Langsung ke konten utama

Begal payudara


By : Analconda13

Namaku Angelica Santoso. Seorang gadis tionghoa berusia tujuh belas tahun. Aku lahir dari keluarga sederhana. Papa punya usaha toko bahan bangunan kecil kecilan depan rumah sementara mama seorang ibu rumah tangga yang kadang menerima pesanan kue dari tetangga. Kehidupan kami pas-pasan, tidak berlebih, tapi juga tidak sampai kekurangan.

Aku masih duduk di kelas tiga sebuah SMA swasta kecil. Sekolahku memang tidak terkenal tapi cukup banyak murid keturunan Tionghoa seperti diriku. Rumahku berjarak sekitar lima belas menit berjalan kaki, jadi hampir setiap hari aku pulang sendiri. Jalannya melewati komplek perumahan yang relatif sepi di siang hari, kiri kanan dipenuhi rumah-rumah besar dengan pagar tinggi.

Hari itu matahari terik sekali. Seragamku sudah basah lengket oleh keringat, rambutku berantakan menempel di pipi. Suasana sekitar sunyi, hanya terdengar derap langkah kakiku dan sesekali suara angin. Saat aku berjalan sendirian, sebuah motor berboncengan lewat dari belakang. Dalam sekejap, tangan si pembonceng meraih tubuhku, meremas dadaku cepat sambil tertawa keras.

Aku terdiam kaku, sementara motor itu melaju kencang meninggalkanku. Rasanya seperti ditampar keras. Wajahku panas, tanganku langsung menutup bagian dadaku, tapi lidahku kelu. Aku tidak berteriak, tidak mengejar, hanya berdiri di tempat dengan jantung yang berdegup tak karuan. Sepanjang jalan pulang aku menunduk, tubuhku masih gemetar. Malamnya aku tidak bisa tidur, setiap kali memejamkan mata kejadian itu muncul lagi di kepalaku.

Aku memilih tidak bercerita pada Papa atau Mama. Aku tahu mereka pasti marah besar, bisa saja mendatangi sekolah atau bahkan polisi, dan aku tidak mau membuat rumah jadi heboh. Jadi semua kesal dan malu itu kusimpan sendiri.

Beberapa hari berikutnya aku tetap melewati jalan itu. Jujur, aku takut sekali, tapi aku tidak punya pilihan lain. Setiap kali ada motor mendekat, aku langsung menegang. Dua hari, tiga hari, aman saja. Aku mulai berpikir mungkin mereka hanya iseng sekali itu.

Namun di hari keempat, dugaanku salah. Aku baru keluar dari gerbang sekolah ketika melihat dari jauh motor yang sama datang. Kali ini dari arah depan. Mereka tidak memakai helm jadi wajahnya terlihat jelas. Dua remaja pribumi, tubuh kurus, kulit gelap terbakar matahari. Aku memperhatikan lebih lama, dan baru sadar mungkin usia mereka malah lebih muda dariku.

Begitu jarak semakin dekat, si pembonceng menatapku sambil tersenyum miring. Tatapan itu membuat bulu kudukku berdiri. Aku langsung menunduk, langkahku bertambah cepat, tapi aku tahu mereka sudah mengenaliku. Aku langsung tegang. Jantungku berdegup kencang, tanganku mengepal. Tapi sebelum sempat aku menghindar, mereka sudah melintas tepat di sampingku. Tangan itu kembali menyambar dadaku, kali ini lebih lama, lebih berani. Tidak sekadar remasan singkat tapi seolah menantangku.

Aku terlonjak, “Hei!!” suaraku pecah, tapi motor mereka justru melaju kencang sambil tertawa keras.

Aku terdiam, tubuhku gemetar karena marah. Wajahku panas, gigi bergemeletuk menahan emosi. Mungkin karena waktu itu aku diam saja, mereka pikir aku bisa seenaknya diperlakukan begitu. Di tengah jalan sepi itu aku berdiri lama, memelototi arah motor yang makin jauh. Rasanya ingin berteriak sekuat tenaga, rasanya ingin mengejar tapi aku hanya bisa menggenggam tas erat-erat.

Di dalam hati aku bersumpah: kalau aku bertemu mereka lagi maka aku tidak akan tinggal diam.

Sejak peristiwa itu—ketika dua pemuda berboncengan motor meremas dadaku sambil tertawa—hidupku tidak benar-benar sama. Aku masih bisa beraktivitas seperti biasa, tapi di dalam hati ada rasa takut bercampur marah yang tidak bisa benar-benar hilang. Aku ingat jelas bagaimana tangan kotor mereka menyambar tubuhku, dan bagaimana aku hanya bisa diam, gemetar, tanpa berani melawan. Beberapa hari setelah itu, mereka bahkan kembali melakukannya, kali ini lebih berani. Sejak saat itu aku selalu waspada setiap motor mendekat dari belakang.

Namun seiring waktu berjalan, aku mulai sedikit lega. Sebulan penuh berlalu tanpa mereka muncul lagi. Jalanan yang sepi itu mulai terasa aman, meski tetap ada rasa waswas kecil di sudut pikiranku. Aku berpikir mungkin mereka sudah bosan atau mencari sasaran lain. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa kejadian itu hanyalah sebuah kebetulan buruk yang tak akan terulang lagi.

Kejadian Terulang 

Sampai pada hari itu. Siang menjelang sore, aku pulang seperti biasa. Matahari terasa terik di atas kepala, membuat keringat membasahi seragamku. Saat kakiku menapaki sebuah jembatan kecil yang melintas di atas sungai dangkal, tiba-tiba suara knalpot motor terdengar dari belakang. Awalnya aku tidak menoleh, mencoba tetap tenang, tapi perasaan aneh langsung menyelusup ke dalam dadaku. Dan ketika suara itu semakin dekat, aku tahu firasatku benar. Mereka.

Dua pemuda yang sama, masih berboncengan dengan motor tua berisiknya. Kali ini mereka tidak melaju kencang seperti sebelumnya. Motor itu melambat, lalu berhenti tepat di sampingku. Aku menahan napas, jantungku berdegup keras sampai hampir terdengar di telingaku sendiri.

“Heii, Cici… baru pulang sekolah ya?” kata si pengendara dengan nada meledek, senyumnya miring, matanya meneliti tubuhku dari atas sampai bawah.

Aku diam, berusaha keras menjaga ekspresi agar tidak terlihat ketakutan, meski lututku terasa lemas.

Temannya yang duduk di belakang tertawa kecil lalu menimpali, suaranya kasar, “Cici badannya semok banget, sumpah. Kalau liat tokednya… jadi pengen pegang lagi, hahahaha.”

Wajahku langsung panas. Marah, malu, takut, semuanya bercampur. Tanganku mencengkeram erat tali tas, tubuhku sedikit menjauh, tapi aku tahu tak banyak yang bisa kulakukan. Jalan ini sepi, tak ada orang lain yang lewat. Hanya ada suara deras air sungai di bawah jembatan dan suara tawa mereka yang menusuk telinga.

Aku ingin berteriak, ingin mendorong mereka, tapi mulutku terkunci rapat. Dalam hati aku menyesali kenapa dulu aku hanya diam. Mungkin karena itu mereka jadi makin berani.

Motor mereka belum bergerak. Mereka sengaja berhenti, menatapku dengan tatapan nakal seolah aku mainan yang bisa dipermainkan kapan saja.

Siang itu di atas jembatan, aku berusaha menguatkan diri. Saat tangan salah satu dari mereka mencoba menyambar tubuhku, refleks aku menepis sambil berseru, “Jangan sentuh aku!” Suaraku bergetar, tapi cukup lantang. Aku mendorong tubuh mereka menjauh, mencoba melawan meski aku sadar ada dua orang dan aku sendirian.

Tapi mereka hanya tertawa keras.
“Wih, Cici berani juga sekarang,” kata yang di belakang sambil mencondongkan tubuh. Tangan kotornya berhasil menyambar dadaku sekali lagi, meremas dengan kasar sebelum aku sempat menghindar. Aku menjerit dan menepis sekuat tenaga, tapi motornya langsung melaju kencang meninggalkanku terengah di atas jembatan.

Aku berdiri mematung, napas tersengal, wajah memerah bukan hanya karena marah, tapi juga malu. Mataku panas, hampir menitikkan air mata. Aku menggigit bibir menahan segala emosi yang berdesakan di dalam dada.

Munculnya Gairah Terlarang 

 Sepanjang jalan pulang tubuhku masih bergetar. Aku memeluk tas erat-erat di depan dada, seolah ingin melindungi diriku sendiri dari sentuhan yang barusan terjadi. Langkahku cepat, keringat dingin mengalir di pelipis, dan aku hanya berharap segera sampai rumah untuk mengunci diri di kamar.

Begitu melewati pintu, aku langsung melepas sepatu tanpa rapi, menutup pintu kamar, lalu menguncinya. Aku jatuh terduduk di atas kasur dengan wajah masih panas dan napas yang belum teratur. Perasaan kesal, malu, dan marah bercampur menjadi satu hingga dadaku terasa sesak. Aku menekan dada dengan tangan sendiri, masih bisa merasakan sisa jejak remasan itu di tubuhku.

Di saat itulah pikiranku mulai kacau. Di balik rasa benci dan muak yang seharusnya ada, muncul sesuatu yang asing. Ada getaran aneh menjalar ke seluruh tubuhku, membuat jantungku berdegup semakin keras ketika ingatanku kembali pada detik-detik tangan itu menyentuhku.

Aku buru-buru menutup wajah dengan bantal, mencoba menahan semua rasa yang bercampur aduk. “Kenapa aku jadi begini,” bisikku pelan, suara hampir tidak terdengar.

Aku tahu seharusnya aku hanya marah. Aku tahu aku seharusnya membenci mereka sepenuhnya. Tetapi tubuhku ternyata memberi reaksi lain yang tidak bisa kuabaikan, dan hal itu membuatku semakin bingung serta gelisah.

Aku terbaring diam di kasur, masih mengenakan seragam sekolah yang kusut dan basah oleh keringat. Mataku menatap kosong ke langit-langit kamar, sementara pikiranku melayang tidak tentu arah. Nafasku belum sepenuhnya tenang, dan aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi diriku sendiri.

Aku mencoba menepis bayangan kejadian di jembatan tadi—tawa mereka, ucapan kasarnya, tangan kasar yang tiba-tiba meremas dadaku. Tapi semakin kucoba melupakan, justru semakin jelas aku mengingatnya.

Aku menekan wajah dengan kedua telapak tangan, merintih kecil. Kenapa tubuhku merespons begini? Harusnya aku hanya marah, harusnya aku jijik. Tapi entah kenapa, ada sensasi asing yang diam-diam membuat tubuhku bergetar hangat.

Tanganku refleks menyentuh bagian dada sendiri, tepat di tempat yang tadi diraba. Dadaku berdegup kencang, seakan baru pertama kali aku benar-benar menyadari bentuk tubuhku sendiri. Aku menghela napas panjang, merasakan jari-jariku yang kini justru berani menekan dan meraba dengan perlahan.

Ada rasa malu yang menyelimuti, tapi juga rasa penasaran yang sulit dihindari. Aku menggigit bibir, mataku terpejam, tubuhku seakan menuntun sendiri ke arah yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.

“Kenapa aku malah begini…” bisikku pelan, suara tercekat bercampur antara takut dan penasaran.

Perasaan marah masih ada, tapi di bawahnya, ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang membuatku gelisah, yang seolah menuntut untuk dieksplorasi. Aku terdiam lama, mendengarkan detak jantungku sendiri, sampai akhirnya aku sadar satu hal: kejadian tadi telah membangunkan sisi dalam diriku yang bahkan tak pernah kusadari sebelumnya.

Aku masih berbaring di kasur, jantungku berdebar keras. Tubuhku seperti dipenuhi panas yang tak bisa reda. Setiap kali aku mengingat remasan kasar di jembatan tadi, tanganku sendiri langsung bergerak gelisah—seolah meniru, seolah ingin tahu kenapa rasanya meninggalkan jejak aneh di tubuhku.

Aku duduk setengah bersandar di kasur, membuka kancing seragamku satu per satu dengan tangan gemetar. Rasanya malu sekali, tapi juga ada dorongan kuat yang tak bisa kucegah. Blus putihku terlepas longgar, bra tipis yang kupakai sejak pagi kini terekspos.

Tanganku ragu-ragu menyentuh dada sendiri. “Astaga…” bisikku lirih saat akhirnya jari-jariku menekan pelan di atas bra. Sensasinya membuatku merinding, napasku memburu. Aku memejamkan mata, membayangkan kejadian di jembatan—suara tawa mereka, kata-kata kasarnya, dan sentuhan yang begitu tiba-tiba.

Kali ini, bukan lagi rasa marah yang mendominasi, tapi rasa penasaran yang memuncak. Aku menyingkap bra, merasakan langsung kulitku sendiri. Hangat, lembut, tapi setiap sentuhan justru membuat tubuhku makin bergelora.

Aku mendesah kecil tanpa sadar, tubuhku melengkung. “Kenapa enak sekali…” gumamku, suara tercekat. Tanganku mulai bergerak semakin berani, meremas, menekan, lalu melepaskan, berulang-ulang. Setiap detik membuatku semakin tenggelam dalam sensasi yang asing tapi memabukkan.

Perlahan, tanganku yang lain bergerak ke bawah, ke perutku, turun semakin dekat ke arah yang bahkan belum pernah kusentuh sendiri sebelumnya. Degup jantungku makin kencang, seolah tubuhku menunggu sesuatu yang lebih besar meledak kapan saja.

Aku tahu aku sudah melewati batas. Tapi aku tak bisa berhenti. Rasa asing itu kini telah menjadi gelombang gairah yang menuntut untuk dilepaskan.

Aku memejamkan mata lebih rapat, tubuhku seakan terseret ke dalam arus yang tak tertahan. Nafasku semakin cepat, dada naik-turun kencang, sementara jemariku tidak berhenti menelusuri dan menekan setiap titik yang membuatku gemetar.

Bayangan dua remaja itu makin jelas. Suara knalpot, tawa mereka, bahkan tatapan mata nakal yang sempat kutangkap di jembatan… semua bercampur jadi satu. Aku merasakan seolah-olah mereka benar-benar ada di sini, di kamarku, menatapku yang sudah pasrah terbaring, siap disentuh.

Tubuhku menegang, kemudian melengkung ke atas. Desahan keluar tanpa bisa kutahan, lirih tapi penuh beban yang lepas dari dalam. Sensasi itu menyeruak, seperti ombak yang pecah menghantam pantai, membuatku gemetar hebat, menggenggam sprei begitu erat sampai kusut.

“Aaahhh…!” suaraku pecah, tercekat, lalu berubah jadi helaan panjang yang melemah.

Aku jatuh kembali ke kasur, tubuh berkeringat, wajahku memerah panas. Nafasku masih terengah, tapi ada senyum samar di bibirku.

Diam-diam aku sadar… kejadian itu sudah menempel dalam diriku. Meski awalnya kesal, entah kenapa kini justru menjadi bahan khayalanku yang paling liar. Dan aku tahu, ini bukan yang terakhir kalinya aku akan memutar ulang semuanya di kepalaku.

Beberapa hari setelah malam itu, aku jadi punya kebiasaan baru tanpa kusadari. Setiap kali jam pulang sekolah tiba, aku berjalan lebih pelan dari biasanya. Aku memperhatikan setiap suara motor yang melintas, berharap—meski malu untuk mengakuinya—wajah dekil mereka akan muncul lagi.

“Kenapa aku jadi begini…?” gumamku dalam hati, sambil menunduk dan pura-pura sibuk memainkan ujung rambutku.

Lingkungan komplek yang biasanya terasa sepi kini malah membuat jantungku berdebar. Suara mesin dari kejauhan langsung membuatku menoleh cepat, menanti apakah itu mereka. Tapi sering kali hanya ibu-ibu berbelanja atau tukang ojek lewat. Setiap kali bukan mereka, ada rasa kecewa yang aneh, meskipun di permukaan aku selalu meyakinkan diri: lebih baik kalau tidak bertemu lagi… Namun, di lubuk hatiku, aku tahu aku ingin.

Mereka Datang Kembali

Sore itu aku melintas lagi di jembatan kecil yang dulu jadi saksi kejadian terakhir. Angin semilir, air sungai berkilau diterpa matahari sore. Aku berhenti sebentar, menatap ke arah jalan.

Tiba-tiba dari kejauhan, suara knalpot berisik terdengar. Degup jantungku langsung kacau. Motorkah itu?

Semakin dekat, aku bisa melihat—dua sosok yang sama, tertawa, tanpa helm, wajah dekil yang tak asing lagi. Dunia serasa melambat. Nafasku tercekat, tapi bukannya lari, kakiku justru terpaku di tempat.

“Heiii… Cici cantik lewat lagi…” salah satu dari mereka berseru sambil tertawa keras. Yang lain menambahkan, “Masih pulang sendiri ya? Jangan-jangan nungguin kita…”

Pipi panas, telingaku merah, tapi aku tidak menjawab. Aku hanya menunduk, meremas tali tas sekolah erat-erat.

Dan untuk pertama kalinya, aku merasakan campuran takut, malu, tapi juga harapan yang tak bisa kujelaskan.

Motor itu melambat, suara knalpotnya meraung kasar lalu berhenti tepat di depanku. Debu jalanan naik sedikit, membuatku refleks menutup hidung dengan tangan.

Dua remaja itu turun pandangan ke arahku. Mereka tersenyum lebar—senyum nakal, senyum yang membuat bulu kudukku meremang.

“Heii Cici,” kata yang duduk di depan, sambil menyandarkan satu kakinya ke aspal, “sendirian terus aja… nggak takut apa? Nanti ada yang culik loh.

Temannya tertawa kecil, matanya terang-terangan menelusuri tubuhku dari atas sampai bawah. “Badanmu makin semok aja, Ci… aduh, kalau liat gini, jadi susah nahan.”

Aku menggigit bibir, keringat dingin muncul di pelipis. Tanganku semakin erat memegang tali tas. Ingin rasanya aku berbalik dan lari, tapi entah kenapa kakiku kaku, seolah menolak bergerak.

Udara di sekitar jembatan terasa menekan, sunyi, hanya ada suara burung dan aliran sungai di bawah sana. Dua pasang mata itu tetap menatapku tanpa berkedip, menunggu reaksiku.

Jantungku berdetak sekeras-kerasnya. Aku sadar betul… inilah saatnya mereka benar-benar mendekat, bukan hanya melintas seperti sebelumnya.

Salah satu dari mereka mematikan mesin motor, lalu turun dan melangkah pelan ke arahku. Bunyi sandal jepitnya beradu dengan aspal, membuat dadaku makin sesak.

“Heii… jangan tegang gitu dong, Ci,” ujarnya dengan nada santai, tapi matanya jelas menyorot penuh rasa ingin tahu. Tangannya terulur, bukan langsung menyentuhku, hanya menggantung di udara, seolah menguji apakah aku akan mundur.

Aku menelan ludah. Kakiku masih terpaku, tubuhku kaku.

Temannya yang masih duduk di atas motor ikut bersuara, “Cici, kita nggak macem-macem kok… cuma pengen ngobrol… sambil liat kamu dari deket.” Tawa kecil menyusul, tawa yang lebih ke nakal daripada ramah.

Pemuda yang ada di depanku akhirnya berani sedikit maju, jaraknya tinggal sejengkal. Aku bisa mencium bau keringat bercampur asap rokok darinya. Jemarinya tiba-tiba menyentuh lenganku, ringan, tapi cukup untuk membuatku bergidik.

“Aduh, halus banget kulitnya… pantas aja bikin penasaran,” bisiknya.

Aku spontan menepis, tapi gerakanku terlalu lemah. Dan entah kenapa, meski mulutku ingin marah, lidahku kelu.

Di dalam hati, aku menjerit, kenapa aku nggak bisa benar-benar melawan? Tapi di balik ketakutan itu, ada denyut aneh yang mulai muncul lagi, sama seperti waktu dulu mereka lewat sambil meremas.

Aku mengerutkan kening, mencoba mengeraskan suara meski nada gemetar, “Hei… jangan seenaknya ya! Jangan ganggu aku!”

Tapi bukannya mundur, mereka justru saling pandang lalu terkekeh. Yang berdiri di dekatku mengangkat alis dan berkata sambil senyum nakal, “Masa cuma pegang sebentar aja nggak boleh sih? Nggak bakal bikin kamu rugi kok…”

Aku merasakan wajahku panas, entah karena marah atau malu. “Jangan…! Aku serius!” kataku, sambil menepis tangannya lagi. Tapi kali ini, dia lebih berani—tangannya malah cepat-cepat menyambar, menepuk bagian atas seragamku, hanya sekilas tapi cukup membuatku tersentak.

“Halah, Ci… kamu pura-pura marah aja kan? Dari kemarin-kemarin juga diam aja,” ujar temannya dari atas motor, menambahkan tawa usil.

Aku melotot, berusaha menatap tajam, tapi gemetar di tubuhku mengkhianati perasaanku. Tanganku mencengkram tali tas erat-erat, namun langkahku tak kunjung mundur.

Mereka makin mendekat. Jemari nakal itu kini mencoba lagi, kali ini menelusuri lenganku, naik pelan ke arah pundak, seolah menunggu aku meledak atau pasrah.

Di dalam kepalaku, teriakan bercampur dengan detak jantung yang semakin liar. Kenapa aku nggak bisa benar-benar pergi? Kenapa kaki ini seperti tertahan?

Tanganku berulang kali menepis, tapi gerakannya lemah, setengah hati. Tubuhku justru sedikit menggeliat, seakan menolak tapi tidak sungguh-sungguh. Jemari kasar itu dengan mudah kembali mendarat di seragamku, menekan ringan di lengkung tubuh yang paling membuatku salah tingkah.

Aku berdesis pelan, “A… aku bilang berhenti!” Nada suaraku terdengar lebih seperti rengekan daripada ancaman.

Mereka malah terkekeh, semakin berani. Satu tangan menelusuri sisi pinggangku, yang lain berani menepuk dadaku cepat sekali, seolah bermain-main dengan reaksi tubuhku.

Aku meremas tali tas erat-erat, mencoba meyakinkan diri untuk melawan, lalu bersuara lebih keras, “Kalau nggak berhenti… aku teriak, sumpah aku teriak nih!”

Namun kata-kataku tak sejalan dengan gerakanku. Karena saat tangannya kembali menggeser ke atas, aku hanya menepis pelan, tubuhku tetap di tempat, wajahku panas dan bibirku bergetar.

Mereka saling pandang, lalu salah satu dari mereka terkekeh sambil berkata pelan di telingaku, “Teriak aja, Ci… kita pengen tau, beneran berani atau nggak.”

Dadaku naik turun cepat, jantungku berdegup tak karuan. Suasana di atas jembatan itu jadi semakin tegang, sunyi hanya terdengar aliran sungai di bawah.

Aku berdiri terpaku di atas jembatan itu, napasku masih naik turun tak karuan. Dari kejauhan, suara knalpot lain semakin jelas—ada motor lain yang akan melintas. Seketika kedua remaja itu menghentikan gerakannya. Salah satu menatapku dengan senyum jahil sambil berbisik, “Lain kali kita lanjutin ya, Cici cantik…”

Lalu keduanya buru-buru naik ke motor mereka, mesin meraung, dan dalam hitungan detik bayangan mereka menjauh, meninggalkan aku seorang diri dengan seragam kusut dan wajah panas.

Aku menggenggam erat tali tas, menunduk dalam, mencoba mengatur napas. Harusnya aku lega mereka pergi, harusnya aku marah dan bersyukur ada orang lain yang membuat mereka kabur. Tapi entah kenapa, di balik semua itu, ada sesuatu yang aneh—rasa kecewa kecil, halus, yang tak mau kuakui.

Aku menggigit bibirku sendiri. Kenapa aku malah merasa begitu? Kenapa ada bagian diriku yang berharap mereka tak berhenti?

Aliran sungai di bawah jembatan terdengar deras, tapi justru sepi menekan dadaku lebih kuat. Aku berjalan cepat pulang, berusaha menghapus semua pikiran itu. Namun bayangan senyum nakal mereka, suara mereka memanggilku “Cici cantik,” terus terngiang-ngiang di kepala, membuat hatiku bergejolak dengan rasa yang bahkan aku sendiri tak bisa menjelaskan.

Kehidupanku Disekolah

Sepanjang hari di sekolah aku masih berusaha menata perasaan. Dari luar aku tetap terlihat biasa saja—tertawa bersama teman-teman, menjawab candaan mereka, bahkan pura-pura mendengarkan obrolan soal cowok yang naksir salah satu dari kami. Tapi jauh di dalam hati, aku menyimpan rahasia yang tak mungkin bisa kuceritakan pada siapa pun.

Beberapa teman sering menggoda, katanya aku banyak disukai cowok. Ada yang terang-terangan bilang aku cantik, ada juga yang nyeletuk tubuhku “semok banget” sampai bikin iri. Aku hanya tersenyum menanggapi, pura-pura tidak peduli. Padahal sebenarnya aku tahu, banyak tatapan cowok-cowok di sekolah yang sering diam-diam memperhatikan setiap gerakku.

Lucunya, dari sekian banyak perhatian itu, tak ada satu pun yang benar-benar menarikku. Semua terasa datar, membosankan. Cowok-cowok di sekolah terlalu gampang ditebak—berlagak manis, mencoba perhatian, lalu berharap aku luluh.

Tapi sejak kejadian di jembatan itu, pikiranku justru sering melayang pada dua remaja nakal yang kerap muncul tiba-tiba. Entah kenapa, aku justru penasaran pada mereka. Bukan karena mereka sopan atau romantis—justru sebaliknya. Mereka berani, blak-blakan, bahkan keterlaluan. Saat tanganku menepis dengan setengah hati, saat aku pura-pura marah dan mengancam akan teriak, tatapan mereka sama sekali tak gentar. Dan anehnya, momen itu membekas kuat dalam ingatanku.

Sekarang, setiap kali pulang sekolah dan melewati jalan sepi menuju rumah, aku selalu menoleh ke belakang. Hati ini deg-degan, separuh takut, separuh… menunggu.

Aku sendiri heran, kenapa bisa begitu. Bukannya aku benci pada mereka? Bukannya aku marah waktu tubuhku disentuh semaunya? Tapi semakin aku mencoba melupakan, justru semakin sering bayangan itu muncul.

Seolah-olah, di antara semua perhatian cowok yang kuterima, hanya dua remaja dekil itu yang benar-benar meninggalkan rasa.

Godaan Masih Berlanjut 


Begitu motor itu berhenti di depanku, jantungku langsung berdebar tak karuan. Dua wajah yang sudah kukenal itu menatapku dengan senyum nakal, sama persis seperti saat kejadian sebelumnya.

“Heii Cici, mau gak kita anterin pulang? Jauh lho kalau jalan kaki terus…” salah satunya bersuara sambil menyandarkan lengannya ke setang motor.

Refleks aku menggeleng, “Enggak usah… aku bisa jalan sendiri.” Suaraku terdengar ragu, lebih seperti alasan daripada penolakan tegas.

Mereka malah saling melirik dan tertawa kecil. “Masa nolak sih… kita kan baik, Cici. Lagian siapa yang gak mau dianterin pulang sama dua cowok ganteng kayak kita?” goda temannya sambil melirik ke arah dadaku yang tertutup seragam.

Aku mundur setengah langkah, rasa takut dan waspada masih ada. Tapi anehnya, di balik itu, ada sesuatu dalam diriku yang justru bergetar. Bukan marah. Bukan jijik. Tapi semacam sensasi yang membuat pipiku panas dan kakiku berat untuk melangkah pergi.

Mereka terus membujuk, dengan gaya sok akrab, sok perhatian, bahkan sedikit memaksa namun tanpa nada mengancam. Dan entah kenapa, setelah beberapa kali aku menggeleng, akhirnya bibirku justru mengucapkan jawaban yang bahkan membuatku kaget sendiri.

“…ya sudah deh.”

Seketika mata mereka berbinar puas. Yang mengendarai motor langsung menggeser tubuhnya sedikit ke depan, sementara temannya di belakang memberi ruang. “Naik, Cici. Duduk aja di tengah. Tenang kok, kita gak bakal apa-apa…” katanya dengan nada bercampur tawa nakal.

Tanganku gemetar saat meraih bahu motor itu. Degupan jantungku semakin keras, seolah aku sedang melakukan sesuatu yang sama sekali tak boleh. Namun tanpa bisa menghentikan diri, aku melangkah, mengangkat kaki, lalu duduk di jok sempit itu.

Kini aku berada di antara mereka berdua. Tubuhku terjepit, di depan punggung kokoh si pengendara, di belakang dada temannya yang hangat menempel ke bahuku. Aroma keringat bercampur parfum murahan menusuk hidungku, tapi justru membuat perasaan ini semakin kalut.

Aku menarik napas panjang, tapi rasanya dada semakin sesak. Gairah aneh itu meledak tiba-tiba, membuat tubuhku gelisah meski wajahku tetap pura-pura tenang.

Motor pun mulai melaju, dan aku sadar—dari semua jalan pulang yang pernah kulalui, kali ini akan jadi perjalanan yang paling berbeda.

Motor melaju dengan suara knalpot yang bising, angin siang menyapu wajahku, membuat helaian rambut yang lolos dari ikatanku berantakan. Kupikir mereka akan langsung menuju jalan utama ke arah komplek rumahku, tapi ternyata motor justru membelok ke jalur yang agak sepi.

Aku sempat menoleh ke kanan dan kiri, jalanan itu tidak begitu ramai, hanya sesekali ada kendaraan lewat. Perasaanku berdesir aneh. “Kalian mau lewat mana sih? Jalan pulang kan bukan ke arah sini…” tanyaku dengan nada berusaha tenang, meski sebenarnya jantungku semakin cepat berdetak.

Yang mengendarai motor menoleh sedikit, senyumnya licik. “Santai aja, Cici. Kita muter dikit, biar lebih lama bareng kamu.”
Temannya di belakang langsung terkekeh, dadanya menempel rapat ke punggungku. Aku bisa merasakan napasnya di leherku, membuatku merinding.

Tubuhku terjepit di antara mereka. Punggungku menempel ke dada si pembonceng, sementara di depan pinggulku menempel erat ke pinggang pengendara. Semakin lama motor melaju, semakin terasa sempit, seakan ruang gerakku makin terkunci.

Tanganku awalnya kutaruh di pangkuanku, tapi getaran motor dan posisi yang goyah membuatku harus mencari pegangan. Aku pun terpaksa meraih sisi pinggang si pengendara. Sentuhan itu membuatku kaget sendiri—keras, hangat, sekaligus membuatku gelisah.

“Eh, Cici pegangan erat aja, nanti jatuh loh,” ucap si pengendara sambil sedikit memperlambat motor di tikungan. Temannya dari belakang menambahkan, “Iya, kalau takut jatuh mending peluk aja.” Tawa mereka pecah lagi.

Aku menggeliat tak nyaman, mencoba menggeser tubuhku, tapi justru membuat posisiku makin rapat dengan mereka. Si pembonceng sengaja menggerakkan kakinya, paha bagian dalamnya menempel ke sisi pinggangku. Nafasku tercekat, wajahku memanas.

Aku berpura-pura menghela napas panjang, berusaha cuek, tapi dalam hati justru kacau. Ada rasa marah, cemas, tapi juga sesuatu yang membuatku tidak tega untuk langsung minta turun. Semakin lama perjalanan itu, semakin aku merasa tubuhku sendiri bereaksi dengan cara yang tak bisa kupahami.

Motor terus berputar melewati jalan yang asing bagiku, semakin jauh dari rute biasa. Jalanan sepi, rumah-rumah jarang, hanya pepohonan dan suara angin. Situasi itu membuatku makin berdebar.

Aku tahu aku harus protes, harus meminta mereka berhenti. Tapi entah kenapa kata-kata itu tidak keluar. Yang ada justru aku duduk diam, menahan degup jantung, sambil membiarkan mereka membawa tubuhku entah ke mana.

Aku sempat terdiam waktu dia bertanya begitu. Motor terus melaju pelan di jalan yang agak sepi, dan tubuhku makin terdorong ke depan karena ulah si pembonceng di belakangku. Tangannya sengaja menekan pinggangku, bahkan sesekali merayap nakal ke samping.

“Namamu siapa sih, Cici?” tanya pengendara motor sambil menoleh sedikit.
“Angelica…” jawabku singkat. Suaraku agak ragu, tapi mereka justru tertawa kecil, seakan puas dengan jawabanku.

“Angelica… bagus namanya,” katanya lagi. “Aku Rian, yang bawa motor ini. Yang di belakang kamu itu Doni.”
Aku hanya mengangguk. Degup jantungku makin cepat, apalagi Doni mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “Cici Angelica… manis banget ya namanya, cocok sama orangnya.”

Aku refleks menggeser tubuh, tapi justru membuat tubuhku semakin rapat dengan punggung Rian. Nafasku jadi tak beraturan.

“Eh, Cici,” suara Doni lagi, kali ini lebih berani. “Udah pernah pacaran belum? Atau jangan-jangan udah pernah sama cowok pribumi kayak kita?”
Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Aku… belum.”
“Belum?” Rian langsung menimpali dengan nada menggoda. “Masa sih secantik kamu belum ada yang dapetin? Nggak mungkin lah.”

Aku buru-buru menjawab, “Serius… aku belum pernah pacaran.”
Doni malah tertawa kecil sambil semakin menekan tubuhku ke depan. “Waduh, berarti kita yang pertama dong yang deket-deket gini sama Cici? Enak banget ya nasib kita, Rian.”

Aku menggeliat, mencoba menepis tangan Doni yang nakal menyentuh sisi pinggangku, tapi gerakanku lemah.
“Eh, jangan marah dong. Kita kan cuma bercanda…” katanya dengan nada licik. Lalu ditambahkan, “Cici jangan takut, kita baik kok… asal Cici juga baik sama kita.”

Rian yang sedari tadi mengendarai motor ikut tertawa pelan. “Kalau udah kebiasa deket sama kita, nanti Cici malah betah. Percaya deh.”

Aku tak langsung membalas, hanya bisa diam dengan wajah panas. Tapi di balik diamku, ada rasa aneh yang bercampur—antara takut, malu, sekaligus sesuatu yang bikin tubuhku tidak bisa tenang.

Gairah Dilapangan 

Begitu motor berhenti di lapangan yang sepi itu, aku turun dengan sedikit ragu. Hanya ada satu pohon besar dengan bangku kayu panjang di bawahnya, tampak usang namun cukup kokoh. Rian memarkir motor di sisi pohon, sementara Doni sudah lebih dulu duduk di bangku, menepuk-nepuk permukaannya sambil memanggilku.

“Ayo Cici, duduk sini. Kita ngobrol sebentar aja, biar lebih kenal,” katanya dengan senyum licik.

Aku menoleh ke kiri-kanan, memastikan tidak ada orang lain. Tempat ini benar-benar sepi, hanya terdengar suara burung dan hembusan angin. Dengan hati-hati aku duduk, diapit oleh mereka berdua. Jarak tubuh kami sangat dekat hingga aku bisa merasakan panas tubuh mereka.

“Cici cantik banget kalau ketawa ya,” ujar Rian, matanya menatap lekat ke wajahku.
Aku menunduk, senyum kecil keluar tanpa sengaja.

Doni langsung menimpali dengan nada genit, “Cantik sih iya… tapi yang bikin aku nggak tahan tuh badannya. Dari belakang aja udah bikin pengen banget. Apalagi duduk deket gini.”

Aku refleks mendorong bahunya pelan. “Ih… jangan ngomong gitu dong.”
Mereka malah tertawa, dan bukannya berhenti, malah semakin berani.

“Serius, Cici. Kamu tuh beda. Kalau anak sekolah lain paling cuma gaya doang. Tapi kamu… hmm, bikin kita salah fokus,” Rian berbisik dekat telingaku, membuat bulu kudukku merinding.

Aku ingin marah, ingin berkata tegas, tapi entah kenapa bibirku justru menanggapi dengan suara bergetar, “Kalian ini… ada-ada aja…”
Jawaban itu terdengar seperti penolakan, tapi nadanya terlalu lembut, seakan aku sendiri ikut menikmati permainan kata-kata mereka.

“Wih, berarti Cici nggak marah dong?” Doni menatapku nakal, lalu tiba-tiba tangannya menyentuh pahaku sebentar. “Kalau beneran marah pasti udah teriak dari tadi. Tapi kamu malah senyum-senyum.”

Aku kaget, mencoba menepis, tapi gerakan tanganku lemah. Nafasku semakin cepat.
“Jangan gitu… nanti ada orang liat,” ucapku, meski di sekeliling kami benar-benar kosong.

Rian terkekeh, lalu menyandarkan tangannya ke belakang bangku. “Tenang aja, di sini nggak ada siapa-siapa. Lagian Cici kan suka ngobrol sama kita. Bener kan?”

Aku terdiam, menunduk, dan tanpa sadar menggigit bibirku sendiri.
Anehnya, bukannya menjauh, aku justru masih duduk diapit mereka, mendengarkan setiap kata mesum yang keluar dari mulut mereka, dan menjawab seadanya… dengan hati yang berdebar keras, penuh rasa asing yang terus membakar.

Doni yang duduk di sebelah kanan tiba-tiba merangkul pundakku. Sentuhan lengannya hangat menempel di bahuku, membuatku sedikit kaget. Aku menoleh sebentar, hendak melepaskan diri, tapi tubuhku tetap diam di tempat. Seolah-olah ada sesuatu dalam diriku yang membiarkan itu terjadi.

“Jarang loh ada amoy yang ramah kayak Cici,” katanya sambil tertawa pelan. “Biasanya amoy pada sombong sama pribumi. Tapi kamu… malah enak diajak ngobrol.”

Aku hanya mengerjap, senyum tipis muncul tanpa sadar. Rian yang duduk di sebelah kiri langsung menimpali dengan nada menggoda, matanya penuh kenakalan.

“Eh, Don, inget nggak waktu pertama kali kita remes toked Cici? Waktu itu dia diem aja, kayak pura-pura marah tapi sebenernya… kayak nerima gitu.”

Tubuhku langsung menegang mendengar kata-kata itu. Aku merasakan wajahku panas, antara malu, kesal, tapi juga ada debar aneh yang tak bisa kuhentikan.

Aku buru-buru membalas dengan nada yang dibuat ketus, meski suaraku bergetar, “Jangan ngomong sembarangan ah… kalian itu ya, keterlaluan.”

Mereka berdua malah cekikikan. Doni menepuk pelan bahuku yang masih dalam rengkuhannya. “Tapi jujur deh, Ci. Rasanya gimana waktu itu? Kan keliatan kamu nggak bener-bener nolak.”

Aku menghela napas panjang, berusaha menepis tangan Doni, tapi hanya sebatas gerakan kecil yang terkesan setengah hati. “Aku… nggak suka diingat-ingetin kayak gitu,” jawabku pelan, menunduk.

Rian mendekat sedikit, suaranya nyaris berbisik di telingaku. “Tapi Cici sekarang masih mau duduk bareng sama kita. Itu artinya kamu sebenernya penasaran kan?”

Jantungku berdebar makin kencang. Aku ingin menyangkal, tapi lidahku kelu. Aku tahu aku seharusnya marah, bangkit, dan pergi. Tapi justru aku tetap di sana, terjepit di antara mereka berdua, mendengar godaan mereka yang semakin mesum… dan diam-diam ada bagian dari diriku yang tak ingin momen itu cepat berakhir.

Doni yang masih merangkul pundakku mulai menggeser tangannya turun ke lengan, lalu dengan santainya menyusuri sisi tubuhku. Aku refleks menggeliat sedikit, menoleh padanya dengan wajah yang sengaja kubuat seolah marah.

“Eh, jangan macem-macem ya…” suaraku lirih, lebih terdengar seperti bisikan ketimbang teguran.

Tapi bukannya berhenti, dia justru menyeringai dan makin menempel. “Cici kalau beneran nggak mau, dari tadi udah kabur. Tapi lihat, masih duduk manis aja di sini.”

Aku terdiam, tak bisa menyangkal. Rian yang sedari tadi mengamatiku langsung ikut bergerak, tangannya nekat menepuk pahaku. Bukan keras, tapi cukup membuat tubuhku kaget.

“Lembut banget, Ci…” gumamnya, seolah tanpa beban. Jemarinya lalu menggoda, naik-turun di atas pahaku yang tertutup rok sekolah.

Aku buru-buru menepis tangannya, tapi gerakanku terasa setengah hati. “Kalian ini… keterlaluan…” bibirku bergetar, tapi wajahku terasa panas.

Doni makin berani, kini tangannya menyusuri dari pundak hingga mendekati dadaku. Aku langsung menunduk, menggeliat, mencoba menggeser tubuh menjauh, tapi justru malah terjepit di antara mereka.

“Heh, Ci… inget nggak waktu pertama kali kita iseng di jalan? Sekarang malah bisa lebih lama gini,” Rian terkekeh, lalu tangannya kembali hinggap di pahaku, kali ini menekan lebih kuat.

Jantungku berdetak kencang, nafasku memburu. Aku tahu aku bisa berteriak, bisa bangkit dan kabur kapan saja. Tapi entah kenapa aku malah duduk terpaku, membiarkan mereka semakin berani, sementara tubuhku merespon dengan debar aneh yang semakin sulit kutahan.

Rian mencondongkan tubuhnya lebih dekat, wajahnya menyeringai nakal sambil berbisik tepat di telingaku.

“Udah jujur aja deh, Ci… sebenernya Cici suka kan waktu tokednya kita remes dulu?”

Pertanyaan itu membuatku tercekat. Nafasku tertahan, jantungku berdetak keras sampai terasa di leher. Aku buru-buru memalingkan wajah, mencoba menutupi rona merah yang pasti sudah jelas terlihat di pipiku.

“A–apa sih kalian… ngomongnya seenaknya…” jawabku pelan, hampir tak terdengar, suaraku bergetar antara marah dan malu.

Tapi Doni malah menertawakan reaksiku. “Tuh kan, liat. Kalau beneran nggak suka, pasti udah kabur, udah teriak-teriak. Tapi Cici masih duduk anteng di sini, malah merah pipinya. Hehehe…” Tangannya makin erat di pundakku, menarikku makin dekat ke dadanya.

Aku meronta kecil, menepis pergelangan tangannya, tapi gerakanku lemah. Sejujurnya, tubuhku justru makin gemetar, bukan karena takut, tapi karena rasa aneh yang tak mau kuakui.

“Cici jangan pura-pura kuat deh…” Rian menyusul, jemarinya kembali hinggap di pahaku, bergerak perlahan ke atas hingga mendekati lipatan roknya. “Pas pertama kali kita ngeremes sambil lewat, Cici diem aja kan? Itu tandanya Cici nggak benci. Mungkin malah penasaran…”

Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan suara yang hampir keluar dari tenggorokanku. “Aku… aku nggak… suka diginiin…” ucapku setengah memohon, tapi suaranya terdengar rapuh, jauh dari tegas.

Doni terkekeh lagi, menatapku lekat-lekat. “Jangan bohong, Ci. Badanmu sendiri udah ngasih tau semuanya.” Ujung jarinya menyentuh pelan rambut yang terurai di bahuku, lalu menelusuri turun ke dada. Hanya sebentar, tapi cukup membuat tubuhku tersentak, sekaligus merinding.

Aku menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha menutupi ekspresiku yang tak bisa kuatur lagi. Di dalam hati, ada pergulatan aneh: marah, malu, tapi juga… ada rasa lain yang semakin susah kupungkiri.

Rian menambahkan, dengan nada lebih pelan namun tajam menusuk, “Coba deh Ci jujur sama diri sendiri. Beneran nggak suka, atau sebenernya dari dulu Cici nungguin momen kayak gini?”

Aku tak menjawab. Diamku justru terasa seperti pengakuan.

Doni masih merangkul bahuku erat, sementara Rian duduk di sisi lain dengan wajah penuh selidik, menunggu jawabanku. Suasana di bawah pohon itu jadi begitu hening, hanya ada suara angin menyapu dedaunan dan degup jantungku yang terasa makin kencang.

Aku menunduk, kedua tanganku mengepal di atas pangkuan, mencoba menahan gemetar yang menjalar ke seluruh tubuh. Tapi semakin aku mencoba menepis, semakin terasa sulit untuk menyangkal. Kata-kata mereka berputar-putar di kepalaku, membuat dadaku sesak sekaligus panas.

“Cici…” bisik Doni, nadanya pelan, hampir lembut, berbeda dari tadi. “Kalau beneran nggak mau, bilang aja sekarang. Kita nggak maksa. Tapi kalau Cici diem terus, itu artinya…” Ia sengaja berhenti, menatapku tajam, “…Cici rela.”

Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Suaraku keluar kecil, nyaris tak terdengar.
“Jangan bilang ke siapa-siapa…”

Doni dan Rian saling berpandangan, lalu tawa puas keluar dari bibir mereka. “Nah gitu dong, Ci. Baru keliatan aslinya.”

Rian langsung bergerak, jemarinya kembali hinggap di pahaku dan kali ini aku tidak menepis. Sentuhannya naik sedikit demi sedikit, membuatku menggeliat kecil. Doni, yang masih merangkulku, menundukkan wajah, bibirnya hampir menyentuh telingaku. Nafas hangatnya membuat tubuhku merinding.

“Cici cantik banget kalau lagi pasrah gini…” gumamnya. Tangannya turun dari pundakku, berani menelusuri sisi tubuhku, sampai akhirnya berhenti tepat di dadaku. Ia menekan perlahan, meremas lembut seolah menguji reaksiku.

Aku memejamkan mata, tubuhku menegang… tapi tak ada lagi upaya menolak. Justru napasku jadi tak teratur. Rian makin senang melihat itu, ia tertawa kecil sambil terus mengelus pahaku, kali ini lebih dekat ke lipatan rok.

“Akhirnya ya… Amoy satu ini jujur juga.” katanya.

Aku hanya bisa menggeliat kecil di antara mereka, pasrah dalam rangkulan, sementara dalam diriku campur aduk antara malu, takut, dan gairah yang semakin tak terbendung.

Rian makin berani. Jemarinya kini sudah menyusup lebih dalam ke lipatan rokoku, menekan-nekan ringan seolah menguji apakah aku benar-benar membiarkan atau akan menolak. Aku menggeliat, tubuhku refleks menegang, namun tanganku yang sempat hendak menepis malah berhenti di udara lalu perlahan jatuh kembali ke pangkuan.

“Cici diem aja…” suara Rian terdengar geli bercampur nakal. “Berarti suka, ya?”

Aku menunduk, pipiku panas bukan main. Doni yang masih merangkul dari sisi kiri ikut menambahkan, suaranya pelan tapi menusuk, “Kalau nggak suka, dari tadi pasti udah teriak-teriak. Tapi sekarang malah keliatan manja banget diapit kita berdua…”

Tangannya yang sejak tadi menekan dadaku kini makin berani. Ia meremas lebih dalam, membuatku mengerang kecil tanpa sadar. Tubuhku bergetar, antara malu, takut, tapi juga ada sesuatu yang terasa menggoda dari permainan berbahaya ini.

“Coba jujur, Ci,” bisik Doni di telingaku. “Waktu pertama kali kita ngeremes, rasanya gimana? Deg-degan? Atau justru nagih?”

Aku menggigit bibir, lidahku kelu, tapi tubuhku jelas-jelas memberi jawaban. Rian tertawa kecil, “Liat tuh, mukanya merah semua. Pasti Cici suka banget.”

Aku menggeleng pelan, berusaha menyangkal, “Nggak… aku nggak…” tapi suaraku lemah, nyaris tenggelam oleh desahan yang lolos tanpa bisa kutahan.

Doni makin menempelkan tubuhnya ke arahku, wajahnya dekat sekali, sementara tangannya terus bermain di dadaku. Rian di sisi kanan semakin naikkan elusannya, mendekat ke pangkal pahaku. Aku kini terkepung sepenuhnya, napasku terengah, dan yang bisa kulakukan hanyalah menyerah pada arus yang menyeretku makin dalam.

Rian dan Doni kini benar-benar mengurung tubuhku di bangku kayu itu. Rian dari kanan, Doni dari kiri, keduanya semakin dekat sampai bahuku nyaris tak bisa bergerak bebas. Nafasku semakin berat, dada naik turun cepat.

Doni menundukkan wajahnya ke telingaku, suaranya rendah dan menggoda, “Cici… udah nggak usah pura-pura lagi. Badanmu sendiri udah jujur kok…” Jemarinya menekan lembut bagian dadaku, meremas lebih dalam dari sebelumnya. Aku meringis, tapi suara kecil yang keluar dari bibirku justru terdengar lebih seperti erangan.

Rian ikut mendekat, tangannya kini benar-benar menyusup ke pangkal pahaku, menelusuri garis rokoku yang naik sedikit karena aku duduk. Aku meremas pangkal roknya, mencoba menahan, tapi sentuhan itu justru membuatku gemetar hebat.

“Cici kan manis banget. Pantes aja cowok-cowok sekolah suka… tapi mereka nggak berani kayak kita,” kata Rian, suaranya penuh percaya diri.

Aku berusaha menoleh, ingin protes, tapi wajah Doni tiba-tiba sudah begitu dekat hingga ujung hidung kami hampir bersentuhan. Dia tersenyum miring, matanya tajam menatapku. “Ngaku aja, Ci. Dari pertama kali kita godain, kamu udah penasaran sama kita, kan?”

Aku menutup mata, tubuhku semakin panas. “Aku… aku nggak tau…” gumamku lirih, suara tercekat. Tapi Doni tak berhenti—dia malah menempelkan bibirnya di pipiku, sekilas, cepat, tapi cukup untuk membuat tubuhku bergetar.

Rian tertawa pelan, “Liat tuh, Ci-nya makin manis kalo diperlakuin gini.” Tangannya yang tadi hanya menekan sekarang makin berani, mengusap naik turun di pahaku, membuatku kian tak berdaya.

Aku tahu aku seharusnya marah, seharusnya menepis, seharusnya lari. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—aku diam, pasrah, dan entah kenapa ada bagian dari diriku yang menunggu apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.

Doni yang masih merangkulku makin menempelkan tubuhnya ke arahku. Aku bisa merasakan panas tubuhnya menekan lenganku, sementara bibirnya kembali menyentuh pipiku, kali ini lebih lama, seolah menunggu reaksiku. Aku refleks menoleh, tapi itu justru membuat wajahku semakin dekat dengannya. Nafasku tercekat, dadaku berdegup kencang, dan tanpa sadar aku tidak benar-benar menjauh.

Di sisi lain, Rian semakin berani. Tangannya yang tadi hanya mengusap pelan kini sudah benar-benar menyingkap sedikit rokokku, jari-jarinya menyentuh kulit pahaku secara langsung. Aku menahan nafas, berusaha menepis tangannya, tapi sentuhan itu malah membuatku menggeliat kecil.

“Ci… jujur aja. Badanmu sendiri nggak bisa bohong. Kamu suka kan kita giniin?” bisik Rian tepat di telingaku. Suaranya rendah, basah, membuatku merinding.

Aku hanya bisa menggigit bibir, tak sanggup memberi jawaban yang jelas. Doni tertawa pelan melihat ekspresiku, lalu menunduk lebih dekat, menempelkan bibirnya di leherku. Sentuhan itu membuatku spontan menegang, lalu pelan-pelan melemas, membiarkan tubuhku terperangkap di antara mereka.

Aku mencoba bicara, meski suaraku gemetar, “K-kalian… jangan keterlaluan…” Tapi nada ucapanku terdengar lebih seperti rengekan manja daripada ancaman sungguhan.

Rian segera menimpali, “Kalau beneran nggak mau, dari dulu kamu udah kabur. Tapi kenyataannya kamu masih di sini, Ci…” Tangannya kini lebih berani lagi, bergerak naik perlahan ke arah perutku.

Aku menunduk, mataku terpejam, tubuhku bergetar. Ada pertarungan batin dalam diriku—antara rasa takut, malu, dan gairah asing yang justru kian membuncah.

Rian mendekat makin rapat, wajahnya hanya sejengkal dari wajahku. Aku bisa merasakan hembusan napasnya yang panas di bibirku. Mataku langsung membelalak, tapi tubuhku justru kaku tak bergerak.

“Cici…” bisiknya pelan, senyumnya nakal. “Sekali aja… kasih aku ciuman.”

Aku refleks menoleh ke arah lain, mencoba menghindar, tapi tangannya menahan daguku lembut, memaksaku kembali menatap matanya. Pandangan itu tajam tapi juga penuh rasa penasaran, seolah menantangku untuk menolak lebih keras—atau sebaliknya, menyerah.

Doni yang ada di sampingku malah ikut tertawa kecil, “Wah, Ci, kalau kamu kasih dia ciuman, aku juga minta giliran, ya…” katanya sambil mengusap pundakku makin erat.

Aku semakin gemetar. Bibirku setengah terbuka, mencoba berkata sesuatu, tapi yang keluar hanya suara lirih tak jelas. Rian semakin mendekat, hidungnya kini sudah menyentuh pipiku, lalu turun sedikit ke arah bibir.

“Ayo, Ci… aku nggak maksa kok. Tapi aku tahu kamu juga penasaran rasanya…”

Aku menelan ludah, jantungku berdetak keras sekali. Rasanya antara ingin menepis, tapi ada sesuatu di dalam diriku yang justru menahan tanganku tetap diam.

Bibirku sempat bergetar, tapi akhirnya aku menutup mata perlahan… dan membiarkan Rian mendekat. Sentuhan pertama begitu lembut, hanya sekilas bibirnya menyentuh bibirku, tapi cukup untuk membuat tubuhku seolah disetrum.

Dia berhenti sebentar, menatapku dengan senyum puas, lalu kembali menempelkan bibirnya lebih dalam. Kali ini tidak lagi ragu, bibirnya menekan bibirku, hangat dan basah. Aku bisa merasakan detak jantungku makin kencang, sementara tangan Rian yang menahan daguku kini bergerak mengusap pipi dan leherku pelan.

Aku tidak bergerak, tidak melawan, hanya membiarkan semuanya mengalir. Ada rasa aneh di dadaku—campuran malu, takut, tapi juga… kenikmatan asing yang membuatku tidak bisa menghentikannya.

Doni di samping kami bersiul pelan sambil tertawa, “Gila… amoy beneran mau dicium juga.” Tangannya makin berani meremas pundakku, lalu menurunkan usapannya ke arah lenganku.

Rian akhirnya melepaskan ciumannya, masih sangat dekat sehingga bibir kami nyaris bersentuhan lagi. “Hmm… manis banget. Pantes aku nggak bisa tahan.” katanya sambil tersenyum nakal.

Aku hanya bisa terdiam, wajahku panas, nafasku terengah. Tapi yang aneh… aku tidak menyesal sama sekali.

Doni yang dari tadi hanya menonton dengan senyum jahil akhirnya ikut maju mendekat. Tangannya meraih bahuku dari belakang, lalu kepalanya sedikit miring sambil berbisik di telingaku,

"Cici… gantian dong. Aku juga pengen ngerasain manisnya bibir kamu. Masa Rian doang yang boleh?"

Suara itu membuat tubuhku merinding. Aku sempat menoleh, menatap wajahnya yang dekil tapi penuh rasa ingin tahu. Ada getaran aneh di dadaku—antara ingin menolak, tapi juga penasaran dengan apa yang akan terjadi jika aku mengizinkan.

Rian tertawa kecil, menepuk pahaku. "Udah Ci… kasih aja. Sekali-sekali ciuman sama kita nggak bikin rugi kok." Nada suaranya seperti menggoda sekaligus menantang.

Aku menggigit bibir bawahku, hatiku berdebar tak karuan. Tubuhku kaku, tapi aku tidak juga menjauh. Doni mendekat semakin rapat, wajahnya hanya sejengkal dariku, matanya menatap penuh hasrat, seolah menunggu jawabanku dengan tindakanku.

Aku bisa merasakan tangannya yang tadi di bahu mulai menelusuri pelan ke lengan, memberi tekanan lembut seakan mencoba menenangkan sekaligus menuntut.

Aku tidak bergerak saat Doni semakin mendekat. Nafasku tercekat, jantungku berdebar begitu keras seolah ingin meloncat keluar. Bibirku sempat bergetar, tapi entah kenapa aku malah memejamkan mata perlahan… membiarkan jarak di antara kami hilang begitu saja.

Hangat bibir Doni langsung menyentuh bibirku, agak kasar, penuh rasa ingin memiliki. Aku sedikit terkejut tapi tak juga menepis. Justru tubuhku terasa lemas, pasrah di antara rangkulan mereka. Rian yang duduk di sampingku ikut tertawa rendah, tangannya masih setia meremas pinggangku sambil berbisik,

"Nah gitu dong Cici… pinter. Manis kan rasanya dicium kita?"

Ciuman Doni makin dalam, bibirnya menekan dan menghisap bibirku, tangannya kini berani menahan tengkukku agar tidak bisa menghindar. Anehnya aku tetap diam, membiarkan semua itu terjadi. Ada sensasi asing—campuran malu, takut, tapi juga debaran nikmat yang sulit kujelaskan.

Kurasakan tubuhku terselip di antara dua remaja itu, satu menahan pinggang, satu lagi mendominasi bibirku. Aku seolah terjebak, tapi bukan karena dipaksa—melainkan karena diriku sendiri yang tak mampu berkata tidak.

Doni menyodorkan ponselnya ke arahku. Di layar kecil itu terpampang adegan film panas Jepang, terdengar samar suara desahan dari speaker. Aku terbelalak, pipiku panas bukan main, spontan aku hendak menoleh ke arah lain, tapi Rian menahan daguku agar tetap menghadap layar.

"Cici suka nonton ginian gak di rumah?" tanya Doni sambil terkekeh, jelas sekali menikmati ekspresiku yang serba salah.
"Lihat deh, pemainnya mirip banget sama Cici. Putih, sipit… tapi di ranjang ganas banget."

Rian menimpali cepat, suaranya setengah mengejek setengah penasaran,
"Iya Ci, apa semua amoy kayak gini ya? Luar kalem, eh pas udah diajak gini… liar."

Aku menggigit bibir, menepis pelan tangan Rian dari daguku, tapi bukan dengan keras—lebih ke gerakan pura-pura menolak. Nafasku sudah kacau, jantung berdebar kencang. Ada rasa malu luar biasa, tapi bersamaan dengan itu, muncul getaran aneh di tubuhku.

"Aku… aku gak pernah nonton beginian…" bisikku pelan, nyaris tak terdengar.
Doni langsung mencondongkan wajahnya, matanya menatap tajam penuh nakal.
"Kalau gitu biar kita yang ngajarin, Ci. Nanti kamu bakal tahu rasanya langsung, gak cuma nonton di layar."

Rian tertawa rendah, tangannya kini menyusup lagi ke pinggangku, lalu menepuk lembut paha seragamku yang tertutup rok.
"Eh Don, jangan buru-buru. Lihat aja mukanya Cici sekarang… merah banget, padahal baru liat HP doang."

Aku terdiam, tak mampu membalas, hanya bisa menggeliat kecil. Dalam hati aku merasa seolah-olah dikunci: marah, malu, tapi diam-diam ada sesuatu yang membuatku tidak benar-benar ingin lari.

Aku sendiri bingung kenapa mulutku selalu saja menanggapi ucapan-ucapan kotor mereka. Padahal jelas-jelas aku tahu seharusnya aku marah, harusnya aku berdiri dan pergi. Tapi yang keluar justru kalimat-kalimat pendek penuh ragu, seperti aku tanpa sadar sedang meladeni mereka.

"Cici beneran gak pernah nonton ginian? Masa sih? Kalau dilihat dari caramu bereaksi… kayaknya kamu malah penasaran," ucap Doni sambil menggoyang-goyangkan ponselnya di depan wajahku.

Aku hanya bisa menunduk, jari-jariku menggenggam ujung rok seragam dengan erat.
"Aku… aku gak tahu…," jawabku, suaraku lirih tapi entah kenapa membuat mereka semakin tergoda.

Rian langsung menyambung, kepalanya menunduk dekat telingaku.
"Jawabanmu tuh kayak minta diulik lebih jauh, Ci. Kamu sadar gak? Setiap kali kita ngomong mesum, bukannya marah… kamu malah ngerespon."

Aku menggeliat kecil, mencoba menepis tangannya dari pahaku, tapi hanya setengah hati. Dan aku sadar betul itu. Seakan tubuhku sendiri membocorkan rahasia yang tak berani kuakui dengan suara lantang.

Doni menyeringai, menepuk bahu Rian lalu menatapku penuh tantangan.
"Berarti selama ini kamu diam-diam suka ya, Ci? Suka waktu kita remes dulu, suka juga waktu kita goda sekarang."

Wajahku makin panas, darah mengalir deras sampai ke telinga.
"Bukan… bukan gitu… aku cuma…," kata-kataku menggantung. Aku sendiri tak tahu apa yang mau kujelaskan.

Rian terkekeh rendah.
"Kamu bingung ya kenapa gak bisa bener-bener nolak kita. Itu tandanya… di dalem hati, Cici sebenarnya penasaran."

Aku terdiam. Lidahku kelu, tapi degup jantungku terasa seperti mengamini kata-kata mereka.

Rian menatapku sambil terkekeh pelan, wajahnya begitu dekat sampai aku bisa merasakan napas hangatnya di pipiku. Ia kembali menoleh ke layar ponsel Doni, lalu menunjuk ke bagian tertentu dari film itu.

"Liat nih, Ci… gaya begini. Doggy style. Ceweknya keliatan keenakan banget kan? Kalo Cici mau, kita bisa coba kayak gini," ucapnya setengah berbisik, seolah sedang menawarkan sesuatu yang tak seharusnya ku dengar.

Aku terdiam. Lidahku mendadak kaku, tapi tenggorokanku justru bergerak menelan ludah keras-keras. Mataku terpaku ke layar, menatap sosok perempuan Jepang berkulit pucat yang merintih-rintih dalam adegan itu. Perempuan itu begitu mirip denganku—kulit putih, wajah oriental, tubuh mungil tapi padat.

Doni menimpali sambil menyeringai lebar, menyorongkan ponsel lebih dekat.
"Coba bayangin kalo yang di video itu kamu, Ci. Keliatan cocok banget. Putih, sipit, tapi ganas di ranjang… persis kayak stereotype cewe amoy. Apa bener semua amoy kayak gini ya?"

Aku tersentak, pipiku terasa panas luar biasa.
"A-aku… aku gak tau…," jawabku terbata, meski aku sadar suaraku terdengar lebih seperti bisikan malu daripada bantahan sungguhan.

Rian mencondongkan tubuh, suaranya makin rendah, hampir seperti racun yang disusupkan ke telingaku.
"Atau jangan-jangan Cici emang pengen nyoba? Dari tadi matamu gak lepas dari layar, sampe nelan ludah segala. Heh… jujur aja deh."

Aku memalingkan wajah, tapi bayangan adegan di ponsel itu sudah terlanjur menempel di kepala. Jantungku berdetak makin cepat, bercampur rasa takut, malu, dan sesuatu yang lebih aneh lagi—rasa penasaran yang tak bisa kuingkari.

Aku menghela napas panjang, mencoba menyangkal, tapi lidahku tak lagi bisa mengikuti keinginanku. Sementara Doni masih menyorongkan ponsel dengan adegan panas itu, aku justru merasa wajahku semakin terbakar.

"I-iya… aku… aku penasaran…," kataku lirih, hampir tak terdengar, tapi cukup jelas untuk membuat kedua remaja itu spontan terkekeh puas.

Rian menepuk pahaku ringan, ekspresinya penuh kemenangan. "Tuh kan, gue udah bilang juga. Dari awal keliatan Cici bukan tipe yang bener-bener nolak. Cuma gengsi aja."

Aku menunduk, jari-jariku meremas ujung rok seragamku sendiri, tubuhku terasa kaku tapi jantungku berdegup kencang tak terkendali.
"Tapi… aku takut…," gumamku, berusaha memberi alasan, meski suaraku lebih mirip rengekan ragu daripada penolakan.

Doni menyeringai sambil menyelipkan ponselnya kembali ke saku. Ia mendekat, jaraknya begitu tipis hingga bahunya bersentuhan dengan pundakku. "Takut itu wajar, Ci. Tapi kan rasa penasaran lebih gede ya? Lagian kita berdua gak bakal macem-macem kalo Cici bener-bener gak mau. Kita cuma pengen tau… kayak apa rasanya kalo Cici beneran nyoba."

Kata-kata itu membuatku semakin gelisah. Ada suara kecil dalam kepalaku yang berteriak untuk kabur, tapi tubuhku justru bergetar dengan cara yang aneh, seolah menyambut kemungkinan yang sedang mereka tawarkan.

Rian menunduk sedikit, menatap lurus ke mataku. "Coba jawab jujur sekali lagi, Ci. Kalo ada kesempatan, Cici mau ngerasain kayak di video tadi, gak?"

Aku terdiam, menelan ludah keras-keras, lalu akhirnya mengangguk kecil tanpa berani menatap mereka.

Wajah Doni langsung berubah puas. "Nah… gitu dong. Gue suka Cici jujur gini."

Doni tersenyum nakal sambil menatapku. “Kalau Cici emang berani, coba buktiin deh…” katanya lirih, lalu jarinya dengan hati-hati menyentuh kancing baju di dadaku.

Aku terdiam sejenak, jantungku berdetak keras. Entah kenapa, bukannya menepis, aku justru menunduk sedikit, membiarkan jarinya yang lincah itu menguji keberanianku. Satu per satu kancing terlepas, memperlihatkan kulit putihku yang biasanya tertutup rapat.

Rian yang duduk di sampingku langsung bersiul kecil. “Gila… Cici, kulitmu mulus banget. Beneran mirip yang di film tadi.” Suaranya membuat pipiku panas, tubuhku merinding.

Tangan Doni lalu merayap masuk, hangat dan berani. Aku spontan menggeliat kecil, tapi bukan untuk menolak — lebih seperti refleks menerima sensasi asing yang membuatku bingung sendiri.

“Aduh… jangan nakal banget…” bisikku, suaraku bergetar, tapi tidak terdengar tegas.
Rian mendekat, jemarinya ikut menyentuh pundakku, lalu turun perlahan ke sisi tubuhku. “Cici, jujur aja… rasanya enak kan waktu diremes gini?” katanya, menekan pelan buah dadaku yang sudah terekspos sebagian.

Aku menutup mata, napasku berat. Antara malu, takut, dan anehnya… ada kenikmatan yang pelan-pelan menyusup.

Doni makin berani, jari-jarinya menekan lembut sambil meremas penuh rasa ingin tahu. Aku spontan meringis kecil, tubuhku sedikit menegang, tapi bukannya menyingkir, aku justru diam membiarkan.

Rian tersenyum lebar, wajahnya mendekat ke telingaku. “Cici, kok diem aja? Ternyata Cici suka ya kalau diginiin…” bisiknya, hangat, membuat bulu kudukku meremang.

Aku berusaha menahan suara, tapi desahan halus lolos juga dari bibirku. “Hhh… jangan… nakal banget kalian…” ucapku pelan, namun nadanya terdengar lebih seperti manja daripada marah.

Kancing bajuku sudah terbuka lebih banyak. Angin sore yang menerpa kulitku membuat rasa asing itu semakin jelas. Doni menatapku lekat-lekat, matanya penuh kenakalan. “Kalau bener gak mau, pasti Cici udah kabur dari tadi… tapi nyatanya Cici masih duduk manis di sini, diapit kita berdua.”

Ucapan itu menusuk. Aku tahu dia benar. Ada bagian dalam diriku yang malah ingin berlama-lama di situ. Aku menggeliat sedikit, seakan mencoba menolak, tapi tanganku justru tak berdaya saat Rian ikut meraih wajahku, mengangkat daguku lembut.

“Cantik banget…” gumamnya, lalu tanpa menunggu jawaban, bibirnya mendekat, hanya beberapa sentimeter dari milikku.

Dadaku berdebar keras. Ada rasa takut, tapi juga ada dorongan liar yang tak bisa kujelaskan.

Bibir Rian akhirnya menyentuh bibirku. Awalnya lembut, hanya sekilas, tapi kemudian semakin dalam, menuntut. Aku sempat menahan, tapi tubuhku justru luluh. Bibirku merespons, membuka sedikit, membiarkan lidahnya masuk dan menari di dalam mulutku. Desah pelan meluncur tanpa bisa kutahan.

Doni yang duduk di sampingku tidak mau kalah. Tangannya kini sudah sepenuhnya meraih dadaku dari samping, meremas dengan berani, membuat nafasku semakin berat. “Toked Cici lembut banget… gila, enak,” katanya dengan nada puas.

Aku menggeliat, setengah ingin menepis, setengah malah mencari pegangan. Tanganku memegang lengan Rian, tapi bukan untuk menjauhkan, melainkan agar ciumannya semakin dalam. Hati kecilku berteriak bingung, tapi tubuhku jelas bicara lain.

Rian melepaskan ciumannya sebentar, menatap wajahku yang memerah. “Tuh kan… Cici suka, kan?” tanyanya sambil mengusap bibirku yang basah. Aku menunduk, tak menjawab, hanya bisa menggigit bibirku sendiri. Tapi diamku itu justru jadi jawaban paling jelas bagi mereka.

Doni tertawa kecil, “Pantes aja waktu itu Cici diem aja pas kita pegang… ternyata dalem hatinya suka diginiin.” Tangannya makin berani, membuka sisa kancing bajuku sampai dadaku terekspos, hanya tertutup tipis kain dalam.

Aku terengah, tubuhku bergetar, tapi tak ada tenaga untuk menolak. Bahkan saat Rian kembali menciumku lebih rakus, aku membiarkan, membalas, semakin larut dalam permainan berbahaya itu.

Tubuhku kini seakan dikepung hangat dan sentuhan mereka. Rian kembali menempelkan bibirnya ke bibirku, kali ini lebih rakus, lidahnya menyapu, membuatku terengah dan tanpa sadar ikut meladeni ritmenya. Nafasku memburu, aku merasa dadaku naik turun cepat, sementara Doni di sampingku sudah benar-benar leluasa meremas dari luar bra, jari-jarinya menekan lembut tapi nakal.

“Cici manis banget kalau lagi pasrah gini,” bisik Rian di sela ciuman, tangannya kini menelusuri pinggangku, sesekali menyentuh paha. Aku hanya bisa menggeliat, antara malu, takut ketahuan, tapi juga ada rasa asing yang terus mendorongku untuk… membiarkan.

Doni semakin berani. Ia menyibak sedikit bagian atas bajuku yang sudah terbuka, mengintip isi dalamnya, lalu meraba tanpa ragu. “Gila, beneran putih mulus, kayak bintang film Jepang itu,” ujarnya sambil terkekeh. Aku menggigit bibir, ingin marah tapi suaraku tertahan, malah berubah jadi desahan pendek yang keluar begitu saja.

Rian menempelkan keningnya di keningku, tatapannya menusuk. “Jujur aja, Cici suka kan diperlakuin gini sama kita?” tanyanya pelan. Aku tidak menjawab, hanya menunduk, wajahku panas. Tapi justru diamku membuat mereka semakin yakin.

Doni menambahkan dengan nada menggoda, “Kalau Cici bener-bener gak mau, pasti dari tadi udah teriak atau kabur. Tapi nyatanya…” tangannya meremas lagi, lebih dalam, “…Cici diem, malah keliatan menikmatin.”

Aku menutup mata, tubuhku bergetar, antara menahan dan merasakan. Rian kembali menciumku, kali ini sambil mendorong bahuku perlahan agar aku sedikit rebah di bangku kayu itu.

Tubuhku masih terasa panas saat Rian dan Doni menuntunku ke bawah pohon rindang itu. Mereka menggelar tikar usang, dan aku menurut saja, duduk di antara keduanya. Nafasku berat, jantungku berdebar, seakan tubuh ini sudah tak sanggup menolak apa pun lagi.

Doni meraih wajahku, jemarinya kasar namun hangat, mengusap pipi lalu menurunkan sentuhan ke leher. Aku menggeliat, bukan karena ingin menepis, tapi karena sensasi itu membuatku lemah. Sementara Rian dari sisi lain mulai meremas lenganku, lalu menyusuri pundakku, membuatku tak kuasa menahan desahan halus.

"Akhirnya Cici jujur juga sama diri sendiri," bisik Doni dekat telingaku. Nafasnya panas, membuat bulu kudukku meremang. Aku menelan ludah, mencoba berkata sesuatu, tapi suara tercekat di tenggorokan.

Rian tak sabar, tangannya menyentuh pinggangku, menarikku sedikit rebah ke arah mereka. Tubuhku kini diapit, dan aku bisa merasakan bagaimana kedua pasang tangan itu saling bergantian menjelajah, meremas, mengelus, menguji batas yang kupasang tipis-tipis.

Aku tahu aku bisa berdiri dan pergi kapan saja… tapi entah kenapa tubuhku justru semakin pasrah, menikmati setiap usapan yang membuatku gemetar.

Doni menarik tubuhku pelan hingga rebah di atas tikar, sementara Rian menyingkap rokku lebih tinggi. Hawa sore yang lembab menyentuh kulit pahaku yang terekspos, membuatku bergidik, tapi anehnya bukan karena dingin melainkan karena gairah yang sudah tak bisa kupadamkan.

"Aduh… kalian nakal banget…" bisikku lirih, pura-pura memprotes, tapi tanganku tak bergerak untuk menghentikan mereka.

Rian tertawa kecil, lalu mendekatkan wajahnya, mencium leherku lembut sebelum menggigit manja. Aku mendesah keras, tubuhku melengkung refleks menanggapi. Doni yang melihat reaksiku makin berani, jemarinya dengan sengaja membuka kancing seragamku satu per satu, seolah ingin menguji sampai sejauh mana aku akan membiarkan.

Saat pakaian itu terbuka, dinginnya udara langsung berpadu dengan hangatnya sentuhan tangan mereka yang tak sabar meremas, mengelus, dan menekan. Aku menggeliat, setengah ingin menepis, tapi justru malah meraih lengan Rian dan menahannya lebih lama di tubuhku.

“Cici suka, kan?” bisik Doni tepat di telingaku, suaranya serak, sengaja dipelankan. Aku hanya bisa menutup mata, menghela nafas dalam-dalam sambil mengangguk kecil, malu sekaligus terbakar oleh pengakuan itu.

Mereka tertawa puas, lalu semakin berani bermain dengan tubuhku, bergantian mencium, meremas, dan membuatku tenggelam dalam sensasi yang bercampur antara malu, takut ketahuan, dan nikmat yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

Tubuhku yang semula tegang perlahan melemas, seolah kehilangan semua kekuatan untuk menolak. Desahanku makin jelas terdengar setiap kali jari dan bibir mereka menyentuh kulitku. Aku tak lagi berusaha menepis, justru kedua tanganku kini bergerak meraih bahu Rian, menariknya lebih dekat agar ciumannya makin dalam.

Doni yang duduk di sampingku menatap tajam penuh nafsu, lalu menunduk dan meremas lebih keras, membuatku melengkungkan punggung dan mendesah tanpa bisa ditahan. “Aaaahh… cukup… jangan berhenti…” kalimat itu lolos begitu saja dari bibirku, seakan aku sendiri kaget mendengar pengakuan yang begitu jujur.

Rian terkekeh puas, ciumannya turun ke leher dan bahuku, sementara Doni dengan bebas membuka pakaian yang tersisa. Aku bahkan membantu mereka, tanganku yang gemetar justru menyingkirkan kain yang masih menempel di tubuhku. Ada getaran malu di dada, tapi lebih kuat lagi gairah yang sudah membara, membuatku tak peduli lagi.

Kini aku benar-benar pasrah, terbaring di atas tikar dengan tubuh nyaris terbuka sepenuhnya, membiarkan keduanya bergantian menyentuh, mencium, dan meremas bagian-bagian paling sensitifku. Aku tak lagi mengeluarkan ancaman akan berteriak, tak lagi berpura-pura menolak. Sebaliknya, tubuhku menggeliat, tanganku meraih, dan bibirku membalas setiap ciuman yang diberikan.

Sensasi asing itu meledak, membuatku tak hanya menerima, tapi juga haus akan sentuhan mereka. Aku ingin lebih, aku ingin semuanya—dan mereka tahu itu dari tatapan mataku yang kini penuh gairah.

Rian sudah berlutut di antara pahaku, tubuhnya begitu dekat hingga aku bisa merasakan hangat napasnya menyapu kulit. Rok abu-abu seragamku sudah tersingkap tinggi ke pinggang, membuatku benar-benar tak punya lagi tempat bersembunyi. Aku menutup wajah dengan lenganku, tapi jantungku berdetak semakin keras, seolah-olah tubuhku sendiri justru menunggu apa yang akan terjadi.

Tangannya perlahan menelusuri sisi pahaku, menekan lembut lalu meremas seakan ingin memastikan bahwa aku tidak menolak. Aku menggeliat kecil, mencoba menepis, tapi gerakanku terasa lemah… lebih seperti formalitas ketimbang penolakan sungguhan.

“Cici udah pasrah banget, ya?” suara Rian bergetar pelan, nadanya setengah menggoda, setengah menantang.

Aku hanya bisa menggigit bibir, tak mampu mengeluarkan kata, dan entah kenapa tubuhku malah bereaksi—paha ini merenggang sedikit lebih lebar. Doni yang ada di sampingku terkekeh, tangannya kembali menjelajahi pundakku lalu turun ke perut.

“Kita nggak maksa, Ci… tapi keliatan kok kamu suka diginiin,” bisiknya sambil mendekat ke telingaku. Hangat napasnya membuatku merinding, tubuhku justru semakin lemas.

Aku tahu seharusnya marah, seharusnya melawan, tapi di balik rasa malu yang membakar wajahku, ada getaran asing yang justru membuatku tak berdaya menolak.

Rian menunduk, tubuhnya makin menekan ke arahku, hingga aku bisa merasakan dengan jelas betapa keras dan tegang dirinya saat itu. Tubuhku refleks menegang, meringis kecil keluar dari bibirku, namun anehnya wajahku justru ikut memerah dengan ekspresi yang sama sekali tidak bisa kusembunyikan—antara malu, kaget, dan… gairah yang terus membuncah.

“Cici kelihatan banget udah nggak tahan…” Rian berbisik serak di telingaku, sementara tangannya menggenggam pinggangku erat, tak membiarkanku bergerak pergi.

Aku mencoba memalingkan wajah, tapi tatapan Doni yang menyaksikan dari samping hanya membuatku semakin salah tingkah. Dia tertawa rendah, lalu berkata,
“Wajahnya itu loh, ekspresinya… bener-bener bikin nagih. Kayak lagi menikmati banget.”

Aku menutup mata rapat-rapat, tubuhku bergetar, tapi alih-alih menepis, aku justru meraih baju Rian, mencengkeramnya kuat-kuat seolah minta dia jangan berhenti.

Rian menunduk, wajahnya hanya beberapa inci dari wajahku. Tatapannya panas, liar, penuh nafsu yang tak lagi ditahan. Tubuhnya menekan kuat di atas tubuhku, membuatku seakan terkurung di antara berat badannya dan dinginnya tanah beralaskan tikar tipis. Aku bisa merasakan napasnya yang memburu mengenai kulit leherku, bercampur dengan desahan kecil yang lolos dari bibirnya.

Tangannya meraih dadaku dengan kasar namun penuh gairah, meremasnya berulang kali hingga aku tak mampu menahan erangan lirih yang keluar. Jemarinya menelusuri lekuk tubuhku, menggenggam dan menekan seakan ingin memastikan aku benar-benar miliknya saat itu. Setiap remasan membuat tubuhku refleks menggeliat, tapi alih-alih menolak, aku justru terhanyut dalam sensasi yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

Pinggul Rian bergerak ritmis, maju mundur semakin cepat, semakin dalam, seolah ingin menandai tubuhku dengan kehadirannya. Suara gesekan tubuh kami berpadu dengan napas berat yang kian tak beraturan, menciptakan irama yang membuat darahku berdesir semakin kencang. Aku melenguh, menggigit bibir sendiri untuk menahan teriakan, tapi tetap saja suaraku terdengar lirih, memenuhi udara di bawah pohon itu.

Sesaat Rian berhenti, menarik dirinya keluar perlahan. Matanya menatapku tajam, penuh kepuasan bercampur dengan rasa buas yang semakin menyala. Pandangannya turun ke arah antara kedua pahaku, lalu senyum tipis terbit di wajahnya. Ada noda merah samar yang menjadi bukti jelas bahwa sesuatu dariku baru saja direbutnya.

“Cici… sekarang udah resmi jadi punya gue,” bisiknya rendah, suaranya serak namun mantap.

Tubuhku bergetar hebat, bukan hanya karena rasa sakit bercampur nikmat yang masih tersisa, tapi juga karena sebuah perasaan asing yang menyeruak kuat di dalam diriku—campuran antara malu, pasrah, dan entah kenapa… ada sedikit rasa bangga yang tak bisa kujelaskan.

Doni yang sejak tadi menyaksikan dari samping ikut mendekat, matanya tak pernah lepas dari tubuhku yang sudah pasrah terbuka di hadapan mereka. Senyum nakal mengembang di wajahnya, membuatku semakin gemetar menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Doni perlahan berjongkok di sampingku, tangannya yang hangat menelusuri pahaku yang masih terbuka lebar. Pandangannya lekat, seakan menikmati setiap detik dari kelemahanku. Senyum nakalnya makin jelas, bibirnya mendekat ke telingaku dan berbisik lirih,

“Sekarang giliran gue ya, Cici… jangan malu-malu.”

Tubuhku bergetar ketika jemarinya dengan berani menyentuh bagian sensitifku yang masih berdenyut akibat desakan Rian barusan. Sensasi itu membuatku meringis sekaligus mengeluarkan desahan kecil yang tak tertahan. Doni terkekeh pelan, jelas ia menikmati reaksi spontan yang keluar dari tubuhku.

Sementara itu, Rian belum menjauh. Ia tetap berada di dekat kepalaku, menatap puas wajahku yang merah padam. Tangannya meremas pelan dadaku lagi, seakan sengaja menahan agar aku tidak bisa lari dari kenyataan bahwa tubuhku kini sepenuhnya ada di bawah kendali mereka.

Doni mulai melepaskan celananya sendiri, dan aku bisa melihat jelas bagaimana ia sudah siap sepenuhnya. Ia kemudian mendorong tubuhku agar sedikit miring, lalu dengan hati-hati menempatkan dirinya tepat di depan. Jemarinya menggenggam pinggangku, sementara matanya tak lepas dari ekspresiku yang campur aduk antara malu, takut, dan anehnya… gairah yang terus membara.

“Tenang aja, Ci… sebentar lagi lo bakal tau rasanya punya dua orang yang sayang banget sama lo,” katanya sambil menekan tubuhnya makin dekat.

Saat desakan pertama itu masuk, aku mendesah keras, kepalaku menengadah ke belakang dan mataku terpejam erat. Rasa penuh kembali menghantamku, membuatku tak bisa lagi berpikir jernih. Rian ikut mendekatkan wajahnya, mencium bibirku dengan buas, menutup setiap suara yang keluar dari mulutku.

Kini aku benar-benar terhimpit di antara mereka berdua—satu yang masih mencumbu bibirku dengan panas, satunya lagi mendorong tubuhnya dalam-dalam di antara pahaku. Setiap hentakan pinggul Doni membuat tubuhku berguncang hebat, sementara Rian tak berhenti meremas, mengisap, dan menguasai setiap inci tubuh bagian atas.

Aku hanya bisa pasrah, tubuhku digerakkan mengikuti ritme mereka, desahanku bercampur dengan tawa puas kedua remaja itu. Sensasi nikmat yang semakin menggila membuatku kehilangan kendali, menyerah total pada permainan mereka.

Tubuhku diputar perlahan oleh Doni hingga posisiku merangkak di atas tikar butut itu. Rok abu-abu seragamku sudah tersingkap tinggi, bajuku berantakan terbuka di bagian depan. Nafasku tersengal, dada naik turun cepat, sementara lututku gemetar menopang tubuh.

Rian ada di depan, menarik daguku agar menatapnya. “Bagus, Cici… sekarang kita coba kayak di film itu ya,” bisiknya sambil menekan pinggulnya mendekat. Miliknya yang keras sudah tepat di depan wajahku, bergetar menunggu.

Di belakang, Doni menahan pinggangku erat, lalu mulai menekan masuk dari belakang. Aku melenguh panjang, punggungku melengkung tanpa sadar, rasa penuh itu menghantamku lagi dengan intensitas yang lebih dahsyat. Setiap gerakan maju mundurnya membuatku terdorong ke depan.

Rian segera mengambil kesempatan. Ia memegang rambutku, mengarahkan kepalaku, lalu menempelkan dirinya di mulutku. Aku sempat terkejut, tapi tubuhku tak kuasa menolak. Suara desahku teredam ketika ia memaksaku melayani dari depan, sementara Doni tanpa henti menghantamku dari belakang.

Sensasi itu bercampur gila-gilaan—dorongan keras di belakang membuat tubuhku maju, dan setiap kali itu terjadi, Rian menuntut lebih banyak dari bibirku. Tubuhku terguncang di antara mereka berdua, seluruh inderaku seakan terbakar.

“Cici mantap banget… Doni terengah sambil menghentak lebih cepat, tangannya sesekali meremas bokongku dengan kuat.
“Liat wajahnya, Ran… amoy kita ini bener-bener keenakan,” tambahnya dengan tawa kecil.

Aku sudah kehilangan kata. Setiap kali pinggul Doni menghantamku, tubuhku makin tak terkendali, lututku nyaris tak sanggup menopang. Desahan bercampur air mata tipis di sudut mataku, bukan karena sakit lagi, tapi karena tubuhku terlalu larut dalam kenikmatan yang dipaksakan ini.
Di tengah semua itu, aku sadar satu hal—aku benar-benar sudah pasrah, menyerahkan tubuhku total pada permainan buas mereka.

Doni semakin menghentak cepat dari belakang, tiap gerakan pinggulnya membuat tubuhku terguncang hebat hingga rambutku tergerai berantakan. Rian di depan menahan kepalaku erat, desahannya kian berat saat ia menekan lebih dalam ke dalam mulutku. Aku hanya bisa pasrah terhimpit di antara mereka, tubuhku gemetar hebat karena gelombang sensasi yang tak tertahan.

Peluh bercucuran, aroma tubuh bercampur jadi satu. Doni meremas pinggangku keras-keras, hentakannya makin liar, hingga perutku terhantam ke depan berulang kali. Setiap kali itu terjadi, Rian mendesah lebih keras, wajahnya tegang menahan puncak kenikmatan.

Aku sendiri sudah tak kuasa menahan. Seluruh tubuhku seakan meledak, ototku menegang, dan dari bibirku terdengar lenguhan panjang yang tertahan di tenggorokan. Rasanya perut bagian bawahku bergetar hebat, tubuhku gemetar tanpa kendali, hingga kakiku hampir ambruk.

“Aaahhh… Cici… aku udah gak tahan lagi…!” Doni meraung di belakang, lalu satu hentakan terakhir membuatku melengking tak berdaya. Tubuhnya menekan dalam, lalu aku merasakan semburan panas memenuhi bagian terdalamku.

Rian tak kalah cepat. Pegangannya pada kepalaku makin keras, napasnya terputus-putus. “Gila… gue keluar juga…!” serunya, lalu ia melepaskan seluruh ledakannya tepat di dalam mulutku. Hangat, pekat, memenuhi rongga mulutku hingga aku tak bisa bernafas normal.

Tubuhku ambruk ke tikar, namun mereka masih menahan erat, memastikan semua dilepaskan pada diriku. Sensasi panas bercampur keringat membuatku terengah, tubuhku bergetar tanpa henti.

Di saat itu aku sadar—aku benar-benar sudah mencapai puncak bersamaan dengan mereka. Tubuhku menyerah total, tapi anehnya ada rasa puas dan nikmat yang menjeratku kuat.

Tubuhku terkulai di atas tikar, napas tersengal, dada naik-turun cepat. Keringat membasahi kulitku, seragam sekolahku yang setengah terlepas menempel lengket di tubuh. Aku nyaris tak bisa menggerakkan tangan dan kakiku, hanya bisa berbaring pasrah.

Doni yang masih berada di belakangku perlahan menarik dirinya keluar, menatap puas sambil mengusap keringat di dahinya. “Gila, Cici… enak banget kamu…” bisiknya dengan nada kagum bercampur puas. Tangannya sempat menepuk pinggulku, membuatku menggeliat kecil tanpa tenaga.

Rian duduk di sampingku, merapikan napasnya yang masih berat. Ia mengelus pipiku lembut, kontras dengan buasnya tadi. “Cici cantik ternyata nurut juga ya… siapa sangka, anak sekolah kalem bisa seganas ini,” katanya sambil tersenyum miring.

Aku hanya bisa menelan ludah, wajahku memerah, tubuhku masih bergetar lemah. Anehnya, tidak ada kata-kata penyesalan yang muncul dari bibirku—justru perasaan hangat dan aneh terus berdenyut dalam diriku.

Doni mengambil botol minum dari motornya lalu menawarkannya padaku. Tanganku gemetar saat menerimanya, minum sedikit untuk mengatasi tenggorokanku yang kering. Rian tak berhenti menatapku, seperti masih lapar akan diriku meski baru saja tuntas.

“Cici… lain kali kita ketemu lagi ya,” ujar Rian pelan tapi tegas, seolah itu janji yang tak bisa ditolak. Doni langsung menimpali, “Iya, kita belum puas main sama kamu.

Aku hanya bisa menunduk, wajahku terasa panas, sementara jantungku berdetak semakin kencang bukan karena takut, melainkan karena ada rasa penasaran yang semakin kuat. Nafasku tidak teratur, dan aku mencoba menenangkan diri, tetapi tubuhku masih terasa bergetar.

Mereka membiarkanku beristirahat sebentar di atas tikar yang sudah usang itu. Sesekali ada sentuhan ringan di lenganku dan di pinggangku, seolah mereka ingin mengingatkan bahwa permainan yang terjadi tadi belum sepenuhnya berakhir. Aku hanya bisa berbaring sambil memeluk diriku sendiri, mencoba menutup wajah dengan lengan karena rasa maluku.

Beberapa saat kemudian motor kembali melaju pelan meninggalkan lapangan kosong tersebut. Aku duduk di bagian tengah, diapit tubuh Rian dan Doni. Angin sore menerpa wajahku, membawa aroma debu jalanan dan sedikit bau asap, namun hatiku terasa jauh lebih berisik daripada deru mesin motor yang meraung. Seragam sekolahku sudah kusut, beberapa kancing baju tidak lagi terpasang rapat sehingga bagian dadaku terbuka sedikit. Untung saja Doni dengan cepat menutupi tubuhku dengan jaketnya, membuatku bisa bernapas lebih lega walaupun tetap gugup.

Rian yang mengendarai motor sesekali menoleh ke belakang. Ia tersenyum tipis, lalu berkata dengan nada nakal, “Cici, jangan lupa janji kita tadi ya, kita bakal main lagi.” ucap Rian sambil tetap mengawasi jalan di depannya.

Aku hanya menggigit bibir bawahku, tidak berani menatap wajahnya secara langsung. Malu yang kurasakan bercampur dengan sensasi hangat yang masih tersisa di tubuhku, membuatku sulit membedakan apakah aku harus marah atau justru merasa senang.

Doni yang duduk di belakangku juga tidak bisa diam. Tangannya beberapa kali menyentuh pinggangku dengan alasan merapat karena jalanan berkelok. “Enak ya Ci duduk di tengah, bisa ngerasain semuanya. bisiknya dekat telingaku sambil tertawa kecil. Aku merinding, lalu menegakkan tubuhku agar tidak terlihat terlalu pasrah.

Ketika motor hampir mendekati komplek rumahku, aku buru-buru memberi kode dengan suara pelan. “Berhenti di sini aja ya, jangan sampai depan.” kataku cepat sambil menunduk.

Rian langsung mengangkat alis dan melirikku sebentar. “Kenapa? Takut ketahuan ortu ya?” katanya sambil tertawa kecil.

Aku mengangguk pelan, wajahku semakin memanas. Nafasku berat, karena aku membayangkan apa yang akan terjadi kalau orang tuaku melihat aku pulang dengan kondisi seragam kusut, rambut acak-acakan, dan duduk diapit dua cowok pribumi seperti ini.

Mereka akhirnya menepikan motor di pinggir jalan, agak jauh dari gang rumahku. Aku segera turun sambil merapikan rok abu-abu yang tadi sempat tersingkap hingga paha. Tanganku juga sibuk menutup kancing baju yang terbuka.

Sebelum aku melangkah pergi, Doni sempat menahan tanganku. Ia menatapku sambil tersenyum nakal. “Ci, serius ya, lain kali kita jemput lagi,” ucapnya perlahan.

Rian menambahkan dengan senyum miring, “Cici jangan pura-pura lupa. Kita udah tau kamu suka,” katanya sambil menyalakan kembali motornya.

Aku hanya bisa menunduk. Wajahku panas, telingaku berdenging, dan jantungku berdebar sangat keras. Saat akhirnya aku melangkah menjauh, perasaan itu semakin bercampur aduk antara takut, malu, dan entah kenapa, ada sedikit rasa yang membuatku berharap kejadian ini tidak berakhir begitu saja.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jebakan Minimarket

Pengantin Brutal

Amoy Diatas Dongkrak

Jebakan Minimarket 2

Pemulung Sadis

Pengakuan Cici Pik

Tragedi Pasar Pecinan

Chindo Seksi Jadi Rebutan 6

Chindo Seksi Jadi Rebutan

Draft amarah para buruh 22