Seorang pemuda pribumi, sebut saja Aditya, mencoba menelusuri sisi yang jarang dibicarakan: dunia malam para gadis chindo. Wajah mereka sering jadi magnet di klub malam dan karaoke eksklusif, di mana penampilan glamor hanya setebal make-up, dan senyum manis kadang sekadar strategi bertahan hidup.
Begitu ia melangkah melewati pintu, dunia lain langsung menyambutnya. Asap rokok menggantung rendah, bercampur dengan aroma parfum tajam yang menusuk hidung. Lampu LED biru dan ungu berpendar bergantian, memantul pada botol minuman di meja-meja bundar. Gelak tawa, suara gelas beradu, dan musik yang menggedor dada membuat suasana terasa riuh, namun juga muram.
Seorang perempuan paruh baya mendekat. Rambutnya disemir cokelat, disasak rapi, wajahnya berlapis make-up tebal. Gaun hitam ketat membungkus tubuhnya, dihiasi kalung besar yang berkilau samar di bawah lampu. Dialah mami, sosok yang mengatur lalu lintas tamu dan perempuan di tempat itu. Senyumnya lebar tapi tatapannya tajam penuh hitungan.
"Baru pertama kali ya ? suara mami agak serak tapi nada bicaranya santai. Matanya meneliti Aditya dari ujung kepala sampai kaki lalu ia miringkan badan sedikit, senyumnya tipis.
“Kalau mau. ada cewek lokal. Masih muda, manis dan enak diajak ngobrol
Aditya menelan ludah. Bayangan tentang tawaran itu sempat menggoda tapi keraguan membuatnya diam. Tatapannya beralih ke sofa panjang di sudut ruangan: beberapa gadis bergaun ketat duduk dengan ekspresi jenuh, sebagian sibuk menggulir ponsel, sebagian lagi melirik ke arah pintu, menunggu dipilih. Ia mengusap telapak tangan ke celana panjangnya, mencoba menenangkan kegugupan yang merayap.
Mami memperhatikan wajah ragu itu. Senyumnya tak luntur, malah semakin lebar, seolah tahu Aditya belum menemukan yang dicari. Ia lalu mendekat sedikit lagi, bibirnya hampir menempel di telinga Aditya.
“Kalau mau yang beda,” bisiknya pelan, “ada Chindo asli, masih muda.
Kali ini nada suaranya seakan lebih menggoda mencoba menyelipkan janji yang berbeda dari tawaran pertama. Mata Aditya bergerak cepat menimbang-nimbang. Jantungnya berdegup lebih keras bukan hanya karena alkohol di udara tapi juga karena godaan yang kini terasa lebih sulit ditolak.
Malam baru saja dimulai dan Aditya sadar dirinya telah melangkah terlalu jauh untuk mundur. Tak lama seorang gadis bertubuh seksi muncul. Kulitnya putih pucat, mata sipit dan rambut sedikit bergelombang dibagian bawanya menutupi bahu. Namanya Alena, 22 tahun. Katanya sih keturunan tionghoa dari medan. Malam itu ia mengenakan tank top hitam ketat yang menonjolkan lekuk dadanya, dipadukan dengan rok mini berkilau dan high heels. Tampilan khas gadis club malam yang tahu betul bagaimana menarik perhatian lelaki. Ia bercerita lirih sambil menuangkan bir ke gelas Aditya.
Di ruang VIP, Alena bercerita lebih jauh: banyak gadis chindo dari keluarga sederhana seperti dirinya sengaja direkrut untuk dunia malam karena dianggap punya nilai jual lebih di mata pelanggan. Kulit putih mulus dan stereotip imut oriental jadi komoditas.
Namun di balik gemerlap itu, ada tekanan. Target botol yang harus dihabiskan tiap malam, saingan antar-gadis, hingga ancaman kekerasan kalau menolak pelanggan tertentu. “Kadang aku tanya ke diri sendiri: ini hidup yang aku mau?” kata Alena, menunduk, sebelum kembali tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.
Malam semakin larut, musik makin keras, pelanggan mabuk makin berani. Aditya menyadari, di balik tawa dan dansa, dunia malam ini menyimpan kisah getir: tentang gadis-gadis chindo yang menjual waktu, senyum, bahkan tubuh, hanya demi bertahan di ibukota.
Bagi pengunjung, semua tampak seperti hiburan. Tapi bagi mereka yang hidup di dalamnya, malam hanyalah panggung sandiwara, tempat mimpi dan air mata bercampur dengan alkohol.
Aditya mulai merasa perbincangan dengan Alena tak lagi sebatas basa-basi. Senyum gadis itu, tatapan matanya, dan cara ia memainkan rambutnya adalah kode tak tertulis di dunia malam: ajakan halus untuk melanjutkan ke “bab berikutnya.”
Seolah sudah terbiasa, Alena langsung menawarkan dengan nada datar namun ramah:
“Kalau abang mau lanjut, ada dua pilihan. Short time atau long time. Tergantung abang maunya gimana.”
Mami yang sejak tadi mengawasi dari kejauhan ikut mendekat. Dengan cekatan ia menyebut angka:
Short time (2 jam) dipatok sekitar 4 ratus ribu – 6 ratus ribu rupiah belum termasuk kamar.
Long time (semalam penuh sampai pagi) bisa mencapai 1 – 1,5 juta rupiah.
Tarif itu kata mami tergantung siapa gadisnya. Gadis chindo seperti Alena biasanya punya harga lebih tinggi karena banyak yang nyari.
Tempat pun fleksibel. Beberapa pelanggan memilih hotel melati di sekitar Mangga Besar yang menyewakan kamar per jam. Ada juga yang membawa ke hotel berbintang untuk kenyamanan lebih, tentu dengan biaya tambahan. Bahkan beberapa klub sudah menjalin kerja sama diam-diam dengan hotel terdekat, memudahkan urusan tanpa banyak tanya. Alena menatap Aditya dengan senyum penuh kode:
“Abang pilih di sini aja. gampang ada hotel di belakang. Bersih kok. Pokoknya dijamin aman.
Aditya mengangguk perlahan, pura-pura tenang padahal jantungnya berdetak lebih cepat. Di balik meja, dompetnya terasa berat bukan karena isi tapi karena keputusan yang harus dibuat.
Malam itu, Aditya benar-benar menyadari: transaksi kenikmatan ini hanyalah bagian dari industri gelap yang bergerak halus di balik lampu neon. Tidak ada lagi romansa, hanya negosiasi harga, waktu, dan tempat.
Transaksi selesai. Selembar uang berpindah tangan ke mami, sisanya diserahkan langsung ke Alena. Gerakannya cepat, profesional, tanpa drama. Dunia malam memang mengajarkan kepraktisan: senyum manis hanyalah formalitas, yang utama adalah uang dan waktu.
Alena menggamit lengan Aditya. Wajah orientalnya tampak makin kontras di bawah cahaya lampu neon jalanan. Kulitnya putih pucat, mulus, seperti porselen yang terlalu rapuh disentuh. Ada aroma lembut dari parfum bunga bercampur dengan bau tembakau tipis dari ruangan lounge tadi.
Aditya berjalan di sampingnya dengan langkah sedikit kaku. Baginya, ini bukan sekadar jalan ke hotel, melainkan perjalanan menembus batas moral yang sebelumnya hanya ia dengar dari cerita. Jantungnya berdetak lebih cepat.
Di gang kecil menuju hotel melati, deru motor berseliweran, suara musik dangdut samar terdengar dari warung kopi. Seakan dunia luar tak peduli pada drama yang akan berlangsung di balik pintu kamar.
Alena tersenyum tipis. “Santai aja bang. Semua aman. Dua jam cukup kan?” suaranya lirih, tapi penuh keyakinan.
Aditya hanya mengangguk. Malam itu, di balik kerlip neon dan bayangan kota, ia benar-benar merasakan tarikan magnet dunia malam: manis, memabukkan, sekaligus berbahaya.
Transaksi selesai. Sejumlah uang berpindah tangan ke mami, sisanya diserahkan langsung ke Alena. Gerakannya cepat, profesional tanpa drama. Dunia malam memang mengajarkan kepraktisan: senyum manis hanyalah formalitas, yang utama adalah uang dan waktu.
Alena menggamit lengan Aditya. Wajah orientalnya tampak makin kontras di bawah cahaya lampu neon jalanan. Kulitnya putih pucat, mulus, seperti porselen yang terlalu rapuh disentuh. Ada aroma lembut dari parfum bunga bercampur dengan bau tembakau tipis dari ruangan lounge tadi.
Aditya berjalan di sampingnya dengan langkah sedikit kaku. Baginya, ini bukan sekadar jalan ke hotel, melainkan perjalanan menembus batas moral yang sebelumnya hanya ia dengar dari cerita. Jantungnya berdetak lebih cepat.
Di gang kecil menuju hotel melati, deru motor berseliweran, suara musik dangdut samar terdengar dari warung kopi. Seakan dunia luar tak peduli pada drama yang akan berlangsung di balik pintu kamar.
Alena tersenyum tipis. “Santai aja, bang. Semua aman. Dua jam cukup kan?” suaranya lirih, tapi penuh keyakinan.
Aditya hanya mengangguk. Malam itu, di balik kerlip neon dan bayangan kota, ia benar-benar merasakan tarikan magnet dunia malam: manis, memabukkan, sekaligus berbahaya.
Di dalam kamar sempit itu, sebelum musik tubuh berbicara, Aditya mencoba membuka percakapan. Ia ingin tahu lebih banyak tentang perempuan yang kini duduk di ujung ranjang, memainkan rambut panjang lurusnya.
“Alena, kalau boleh tahu… kenapa kamu bisa ada di dunia ini?” tanya Aditya pelan.
Gadis itu sempat terdiam. Ia menyalakan sebatang rokok, menghisap dalam-dalam, lalu menghembuskan asap ke arah plafon. Senyumnya tipis, tapi matanya kosong.
“Aku anak ketiga dari empat bersaudara. Orang tua masih di Medan. Awalnya aku kerja di butik, gaji pas-pasan. Terus ada teman nawarin kerja di Jakarta, katanya jadi SPG event. Nyatanya malah berakhir ditempat seperti ini. Katanya sambil menghela napas panjang.
“Awalnya aku sempat nolak karena takut dengan dunia malam. Tapi kebutuhan hidup di kota ini gila. Sewa kos mahal, makan, kirim uang ke orang tua. Lama-lama ya… jadi terbiasa.
Aditya menatapnya lekat. Wajah oriental itu tampak muda, tapi di balik kulit putih mulusnya tersimpan cerita kerasnya bertahan di ibukota.
"Apa kamu pernah kepikiran untuk berhenti menjalani semua ini ? tanya Aditya lagi.
Alena tertawa lirih, suaranya getir. “Setiap malam aku mikir gitu. Tapi besoknya balik lagi. Dunia malam itu kayak candu. Sekali masuk bakalan susah keluar. Uang cepat, gampang dibelanjain, tapi habis juga secepat datangnya.”
Aditya terdiam sesaa. Di depannya bukan sekadar gadis penghibur tapi seorang perempuan muda yang terjebak dalam pusaran: kebutuhan, kemewahan, dan ketidakpastian masa depan.
Di luar suara kendaraan di jalan terdengar samar. Waktu terus.bergulir. Dua jam seakan hanya jeda singkat dalam hidup panjang Alena yang penuh teka-teki.
Alena mematikan rokoknya di asbak kecil di samping ranjang. Tatapannya menunduk, tapi mulutnya terus bercerita. Seakan kesempatan berbicara dengan Aditya adalah momen langka untuk melonggarkan beban.
“Kamu tahu nggak, bang… ucapnya lirih, “…tiap malam wajah-wajah yang datang itu beda tapi polanya sama.
Kemudian Ia mulai menyebutkan satu per satu.
Pertama, para pegawai kantoran. Lelaki muda sampai paruh baya yang baru gajian, datang untuk melepas penat setelah seminggu bekerja. “Biasanya mereka pesan short time, uangnya pas-pasan. Cuma butuh ditemenin sebentar, terus pulang,” jelas Alena.
Kedua, sopir truk dan sopir taksi online. Mereka datang saat malam sudah larut, ketika badan lelah tapi ingin hiburan cepat. “Mereka biasanya langsung to the point. Nggak banyak basa-basi. Kalau ada duit lebih, paling kasih tip kecil.”
Ketiga, pedagang pasar atau pekerja malam. Lelaki yang biasa bergelut dengan keringat dan keramaian siang hari. “Mereka nyari hiburan murah, sesuatu yang bisa bikin lupa sebentar. Kadang datang rombongan, rame-rame, terus masing-masing booking.”
Aditya menatapnya, lalu sengaja bertanya, “Kalau maen sama pribumi kayak gue, gimana rasanya Len ?
Alena terkekeh kecil, meneguk bir sebelum menjawab. “Jujur aja, bang… kalau sama pribumi biasanya lebih kuat. Tahan lama. Nggak buru-buru kayak cowok Chinese. Kalau sama mereka, kebanyakan cepat selesai, kadang malah nggak tahan lama di ranjang. Beda banget sama pribumi yang maennya kadang lebih kasar dan lebih bikin capek.
Aditya hanya mengangguk, menyimpan jawaban itu dalam kepalanya, sambil menatap wajah oriental Alena yang tetap tersenyum tipis. Alena merokok pelan lalu mulai bercerita.
“Pernah tuh bang… ada cowok Chinese masih muda keliatan kayak anak orang kaya. Datang bawa mobil bagus, gaya sok ganteng. Pas udah masuk kamar, paling cuma lima menit udah kelar. Abis itu langsung sibuk main HP, transfer, terus pulang. Gampang tapi membosankan.”
Ia menghela napas, lalu melirik Aditya.
“Kalau sama pribumi beda. Ada yang sopir, ada yang pegawai kantoran. Walau duitnya pas-pasan, tapi kalau udah di ranjang, maennya ganas. Ada yang tahan setengah jam, ada juga yang bisa berkali-kali. Capek sih tapi justru itu bikin mereka beda.
Aditya mendengarkan sambil mengamati sorot mata Alena. Di balik senyum dan tawa kecilnya, ada nada jujur yang tak bisa disembunyikan: bahwa bagi seorang gadis club malam, tiap pelanggan meninggalkan jejak berbeda.
Aditya mendengarkan dengan seksama. Bagi seorang penelusur dunia malam yang sedang melakukan reportase untuk menulis sebuah buku. kata-kata Alena adalah potongan puzzle yang membentuk gambaran besar: dunia yang berlapis, di mana politik, bisnis, dan kesenangan bercampur menjadi satu transaksi diam-diam.
Aditya menyadari dirinya sudah tidak lagi sekadar pengamat. Tangannya perlahan meraih jemari Alena. Kulit gadis itu dingin, lembut, seolah kontras dengan degup jantung Aditya yang semakin keras.
Alena menoleh. Wajah oriental dengan kulit pucat itu kini hanya sejengkal darinya. Mata sipitnya menatap dalam, seakan bertanya: benarkah kau ingin masuk lebih jauh ke dunia ini?
Tanpa banyak kata, Aditya mendekat. Bibirnya menyentuh bibir Alena dengan singkat, ragu, tapi cukup untuk membuat garis antara jurnalis bayangan dan lelaki biasa runtuh.
Mereka masih duduk di tepi ranjang. Lampu kamar redup, suara AC berderit, dan waktu seakan berhenti. Dalam sekejap, Aditya merasakan sesuatu yang berbeda: bukan hanya aroma parfum bunga dari tubuh Alena, tapi juga rasa getir dari dunia malam yang kini ia cicipi langsung.
Alena tidak menolak. Ia membalas dengan senyum samar, lalu berbisik, “Bang, jangan terlalu serius. Di sini, semua cuma sementara.”
Kalimat itu menampar kesadaran Aditya. Malam ini, ia bukan lagi sekadar penulis reportase, tapi bagian dari panggung sandiwara dunia malam. Panggung yang selalu menelan penontonnya secara perlahan.
Ciuman singkat itu seolah membuka pintu yang selama ini hanya ditatap Aditya dari luar. Tangannya masih menggenggam jemari Alena, lebih erat kali ini. Ia bisa merasakan kelembutan kulit putihnya, sekaligus dinginnya dunia yang mengitarinya.
Alena tersenyum samar, seakan sudah terbiasa dengan adegan semacam ini. Namun di balik senyumnya, Aditya menangkap bayangan kelelahan. Wajah oriental yang begitu memesona itu bukan sekadar topeng kecantikan, tapi juga perisai untuk bertahan.
“Aku sudah sering lihat laki-laki jatuh begini,” bisik Alena, lirih tapi tajam. “Mereka pikir aku benar-benar ada di sini untuk mereka. Padahal, aku hanya menjual waktu.”
Kalimat itu membuat Aditya tercekat. Tapi justru rasa penasaran dan hasratnya makin bercampur. Ia menatap mata Alena lebih lama, lalu meraih wajahnya dengan hati-hati, seakan takut gadis itu menghilang jika disentuh terlalu keras.
Mereka duduk berdampingan di tepi ranjang, jarak tubuh semakin rapat. Suasana kamar sederhana itu mendadak terasa sempit, penuh dengan ketegangan yang tak lagi bisa disembunyikan.
Detik demi detik berjalan lambat. Di luar, suara kendaraan yang melintas di jalan gang terdengar samar, tapi di dalam kamar, hanya ada tarikan napas keduanya yang saling beradu.
Alena akhirnya bersandar pelan di bahu Aditya. Aroma parfumnya meresap, hangat sekaligus memabukkan. “Bang,” katanya pelan, “jangan pernah terlalu jatuh sama dunia kayak gini. Sekali terjebak, susah keluar.”
Aditya tak menjawab. Malam itu, ia tahu dirinya sedang melintasi batas yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya—antara seorang penulis bayangan yang ingin melaporkan, dan seorang lelaki yang ikut larut dalam permainan.
Suasana kamar makin padat oleh keheningan. Aditya merasa dadanya berdegup kencang, lebih keras dari dengungan suara ac yang menderu di sudut ruangan. Ia menarik napas panjang, lalu mulai menanggalkan kemejanya perlahan.
Alena hanya menatapnya sebentar, tatapannya teduh namun penuh keyakinan, sebelum akhirnya Jemarinya yang lentik perlahan bergerak ke ujung bawah tanktop putih ketat yang membalut tubuhnya. Dengan hati-hati ia menarik kain tipis itu ke atas, gerakan lembut namun mantap, hingga helaian kain menyingkap lekuk pinggangnya lalu melewati dada dan akhirnya terlepas dari tubuhnya. Tanktop itu terlipat samar di tangannya sebelum ia biarkan jatuh begitu saja di samping.
Kini yang tersisa hanyalah bra hitam yang kontras dengan kulitnya. Alena mengangkat kedua tangannya, menyelipkan jari ke kait di belakang. Sebuah tarikan kecil yang tenang membuat kaitan itu terlepas, dan perlahan ia geser tali tipis di bahunya, satu per satu, hingga kain itu meluruh turun dari tubuhnya. Bra hitam itu pun terlepas sepenuhnya, jatuh tanpa suara, menyisakan dirinya berdiri dengan keanggunan yang tenang. Tatapannya tidak goyah, justru semakin dalam, seolah setiap gerakan yang ia lakukan adalah sebuah pernyataan yang tegas namun lembut.
Rambut hitam Alena yang dicat kecoklatan terurai bebas begitu ia mengibaskan kepala pelan, helaian-helaian panjang itu jatuh menutupi bahu pucat yang kini tersingkap. Rambut itu membingkai wajahnya dengan lembut, sebagian menempel pada kulitnya yang hangat karena cahaya lampu kuning redup di ruangan itu. Bahunya yang halus tampak bergetar tipis seiring tarikan napasnya yang teratur, seolah setiap hembusan udara membawa sebuah ketenangan sekaligus ketegangan yang tak terucapkan.
Semua berlangsung tanpa satu kata pun. Sunyi yang hadir di antara mereka justru lebih bising daripada percakapan panjang, karena tatapan mata yang saling mengikat telah lebih dari cukup untuk berbicara. Ada rasa saling mengerti yang begitu nyata, seolah mereka berdua sudah lama menunggu detik-detik ini, sudah tahu persis ke mana malam itu akan membawa mereka.
Cahaya lampu redup hanya menyoroti sebagian dari wajah dan tubuhnya, meninggalkan bayangan lembut yang membuat tiap gerakan terasa lambat, dramatis dan tak terburu-buru. Suasana ruangan menjadi saksi diam, membiarkan segala isyarat tubuh berbicara menggantikan kata-kata. Dan dalam keheningan itu, arah malam ini seakan sudah ditentukan tanpa perlu ada janji yang diucapkan.
Di luar kamar, Jakarta tetap gaduh dengan suara kendaraan dan musik dari jalanan. Tapi di dalam kamar murahan itu, waktu seakan berhenti. Tidak ada lagi batas antara reporter bayangan dan lelaki biasa. Malam ini, Aditya melebur ke dalam cerita yang biasanya hanya ia tulis: sebuah pertemuan singkat, penuh gairah, namun sarat getir.
Aditya mendekap Alena lebih erat, tubuh mereka kini rapat di atas ranjang sempit itu. Bibirnya kembali mencari bibir Alena, kali ini lebih dalam, lebih rakus, seolah menegaskan bahwa ia tak lagi sekadar pengamat dunia malam.
Alena menutup matanya, membiarkan lehernya disentuh ciuman singkat yang membuat tubuhnya bergetar pelan. Rambut hitam lurusnya berantakan di atas bantal, kontras dengan kulit pucat yang kini tampak semakin bercahaya di bawah temaram lampu kamar.
Tangannya bergerak pelan, menyusuri tubuh Alena dari bahu kemudian turun ke pinggang sampai ke pahanya. Kulit putihnya terasa halus, dingin karena AC kamar tapi cepat memanas ketika disentuh.
Ranjang hotel berderit setiap kali mereka bergeser. Seprai sudah berantakan, melipat tak beraturan di bawah tubuh mereka. Aditya menindih tubuh Alena lebih rapat, sementara Alena menutup mata, membiarkan bibirnya diciumi dari wajah sampai ke leher.
Jemari keduanya saling menggenggam erat. Nafas keduanya sama-sama memburu, tubuh menempel makin kuat, seolah tak ingin memberi jarak sedikit pun.
Malam itu, bagi Aditya, bukan lagi soal menulis reportase. Ia benar-benar merasakan langsung dunia malam yang biasanya hanya ia dengar lewat cerita.
Tubuh Alena dibaringkan di atas ranjang hotel yang seprai putihnya sudah setengah kusut. Aditya menatapnya lekat, lalu perlahan memegang kedua pahanya dan membukanya. Kulit putih Alena tampak kontras dengan cahaya lampu kamar yang temaram. Nafas Alena terdengar cepat, dadanya naik-turun, sementara matanya sesekali menatap Aditya dengan ragu bercampur pasrah.
Aditya mendekat, tubuhnya menindih sebagian tubuh Alena. Ia merasakan hangat kulit perempuan itu langsung menempel di kulitnya sendiri. Aroma parfum bercampur keringat tipis tercium, membuat suasana makin pekat. Jemarinya bergerak menyusuri pinggang Alena, berhenti di perut lalu kembali ke paha. Ia mengangkat kaki Alena perlahan, menaruhnya di samping tubuhnya, seakan ingin menguasai seluruh ruang di antara mereka.
Alena menggigit bibirnya, tangannya otomatis memegang lengan Aditya, mencoba menahan, tapi sekaligus tidak melepaskan. Tubuhnya kaku sebentar, lalu perlahan melemas. Suara derit ranjang makin jelas ketika Aditya menekan tubuhnya lebih dalam ke atas kasur.
Suasana kamar itu hanya diisi suara napas mereka yang berat, bercampur dengan gesekan kain seprai yang semakin berantakan. Aditya menatap wajah oriental Alena dari jarak sangat dekat, lalu kembali menunduk, mencium lehernya. Alena menutup mata rapat, jemarinya kini mencengkram punggung Aditya, tak bisa lagi menolak arus yang semakin kuat menarik mereka berdua.
Aditya menindih tubuh Alena yang sudah terbaring di ranjang hotel. Nafasnya berat, bercampur dengan desahan Alena yang mencoba menahan rasa yang muncul. Tubuh mereka bergerak seirama, penis Aditya menghujam keras berirama, menerobos keluar masuk dengan seenaknya didalam kemaluan seorang gadis chindo bertubuh seksi yang menjadi idamannya selama ini. Ranjang terus berguncang mengikuti hentakan pinggul Aditya yang semakin kuat. Seprai putih berantakan, bergeser ke segala arah setiap kali tubuh mereka saling menekan.
Alena menutup mata rapat, sesekali kepalanya menengok ke samping, mulutnya terbuka mengeluarkan suara lirih. Oough.. Tangannya mencengkram punggung Aditya erat, kadang menarik ke bawah seolah ingin menahan tubuh pria itu agar tidak pergi. Keringat mulai membasahi kulit keduanya, bercampur dengan aroma parfum dan udara dingin dari AC yang kini tak terasa lagi.
Setiap gerakan Aditya membuat tubuh Alena terangkat sedikit, lalu jatuh lagi ke kasur. Derit ranjang makin keras, seolah kamar sempit itu ikut merekam setiap detik yang mereka lewati. Ritme tubuh Aditya tidak menurun, justru semakin menghentak dengan penuh tenaga, membuat napas Alena terputus-putus.
Kamar yang awalnya hanya diisi cahaya redup dan suara AC, kini dipenuhi suara napas terengah, desahan tertahan, dan gesekan tubuh yang saling menempel. Semua berlangsung intens, panas, tanpa jeda, seakan waktu di luar kamar berhenti dan hanya menyisakan dunia kecil mereka berdua di atas ranjang itu.
Alena terengah dan tubuhnya masih menempel rapat dengan Aditya. Nafas mereka berdua saling bertabrakan, panas dan terburu-buru. Aditya lalu berbisik di telinga Alena, meminta agar kali ini posisinya dibalik.
Dengan pelan, Alena bangkit dari bawah, lalu menunggangi tubuh Aditya. Rambut hitam lurusnya tergerai jatuh menutupi wajah, sebagian menempel di kulit basah karena keringat. Tangannya bertumpu di dada Aditya, sementara pinggulnya mulai bergerak pelan, mencari irama. Penis Aditya yang masih mengacung tegak menusuk nusuk liang kewanitaannya dari bawah memberikan sensasi kenikmatan yang tiada taranya.
Dalam posisi berbaring telentang Aditya menatap dari bawah, melihat tubuh putih seorang gadis chinese seksi bergerak di atasnya. Setiap gerakan membuat seprai semakin kusut, ranjang kembali berderit keras. Alena memejamkan mata, menggigit bibirnya, sementara kedua tangannya tak bisa berhenti meremas dada pria di bawahnya.
Suasana kamar makin panas. Napas Alena berat dan sesekali terdengar erangan tertahan. Aditya memegang pinggangnya, membimbing gerakan agar makin teratur. Mereka saling bertukar pandang di sela napas yang tersengal, seolah lupa bahwa waktu terus berjalan di luar kamar.
Aditya yang sejak tadi ditindih oleh Alena akhirnya tidak tahan lagi. Dengan satu gerakan cepat, ia membalikkan tubuh mereka. Alena terkejut sesaat, lalu tubuhnya diposisikan merangkak di atas ranjang. Rambut panjangnya terurai berantakan menutupi sebagian wajah, sementara kedua tangannya bertumpu pada bantal.
Aditya berlutut di belakangnya, memegang pinggul Alena erat. Ranjang hotel kembali berderit keras setiap kali tubuhnya menghentak maju. Irama yang tercipta semakin cepat, semakin dalam, membuat napas keduanya terputus-putus
Alena menundukkan kepala, menggigit bantal, berusaha menahan suara yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya bergoyang mengikuti gerakan Aditya yang semakin kuat. Suara desahan dan benturan tubuh memenuhi kamar sempit itu, bercampur dengan keringat yang menetes di seprai putih yang kini berantakan total.
Ritme Aditya semakin kacau, tanda puncaknya sudah dekat. Dengan dorongan terakhir yang penuh tenaga, tubuhnya menempel erat pada punggung Alena. Ia mengerang keras, napasnya terengah, lalu jatuh terkulai ke atas tubuh gadis itu.
Alena terdiam beberapa saat, dadanya naik turun cepat. Keduanya sama-sama terkapar lelah, hanya suara AC dan sisa napas berat yang terdengar memenuhi kamar.
Keluar dari hotel di Mangga Besar, Aditya belum puas. Ia menyalakan sebatang rokok, lalu menyusuri jalan dengan pandangan tajam, mencari informasi soal panlok. Istilah itu sudah lama ia dengar sebutan untuk gadis-gadis Chinese bayaran yang tarifnya lebih tinggi tapi peminatnya selalu banyak.
Lokasari, Mangga Besar
Di karaoke kelas menengah, para mami biasanya punya “daftar khusus” untuk panlok. Gadis-gadis ini biasanya dipamerkan lewat foto di tablet atau album digital. Tarifnya 400 ribu hingga 1 juta untuk short time. Mereka dianggap lebih “premium” dibanding gadis lokal.
Panti Pijat Eksklusif, Gunung Sahari
Tak semua tempat punya panlok, tapi ada beberapa titik terkenal. Para terapis berwajah oriental biasanya langsung dipromosikan lebih mahal. Menurut kabar yang Aditya dengar, sebagian besar datang dari Medan atau Pontianak, kota-kota dengan komunitas Tionghoa besar.
Diskotek di Glodok
Di balik musik keras dan minuman mahal, panlok sering terlihat nongkrong di VIP lounge. Penampilannya berbeda: lebih modis, kulit putih mulus, dan sikapnya lebih dingin. Biasanya transaksi terjadi setelah minum-minum, dengan tarif mulai 600 ribu ke atas.
Aditya mencatat semuanya. Dunia panlok ini seolah punya pasar sendiri. Pria-pria yang datang bukan sekadar mencari pelepasan, tapi juga gengsi seakan tidur dengan gadis Chinese memberi status berbeda dibanding bersama perempuan pribumi.
aditya bakal ketagihan..chindo ngak ada matinya..
BalasHapus