Nama itu pemberian Ahma—nenek dari pihak mama, yang percaya nama itu akan membawaku jadi seorang gadis anggun, lembut, sopan, dan penuh keberuntungan.
Aku berasal dari sebuah pulau kecil di pesisir timur sumatra, tempat di mana langit selalu terasa dekat dan udara penuh aroma laut serta dupa dari kuil. Komunitas Tionghoa cukup besar di sana tapi hidup kami sederhana. Papa menjalankan usaha perikanan kecil kecilan sementara mama membuka toko kelontong kecil di samping rumah. Tokonya sempit tapi jadi tempat banyak orang mampir, sekadar beli mi instan atau berbincang ringan.
Aku anak pertama dalam keluarga. Salah satu harapan mereka untuk “naik kelas” dalam hidup. Dua adikku masih sekolah—yang satu baru masuk smp, dan yang paling kecil duduk di bangku kelas tiga SD. Setiap kali aku pulang, mereka sering menyambutku dengan cerita-cerita tentang guru galak, teman yang menyebalkan, atau lomba-lomba kecil di sekolah. Kadang aku merasa bersalah, karena beban untuk membuka jalan itu seperti menekan dadaku.
Dua tahun lalu, aku meninggalkan rumah dipulau kecil itu. Merantau ke Jakarta demi kuliah ekonomi di universitas swasta. Bagiku kota besar ini terlalu terang, panas, dan tak ada yang benar-benar diam. Awalnya aku bingung, merasa asing di antara orang-orang yang bicara cepat, jalan cepat, hidup cepat. Tapi aku mencoba untuk bertahan.
Sekarang aku tinggal dikamar kos sempit di lantai dua sebuah bangunan tua. Tidak ada AC, hanya kipas angin tua yang berdecit di malam hari. Aku punya rutinitas: kuliah pagi, kerja sambilan di sore hari, pulang malam. Sebelum jadi SPG, aku sempat mencoba beberapa pekerjaan lain—jaga toko perlengkapan komputer kecil di dekat kampus, lalu sempat juga ngajar les privat untuk anak-anak sekolah dasar. Tapi semua itu hasilnya tak seberapa. Capeknya sama, tapi dompet tetap tipis. Kadang terlalu lelah untuk makan, apalagi bersosialisasi. Tapi aku menikmati ketenangan itu—kesendirian yang sunyi dan tidak banyak menuntut.
Belakangan ini aku bekerja sebagai SPG—Sales Promotion Girl—di berbagai event pameran. Pekerjaan ini bermula saat liburan semester lalu, ketika seorang teman kampusku menawari pekerjaan paruh waktu menjadi SPG untuk sebuah produk minuman kesehatan. Katanya butuh tambahan orang untuk event dua minggu, dan bayarannya lumayan.
Awalnya sih aku sempat ragu karena aku tidak pandai berbicara di depan orang, dan kepercayaan diriku juga pas-pasan. Temanku itu cantik, ceria, dan tahu cara memikat pembeli. Sedangkan aku… lebih sering diam, senyumnya kaku, dan logat Hokkienku sering membuatku gugup saat bicara. Tapi waktu itu aku benar-benar butuh uang. Jadi aku coba.
Ternyata aku bertahan.
Dan sejak itu, tawaran demi tawaran datang. Bukan pekerjaan yang Mama banggakan, tapi gaji hariannya cukup untuk bayar kos, makan, dan sisanya kutabung. Cukup juga untuk belanja skincare Korea yang diam-diam kusimpan di dalam koper.
Orang bilang aku cantik. Kulitku putih, tubuhku tinggi semampai. Wajahku oriental, dengan mata sipit sayu dan bibir kecil yang selalu tampak seperti sedang ragu-ragu bicara. Rambutku panjang sebahu, hitam alami, dan aku jarang memakai make-up tebal. Aku memang kelihatan seperti gadis rumahan dan itu sering jadi topik pembuka obrolan para pria yang kutemui saat bekerja.
Suara lembutku sering membuat mereka mendekat, seolah aku gadis jinak yang bisa dengan mudah ditaklukkan. Logatku masih mengandung aksen Hokkien yang khas dengan intonasi naik-turun yang terdengar manis di telinga tapi asing di tengah kerasnya dialek kota. Banyak yang mengira aku lugu hanya karena caraku mengucapkan "sudah" jadi "sudah-lah" atau "tidak" jadi "bo-lah." Tapi mereka salah. Aku hanya tahu cara menjaga jarak tanpa membuat mereka merasa ditolak.
Aku bukan tipe yang suka keramaian, tapi ironisnya pekerjaanku mengharuskanku berdiri delapan jam sehari di tengah lampu-lampu terang dan speaker yang terus memutar musik promosi. Di balik blus ketat dan senyum sopan, aku menyimpan banyak hal yang tak bisa diungkapkan.
Seperti perasaan kosong yang muncul saat kembali ke kamar kos tanpa suara. Seperti rasa aneh yang mengalir saat melihat mata laki-laki memandangi tubuhku lebih lama dari seharusnya. Seperti dorongan samar yang muncul… saat mereka mulai menggoda.
Dan semuanya akan dimulai lagi besok. Sebuah pameran produk nasional terbesar tahun ini. Aku ditugaskan untuk menjual smartphone keluaran terbaru dari merek Tiongkok ternama. Seragam baruku sudah tergantung rapi di gantungan pintu. Sebuah Mini dress putih ketat khas SPG, tanpa lengan, dengan potongan leher rendah dan garis biru muda yang membingkai sisi tubuh hingga ke ujung rok yang hanya setengah paha. Kainnya licin dan pas di badan, menonjolkan setiap lekuk seperti disengaja. Di atas dada, sebuah name tag kecil tersemat rapi: Celine – Product Assistant.
Malam itu, hujan rintik turun pelan. Kamar kos sempitku hanya diterangi lampu meja kecil, menciptakan bayangan lembut di dinding. Aku baru saja selesai mandi, rambut masih basah menjuntai di bahu. Tubuhku lelah setelah latihan persiapan pameran tadi siang. Tapi sebelum sempat rebah ke kasur tiba tiba ponselku bergetar.
“Mama.. Aku tersenyum kecil dan langsung mengangkat.
“Hà -ló, Ma...
"Ling ah.. li hó bô ?
"Hó lah.. hó lah.. Mama leh ?
"Mama hó. Tapi tiau jit ua ki-kha tua-lÃ, lim kopi tiam jit chiu thak an-ni tua angin, beh tahan.
Mama sih baik. Tapi tadi pagi Mama jalan kaki ke warung kopi, anginnya besar banget, nggak tahan.
Mendengar itu aku langsung tertawa kecil sambil duduk di ujung ranjang.
"Mama jaga badan ya. Sekarang kan nggak bisa sembarangan.. obat juga mahal.
"Wa chò SPG nia… chhÄ“ pameran ê lang.
Aku kerja SPG aja… bantuin orang di pameran.
"Ohhh… SPG… eh si chò sÃm-mi ê?
Ooh… SPG… itu kerjaan apaan tuh?
"Chia hó, chia hó… li ai chhùn kè lah.
Bagus, bagus… kamu harus bisa nabung ya
Mama terdiam sejenak. Lalu suaranya menurun lebih lembut nyaris seperti bisikan.
Iya lah Ma, duit ini cuma kupakai sedikit-sedikit aja, nggak boros. Sisanya kutabung.
"Ling ah… jìa lóa lóa, Ma tià m tià m tu pray pa li. Li ai keng, m̄-kà i… gin-á boey chhèng si chhèng, ai chà i koh pa bîn-jia.
Ling, meskipun jauh, Mama tiap malam diam-diam doain kamu. Kamu harus kuat ya, jangan lupa… perempuan jangan sembarangan, harus tahu jaga harga diri.
Aku diam sejenak. Kata-katanya menusuk lembut, seperti angin malam dari pulau yang dulu sering berbisik lewat celah jendela kamar masa kecilku.
“Mama… Sui Ling tahu. Masih ingat rumah. Masih ingat ajaran Ahma.”
“Bagus. Kalau ada susah, jangan malu bilang. Papa sama Mama masih bisa bantu sedikit-sedikit.”
Aku mengangguk, meski tahu mereka tak bisa melihat.
"Bo liao, Ma. Sungguh. Sui Ling baik-baik.” Nggak usah, Ma. Aku benar-benar baik-baik.
Kami berbincang sebentar lagi tentang toko kelontong, tetangga baru yang cerewet, dan hujan yang tak henti sejak kemarin.
Setelah telepon ditutup, aku duduk diam, memandangi layar ponsel yang masih menyala.
Nama "Mama" masih terpampang di layar gelap. Rasanya hangat… tapi juga hampa.
Karena besok pagi, aku harus kembali berdiri di booth. Senyum lagi. Dilihat lagi.
Dan sedikit demi sedikit, Sui Ling dalam diriku mulai kabur di balik nama badge: Celine.
Hari Pertama di Booth Terang
Pagi itu aku berdiri di depan cermin kecil di kamar kosku. Kubiarkan rambutku tergerai sebatas bahu, lalu kutata rapi ke belakang dengan jepit hitam sederhana. Tubuhku dibalut atasan putih polos berlengan pendek dan rok hitam selutut—bukan seragam SPG seksi yang harus kupakai di pameran nanti, itu masih kusimpan rapi dalam tas. Tapi bahkan dengan pakaian sederhana ini, aku tahu penampilanku cukup mencolok.
Bedak tipis dan lip balm merah muda sudah cukup membuat wajahku tampak segar. Saat berdiri di halte busway, aku bisa merasakan beberapa pasang mata lelaki yang diam-diam memperhatikanku. Ada yang pura-pura main ponsel, ada juga yang terang-terangan memandangi kakiku, menyusuri pelan sampai ke dada. Aku pura-pura tak peduli, padahal dalam hati aku sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan seperti itu.
Aku tak suka dandanan berlebihan. Tapi untuk pekerjaan ini, aku harus tahu caranya jadi menarik tanpa terlihat berusaha keras. Ada seni tersendiri dalam berpura-pura "biasa saja" di tengah lampu pameran yang menyilaukan.
Setiap harinya aku naik busway menuju lokasi pameran, sebuah hall besar di pusat kota. Tak ada yang mengantar atau menjemputku, tak seperti beberapa gadis lain yang datang naik mobil pacarnya atau dijemput keluarganya setelah pameran usai. Aku sudah terbiasa sendiri. Merantau ke kota ini berarti belajar mandiri, tak ada yang akan peduli kalau aku pulang malam atau kehujanan di halte.
Hari pertama biasanya belum ramai, tapi supervisor kami sudah cerewet sejak pagi. Dari cara dia memelototi kuku kami sampai panjang rok yang dianggap kurang menarik untuk “target market”. Aku hanya diam, mencatat dalam hati apa yang harus kuperbaiki. Aku tahu, kalau ingin bertahan di sini, aku harus kuat. Tak boleh mengeluh. Tak boleh terlihat lemah. Karena tak ada yang akan menolong, kecuali diriku sendiri.
"Jaga sikap, senyum terus, jangan kelihatan lelah. Kamera media banyak," katanya sambil menyerahkan brosur dan name tag.
Celine – Brand Assistant
Kami diposisikan di booth smartphone asal Tiongkok. Merek baru, belum banyak dikenal orang. Desainnya mewah, berlapis kilap metalik dan layar besar, tapi harganya miring. Target kami bukan orang elit tapi mereka yang mencari sensasi, harganya murah tapi terlihat mahal.
Pukul empat sore, pengunjung mulai berdatangan. Suasana hall mulai ramai, tapi tak semua tertarik mampir. Banyak yang hanya lewat, melirik sekilas lalu melengos. Beberapa bahkan menolak halus ketika kusodorkan brosur. Ada yang berpura-pura sibuk dengan ponselnya, ada pula yang menggeleng tanpa menatapku sama sekali.
Tapi aku tetap tersenyum. Meski pipiku mulai pegal dan kakiku sudah berdenyut karena berdiri sejak siang, aku tahu harus tetap terlihat ramah. Aku tetap berdiri tegak, menjaga sikap.
"Selamat sore pak. Ini seri terbaru dengan kamera 108MP dan kapasitas baterai 6000mAh. Kalau bapak beli hari ini, dapat bonus earphone bluetooth," ucapku pelan, seperti biasa. Suaraku lembut, sopan, penuh harap. Meskipun seringkali hanya dibalas anggukan singkat, atau bahkan tidak sama sekali.
Tapi aku tahu, di balik setiap tatapan kosong itu, selalu ada satu peluang kecil. Dan aku harus siap ketika peluang itu datang.
Tak lama kemudian, lewat seorang pria paruh baya bersama istri dan dua anak remajanya. Mereka berjalan pelan, seperti keluarga yang sedang mengisi waktu di akhir pekan. Aku tersenyum dan melangkah sedikit ke depan, mencoba menawarkan brosur sambil mengucapkan kalimat yang sudah hampir kuhafal di luar kepala.
"Selamat sore pak. Ini seri terbaru kami dengan fitur kamera 108MP dan baterai tahan lama..."
Tapi ketika aku mulai menjelaskan, aku sadar sorot matanya tidak sepenuhnya tertuju pada produk di tanganku. Pandangannya lebih sering melayang ke arah dadaku, berhenti lama seolah lupa bahwa ia berdiri di sebelah istrinya sendiri. Seragam SPG ini memang sengaja dirancang ketat dan pendek—atasan putih pas badan dengan potongan dada rendah, dipadukan dengan rok ketat yang hanya beberapa senti di atas lutut. Aku tahu persis efeknya.
Istrinya hanya melirik sekilas ke arahku lalu menarik lengan suaminya pelan. Mereka pergi begitu saja tanpa mengambil brosur yang masih kugenggam.
Aku menarik napas pelan. Senyumku tetap mengembang, meski terasa kaku. Di dunia seperti ini, aku belajar membedakan antara perhatian yang sopan dan yang melecehkan. Tapi aku tidak bisa menunjukkan itu di wajahku. Aku tetap berdiri, tetap menawarkan, tetap menjadi "ramah" seperti yang diharapkan.
Karena untuk hari pertama ini, dua puluh juta rupiah target penjualan harus tetap dikejar. Dan tak ada yang peduli pada rasa tidak nyaman yang kurasakan kecuali aku sendiri.
Hari-hari berlalu, dan aku mulai hafal ritme kehidupan di balik booth pameran itu. Lampu yang terlalu terang. Musik promosi yang berulang-ulang. Supervisor yang mondar-mandir memastikan kami tetap tersenyum. Dan yang paling konsisten adalah mata-mata laki-laki yang datang dan pergi.
Pengunjung makin membludak, terutama di akhir pekan. Antrean panjang di pintu masuk, lalu lintas manusia yang berdesakan, dan udara yang panas meski AC gedung bekerja keras. Tapi di tengah keramaian itu, aku sudah bisa membedakan: mana yang datang untuk produk, dan mana yang datang… untukku.
Aku berdiri dengan satu tangan memegang brosur, satu lagi menyentuh layar ponsel demo yang menyala di meja. Senyum masih terpasang, meski pipiku mulai kaku. Setiap kali aku melirik ke sekitar, aku bisa menangkap gerak-gerik mereka—pengunjung-pengunjung yang lebih tertarik pada kami, para SPG, daripada pada produk yang kami jual.
Ada yang mencuri pandang diam-diam, pura-pura sibuk melihat katalog, tapi bola matanya terus melirik dari ujung booth.
Ada yang terang-terangan memandangi tubuhku, dari atas ke bawah, seperti menilai barang dagangan yang sedang dipamerkan.
Ada yang sok serius bertanya soal fitur kamera, padahal dari cara senyumnya, aku tahu yang mereka cari bukan jawaban.
Lalu kulihat sekelompok remaja tanggung mendekat. Lima orang, masih belasan tahun. Langkah mereka santai, terlalu santai untuk ukuran orang yang benar-benar ingin beli sesuatu. Aku tahu dari jauh mereka sudah memperhatikanku—mereka saling berbisik dan tertawa kecil, seperti sedang membicarakan sesuatu yang menarik.
"Aduh, gila sih yang itu... putih banget badanya, liat tuh bajunya," bisik salah satu dari mereka sambil menyikut temannya.
Aku mendengarnya. Bukan karena mereka keras, tapi karena sudah terlalu sering kupahami nada-nada seperti itu. Mereka lewat, menyusuri booth pelan, pura-pura melihat produk di meja. Tapi mata mereka sibuk. Tak ada satu pun yang benar-benar tertarik pada ponsel yang kupegang.
Aku tetap tersenyum. Karena itulah yang harus kulakukan. Di balik semua sikap santunku, aku belajar menjadi tameng bagi diriku sendiri.
Aku bukan bagian dari pajangan di etalase, tapi seringkali, orang-orang memperlakukanku seolah begitu.
Booth makin ramai. Lelaki-lelaki dari berbagai rupa datang silih berganti. Ada yang sungguh-sungguh tertarik beli, tapi banyak juga yang hanya ingin… melihat.
Dan semakin lama aku berdiri di sana, semakin aneh perasaan yang muncul. Ada getaran samar di dadaku tiap kali mata mereka tertuju padaku. Bukan takut. Bukan risih. Tapi… campuran antara rasa dilihat dan sesuatu yang lebih dalam. Seperti diriku sedang dipanggil keluar dari tempurung rumahan, dari nama kecil Sui Ling yang selalu patuh.
Saat aku sedang menata ulang ponsel demo, seorang pria tua mendekat sambil menggendong cucu kecil di lengan kirinya. Wajahnya keriput tapi penuh senyum. Tatapannya tampak bersahabat, membuatku refleks menyambutnya dengan ramah.
"Selamat malam pak. Mau lihat handphone keluaran terbarunya ? Tanyaku sambil menyodorkan brosur.
"Iya, iya… ini produk dari mana, Dek? Cina ya?" tanyanya sambil menunjuk satu model ponsel di atas meja.
"Iya, Pak. Ini brand baru dari Tiongkok. Kameranya 108MP, baterai awet, cocok untuk foto-foto keluarga atau aktivitas harian."
"Oooh, bagus ya," gumamnya sambil mengangguk-angguk. "Saya sih nggak ngerti-ngerti amat, cuma cucu saya nih… doyan main game."
Aku tersenyum. “Tipe ini juga cocok buat game, Pak. RAM-nya 8GB.
Kakek itu terus mengangguk, lalu menatapku lebih lama.
"Kamu asli mana, Dek? Dari sini juga?"
Aku sedikit ragu menjawab, tapi tetap menjaga nada sopan. “Saya dari luar kota, Pak. Numpang kerja di sini.”
"Kerja jauh-jauh sendirian ya? Hebat… Udah punya pacar belum?" tanyanya sambil terkekeh, seolah ringan.
Aku tersenyum tipis, pura-pura tak mendengar. Tapi kakek itu belum berhenti.
"Zaman sekarang memang beda… dari Cina aja sekarang barangnya bagus-bagus—putih, mulus, sipit… seksi," katanya sambil tertawa pelan, mata tuanya mengarah ke dadaku yang terbungkus seragam ketat.
Tawa kecilku kali ini lebih seperti napas ditahan. Aku merasa risih, tapi tak bisa kabur. Aku tetap berdiri, tetap menjaga wajah tenang seperti diajarkan saat briefing pagi tadi.
“Kalau Bapak berminat, ini sedang promo—dapat bonus earphone juga,” ucapku sambil menunjuk brosur, mencoba mengembalikan fokus ke produk.
Dia hanya mengangguk samar, lalu mengajak cucunya pergi tanpa membeli apapun. Tatapannya masih sempat menoleh sekali, sebelum menghilang di kerumunan.
Aku berdiri diam sejenak. Senyum di wajahku masih ada, tapi rasanya sudah seperti topeng. Hari masih panjang. Dan aku harus tetap kuat.
Di jam istirahat, aku duduk di belakang booth sambil menyeruput teh botol. Kulitku lembap oleh keringat, dan tubuhku lelah. Tapi bibirku… masih tersenyum.
Karena aku tahu, besok dan lusa, mereka akan datang lagi. Dan aku akan berdiri di sini, lagi. Menjadi Celine. Gadis manis yang dijadikan fantasi. Dan diam-diam, aku menikmatinya.
Hari itu, aku membagikan entah berapa puluh brosur. Tapi hampir tak satu pun pengunjung yang sungguh tertarik bertanya soal RAM, chipset, atau sistem operasi. Mereka lebih tertarik pada mataku, kulitku, rambutku, cara kakiku melangkah ringan menyusuri lantai.
Bahkan saat aku sedang membungkuk mengambil stok katalog tambahan, aku bisa merasakan beberapa pasang mata mengunci gerak tubuhku. Beberapa bahkan saling menyikut sambil tertawa kecil. Aku tak menanggapi. Aku sudah terbiasa.
Tapi yang mengejutkanku adalah bukan rasa risih. Justru… ada bagian dari diriku yang mulai menanti momen-momen seperti itu.
Saat mata-mata itu menempel padaku, saat bibir mereka tersenyum setengah mesum, saat mereka berpura-pura sopan tapi pikirannya tak pernah bersih—aku merasa… diperhatikan.
Dan dari sana, perlahan… ada semacam getaran aneh yang mulai tumbuh di tubuhku.
Aku tahu perasaan ini bukan sesuatu yang layak dibanggakan. Tapi aku tak bisa membohongi diri.
Malam itu, saat booth mulai sepi dan lampu-lampu pameran mulai meredup satu-satu, aku menatap bayanganku di kaca display. Seragamku masih rapi, meski sedikit kusut. Pipiku memerah, entah karena udara atau tatapan-tatapan seharian yang tak berhenti menyentuh tubuhku. Rambutku jatuh pelan ke bahu, sebagian menempel lembap karena keringat.
Di mata refleksi itu, aku melihat seorang perempuan muda… yang mulai terbiasa dengan dunia ini. Bahkan mungkin… mulai menikmatinya.
Bukan sekadar menjual HP. Tapi menjual fantasi yang tak pernah tertulis di brosur.
Tiba-tiba datang tiga pria muda, mungkin pegawai swastadengan kemeja lengan digulung dan kartu akses tergantung di leher. Salah satu dari mereka yang tampak paling percaya diri langsung mendekat.
"Selamat malam, Mbak. Masih buka, ya?"
Aku tersenyum ramah. “Masih, Pak. Silakan. Kami ada beberapa tipe terbaru. Kameranya sudah 108MP, hasilnya jernih, cocok buat foto low light juga.”
Dia mengambil satu unit demo dan menimangnya sebentar, lalu menoleh padaku dengan senyum menggoda.
“Kameranya bagus ya? Tapi boleh dicoba langsung ke… objek aslinya?” katanya sambil melirikku dari atas ke bawah, terang-terangan.
Teman-temannya terkikik di belakangnya, pura-pura melihat brosur.
Aku tetap tersenyum. “Tentu, Pak. Kalau Bapak mau, bisa coba selfie atau portrait. Nanti hasilnya bisa dilihat langsung.”
“Wah, boleh banget,” katanya sambil mengarahkan kamera ke arahku. “Modelnya cantik begini, hasilnya pasti maksimal.”
Kamera mengarah padaku. Aku sedikit condong ke depan, memberi pose seadanya. Lensa ponsel membidik, tapi matanya lebih sibuk memperhatikan lekuk tubuhku yang tertutup pas oleh seragam putih.
“Hmm... hasilnya tajam,” gumamnya sambil memperbesar foto. “Tapi... masa cuma kameranya doang yang boleh dicoba?”
Matanya bertemu mataku. “cicinya bisa dicoba sekalian gak?”
Detik itu juga, senyumku membeku sepersekian detik. Tapi hanya sesaat. Aku mengedip pelan, menahan napas, lalu menanggapi dengan suara yang tetap lembut.
“Maaf, Pak. Yang bisa dicoba hanya fitur ponselnya. Yang lain... bukan bagian dari paket penjualan,” ujarku sambil tersenyum lagi, lebih tipis dari sebelumnya.
Dia tertawa. Teman-temannya ikut tertawa. Mereka pergi tanpa membeli.
Dan aku tetap berdiri. Menatap layar ponsel demo yang masih menyala. Menatap bayanganku sendiri—perempuan muda dengan senyum rapat dan mata yang pelan-pelan belajar menyimpan banyak hal, tanpa harus menunjukkannya.
Aku hanya bisa tersenyum, meski mulai terasa kaku di pipi, lalu bertanya dengan suara lembut yang dijaga tetap ramah, “Gimana, jadi beli enggak, Pak?”
Pria itu memainkan ponsel demo di tangannya, lalu tersenyum miring.
“Ah… enggak jadi deh. Soalnya nggak dapat bonus cicinya, sih,” katanya sambil melirik ke arahku seolah setengah bercanda, setengah serius.
Tawa lirih langsung meletup dari dua temannya di belakang. Salah satunya—berkaos ketat, dengan jam tangan mencolok dan senyum licik di wajah—menimpali, “Iya dong… beli HP Cina harusnya dapat bonus cicinya juga. Biar tambah semangat belinya.
Teman satunya menambahkan dengan nada lebih rendah, agak berbisik tapi sengaja dikeraskan cukup untuk terdengar, “Setau gue, produk Cina sekarang baterainya emang awet dan tahan banting…”
Lalu ia menoleh langsung ke arah Celine, pandangannya menyapu perlahan dari ujung kaki ke atas, berhenti sebentar di lekukan dadanya yang terbungkus seragam putih.
“Kalau cicinya kayak gini sih… dipake semalaman pun baterainya nggak bakalan ngedrop. Tawa mereka meletus lagi. Ringan, puas, dan tak tahu diri.
Celine hanya diam sesaat. Senyumnya tetap tergambar, tapi dalam hati, ada sesuatu yang menegang. Bukan cuma kesal—tapi juga… panas samar yang muncul dari arah yang tak terduga. Sensasi aneh, saat tahu tubuhnya dilihat seperti itu… dinilai, dipuja, dan dijadikan bahan imajinasi.
“Maaf pak,” ucapku pelan tapi tegas. “Bonus kami hanya earphone bluetooth. Cici-nya enggak bisa dicicil, apalagi diuji coba.”
Mereka tertawa lagi, tapi nada tawanya berubah—sedikit gugup, seolah tahu mereka sedang menginjak batas. Dan aku ? Aku tetap diam di tempat, mataku terus mengikuti mereka sampai hilang di antara kerumunan.
Tapi saat itu juga, aku sadar: ada sesuatu yang bergetar dalam diriku. Bukan sekadar amarah. Ada perasaan yang lebih liar, lebih sulit diurai. Sentuhan-sentuhan kata yang kasar itu… bukannya membuatnya hancur, justru membuatnya merasa ada. Dilihat. Diinginkan.
Dan meskipun aku membenci bagian dari dirinya yang menikmati rasa itu, aku tahu: aku tak lagi sama seperti dulu. Sui Ling yang dulu pemalu, patuh, dan selalu menunduk… perlahan menjelma menjadi seseorang yang mulai mengenali kekuatan tubuhnya sendiridan semua reaksi yang bisa ditimbulkannya.
Keesokan paginya, aku datang lebih awal dari biasanya. Rambutku sudah diikat rapi, bibirku dipulas tipis warna merah muda. Rok span hitamku sedikit kusut karena terburu-buru, tapi aku tak sempat menyetrikanya lagi. Aku hanya berharap hari ini berlalu cepat.
Tapi harapan itu langsung pupus saat kami semua dikumpulkan di belakang booth, di area sempit yang dipisah tirai kain hitam. Di sana sudah berdiri pengawas dari pihak perusahaan. Seorang pria berusia empat puluhan, berjas abu-abu gelap, dengan ekspresi dingin seperti layar loading yang tak pernah selesai.
Dia membuka laptop, lalu berbicara dengan nada datar tapi tajam.
“Kita sudah masuk hari kelima. Target penjualan belum setengah jalan. Kalau kayak gini terus, jangan harap kalian bisa dapat bonus tambahan.
Semua SPG berdiri tegak. Sebagian memasang wajah khawatir, sebagian lagi hanya menunduk tanpa bicara. Aku berdiri di ujung, mencoba tak menarik perhatian.
Tapi ternyata, aku justru yang disorot.
“Celine,” katanya. “Penjualan kamu paling rendah di antara semua.”
Aku menegakkan punggung, pura-pura tenang. Tapi di dalam, jantungku berdebar kencang.
“Kamu terlalu pasif. Diam. Nggak agresif narik pengunjung. Ini pameran, bukan ruang tunggu dokter.”
Beberapa SPG lain melirikku singkat. Entah kasihan, entah lega bukan mereka yang disinggung.
“Kalau kamu tetap seperti ini, maaf ya… kamu nggak akan bisa dipakai lagi buat event selanjutnya. Kami cari orang yang bisa jualan, bukan cuma berdiri cantik.”
Aku ingin menjawab, ingin bilang kalau aku sedang berusaha. Tapi lidahku kelu. Dan seperti biasa, logatku yang aneh membuatku memilih diam daripada mempermalukan diri.
Setelah briefing bubar, aku berjalan kembali ke booth dengan langkah ringan tapi napas berat. Ada rasa malu. Ada juga rasa marah—entah kepada siapa. Mungkin pada diriku sendiri, yang masih terlalu ragu untuk membuka suara lebih dulu.
Tapi di sela semua itu, ada dorongan samar yang kembali menyelinap.
Kalau mereka hanya melihat wajahku, tubuhku, suara lembutku—kenapa aku harus repot-repot jadi pintar bicara?
Mungkin… ada cara lain untuk “menjual”.
Dan hari itu, aku berdiri di booth dengan senyum yang lebih lebar. Lebih lama. Lebih "terbuka".
Aku tidak bicara banyak. Tapi aku tahu kapan harus menunduk pelan, kapan harus tertawa kecil, dan kapan harus menatap mata pengunjung sedikit lebih lama dari biasanya.
Karena mungkin, menjadi menarik... bukan soal apa yang dikatakan. Tapi bagaimana caranya membuat mereka ingin lebih.
Tekanan yang Diam-Diam Mengikis
Hari itu aku mencoba lebih keras dari biasanya. Senyumku kutahan lebih lama, suaraku kubuat sedikit lebih manja, dan aku mulai berani memanggil pengunjung yang lewat dengan sapaan ringan.
“Pak, boleh lihat produk baru kami? Ada diskon khusus hari ini.”
Beberapa menoleh, sebagian mampir. Tapi hanya sedikit yang benar-benar membeli.
Meski langkahku makin gesit dan senyumku makin fasih, angka di laporan penjualan tetap mengecewakan. Aku masih berada di posisi terbawah.
Malam menjelang tutup booth, supervisor kembali mendekat. Kali ini suaranya lebih dingin, matanya langsung menusuk.
“Celine. Hari ini kamu udah usaha, saya lihat. Tapi hasilnya masih belum cukup.”
Aku menunduk. Tak tahu harus menjawab apa.
“Kami perlu orang yang bisa ngangkat angka. Kalau sampai besok masih begini, saya nggak janji kamu lanjut.”
Ucapan itu menggantung di telingaku sampai perjalanan pulang. Kaki terasa berat menaiki tangga kos. Malam mulai turun, dan aku bahkan belum sempat makan. Begitu masuk kamar, tubuhku langsung rebah ke kasur tipis. Aku belum sempat membuka sepatu ketika ponselku bergetar.
Mama.
Dengan hati waswas, aku mengangkat.
“Hà -ló, Ma…”
“Ling ah…” (Nada berat, pelan)
“Li kia-keng si chò sÃm-mi?”
Ling, kamu lagi ngapain?
“M̄-sái lah, Ma… ang-ang tui luar ui kos nia. Sin-thái sian liao.”
Gak ngapa-ngapain, Ma… baru aja balik dari luar ke kos. Badan capek banget
"Ling ah… tiâu jit Ah Si bo hó.
“Eh siann-mih?”
“Dokter bilang demam tinggi. Ada infeksi. Perlu beli obat suntik… agak tua liao…” (Dokter bilang infeksi. Harus beli obat suntik... agak mahal…)
Jantungku berdegup pelan. Aku tahu nada itu. Nada permintaan yang tak pernah Mama langsung ucapkan.
“Mama minta tolong ya… bisa bantu dikit? Tak banyak… nanti Mama ganti…” suaranya lirih, nyaris seperti menahan tangis.
Aku terdiam. Di dompet, uang dari gaji hari ini masih ada. Tapi aku juga tahu, itu belum cukup untuk menutup semua yang kubutuhkan akhir bulan nanti.
“Sui Ling ai tho chia.
“Ma tahu kamu susah. Tapi cuma kamu harapan kami sekarang. Ah Si kecil… kasihan.”
Aku menggigit bibir. Mataku mulai panas. Bukan karena diminta bantu—tapi karena aku tahu, aku tak punya banyak pilihan.
Setelah telepon berakhir, aku terduduk diam dalam gelap.
Di satu sisi, pekerjaanku nyaris terancam. Di sisi lain, keluargaku mulai bergantung padaku lebih dari sebelumnya. Aku bukan lagi anak rumahan yang hanya butuh lulus kuliah. Aku… mulai menjadi tulang punggung.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku memandang tubuhku sendiri—masih terbungkus seragam kerja yang belum sempat kulepas dengan cara berbeda.
Mungkin... inilah aset terakhir yang kumiliki. Yang belum kugunakan sepenuhnya.
Senjata yang Tak Tertulis di Manual
Malam sebelumnya, aku duduk lama di atas kasur. Ponsel di tangan, saldo di rekening nyaris tak bersisa. Aku berpikir keras.
Di kepala, hanya satu kalimat berputar: kalau tetap begini, aku akan terlempar keluar. Dan saat malam makin larut, aku tahu… aku harus berhenti jadi gadis baik yang hanya berdiri dan berharap dilihat.
Aku harus jadi seseorang yang dipikirkan, bahkan setelah pengunjung itu pulang ke rumah.
Aku berdiri di posisi yang paling ramai dilalui orang.
Dan ketika sekelompok pria muda lewat, aku langsung menyambut dengan senyum yang lebih hangat dari biasanya.
“Selamat sore kak… mau coba fitur kamera 108MP kami? Cocok banget buat foto yang agak private.
Mereka menoleh. Tertawa kecil.
“Private gimana, Mbak?”
Aku menatap mereka sejenak, lalu mendekat pelan, cukup untuk membuat satu di antara mereka menahan napas.
Aku berbisik ringan, seolah memberi rahasia yang tidak ada di brosur:
“Kalau beli tipe ini, saya bisa kirim contoh hasil fotonya. Yang… beda dari biasanya.
Salah satu dari mereka terkekeh tak percaya.
“Foto kamu?”
Aku tidak langsung menjawab. Hanya menaikkan alis sedikit, lalu memalingkan wajah pelan—gerakan yang kulatih semalam di depan cermin.
“Kalau udah transfer dan kirim bukti pembelian nanti saya balas nomor WA-nya.”
Itu saja. Tak ada janji vulgar. Tak ada bahasa langsung. Tapi mereka mengerti. Mata mereka menyala. Uang berpindah tangan.
Hari itu, aku berhasil menjual dua puluh unit hanya dalam dua jam.
Dan tiap kali transaksi selesai, mereka menunggu dengan sabar di ujung booth, seolah ingin “dipastikan”.
Aku memilih dua foto dari galeri tersembunyi yang tak pernah kubuka di depan siapa pun.
Foto pertama kuambil beberapa malam lalu, saat semua lampu kamar mati kecuali satu lampu meja kecil. Aku duduk di ujung ranjang mengenakan lingerie satin warna burgundy—tipis dan licin, membalut tubuhku seperti kabut malam. Tali kecil di bahuku jatuh ke lengan, memperlihatkan sebagian payudara yang tertahan renda halus. Kakiku bersilang, tapi lutut terbuka, menciptakan siluet samar di bawah kain tidur yang nyaris transparan. Tatapanku kabur, mengarah ke lantai, seolah tertangkap dalam momen paling sunyi dan rentan. Tapi justru dari situ, ada semacam kekuatan yang tak bisa dijelaskan.
Foto kedua lebih berani. Aku berdiri di depan cermin kamar mandi, hanya mengenakan kimono tidur sutra yang dibiarkan terbuka hingga batas perut. Di dalamnya, bra renda tipis berwarna nude nyaris menyatu dengan kulitku, sementara celana dalamnya hanya terlihat sekejap di sela lipatan paha. Rambutku sedikit lembap, menjuntai ke leher, dan ada setetes air yang masih menggelayut di tulang selangka. Bibirku sedikit terbuka, seperti sedang memanggil, atau menunggu dijawab.
Aku tahu betul foto-foto ini bukan sekadar potret.
Mereka adalah jebakan halus yang kubangun perlahan, dengan tubuhku sebagai bahannya, dan ketepatan rasa sebagai senjatanya.
Dan ketika mereka melihatnya—para pembeli itu, para lelaki lapar yang haus validasi dan fantasi—aku bisa bayangkan betapa cepatnya jari mereka mengetik:
“Ada lagi?”
Aku tidak langsung menjawab.
Karena permainan ini bukan soal siapa paling cepat. Tapi siapa yang paling lama terjebak.
Mereka tak pernah protes. Malah, beberapa membalas dengan emoji atau pujian. Ada yang langsung bertanya: "Bisa lanjut nggak?"
Tapi aku tak menjawab.
Karena bagiku, transaksi selesai saat fantasi mereka mulai.
Dan hari itu, aku naik ke posisi ketiga penjualan.
Supervisor tersenyum padaku saat pulang.
Tapi aku… hanya diam.
Karena untuk pertama kalinya, aku merasa telah menjual sesuatu yang bukan dari brosur, bukan dari rak display, bukan dari spesifikasi. Aku menjual apa yang tak pernah mereka miliki—dan itu lebih mahal dari apa pun.
Keesokan harinya, aku kembali berdiri di posisi yang sama. Di sudut booth paling strategis, dekat rak ponsel flagship. Cahaya spotlight dari atas jatuh tepat ke wajahku, membuat kulitku tampak sedikit lebih bersinar dari biasanya. Itu bukan kebetulan—aku sudah memilih tempat ini sejak siang.
Pria mesum kembali datang lagi. Paruh baya, perutnya menonjol sedikit di balik batik bermotif ramai. Kancing atasnya dibiarkan terbuka, memperlihatkan rantai emas tipis yang menggantung di dada. Matanya sibuk menyisir rak display, tapi aku tahu betul, pandangannya mencuri arah lain.
Dari balik sudut mata, aku melihat ponselnya menyala. Kamera aktif. Sejenak mengarah ke barisan produk... lalu melenceng. Ke arah kakiku. Ke paha. Ke wajah.
Aku tak mengatakan apa-apa. Hanya mendekat perlahan, menyapu rambut ke belakang telinga sambil tersenyum sopan.
“Bapak mau lihat dalemnya nggak?” kataku pelan, seperti menawarkan fitur.
Dia tersentak, lalu tertawa kaku. “Maksudnya...?”
Aku memiringkan kepala sedikit, menatapnya seolah bicara jujur. Tanganku menunjuk ke salah satu model ponsel yang sedang dia pegang.
“Dalemnya… fitur dalamnya, Pak. Kadang yang di luar nggak kelihatan semua, kan?”
Dia mengangguk cepat. Tapi pipinya menghangat, dan matanya tak lepas dari dadaku. Napasnya agak berubah.
Aku mendekat selangkah lagi, suaraku menurun satu oktaf.
“Kalau Bapak beli sekarang, saya bisa kirim contoh hasil rekaman video kameranya. Yang… private. Buat yang serius aja.”
Dia menatapku. Lama. Mencoba membaca maksud di balik senyumku.
Aku tak mengulang kata-kata. Hanya berdiri di sana, tenang, dengan lengan menyilang tepat di bawah payudara, menekan kain blouse tipis agar membentuk lekuk lebih jelas. Dia mengusap keringat di dahinya, lalu mengeluarkan dompet.
“Beneran… keliatan semua?” tanya pria itu, suaranya serak, nyaris berbisik, seolah takut ucapannya terdengar oleh udara.
Aku menatap matanya dalam-dalam. Senyumku tak berubah, tapi nada suaraku turun, lembut dan basah seperti gerimis sore hari.
“Kalau Bapak lihatnya pas... dan jangan kedip,” kataku sambil mencondongkan badan sedikit, membuat blouseku terjatuh pelan mengikuti gravitasi.
“Biasanya cowok-cowok langsung diem pas liat. Kayak lupa cara napas,” lanjutku dengan tawa kecil yang manja.
Dia mengusap tengkuknya, kikuk, tapi matanya tak berkedip.
Aku menyentuh kotak ponsel di tangannya dan berkata dengan nada menggoda:
“Nanti saya kirim... yang spesial. Bukan yang biasa. Tapi cuma buat yang udah serius aja. Bapak kan serius?”
Dia mengangguk cepat, seperti tersihir. Tak bertanya lebih jauh. Tak minta bukti. Tak nawar harga.
Tangannya langsung merogoh dompet, lalu menyerahkan kartu debit ke kasir dengan gerakan tergesa. Matanya sesekali melirikku, seolah takut aku menghilang sebelum transaksi selesai.
Setelah proses pembayaran beres, aku menyelipkan secarik kertas kecil ke dalam kantong belanjaannya.
“Nomor saya,” bisikku lembut. “WA-nya aktif sampai jam satu malam. Kalau Bapak udah di rumah... tinggal bilang: ‘Aku udah siap.’ Nanti saya balas.”
Dia menelan ludah, pelan. Tak berkata apa-apa, hanya mengangguk dan membawa belanjaannya seperti membawa sesuatu yang lebih berat dari sekadar gadget.
Saat dia berjalan menjauh, aku bisa melihatnya beberapa kali menoleh. Menatapku seperti pria yang sudah menyerahkan kepercayaannya penuh... untuk sesuatu yang belum pernah dia pegang.
Dan aku?
Aku hanya tersenyum pelan. Karena terkadang, yang paling membuat mereka tergila-gila... adalah janji yang belum kutepati.
Pukul 00.30
Pesan pertama masuk.
“Mbak Celine, saya udah di rumah. Tadi beli HP yang mbak tawarin…
Disusul satu foto: struk pembelian dan sekilas bayangan wajahnya di kaca lemari.
“Katanya ada bonus videonya… Boleh saya lihat sekarang ?
Aku membaca pesan itu di atas kasur kost yang masih setengah rapi. Kipas angin berputar pelan membelai kulitku yang masih lembap setelah mandi. Tapi bukan itu yang membuatku tersenyum malam ini.
Ponsel demo yang kugunakan tadi siang sudah tersambung ke Wi-Fi. Di dalamnya, video berdurasi dua menit lebih sedikit sudah siap. Rekaman itu kuambil tadi sore, lima belas menit setelah pameran ditutup. Saat semua orang sibuk beres-beres, aku menyelinap ke ruangan kosong di balik booth. Ruangan stok lama yang kini sunyi, hanya berisi cermin besar, satu kursi plastik, dan cahaya dari lampu meja yang kupasang sendiri.
Aku berdiri di depan cermin dengan seragam SPG masih menempel sempurna. Rok pendek dan blouse putih tipis yang sedikit kusengaja tidak dikancingkan penuh, dan pin nama kecil di dada kanan: Celine. Kamera ponsel kupasang dengan tripod mungil, diam, tajam, dan tak menghakimi.
Di video itu, aku perlahan membuka dua kancing atas blouse-ku. Tidak bicara. Hanya menatap pantulan mataku sendiri di cermin. Lalu berputar pelan, memperlihatkan bagian punggung, pinggul, dan lekuk seragam yang seolah tak lagi milik perusahaan, tapi milikku—senjata dalam permainan yang kutentukan sendiri.
Aku menyentuh layar.
Kuketik pelan:
“Bapak lagi sendirian ?
“Iya. Istri udah tidur dikamar. Lampu udah mati semua cuma HP aja yang masih nyala.
Aku menunggu tiga detik. Lalu mengirim video itu. Durasinya hanya 2 menit 17 detik.
Tanpa filter. Tanpa suara, selain deru kipas angin kecil di ruangan.
Centang dua.
Lalu biru.
Aku bisa membayangkan ekspresinya sekarang. Nafas yang pelan-pelan memendek, mata yang mungkin tak berkedip, dan jemari yang menahan layar seolah takut kehilangan apa yang baru saja ia beli.
Lima menit berlalu.
“Mbak…
“Saya sampe gemeter nontonnya.
“Kok kamu bisa secantik itu ya mana masih pake seragam lagi…
Aku membacanya tanpa tergesa.
Lalu mengetik:
"Nanti... kalau Bapak masih ingat rasanya besok pagi.
Tak ada emoji. Tak ada janji.
Karena malam ini, hadiah sudah dia terima.
Dan aku? Aku hanya duduk tenang di kamarku, membuka layar galeri.
Satu video lain masih tersimpan.
Lebih pendek. Tapi lebih dekat.
Diambil tanpa cermin.
Tanpa seragam.
Dan itu… belum untuk malam ini.
Keesokan harinya, pameran kembali padat. Musik dari speaker booth berdentum ringan, aroma brosur baru dan plastik pembungkus memenuhi udara. Tapi tubuhku lelah. Semalaman aku tak benar-benar tidur. Mataku sembab, tapi disamarkan dengan bedak tipis. Sejak pagi aku hanya diam, mengatur senyum seadanya.
Menjelang sore aku pamit sebentar dari supervisor dan duduk di kursi belakang booth dekat rak stok. Tempat itu sempit, hanya ditutupi tirai tipis tapi cukup untuk menghela napas tanpa dilihat siapa pun.
Saat itulah ponselku bergetar. Nama “Mama” muncul di layar.
Aku langsung tahu: pasti ada yang tidak beres.
Kutekan tombol hijau. Suara dari seberang langsung menyerbu, tergesa dan sedikit panik.
"Celine ah… li ho bo? Ai kong li kuan… a Ti ti boh ho.
Celine… kamu sehat? Mau kasih tahu… adikmu belum membaik.
Aku duduk tegak. Suara Mama terdengar lelah, seperti orang yang sudah menahan tangis semalaman.
"Tadi po si… tak khua sin i bin u hit ti kia, u ai chhit chiu.
Dia tadi kejang… dokter bilang harus dibawa ke rumah sakit lagi.
Aku terdiam. Keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku.
"Ma cin paiseh… tapi jin sua bo lui liaw. Ai cheng peng, ai cheng cek.
Mama minta maaf… tapi benar-benar sudah nggak ada uang. Harus buat periksa, buat obat.
Suaranya pecah di ujung kalimat. Tak perlu dijelaskan lebih jauh—aku tahu berapa besar biaya rumah sakit, berapa banyak yang sudah habis, dan betapa rapuh keadaan mereka di rumah. Papa sudah lama tidak ada. Dan sekarang… semua bergantung padaku.
Aku menelan ludah. Menahan suara agar tetap tenang.
"Mama… tan kuan. Wa e pang li.
Mama… tenang. Aku bantu.
“Li u jin cheng?”
(Kamu ada uangnya?)
Aku tidak langsung menjawab.
Yang terpikir pertama justru kamera semalam. Sorot lampu LED. Lensa besar yang merekam tubuhku dalam diam.
Dan suara pria itu, sesudah selesai, saat dia berkata: Kalau kamu mau bikin sesi kayak gitu lagi… saya bisa bayar lebih. Tapi kali ini saya yang pegang kendali dan mengatur semuanya.
Aku menutup mata sejenak.
Dalam kepalaku, tanganku meraba angka sepuluh juta… dan sekarang, tiba-tiba, terasa begitu kecil.
Disaat pikiranku sedang kacau tiba tiba aku kembali mendapatkan pesan baru dari seorang pria paruh baya yang kemarin membeli smartphone dipameran dan menawarkan suatu kesepakatan denganku.
Celine: (kembali diam dan mulai bingung sendiri)
Pak Jarwo: Coba pikir, daripada kamu capek jualan, berdiri seharian dipameran jadi SPG yang bayarannya gak seberapa… ini cuma satu malam. Di kamar kamu sendiri. Video call doang. Gak bakal ada yang tahu selain kita berdua. Bapak jamin.”
Celine: (bernapas pelan, lalu bertanya pelan) Kalau saya gak nyaman di tengah jalan?”
Pak Jarwo: Kamu boleh berhenti kapan aja. Tapi saya yakin kamu bakal menikmati juga, walau awalnya ragu. Gimana? kalau kamu setuju kita mulai sekarang.
Panggilan video itu masuk beberapa menit setelah aku mengetikkan balasan. Aku sempat menatap layar ponsel cukup lama sebelum akhirnya menyentuh ikon hijau. Wajah Pak Jarwo langsung muncul, tersenyum lebar, duduk santai di kursi kerjanya sambil mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Di belakangnya, dinding penuh piagam dan foto keluarga.
"Non Celine… cantik banget malam ini padahal gak pake makeup kayak dipameran. Bapak langsung semriwing loh pas liat kamu angkat telepon. Katanya dengan nada santai.
Aku berusaha tersenyum, meski dalam hati terasa kaku. "Makasih, Pak. Saya cuma pakai baju tidur biasa kok."
"Ah, justru itu yang bikin tambah... menggoda," ucapnya sambil tertawa kecil. "Boleh dong liat lebih jelas? Kamera kamu digeser dikit, jangan cuma wajah aja."
Aku ragu sejenak, tapi menuruti. Kukendurkan posisi dudukku agar tubuhku lebih terlihat.
"Hmm…," Pak Jarwo mendecak pelan. "Badan kamu seksi ya, kulitnya juga putih banget. Apalagi bagian leher kamu tuh… aduh, bikin bapak susah tidur nanti malam."
Aku hanya diam, mencoba tetap tersenyum walau terasa getir.
"Bapak masih inget video kamu kemarin," lanjutnya, nadanya mulai berubah. "Pas kamu berdiri itu… keliatan banget lekuk badan kamu, terus gerakan pinggul kamu… aduh, itu bukan video biasa, non. Itu bener bener bikin naik.
Aku menunduk sedikit, mengalihkan pandangan dari layar. Tapi suara pria itu terus mengalir, pelan namun menusuk.
"Kalo boleh jujur ya, dari semua SPG di pameran, cuma kamu yang bikin bapak betah lama-lama di booth. Senyummu manis, tapi matamu… nakal. Kamu sadar gak sih, kamu itu tipe yang bikin pria berkhayal?"
Aku mencoba tertawa kecil. "Bapak bisa aja…"
"Tapi ini serius, non. Makanya bapak tuh rela kasih bantuan lebih. Tapi tentu, bapak juga pengen sesuatu yang lebih dari sekadar video. Kita kan udah sama-sama dewasa."
Aku menggigit bibir. Tanganku berkeringat, meski kamar kosku dingin.
"Non… gimana ya ngomongnya," lanjutnya pelan, "malam ini… boleh gak saya minta kamu temenin? Tapi jangan cuma ngobrol. Saya pengen liat kamu… lebih dari yang kemarin."
Aku diam. Wajahku menegang.
"Tenang… gak perlu langsung buka baju atau gimana. Kita nikmati pelan-pelan. Kamu gerakin tanganmu… kamu pelan-pelan mainin rambut… liatin bapak dengan tatapan genit kamu itu. Bisa kan, non?"
Aku hanya terdiam beberapa detik. Pandanganku menatap layar ponsel. Wajah Pak Jarwo yang mulai serius, matanya tak lepas dari arah dadaku. Saat itu aku mengenakan gaun tidur model tanktop berwarna biru cerah, bahannya tipis dan jatuh membentuk lekuk tubuh. Kedua tali kecil di pundakku nyaris melorot, seolah enggan menahan beban malam yang panas dan penuh tekanan. Kainnya memeluk tubuhku dengan lembut, memperlihatkan kulit putihku yang kontras di balik cahaya temaram kamar kos.
"Hmm… non. baju tidur kamu tipis banget ya. Katanya lirih.
"Bapak sampai bisa nebak bentuknya dari sini… tuh, keliatan tuh bayangannya. Kalau tidur gak pake daleman ya kamu.
Aku refleks menegakkan dudukku tapi dia langsung menimpali dengan tawa kecil.
"Eh, jangan nutupin… udah tanggung. Tadi kamu udah kasih lihat sedikit, sekarang lanjutin aja.
"Pak.. kita cuma ngobrol aja kan?" ucapku pelan mencoba terdengar santai meski jantungku berdebar."Iya cuma ngobrol aja kok. Jawabnya cepat lalu tertawa kecil.
"Bapak mau kamu manja malam ini. Kamu keliatan cantik banget kalo sedikit nakal. Coba deh, kamu miringin duduknya… kayak tadi. Biar leher kamu kelihatan semua. Rambut kamu disibak… iya gitu… ya ampun, non. Saya makin gila liat kamu begini.
Aku menarik napas panjang. Tangan kiriku perlahan menyibak rambut dari bahu kanan. Kulihat wajahnya berubah, makin panas.
"Ya gitu… cakep. Sekarang coba kamu bisikin ke saya… suara pelan aja. Cuma buat bapak."
Aku menatap layar, lalu menunduk sedikit. Entah apa yang mendorongku saat itu—mungkin suara adikku yang terbatuk semalam, atau pesan dari rumah sakit yang menagih pembayaran. Aku mendekat ke kamera.
"Bapak mau aku bilang apa ? bisikku pelan.
Pak Jarwo terlihat menyandarkan tubuh ke belakang, mengusap dagunya.
"Bilang kalau kamu pengen dicium sama saya. Pengen tetek kamu diremesin dan pengen badan kamu yang putih itu digerayangi sama saya malam ini.
Aku mengucapkannya pelan, nyaris tak terdengar olehku sendiri bahkan tanpa sadar aku mulai terbawa suasana dan mulai mendesah.
"Bagus… suara desahan kamu itu lho, non. Bikin punya bapak berdiri. Sekarang, coba kamu berdiri pelan-pelan… mau liat kamu dari atas sampe bawah. Gak usah buru-buru. Bapak pengen kamu nikmatin juga."
Aku berdiri dari ranjang. Kaki terasa berat, tapi tanganku tetap menggenggam ponsel. Aku atur sudut kamera, dan berdiri dengan posisi sedikit menyamping.
"Ya gitu… cakep. Sekarang… sentuh leher kamu. Pundak kamu. Saya pengen kamu mainin diri kamu sendiri… pelan-pelan. Tapi masih pakai baju. Kita gak buru-buru."
Suara Pak Jarwo kini lebih rendah, pelan, dan menuntun. Ada bagian dari diriku yang ingin mematikan panggilan itu, tapi ada juga yang mulai terlarut dalam permainan ini—permainan yang kutahu tak akan berhenti malam ini saja.
Aku berdiri di hadapan kamera, diam, hanya suara napasku yang terdengar. Pak Jarwo tampak terpaku di layar, matanya tak berkedip menelusuri tiap inci tubuhku yang hanya terbungkus kain tidur tipis berwarna biru cerah. Lampu kamar yang redup membuat siluet tubuhku terlihat samar, namun cukup untuk menyalakan imajinasinya.
"Non…" bisiknya lirih. "Kamu tahu nggak… dari tadi bapak cuma mikirin kamu. Dari leher kamu yang jenjang… sampai lekukan di pinggang itu. Gila… kamu sempurna.
Aku tidak menjawab. Hanya menatap kamera, diam-diam mencoba masuk ke peran yang bahkan tak pernah kuanggap akan kumainkan. Kukibaskan rambutku ke belakang, pura-pura menggeliat seolah kepanasan. Keringat dingin mulai membasahi tengkukku.
"Kamu… berdiri mendekat, coba…"
Aku geser ponsel, memegangnya dengan satu tangan sambil berjalan mendekati kaca. Dari layar kecil di ponsel, aku bisa melihat pantulan diriku—berdiri dengan bahu terbuka sebelah, dada naik-turun karena gugup, dan sepasang mata yang berusaha terlihat yakin.
"Sentuh bahu kamu, pelan-pelan… iya, begitu… tarik nafas… kamu sadar gak sih suara kamu tadi itu… bikin bapak kehilangan akal."
Tanganku mengusap pelan bagian bahu dan turun ke lengan. Tak ada yang benar-benar terbuka, tapi cara gerak tubuhku—lirih, tertahan—cukup membuat atmosfer itu menguap pelan-pelan.
"Bapak bayangin kamu ada di depan bapak sekarang," katanya sambil mengusap dagu, suaranya lebih berat. "Pasti kamu wangi ya… paduan sabun dan parfum manis. Kalo bapak deketin kamu, pasti jantung kamu deg-degan banget."
Aku menahan senyum kecut. Dia tak salah.
Lalu dia menambahkan, pelan, seolah menghipnotis,
"Coba kamu duduk lagi, non… tapi kali ini, bawa kameranya dekat… saya pengen lihat mata kamu waktu kamu godain bapak… kayak di video kemarin.
Aku ikuti arahannya. Duduk perlahan, dengan kaki bersila, dan ponsel kupegang di depan wajahku. Kutatap kamera dalam-dalam, dengan pandangan setengah malu, setengah sengaja—campuran antara kebingungan dan kepasrahan.
"Ya ampun… tatapan kamu itu, non. Bikin bapak makin gak tahan. Kamu tau gak, kamu itu racun buat pikiran laki-laki."
Suaranya lirih, tapi terasa masuk sampai ke pori-pori. Aku menjilat bibir bawahku pelan, refleks. Entah karena gugup atau memang mulai terbawa suasana.
"Non… boleh ya… pelan-pelan aja… kamu geser talinya. Bapak gak minta buka semua… cuma pengen lihat dada kamu lebih jelas.
Aku terdiam. Tanganku bergerak ragu ke tali baju tidurku yang turun satu. Kutarik perlahan. Gerakanku pelan, hampir seperti adegan bisu di film hitam putih. Tak ada suara, hanya degup jantungku yang makin keras di telinga sendiri.Pak Jarwo mendesah pelan dari seberang layar. Matanya tak berkedip, suaranya makin rendah.
"Aduh… non.. kamu kok makin napsuin aja sih. Boleh bapak minta satu lagi?"
Aku menoleh sedikit, tak menjawab.
"Coba kamu liat kamera… sambil pasang wajah memelas," bisik Pak Jarwo, nadanya kian berat. "Kayak cewek yang lagi butuh… butuh dibelai. Terus… turunin talinya, pelan-pelan. Biar saya bisa liat dengan jelas… semua keindahan yang kamu simpan.
Ada jeda. Tapi entah kenapa, tubuhku bergerak sendiri. Tangan kiriku menyentuh tali gaun di pundak kanan, lalu yang kiri. Satu per satu kuturunkan perlahan. Kain biru cerah itu meluncur tanpa suara, menyusuri kulitku yang mulai menghangat. Dada masih tertutup, tapi bagian bahu dan atas payudara kini terekspos penuh dalam bayangan lampu kamar.
Di layar, mata Pak Jarwo membesar. Nafasnya terdengar makin berat.
"Astaga… kamu luar biasa, non. Kulit kamu kayak porselen. Lembut banget diliatnya," katanya lirih. "Sekarang… boleh gak? Tarik pelan bagian atas gaunnya… turunin… sampe batas yang bikin saya susah tidur malam ini.
Aku menggigit bibir bawah, ragu. Tapi demi suara adik di kepalaku, kutarik perlahan kain itu, menuruni bahu… lalu lebih ke bawah lagi… sampai akhirnya bagian atas tubuhku hampir seluruhnya terbuka. Aku tak bisa melihat wajahku sendiri, tapi dari sorot mata Pak Jarwo, aku tahu… ia sedang menahan sesuatu yang meledak di dalam dirinya.
Dia menatapku seolah dunia berhenti. Wajahnya nyaris tak berkedip, bibir sedikit terbuka, tangan mengepal di atas paha.
"Ya ampun…" gumamnya. "Kamu bener-bener... hadiah paling indah malam ini."
Suara napasnya makin berat, tersendat-sendat di balik smartphone itu. Di layar, Pak Jarwo bersandar di kursinya, tubuhnya sedikit maju-mundur seolah menahan sesuatu. Tatapan matanya melekat padaku, tajam namun tak lagi sekadar memandang—ia seakan benar-benar memakan setiap detail tubuhku dengan hasrat yang tak tertahan.
"Non… Katanya, nyaris seperti mengerang, "kamu tahu gak kamu lagi ngelakuin apa ke om sekarang? Kamu tuh… kayak mimpi yang tiba-tiba nyata.Tangannya bergerak pelan di pangkuan, nyaris tak bisa disembunyikan. Ia tak meminta apa pun untuk saat ini, tapi tatapannya cukup jelas: dia ingin lebih. Dia haus. Tangan kanannya terus bergerak perlahan mengelus elus burungnya yang masih tertutup celana pendek, namun tonjolan dibalik celananya semakin jelas terlihat seperti ada sesuatu yang ingin meronta keluar.
Kulirik pantulan diriku sendiri di layar. Rambutku acak-acakan, pipi memerah, dada naik-turun cepat. Ada sesuatu yang tumbuh perlahan di dalam tubuhku sendiri—rasa getir, malu, sekaligus geli… dan panas.
"Liat kamu kayak gitu aja. Om makin gak tahan. Katanya lagi. "Tolong ya non… jangan matiin kamera dulu. Malam ini jangan kemana-mana. Biar bapak nikmatin kamu pelan-pelan. Dari jauh pun… cukup, asal kamu terus pamerin badan kamu kayak gitu.
Aku menunduk, lalu mengangkat kepala perlahan. Kutatap kamera dalam-dalam, bibirku terbuka sedikit, seperti ingin mengucap sesuatu—tapi tak jadi. Hanya tatapan, penuh isyarat yang tidak bisa dijelaskan.
Dan di seberang sana, pria itu seolah menahan dunia agar tidak berputar. Waktu terhenti di antara dua layar. Antara tubuhku yang setengah terbuka dan nafsunya yang sepenuhnya terlepas.
Tangannya terus mengocok, makin liar, seiring napas yang kini terdengar parau. Wajahnya memerah, dibasahi keringat yang mengalir dari pelipis hingga ke leher, seolah tubuhnya tak kuat menahan tegangan yang terus membuncah. Matanya tak berkedip, menatap layar dengan pandangan haus, seperti takut kehilangan satu detik pun dari pemandangan di hadapannya.
"Ya ampun non… kamu bener-bener bikin om.. gak tahan.. Desisnya, nyaris seperti gumaman orang yang larut dalam khayalannya sendiri.
"Jangan gerak dulu ya… tahan posisi itu. Om mau liat semuanya… sampai selesai.
Dan aku hanya diam di balik kamera, membiarkannya tenggelam dalam dirinya sendiri, sementara tubuhku yang belum sepenuhnya sadar akan apa yang sedang terjadi—masih duduk di sana… telanjang dalam sorotan mata seseorang yang terlalu lama menahan dahaga.
Semakin lama tubuhnya semakin menegang. Sebelah tangannya mencengkeram lutut, sementara yang lain tetap tak berhenti bekerja. Sebuah desahan berat lolos dari mulutnya.
Uuhnn.. om udaaah gak tahaaan non.. buruan deketin muka kamu kelayar.. biar om pejuin tuh muka cina kamu.. ssshh.. oough..
Aku menatap layar tanpa suara. Tak perlu dijelaskan apa yang baru saja terjadi. Dari ekspresinya, dari gerak tubuhnya yang lunglai, dari suara lirih yang nyaris tak terdengar, aku tahu, malam itu telah sampai pada ujungnya.
Lets play the game - HHH
BalasHapus