"Datang ke hotel jam delapan. Aku sudah siapkan semuanya. Jangan telat.
Namanya membuatku waspada tapi sekaligus penasaran karena Aldo adalah anak tunggal seorang pejabat tinggi yang memiliki koneksi hampir ke semua lini. Sejak remaja ia sudah terkenal nakal karena sering ikut balapan liar dan pesta yang berakhir kacau. Beberapa kali ia hampir tersangkut kasus kriminal namun setiap kali namanya muncul di berita, esoknya ia selalu hilang sehingga semua orang tahu alasannya. Kekuasaan keluarganya terlalu besar untuk diganggu.
Tapi itu bukan satu-satunya yang membuatku gelisah. Aldo punya kebiasaan seks bebas sehingga ia sering berganti pasangan dari model majalah, pramugari, sampai istri pejabat. Setiap fantasinya selalu terpenuhi, namun tetap ada yang kurang dalam dirinya karena ia selalu merasa tidak puas.
Kali ini ia ingin sesuatu yang berbeda karena bukan gadis yang biasa ia dekati yang membuatnya tertarik. Ia mencari seseorang yang polos dan lugu yang belum tahu dunia gelapnya. Seseorang yang tampak bersih, dan justru hal itu membuatnya semakin bergairah.
Aku pun memesan taksi online sementara hujan rintik semakin deras dan lampu jalan memantulkan cahaya di aspal basah seperti kaca retak. Tanganku gemetar ketika mengetik alamat hotel karena pikiranku sibuk bertanya-tanya apa yang sudah ia siapkan untukku malam ini.
Beberapa menit kemudian mobil taksi berhenti di depan trotoar dan aku membuka pintu. Hujan menetes di rambut dan bahuku sehingga aroma kabin mobil yang campuran parfum sopir dan udara lembab sedikit membuatku lega. Setelah pintu menutup, layar ponsel menampilkan estimasi sampai hotel lima belas menit.
Setiap detik di dalam mobil terasa panjang karena aku menatap kaca dan melihat pantulan diriku sendiri. Wajahku masih polos, rambut hitam panjang basah karena hujan, dan mataku tidak bisa menyembunyikan rasa takut sekaligus penasaran. Aldo menunggu disana dan aku sedang menuju ke dunia gelap yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Namaku Revia. Kasir di bar milik Aldo. Aku hanya gadis Chindo dari keluarga sederhana. Penampilanku selalu rapi dan sederhana. Blouse polos dipadu rok hitam selutut tanpa riasan berlebihan. Tapi banyak pelanggan yang bilang aku punya daya tarik sendiri. Mata sipit yang teduh, kulit putih mulus yang jarang kena matahari dan cara bicara yang halus. Belakangan ini Aldo sering datang ke meja kasir berpura-pura memeriksa laporan penjualan sambil menatapku lama. Ada tatapan yang membuatku gelisah, seperti seseorang yang sedang menyusun rencana.
Malam itu setelah bar tutup, dia mengirim pesan. Aku sempat ragu. Tapi entah kenapa, jariku tetap mengetik balasan singkat:
"Iya pak. Aku akan datang kesana.
Aku tiba di hotel mewah itu tepat pukul sebelas. Lobi terasa sunyi hanya aroma karpet mahal dan dentingan piano dari speaker. Petugas resepsionis langsung memanggil lift begitu Aldo menghubunginya. Pintu suite terbuka sebelum aku sempat mengetuk. Aldo berdiri di sana, mengenakan kaos hitam pas badan dan celana jeans gelap, senyum tipisnya membuatku merinding.
Di dalam ruangan, suasananya jauh berbeda dari suite hotel biasa. Lampu sorot kecil mengarah ke ranjang besar. Di sudut ruangan ada tripod kamera, meja kecil dengan botol wine, dan beberapa kain satin merah di lantai.
“Aku mau kita bikin sesuatu yang nggak akan pernah kamu lupakan, Rev,” katanya sambil mendekat.
Aku berdiri di dekat pintu, mencoba mengatur napas. “Maksudnya… bikin apa, pak?”
Dia tersenyum miring. “Film. Semacam JAV versi lokal.”
Aku mengerutkan kening. “JAV? Apa itu?”
Aldo menatapku beberapa detik, lalu tertawa kecil. “Kamu polos banget, ya. JAV itu singkatan dari Japanese Adult Video… film dewasa dari Jepang. Biasanya ada ceritanya, tapi intinya ya… adegan panas.”
Pipi dan telingaku langsung terasa hangat. “Terus… kenapa aku?”
“Karena kamu gadis Chinese. Kulit putih, wajah oriental, tapi tinggal di sini. Aku mau bikin konsep unik. Seorang gadis Chinese cantik yang masih lugu dikerjain oleh beberapa pria pribumi. Sesuatu yang belum pernah ada di sini. Dan aku mau kamu jadi bintang utamanya.
Aku terdiam. Kata-katanya meluncur santai, seolah ini ide proyek seni biasa. Tapi tatapan matanya tajam, seperti sedang mengukur keberanianku. Aku masih berdiri di dekat pintu, jantungku berdegup keras. Kata-kata Aldo menggantung di udara seperti kabut yang sulit kutepis.
“Aku… nggak pernah..
Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Aldo mengangkat tangannya, menyuruhku diam. Dia berjalan pelan ke arah meja kecil, menuangkan wine ke dua gelas kristal, lalu menyerahkan satu kepadaku.
“Duduk Rev.. kita coba bahas masalah ini pelan pelan saja. Suaranya terdengar lembut tapi ada nada perintah di dalamnya.
Aku menuruti kemudian duduk di sofa empuk berwarna merah sambil memegang gelas itu dengan tangan sedikit gemetar.
“Aku sudah tau kamu bakalan kaget. katanya sambil duduk di seberangku. “Tapi dengar dulu. Aku nggak nyuruh kamu telanjang di depan kamera tanpa alasan. Aku mau bikin film yang… beda. Konsepnya kuat. Ceritanya ada. Dan gadis chinese yang innocent seperti kamu akan kelihatan cantik sekali di dalamnya.
Aku menggeleng pelan. Tapi aku nggak bisa melakukan hal kayak gitu pak. Aku nggak biasa..
Aldo memotong. “Rev.. kamu kerja di bar sampai malam setiap hari. Gajimu cuma cukup buat bayar kos dan bantu keluarga. Aku tahu kamu kirim uang ke ibumu tiap bulan. Memangnya sampai kapan kamu mau hidup susah seperti itu terus ? Apa kamu tak ingin seperti gadis chinese lain yang suka liburan dan pamerin barang mewah dimedsos pribadinya.
“Kalau kamu ikut proyek ini,” lanjutnya, “aku bayar kamu lima kali gaji bulananmu. Dan santai aja, ini cuma buat koleksi pribadi. Nggak akan ada orang lain yang nonton kecuali aku sendiri.
Aku menatapnya, setengah tak percaya. “Kenapa aku merasa ini… seperti jebakan ?
Aldo tersenyum miring. “Karena memang aku sedang menjebak kamu… tapi untuk sesuatu yang bisa mengubah hidupmu.
Matanya menatap lurus ke dalam mataku, membuatku sulit berpaling. Aku merasakan hawa panas dari tubuhnya, aroma parfum mahal bercampur bau maskulin yang pekat. Ada rasa takut, tapi juga rasa penasaran yang mulai merayap pelan di dalam diriku.
Di belakang Aldo, kamera tripod itu berdiri diam seolah menunggu keputusan yang akan mengubah segalanya. Tanganku refleks ingin meraih segepok uang di atas ranjang. Tapi baru saja jemariku menyentuh karet pengikatnya, Aldo mengulurkan tangan dan menahan pergelanganku.
“Pelan-pelan, Rev,” katanya, senyumnya tipis tapi matanya tajam. “Uang itu memang buat kamu… tapi ada syarat kecil sebelum kamu bisa bawa pulang.”
Aku menelan ludah. “Syarat?”
Aldo duduk di sisi ranjang, dekat sekali denganku. Aroma parfum maskulin yang mahal menyelimuti hidungku. Dia mencondongkan tubuh, suaranya menurun seperti rahasia yang hanya boleh kudengar.
“Kita coba satu adegan sekarang. Nggak usah sampai… selesai. Anggap aja latihan,” ujarnya. “Kalau kamu cocok, uang ini jadi milikmu langsung. Dan kita lanjut di sesi berikutnya.”
Aku menatapnya, berusaha membaca ekspresinya. “Latihan… kayak apa?”
Dia tersenyum lebar, lalu berdiri dan mengambil kamera tripod itu. Dengan gerakan tenang, dia menempatkannya menghadap ranjang. “Kamu duduk di ujung kasur. Aku di depan kamu. Kita ngobrol biasa dulu, kamera nyala. Nanti… biar mengalir aja.
Aku bisa merasakan panas merayap ke wajahku. Bagian dari diriku ingin langsung keluar dari ruangan itu. Tapi bayangan dua puluh juta yang bisa membayar hutang rumah, memperbaiki atap bocor, dan memberi ibuku sedikit napas panjang, membuatku tetap duduk.
Aldo kembali duduk di hadapanku, menatapku dari dekat. Tangannya meraih sehelai rambutku, memainkannya di jari. “Santai, Rev. Aku nggak akan maksa… tapi kalau kamu mundur sekarang, uang itu langsung aku simpan lagi.”
Mataku kembali terpaku pada uang di ranjang. Hanya beberapa sentimeter dariku.
“Jadi, kamu mau ambil… atau biarkan aku menyimpannya kembali?” tanya Aldo pelan, sambil menggeser uang itu lebih dekat ke arahnya.
Jantungku berdebar keras. Napasku sedikit memburu, bukan hanya karena gugup, tapi juga karena situasi ini terasa seperti jebakan yang manis. Perlahan aku mengangguk.
Aldo tersenyum tipis, lalu memindahkan uang itu ke sisi ranjang, dekat dengan tempatku duduk. “Bagus. Santai aja, Rev. Anggap ini cuma ngobrol.”
Dia menyalakan kamera tripod, lampu indikator merah kecil mulai menyala. Rasanya seperti tatapan mata tambahan yang mengamati setiap gerakanku.
Aku duduk di ujung ranjang, kedua tanganku menggenggam ujung rok. Aldo duduk di depanku, jarak kami hanya sejengkal. “Kita mulai dari yang gampang,” katanya sambil menyenderkan siku di lututnya, tubuhnya condong ke arahku. “Lihat ke kamera… perkenalkan diri kamu. Cuma nama dan umur.”
Aku menatap kamera, bibirku kaku. “Re… Revia. Dua puluh dua tahun.”
“Bagus,” gumamnya. Tangannya lalu meraih lututku, menepuknya pelan. “Sekarang… coba lepas sedikit ketegangannya. Senyum. Ingat, uang ini udah di depan mata kamu.”
Aku mencoba tersenyum, walau terasa kaku.
Aldo lalu meraih bahuku, menarikku sedikit mendekat. “Kita latihan interaksi,” katanya. “Kamu duduk agak miring, menghadap ke aku. Jangan lihat kamera dulu.”
Aku menurut. Dia kini duduk begitu dekat, pahanya menyentuh pahaku. Tangannya mulai bermain di lenganku, pelan, seperti sedang mengukur reaksiku.
“Kalau di film jav itu, semuanya natural. Nggak usah dipaksain. Kita ngobrol… terus nanti kalau aku mulai pegang kamu, cukup ikutin aja. Jangan kaku,” bisiknya.
Aku mengangguk pelan, meski hatiku berdegup tak karuan.
Tangan Aldo mulai naik dari lenganku ke bahu, lalu menyentuh sisi leherku. Sentuhannya hangat, membuatku merinding. “Bagus…” gumamnya. “Kamu punya ekspresi polos yang susah ditemukan. Ini yang aku cari.”
Aku menelan ludah. Kamera terus merekam. Uang itu tetap tergeletak di ranjang, seperti umpan yang mengikatku di sini.
“Sekarang,” katanya sambil menatap mataku dalam-dalam, “kita coba satu adegan kecil… cuma sampai batas yang kamu mau. Setuju?”
Aku menatap uang itu sekali lagi, lalu kembali menatapnya.
“Setuju…” jawabku lirih.
Aldo tersenyum puas mendengar jawabanku. “Bagus… sekarang rileks aja.”
Dia meraih remote kamera dan menekan tombol zoom, membuat wajahku memenuhi layar kecil di samping tripod. Aku merasa seperti ditelanjangi oleh pandangan lensa itu.
Dia bergerak mendekat, tubuhnya kini hanya berjarak beberapa sentimeter. Tangan kirinya meraih ujung rambutku, memainkannya pelan, sementara tangan kanannya menepuk lembut pahaku. “Jangan tegang. Pura-pura aku ini cuma cowok yang kamu kenal lama.”
Aku mencoba tertawa kecil, tapi terdengar gugup. “Aku nggak biasa pak.
Aldo mencondongkan tubuhnya sedikit. “Makanya kita latihan… biar nanti kalau udah mulai beneran, kamu udah terbiasa. Gampang.”
Tangannya mulai bergerak naik di pahaku, jarinya menekan lembut kain rok yang tipis itu. Aku secara refleks merapatkan kaki, tapi dia malah tersenyum. “Kalau ditahan, malah keliatan kaku di kamera. Lihat aku…”
Aku menoleh. Pandangannya tajam, seolah menghipnotis.
“Nanti, adegannya akan banyak diambil dari sisi ini…” Dia menunjuk sudut kamera, “...biar ekspresi kamu keliatan jelas. Aku mau semua orang yang nonton nanti ngerasa kayak mereka sendiri yang ada di posisi aku.”
Kata-katanya membuat pipiku panas.
Dia menunduk, mendekatkan wajahnya ke leherku, tak sampai menyentuh, hanya membiarkan hembusan napasnya menyapu kulitku. “Lihat ke kamera, Rev,” bisiknya.
Aku menoleh ke arah kamera, merasakan jantungku berdegup makin keras. Tangannya kini bergerak lebih berani, mengelus pahaku dari lutut sampai mendekati pangkal.
“Bagus…” gumamnya. “Kamu nggak sadar ya, polos kamu itu bikin adegannya makin… hidup.”
Aku tak menjawab. Mataku hanya terpaku pada lensa kamera, sementara uang itu tetap tergeletak di ranjang di sebelahku — seakan terus mengingatkanku kenapa aku masih duduk di sini.
Aldo lalu berkata pelan, hampir seperti perintah, “Sekarang… coba rebahan pelan-pelan. Kita ambil angle lain.”
Aku menarik napas panjang, lalu menuruti. Aldo ikut bergeser, posisinya kini setengah berlutut di sampingku, satu tangan di bahuku, satu lagi di pahaku, siap mengatur gerakan berikutnya.
Aldo menatapku dari atas, matanya penuh rasa ingin memiliki. “Oke, sekarang kita coba posisi yang mirip kayak yang sering aku lihat di JAV… tapi versinya kita,” ujarnya sambil meraih kamera dan memutarnya sedikit agar sudutnya pas.
Dia menggeser dudukanku di ranjang, lalu tangannya mengangkat sedikit rokku hingga kainnya menumpuk di pinggang. “Biar kamera bisa dapet angle kaki kamu yang panjang,” katanya sambil tersenyum tipis.
Tangannya kemudian menekan perlahan bahuku, membuatku rebah setengah di ranjang dengan siku menopang tubuh. “Nah, gini. Liat, kalau kamu setengah miring gini, kamera bisa dapet bentuk pinggang kamu…”
Aku menelan ludah, merasa posisi ini terlalu terbuka. “Mas… ini udah kelewat, nggak sih?” tanyaku ragu.
Aldo tidak langsung menjawab. Dia hanya mengambil langkah mundur, melihat ke layar kamera, lalu mengangguk puas. “Nggak, ini pas. Angle-nya mantap.” Dia kembali mendekat, kali ini lututnya menekan sedikit bagian samping pahaku, membuatku tak punya ruang untuk bergerak.
Tangan kirinya memegang daguku, memiringkan wajahku ke arah kamera. “Ingat, tatap lensa, jangan aku,” bisiknya. “Biar yang nonton ngerasa kamu lagi ngelihat mereka.”
Aku menurut, tapi dari sudut mata, aku bisa melihat Aldo sedang menatap tubuhku, seperti sedang membayangkan sesuatu.
Dia lalu melangkah ke belakangku, meraih kedua pergelangan tanganku, dan menariknya pelan ke belakang tubuh. “Gini. Kalau nanti di adegan beneran, posisi ini bikin kamu keliatan nggak berdaya tapi manis. Paham?”
Aku menggeleng pelan, wajahku mulai panas. “Aku nggak ngerti… maksudnya nanti itu kayak gimana?”
Aldo hanya terkekeh. “Santai. Biar aku yang arahin. Kamu cuma ikutin.”
Kamera terus merekam, dan aku mulai sadar bahwa “latihan” ini sudah melewati batas latihan biasa. Aldo mendekat lagi, kali ini tubuhnya menempel di punggungku, napasnya terasa di telingaku.
“Rev…,” bisiknya pelan tapi jelas, “malam ini, kita mulai bikin versi pertama. Koleksi pribadi.”
Uang di ranjang masih tergeletak, dan entah kenapa, pikiranku mulai goyah.
Aldo meraih kamera dan meletakkannya di atas tripod kecil yang dia bawa khusus. Lensa diarahkan ke sisi ranjang, sudutnya rendah, seperti sedang mengintip dari bawah. “Oke, sekarang kita coba pose ‘tabletop’,” katanya sambil tersenyum miring.
Aku mengernyit. “Table… apa?”
“Tabletop,” jawabnya, lalu menepuk pelan bagian pinggangku. “Kamu merangkak di ranjang, tangan di depan, punggung rata kayak meja. Kakinya dibuka dikit.”
Aku menatapnya sebentar, mencoba memahami, tapi kemudian mengikuti instruksinya. Lututku menekan kasur, tanganku menyangga tubuh, pinggangku sejajar dengan ranjang.
Aldo berjongkok di belakangku, mengatur jarak lututku. “Nah, gitu. Liat, kalau posisi begini, bokong kamu jadi kelihatan sempurna di kamera.” Jemarinya menyusuri garis pahaku, lalu berhenti di pinggang. “Dan punggung kamu lurus banget… cakep.”
Aku mulai merasa degup jantungku tak terkendali. Uang yang tadi dia lempar masih berserakan di ranjang, sebagian menyentuh ujung jariku.
Aldo berdiri, memutar sedikit badanku agar menghadap setengah ke kamera. “Kalau di JAV, ini momen favorit. Angle-nya dapat, ekspresi dapat, tubuhnya juga.” Dia tersenyum, lalu mencondongkan tubuh di dekat telingaku. “Kita bikin lebih panas dari versi Jepang.”
Aku menelan ludah, separuh dari diriku ingin mundur, tapi separuh lagi… mulai penasaran.
Aldo lalu menekan tombol rekam di kamera. Lampu kecil di atas lensa menyala merah. “Oke Rev, jangan liat aku… liat kamera. Anggap kamu lagi bicara sama orang yang nonton.”
Aku mengikuti arahannya. Tatapanku terkunci pada lensa, dan di belakangku, Aldo sudah berada cukup dekat untuk kurasakan kehangatannya.
Aldo sudah berdiri tepat di belakangku, tubuhnya condong, tangannya memegang kedua sisi pinggangku seperti sedang mengatur posisi sebuah properti syuting. Kamera terus merekam, sudutnya menangkap lekuk tubuhku dari belakang dengan jelas.
“Bagus… jangan gerak dulu,” katanya pelan, suaranya berat. Jari-jarinya kemudian mulai bergerak naik, menyusuri pinggang hingga punggung bawahku, lalu turun lagi ke paha. Sentuhannya sengaja lambat, seperti ingin membuat setiap detik terekam penuh.
Aku mulai merasa tubuhku panas, napasku makin cepat. Uang yang masih berserakan di ranjang seperti jadi pengingat kenapa aku mau melakukan ini… untuk keluarga. Tapi ada sesuatu di dalam diriku yang mulai mengabaikan alasan itu, tergantikan rasa penasaran yang aneh.
Aldo menunduk, bibirnya hampir menyentuh telingaku. “Rev… bayangin aja, semua orang yang nonton nanti bakal iri sama gue.”
Aku menoleh sedikit, wajah kami hanya terpaut beberapa sentimeter. “Tapi… ini kan cuma buat koleksi pribadi, kan?”
Dia tersenyum tipis. “Iya… cuma buat gue. Nggak bakal keluar ke mana-mana.”
Tangannya lalu menekan punggungku sedikit, membuat bokongku terdorong ke belakang, mendekat ke tubuhnya. “Kita coba gerak dikit. Perlahan…”
Dia mulai mengayun pinggulnya, masih sambil memegangku, membuat tubuhku maju-mundur mengikuti iramanya. Kamera menangkap semua dari sudut yang ia inginkan.
Di kepalaku, aku tahu ini baru permulaan—Aldo masih akan mengatur pose-pose lain, seperti sutradara yang belum puas dengan satu adegan.
Aldo memutar kameranya ke arah samping, lalu menyuruhku berpindah posisi. “Coba miring ke kiri… kaki yang satu tekuk, yang satu lagi lurus. Nah, gitu. Bagus…”
Dia menata bantal di bawah pinggangku agar sudut tubuhku lebih terbuka ke arah kamera. Cahaya lampu kamar memantul di kulitku yang putih mulus, membuatnya terlihat lebih kontras di layar kamera.
Aldo menatapku lama, lalu berjalan ke arah ranjang, duduk di tepi, dan mulai melepas bajunya sendiri. Otot di tubuhnya bergerak halus saat ia menarik napas dalam, seperti menahan sabar.
“Rev… ini bukan cuma adegan biasa,” katanya sambil mendekat. “Gue mau semua gerakan kita kelihatan jelas. Kayak di JAV… cuma bedanya, ini lo yang jadi bintangnya.”
Aku menelan ludah, jantungku berdebar makin cepat. Saat ia sudah di sampingku, Aldo menahan pergelangan kakiku dan mengangkatnya tinggi, membuat paha bagian dalamku terekspos penuh.
“Bagus… tahan posisi ini,” bisiknya. Kamera di tripod merekam dari depan, sementara tangan Aldo mulai menyusuri kulitku dari lutut hingga ke pinggang.
Dia lalu naik ke ranjang, tubuhnya berada di antara kedua kakiku. “Kita mulai pelan,” katanya. Pinggulnya mulai bergerak maju, menekan perlahan, membuat tubuhku terdorong ke belakang mengikuti iramanya.
Suara napasnya terdengar berat di telingaku, tapi tetap teratur seperti seorang pemain yang sudah hafal ritme adegan. Tangannya sesekali menepuk pinggangku untuk mengatur tempo.
Aku mulai menggigit bibir, tubuhku mengikuti gerakan itu. Di sudut pandang kamera, aku bisa membayangkan bagaimana semua ini terlihat—nyata, dekat, dan tanpa sensor.
“Bagus, Rev… tahan matanya ke kamera. Senyum dikit…” Aldo mengatur, seperti sutradara yang tahu persis momen klimaks akan datang.
Aldo menarik napas panjang lalu berhenti sejenak, menatapku sambil menilai sudut kamera. Dia lalu meraih tripod, memutarnya sedikit agar mendapatkan bidikan dari bawah, tepat ke arah pertemuan tubuh kami.
“Gue mau coba angle ekstrem,” katanya, suaranya agak serak. “Biar semua gerakannya kelihatan jelas.”
Dia kemudian memintaku merangkak di tengah ranjang, lutut sedikit terbuka. Tangannya mendorong punggungku agar posisi tubuhku lebih menunduk, sementara pinggulku ia tarik sedikit ke belakang.
“Ya… pas,” gumamnya sambil tersenyum tipis. Dari posisi itu, aku bisa merasakan tatapannya menusuk di punggungku.
Aldo lalu berlutut di belakang, tangannya memegang erat kedua pinggangku. Saat ia mulai bergerak, tempo awalnya lambat, tapi tarikan di pinggang membuatku terdorong maju setiap kali ia menghujam. Kamera menangkap jelas ayunan tubuhnya, setiap hentakan terekam tanpa terlewat.
Suara napasnya makin cepat. “Tahan, Rev… tahan posisi,” desisnya. Tangannya sesekali berpindah ke bahuku, menekan ringan agar tubuhku tak goyah.
Gerakannya mulai liar. Suara benturan tubuh kami terdengar ritmis, bercampur dengan napas yang makin memburu. Aldo sesekali menunduk, bibirnya nyaris menyentuh telingaku. “Lo cocok banget buat film ini…” bisiknya, membuatku merinding.
Sampai akhirnya dia menahan gerak, menarik pinggangku lebih rapat, dan melolong panjang, tubuhnya bergetar di belakangku. Aku bisa merasakan seluruh tenaga yang ia lepaskan, sementara kamera di sudut ruangan merekam semua tanpa henti.
Aldo masih duduk di tepi ranjang, napasnya belum sepenuhnya teratur. Ia menatap layar kameranya sebentar, lalu tersenyum puas. "Bagus… tapi konsepnya belum lengkap.
Tangannya meraih ponsel, jemarinya mengetik cepat. Aku hanya bisa memperhatikan dari tempatku berdiri. Tak sampai lima menit terdengar suara ketukan pelan di depan pintu lalu disusul dua orang pria muda masuk ke kamar.
Yang pertama namanya Beni. Badannya agak gemuk tapi kelihatan kuat. Kulitnya legam, wajahnya bulat dengan senyum tipis yang bikin aku nggak nyaman.
Yang kedua, Fajar, badannya tegap, tegak lurus kayak tentara, rambutnya cepak rapi, sorot matanya tajam.
Aku masih duduk di tepi ranjang hotel dengan tubuh kaku sementara tanganku meremas sprei tanpa sadar. Jantungku berdetak makin keras begitu melihat mereka masuk.
“Rev, tenang aja,” ucap Aldo dengan nada santai, seolah semua ini hal biasa. “Ini kan bagian dari ide awal gue. Jav versi lokal itu biasanya ada adegan rame-rame… biar keliatan beda, lebih seru.”
Aku menelan ludah, bibir kering. Ingin protes, tapi suara tercekat di tenggorokan. Aldo langsung bergerak seperti sutradara. Kamera digeser, lampu meja diputar ke arah ranjang, tripod ditaruh pas menghadap ke kasur. Suasana kamar berubah seketika, lebih terang, lebih terbuka. Rasanya kayak ruangan ini bukan lagi milikku.
Dia lalu berdiri di sampingku, jaraknya sangat dekat. Tangannya menempel di daguku, mengangkat wajahku supaya menatap matanya. “Inget ya, ini cuma buat koleksi pribadi. Semua file gue yang simpen. Jadi lo gak usah takut.”
Aku hanya bisa mengangguk pelan. Badan terasa kaku. Perasaan bercampur—antara takut, deg-degan, tapi juga ada rasa penasaran yang sulit kujelaskan.
Beni sudah duduk di tepi ranjang, perutnya agak maju ke depan saat ia menepuk-nepuk kasur, memberi isyarat agar aku mendekat. Fajar masih berdiri di sudut ruangan, bersandar santai di dinding, dada bidangnya kelihatan jelas dari kaos ketat yang ia pakai. Matanya tak lepas dari gerak-gerikku.
Aldo memulai pengambilan gambar, mengarahkan kami seperti seorang pelukis mengatur kanvasnya. Beni memposisikan diriku duduk di pangkuannya, membelai perlahan seolah ingin membangun adegan secara bertahap.
“Pelan-pelan dulu,” ujar Aldo. “Gue mau semua ekspresinya dapet… setiap detik harus hidup.”
Lampu kamar terasa lebih panas, bukan hanya karena bohlam, tapi juga suasana yang makin pekat. Kamera mengabadikan setiap gerakan, dan aku tahu, setelah ini, tidak ada jalan untuk kembali ke kehidupan lamaku yang polos.
Beni menarik tubuhku lebih dekat, lalu memutar posisiku hingga aku duduk menghadap ke kamera, punggungku bersandar pada dadanya. Kedua kakinya menjepit pinggangku dari belakang, sementara tangannya merayap pelan ke bagian-bagian yang membuat napasku terhenti sejenak.
Aldo berdiri di sisi kiri, memastikan kamera menangkap angle terbaik. “Bagus… tahan posenya,” katanya, sambil sesekali menunduk untuk melihat layar.
Fajar bergerak ke depan, berlutut di tepi ranjang. Ia meraih kedua kakiku, mengangkatnya hingga lututku hampir menempel ke dadaku. Posisi itu membuat tubuhku sedikit melengkung, dan Beni memanfaatkan momen untuk memegangku lebih erat dari belakang.
“Perfect,” ucap Aldo, nadanya puas. “Lihat kamera, Rev…”
Aku mengangkat dagu, menatap lensa yang seakan membakar kulitku. Rasa malu mulai bercampur dengan sesuatu yang lebih sulit kuakui: sensasi aneh yang merayap perlahan di tubuhku.
Beni memacu ritme dari belakang, tubuhnya bergerak mantap, sementara Fajar sesekali menyentuhku dari depan, membuatku sulit menahan desahan.
Aldo terus mengarahkan, matanya tak lepas dari layar. “Yes… tahan… sedikit lagi… Gue mau ekspresinya keluar semua.”
Suara napas berat bercampur dengan bunyi kasur yang berderit. Lampu kamar terasa makin panas, dan aku tahu Aldo mendapatkan semua yang dia mau—setiap detik, setiap gerakan, terekam jelas untuk jadi “koleksi pribadi” yang tak ternilai baginya.
Aldo menaruh kameranya di tripod, memastikan sudutnya tepat. “Oke… sekarang giliran gue,” katanya sambil melepaskan kaosnya. Otot di dadanya tegang, matanya tak lepas menatapku seperti seekor predator yang akhirnya turun sendiri ke arena.
Beni mundur perlahan, memberi ruang. Fajar masih menahan kedua kakiku di udara, membuat pinggulku terekspos sepenuhnya di bawah cahaya lampu. Aldo naik ke ranjang, lututnya menekan kasur di antara kaki yang masih berada di genggaman Fajar.
"Amoy kayak lu emang lebih hot kalau dipake rame rame. Ini impian gue daridulu. ucapnya pelan tapi penuh tekanan.
Gerakannya dimulai dengan ritme pelan, teratur, seakan ingin memastikan setiap sodokan penisnya terasa jelas dikemaluanku. Tapi tak lama kemudian, iramanya berubah. Kali ini terasa lebih dalam, lebih keras, dan penuh tekanan. Hentakannya membuatku terengah diatas ranjang sementara dadaku naik turun tanpa kendali.
Aldo menunduk mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajahku. Aku bisa merasakan hangat napasnya menerpa kulitku yang sudah basah oleh keringat. Tatapan matanya menusuk, membuatku sulit membedakan apakah ini sekadar permainan atau sebuah penguasaan penuh.
Aku hanya bisa pasrah sambil menggigit bibir. Separuh tubuhku menahan rasa sakit dan separuh lagi terhanyut oleh sensasi yang tak bisa kusebutkan.
Suara kasur berderit makin keras, Beni ikut merapat di sisi, menonton sambil sesekali menyentuhku dari samping. Fajar tetap memegangi kakiku, memastikan posisiku terbuka lebar untuk Aldo.
Ia menekan tubuhnya semakin rapat, setiap hentakan diiringi erangan tertahan yang keluar dari kerongkongannya. Sampai akhirnya, suaranya pecah—sebuah lolongan panjang, rendah, penuh pelepasan—mengisi kamar yang sempit itu.
Tubuhnya menempel erat padaku, keringatnya mengalir di kulitku. Aku terdiam, dada masih naik turun cepat, hanya bisa mendengarkan gema desahku sendiri yang belum reda, bercampur dengan sisa napas tertahan darinya. Sensasi hangat itu memenuhi diriku, membuat denyut di dalam tubuhku seolah masih bergetar meski semuanya sudah terhenti.
Aldo tersenyum puas, memegang daguku agar aku tetap menatapnya. “Sekarang lo udah resmi masuk dalam koleksi pribadi gue.Tak lama kemudian Aldo bangkit perlahan, tapi matanya belum lepas dariku. “Kita belum selesai,” katanya sambil meraih kamera, memindahkannya ke sudut lain agar merekam lebih jelas. “Gue mau semua posisi terekam… biar lengkap.
Dia menoleh ke Beni dan Fajar. “Sekarang kalian berdua barengan.”
Aku terbelalak. “Barengan?” suaraku nyaris berbisik.
Kulihat Aldo tidak ikut tapi dia malah duduk di kursi dekat ranjang. Tangannya sibuk memegang kamera, memutar lensa, mencari sudut yang paling jelas. Sesekali terdengar bunyi kecil dari tombol kamera yang membuat suasana didalam kamar hotel makin tegang.
Tubuhku ditarik pelan oleh Fajar sampai aku duduk bersandar di dadanya. Kedua lenganku langsung dikaitkan di antara lengannya, seolah aku dipeluk dari belakang tapi sebenarnya terjebak. Nafasnya terdengar berat di samping telingaku lalu dia berbisik rendah. "Santai aja, Rev… nanti lo bakal ngerasain hal yang belum pernah lo bayangin.
Mendengar perkataannya Aku langsung menggigit bibir. Bingung harus menolak atau mengikuti. Jantungku berdebar terlalu kencang sementara tanganku makin kuat meremas sprei.
Beni di depan mendekat, wajah bulatnya basah oleh keringat, senyum tipisnya bikin aku makin salah tingkah. Tangannya menangkup pipiku, menahan agar aku menatap matanya. Pandangannya tajam, seperti mau menelan habis.
Gerakannya pelan di awal, seakan sengaja memberi waktu agar aku menyesuaikan. Tapi begitu Fajar di belakang mulai bergerak, irama mereka langsung berubah. Dorongan dari depan dan belakang datang bergantian, membuat tubuhku terombang-ambing di tengah.
Aku tak bisa berbuat banyak, hanya bisa mendengar suara napas kasar mereka bercampur dengan desahanku sendiri. Ruangan kamar hotel yang sempit itu mendadak penuh dengan suara tubuh, berat, berulang, dan makin lama makin sulit diikuti oleh pikiranku.
“Liat tuh, natural banget reaksinya,” Aldo bergumam sambil tersenyum puas, suaranya jelas terekam.
Aku mencoba menahan suara, tapi mustahil. Setiap dorongan membuatku mengerang, nafas terputus-putus. Beni menunduk untuk mencium bibirku, sementara Fajar semakin dalam dari belakang.
Di tengah ritme yang kacau tapi intens itu, aku menyadari satu hal—Aldo sedang menikmati bukan cuma dari kameranya, tapi juga dari kepuasan melihatku tak lagi bisa menolak.
Fajar menahan pinggangku, menarikku lebih rapat ke arahnya. Dorongannya makin dalam, membuatku terdorong ke depan hingga hampir menabrak dada Beni. Beni meraih rambutku, menariknya lembut sambil menatap mataku yang mulai berkaca.
Aldo bangkit dari kursinya, kamera masih di tangan. “Gue nggak mau cuma jadi penonton,” ucapnya sambil meletakkan kamera di tripod. Dia naik ke ranjang, mengambil posisi di sampingku.
Dengan cekatan, dia memegang daguku dan memutar wajahku ke arahnya. Bibirnya menempel kasar, ciumannya penuh rasa memiliki. “Sekarang… gue mau ngerasain juga,” katanya dengan suara rendah.
Aku masih bersandar di dada Fajar, tubuhku terkunci oleh lengannya yang kuat. Nafasnya berat di telingaku, membuatku makin susah mengendalikan diri.
Aldo berlutut di hadapanku, matanya lurus menatapku. Tangannya menekan pelan daguku agar aku mendongak. “Isepin punya gue, Rev,” katanya pelan tapi tegas, suaranya nyaris seperti perintah. Aku sempat terdiam, tapi kemudian dia sendiri yang mengarahkan miliknya ke bibirku.
Aku menggeleng kecil, ragu, tapi Fajar di belakang menahan tubuhku lebih erat, seolah memaksa agar aku tak punya pilihan. Nafasku tercekat, dada naik turun cepat.
“Cepet, Rev… lu mau uang itu kan. Bisik Aldo lagi tapi kali ini dengan nada lebih keras.
Mulutku akhirnya terbuka, setengah sadar, setengah karena tak mampu melawan. Tubuhku benar-benar terhimpit di antara mereka. Dari belakang, Fajar tetap menekan, membuatku sulit bergerak, sementara di depan Aldo terus mengatur ritme hentakan penisnya mencoba menguasai setiap gerakan yang ada.
Rasanya hangat, keras dan tak ada jeda. Semua hujaman penis mereka bertumpuk jadi satu, membuatku hanya bisa merintih tertahan, suaraku terputus-putus di antara nafas yang semakin memburu.
Gerakan mereka makin cepat, sinkron, membuatku terhuyung di tengah. Suara ranjang berderit, napas memburu, dan aroma keringat bercampur di udara.
Aldo menunduk di telingaku, berbisik, “Gue bakal ingat momen ini selamanya… dan lo juga nggak akan lupa.
Beni, yang semula mundur, kini berdiri di samping ranjang, satu tangannya mengelus pipiku, seolah menikmati ekspresi yang sudah tak mampu kutahan. “Liat tuh, Do… dia udah pasrah banget,” ujarnya sambil tersenyum miring.
Aldo tertawa pendek, lalu mengatur posisiku agar sedikit miring, membuatku bisa menatap kamera sekaligus menampakkan lekuk tubuhku dari sudut terbaik. “Gue pengen hasil rekamannya maksimal. katanya sambil mempercepat gerakannya.
Fajar menunduk di belakangku, napasnya panas di telingaku. “Sebentar lagi gue keluar…” suaranya bergetar menahan klimaks. Dia menghentak dua kali lebih dalam, lalu menahan tubuhnya rapat menempel di punggungku, melolong pelan saat mencapai puncaknya.
Aldo tak mau kalah. Dia memacu tubuhnya tanpa henti, genggamannya di pinggulku semakin kuat. Matanya terpejam rapat, rahangnya menegang, lalu dengan desahan panjang dia juga melepaskan semuanya. Hangat yang membanjir terasa membuat tubuhku kaku sejenak.
Beni hanya tertawa melihatku terkulai di antara mereka. “Nanti giliranku terakhir… biar lo bener-bener nggak bisa jalan pulang, Rev.”
Beni maju mengambil alih, menepuk pelan pahaku yang masih terkulai di pinggiran ranjang. "Ayo.. Bangun lonte… sekarang waktunya lu puasin kontol gue.. Suaranya terdengar kasar dan tatapan matanya menyala penuh nafsu.
Beni menarik tubuhku sampai ke tepi ranjang. Aku kini setengah berbaring dengan punggung menempel pada kasur, sementara kedua kakiku diangkat tinggi dan disandarkan di bahunya. Posisi itu membuat tubuhku benar-benar tak bisa bergerak, seluruhnya terbuka di hadapannya.
Aldo sudah mengenakan celananya kembali, duduk di kursi agak menjauh. Kamera ada di tangannya, diarahkan tepat ke arah kami. Sesekali ia memiringkan sudut pengambilan gambar, lalu menunduk sedikit untuk memastikan fokusnya tepat.
“Pas banget, Rev… angle dari sini jelas semua,” ucapnya dengan nada puas, suaranya terdengar di sela bunyi klik kecil dari kameranya.
Beni tidak menoleh, matanya hanya tertuju padaku. Kedua tangannya menahan kuat pahaku agar tetap di posisinya, sementara bahuku serasa tertekan oleh berat tubuhnya yang mendekat. Nafasnya kasar, semakin dekat hingga wajahnya hanya beberapa jengkal dariku.
Aku menggenggam sprei erat, dada naik turun cepat. Rasanya terhimpit, tak bisa melawan, sementara setiap gerakanku direkam oleh Aldo dari kursinya.
Tubuhku terombang-ambing mengikuti irama yang makin cepat. Kamera di meja merekam setiap tarikan napas, setiap tatapan mata, dan setiap desahan yang lolos tanpa sadar. Aldo tertawa kecil, lalu mengambil segelas minuman dan meneguknya sambil berkata, “Inget, ini buat koleksi pribadi. Gue mau bisa nonton ini kapan pun gue mau.”
Beni mulai kehilangan kendali, hentakannya makin keras hingga aku hampir terdorong ke belakang. Dengan desahan panjang, dia memacu tubuhnya sampai akhirnya menahan diri rapat, lalu melepaskan semuanya tanpa sisa. Hangatnya kembali membanjiri tubuhku, membuatku hanya bisa terpejam lemas.
Suasana kamar dipenuhi aroma keringat, napas berat, dan senyum puas ketiga pria itu. Aldo menutup kamera, lalu memandangku lama. “Rev… ini baru permulaan. Gue bakalan bikin seri kedua yang lebih gila.
Aldo berdiri dari kursinya, menghampiriku sambil merapikan kancing kemejanya. Dia mengambil selembar handuk kecil dari meja dan melemparkannya padaku.
“Bersihin dulu, Rev. Gue nggak mau lo pulang dengan bekas… kita semua masih nempel gitu aja.”
Nada suaranya santai, tapi di balik itu aku bisa merasakan tatapan puasnya yang tak berusaha ia sembunyikan.
Aku duduk di tepi ranjang, menunduk, mencoba menenangkan napas. Kakiku terasa berat, lututku sedikit bergetar. Sementara itu, Beni sudah membongkar tripod kamera, memindahkan file ke laptop Aldo. “Udah aman, Do. Semua tersimpan rapi. Full HD,” katanya sambil tersenyum puas.
Aldo berjalan ke lemari, mengambil sebuah amplop tebal, lalu meletakkannya di atas meja kecil di sampingku. “Ini… janji gue. Dua puluh juta, semua cash. Anggap aja bayaran untuk… debut lo.”
Mataku sempat terpaku pada amplop itu. Angka sebesar itu cukup untuk melunasi sebagian hutang ibuku di kampung.
Namun di saat yang sama, perasaan lain mulai menggerogoti dadaku—campuran antara malu, bingung, dan… entah kenapa, sedikit berdebar mengingat tatapan intens Aldo sejak pertama kali dia mendekatiku di bar.
“Rev…” Aldo memanggil pelan, lalu duduk di sampingku. Tangannya yang hangat menepuk pelan pahaku. “Kalau lo mau, gue bisa bikin lo hidup enak. Nggak perlu balik lagi kerja kasir. Tinggal ikut gue, lo bakal dapet semua yang lo mau.”
Aku menelan ludah. Kata-katanya seperti jebakan emas—mengkilap, tapi terasa berbahaya.
Beni dan Fajar sudah membereskan semua peralatan. Mereka pamit, meninggalkan aku berdua saja dengan Aldo di kamar yang kini terasa terlalu sunyi.
Aldo tersenyum tipis, lalu berkata, “Gue rasa lo bakal balik lagi, Rev. Dan gue nggak sabar nunggu hari itu.”
Aku hanya diam, menatap amplop di atas meja. Di kepalaku, dua suara bertarung—yang satu memintaku menjauh, yang lain… mulai penasaran seperti apa rasanya jika aku kembali.
Aku memasukkan amplop itu ke dalam tas, langkahku terasa berat ketika meninggalkan apartemen Aldo. Malam di luar masih riuh, lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kuning di atas aspal yang basah oleh hujan sore tadi.
Di dalam taksi, aku duduk diam sambil memeluk tas erat-erat. Kepalaku penuh dengan suara-suara. Gambar-gambar yang baru saja terjadi terus berputar—tatapan mata Aldo yang penuh kendali, suara tawa Beni dan Fajar, juga rasa hangat di kulitku yang entah kenapa sulit dilupakan.
Kontrakan mungilku di gang sempit itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Begitu pintu tertutup, aku langsung menjatuhkan diri di kasur. Tas kuletakkan di samping bantal, dan dari dalamnya, amplop itu seperti memanggil-manggil.
Kubuka perlahan. Lembaran-lembaran uang seratus ribuan tersusun rapi, aromanya khas—bau kertas dan sedikit wangi parfum yang mungkin menempel dari tangan Aldo. Dua puluh juta. Jumlah yang selama ini seperti mustahil aku dapatkan dalam waktu singkat.
Tapi semakin lama kutatap, semakin berat rasanya di dada. Ada perasaan bersalah, tapi juga… sebuah rasa yang tak mau kuakui: penasaran. Penasaran seperti apa rasanya kalau aku kembali—lebih siap, lebih berani.
Ponselku tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk dari Aldo.
“Tidur yang nyenyak, Rev. Jangan lupa… gue tunggu untuk part dua.”
Aku memandang layar ponsel lama sekali sebelum akhirnya mematikannya. Tapi kata-katanya tetap tinggal di kepala.
Malam itu aku memejamkan mata, tapi bayangan wajahnya, suaranya, dan tatapan tajamnya tak juga hilang. Dan entah kenapa, di sudut hatiku, ada sedikit rasa… menunggu.
aav yang bikin tegang
BalasHapus