Langsung ke konten utama

Pengakuan Cici Pik

By : Analconda13

Namaku Marcelline Huang. Umurku sudah dua puluh enam tahun. Orang-orang di lingkaran sosialku biasa memanggilku Cici PIK. Julukan itu bukan tanpa alasan: aku memang lahir dan besar di Pantai Indah Kapuk. Sebuah komplek perumahan yang lebih mirip etalase gaya hidup daripada tempat tinggal. 

Jalanannya lebar dan sepi tapi tiap rumah berusaha saling pamer: lingkungan asri, lampu taman yang menyala sepanjang malam meski jarang ada tamu, garasi penuh mobil impor yang jarang keluar karena lebih sering dipajang daripada dipakai. Rumahku sendiri bercat putih dengan balkon kaca menghadap jalan, sekadar dekorasi tambahan biar tetangga tahu kalau keluarga Huang masih mampu ikut tren arsitektur.

Aku pun tumbuh sesuai habitat itu: terbiasa brunch di kafe yang menata piring lebih cantik daripada isi makanannya, terbiasa nongkrong sambil membicarakan liburan ke luar negeri seolah-olah Bali sudah terlalu lokal dan terbiasa dipanggil cici oleh orang-orang yang setengah menghormati setengah mengejek. Di dunia kecilku, status sosial lebih penting daripada arah hidup. Dan jujur saja, kadang aku pun bingung apakah aku benar-benar Marcelline atau hanya sekadar Cici PIK  yang merupakan maskot tak resmi dari gaya hidup serba pamer di komplek ini.

Orang-orang melihatku dari luar seakan sempurna. Kulit putih mulus, tubuh langsing dengan lekuk kontras, selalu tampil dengan tas branded dan mobil mewah. Tapi ada satu rahasia yang tak pernah aku ceritakan pada siapapun: aku hiperseks dan aku eksibisionis.

Mungkin semua ini berkembang karena aku terlalu bebas. Orang tuaku jarang ada di rumah. Mereka terlalu sibuk mengurus perusahaan keluarga, sebuah bisnis importir barang dari Tiongkok. Hampir setiap bulan mereka terbang keluar negeri untuk urusan pameran dagang atau bertemu supplier. Hasilnya? Rumah besar itu hanya berisi aku dan beberapa ART yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Lingkungan komplek PIK tempatku tinggal memang unik. Rumah-rumahnya didesain modern tanpa pagar, hanya halaman terbuka berumput hijau. Dari jalan, siapa pun bisa langsung melihat fasad rumah dengan jendela-jendela lebar dari kaca bening. Siang hari tampak megah tapi malam hari… justru memberi panggung bagi rahasiaku.

Aku terbiasa membiarkan tirai kamarku terbuka. Kaca jendela di lantai dua itu sangat besar hampir memenuhi setengah dinding. Jika lampu kamar menyala, pemandangan di dalam bisa terlihat cukup jelas dari luar. Dan aku sengaja membiarkannya begitu.

Pernah suatu malam, aku membawa seorang teman pria ke kamarku. Nafsu yang menumpuk tak perlu waktu lama untuk meledak. Bibir kami bertaut rakus, tubuhnya menindihku di ranjang. Suara napasku berat, tubuhku bergetar. Dan yang paling membuatku semakin panas adalah karena aku tahu semua ini terjadi tepat di depan jendela kaca besar dengan tirai yang sengaja tak kututup.

Aku sempat melirik ke arah jendela. Dari luar sana, siapa pun yang kebetulan lewat di jalan depan atau bahkan satpam ronda bisa saja menangkap bayangan kami dengan jelas. Tubuhku yang setengah telanjang, gerakan kami yang tak teratur membuat semuanya tampak tanpa penghalang.

Temanku seolah tidak peduli, atau mungkin dia sengaja ikut terbawa fantasi liarku. Tangannya semakin berani, mulutnya menjelajahi kulitku, sementara aku justru merasakan sensasi ganda: kenikmatan dari tubuhnya, dan degupan liar dari kemungkinan ada mata lain yang menonton pertunjukan ini dari luar.

Saat itu aku benar-benar merasa hidup. Bukan hanya bercinta tapi juga bermain dengan batas, antara rahasia dan pameran.

Tubuhku makin panas ketika teman priaku yang belum lama kukenal dari sebuah klub malam ternama mulai menindihku, mencumbu leherku tanpa henti. Suara napas kami berpadu dengan gesekan sprei satin. Semua terjadi di ranjangku yang besar, dan ranjang itu berada tepat di sisi jendela kaca lebar yang hampir memenuhi dinding.

Lampu kamar menyala terang, tirai sengaja tidak kututup. Dari luar, siapapun bisa langsung melihat ke dalam kamar: bayangan tubuhku yang hanya berbalut sisa pakaian tipis, gerakan kami yang semakin liar di atas ranjang. Tidak ada yang menghalangi, yang ada hanya kaca bening dan cahaya terang.

Awalnya hanya fantasi di kepalaku. Tapi malam itu, sesuatu benar-benar terjadi. Aku menangkap sosok berdiri di depan halaman. Di tepi jalan, tepat di bawah pohon kecil yang jadi pemisah antar rumah. Dia pura-pura menunduk menatap ponselnya, tapi sesekali matanya jelas terangkat, menatap ke arah jendela kamarku.

Degup jantungku semakin kencang. Itu bukan lagi bayangan, bukan khayalan. Ada orang yang benar-benar menonton pertunjukan kami.

Aku merasakan tubuhku bergetar dengan cara yang berbeda. Antara takut ketahuan dan gairah yang justru semakin menyalakan seluruh sarafku.

Temanku menyadari kalau aku terus melirik ke arah jendela. Ia ikut menoleh sebentar, lalu tersenyum samar. 

"Biarkan dia menikmati pertunjukan ini Line. bisiknya pelan di telingaku.

Aku menggigit bibir, tidak menjawab. Tapi aku tidak menutup tirai. Tidak memindahkan tubuhku. Justru aku semakin menempel padanya, membuat gerakan kami semakin jelas terlihat dari sisi jendela besar itu.

Dari ekor mataku, aku tahu sosok di luar masih berdiri. Diam, tidak pergi. Hanya menjadi penonton diam-diam di tengah malam, seakan terhipnotis oleh bayangan kami di balik kaca.

Dan aku… menikmatinya.

Rasanya seperti ada dua kenikmatan yang berlapis: tubuhku dipenuhi sensasi hangat dari cumbuan temanku, sementara hatiku dipenuhi adrenalin liar karena tahu aku sedang mempertontonkan tubuhku sendiri kepada seseorang yang asing.

Semakin lama, aku bahkan sengaja menekuk tubuhku ke arah jendela, mengeluarkan desahan lebih keras, seolah ingin memastikan bayangan di luar sana mendengar, melihat, dan tidak bisa mengalihkan pandangan.

Tubuhku makin panas ketika temanku menindihku di ranjang. Semua terjadi di sisi jendela kaca besar yang menghadap langsung ke jalan perumahan. Lampu kamar menyala terang, tirai sengaja terbuka. Dari luar, siapa pun bisa saja melihat kami dengan jelas.

Desahanku makin keras, dan mungkin itu sebabnya dia memutuskan mengubah posisi. Dengan senyum nakal kemudian teman priaku menarik tubuhku bangkit dari ranjang.

"Kamu suka dijadiin tontonan kan.. Bisiknya sambil menuntunku ke arah jendela besar.

Aku menurut, meski jantungku berdebar lebih cepat. Kami berdiri hanya beberapa langkah dari kaca bening itu. Aku sedikit membungkuk, telapak tanganku bertumpu pada kaca jendela tebal, wajahku nyaris menyentuh pantulan bayangan sendiri. Dari luar, pasti tampak begitu jelas: tubuhku yang terekspos di bawah cahaya kamar, posisiku yang menantang.

Temanku mengambil posisi berdiri tepat di belakangku. Kedua tangannya mencengkeram pundakku erat, tubuhnya menempel rapat dan gerakannya mulai ritmis dari belakang.

Aku terengah dan tubuhku bergetar. Dari pantulan kaca, aku bisa melihat ekspresiku sendiri dengan mata setengah terpejam, bibir terbuka, rambut berantakan. Dan lebih dari itu, aku tahu ada sosok di luar sana yang masih berdiri di halaman sambil menyaksikan semua ini.

Rasanya gila. Setiap hentakan keras dari belakang bercampur dengan degupan liar karena aku sadar tubuhku benar-benar jadi tontonan. Aku bahkan sengaja membiarkan tubuhku sedikit bergoyang ke arah jendela seakan memberi pemandangan lebih jelas.

Tangannya menekan pundakku lebih kuat, menahan tubuhku tetap dalam posisi membungkuk. Nafasku memburu, sementara dalam hati aku berteriak: jangan pergi, lihat aku terus, lihat semua ini…

Malam itu, aku benar-benar kehilangan batas antara fantasi dan kenyataan. Tanganku masih bertumpu pada jendela kaca kamarku. Tubuhku sedikit membungkuk, wajahku menatap bayangan sendiri di kaca bening itu. Temanku yang berdiri dan memompa di belakangku terus bergerak ritmis, tangannya menekan pundakku erat, membuatku tak bisa lari dari posisi itu.

Dan di luar sana, aku melihatnya lebih jelas. Bukan lagi sekadar sosok samar. Lampu jalan perumahan membuat wajahnya tampak cukup nyata. Seorang pria, berkaus polo lusuh, celana hitam, dengan tubuh sedikit lelah—aku mengenalnya. Dia adalah sopir salah satu tetanggaku yang rumahnya dua blok dari sini.

Malam itu rupanya ia baru saja memarkir mobil majikannya. Mungkin hendak pulang ke rumah kontrakannya di belakang komplek perumahan ini. Tapi langkahnya terhenti ketika matanya tak sengaja menangkap pemandangan di jendela kamarku.

Dan ia… tidak pergi.

Dia berdiri di bawah pohon kecil, pura-pura sibuk dengan ponselnya, padahal matanya terpaku ke arah kaca besar di lantai dua ini.

Degup jantungku makin keras. Aku tahu benar siapa dia, seorang sopir tetangga, pria sederhana yang setiap pagi biasa kulihat menyiram mobil majikannya. Kini, malam-malam, ia jadi penonton diam-diam pertunjukan rahasiaku.

Tubuhku gemetar bukan karena takut, tapi karena sensasi yang tak bisa kujelaskan. Temanku di belakangku masih bergerak kuat, membuatku terdorong semakin menempel pada kaca. Dari sudut pantulan, aku bisa melihat wajahku sendiri yang basah keringat, rambutku berantakan, dan tepat di luar sana ada mata seorang pria asing yang menyerap semua itu.

Aku bisa saja menutup tirai. Bisa saja menghentikan semuanya. Tapi aku tidak melakukannya.

Justru aku sengaja sedikit menoleh, membiarkan wajahku terlihat dari luar, membiarkan pria itu tahu bahwa aku sadar sedang ditonton.

Sejenak mata kami bertemu. Memang hanya sekilas dari jarak puluhan meter tapi cukup untuk membuat darahku mendidih.

Tanganku masih bertumpu pada jendela kaca besar, tubuhku membungkuk, sementara temanku semakin keras menghentak dari belakang. Nafas kami berpacu, bercampur dengan suara ranjang yang berderit pelan menempel ke dinding kaca.

Aku tahu, di luar sana, sopir tetangga masih berdiri di bawah pohon. Sosoknya nyaris tak bergerak, hanya sesekali bergeser seakan ingin mencari sudut pandang lebih jelas.

Tubuhku bergetar, bukan hanya karena desakan temanku, tapi juga karena kesadaran bahwa semua ini benar-benar ditonton. Setiap gerakan pinggulku, setiap lenguhan yang keluar, setiap tetes keringat yang mengalir di punggungku—semua tersaji bagai pertunjukan terbuka di balik jendela besar tanpa tirai.

“Lihat ke kaca Line.. bisik temanku di telingaku sambil mencengkeram pundakku semakin kuat sementara penisnya dihujam hujamkan lebih cepat lagi.

Aku menuruti. Mataku menatap pantulan tubuh kami di kaca bening itu. Rambutku berantakan, bibirku setengah terbuka, wajahku memerah. Aku bisa melihat sosoknya di belakangku, tubuh kami bergerak seirama. Dan lebih gila lagi—dari sudut pantulan samar, aku tahu ada mata lain di luar sana yang sedang menonton adegan panas ini tanpa berkedip.

Gelombang itu makin tak terbendung. Ruangan hanya diterangi lampu redup dari sudut kamar, membuat bayangan tubuh kami menari di dinding. Nafasku sudah kacau, terputus-putus, sementara keringat menetes di pelipis dan leherku.

“Hhh… ahh… haah… lebiih… cepat… lagi.. suaraku lirih, patah-patah, setengah memohon, setengah menyerah pada derasnya arus yang menggulungku.

Kedua tangannya yang kekar merangkul pinggangku erat, menahanku seolah tak mau memberi celah sedikit pun. Gerakannya membuatku kian sulit bernapas tapi justru dari sana suaraku pecah lagi.

“Mmhh… guuuee… nggak… tahan…

Detak jantungku berpacu, kencang, terdengar sampai ke telinga sendiri. Setiap hentakan membuat tubuhku seperti terbakar, dan bibirku tak bisa lagi menahan suara.

“Hhh… yaa… aahh… di situ… ahh.. 

Tanganku mengepal dan menggigit bibir, namun tetap saja keluar desahan tertahan yang kian meninggi. Tubuhku bergetar, mataku terpejam rapat, seolah seluruh kesadaranku hanya tersisa pada satu titik nikmat diliang kemaluanku saja.

“Mmhh… leeebih… cepattt… aahh…  guuee… keluar…

Puncaknya datang dalam sekejap. Tubuhku yang dalam posisi berdiri menungging didepan jendela kaca bergetar hebat. Nafasku rasanya seperti terputus sesaat lalu lebur dalam gelombang yang membuatku benar-benar kehilangan kendali. 

Ia pun berusaha menyusulku, mengerahkan sisa tenaganya. Gerakannya kian intens, setiap hentakan lebih dalam, sementara tangannya mencengkeram pinggangku begitu kuat hingga aku tak bisa lari ke mana pun. Jemarinya menjalar naik, lalu menjambak rambutku dari belakang, membuat kepalaku sedikit mendongak.

Saat itu, dunia seakan menyempit hanya pada tubuh kami berdua—napas yang terengah, desah yang bersahutan, dan detak jantung yang berpacu cepat. Hingga akhirnya, ledakan terakhir itu datang, menenggelamkan kami dalam keheningan penuh sisa getaran, desah terputus-putus, dan tubuh yang masih saling melekat erat.

Dengan sisa tenaga, aku melirik lagi ke luar. Sosok itu masih ada. Sopir tetangga. Diam, menatap dari kejauhan. Dan barulah setelah temanku menjatuhkan diri di ranjang, setelah aku menarik tirai separuh menutup kaca, aku melihat pria itu perlahan berbalik, menaruh ponselnya di saku, lalu berjalan pergi menyusuri jalan komplek yang sepi.

Tidak ada kata. Tidak ada tanda. Hanya bayangan punggungnya yang menghilang di balik tikungan.

Tapi aku tahu, malam itu dia sudah melihat segalanya. Dari awal sampai akhir.

Dan aku? Aku justru merasa puas, seolah baru saja selesai memainkan panggung yang memang kuciptakan untuk ditonton.

Sejak malam itu, ada sesuatu yang berubah. Awalnya aku pikir sopir tetangga itu hanya kebetulan lewat, lalu menonton sekilas. Tapi aku salah. Malam-malam berikutnya, saat aku berdiri di balkon untuk merokok, aku sering melihat bayangan yang sama. Dia selalu muncul di jam yang hampir sama—sekitar jam sepuluh lewat.

Kadang dia pura-pura duduk di pos ronda sebentar, kadang berdiri di bawah pohon kecil dekat rumahku, berpura-pura menatap ponsel. Tapi matanya… aku tahu benar kemana ia tertuju. Ke arah jendela kaca besar kamarku.

Dan gila-nya, aku mulai menikmatinya.

Malam kedua setelah kejadian itu, aku sengaja berdiri di depan jendela dengan piyama tipis, tirai terbuka lebar, lampu menyala terang. Aku pura-pura sibuk membaca majalah di ranjang, tapi aku tahu tubuhku yang terbentuk jelas dari luar. Sesekali aku melirik—dan ya, dia ada di sana lagi.

Malam ketiga, aku memberanikan diri lebih jauh. Aku berdiri di balkon, hanya mengenakan tanktop tipis tanpa bra. Angin laut membuat kain itu menempel ke kulitku. Aku menyalakan rokok, pura-pura acuh. Dari ekor mata, aku bisa melihatnya berdiri, kaku, seperti terhipnotis.

Semakin hari, kehadirannya bukan lagi kebetulan. Dia sudah kecanduan. Selalu ada, selalu menunggu, seakan rumahku telah menjadi semacam teater pribadi baginya.

Aku mulai bermain-main dengan kebiasaan baruku. Kadang aku sengaja membiarkan lampu kamar menyala sementara aku berganti pakaian di depan kaca. Kadang aku duduk di ranjang dengan laptop di pangkuan, kaki terlipat tinggi, tubuh setengah terbuka. Semuanya dengan tirai dibiarkan terbuka lebar.

Dan setiap kali aku melirik keluar, aku tahu ia masih di sana.

Ada bagian dalam diriku yang berbisik: ini berbahaya Line.. Tapi bagian lain justru semakin haus. Sensasi ditonton, dievaluasi, diinginkan tanpa kata-kata. Semua itu membuatku semakin liar.

Suatu malam, aku bahkan sengaja duduk di kursi kecil dekat jendela, hanya mengenakan lingerie hitam tipis. Aku berpura-pura sibuk dengan ponsel, tapi sesekali aku mengangkat kepala, menatap lurus keluar.

Dan kali itu, aku melihat jelas: tatapan kami bertemu. Hanya sebentar, tapi cukup membuatku merinding sekaligus basah oleh adrenalin. Dia tidak lari, tidak pura-pura lagi. Dia hanya berdiri di sana, menatapku balik. Aku tersenyum kecil, lalu pura-pura kembali sibuk dengan ponselku. Tapi di dalam hati, aku sudah tahu: ini baru permulaan.

Malam itu udara terasa berbeda. Hening sekali. Hanya suara jangkrik samar dari kebun kecil di ujung komplek. Aku baru selesai mandi. Rambut masih lembap, tubuhku hanya terbalut kaos tipis kebesaran dan celana pendek. Tidak ada bra, tidak ada lapisan lain. Dari kaca kamar, aku bisa melihatnya lagi. Ya, pria itu. sopir tetangga sedang berdiri di tempat biasa, berpura-pura merokok sambil menatap layar ponsel. Padahal aku tahu benar ke mana sebenarnya matanya tertuju.

Aku berdiri lama di depan jendela, berpura-pura sibuk menyisir rambut. Ranjangku di sisi kaca terlihat jelas. Tapi malam ini aku merasa lebih iseng. Ada dorongan liar yang tak bisa kutahan.

Tanpa pikir panjang, aku turun ke halaman depan. Pintu kayu besar ku buka pelan, angin malam menyentuh kulit basahku. Rumput hijau di halaman masih basah oleh embun.

Aku berjalan pelan, pura-pura ingin mengambil udara segar. Tapi sesungguhnya aku hanya ingin lebih dekat dengannya.

Dan benar saja, langkahnya kaku. Dia panik, buru-buru menunduk, menyalakan rokok baru padahal rokok lama masih menyala di tangannya.

Aku menahan senyum.

“Pak…” aku menyapanya sambil berdiri di tepi halaman, hanya beberapa meter darinya. Kaos tipis yang kupakai jatuh longgar, memperlihatkan garis samar dadaku. “Masih kerja ya? Kok malam-malam belum pulang?”

Dia kaget, hampir menjatuhkan korek api. “Ah… i-iya, Nona… saya baru… baru balik dari antar barang.”

Aku menatapnya lama. Sorot matanya gelisah, tapi aku bisa merasakan sesuatu di baliknya. Sesuatu yang sejak beberapa malam ini diam-diam menelanjangiku dari kejauhan.

Aku mendekat setapak, pura-pura memeluk diri sendiri karena kedinginan. “Dingin ya malam ini…” bisikku pelan.

Dia tercekat, menelan ludah. Matanya jelas sekali terpaku pada lekuk tubuhku di balik kaos tipis. Ada jeda hening. Angin malam berhembus, menggoyang dedaunan. Kami berdua berdiri di bawah cahaya lampu halaman yang temaram. Seakan waktu berhenti.

Aku menatap matanya lurus, lalu tersenyum samar. Senyum yang penuh arti, tapi tak kujelaskan dengan kata-kata.

“Ya udah, hati-hati di jalan, Pak,” ujarku sambil berbalik, melangkah masuk kembali ke rumah.

Tapi sebelum menutup pintu, aku sempat melirik. Dia masih berdiri di sana, kaku, rokok di tangannya padam, wajahnya merah padam menahan sesuatu. Dan aku tahu malam itu. Aku bukan hanya sekadar tontonan baginya lagi. Aku sudah menyentuh bagian terdalam dari dirinya.

Kamar terasa sunyi, hanya detak jam dinding yang terdengar. Aku berbaring miring, tubuhku masih terasa panas meski AC sudah menyala dingin. Bayangan tadi—saat menatap mata sopir itu di halaman—tak bisa hilang dari kepalaku.

Aku membayangkan tangannya. Kasar, besar, penuh urat. Bagaimana kalau tangan itu menggenggam pinggangku? Bagaimana kalau kulit keriputnya menyentuh paha putihku? Gimana rasanya…?

Tubuhku merinding sendiri. Aku menutup mata, menggigit bibir. Liar sekali bayangan itu, tapi justru membuatku semakin sulit tidur. Dan malam itu, aku menemukan cara untuk menguji semuanya.

Beberapa hari kemudian aku mendapat undangan pernikahan seorang teman. Aku pulang larut malam, masih mengenakan gaun pesta merah pendek, ketat, dan terbuka di punggung. Sepatu hak tinggi membuat langkahku berayun, ditambah sedikit mabuk dari wine yang tadi kuminum.

Aku memarkirkan sedan listrik mewahku yang berwarna hitam tepat di depan halaman rumah. Jalan komplek begitu sepi, hanya cahaya lampu taman yang berlebihan menerangi aspal mulus. 

Bagiku mobil listrik bukanlah sekadar kendaraan. Di lingkaran sosialku, mobil listrik sudah jadi semacam lencana keanggotaan. Banyak anak muda sekarang memilikinya bukan hanya karena peduli lingkungan melainkan karena statusnya. Mobil listrik dianggap simbol kekinian sekaligus tanda kalau pemiliknya update tren global dan juga melek teknologi, sekaligus bisa pamer bahwa mereka mampu membeli gaya hidup yang katanya ramah bumi.

Tapi aku tahu, di balik sunyi jalanan itu… ada sosok yang selalu memperhatikan. Benar saja. Di dekat pohon rindang di seberang rumah, aku melihat bayangan tubuhnya. Dia berpura-pura mengisap rokok, tapi aku tahu benar, mata itu sedang mengintip lagi.

Aku pura-pura tidak sadar. Menarik napas, lalu mulai melangkah ke dalam rumahku. Namun, tumit sepatuku sengaja kubuat goyah. Dalam satu gerakan kecil, aku pura-pura tersandung dan jatuh berlutut di atas rumput hijau yang masih basah oleh embun.

“Ahh… aku meringis kecil lalu menoleh cepat. Sesuai dugaanku pria itu segera mendekat. Dengan langkah cepat ia menghampiriku dan wajahnya terlihat panik.  Astaga.. hati-hati non… jatuh ya ? katanya dengan suara yang berat dan terbata.

Tangannya terulur, kasar, kuat, menarik lenganku untuk berdiri. Sentuhan itu membuatku bergetar. Kulitnya hangat, berbeda sekali dengan lembutnya kulitku. Aku membiarkan tubuhku condong ke arahnya, seperti membutuhkan penopang. Bahunya kokoh, meski posturnya jauh dari rapih. Aroma keringat bercampur asap rokok menempel di hidungku.

“Sepatunya licin… maaf bikin repot bapak. kataku pelan sambil menatap matanya sekilas.

Dia gelagapan, menunduk, tapi jemarinya masih menempel di lenganku, seolah enggan melepas.

Dan di detik itu, aku tahu… aku sudah membuka pintu pertama untuknya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jebakan Minimarket

Pengantin Brutal

Amoy Diatas Dongkrak

Jebakan Minimarket 2

Pemulung Sadis

Tragedi Pasar Pecinan

Chindo Seksi Jadi Rebutan 6

Chindo Seksi Jadi Rebutan

Draft amarah para buruh 22