brutal dari belakang.
"Aaaahhhhhh Rizaaaalll…!" jeritannya makin panjang, nyaring, melengking putus-putus karena lehernya terjerat. Tubuhnya berguncang liar, payudaranya berayun liar mengikuti hentakanku. Dia benar-benar tak bisa melawan lagi.
Aku menghantam makin cepat, makin dalam, tubuhnya terayun maju-mundur setiap kali hentakan terakhir menabrak. Tarikan slayer menahannya agar tak jatuh ke depan.
"Aku mau kamu meledak sekarang juga, Meilin! Jerit lebih keras lagi!" bentakku bengis sambil meraung.
Tubuhnya tiba-tiba menegang, jeritannya pecah jadi pekikan panjang yang menggema di ruangan. "Aaaaahhhhhh—aaaakhhhhhhh Rizaaaal!" Seluruh tubuhnya bergetar hebat, orgasme mengguncangnya sampai kakinya hampir menyerah.
Aku sendiri sudah tak mampu menahan. Dengan raungan keras, "Aaaaarghhhhhh!" aku menghantamkan dorongan terakhir, tubuhku menegang, lalu semburan panas meledak deras di dalam dirinya. Pinggangnya kurapatkan erat agar tak ada jarak sedikit pun.
Beberapa detik tubuh kami sama-sama berguncang liar. Meilin masih menjerit tercekik, tubuhnya terkulai setengah tergantung oleh jeratan slayer yang masih kutarik dari belakang. Kakinya bergetar hebat, hampir terlepas dari kekuatan untuk berdiri.
Akhirnya aku melepaskan tarikan sedikit, membiarkan tubuhnya jatuh lemas ke dadaku, napasnya tersengal dan wajahnya memerah penuh peluh. Slayer masih melilit lehernya, tangannya tetap terikat di belakang—tapi jelas, ia baru saja benar-benar takluk dalam pelukanku.
Tubuhku masih menempel erat di punggung Meilin, napasku memburu kasar. Tanganku tidak kunjung melepaskan tarikan pada slayer di lehernya. Biarlah ia tetap tergantung seperti boneka di genggamanku, setengah terangkat ke belakang dengan tangan masih terikat di punggung.
Lehernya masih terjerat kuat, wajahnya mendongak paksa ke atas, bibirnya terbuka melepas napas yang tersengal-sengal. Tubuhnya benar-benar lemas, kakinya gemetar tak sanggup menopang penuh, tapi justru itu yang membuatku semakin puas.
Aku merapatkan tubuhku ke punggungnya, satu tanganku tetap menarik kain tipis slayer sebagai kendali, tangan satunya menggenggam erat pinggangnya agar ia tetap rapat padaku. "Lihat dirimu sekarang, Meilin… gadis Cina cantik dengan gaun pengantin robek, terjerat, dan benar-benar takluk di tanganku," bisikku bengis di telinganya, suaraku serak bercampur tawa pendek.
Meilin hanya bisa mengeluarkan jeritan lirih yang terputus-putus, "Ahhh… haaa… Rizal… aku… nggak sanggup lagi…" Napasnya nyaring, tersedak karena tarikan slayer di lehernya. Tubuhnya bergetar hebat, payudaranya naik turun liar, stockingnya yang robek tersingkap semakin tinggi.
Aku tidak segera melepaskannya. Kupertahankan ia dalam posisi itu, menggantung lemas dengan tubuh melengkung, hanya terikat dan tergantung pada kekuatan tarikan slayerku. Aku sengaja menahan, menikmati bagaimana tubuhnya benar-benar tidak berdaya, hanya bisa pasrah tergantung dalam genggamanku.
Kuhela napas panjang, lalu dengan nada rendah penuh kuasa aku menambahkan, "Selama aku belum melepas slayer ini, kamu tetap jadi milikku, Meilin. Bahkan tubuhmu yang lemas pun masih harus tunduk.
Tubuh Meilin akhirnya benar-benar jatuh limbung dalam pelukanku ketika hentakan terakhirku merobek sisa tenaganya. Suara jeritannya melemah menjadi erangan panjang, lalu hanya tersisa napas tersengal yang terputus-putus. Aku perlahan melepaskan tarikan pada slayer, membiarkannya longgar di lehernya, kemudian kulepaskan ikatan di tangannya.
Begitu bebas, tubuhnya langsung ambruk ke dadaku, wajahnya tertutup rambut panjang yang basah oleh peluh. Aku menahan erat tubuhnya agar tidak jatuh, lalu mengangkatnya perlahan ke pangkuanku.
“Shhh… cukup, sayang. Kamu sudah luar biasa,” bisikku lembut, kali ini tanpa nada bengis. Jari-jariku menyapu keringat di pipinya, sementara bibirku menempelkan kecupan ringan di dahinya.
Meilin hanya bisa menggumam pelan, matanya setengah terpejam. “Aku… lelah sekali, Mas…” suaranya nyaris tak terdengar.
Aku meraih kain tipis gaunnya yang compang-camping untuk menutupi tubuhnya, lalu menurunkannya perlahan ke lantai berlapis karpet di sudut ruangan. Tanganku mengusap pelan lengannya yang masih bergetar kecil, sementara napasku sendiri mulai kembali teratur.
“Aku janji, habis ini aku rawat kamu. Istirahat dulu, ya. Kamu tetap milikku, tapi aku nggak akan biarkan kamu hancur,” ucapku pelan, kali ini penuh kehangatan.
Meilin tersenyum tipis di tengah kelelahan, lalu merebahkan kepalanya di dadaku. Aku memeluknya erat, membiarkan waktu berhenti sejenak dalam dekapan itu, hanya ada detak jantung kami yang berdentum bersamaan.
Tubuh Meilin masih limbung dalam pelukanku. Nafasnya pendek-pendek, wajahnya merah padam dengan sisa air mata dan keringat yang bercampur. Aku menyapu rambutnya pelan, lalu mendekatkan bibirku ke telinganya.
“Sudah cukup di lantai, sayang. Sekarang waktunya kamu istirahat di ranjang pengantin kita,” ucapku pelan, kali ini penuh kelembutan.
Aku meraih selapis kain gaunnya yang masih menempel, merapikannya seadanya agar menutupi tubuhnya, lalu mengangkatnya dalam gendonganku. Tubuhnya ringan, meski lemas, ia melingkarkan lengannya di leherku tanpa sadar, seperti mencari tempat aman untuk bersandar.
Aku melangkah pelan melewati lorong menuju kamar. Setiap langkah terdengar jelas, hanya ditemani suara napas kami yang mulai mereda. Saat tiba di ranjang, aku menurunkannya perlahan di atas sprei putih yang masih rapi dari pesta pernikahan.
Meilin mengerang kecil ketika tubuhnya menyentuh ranjang, tapi segera tersenyum tipis begitu merasakan kelembutan kasur. Aku duduk di tepi ranjang, meraih tangannya, lalu mengecup punggung tangannya dengan lembut.
“Tidurlah Meilin. Aku di sini nemenin kamu. Malam ini milik kita tapi sekarang kamu butuh tenang. kataku sambil mengusap lembut keningnya.
Matanya perlahan terpejam, napasnya semakin teratur. Aku menarik selimut, menutup tubuhnya dengan hati-hati, lalu merebahkan diriku di sampingnya. Satu tanganku merangkul pinggangnya, memastikan ia tetap dalam pelukanku meski sudah tertidur.
Untuk pertama kalinya malam itu, aku tidak lagi merasa seperti penakluk yang bengis, tapi sebagai seorang suami yang baru saja menemukan rumahnya dalam tubuh dan hati istrinya.
Sex scene yg cukup seru....hot like fire
BalasHapustacap aja istrinya...hajar habis habis
BalasHapus