By : Analconda13
Ada satu jalur yang paling sering ia lewati, yaitu sebuah kompleks perumahan mewah dengan pagar tinggi, pohon rindang, dan satpam berseragam. Bagi kebanyakan pemulung, area itu pantang dimasuki karena tatapan orang-orangnya sering terasa lebih menusuk daripada rasa lapar. Tetapi bagi Budi, ada sesuatu di dalam kompleks itu yang membuatnya terus kembali.
Dari balik gerobaknya, ia sering memperhatikan suasana di sana. Anak-anak bersepeda dengan seragam rapi sementara ibu-ibu jogging memakai pakaian olahraga mahal. Di depan rumah besar bercat putih, deretan mobil berkilau terparkir rapi dan seakan menjadi pemandangan yang tidak pernah ada dalam kehidupannya.
Di tengah pemandangan itu, ada satu sosok yang selalu menancap di benak Budi yaitu Lisa Limantara. Gadis chindo itu masih muda dan dikenal sebagai putri tunggal dari keluarga pengusaha terkenal. Penampilannya selalu menarik perhatian. Tubuhnya ramping sekaligus berisi di bagian tertentu, sehingga tampak seksi bagi siapa pun yang melihat. Rambutnya bergelombang dan dicat kecokelatan, membuat wajahnya yang putih bersih semakin terlihat menonjol.
Budi memang tidak pernah benar-benar berbicara dengannya. Ia hanya bisa melihat dari jauh, sekilas saja, seperti orang yang mengintip cahaya lewat celah pintu. Namun setiap kali sosok Lisa muncul, langkah Budi selalu terhenti. Ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya, bukan sekadar rasa kagum, tetapi lebih dalam daripada itu.
Sampai pada suatu sore, tanpa sengaja, Budi menemukan sebuah buku di antara tumpukan barang bekas dekat rumah besar itu. Sampulnya sederhana dan bagian tepinya sudah agak usang. Saat dibuka, di halaman dalam terlihat sebuah nama kecil yang tertulis samar: Lisa
Awalnya ia mengira buku itu hanyalah catatan sekolah biasa. Tetapi ketika halaman-halaman berikutnya ia baca, napasnya langsung tercekat. Tulisan tangan rapi dengan tinta biru itu ternyata berisi curahan hati seorang gadis kaya yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Isinya tentang kesepian, tentang perasaan terkekang, dan juga tentang keinginan bebas yang selama ini ia simpan diam-diam.
Sejak hari itu, hidup Budi tidak lagi sama. Ia bukan hanya seorang pemulung yang kebetulan lewat di depan rumah besar itu. Di tangannya ada sebuah rahasia, sesuatu yang membuatnya merasa lebih dekat dengan Lisa dibanding siapa pun yang ada di balik pagar tinggi tersebut.
Dari dalam karung lusuh yang selalu menemaninya bekerja, Budi mengeluarkan sebuah buku dengan sampul sederhana. Buku itu sekarang terasa seperti harta karun baginya, karena ia tahu inilah buku harian milik Lisa Limantara. Tangannya yang kasar dan berbau sampah bergerak hati-hati saat membuka halaman-halaman di dalamnya, seolah ia takut merusak tulisan yang begitu rapi.
Semakin jauh ia membaca semakin dadanya terasa sesak. Kalimat-kalimat yang tertulis di sana seakan membuka sisi lain dari sosok gadis yang selama ini hanya bisa ia lihat dari balik pagar tinggi.
"Kadang aku merasa hidupku bukan milikku. Semua keputusan sudah diatur oleh Papa dan Mama. Aku hanya boneka di rumah besar itu.
"Lucu ya, semua orang iri padaku. Padahal kalau mereka tahu seberapa sering aku menangis di kamar, mungkin mereka akan tertawa puas.
Budi menelan ludah. Ia tidak pernah menyangka seorang gadis cantik dan kaya seperti Lisa menyimpan luka yang begitu dalam. Semakin lama ia membaca, semakin ia merasa seolah bisa masuk ke dunia Lisa, dunia yang selama ini hanya bisa ia pandangi dari kejauhan.
Budi terdiam cukup lama. Kata-kata yang baru saja dibacanya seperti merobek bayangan tentang Lisa. Selama ini ia selalu melihatnya sebagai gadis kaya yang hidup nyaman, tetapi ternyata di balik itu semua Lisa hanyalah seorang perempuan muda yang rapuh, kesepian, dan haus akan sesuatu yang berbeda. Ia membalik halaman berikutnya dengan hati-hati. Tulisan di sana membuatnya lebih terkejut lagi.
“Aku sering bermimpi berjalan bebas tanpa ada yang mengenalku. Kadang aku ingin ada seseorang asing yang melihatku dengan tatapan yang melucuti dan merampas semua kehormatan yang ada dalam diriku.
Budi menelan ludah. Kata-kata itu menusuk langsung ke dadanya. Rasanya seakan-akan Lisa sedang berbicara kepadanya, kepada seorang asing yang selama ini hanya bisa mengintip dari kejauhan. Tangannya bergetar saat membuka lembar berikutnya. Tulisan kali ini terasa lebih liar dan lebih dalam.
“Aku benci harus selalu tampil sempurna. Di dalam kepalaku, aku menyimpan hal-hal yang mungkin akan membuat orang terkejut. Fantasi yang tidak pernah bisa aku ceritakan. Aku ingin melepaskan semuanya… tapi dengan siapa ?
Budi menutup buku itu perlahan. Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Ia menatap tembok lusuh di depannya, tetapi pikirannya justru melayang jauh ke rumah besar di kompleks mewah itu.
Sejak malam itu, Lisa bukan lagi sekadar gadis cantik yang selalu Budi lihat dari jauh. Ia berubah menjadi rahasia yang hidup di dalam dirinya. Rahasia itu membuat Budi merasa memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. Dari situlah obsesi itu tumbuh secara diam-diam, menggairahkan dan sulit untuk dibendung.
Malam-malam Budi tidak pernah sama lagi sejak menemukan buku itu. Ia tidak lagi tidur cepat setelah seharian menarik gerobak. Lampu redup di kamar sempitnya menyala sampai larut malam, hanya untuk menemaninya membaca halaman demi halaman tulisan tangan Lisa.
Setiap kata yang ia baca terasa hidup. Seolah-olah Lisa duduk tepat di depannya, berbisik lirih dengan suara yang hanya bisa ia dengar. Kadang ia membaca dengan suara pelan lalu tersenyum sendiri. Kadang ia menutup mata, membayangkan sosok Lisa melakukan apa yang tertulis di buku itu—menangis diam-diam di kamar, berjalan sendirian saat senja, atau menggigiti bibir ketika menahan emosi.
Semakin jauh ia menelusuri tulisan itu, semakin kuat keyakinannya. Budi merasa dialah satu-satunya orang yang benar-benar mengenal Lisa, bahkan lebih dari orang tua atau teman-temannya.
Sejak itu, ia mulai memperhatikan kebiasaan Lisa dari jauh dengan cara pandang yang berbeda. Ketika Lisa keluar rumah sambil membawa anjing kecilnya, Budi hanya bisa tersenyum getir. Ia ingat betul tulisan Lisa di buku harian: “Aku lebih jujur pada anjingku daripada manusia.
Saat Lisa tertawa bersama temannya di depan rumah, Budi menatap diam-diam dari balik pohon. Di kepalanya muncul kalimat lain yang pernah ia baca: “Kadang aku tertawa bukan karena bahagia, tapi karena harus terlihat bahagia.”
Semua itu membuat Lisa berbeda di matanya. Gadis cantik itu bukan lagi milik dunia mewah di balik pagar tinggi. Lisa kini terasa seperti rahasia yang hanya ia tahu, rahasia yang seakan dititipkan khusus kepadanya.
Dari rahasia itu lahir sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar rasa kagum. Obsesi.
Budi mulai berbicara pelan pada dirinya sendiri setiap kali melihat Lisa dari kejauhan.
“Jangan khawatir, aku tahu siapa dirimu sebenarnya.”
“Kau menulis tentang kebebasan, kan? Aku bisa memberikannya untukmu.
Dan ketika itu terjadi, Budi berjanji: ia tidak akan pernah melepaskannya lagi.
Senja menurunkan cahaya keemasan di taman kecil kompleks. Daun-daun berkilau basah, sisa hujan sore tadi, memantulkan kilau lembut. Di tengah suasana damai itu, Budi berhenti mendorong gerobaknya. Jantungnya berdetak keras begitu melihat sosok yang sudah lama ia tunggu. Lisa.
Gadis itu tampak begitu alami. Rambut hitam lurusnya jatuh bebas, mengayun setiap kali langkah kakinya bergerak. Dress pastel selutut menempel ringan di tubuh rampingnya, sesekali tersapu angin, menyingkap kulit pahanya yang pucat halus.
Lisa menunduk, tertawa kecil ketika anjing kecilnya melompat mengejar kupu-kupu. Tawa itu ringan, jernih, tapi bagi Budi—suara itu seperti bisikan rahasia dari halaman buku harian yang ia hafal di luar kepala.
Benar. Kau menulis tentang ini. Tentang senja, tentang ketenangan yang tak pernah kau dapat di rumahmu.
Budi menahan napas, pandangannya lekat. Setiap detail tubuh Lisa terasa dekat, sekaligus jauh tak terjangkau.
Tangannya refleks meremas pegangan gerobak, jemarinya kasar tapi bergetar, seolah tubuhnya tak sanggup menahan ketegangan yang tumbuh.
Gadis itu berjalan santai dan tampak alami. Rambut hitam lurusnya jatuh bebas dan bergerak mengikuti langkahnya. Dress pastel selutut menempel ringan di tubuh rampingnya dan sesekali tersapu angin hingga menyingkap sedikit kulit pahanya yang pucat.
Lisa menunduk dan tertawa kecil ketika anjingnya melompat mengejar kupu-kupu. Suaranya ringan dan jernih, tapi bagi Budi, suara itu terdengar seperti bisikan yang selalu ia ingat.
Budi menahan napas dan matanya terus menatap Lisa. Setiap gerakannya terasa dekat, tapi tetap jauh dan tak bisa ia raih. Tangannya meremas pegangan gerobak. Jemarinya kasar dan bergetar karena ketegangan yang ia rasakan.
Tiba-tiba anjing kecil itu melesat ke arahnya. Tali yang digenggam Lisa terlepas dan binatang mungil itu berhenti tepat di depan Budi, mengendus ujung sepatunya.
Lisa menoleh perlahan, gerakannya anggun, seakan waktu berhenti hanya untuk mereka. Tatapan mata cokelat gelapnya jatuh pada Budi yang berdiri kikuk dengan karung besar di gerobaknya.
Sejenak hening. Mata mereka bertemu.
Budi menunduk cepat tapi terlambat. Panas dari tatapan itu terasa hingga membuat dadanya berdebar. Ia jongkok dan menyentuh kepala anjing itu. "Lucu sekali anjingnya. Ucapnya pelan dan suaranya serak hampir seperti bisikan.
"Namanya Coco.. jawab Lisa singkat tapi nada suaranya hangat.
Ia menarik tali dan mengangkat Coco ke pelukan. Dress-nya ikut tersapu dan tersingkap sedikit, menyingkap garis pahanya. Budi menahan napas dalam-dalam, matanya masih terpaku pada Lisa.
Hanya beberapa detik. Tapi cukup.
Lisa memberi anggukan singkat bukan senyum hanya sapaan basa-basi lalu melangkah pergi. Rambutnya bergoyang lembut dan aroma samar parfumnya terbawa angin sore, menyelinap sampai ke hidung Budi dan menempel kuat di ingatannya.
Namun sebelum benar-benar hilang di tikungan jalan setapak, Lisa menoleh sekali lagi. Sekilas. Tatapan singkat itu menusuk dada Budi. Ia berdiri terpaku tubuhnya panas, dan dadanya berdegup tak karuan.
Budi menoleh perlahan. Dia sadar Lisa melihatnya. Dia tahu dirinya ada di sana. Dalam kepalanya kata-kata dari buku harian Lisa kembali terdengar jelas seolah hidup:
“Aku ingin ada seseorang asing yang benar-benar menginginkanku.
Budi tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, ia merasa dirinya bukan lagi sekadar pemulung yang lewat. Ia telah menjadi bagian dari rahasia Lisa.
Kenangan Ditaman
Tatapan singkat dan percakapan sederhana dengan Lisa membuat dadanya bergetar berhari-hari. Kata-kata gadis itu, sesederhana “Namanya Coco”, terus terngiang di telinganya seolah mantra pribadi.
Malam-malam berikutnya ia kembali membuka buku harian Lisa. Setiap kalimat dibacanya berulang-ulang, lalu dicocokkan dengan kebiasaan Lisa yang diamatinya dari jauh. Rasanya seperti memegang kunci dunia yang tersembunyi. Dunia yang bahkan orang tua Lisa tak pernah tahu.
Dan dari sana lahir ide berbahaya:
membuat Lisa sadar bahwa ada seseorang yang tahu rahasianya.
Suatu sore, Budi kembali ke taman. Ia sengaja duduk di bangku kayu tua dengan gerobak di sisinya, pura-pura mengikat karung. Dari kejauhan ia sudah melihat Lisa datang, berjalan santai bersama Coco. Ketika gadis itu melewati jalan setapak, Budi menunduk sedikit, lalu berucap pelan, cukup keras untuk terdengar:
"Senja memang waktu terbaik untuk berjalan kan ?
Lisa spontan menoleh. Wajahnya sedikit terkejut. Kata-kata itu terlalu mirip dengan kalimat dalam buku hariannya: “Senja selalu membuatku merasa bebas. Tapi jelas Budi tak mungkin tahu itu… kecuali kebetulan.
Ia menatap Budi beberapa detik, seolah ingin memastikan maksud ucapannya.
Budi hanya tersenyum tenang, matanya tidak menuntut, seakan itu hanyalah basa-basi biasa.
Lisa akhirnya menjawab singkat, “Iya… mungkin. Lalu ia melanjutkan langkahnya.
Namun di balik sikap datarnya, hatinya berdebar aneh. Ada sesuatu yang janggal. Kata-kata pemulung itu seperti menyinggung sisi pribadinya yang tak pernah ia bagi pada siapa pun.
Budi menatap punggung Lisa yang menjauh sambil bibirnya terangkat tipis.
Ia tahu. Kata-kata sederhana itu sudah cukup untuk menanamkan benih pertanyaan di kepala Lisa. Pertanyaan kecil yang akan tumbuh jadi rasa ingin tahu, bahkan mungkin kegelisahan.
Pelan-pelan saja pikirnya. Biarkan dia yang mendekat untuk mencari tahu. Dan di malam itu, ketika kembali membuka buku harian, Budi mengusap lembut halaman yang berisi catatan tentang senja. Senyumnya terlihat lebar dan matanya berkilat.
Hari-hari berikutnya, Lisa beberapa kali kembali ke taman pada jam yang sama. Senja, dengan Coco di tangannya. Awalnya ia mengira itu kebetulan belaka tapi hampir setiap kali, pemulung itu ada di sana, duduk di bangku kayu, mengutak-atik gerobaknya, atau sekadar menunduk memungut sesuatu di tanah.
Dan setiap kali mata mereka bertemu. Lisa merasakan sesuatu yang sulit ia jelaskan.
Bukan sekadar tatapan pengemis yang mengharap uang. Bukan juga tatapan lelaki yang mengagumi kecantikan.
Tatapan itu… terlalu dalam. Seolah Budi tahu sesuatu tentang dirinya.
Suatu sore saat Lisa berhenti sejenak di dekat pohon besar, Budi bersuara lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri:
“Lucu ya… orang selalu mengira kita bahagia hanya dari cara kita tersenyum.
Lisa sontak menoleh. Kata-kata itu menusuk, terlalu akrab dengan isi hatinya.
Ia menggenggam tali Coco lebih erat, mencoba menyembunyikan reaksi di wajahnya. “Kamu bicara sama saya?” tanyanya datar.
Budi mendongak sambil menatapnya sebentar lalu tersenyum samar. “Ah.. maaf, saya cuma ngomong sendiri.
Malam itu di kamarnya, Lisa duduk di tepi ranjang. Angin dari jendela membawa suara kota tapi pikirannya sibuk mengulang percakapan singkat itu. Ia menggigit bibir bawahnya, bertanya-tanya: Bagaimana mungkin kalimat itu persis seperti yang pernah aku tulis di buku harianku dulu?
Sementara di kamar sempitnya, Budi menelusuri tulisan itu sekali lagi di halaman yang sama. Ia tertawa kecil dan merasa puas. Dia mulai merasakan sesuatu dan mulai gelisah.
Budi menutup buku itu lalu berbaring. Matanya terpejam dan bibirnya berbisik:
“Pelan-pelan Lisa… kau akan mengerti. Aku satu-satunya orang yang bisa memahami dirimu.
Hari itu, langit senja lebih redup dari biasanya. Angin berhembus membawa aroma bunga kamboja dari sudut taman. Lisa berjalan cepat, seakan ingin segera kembali. Namun di bangku kayu yang sudah ia hafal, sosok itu tetap ada.
Dia adalah Budi. Dengan gerobaknya, dengan pakaian lusuhnya dan dengan tatapan yang lagi-lagi mengikuti setiap langkahnya. Lisa akhirnya berhenti. Ia menoleh tajam sementara dadanya bergeral naik-turun.
"Kamu.. katanya singkat. Budi hanya mengangkat wajah perlahan. Senyum tipis menggantung di bibirnya. "Saya ?
Hening. Hanya dedaunan berdesir.
Budi berdiri perlahan, langkahnya pelan mendekat tapi tidak terlalu dekat. “Saya cuma suka senja,” katanya tenang. “Dan suka lihat orang yang… benar-benar menikmati senja.”
Lisa menelan ludah. Kata-kata itu membuatnya semakin bingung. Ia ingin marah, tapi juga merasa tertangkap basah. Ada bagian dirinya yang memang selalu menulis tentang senja, tentang rasa kosong di balik senyum—dan entah bagaimana, lelaki ini seperti menyentuh bagian itu.
“Kalau kamu butuh uang, bilang saja,” ucap Lisa akhirnya mencoba logis. “Tapi jangan ganggu saya lagi.
Budi tertawa kecil, lirih, hampir menyedihkan. “Uang?” Ia menggeleng. “Saya nggak butuh uangmu Lisa.
Lisa menegang. Bagaimana dia bisa tahu namanya?
Budi menunduk pura-pura sibuk dengan gerobaknya. “Saya dengar orang-orang panggil tadi.. katanya cepat menutupi.
Lisa terdiam menatapnya lebih lama. Rasanya ada yang tidak beres tapi ia tidak bisa menemukan jawabannya. Akhirnya ia menarik Coco untuk berbalik pergi. Namun langkahnya terasa berat, karena ada sesuatu yang tertinggal. Sebuah pertanyaan yang menggelayuti pikirannya: Siapa sebenarnya pemulung ini?
Sementara itu, Budi menatap punggung Lisa yang menjauh. Nafasnya berat dan matanya berkilat. Tangan kasarnya mengepal di samping gerobak. Dia menegurku. Dia bicara langsung padaku. Dia mengingatku. Budi tahu. Sejak hari itu, Lisa tak akan bisa lagi mengabaikan keberadaannya.
Malam itu, Lisa sulit tidur. Lampu kamarnya sudah padam sejak satu jam lalu, tapi matanya tetap menatap langit-langit. Percakapan di taman tadi siang berulang-ulang diputar otaknya.
"Saya nggak butuh uangmu, Lisa."
Bagaimana mungkin pemulung itu tahu namanya?
Benar, mungkin dia hanya mendengar dari orang lain. Tapi tetap saja, cara dia mengucapkannya terlalu yakin… terlalu akrab.
Lisa menggeliat, bangkit, lalu berjalan ke meja belajarnya. Dari laci ia mengeluarkan sebuah buku tipis berwarna biru—buku harian lamanya. Ia membuka halaman tengahnya, membaca sekilas catatan usang tentang kesepian di senja hari. Dadanya berdebar.
Entah kenapa, kata-kata Budi sore tadi terasa identik dengan tulisannya sendiri.
Keesokan harinya, saat berjalan bersama Coco di taman, Lisa menemukan sesuatu di bangku kayu tempat Budi biasa duduk. Sebuah kertas kecil, dilipat rapi.
Ia ragu membukanya, tapi akhirnya melakukannya.
Tulisan di dalamnya sederhana, dengan huruf besar-besar agak berantakan:
“Terkadang senyum itu cuma topeng, ya?”
Lisa tercekat. Itu kalimat persis seperti yang pernah ia tulis di buku hariannya, dua tahun lalu. Ia buru-buru meremas kertas itu dan memasukkannya ke saku. Matanya berkeliling, mencari sosok pemulung itu. Tapi hari itu, Budi tak ada.
Di tempat lain, dari balik pagar besi, Budi memperhatikan gerak-gerik Lisa.
Ia tersenyum tipis ketika melihat gadis itu membaca kertas dan menyembunyikannya cepat-cepat. Nafasnya berat, dada bergemuruh. Sekarang kau tahu, Lisa… kau tidak sendirian dengan rahasiamu.
Malamnya, Lisa duduk di tepi ranjang dengan kertas itu di tangannya. Jemarinya bergetar. Antara takut, marah, tapi juga entah kenapa ada getaran aneh yang membuat pipinya hangat. Ada seseorang di luar sana yang tahu dirinya lebih dalam dari siapa pun.
Lisa duduk di balkon kamarnya, lampu kota berkelip di kejauhan. Angin malam berhembus lembut, tapi pikirannya kacau. Kertas kecil itu kini terlipat rapi di meja, meski ia sudah berniat membuangnya berkali-kali. Tapi setiap kali hendak merobeknya, ada sesuatu yang menahannya.
"Kenapa aku seperti ini?" gumamnya lirih.
Ia tahu betul, seharusnya ia mengabaikan, atau melaporkan atau minimal tidak lagi datang ke taman. Tapi tubuhnya sendiri seakan melawan.
Sore berikutnya, Lisa kembali berjalan dengan Coco. Bukan karena anjing kecil itu rewel, tapi karena dirinya yang ingin keluar.
Dan tanpa ia sadari, langkahnya menuntun langsung ke bangku kayu itu.
Kosong.
Lisa berdiri cukup lama, jantungnya berdetak cepat. Matanya menyapu sekeliling taman, mencari-cari sosok dengan gerobak lusuh itu. Tidak ada. Tiba-tiba ia sadar, dirinya kecewa. Ia menggigit bibir, menunduk, dan hendak berbalik. Saat itulah ia melihat sesuatu di tanah dekat bangku: sehelai bunga kamboja kering, dengan kertas kecil di bawahnya.
Tangannya gemetar saat meraihnya. Tulisan di kertas itu hanya satu baris:
“Senja ini sepi tanpamu.
Lisa tertegun, menahan napas. Kata-kata sederhana itu membuat tubuhnya panas dingin. Ada bagian dalam dirinya yang menolak keras, tapi ada pula bagian lain yang lebih dalam, lebih gelap yang merasa tersanjung. Ia menoleh ke sekeliling sekali lagi. Kosong. Tapi ia bisa merasakan, entah dari mana, ada mata yang memperhatikannya.
Di balik semak tak jauh dari sana, Budi berjongkok, menatap setiap gerakan Lisa.
Senyumnya mengembang, penuh kepuasan.
Dia datang mencariku. Dia membaca pesanku. Dia sudah terikat.
Malam itu, Lisa tak bisa tidur. Ia berbaring miring, kertas kecil itu masih dalam genggamannya. Tatapannya kosong menembus jendela. Untuk pertama kalinya, ia sadar… Rasa takut itu bercampur dengan sesuatu yang lebih berbahaya: kerinduan.
Senja itu langit berwarna oranye keemasan. Lisa sengaja keluar lebih awal, berharap bisa menghindari “kebetulan” yang akhir-akhir ini selalu menegangkan hatinya. Tapi entah kenapa, langkahnya lagi-lagi membawanya ke arah bangku kayu itu. Dan kali ini Budi ada di sana.
Ia duduk tenang, tangan kasarnya sibuk memperbaiki roda kecil gerobaknya. Wajahnya terangkat ketika mendengar suara Coco yang menggonggong pelan. Senyum tipis muncul, seperti ia sudah menunggu. Lisa berhenti dua meter darinya, menahan napas.
Budi menatapnya lekat, lalu menunduk sebentar. “Kalau iya?” suaranya dalam, agak berat. Lisa menggenggam tali Coco erat-erat. “Kenapa kamu tahu… hal-hal yang aku tulis dulu?” Sekilas, cahaya aneh melintas di mata Budi. Ia menghela napas, seolah mencari kata. “Kadang… orang menyimpan sisi gelapnya di tempat yang salah. Kadang… ada orang lain yang menemukannya.”
Lisa membeku. Kata-kata itu mengenai tepat di dadanya. Ia ingin marah, tapi lidahnya kelu. Budi melanjutkan, suaranya lebih pelan. “Jangan takut. Aku cuma… merasa mengerti. Hening sejenak. Angin sore berembus, menggoyangkan daun-daun di atas kepala.
Lisa akhirnya duduk di ujung bangku, masih menjaga jarak. Coco naik ke pangkuannya, seolah ikut melindungi.
“Kenapa kamu lakukan ini?” tanyanya, lirih tapi penuh dorongan ingin tahu. Budi menatap lurus ke arahnya, mata hitamnya berkilat. “Karena… kamu terlihat tersenyum, tapi aku bisa lihat kesedihan di baliknya. Sama seperti yang kamu tulis. Dan aku… tidak bisa berhenti memikirkan itu.”
Lisa menunduk cepat, wajahnya panas. Ada getaran aneh dalam hatinya. Ada campuran rasa takut, marah, dan… entah kenapa, kagum. Mereka terdiam lama. Senja makin pekat, warna langit berubah menjadi ungu keabu-abuan. Akhirnya Lisa berdiri. “Aku harus pulang,” katanya singkat.
Namun sebelum pergi, ia sempat melirik sekali lagi ke arah Budi.
Budi tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan senyum samar. Tapi di balik tatapan itu, Lisa tahu… sesuatu telah berubah. Karena untuk pertama kalinya, ia duduk di samping lelaki itu, meski hanya sebentar. Di balik senja yang padam, benih keterikatan semakin dalam.
Dan Lisa tahu, dirinya sudah tidak bisa lagi berpura-pura tidak peduli.
Sejak sore itu di bangku taman, Lisa merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia berjalan pulang dengan langkah cepat, tapi jantungnya terus berdetak keras. Setiap kali menoleh, ia merasa ada bayangan mengikuti. Meski tidak ada siapa pun di jalan setapak itu, sensasi diperhatikan tak mau hilang.
Di rumah, Lisa duduk di depan meja rias. Ia menatap bayangannya sendiri di cermin.
Wajahnya terlihat sama—manis, tenang, seolah gadis baik-baik yang hidup di kompleks elit. Tapi matanya… ada kilau baru yang sulit ia kenali. Tangannya terangkat, menyentuh lehernya yang hangat. Ia bergumam pelan, hampir malu pada dirinya sendiri, “Aku benar-benar… diperhatikan.”
Malam itu, Lisa berbaring dengan lampu kamar redup. Suara serangga dari luar jendela membuat sunyi terasa lebih tebal. Ia mencoba memejamkan mata, tapi bayangan pemulung itu terus muncul: tatapan hitam yang menelanjangi, senyum samar yang penuh rahasia. Bukannya takut, tubuhnya justru merespons dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Ada getaran halus yang merayap dari perutnya ke seluruh tubuh. Ia memeluk bantal, napasnya makin cepat.
“Kenapa… aku begini?” bisiknya.
Keesokan harinya, Lisa sengaja memilih jalan memutar ketika membawa Coco. Ia tahu jalur itu lebih sepi, pohon-pohonnya rimbun, sedikit menyeramkan. Dan benar saja—dari jauh ia sempat menangkap siluet gerobak beroda karat itu.
Jantungnya melompat. Budi ada di sana, tapi tidak menghampiri. Ia hanya berdiri di kejauhan, pura-pura sibuk dengan barang bekasnya, namun jelas-jelas matanya mengawasi. Alih-alih menjauh, Lisa justru memperlambat langkahnya. Ada rasa hangat menjalari tubuhnya, rasa aneh yang membuat bibirnya perlahan tersenyum samar.
Ia tidak menyapanya. Ia hanya membiarkan dirinya berjalan melewati, pura-pura tidak sadar. Tapi dalam hatinya ia tahu: setiap detik diperhatikan seperti itu, gairah asing dalam dirinya tumbuh makin kuat.
Di balik pohon, Budi mengepalkan tangan. Senyum tipisnya muncul lagi.
Ia bisa melihat, dari cara Lisa melangkah, dari wajahnya yang sedikit memerah—bahwa gadis itu mulai menikmatinya.
Obsesi Budi semakin dalam. Dan Lisa, tanpa sadar, mulai menyerahkan dirinya pada sensasi baru yang berbahaya:
nikmatnya selalu diperhatikan.
Keesokan sore, Lisa berdiri lama di depan lemari.
Tangannya menelusuri gantungan baju, tapi matanya tidak bisa lepas dari sebuah kaos putih tipis dan celana pendek denim yang jarang ia kenakan di luar rumah.
Ia tersenyum kecil, agak malu pada dirinya sendiri, lalu berbisik lirih:
“Kalau memang dia selalu memperhatikan… biar dia lihat lebih banyak.”
Begitu keluar rumah, angin sore langsung menyapu kulitnya yang terbuka. Kaos ketat itu menempel di tubuh rampingnya, menonjolkan lekuk halus yang biasanya ia tutupi. Celana pendeknya hanya beberapa jengkal dari paha mulus yang berkilat terkena sinar matahari.
Ia menggenggam tali Coco, pura-pura tenang. Tapi jantungnya berdetak kencang saat memasuki jalur taman yang sepi.
Dan benar saja—di ujung jalan setapak, sosok yang ditunggunya ada di sana.
Budi sedang membongkar tumpukan kardus, namun Lisa tahu, dari cara lelaki itu berhenti sejenak, dari tatapan yang diam-diam menelusuri dirinya, bahwa ia telah berhasil menarik perhatian.
Lisa sengaja memperlambat langkah. Ia pura-pura membetulkan tali sepatunya, membuat kaosnya semakin menegang saat ia menunduk. Coco menggonggong kecil, menarik perhatiannya sejenak.
Ketika Lisa berdiri lagi, pandangan mereka bertemu. Sekejap saja, tapi cukup membuat darahnya berdesir. Ada sesuatu di mata Budi seperti campuran gairah dan penahanan diri. Dengan senyum samar, Lisa menyapanya, “Sore…”
Suara itu ringan, tapi sebenarnya penuh undangan. Budi membalas, suaranya berat namun bergetar halus, “Sore Nona..
Lisa melangkah melewatinya perlahan, sengaja mengayun tubuhnya sedikit lebih dari biasa. Detik itu, ia merasakan sesuatu yang luar biasa aneh: rasa kuasa yang membuat darahnya mendidih, bercampur dengan gairah panas yang selama ini terpendam. Tanpa menoleh, ia tersenyum kecil. Dalam hati ia berkata:
Lihatlah aku. Aku tahu kau ingin. Dan aku juga ingin kau terus melihat.
Budi hanya berdiri kaku, jemarinya mengepal. Nafasnya memburu, bukan karena lelah, tapi karena tarikan tubuh Lisa yang begitu dekat namun masih tak tersentuh. Obsesi yang tadinya diam-diam kini tumbuh menjadi api besar, dan Lisa sadar atau tidak sedang menuangkan bensin ke dalamnya.
Langkah Lisa makin pelan, seakan ingin memanjangkan waktu saat melewati Budi. Angin sore menyibakkan rambut hitamnya, dan kaos tipis yang melekat di tubuhnya seolah memperlihatkan setiap lekuk. Ia bisa merasakan tatapan Budi menusuk punggungnya, membuat bulu kuduknya berdiri namun sekaligus memberi sensasi hangat yang sulit dijelaskan. Coco menggonggong pelan, lalu berhenti di dekat gerobak Budi, mencium kardus-kardus kumal yang menumpuk. Lisa ikut berhenti, berdiri hanya beberapa langkah dari lelaki itu.
Momen sunyi terbentang.
“Coco… ayo,” kata Lisa, setengah berbisik. Namun ia tidak benar-benar menarik talinya. Ia membiarkan anjingnya berkeliaran di sekitar gerobak, seolah sengaja mencari alasan untuk tetap berada di sana. Budi akhirnya mendongak.
Tatapan mereka bertemu.
Lisa tersenyum kecil, samar tapi cukup menusuk. “Repot ya, kerjaan begitu?” suaranya ringan, tapi nada di baliknya terasa seperti undangan. Budi mengangguk, mengusap keringat di pelipis. “Biasa, Nona. Barang-barang orang… ada yang masih bisa dipakai, ada yang cuma sampah.”
Nada suaranya berat, dalam, membuat Lisa merasakan getaran aneh di dadanya.
“Kadang… yang kelihatan nggak berharga, justru… disimpan orang,” lanjut Budi, kali ini menatap Lisa lebih lama dari seharusnya.
Kalimat itu membuat Lisa tercekat. Ada sesuatu di dalamnya—seolah ia bukan sekadar bicara soal barang bekas. Lisa pura-pura menunduk, menarik tali Coco, padahal wajahnya mulai memanas. Ia bisa merasakan tatapan itu masih menempel di tubuhnya, mengikuti setiap gerakannya. Dan alih-alih menghindar, ia justru ingin lebih lama merasakannya.
Ia berdiri sedikit lebih dekat, pura-pura membetulkan gelang di pergelangan tangan. Kaos tipisnya meregang, memperlihatkan garis tubuhnya dengan jelas. Budi tidak bergerak. Tapi sorot matanya tajam, menahan sesuatu yang seolah siap meledak.
Lisa tersenyum samar, lalu berkata pelan, “Kalau begitu… hati-hati ya, jangan sampai salah pilih mana yang berharga, mana yang sampah.”
Seketika itu juga ia menarik Coco dan berjalan pergi. Tapi langkahnya sengaja dibuat lambat, membiarkan Budi terus menatap punggungnya sampai menghilang di balik pohon. Dan Lisa tahu. ia sudah berhasil. Ia meninggalkan sesuatu yang tak akan bisa dilupakan lelaki itu.
Langkah Lisa baru beberapa meter menjauh ketika langit mendadak menggelap. Gerimis pertama jatuh, menimpa dedaunan, lalu makin rapat hingga menimbulkan bunyi lembut di sekeliling taman. Coco menggonggong pelan, resah karena bulunya mulai basah. Lisa berbalik, mencari tempat berteduh. Tak jauh dari sana, ada sebuah pohon besar dengan kanopi rimbun yang tumbuh di tepi danau kecil.
Ia berlari kecil ke sana. Tapi saat menoleh ke belakang, ia melihat Budi juga sedang berlari—gerobaknya ditinggalkan di pinggir jalan setapak, tubuhnya basah oleh gerimis.
Mereka akhirnya bertemu di bawah pohon yang sama.
Hening. Hanya suara rintik hujan jatuh ke permukaan danau, membentuk riak-riak kecil yang indah. Udara sore jadi lebih dingin, lembab, tapi keheningan itu terasa anehnya hangat. Lisa berdiri dengan napas agak tersengal, kaos tipisnya menempel ketat pada kulit akibat hujan. Rambutnya sebagian basah, menempel di pipi. Ia mencoba menepuk-nepuknya, tapi sadar tatapan Budi begitu dekat. Untuk pertama kalinya, jarak mereka hanya beberapa jengkal. Lisa melirik, mencoba tersenyum. “Lucu ya… malah hujan.”
Suaranya lirih, hampir tenggelam oleh suara air.
Budi menatap lurus ke arah danau, tapi suaranya berat saat menjawab, “Kadang hujan itu bikin orang lebih jujur. Nggak bisa sembunyi di balik topeng. Lisa terdiam. Kata-kata itu menusuknya lagi, persis seperti kertas yang ia temukan kemarin. Mereka sama-sama menatap danau.
Cahaya senja yang terperangkap di antara awan dan hujan menciptakan pantulan samar di permukaan air.
Lisa sadar jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena hujan, tapi karena kehadiran laki-laki itu di sampingnya.
Ada sesuatu yang liar dalam tatapan diam-diamnya—bukan sekadar pria asing, tapi seseorang yang tahu rahasianya. Dan anehnya, Lisa tidak berusaha menjauh. Justru ia membiarkan dirinya menikmati detik-detik itu.
Coco menggoyangkan tubuhnya, memercikkan air hujan ke sekeliling. Lisa terkekeh kecil, lalu tanpa sadar menoleh ke Budi. Tatapan mereka bertemu—lebih lama dari sebelumnya. Gerimis makin deras, menyelimuti mereka berdua di bawah pohon tua, seolah taman itu menyimpan rahasia.
Di balik dada Lisa yang bergemuruh, muncul sebuah kesadaran asing: ia suka diperhatikan, suka menjadi pusat perhatian diam-diam, suka peran ini. Dan di sudut matanya, ia melihat Budi menahan senyum tipis, matanya tak pernah lepas darinya.
Hujan makin deras. Rintiknya memecah permukaan danau kecil, membuat bayangan pepohonan bergoyang samar. Angin bertiup kencang, menusuk kulit, membuat Lisa menggigil halus. Kaos tipis yang menempel di tubuhnya basah total, mengikuti lekuk dada dan pinggangnya tanpa ampun. Lisa berusaha menutupi diri dengan menyilangkan tangan, tapi justru gerakan itu menambah kontras pada tubuhnya.
Budi menelan ludah. Tatapannya keras, seperti sedang berperang dengan dirinya sendiri.
“Dingin, ya?” suaranya serak, nyaris tak terdengar. Lisa menoleh, tersenyum kaku. “Iya… nggak nyangka hujannya bakal segini deras.” Ia merapatkan tubuh, berusaha menahan gigil.
Budi menghela napas panjang. “Nona…” ia berhenti sebentar, menatapnya tajam. “Kamu tahu nggak… bahaya kalau terlalu sering sendirian begini. Lisa mengernyit. “Bahaya kenapa?
Kata-kata itu jatuh berat, mengandung sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar peringatan. Lisa tercekat. Ada arus hangat merambat dari leher sampai ke telapak tangan. Tatapan Budi terlalu terus terang, terlalu jujur, membuatnya ingin menunduk tapi tak bisa.
“Budi…” Lisa berbisik, menelan ludah. “Kamu sering perhatikan aku, ya? Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tanpa bisa ia tahan. Budi tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mengangguk sekali, perlahan, matanya tetap terkunci pada Lisa.
Seketika angin bertiup kencang, membuat tubuh Lisa kembali menggigil. Budi mengencangkan rahangnya. Ia melihat gadis itu menggigil, melihat kaos tipisnya basah, melihat kelembutan yang rapuh di balik sosok “putri kompleks” yang selama ini hanya bisa ia tatap dari jauh. Dan saat itu juga, kendali yang tipis itu patah. Budi melangkah mendekat, lalu tiba-tiba meraih Lisa ke dalam pelukannya. Lisa terkejut.
“B-Budi…!” napasnya tercekat, tubuhnya kaku dalam pelukan itu.
Tapi Budi tidak melepaskannya. Tangannya kuat, hangat, menyalurkan kehangatan tubuhnya ke tubuh Lisa yang dingin.
“Aku… nggak tahan lihat kamu kedinginan begini,” bisiknya pelan di dekat telinga Lisa, suaranya rendah, parau, bercampur dengan detak jantung yang keras.
Lisa terpaku. Ia bisa merasakan dada Budi yang keras menekan tubuhnya, bisa mencium aroma tanah basah bercampur keringat lelaki itu. Jantungnya berdegup kencang, dan untuk pertama kalinya ia benar-benar sadar: dirinya sedang dipeluk oleh seseorang yang selama ini hanya ia izinkan melihat dari jauh. Dan anehnya, meski terkejut—ia tidak berusaha melepaskan diri. Pelukan itu bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Hujan semakin deras, menutup dunia dengan tirai air, seolah hanya mereka berdua yang tersisa di taman.
Lisa masih kaku, kedua tangannya terjepit di antara tubuhnya dan dada Budi. Detak jantungnya begitu kencang, hampir memalukan. Semakin lama ia merasa hangat itu menyusup ke dalam kulitnya, memecahkan dingin yang tadi menggigilkan tubuhnya. Namun justru kehangatan itu membuatnya panik. Ada sesuatu yang asing, liar, dan berbahaya di dalam dirinya—dan ia takut jika Budi bisa melihatnya.
“B-Budi… lepaskan aku,” bisiknya terbata. Suaranya keras di permukaan, tapi rapuh di ujung nada. Budi tidak bergeming. Nafasnya berat di dekat telinga Lisa.
“Aku cuma nggak mau lihat kamu kedinginan.”
Lisa menggertakkan giginya, berusaha menegakkan wajah. Ia menatapnya dengan mata sedikit memerah, meniru kemarahan yang sebenarnya tidak ada.
“Jangan lancang! Kamu pikir siapa dirimu berani memelukku begini?”
Budi menatapnya lama, hujan menetes di wajahnya. Matanya gelap, tapi ada nyala di dalam sana. Perlahan ia mengendurkan pelukannya, namun tak sepenuhnya melepaskan.
“Maaf, Nona…” suaranya dalam, serak. “Kalau aku salah. Tapi… aku nggak bisa pura-pura nggak lihat. Aku nggak bisa pura-pura nggak peduli.”
Lisa terdiam. Kata-kata itu menikam lebih dalam daripada pelukan itu sendiri.
Ia ingin marah sungguhan, ingin berteriak agar lelaki ini menjauh. Tapi tubuhnya tidak mendukung—tubuhnya justru bergetar, bukan oleh dingin, tapi oleh sesuatu yang jauh lebih sulit diakui.
Ia menunduk, pura-pura sibuk merapikan rambut yang basah, menyembunyikan pipinya yang memanas.
“Hanya karena aku biarkan kamu di sini… bukan berarti kamu bisa seenaknya.”
Kalimat itu keluar tajam, tapi lirih di dalam hatinya, Lisa tahu—ia sama sekali tidak ingin Budi benar-benar menjauh. Hujan tak kunjung reda. Rintiknya seperti tirai tipis yang menutupi dunia, menyisakan hanya mereka berdua di bawah pohon besar itu.
Lisa berdiri dengan dada berdebar, masih pura-pura sibuk merapikan rambut yang basah. Pipinya memanas, tapi ia memaksa wajahnya tetap terlihat dingin.
Namun tatapan Budi menempel padanya seperti bayangan. Budi melangkah setengah maju. “Aku tahu kamu marah…” suaranya rendah, hampir bergetar. “Tapi matamu nggak bisa bohong, Nona.”
Lisa tertegun, buru-buru mengangkat wajah dengan tatapan tajam. “Apa maksudmu?”
Budi menelan ludah. Ia sadar sudah melangkah terlalu jauh, tapi justru itu membuat keberaniannya tumbuh. “Maksudku… aku lihat kamu nggak benar-benar ingin aku lepaskan.”
Kalimat itu menghantam dada Lisa. Ia ingin membantah, ingin menampar, tapi lidahnya kelu. Yang keluar hanya desis pelan, “Kamu… berani sekali bicara begitu. Budi tersenyum tipis. “Mungkin aku memang nekat. Tapi sejak lama aku lihat kamu dari jauh. Sekarang, setelah sedekat ini… susah buatku untuk pura-pura jadi orang asing lagi.”
Hening beberapa detik. Hanya ada suara hujan yang jatuh ke tanah. Budi mendekat selangkah lagi. Jarak mereka kini hanya tinggal setengah lengan. Hembusan nafasnya menyapu wajah Lisa yang basah oleh hujan. Tangannya sempat terangkat, ragu, lalu menyentuh lengan Lisa yang dingin. Lisa menegang. “Budi… jangan—” suaranya lirih, lebih mirip bisikan ketimbang peringatan.
“Kenapa jangan?” Budi menatapnya tajam. “Kalau kamu benar-benar nggak mau… kamu bisa pergi dari sini. Lisa membeku di tempatnya. Kakinya berat. Ia tidak melangkah. Budi melihat itu, dan senyum tipis kembali terbit di wajahnya.
“Nah… lihat kan?” suaranya parau, makin berani. Tangannya kini menelusuri lengan Lisa pelan, menyusuri dingin yang menggigil menjadi hangat.
Lisa menutup mata sejenak, menarik napas panjang. Ia tahu dirinya seharusnya marah, berteriak, menolak dengan keras. Tapi entah kenapa tubuhnya justru memilih diam—dan diam itu lebih jujur daripada seribu kata. Budi semakin yakin. Obsesinya kini menemukan celah nyata.
Sentuhan di lengannya membuat Lisa kembali membuka mata. Budi berdiri begitu dekat, matanya penuh gairah yang tak disembunyikan. Untuk sesaat Lisa merasa terjebak. Tapi lalu, di balik gemetar tubuhnya, muncul sesuatu yang lain—rasa penasaran. Seberapa jauh lelaki ini berani?
Seberapa kuat ia menahan diri kalau dipancing? Lisa mengangkat dagunya sedikit, menatap lurus ke mata Budi. Senyum samar terbit di bibirnya, senyum yang nyaris tak terbaca apakah itu ejekan atau undangan.
“Jadi… kamu bilang aku nggak benar-benar mau menolak?” suaranya pelan, namun tajam, seperti pisau tipis yang diselipkan di antara kata-kata.
Budi menelan ludah, tetap tak bergeming. “Ya. Matamu jujur. Lebih jujur dari bibirmu.”
Lisa terkekeh lirih. “Lucu juga. Seorang pemulung mengaku tahu isi hatiku.” Ia menekankan kata pemulung, seolah ingin mengingatkan posisi mereka berdua. Tapi justru kalimat itu keluar dengan nada menggoda. Dengan gerakan sengaja, Lisa menyingkirkan rambut basah dari lehernya, memperlihatkan kulit putihnya yang berkilau ditimpa hujan. Ia tahu Budi memperhatikan, dan ia membiarkannya.
“Kamu yakin berani main-main dengan api, Budi?” bisiknya sambil sedikit mendekat. “Bagaimana kalau aku benar-benar marah dan mengusirmu dari sini? Atau… mungkin aku malah menikmatinya?”
Budi menahan napas. Tatapannya terikat pada Lisa, tak mampu berpaling.
Lisa bisa merasakan gemetar halus dari tangan Budi yang masih menyentuh lengannya. Senyum nakal merekah di wajahnya.
“Kalau kamu berani,” ia menantang dengan suara nyaris tak terdengar karena tertutup derasnya hujan, “buktikan padaku. Tapi hati-hati… aku bisa balik mempermainkanmu.”
Di balik kata-kata itu, Lisa merasakan sesuatu yang asing namun memabukkan—seakan ia sendiri yang kini sedang bermain dengan hasratnya, dan Budi hanya pion di papan permainan yang ia ciptakan. Hujan semakin deras, menutup suara dunia di sekitar mereka. Hanya ada desir angin, dingin menusuk, dan panas yang merambat di antara tubuh keduanya.
Lisa masih menatap dengan senyum menantang, seakan benar-benar menunggu langkah berikut dari Budi.
Dan Budi—yang selama ini hanya bisa mengintip dari balik bayang—tak lagi mampu menahan diri.
Dengan gerakan tiba-tiba namun penuh tekad, Budi menarik Lisa lebih dekat. Tubuh mungil gadis itu terhimpit di dadanya yang basah kuyup. Tangannya melingkar erat di pinggang ramping Lisa, menahan agar gadis itu tak bisa bergerak. Lisa terperanjat, matanya membelalak, tapi sebelum sempat berkata apa-apa, bibirnya sudah ditangkap oleh bibir Budi.
Ciuman itu kasar, penuh lapar, bukan sekadar sentuhan manis. Nafas Budi panas meski udara sekitar dingin. Hidung mereka saling bersentuhan, lidahnya berusaha mendesak masuk, menuntut ruang. Lisa menegang sejenak, mencoba melawan dengan kedua tangannya di dada Budi. Tapi justru tekanan itu membuat pelukan Budi semakin erat. Tubuh mereka kini benar-benar saling menempel, basah kuyup di bawah tirai hujan.
Detik-detik berikutnya, pertahanan Lisa goyah. Bibirnya yang awalnya kaku perlahan melunak, membiarkan permainan itu terjadi. Ada getaran asing yang menjalar dari mulut hingga ke ujung jari-jarinya. Budi semakin berani. Tangannya yang satu menahan punggung Lisa agar tak kabur, sementara yang lain naik sedikit, menyusuri garis bahu yang licin karena air hujan. Sentuhan itu membuat Lisa bergidik, bukan karena dingin, melainkan karena sensasi yang meledak tak terkendali.
Ketika akhirnya Budi melepaskan ciuman itu sejenak, keduanya sama-sama terengah.
Mata Lisa berkilat, pipinya memerah, bibirnya basah berkilau.
Ia ingin marah, ingin menampar… tapi kata-kata yang keluar justru bergetar:
“Budi… kamu… gila…”
Budi menatapnya dalam-dalam, masih memeluk erat. Senyumnya tipis, parau.
“Mungkin iya… gila karena kamu, Lisa.”
Hujan tak kunjung reda. Pohon besar tempat mereka berteduh seolah menciptakan ruang rahasia, hanya untuk mereka berdua. Lisa masih dalam dekapan Budi, dadanya naik-turun cepat. Bibirnya bergetar, bukan karena dingin, melainkan karena masih merasakan jejak ciuman yang baru saja mendarat begitu berani.
Ia mencoba bersuara, tapi yang keluar hanya bisikan lemah.
“Budi… kau tak seharusnya…”
Namun tubuhnya justru tak melakukan apa-apa untuk menyingkirkan pelukan itu.
Budi mendekat lagi, kali ini lebih pelan, matanya mengunci mata Lisa.
“Aku tahu… tapi aku juga tahu kamu tidak benar-benar ingin aku berhenti.”
Lisa membeku. Kata-kata itu begitu berbahaya—karena ada benarnya.
Dengan sengaja, ia menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak dalam dada. Tapi justru itu membuat bibirnya terlihat semakin menggoda, dan Budi kembali menunduk. Ciuman kedua jatuh, lebih dalam, lebih menuntut. Lisa akhirnya menyerah pada tarik-ulur itu. Perlahan, kedua tangannya yang tadi mendorong kini malah naik ke pundak Budi. Ia tidak sepenuhnya membalas, tapi juga tak lagi menolak.
Tubuhnya yang dingin karena hujan seakan mencari perlindungan di dada Budi.
Detik itu, ia tahu—dirinya telah melewati batas.
Budi merasakan getaran kecil di tubuh Lisa, tapi ia juga merasakan bagaimana gadis itu tidak benar-benar melawan.
Tangannya yang kasar namun hangat bergerak di sepanjang punggung Lisa, menelusuri lekuk tubuh yang hanya terpisah tipis oleh kaos ketat yang basah menempel di kulit. Lisa mengerjapkan mata, merasakan dadanya sendiri berdegup semakin cepat. Hatinya berteriak untuk berhenti, tapi tubuhnya menjerit meminta lebih.
Ketika akhirnya bibir mereka terlepas lagi, Lisa terengah-engah.
Matanya menatap tajam ke arah Budi, tapi bukan lagi marah—melainkan campuran takut, penasaran, dan… gairah.
“Kalau ada orang lihat… kita bisa habis, Budi,” katanya berbisik, seolah dirinya sendiri sedang menegur.
Budi hanya tersenyum tipis, masih menahan pinggang Lisa erat.
“Di sini cuma ada hujan, aku, dan kamu, Lisa. Dunia di luar nggak penting lagi.”
Hujan menari deras di atas danau kecil, memantulkan kilatan cahaya senja yang meredup. Di bawah pohon besar itu, dunia seolah berhenti hanya untuk mereka. Budi sudah tak bisa lagi mengendalikan dirinya. Tatapan Lisa yang campur aduk—antara takut, penasaran, dan berani—membuat darahnya mendidih.
Tanpa berkata apa-apa, ia menunduk kembali, mencium bibir Lisa dengan lebih dalam, kali ini tanpa memberi kesempatan untuk menolak. Lisa meringis kecil, tubuhnya menegang, tapi beberapa detik kemudian, desah tipis lolos dari bibirnya yang terperangkap.
Budi mendekap makin erat, tangannya bergerak turun lalu naik lagi ke sisi pinggang Lisa. Kaos ketat yang menempel karena basah hujan membuat lekuk tubuhnya terasa jelas di genggaman.
Lisa menggigil, bukan lagi karena dingin.
“Budi… jangan…” bisiknya lemah, seolah hanya formalitas.
Budi menatap matanya sebentar. “Aku nggak bisa berhenti, Lis.”
Dengan satu tarikan nekat, tangannya menarik ujung kaos Lisa. Kain tipis itu melekat ketat di kulit, tapi perlahan berhasil terlepas dari tubuh mungilnya. Lisa terkejut, matanya melebar, nafasnya memburu. Kini tubuh bagian atasnya hanya tersisa bra tipis yang ikut basah, menempel pada kulit putihnya.
Dingin hujan bercampur panas dari tatapan Budi membuat Lisa memeluk tubuhnya sendiri sebentar, seakan hendak menutupi diri. Tapi saat Budi kembali mendekat, ia tidak benar-benar melawan.
Budi memandangnya lama, matanya liar namun penuh hasrat terpendam.
“Kamu cantik banget, Lis… bahkan lebih indah dari apa pun yang pernah kubayangin.”
Lisa menggigit bibir bawahnya, menunduk, wajahnya memerah meski tubuhnya kedinginan.
Ia berbisik, hampir tak terdengar, “Kamu gila, Bud…”
Tapi saat Budi kembali meraih pinggangnya, Lisa tidak mendorong. Ia malah membiarkan tubuhnya jatuh lagi ke dalam dekapan pria itu. Ciuman berikutnya meledak lebih panas. Bibir mereka bertaut, lidah saling mencari, dan tangan Budi kini mulai berani menjelajah lebih jauh, meraba kulit Lisa yang dingin basah namun terasa begitu hidup.
Lisa merintih kecil di sela ciuman, setengah menahan, setengah menikmati. Di bawah hujan yang makin deras, mereka hanyut dalam pelukan yang semakin tak bertepi.
Hujan terus mengguyur deras, membuat taman itu sepi dan hanya diisi suara rintiknya yang menutupi segalanya. Pohon besar tempat mereka berteduh seakan berubah menjadi dinding rahasia yang menyembunyikan apa yang tak seharusnya terlihat dunia.
Lisa berdiri terengah, tubuhnya setengah telanjang dengan bra tipis yang sudah basah menempel di kulitnya. Matanya menatap Budi. Ada rasa takut tapi juga ada sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
Budi mendekat, tangannya kasar tapi hangat, menelusuri lengannya lalu berhenti di pinggang. Ia menunggu, memberi kesempatan Lisa untuk mendorongnya.
Namun Lisa tidak melakukan itu. Ia hanya memejamkan mata, menggigit bibir bawahnya, lalu menghela napas panjang.
“…Lakukan saja, Bud,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Kata-kata itu membuat darah Budi mendidih. Tanpa ragu lagi, ia meraih tubuh Lisa ke dalam pelukannya, mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Kali ini, Lisa membalas. Ragu-ragu pada awalnya, lalu semakin larut dalam ciuman yang panas dan menyesakkan.
Hujan menetes di wajah mereka, bercampur dengan desah napas yang berat. Budi menelusuri punggung Lisa, jarinya menyentuh kait bra yang basah. Lisa sempat tersentak, membuka matanya, tapi sekali lagi ia tidak menghentikan.
"Budi…” suaranya gemetar, antara ingin menolak dan pasrah.
“Aku… aku nggak tahu kenapa…”
Budi menempelkan keningnya ke kening Lisa, menatapnya dengan mata penuh hasrat.
“Karena kamu juga ngerasain, Lis. Sama kayak aku.”
Dengan gerakan pasti, kait bra itu terbuka, jatuh longgar. Lisa merapatkan tubuhnya ke dada Budi, menahan rasa malu, tapi juga tidak mencoba merapikannya lagi.
Budi menunduk, bibirnya turun ke leher Lisa, mencium dengan rakus di bawah derasnya hujan. Gadis itu mendongak, bibirnya merintih pelan, tubuhnya bergetar—bukan lagi karena dingin, melainkan karena kenikmatan asing yang merayapi kulitnya.
Lisa tahu, ia sedang melanggar semua batas yang selama ini dijaganya. Tapi entah kenapa, di bawah hujan, dalam dekapan seorang pemulung yang seharusnya jauh dari dunianya, ia justru merasa hidup… bebas… dan liar.
Tubuhnya kini sepenuhnya ia serahkan. Membiarkan Budi, membiarkan hujan menjadi saksi bisu, membiarkan gairah yang selama ini terpendam membakar mereka berdua.
Hujan deras menutup taman dengan tirai air yang rapat, seolah dunia di luar sana menghilang. Di bawah pohon besar itu, dua tubuh basah kuyup saling melebur.
Lisa merapatkan tubuhnya ke dada Budi, pasrah, matanya terpejam rapat, bibirnya terbuka menahan desah. Bra tipis yang longgar akhirnya terlepas dari tubuhnya, jatuh ke tanah yang becek. Budi menatap sekilas tubuhnya yang kini terbuka, lalu tanpa menunggu lagi, ia menunduk, mencumbu dengan penuh lapar.
Lisa terkejut, tubuhnya melengkung, tangannya mencengkeram punggung Budi. “Bud… jangan… ah…” bisiknya, tapi suaranya semakin lemah, tenggelam dalam rintik hujan dan denyut gairah.
Nafas mereka kian cepat, tangan Budi semakin berani menjelajah, menuntun tubuh Lisa jatuh berlutut ke tanah basah. Namun gadis itu tidak menolak—ia hanya menatapnya, dengan wajah basah oleh hujan dan rambut yang menempel kusut, lalu mengangguk pelan seolah mengizinkan.
Hanya butuh sekejap, pakaian yang tersisa pun tersingkir. Kini tak ada lagi penghalang, hanya tubuh dan hasrat yang bertabrakan.
“Lisa…” suara Budi serak, penuh gejolak.
“Hm…” Lisa hanya menjawab dengan desahan, kedua tangannya memeluk leher Budi erat-erat.
Dan di bawah hujan deras itu, mereka akhirnya menyatu. Gerakan pertama membuat Lisa terpekik kecil, tubuhnya menegang, namun kemudian luluh dalam irama yang semakin liar.
Hujan tak lagi terasa dingin—justru menjadi iringan yang menambah panas. Tanah basah, aroma rerumputan, dan cipratan air membuat segalanya terasa begitu primitif, liar, dan tak terkendali.
Lisa memejamkan mata, tubuhnya pasrah terbawa, bibirnya merintih dan memanggil nama Budi di sela-sela napas yang tercekat. Sementara Budi, dengan gairah yang tak pernah ia bayangkan bisa ia rasakan bersama “putri kompleks” itu, menggenggam tubuhnya seolah tak ingin melepaskan selamanya.
Malam itu, hujan menjadi saksi bisu ketika batas-batas runtuh, ketika dua dunia yang tak seharusnya bersatu malah berpadu dalam satu ledakan hasrat.
Budi kini tidak lagi ragu. Setelah bra Lisa jatuh ke tanah, ia menatap tubuh mungil itu dengan mata penuh lapar. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun cepat.
“Cantik banget…” gumamnya parau, tangannya masih bergetar menahan gejolak.
Lisa menunduk, wajahnya memerah meski dingin hujan menusuk kulit. “Jangan bilang gitu…” ucapnya malu-malu. Namun kakinya tetap lemas, seolah menyerahkan kendali pada Budi.
Dengan gerakan mantap, Budi menarik kaos lusuh yang melekat di tubuhnya, melemparkannya ke tanah becek. Otot dadanya yang basah oleh hujan tampak jelas. Lisa menelan ludah, matanya sempat melirik tubuh keras itu sebelum buru-buru berpaling, tapi bibirnya tersenyum samar.
Tanpa bicara lagi, tangan Budi turun ke pinggang Lisa, meraih celana pendek ketat yang sudah menempel karena air. Ia menunduk, menatap mata Lisa, memberi waktu untuk menolak.
Lisa hanya diam, bibirnya gemetar. Saat jari Budi menarik resleting kecil itu, Lisa mendesah pelan, seolah lega sekaligus takut. “Budi…”
“Tenang aja, aku nggak akan nyakitin kamu,” jawab Budi serak, suaranya pecah oleh hasrat yang sulit dibendung.
Celana pendek itu akhirnya terlepas perlahan, menurun melewati paha Lisa yang putih dan licin oleh hujan. Gadis itu reflek menutup wajah dengan kedua tangannya, tubuhnya bergetar hebat—bukan lagi karena dingin, tapi karena rasa malu bercampur gairah yang meluap.
Budi terdiam sejenak, menatap sosoknya yang kini hampir tanpa busana, hanya menyisakan pakaian tipis terakhir yang nyaris transparan. “Ya Tuhan…” desisnya, seolah tak percaya.
Lisa akhirnya menurunkan tangannya, menatap Budi dari balik bulu mata yang basah.
“Kamu… jangan cuma lihat,” bisiknya, separuh menantang.
Ucapan itu seperti api yang membakar habis kesabaran Budi. Ia langsung meraih tubuh Lisa, mencium bibirnya dengan rakus, lidahnya menembus, menuntut. Lisa meringis lalu tenggelam, tangannya melingkari leher Budi erat-erat.
Ciuman itu berlanjut, makin dalam, makin panas, hingga mereka terjatuh di tanah berumput yang becek. Hujan terus mengguyur, namun tak ada yang peduli. Budi kini benar-benar melucuti sisa pakaian Lisa, dan gadis itu tak lagi menahan.
Hanya ada desah, cumbu, dan tubuh yang saling mencari di bawah tirai hujan.
Lisa terengah, matanya berkaca-kaca, tubuhnya menegang ketika akhirnya Budi benar-benar menyatu dengannya. Pekik kecil lolos dari bibirnya, tangannya mencengkeram bahu Budi keras-keras.
“Bud… ahhh…” suaranya patah-patah, bercampur rasa sakit dan nikmat yang tak bisa ia pahami.
Budi berhenti sebentar, mencium keningnya, berbisik lembut, “Sabar, Lis… nikmatin aja.”
Perlahan, irama mulai mengalun. Lisa menggigit bibir, menahan teriakan, tubuhnya mengikuti gerakan liar Budi yang semakin mantap. Hujan menetes di wajah mereka, bercampur dengan keringat dan air mata kecil yang entah dari mana.
Rintihan Lisa makin jelas, bergema di bawah pohon besar itu, di tepi danau yang berkilau oleh hujan. Setiap gerakan, setiap dentuman, membuatnya hanyut lebih jauh ke dalam dunia asing yang menakutkan sekaligus memabukkan.
Dan malam itu, di bawah hujan deras, dunia seolah hilang. Tak ada lagi pemulung dan putri kompleks. Tak ada lagi batasan. Yang ada hanyalah dua tubuh yang menyatu, bergetar dalam kenikmatan terlarang yang tak bisa lagi mereka hentikan.
Budi menekan tubuh Lisa hingga punggungnya menempel pada batang pohon besar yang basah oleh hujan. Kulit Lisa dingin, tapi tubuhnya panas bergetar di bawah dekapan.
“Lis…” bisiknya serak, bibirnya kembali mencumbu leher gadis itu.
Lisa hanya mengerang lirih, tubuhnya kaku sejenak lalu luluh, kedua tangannya mencengkeram bahu Budi erat-erat.
Dengan tenaga penuh gairah, Budi meraih paha Lisa, mengangkat sebelah kakinya tinggi hingga melingkari pinggangnya. Lisa terperanjat, “Bud… jangan…” bisiknya, tapi tubuhnya tak kuasa menolak. Nafasnya makin berat, matanya terpejam rapat.
Begitu posisi itu terbentuk, Budi menghujam masuk dengan satu gerakan mantap. Lisa terpekik, punggungnya melengkung keras menahan sensasi yang menyerbu seluruh tubuhnya.
“Astaga…” desahnya, kepalanya jatuh ke bahu Budi, tubuhnya bergetar hebat.
Irama itu mulai berjalan, setiap hentakan membuat tubuh Lisa terangkat sedikit, terdorong oleh pohon di belakangnya. Hujan yang deras menetes dari dahan ke tubuh mereka, menambah basah, menambah liar.
“Bud… ah… pelan…” rintih Lisa, tapi suaranya terdengar lebih seperti permohonan manja daripada penolakan.
Budi justru makin dalam, makin kuat, seakan ingin menegaskan kepemilikan atas tubuh mungil itu. “Kamu nggak tahu dari dulu aku ngebayangin ini, Lis…” ucapnya di telinganya, suaranya penuh obsesi.
Lisa menggigit bibir, wajahnya memerah. “Kamu gila… tapi… ahhh… aku nggak sanggup lagi…”
Di bawah pohon besar itu, tubuh Lisa menempel pada batang keras, sementara Budi terus menghujam dengan liar. Setiap hentakan membuat air hujan memercik dari kulit mereka, tubuh yang menyatu tanpa henti.
Lisa kini tak lagi berusaha menolak—ia justru melingkarkan kedua kakinya di pinggang Budi, membiarkan dirinya terangkat penuh, menerima setiap gelombang yang menghantamnya.
“Bud… aku… aku nggak tahan…” desahnya, kepalanya mendongak ke langit, wajahnya basah oleh hujan bercampur air mata gairah.
Malam itu di bawah derasnya hujan, mereka benar-benar hanyut dalam penyatuan yang liar, basah, dan tak terkendali—hingga batas antara rasa sakit, nikmat, dosa, dan kepuasan melebur jadi satu.
Tubuh Lisa sudah lemah, napasnya tersengal. Budi menurunkan tubuhnya perlahan, lalu dengan penuh hasrat memposisikannya.
“Pegangan di pohon, Lis…” bisiknya parau, tangannya menuntun tubuh mulus itu.
Lisa menurut, kedua tangannya menempel pada batang pohon besar yang basah oleh hujan. Rambutnya menempel pada wajah, dadanya naik-turun cepat. Ia melirik ke belakang, wajahnya setengah panik, setengah pasrah. “Budi… jangan… terlalu keras…
Budi tersenyum tipis, nafasnya berat. Tangannya meraih pinggang Lisa, menarik tubuh ramping itu agar sedikit membungkuk, bokongnya menantang ke belakang. “Aku janji… tapi aku nggak bisa nahan lagi, Lis.”
Dengan satu dorongan mantap, Budi menghujam dari belakang. Tubuh Lisa terlonjak, pekiknya tertahan karena ia menggigit bibir. Punggungnya melengkung indah, dadanya tertekan pada batang pohon yang licin.
“Bud… ahh… dalam banget… suaranya pecah, antara rintihan dan keluhan.
Budi menunduk, mencium bahunya, sembari terus menghentakkan tubuhnya makin kuat. Air hujan menetes deras di wajah mereka, menambah irama liar yang kian tak terkendali. Lisa menggeliat, tubuhnya gemetar, kedua tangannya berusaha mencengkeram kulit pohon yang kasar. Setiap kali Budi menghujam, desahan panjang lolos dari bibirnya.
“Lis… kamu bikin aku lupa diri. ucap Budi, suaranya parau penuh obsesi.
Lisa hanya bisa menggeleng, wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca. “Aku… nggak bisa lagi… ahhh… Budi…
Di bawah derasnya hujan, mereka tenggelam dalam posisi itu: Lisa membungkuk bersandar pada pohon, tubuhnya digempur dari belakang, sementara Budi tak lagi menahan diri, seolah ingin menandai gadis itu sepenuhnya sebagai miliknya. Hujan, rintihan, dan dentuman tubuh berpadu jadi satu malam yang tak terlupakan.
Tubuh Lisa nyaris tak sanggup lagi berdiri. Lututnya gemetar, napasnya masih memburu cepat. Tapi Budi tidak berhenti. Dengan tenaga yang kokoh, ia meraih tubuh mungil itu, memapah dengan kedua tangannya seakan Lisa hanya sehelai kain ringan.
“Bud… aku… udah nggak kuat…” bisik Lisa, matanya setengah terpejam.
Budi justru tersenyum samar, wajahnya basah oleh hujan. “Belum, Lis… aku belum selesai sama kamu.”
Ia membawa Lisa ke sebuah bangku besi tua yang menghadap langsung ke danau kecil. Air hujan menimpa permukaan danau, menciptakan riak-riak yang berkilauan samar oleh lampu taman. Di bawah bayangan pohon besar, bangku itu menjadi saksi baru.
Budi mendudukkan Lisa perlahan di sana, tubuhnya masih bergetar. Kaos yang tadi sudah terlepas kini hanya menyisakan bra tipis yang basah menempel erat, sementara celana pendeknya pun hampir tak berguna lagi.
Lisa mendongak, tatapannya campur aduk antara lelah, terperangah, dan hasrat yang masih menyala. “Budi… kamu gila… kita bisa ketahuan…”
Budi merunduk, menempelkan bibirnya ke telinganya, suaranya serak dan berat, “Aku nggak peduli. Malam ini, kamu cuma milik aku.”
Ia lalu menekan tubuh Lisa ke sandaran bangku, kedua tangannya mencengkeram paha mulus itu dan membuka lebar. Lisa terperanjat, “Bud… ahh…”
Hujan makin deras, menutupi segala suara. Nafas mereka berpadu, panas tubuh melawan dingin malam.
Tanpa banyak jeda, Budi kembali menghujam, kali ini dengan posisi Lisa setengah duduk di bangku. Tubuh Lisa terangkat sedikit tiap kali terdorong, bokongnya terhimpit dinginnya besi bangku yang licin, tapi justru menambah sensasi berbeda.
Lisa menjerit lirih, kedua tangannya refleks melingkar di leher Budi. “Astaga… dalam sekali… ahhh… Bud…”
Irama itu kembali tercipta, makin cepat, makin tak terkendali. Budi mendekap Lisa erat-erat seakan tak mau melepaskannya lagi, sementara tubuh mereka bergetar di tengah hujan yang mengguyur tanpa henti.
Di hadapan danau kecil yang sunyi, hanya ada satu kenyataan: gairah mereka yang tak terbendung, menyatu semakin dalam, semakin liar.
Tubuh Lisa semakin tak berdaya, tapi sorot matanya menyalakan api yang sama sekali tidak padam. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan desah, namun tiap kali Budi menghentakkan pinggulnya, suara itu pecah juga, lolos tak tertahankan.
“Bud… ahhh… kamu… gila… jangan— terlalu dalam…!” suaranya pecah di sela hujan.
Budi hanya menggeram rendah, tangannya memeluk punggung Lisa makin erat. Setiap hentakan menghujam lebih kuat, lebih cepat, membuat tubuh mungil itu terguncang hebat di bangku besi yang basah.
Lisa mendongak, kepalanya terhempas ke belakang, hujan mengguyur wajahnya, dadanya naik turun liar. “Aku… nggak tahan… ahhh… Budi…!”
Budi menatapnya lekat-lekat, rahangnya mengeras, peluh bercampur hujan menetes di wajahnya. “Lepasin aja, Lis… aku juga udah mau… bareng sama kamu…”
Hentakannya semakin dalam, semakin cepat, hingga tubuh Lisa benar-benar bergetar hebat. Tangan Lisa meremas bahu Budi sekuat tenaga, kukunya menancap ke kulit.
Lalu, dalam satu tarikan napas panjang… dunia seakan pecah.
Di saat yang sama Budi merasakan seluruh tenaganya tersapu habis. Nafasnya terengah, dadanya naik turun dan tangannya masih menahan pinggang Lisa seolah tidak ingin melepaskannya.
Hujan deras menutupi suara mereka. Bangku besi di taman itu bergetar halus menahan beban dua tubuh yang saling melekat, sementara permukaan danau kecil di depan mereka berkilauan diterpa air hujan.
Pelan-pelan mereka terkulai, tetap dalam dekapan yang erat. Lisa bersandar di dada Budi dengan wajah merah dan mata setengah terpejam. Tubuhnya masih bergetar lemah, di antara rasa lelah, lega, dan gentar yang bercampur jadi satu. Budi menunduk lalu mengecup pelipisnya. Suaranya serak, hampir seperti gumaman.
“Sekarang… kamu bener-bener milik aku, Lis.”
Lisa tidak menjawab. Ia hanya terdiam, membiarkan dirinya tetap berada dalam pelukan Budi. Malam itu di bawah hujan deras, di bangku taman yang menghadap danau kecil akhirnya obsesi Budi menemukan jalannya.
Budi si pemuling berjaya mendominasi cewe high class
BalasHapus