Hari itu matahari mulai naik saat aku duduk di tepi ranjang. Seragam SPG-ku tergantung rapi di balik pintu. Atasannya putih bersih dan ketat dengan garis biru tua di bagian samping dan lengan. Bagian dadanya terbuka dan tidak memakai kancing. Roknya pendek dan menyatu langsung di bawah. Dari luar memang kelihatan formal dan rapi tapi kalau dipakai tanpa daleman artinya bisa jadi sangat berbeda.
Saat aku masih duduk diam dan belum bersiap sebuah pesan masuk ke layar ponselku. Nama pengirimnya langsung membuat jantungku berdetak lebih cepat.
Pak Jarwo.
Pesannya singkat tapi saat aku baca leherku langsung terasa panas dan tubuhku refleks menegang.
“Hari ini kamu berangkat kerja dari kost langsung pakai seragam SPG. Jangan pakai bra. Jangan pakai daleman sama sekali. Ngerti? Om gak mau ada satu pun yang nutupin. Kamu jalan aja kayak biasa, jangan pura-pura malu. Biar kelihatan alami. Om udah nunggu di dekat halte.
Aku duduk di tepi ranjang sambil menggenggam ponselku. Pesan dari Pak Jarwo memang tidak lagi mengejutkan, tapi tetap saja ada sesuatu dalam diriku yang bergejolak. Ujung-ujung jariku gemetar pelan, seperti tubuhku sedang bersiap menghadapi sesuatu yang tidak bisa aku tolak. Pesannya singkat tapi jelas. Aku tahu maksudnya. Tidak ada ruang untuk tanya-tanya. Tidak ada tawar-menawar. Aku harus nurut atau semuanya akan berhenti begitu saja. Uang. Perhatian. Dan sensasi aneh yang diam-diam mulai aku tunggu-tunggu.
Aku menarik napas pelan lalu membaca ulang pesannya. Tanpa sadar pikiranku langsung membayangkan diriku melangkah keluar kamar kost, menyusuri koridor, menuruni tangga, lalu berdiri di tengah jalanan yang mulai ramai. Dari luar aku akan terlihat biasa saja. Tapi hanya aku yang tahu apa yang tidak kupakai di balik seragam itu. Hanya aku yang tahu betapa ringkihnya lapisan yang membungkus tubuhku hari ini.
Seragam yang kupakai memang kelihatan rapi dan wajar di mata orang lain, tapi di baliknya tidak ada satu pun lapisan yang melindungi kulitku. Justru itu yang membuat jantungku berdetak makin kencang. Bukan karena takut, tapi karena rasa campur aduk yang muncul di tubuhku. Antara malu, tegang, dan rasa aneh yang pelan-pelan berubah jadi sesuatu yang kutunggu-tunggu. Aku sendiri tidak tahu sejak kapan perasaan itu mulai muncul, tapi sekarang aku tahu aku ingin tahu sejauh apa aku bisa menuruti semua ini.
Dengan gerakan pelan dan sedikit ragu, aku mulai melepas baju tidurku yang dari tadi cuma menempel tipis di tubuh. Kainnya lembut dan jatuh begitu saja saat kutarik ke bawah. Mulai dari bahu, lalu turun melewati dada dan perut, sampai akhirnya jatuh ke lantai tanpa suara.
Aku berdiri diam sejenak sambil menatap seragam SPG yang tergantung di balik pintu. Tanganku meraihnya perlahan dan aku menarik napas panjang sebelum mulai memakainya. Aku tahu, begitu seragam ini menempel langsung ke kulitku tanpa bra atau CD, tidak ada lagi jarak antara tubuhku dan dunia luar. Yang ada hanya selembar kain tipis yang dibuat bukan untuk menutupi, tapi justru menarik perhatian.
Aku mulai mengenakannya pelan-pelan, menarik bagian atas seragam yang elastis dan melekat ketat di badanku. Saat kain putih itu menyentuh payudaraku yang benar-benar tanpa lapisan, aku langsung bisa merasakan tekanannya. Lembut tapi menempel erat, seperti sengaja menonjolkan bentuknya. Putingku ikut merespons, mengeras sedikit karena gesekan yang terus terasa.
Rok yang menyatu dengan bagian atas seragam itu hanya turun sampai pertengahan pahaku. Saat aku berdiri menghadap cermin, aku melihat bayangan diriku sendiri yang kelihatan lengkap dan siap. Tapi aku tahu, kenyataannya tidak ada satu pun yang benar-benar melindungi bagian dalam tubuhku. Tidak ada bra, tidak ada celana dalam, hanya kulitku yang langsung bersentuhan dengan kain.
Itu yang membuat langkah berikutnya terasa berat, tapi di saat yang sama memicu debar yang sulit dijelaskan. Rasanya aneh tapi juga nyata. Karena kalau aku berjalan keluar sekarang, orang-orang hanya akan melihat seragam formal seperti biasa. Tapi yang mereka tidak tahu, di balik baju itu aku benar-benar… terbuka.
High heels jadi bagian terakhir yang kupakai. Begitu kakiku masuk ke dalam sepatu hak tinggi itu, tubuhku terasa lengkap, tapi bukan dalam arti aman. Justru sebaliknya. Karena setiap bagian dari penampilanku makin menegaskan betapa tipisnya jarak antara kain dan kulit. Tidak ada yang benar-benar menutupi. Napasku jadi sedikit berat saat aku berdiri di depan cermin. Kulihat pantulan diriku sendiri. Rapi, teratur, terlihat siap. Tapi aku tahu, di balik semua itu aku benar-benar telanjang.
Sebelum pergi, aku mengambil botol kecil dari atas meja lalu menyemprotkan parfum ke tubuhku. Satu di leher. Satu di pergelangan tangan. Satu lagi di balik lutut. Aromanya lembut dan langsung menyebar di udara. Rasanya seperti lapisan terakhir dari penampilanku—tidak terlihat tapi bisa dirasakan, apalagi oleh orang yang cukup dekat. Buatku parfum ini bukan cuma wangi. Tapi seperti isyarat diam-diam dari tubuhku sendiri. Seperti cara halus untuk bilang, lihat aku… rasakan aku… tanpa harus bicara.
Aku menatap cermin sekali lagi dan menarik napas dalam. Hari ini rasanya bukan sekadar soal kerja atau rutinitas biasa. Ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang cuma aku dan satu orang tahu. Sebuah permainan diam-diam yang aku jalani pelan-pelan. Dan tiap detiknya terasa seperti godaan yang sengaja kubiarkan terjadi.
Aku tahu saat aku keluar nanti ada sepasang mata yang sudah menunggu. Mata yang penuh rencana dan hasrat. Dan mungkin ada banyak mata lain yang akan melihat sekilas tanpa sadar apa yang sebenarnya mereka lihat. Karena dari luar aku hanya terlihat sopan. Tapi di balik seragam ini, aku tahu betul aku tidak memakai apa-apa.
Dengan langkah ringan dan dada yang terasa tegang, aku turun dari lantai atas rumah kost. Melewati lorong yang sempit, membuka pagar kecil, lalu berjalan ke trotoar yang mulai ramai. Seragam putih ini menempel ketat di tubuhku, menyerap tiap tiupan angin yang lewat. Bagian bawah roknya cuma sampai pertengahan pahaku, dan itu membuatku terus sadar kalau satu-satunya yang memisahkan tubuhku dari dunia luar cuma sehelai kain tipis.
Waktu aku melewati warung kecil di pinggir jalan, aku langsung mencium bau campuran asap rokok dan kopi hitam. Di depannya ada tiga tukang ojek yang lagi duduk santai. Salah satu dari mereka, yang kurus dan pakai kaos longgar, langsung noleh ke arahku dan nyeletuk keras.
Yang ketiga cuma senyum-senyum sambil ngopi. Dia gak ngomong apa-apa, tapi matanya jelas ngikutin langkahku sampai aku lewat di depan mereka.
Aku gak jawab apa-apa. Aku cuma jalan terus sambil pura-pura gak denger, tapi jantungku rasanya makin kencang. Bukannya marah, aku justru makin sadar betapa tipisnya kain yang kupakai… dan betapa semua itu memang bagian dari permainan ini.
Ponselku bergetar waktu aku hampir sampai di halte busway. Aku buka layarnya. Pesan dari Pak Jarwo muncul lagi.
“Nanti.kalau sudah di dalam bus, kamu harus berdiri. Pilih posisi di tengah. Biar semua mata bisa lihat. Jangan duduk. Om mau lihat gimana mereka mandangin kamu.
Aku langsung deg-degan. Telapak tanganku dingin walaupun keringat di punggung mulai keluar. Aku nggak bales pesan itu. Cuma aku kunci layarnya, masukin lagi ke tas kecil di bahu.
Aku jalan terus ke halte. Aku pikir aku sendirian tapi ternyata dari kejauhan, pak Jarwo ngikutin diam-diam. Dia pakai topi lusuh dan masker tipis, tangannya terus megang HP barunya yang dia beli dari pameran kemarin. HP itu sekarang dia pakai buat ngerekam aku dari belakang. Dia bilang, dia pengen HP itu penuh sama video-video aku, video yang “nakal dan pribadi”, katanya waktu kami video call terakhir.
Bus datang sekitar lima menit kemudian. Penuh. Aku langsung naik, dan sesuai perintah, aku berdiri di tengah lorong. Di kiri dan kanan, kursi penumpang saling berhadapan. Tanganku menggenggam erat handle grip warna kuning yang menggantung dari rel di atas kepala—pegangan khas di dalam bus Transjakarta. Warnanya mencolok, sedikit kusam karena sering dipakai penumpang. Permukaannya terasa agak lengket, entah karena keringat atau sisa tangan-tangan sebelumnya, tapi aku tetap menggenggamnya kuat untuk menjaga keseimbangan saat bus bergerak pelan.
Rok putih ketat yang kupakai terasa makin naik sedikit tiap kali tubuhku menyesuaikan guncangan bus. Kainnya menempel di pahaku, memperjelas lekuknya. Atasan yang kupakai pun tidak kalah tipis, menyerap keringat dan kini menempel seperti kulit kedua. Setiap gerakan kecilku serasa menarik perhatian, meskipun aku pura-pura tidak sadar.
Bus mulai jalan. Setiap bus ngerem atau belok, tubuhku ikut goyang sedikit. Bagian dadaku pun ikut bergerak, makin kelihatan karena aku nggak pakai dalaman.
Belum lama aku berdiri, ponselku bergetar lagi. Pesan dari Pak Jarwo.
“Sekarang, jatuhin sesuatu ke lantai. Lalu ambil pakai tangan, tapi jangan jongkok. Bungkuk. Perlahan. Biar yang di depan dan belakang bisa nikmatin pemandangannya.”
Aku diem sebentar. Nafasku agak berat. Tapi aku turuti. Aku ambil kunci kamar kost dari tasku—kunci kecil yang biasa aku bawa buat jaga-jaga. Aku jatuhin ke lantai. Bunyi kecil terdengar cling waktu kunci itu menyentuh lantai besi bus.
Aku ambil napas panjang, lalu pelan-pelan membungkuk. Nggak jongkok, cuma tekuk pinggang. Tangan kiriku tetap pegang tiang, sementara tangan kananku meraih kunci yang jatuh di lantai.
Posisiku sekarang—bisa kubayangin—ngasih pemandangan penuh buat siapa pun yang duduk di belakangku. Dan yang duduk di depan juga pasti bisa lihat bagian dalam dadaku dari leher baju yang agak terbuka.
Bus sempat ngerem sedikit. Tubuhku goyah sedikit, tapi aku tetap tahan posisi sambil pura-pura kesulitan ambil kunci. Aku tahu beberapa mata makin tajam mandangin aku.
Waktu aku berdiri tegak lagi, aku nggak berani lihat sekitar. Tapi aku bisa ngerasain suasananya berubah. Lebih sunyi. Lebih berat. Seolah semua orang tahan napas.
Dan entah dari mana, aku ngerasa... aneh. Malu iya. Tapi juga ada rasa lain yang nggak bisa aku jelasin.
Bus terus jalan. Aku masih berdiri di situ. Dan HP Pak Jarwo... mungkin masih terus ngerekam dari kejauhan.
Aku berdiri di tengah busway, di antara dua deretan kursi yang saling berhadapan. Tanganku masih menggenggam tiang besi di atas kepala, sambil sesekali mengatur napas yang makin berat. Suasana di dalam bus tidak terlalu padat, hanya ada beberapa penumpang yang berdiri, tapi entah kenapa… rasanya semua mata cuma tertuju ke aku.
“Ambil selfie diam-diam. Fokusin ke wajah kamu dan bajumu yang ketat itu. Tapi pastiin juga di belakangmu kelihatan jelas kalau kamu lagi di tengah-tengah orang. Aku mau lihat ekspresi kamu… dan suasana ramai di dalam bus
Aku nahan napas sebentar. Lalu tanpa banyak pikir, aku buka kamera depan. Pura-pura main HP sambil tetap berdiri tenang di tengah lorong bus yang mulai padat.
Tanganku angkat pelan ponsel itu sejajar dada. Di layar, wajahku langsung muncul. Tatapanku kosong, tapi aku tahu bagian yang paling mencolok bukan itu—melainkan bagian dadaku yang terbungkus ketat oleh seragam putih ini. Kainnya tipis banget, dan sekarang, karena keringat setelah berjalan menuju halte tadi dan cahaya yang masuk dari jendela, semua bentuk di baliknya makin jelas.
Aku miringkan sedikit kamera, pas di angle yang bisa nunjukin semuanya: wajahku yang datar dengan senyum kecil setipis benang, lekuk dadaku yang ngepres, dan—di latar belakang—deretan penumpang yang berdiri dan duduk rapat di dalam bus. Beberapa dari mereka kelihatan samar, tapi cukup jelas menunjukkan suasana ramai.
Klik.
Foto itu kukirim langsung ke Pak Jarwo. Hasilnya persis kayak yang dia mau: wajahku, tubuhku, seragamku yang terlalu menempel… dan bukti kalau aku beneran melakukan ini semua di tengah keramaian. Beberapa detik kemudian, centang dua berubah biru. Lalu balasannya muncul cepat.
Ck ck ck… edan kamu non. Cewek Chindo sipit, putih, seksi kayak kamu emang cocok dijadiin tontonan di tengah keramaian. Liat tuh fotonya… muka cina, baju seksi ngepres, berdiri cuek di tengah orang banyak. Padahal kalo mereka sadar apa yang kamu lakuin barusan, pasti langsung pada nelen ludah. Kamu tuh bener-bener hiburan kelas atas.
Aku buru-buru kunci layar lagi, jantungku makin cepat. Rasanya kayak ditonton terus, tapi anehnya... aku nggak berhenti. Aku nggak minta ini. Tapi aku juga nggak nolak.
Beberapa orang di depanku mulai lebih sering ngelirik. Mungkin karena cahaya luar yang masuk lewat jendela bikin baju putihku makin “transparan” sedikit. Aku berusaha tetap tenang, pura-pura nggak sadar, padahal seluruh tubuhku tegang.
Ponselku bergetar sekali lagi.
“Ambil satu lagi. Tapi sekarang dari atas seragammu. Aku mau lihat bukti jelas kalau kamu bener-bener nggak pake daleman. Habis itu satu lagi, dari bawah.”
Aku diam sesaat. Jantungku langsung berdetak makin cepat. Kugigit bibir pelan, baca pesannya dua kali. Tapi tanpa sadar, tanganku udah bergerak.
Seragamku hari ini baju SPG putih ketat bukan model berkancing. Nggak ada kerah, dan potongannya menyatu dari atas sampai ke bawah, kayak body suit yang ketat banget. Kainnya tipis dan melekat ke kulit karena keringat.
Pelan-pelan, aku tarik bagian leher baju itu ke bawah dengan jari. Nggak banyak—cuma cukup buat bikin celah di dada atas. Lalu, sambil jaga posisi tetap tegak dan wajah tetap tenang, aku arahkan kamera dari atas.
Di layar, terlihat jelas bagian dadaku dari celah kecil yang kutarik sendiri. Kulitku langsung di balik kain putih itu. Nggak ada bra, nggak ada lapisan apa pun.
Klik.
Foto pertama langsung kukirim. Rasanya deg-degan bukan main. Tapi belum selesai.
Aku pura-pura membungkuk, seolah lagi ngerapihin tas kecil di kakiku. Rok bagian bawah seragamku—yang nyatu dengan atasan—ikut ketarik. Dari situ, aku bisa nyelipin kamera dari arah bawah, pas di sela pahaku.
Angle-nya sempit, tapi cukup. Di layar kelihatan jelas bagian dalam rok ketat itu. Paha bagian atas… kosong. Nggak ada celana dalam. Cuma kulitku langsung di balik kain yang nyaris transparan.
Klik.
Kukirim lagi fotonya. Detik-detik setelahnya, jantungku seperti mau meledak. Tapi entah kenapa, aku tetap tenang. Mataku tetap lurus ke depan, tapi tubuhku seperti berdenyut dari dalam.
Aku sadar… aku udah terlalu jauh. Tapi aku juga sadar, aku nggak benar-benar mau berhenti
Ponselku bergetar lagi. Pesan dari Pak Jarwo muncul cepat.“Sekarang, yang duduk di depan kamu itu, yang gempal—aku liat tadi di fotomu. Kayaknya dari tadi curi-curi pandang, ya? Goda dia. Bikin dia salah tingkah. Bikin dia kepancing. Kalau kamu nurut dan berhasil menjalankan perintah maka Om akan langsung memberikan imbalannya.
Tanganku tetap menggenggam handle grip kuning di atas kepala. Aku geser posisi kaki sedikit, kasih jarak antar paha, lalu condongkan tubuh pelan, pura-pura menyesuaikan keseimbangan. Gerakan kecil itu cukup buat bikin seragam putih ketatku ikut ketarik dan makin nempel di badanku.
Aku sengaja buang pandang ke jendela, seolah nggak sadar. Tapi dari sudut mataku, aku lihat jelas si pria itu kembali menoleh. Tatapannya sekarang nggak sebentar.
Lalu, pelan-pelan, aku pura-pura ngelap pelipis pakai punggung tangan, gerakanku bikin bagian dada ikut naik-turun. Senyum tipis muncul di bibirku. Bukan ke siapa-siapa. Cuma ke arah kosong. Tapi cukup buat menciptakan kesan seolah aku tahu… dan aku sengaja.
Dia langsung membetulkan posisi duduknya. Tangannya mencengkeram lutut. Matanya nggak bisa bohong. Ada gelisah yang mulai muncul di raut wajahnya.
Ponselku kembali bergetar. Pesan masuk dari Pak Jarwo:
“Bagus… terusin. Sedikit lagi. Bikin dia nggak tahan.”
Aku menarik napas pelan. Suasana di dalam bus masih sama—tidak terlalu padat, tapi cukup penuh sampai tak ada kursi yang tersisa. Sebagian besar penumpang berdiri diam, sibuk dengan ponsel atau pandangan kosong ke jendela. AC menyala cukup kencang, bikin udara di dalam bus terasa dingin, menusuk kulitku yang cuma tertutup seragam tipis ini.
Tapi semua itu terasa kabur. Fokusku cuma satu: pria gempal yang duduk tepat di depanku.
Tatapannya sudah tak seagresif tadi, mungkin mencoba menyembunyikan rasa bersalah. Tapi aku tahu, dia masih mengintip dari balik sudut matanya.
Dan saat itulah, aku mulai bergerak.
Pelan-pelan, aku angkat sedikit satu kakiku, pura-pura meregangkan betis. Tumitku terangkat, dan lututku naik sedikit—gerakan yang terlihat wajar bagi siapa pun yang melihat sekilas. Tapi aku tahu betul posisi berdiriku sekarang bikin rok putih ketatku tertarik naik beberapa sentimeter.
Dari tempatnya duduk, si pria gempal pasti bisa melihat celah di antara pahaku. Dan karena seragam SPG putih ini satu potong, tanpa daleman, yang terlihat pasti bukan sekadar paha.
Aku sengaja tahan posisi itu sebentar. Sambil tetap pasang wajah datar, mata lurus ke depan. Tanganku tetap menggenggam handle grip kuning di atas kepala.
Dari sudut mataku, aku lihat si pria itu membeku. Matanya terpaku. Tangan di pangkuannya mencengkeram keras, dan tubuhnya sedikit condong ke depan, seperti
ingin memastikan apa yang dilihatnya barusan bukan halusinasi.
Ponselku kembali bergetar.
"Gila… kamu keterlaluan non. Tapi itu justru yang bikin om makin gila. Cewek cina sipit, putih, seksi, berdiri menantang di tengah bus… dan diem-diem pajang isi dalemannya ke orang asing.
"Liat tuh yang duduk depan kamu, pasti udah keras banget di balik celananya. Dan Om yakin, bukan cuma dia.. semua cowok di situ pasti pengen ngejamah paha cina putih mulus yang kamu pamerin barusan. Tapi sayangnya mereka cuma bisa liat doang.
Halte Berikutnya.
Bus terus melaju dan tak lama kemudian suara otomatis dari speaker di langit-langit bus terdengar pelan namun jelas:Beberapa orang di dekat pintu mulai bergerak, tapi jumlah penumpang yang masuk jauh lebih banyak dari yang turun. Aku berdiri di bagian tengah, posisi yang kurang ideal, karena setiap kali halte berikutnya datang, aku jadi terdorong dari berbagai arah.
Bus makin padat. Orang-orang berdesakan masuk. Ruang gerak nyaris tak ada. Aku tetap berdiri sambil berpegangan pada handle grip di atas. Tubuhku condong sedikit ke depan karena tekanan dari belakang.
Semua sibuk sendiri. Ada yang sibuk main ponsel, ada yang pasang wajah kosong sambil menatap jendela, dan beberapa tampak pura-pura tidur. Tak ada yang memperhatikan sekitarnya.
Tapi aku sadar betul siapa yang berdiri di belakangku : Pak Jarwo.
Tubuhnya begitu dekat. Nafasnya terasa hangat di belakang kepalaku. Dan lebih dari itu, aku bisa merasakan sesuatu dari tubuhnya menekan perlahan ke arah pantatku. Keras. Panas. Dan terlalu sengaja untuk bisa disebut kebetulan.
Dia tidak bicara. Tapi dari caranya berdiri, dari jarak yang terlalu sempit meski ada celah lain di samping kami, aku tahu... ini bukan karena kehabisan tempat.
Tanganku mencengkeram grip lebih erat. Jantungku berdebar pelan, tapi teratur. Tubuhku diam, tapi pikiranku mulai liar.
Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu menyentuh pinggangku. Awalnya pelan, seperti sengaja disamarkan di tengah dorongan orang-orang yang berdempetan. Tapi aku tahu betul, itu bukan sentuhan sembarangan : Tangan kanan Pak Jarwo.
Jemarinya menyentuh sisi pinggangku, lalu perlahan bergerak turun, menyusuri lekuk tubuhku yang tertutup rok ketat. Sentuhannya sampai ke bagian bawah punggung, berhenti sebentar di atas pantatku, lalu menekan pelan. Cukup untuk membuat tubuhku menegang.
Tangan itu meluncur lagi ke bawah, melewati lipatan rok, lalu menyentuh pahaku. Kulitnya kasar dan hangat, kontras dengan kulitku yang putih halus. Gerakannya pelan tapi mantap, seperti ingin aku merasakan setiap sentuhannya.
Aku tetap diam. Tidak bicara, tidak menepis. Tapi napasku mulai berat, dan genggaman tanganku di handle grip makin kuat.
Bus bergoyang, orang-orang tetap sibuk sendiri. Jemarinya mulai bergerak lebih berani, menyusuri pahaku perlahan ke atas, mendekati bagian yang lebih dalam dan sensitif yang terbuka karena rok mini ini.
Aku menggigit bibirku, menunduk, pura-pura tak merasa apa-apa. Tapi jantungku berdebar kencang. Aku mulai gelisah. Tapi anehnya, tubuhku tak menolak. Bahkan aku merasa ada bagian diriku yang… pasrah.
Lalu, dari belakang, dia mendekatkan mulutnya ke telingaku. Napasnya terasa hangat. Bau tubuhnya bercampur dengan aroma parfumku yang lembut.
“Jangan bereaksi…” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. “Nikmati saja… Kamu akan dapat semuanya nanti…”
Ucapannya membuatku makin gemetar. Tapi bukan karena takut. Suaranya dalam, berat, dan terlalu dekat. Tangannya masih menyentuhku. Naik turun perlahan, menyusuri pahaku, sesekali berhenti dan memberi tekanan lembut di titik-titik sensitif. Aku menarik napas pelan. Seluruh tubuhku tegang. Tapi aku tidak bergerak. Tidak melawan.
Kupikir aku akan marah. Tapi kenyataannya… aku mulai menerima. Mungkin karena uang. Mungkin karena tekanan. Atau mungkin… karena ada bagian dari diriku yang sudah terlalu dalam terjebak dalam permainan ini.
Dan sekarang, aku hanya bisa diam. Menunggu bus berhenti. Sambil berharap semuanya cepat selesai atau justru… tidak berhenti.
Pak Jarwo semakin berani. Di tengah keramaian penumpang, dia bergerak makin rapat hingga tidak ada lagi jarak di antara tubuh kami. Di antara riuh suara mesin dan percakapan samar, aku menangkap bunyi “crkk…” yang pelan tapi jelas di telingaku — suara resleting yang ditarik ke bawah.
Tubuhku refleks menegang. Lalu, aku merasakan dorongan yang lebih padat dari arah belakang, menempel di bagian pantatku. Tekanannya bergeser pelan setiap kali bus berguncang. Awalnya singkat, tapi kemudian jadi gerakan yang teratur.
Aku menunduk, berpura-pura sibuk dengan ponsel di tangan, meski genggamanku di handle grip makin kuat. Panas di tubuhku makin terasa. Tekanan itu berpindah-pindah, seolah dia mencari posisi paling pas untuk memastikan aku merasakannya.
Semakin lama, tekanan itu semakin terasa. Lebih kuat, lebih cepat. Irama gerakannya membuatku sulit untuk berpura-pura tak menyadari.
Aku bisa mendengar suara desahan napasnya di belakangku — berat, teratur, dan semakin panas. Tangan kanannya kini mendekap pinggangku dari belakang, menahanku agar tetap dekat.
Dari arah belakang, gerakannya makin intens, seolah dia sedang mencari puncak dari permainan ini. Tekanan yang menempel di tubuhku bergerak dengan kecepatan yang tak lagi pelan, membuat napasku sendiri ikut tersengal.
Bus tetap melaju, berguncang di atas jalanan, sementara orang-orang di sekeliling kami tetap sibuk dengan dunia masing-masing. Tak satu pun yang tahu apa yang sedang terjadi di ruang sesak ini.
tekanan yang beraturan itu tiba-tiba berhenti. Aku sempat mengira dia menyerah, tapi ternyata tidak. Pak Jarwo hanya mengubah posisi. Tubuhnya sedikit mundur, memberi jarak tipis, tapi aku masih bisa merasakan hangat napasnya di leherku.
Suara gesekan resleting yang tadi sempat terdengar kini berganti bunyi lain — ritme cepat dan berulang, seperti seseorang sedang mengocok sesuatu dengan genggaman penuh. Tangan kanannya bergerak di samping pinggangku, tersembunyi sebagian oleh tubuhku dan tas selempangnya, tapi gerakan naik-turun itu terlalu jelas untuk diabaikan.
Degup jantungku memukul keras. Entah dorongan apa yang membuatku perlahan menoleh. Dari celah sempit di antara bahu kami, aku menangkap wajahnya. Matanya menyipit, rahangnya mengeras, bibirnya setengah terbuka mengeluarkan napas berat yang terputus-putus.
Gerak tangannya makin cepat, jelas-jelas seperti sedang memeras sesuatu yang licin dari dalam genggamannya. Sekilas tatapan kami bertemu dengan singkat tapi cukup untuk membuatku langsung kembali menghadap ke depan, seolah takut semua orang menyadarinya.
Beberapa saat kemudian, suara itu berubah. Bukan lagi hanya desahan napas, tapi erangan tertahan yang keluar dari tenggorokannya. “Enggh…” lirihnya, nyaris tak terdengar di tengah riuhnya penumpang.
Lalu, sensasi itu datang — hangat, basah, merembes di bagian belakang rok seragamku. Aku terpaku. Kain tipis itu menyerapnya cepat, membuat rasa lembapnya langsung menempel di kulit.
Aku ingin bergerak, tapi entah kenapa tubuhku justru menahan posisi. Napasku pendek-pendek. Aku merasakan tangan kirinya masih di pinggangku, seolah menegaskan agar aku tetap di tempat. Keramaian di sekelilingku seperti menjadi latar yang kabur, hanya tersisa denyut jantungku dan rasa hangat yang tak kunjung hilang di belakang.
Suara pengeras di langit-langit bus kembali terdengar, mengumumkan halte berikutnya. Aku tak segera bergerak, masih berdiri di tempat yang sama, membiarkan rasa hangat dan lembap itu melekat di belakang rokku.
Pak Jarwo sedikit mengendurkan genggamannya di pinggangku, tapi aku tahu dia masih berdiri tepat di belakang. Napasnya belum sepenuhnya teratur. Aku melirik sekilas ke kaca jendela yang memantulkan sedikit bayangan kami — jarak tubuh yang terlalu dekat untuk sekadar berdiri di bus yang penuh.
Ketika bus berhenti di halte, dorongan penumpang yang keluar dan masuk membuatku ikut terdorong. Aku melangkah pelan, mencoba menutupi noda samar yang mulai terasa dingin seiring hembusan angin dari pintu yang terbuka.
Begitu kakiku menginjak trotoar, aku sadar… setiap langkah membuat kain rok itu menempel-lepas di kulitku, meninggalkan rasa yang anehnya sulit kulupakan. Bahkan ketika pintu bus menutup di belakangku, bayangan napas panas dan sentuhan tadi masih terasa, seolah belum benar-benar selesai.
Begitu sampai di lokasi pameran, aku langsung menuju pintu belakang untuk masuk lewat akses staf. Rasanya semua tatapan orang yang kulalui seolah menempel lebih lama dari biasanya. Aku tak yakin, apakah mereka hanya melihat seragam putih yang ketat ini… atau karena sesuatu yang lain.
Begitu ada kesempatan, aku melipir ke toilet staf. Ruangan itu sepi, hanya terdengar suara tetesan air dari kran yang tak tertutup rapat.
Aku berdiri di depan cermin, menarik napas pelan, lalu memutar tubuh. Dan… di sanalah aku melihatnya. Bagian belakang rok putihku yang tipis tampak sedikit transparan di bawah cahaya lampu. Ada noda samar yang bentuknya tidak bisa disalahartikan.
Jantungku berdegup kencang. Aku mencoba mengusapnya dengan tisu, tapi serat kain yang basah malah semakin menempel di kulit. Saat tisu itu menyentuhnya, aroma khas yang hangat dan samar menusuk hidungku—bau yang tak asing, dan langsung membangkitkan bayangan kejadian di bus tadi.
Sentuhan tisu yang dingin bercampur dengan sisa hangat dari cairan itu membuat tubuhku refleks menegang. Tanpa sadar, aku memejamkan mata, bayangan napas berat Pak Jarwo di belakangku kembali terngiang. Seolah, meski aku sudah di sini… dia masih berdiri di belakangku, menunggu.
Beberapa detik kemudian, ponselku kembali menyala. Bukan dari chat—kali ini dari aplikasi m-banking.
Layar menampilkan pop-up kecil di atas:
[Notifikasi: m-BCA]
Dana masuk Rp300.000 dari: Jarwo Hadi.
Angkanya nggak besar-besar amat, tapi entah kenapa, rasanya kayak disiram sesuatu yang panas. Bukan soal nominalnya… tapi soal cara aku mendapatkannya.
Tanganku tetap di atas, wajahku nggak berubah tapi tubuhku berdenyut halus. Sadar nggak sadar, aku menggigit bibir bawahku pelan.
Aku tahu ini udah kelewat batas. Tapi aku juga tahu... aku belum mau berhenti. Dan yang paling bikin gila ternyata aku malah seperti menunggu. Nunggu perintah selanjutnya dari Pak Jarwo.
Moga diteruskan teaser nya suhu
BalasHapus