Langsung ke konten utama

Hukuman Les Privat

By : Analconda13

Sore itu udara terasa lebih panas dari biasanya. Aku duduk di meja belajar sambil menunduk dan menatap buku matematika yang terbuka di depanku. Angka-angka itu seperti musuh yang nggak habis-habisnya, melompat-lompat di halaman seperti menertawakanku. Setiap kali aku mencoba mengerjakan soal, rasanya kepala ini makin berat dan mata ini seakan menolak untuk fokus. Aku menghela napas panjang lalu tanpa sadar tanganku mencoret-coret samping halaman, membuat garis-garis acak yang bahkan nggak ada hubungannya dengan matematika.

Namaku Fania Chen, seorang gadis Chindo berusia 15 tahun. Aku masih bersekolah di SMP yang ada dekat rumah, jadi setiap hari aku bisa pulang lebih cepat kalau tidak ada kegiatan ekstra. Kulitku putih bersih, rambutku lurus hitam, dan wajahku imut dengan senyum manis yang menampakkan gigi kelinci. Kadang orang bilang aku terlihat kekanak-kanakan dan jujur saja, mungkin memang benar begitu. Aku suka manja terutama kalau soal urusan pelajaran atau saat aku ingin diperhatikan.

Sebagai anak tunggal dari keluarga menengah, aku terbiasa dimanjakan sedikit-sedikit. Misalnya kalau aku capek belajar, mama suka membuatkan teh hangat atau kue kecil untuk menenangkan pikiranku. Aku nggak malu mengakui itu; justru rasanya nyaman dan hangat. Kadang aku berpikir, mungkin rasa manja ini juga yang membuat teman-temanku merasa aku mudah diajak bercanda atau ditemani saat susah. Tapi hari ini bahkan perhatian kecil itu nggak bisa menenangkan kepalaku. Matematika tetap menuntut, angka tetap mengejar dan aku cuma bisa menunduk berharap waktu cepat berlalu.

Kamarku sendiri nyaman dan rapi, harum khas anak perempuan yang selalu dirapikan Mama setiap hari. Dindingnya dicat pink pastel lembut, memberi kesan hangat dan menenangkan, sementara rak-rak kecil berderet boneka lucu berjajar rapi. Beberapa boneka berwarna cerah, beberapa lagi berbentuk karakter kartun favoritku. Setiap kali aku menatapnya, rasanya hati ini sedikit lega meski kepala masih pusing menghadapi angka-angka di buku matematika. AC kecil di pojok ruangan berdengung pelan, menyebarkan udara sejuk yang membuatku betah duduk berlama-lama, meski tangan dan mataku sudah lelah menatap huruf dan angka.

Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Suara Mama memanggil dari bawah terdengar jelas dan hangat seperti biasanya.

“Fan… itu kak Dika udah datang…

Aku menuruni tangga dengan langkah setengah malas, rambut masih sedikit berantakan karena baru saja kuberuskan seadanya. Begitu membuka pintu, di depan sana berdiri dia. Kak Dika.

Kak Dika merupakan mahasiswa perantau yang juga bekerja sebagai guru les privatku. Wajahnya bisa dibilang biasa saja, nggak terlalu tampan tapi punya aura tenang yang membuat orang percaya padanya. Kulitnya agak gelap, rambutnya sedikit ikal tapi rapi, memberi kesan santai namun tetap sopan. Kemeja putihnya digulung sampai siku, tampak praktis tapi tetap rapi, dan sorot matanya selalu serius setiap kali membahas pelajaran seolah menuntutku fokus, tapi bukan dengan cara menakut-nakuti. Saat menatapku, ada campuran ekspresi sabar dan sedikit heran, seperti menunggu aku siap menghadapi “tantangan” matematika sore ini.

Aku menghela napas, sedikit tersenyum malu, dan mencoba menyingkirkan rasa malasku. Hari ini, aku harus tetap fokus, meskipun angka-angka itu masih menari-nari di kepalaku.

“Selamat sore fan. Udah siap belajar hari ini ? Tanyanya.

Aku pura-pura senyum. “Siap kak

"kita mau belajar di mana hari ini? tanyanya sambil menenteng tas berisi buku dan alat tulis.

Aku mengerutkan dahi sebentar, lalu menjawab, “Belajar di kamar aja, kak. Disana lebih nyaman… panas kalau di ruang tengah.

Biasanya aku belajar di ruang tengah, duduk di meja kayu besar dekat jendela. Tapi udara hari ini terasa lengket dan pengap, bikin mood belajar turun drastis. Di kamar ada pendingin ruangan yang membuat udara jadi sejuk dan suasananya yang rapi plus boneka-boneka lucu di rak membuatku merasa lebih betah. Meski kak Dika pasti bakal sedikit terganggu dengan kamarku yang manja dan kekanak-kanakan itu.

Kak Dika mengangguk pelan lalu melangkah masuk ke kamar. Matanya melirik sekeliling, terlihat sedikit terkejut tapi berusaha menahan ekspresi. Dinding pink pastel, boneka-boneka lucu berjajar rapi di rak, dan aroma harum khas anak perempuan memenuhi ruangan.

“Wah… kamar kamu… lumayan rapi ya, Fan,” ucapnya sambil meletakkan tas di meja belajar. Suaranya tenang, tapi aku bisa merasakan ada sedikit senyum menahan di bibirnya.

Aku duduk di kursi, kaki menekuk sedikit, pura-pura manja. “Hehe… makasih, kak. Aku kan suka bersih-bersih, biar nyaman belajar.”

Dika membuka buku pelajaran dan menatapku serius. “Oke, hari ini kita mulai dari matematika ya. Ada bab tertentu yang bikin kamu pusing?”

Aku mengangguk, menatap angka-angka yang berserakan di bukuku. “Iya… bab aljabar itu, kak. Rasanya ribet banget.”

Dia duduk di sampingku, menyusun buku-buku dan alat tulis rapi di meja, siap memulai sesi belajar. Suasana kamar yang nyaman dan sejuk membuatku merasa lebih santai, walau tetap agak grogi karena kak Dika duduk begitu dekat. Ia membuka bukuku, menghela napas panjang.

“Nilaimu turun lagi Fan. Kamu terus salah di soal-soal dasar. Kalau begini caramu. jangan harap bisa masuk sma favorit.

Aku manyun di kursi, menggoyang-goyang kaki dengan gelisah. Jari-jariku memainkan ujung pensil sambil sesekali menatap angka-angka di buku yang sama sekali nggak mau masuk ke kepala. 

"Aku beneran nggak bisa kak… liat angka aja udah bikin pusing kepala ini. Keluhku. suaraku sedikit gemetar tapi lebih karena frustrasi daripada takut.

Kak Dika menatapku dengan serius, kemudian mengetuk-ngetukkan pulpen di atas meja. Ritme ketukan itu seolah menggarisbawahi setiap kata yang ingin dia sampaikan. Sorot matanya tajam bikin aku nggak bisa menoleh kemana-mana. Ada campuran kesabaran dan sedikit tegas dalam pandangannya seperti sedang menantangku untuk jangan menyerah.

“Kalau terus menyerah begitu, kamu nggak akan pernah bisa Fan. Ucapnya dengan nada tegas tapi tenang membuat dadaku berdebar sedikit. Kayaknya… kamu butuh hukuman biar lebih semangat belajar.

Aku menatapnya. bingung sekaligus takut. Hukuman? Aku pikir dia bakal marah atau omel panjang lebar tapi ekspresi wajahnya justru datar hampir seperti sedang menghitung strategi. Aku bisa merasakan ketegangan di udara antara rasa penasaran dan sedikit cemas. Tubuhku otomatis menegak meski jari-jari masih menggenggam buku dengan erat. Rasanya sore ini nggak akan sekadar belajar matematika seperti biasanya…

Aku langsung mengangkat kepala. “Hukuman? Maksudnya apa?”
Senyumnya tipis hampir nggak kelihatan. “Setiap jawaban yang salah maka ada konsekuensinya. Biar kamu lebih serius.

Aku menelan ludah. “Konsekuensi apa?”
Dia mencondongkan tubuh. suaranya rendah tapi tegas. “Setiap kali jawabanmu salah maka kamu harus melepas satu item pakaian. Darahku seperti berhenti mengalir sejenak. Aku menatapnya tak percaya dengan apa yang baru kudengar. "Kak… apa ini serius ?

"Ya. Kalau kamu nggak berani terima tantangan artinya kamu memilih untuk tetap bodoh.

Aku menunduk dan jantungku berdegup kencang. Kata-katanya terdengar tegas sekaligus… menantang. Ada bagian dari diriku yang takut salah tapi ada juga yang penasaran.

“Baiklah. Kataku pelan.

Tak lama kemudian kak Dika menuliskan soal matematika SMP di sebuah kertas. "Sekarang coba kamu kerjakan ini Fan. Katanya sambil menyerahkan kertas itu. Soalnya terlihat sederhana tapi tetap bikin aku mengerutkan dahi.

Jika 3x + 5 = 20. berapa nilai x ?

Aku menghela napas sambil memandang angka-angka itu berusaha mengingat cara menyelesaikannya dari pelajaran sebelumnya. Aku menatap kertas itu sampai alisku mengerut.

"Hmm… kak. ini… ribet banget ya. Keluhku sambil menggigit bibir bawah dan pura-pura bingung.

Kak Dika mencondongkan badan. Matanya
menatap serius ke arah kertas.

"Ribet? Fan, ini kan cuma soal sederhana. Ingat yang penting kamu ngerti konsepnya dulu. Aku menunduk mencoba mengingat kembali pelajaran kemarin tapi rasanya kepala ini penuh awan. "Tapi… kak. Aku kok masih nggak ngerti. Ujarku dengan suara yang sedikit gemetar.

Dia menarik napas panjang lalu dengan sabar mulai menjelaskan.
"Oke kita lihat bareng-bareng. Kalau 3x + 5 = 20 maka langkah pertama adalah….

Aku duduk diam, sesekali mengangguk, tapi tetap saja aku suka manja dan sedikit kekanak-kanakan. 
“Kak, kalau aku salah, jangan marah ya… aku takut.. bisikku pelan sambil menunduk malu. 

Kak Dika tersenyum tipis, sedikit mengernyitkan alisnya. 
"Santai, Fan. Aku nggak akan marah. Kita belajar bareng, nggak usah takut salah.”

Aku sedikit lega, tapi jantungku masih berdegup kencang. Suasana kamar yang sejuk, harum, dan nyaman membuatku merasa aman, meski rasanya setiap kata dari kak Dika seperti tantangan yang bikin aku penasaran.

Aku menatap kertas itu lagi, jari-jari kugenggam pensil erat. “Oke… kita mulai dari mana dulu, kak?” tanyaku pelan, masih menunduk.

Kak Dika mencondongkan badan, menunjuk angka-angka di kertas. “Lihat, Fan. Kita punya 320 Langkah pertama kita harus hilangkan angka 5 dari persamaan.

Aku mengerutkan alis, mencoba mengingat trik yang pernah diajarkan. “Hilangkan… maksudnya dikurangin, kan, kak?”

“Betul,” katanya sambil tersenyum tipis. “Jadi 3520 −  Hasilnya.

“Eh… 315 Jawabku ragu sambil menatapnya berharap dia nggak marah karena salah.

“Persis. Ucapnya, matanya berbinar sedikit bangga. “Sekarang langkah kedua, kita bagi 3 supaya dapat nilai x.

Aku menulis perlahan di kertas. 5 kak. aku benar kan?”

Kak Dika mengangguk sambil menepuk ringan meja di dekatku, seolah memberi semangat. “Betul banget, Fan. Lihat? Nggak sesulit yang kamu bayangkan kan?”

Aku tersenyum malu-malu sampai gigi kelinciku terlihat. “Hehe… iya, kak. Tapi aku masih takut salah sama soal lain…

Dia tertawa kecil tapi sabar. “Tenang, kita kerjakan pelan-pelan. Kakak ada di sini buat bantu kamu.

Aku menunduk lagi, tapi kali ini rasa takut sedikit berkurang. Rasanya nyaman dan aman belajar di kamar sejukku, di dekat kak Dika, meski aku tetap nggak bisa lepas dari sifat manja dan kekanak-kanakanku yang muncul tiap kali aku bingung menghadapi soal. Soal berikutnya terasa jauh lebih sulit. Aku menatap kertas sambil mengernyit, jari-jari menekan pensil terlalu kuat. “Kak… ini kok susah banget ya…” keluhku dengan suara sedikit gemetar.

Tanganku gemetar saat menulis, pensil terasa licin karena telapak tanganku basah oleh keringat. Aku mencoba fokus, berusaha mengingat rumus yang tadi baru saja dipelajari, namun kepalaku benar-benar kosong. Beberapa menit kemudian aku menyerah, menarik napas panjang lalu mendorong kertas itu ke arahnya.

“Kak… kayaknya salah,” bisikku pelan.

Dia menatap hasil pekerjaanku dengan dingin. Matanya bergerak cepat membaca baris demi baris, lalu menggeleng pelan. “Salah. Kamu tahu konsekuensinya.”

Aku menunduk, bibirku bergetar bingung. Jantungku berdegup kencang, sementara tanganku refleks meraih ikat rambut dan melepaskannya. Rambutku langsung jatuh terurai menutupi sebagian wajahku. “Ini… boleh kan?” tanyaku lirih sambil menunduk.

Dia langsung menggeleng dengan tegas. “Itu bukan pakaian. Coba kamu lepas yang lain.”

Pipi ini panas sekali, seperti terbakar. Aku menggigit bibir, lalu dengan berat hati meraih sweater tipis yang menempel di tubuhku. Perlahan aku menariknya ke atas, terasa seret karena keringat yang menempel di kulit. Tersisa kaus putih ketat di dalam, kainnya menempel erat pada tubuhku yang mulai terasa gerah.

Dia tidak berkata apa-apa, hanya menatapku dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Tatapannya membuatku semakin gelisah.

“Sekarang kita lanjut soal berikutnya,” katanya pendek, suaranya datar tanpa emosi.

Aku menunduk lagi, menatap kertas soal di depanku. Tanganku semakin gemetar ketika menggenggam pensil. Rasanya campur aduk, malu, takut, tapi juga ada sesuatu yang lain yang membuat dada ini berdebar tidak karuan. Aku mencoba serius mengerjakan soal berikutnya, meski otakku terasa berisik sekali. Setiap kali aku melihat angka di kertas, yang muncul justru tatapan Pak Dika dan peraturan hukuman konyol itu.

Aku menuliskan jawaban dengan cepat dan berharap jawaban kali ini benar. Setelah selesai kertas itu kutaruh di depannya dengan tangan yang masih gemetar. Dia mengambil kertas itu. membacanya sebentar lalu mengangkat alis. "Salah lagi..

Dadaku langsung terasa sesak, napas tercekat. Aku menunduk lebih dalam, dan tangan ini refleks bergerak meraih rok biru sekolah yang masih kukenakan. Suaraku keluar sangat pelan dan nyaris tidak terdengar. "Harus… harus lepas lagi ?

"Yaa.. jawabnya tegas tanpa ragu sedikit pun.

Tanganku gemetar ketika mulai membuka kancing rok satu per satu. Bunyi kecil dari kancing yang terlepas membuat jantungku berdetak makin keras. Kain itu akhirnya melorot turun, jatuh menumpuk di lantai, menyisakan diriku yang kini hanya duduk dengan kaus putih ketat dan celana pendek tipis di dalam. Udara kamar terasa dingin menusuk kulit, tapi tubuhku justru panas, wajahku memerah tak karuan.

Dika menatap sekilas, matanya singgah hanya sebentar sebelum kembali menunduk menulis soal baru. “Kerjakan lagi. katanya pendek. Aku menggigit bibir, perasaan bercampur aduk. Rasanya seperti terjebak dalam sebuah permainan yang tidak bisa kuakhiri. Soal ketiga kini ada di depanku. Aku mencoba sekuat tenaga, mencoret-coret kertas dengan garis bantu agar lebih mudah. Tapi logikaku kembali mentok, pikiranku tidak bisa fokus. Saat kertas itu berpindah ke tangannya, aku bahkan sudah bisa menebak apa jawabannya. 

"Salah lagi.

Aku menutup wajah dengan kedua tangan. “kak… jangan gitu dong. Malu banget aku…
“Kalau malu kamu harus belajar yang benar. Suaranya dingin tapi anehnya bikin tubuhku merinding. Dengan ragu aku menarik celana pendekku. Menyisakan kaus putih dan celana dalam di balik meja. Rasanya lututku lemas. Aku benar-benar nggak menyangka bisa sejauh ini. Aku mendongak sedikit untuk melihat ekspresinya. Dia masih sama: tenang dan serius seperti ini hanya bagian dari pelajaran. Dan entah kenapa sikap dinginnya justru bikin degup jantungku makin keras. Aku mengerjakan soal keempat dengan tangan gemetar. Mataku berkaca-kaca setengah ingin menyerah dan setengah penasaran. Dan… lagi-lagi jawabanku salah.

Kali ini aku menatapnya, berusaha mencari belas kasihan. “kak… jangan lagi ya. Tolong. Dia mencondongkan badan dan suaranya terdengar rendah. “Aturannya jelas fan.. Kalau berhenti sekarang maka semua usahamu sia-sia. Kalau lanjut… mungkin kamu akan belajar lebih cepat.

Aku menggigit bibir. Dengan tangan yang lemah, aku meraih ujung kaus putihku, menariknya ke atas. Tubuhku kini hanya terbalut pakaian dalam. Aku menunduk dalam-dalam, wajahku panas seperti terbakar. Kak Dika meletakkan pulpen di meja, menatapku lama. “Sekarang… kita lihat seberapa kuat kamu bertahan.”

Tanganku sudah gemetar hebat ketika mencoba soal berikutnya. Pandanganku kabur bukan karena sulitnya angka-angka tapi karena aku terlalu sadar kalau tubuhku hampir telanjang di depannya. Aku menyerahkan kertas itu dengan hati-hati. Jantungku serasa mau copot menunggu reaksinya. Kak Dika hanya melirik sebentar, lalu menggeleng. “Masih salah..

Aku menelan ludah. “kak… aku udah… nggak ada lagi yang bisa dilepas. Suaraku bergetar nyaris berbisik. Dia menyandarkan tubuh ke kursinya. Menatapku dari atas ke bawah dengan wajah tetap dingin. “Masih ada.. Aku tahu maksudnya. Wajahku langsung panas dan darahku berdesir ke seluruh tubuh.

Perlahan aku meraih tali tipis di punggungku, jari-jari gemetar saat membuka pengaitnya. Bra itu terlepas, meluncur jatuh ke lantai. Aku buru-buru menutupi dadaku dengan tangan dan tubuhku menunduk. Dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya menatap dengan sorot mata yang membuatku semakin malu sekaligus… bergetar.

“Soal berikutnya.. katanya datar. Aku benar-benar tidak sanggup berpikir. Angka-angka di kertas seperti menertawaiku. Aku menulis asal, berharap keajaiban. Tapi begitu ia membaca jawabanku, senyum tipis muncul di bibirnya. “Salah lagi fan..

Air mataku hampir jatuh. “kak… jangan paksa aku… bisikku sambil memeluk tubuhku sendiri. “Kalau kamu mau berhenti, katakan saja. jawabnya. “Tapi berarti kamu menyerah. Kalau kamu mau lanjut cepat lepas yang terakhir.

Aku menutup mata. Tanganku perlahan bergerak ke celana dalamku. Menarik kain tipis itu turun hingga jatuh ke lantai. Sekarang aku benar-benar tanpa apa pun. Seluruh tubuhku terbuka dan aku hanya bisa menutupi sebagian dengan tangan. Ruang kamar terasa hening sekali. Hanya suara dengung pending ruangan dan detak jantungku yang keras. Aku tidak berani menatapnya. Kak Dika tidak langsung bicara. Dia hanya menatapku lama, lalu bersuara rendah. “Sekarang kamu benar-benar tanpa perlindungan fan. Rasanya bagaimana ?

Aku menggigit bibir, tidak bisa menjawab. Malu, takut, tapi ada rasa lain yang menjalar di tubuhku. Sesuatu yang tidak bisa kusebut dengan kata-kata. Aku duduk di kursi belajar, tubuhku gemetar. Tangan kanan menutupi dada, tangan kiri menutupi bagian bawahku. Tapi aku tahu itu sia-sia—aku sudah benar-benar telanjang di hadapannya. Kak Dika tidak segera bicara. Ia hanya menatapku dalam diam, membuatku semakin salah tingkah. Aku ingin kabur, tapi kakiku lemas.

Lalu tiba-tiba dia berdiri. Kursinya berderit pelan. Jantungku meloncat ke tenggorokan. Dia berjalan pelan mendekatiku, langkahnya berat dan pasti. Aku menunduk, tapi aku bisa merasakan bayangannya menutupi tubuhku.
“Fan…” suaranya rendah sekali. “Kamu sadar, kan, sekarang kamu nggak punya apa-apa lagi buat melindungi dirimu?”

Aku menggigit bibir. “Aku… aku malu, kak…”
“Tapi kamu tidak berhenti. Kamu memilih untuk terus lanjut.”

Tangannya terulur. Aku terkejut ketika jemarinya menyentuh daguku, mengangkat wajahku perlahan. Tatapannya menembus mataku, membuatku sulit bernapas. Tubuhku semakin gemetar ketika tangannya bergerak turun, menyapu pelan di sepanjang lenganku, lalu berhenti di punggungku. Sentuhan itu sederhana… tapi membuat kulitku merinding seketika.

Aku refleks memeluk tubuhku lebih erat. “kak… jangan… bisikku tapi suaraku lemah seperti tidak punya kekuatan. Dia mendekatkan wajahnya ke telingaku. Suaranya nyaris berbisik.

“Kalau benar-benar nggak mau. kamu bisa hentikan sekarang. Katakan saja.

Aku terdiam. Bibirku terbuka tapi tak ada kata yang keluar. Yang ada hanya rasa panas yang makin menguasai tubuhku. Tiba-tiba tangannya meraih pergelangan tanganku. Menariknya perlahan menjauh dari dadaku. Aku tersentak dan ingin melawan tapi lemah. Dada itu akhirnya terbuka di hadapannya dan aku bisa merasakan tatapannya menusuk kulitku.


Aku menutup mata sementara wajahku bersemu merah. "kak…
Dia hanya bergumam rendah. "Kamu bahkan lebih indah dari yang kubayangkan.
Dan untuk pertama kalinya. Jemari lelaki itu menyentuh kulit dadaku. Sentuhannya terasa lembut tapi membuat tubuhku hampir terlonjak. Rasanya campur aduk: malu, takut tapi juga ada sesuatu yang membuatku tak bisa berhenti bergetar.

Aku membeku ketika jemari kak Dika menyentuh buah dadaku yang belum berkembang sempurna. Awalnya hanya sapuan ringan tapi kemudian gerakannya lebih berani. Menelusuri dengan perlahan dan begitu lembut lalu meremas payudaraku secara perlahan alhasil tubuh telanjangku spontan melengkung seperti tersengat listrik.

"Kaak… Suaraku pecah antara memohon dan menahan desahan.

“Diam Fan. Lebih baik kamu nikmati saja.. Bisiknya di telingaku.

Aku berusaha menutup tubuhku lagi, tetapi tangannya sudah lebih dulu menahan pergelangan tanganku dan menekannya ke sisi kursi. Kini aku benar-benar tidak bisa menutupi apa-apa. Dadaku naik turun dengan cepat dan napasku kacau. Setiap kali jarinya mengusap putingku maka rasa aneh menjalar sampai ke perur. Panas dan menyesakan seakan membuatku hampir lupa caranya bernapas.

“Aku… aku nggak tahan…” kataku lirih.
Dia tersenyum tipis, masih menatapku lekat. “Itu artinya kamu belajar menerima konsekuensi.”

Tangan satunya kini turun, menyapu pinggangku, lalu meraba paha. Aku langsung menegang, tapi tubuhku justru bergetar hebat. Kulitku terasa semakin panas ketika jemarinya bermain di bagian dalam pahaku, makin dekat ke tempat paling rahasia.

Aku menggigit bibir kuat-kuat, mencoba menahan suara. Tapi begitu jemarinya hampir menyentuh pusat kelemahanku, sebuah desahan lolos juga.
“Ahh…”

Wajahku terbakar, malu setengah mati. Aku menutup mata, berharap lantai menelan tubuhku saat itu juga. Tapi tubuhku sendiri malah semakin berkhianat—aku bisa merasakan cairan hangat mulai membasahi bagian bawahku.

Kak Dika mendekatkan bibirnya ke telingaku. Suaranya terdengar rendah dan pelan hampir seperti mantra yang menempel di kulitku.

“Kamu sadar fan? Tubuhmu sudah lebih jujur daripada mulutmu.

Aku hanya bisa menggeleng lemah. Air mataku tertahan di sudut mata, bercampur dengan rasa asing yang terus mengalir deras. Ada takut yang membuat dadaku sesak, tapi ada juga kenikmatan yang menyeretku semakin dalam. Aku tidak tahu harus melawan atau pasrah.

Tangannya yang hangat bergerak turun perlahan. Dari pinggang, jemarinya menyusuri sisi tubuhku hingga berhenti di pangkal pahaku. Seketika seluruh tubuhku menegang. Nafasku tercekat, otot-ototku kaku, sementara jantungku berdegup begitu keras seakan hendak pecah.

Aku menggigit bibir kuat-kuat, mencoba menahan suara yang nyaris lolos. Tapi setiap sentuhan itu justru membuatku semakin sulit menolak. Kulitku seperti terbakar, panasnya menjalar dari satu titik ke seluruh tubuh.

Kak Dika tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menatap wajahku yang memerah, seakan sedang menikmati setiap reaksi kecil yang tak bisa kusembunyikan. Tatapan itu membuatku semakin gelisah, sekaligus membuatku tak berdaya.

"Kak… jangan… jangan di situ… Bisikku lirih, suaraku bergetar, lebih terdengar seperti permohonan yang tak punya tenaga.

Tapi Kak Dika tidak berhenti. Jemarinya tetap bergerak pelan, menyusuri bagian dalam pahaku yang tegang kaku. Setiap sentuhan kecil itu seperti menyulut api, merambat cepat di bawah kulit, membuatku sulit bernapas.

Aku menggigit bibir sekuat mungkin, berusaha menahan suara. Tapi tubuhku lebih jujur daripada kata-kataku. Saat jemarinya akhirnya mencapai titik paling tersembunyi, aku tak kuasa menahan diri. Tubuhku terlonjak kecil, nafas tersengal, dan dari bibirku lolos suara yang seharusnya tidak kudengar sendiri.

“Ahh… desah itu pecah begitu saja meski aku ingin menyimpannya rapat.

Kak Dika terdiam sejenak, wajahnya begitu dekat, matanya menatapku intens, seakan menikmati seluruh ketidakberdayaanku. Sementara aku hanya bisa terkulai, antara malu, takut, dan rasa asing yang semakin menelan diriku bulat-bulat.

"Basah sekali fan…ini tandanya kamu pengen.. Katanya dengan nada rendah yang membuatku makin malu.

Aku ingin menyangkal, tapi aku sendiri bisa merasakannya. Celah itu sudah dipenuhi cairan hangatku sendiri, mengalir tanpa kendali. Lalu jemarinya bergerak lebih berani, membelai pelan bagian itu, menekan lembut. Aku hampir menjerit. Sensasi itu terlalu asing, terlalu kuat. Kaki-kakiku refleks merapat, tapi dia menahannya, membuka sedikit agar sentuhannya bisa terus masuk.

“kak… aku… nggak sanggup…” suaraku bergetar.

“Kamu bisa. Nikmati saja. Tubuhmu yang bicara, bukan aku.”

Jari-jarinya kini benar-benar menggesek bagian paling peka. Aku tak lagi bisa menahan suara. desahanku pecah, memenuhi kamar. Tubuhku melengkung, tanganku mencengkeram ujung kursi, sementara rasa panas semakin menumpuk di perut bawahku. Aku setengah menangis, setengah terhanyut. Aku tahu seharusnya aku berhenti, seharusnya aku menolak tapi tubuhku… tubuhku justru merindukan lebih banyak.

Kak Dika menunduk, bibirnya nyaris menyentuh telingaku saat berbisik:
“Ini baru awal fan. Kamu belum tahu seberapa jauh tubuhmu bisa menyerah.

Jari-jarinya bergerak makin berani, bukan sekadar mengusap pelan lagi. Ia menekan, menggesek, bahkan sesekali masuk sedikit ke dalam celah basahku. Aku hampir tak bisa duduk tegak, tubuhku melengkung tanpa kendali.

“Ahh… kak… jangan… ahh…” suaraku pecah, tapi anehnya bukan untuk menolak—lebih seperti teriakan yang tak bisa kutahan.

Setiap kali jarinya masuk dan keluar, tubuhku seperti tersambar listrik. Kaki-kakiku bergetar hebat, sampai kursi yang kududuki ikut bergoyang. Tanganku berusaha mencengkeram apa pun yang bisa kugapai—ujung meja, sisi kursi—tapi rasanya tak ada yang bisa menolongku dari gelombang ini.

Aku bisa merasakan cairanku sendiri semakin banyak, membuat setiap gerakan jarinya terdengar basah. Pipiku panas bukan main, malu karena aku begitu mudahnya terbuka di hadapannya. Tapi bersamaan dengan itu, ada rasa lain—rasa yang membuatku kehilangan kendali.

“kak… aku… aku nggak tahan lagi… ada yang aneh… di perutku… ahh…”
Dia menunduk di samping telingaku, berbisik pelan namun tajam.
“Jangan tahan. Lepaskan saja, Fan.”

Dan saat itu, seperti ada pintu yang terbuka di dalam tubuhku. Panas itu meledak, menyapu seluruh sarafku. Aku berteriak kecil, tubuhku bergetar keras, pahaku menegang lalu melemas.

“Aahhh…!”

Aku tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Rasanya tubuhku kosong tapi juga penuh, sakit tapi nikmat, malu tapi juga… ingin lagi. Air mataku jatuh, entah karena terlalu intens atau terlalu malu.

Aku terkulai di kursi, napasku terengah-engah, rambutku berantakan menempel di wajah. Tanganku lemas, hanya bisa menutupi wajah yang memanas.

Kak Dika menarik jemarinya, menatapku dengan sorot mata penuh kepuasan. “Itu klimaks pertamamu fan. Tubuhmu baru saja belajar sesuatu yang baru.

Aku tidak sanggup menjawab dan hanya bisa terdiam karena perasaan malu bercampur dengan rasa yang sulit dijelaskan. Tubuhku masih gemetar dan nafasku berantakan hingga akhirnya perlahan menjadi lebih teratur. Keringat dingin membasahi pelipisku sementara bagian bawahku masih berdenyut dan meninggalkan sensasi aneh yang belum pernah kualami sebelumnya. Aku menunduk dalam dan tidak berani menatap wajahnya. Yang terdengar hanya suara nafasku sendiri yang kacau sementara dia tetap berdiri tenang di depanku.

“Fan… ucap kak Dika dengan suara rendah hampir seperti berbisik. “Itu baru langkah pertama,” lanjutnya pelan.

Aku mendongak perlahan dan menatapnya dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Langkah… pertama? tanyaku ragu.

Dia mengangguk lalu melangkah mendekat dan tangannya terulur menyentuh pipiku. Usapannya lembut namun cukup menekan sesuatu di dalam dadaku hingga membuatku merasa sesak oleh perasaan yang sulit kuungkapkan.

“Kamu sudah tahu rasanya dan sekarang tubuhmu bisa belajar lebih jauh. Aku bisa mengajarimu bukan hanya soal angka tapi juga soal dirimu sendiri. kata kak Dika dengan tenang.

Aku menggigit bibir antara takut dan penasaran. “Kak… apa maksudnya?” tanyaku pelan.

Dia tidak menjawab dengan kata-kata dan sebagai gantinya tangannya turun ke daguku lalu bergerak perlahan ke leherku sambil menelusuri garis kulitku. Aku merinding dan nafasku tercekat lalu aku merasakan sesuatu menekan pahaku. Aku tersentak dan menunduk hingga baru sadar kalau ada tonjolan keras dari balik celana panjangnya yang menekan ke arahku.

“Kak… itu…” suaraku tercekat.

Tatapannya menajam. “Itu bagian dari pelajaran berikutnya. Kamu sudah tahu bagaimana rasanya disentuh dan sekarang kamu akan belajar apa artinya menerima laki-laki,” ucap kak Dika dengan nada tegas.

Aku terdiam dan darahku berdesir liar. Bagian dari diriku menjerit ingin kabur namun bagian lain yang baru saja meledak dalam klimaks tadi malah ingin tahu rasanya.

Dia meraih tanganku lalu meletakkannya di atas tonjolan itu. Tanganku refleks menegang dan hampir saja menarik diri namun dia menahan jemariku.

“Rasakan Fan, ini untukmu. Tubuhmu yang memanggilnya,” katanya pelan.

Aku menelan ludah dan jari-jariku bergetar di atas kain yang keras menekan. Rasa malu bercampur dengan rasa ingin tahu yang menyesakkan dadaku. Tubuhku kembali panas sementara aku masih setengah lemas.

“Kalau kamu siap maka aku akan menunjukkan padamu pelajaran terakhir malam ini. Ucapnya lagi.

Aku masih menggenggam benda panas itu dengan tangan bergetar. Rasanya asing dan menakutkan namun membuat tubuhku merespons dengan cara yang tidak kumengerti. Kak Dika menunduk dan tatapannya menusukku.

“Fan, tubuhmu sudah siap. Kamu sendiri yang memanggil ini sejak tadi dan sekarang waktunya belajar menerima. Katanya dengan suara dalam.

Aku tertegun dan kata menerima itu bergema di kepalaku hingga membuat jantungku semakin liar. “Kak… kalau sakit gimana?” tanyaku dengan suara hampir tak terdengar.

Dia tersenyum samar dan usapannya kembali turun di pahaku lalu mendekati bagian paling intimku. “Awalnya mungkin sakit tapi setelah itu kamu akan mengerti nikmatnya. Percaya sama aku. Ucapnya pelan.

Aku menggigit bibir dan tubuhku refleks menegang ketika jari-jarinya menyentuh lembabku yang masih berdenyut setelah ledakan pertama tadi. “Lihat? Kamu sudah siap dari tadi,” katanya lirih.

Aku tidak bisa menjawab dan hanya terdiam ketika dia mendorong tubuhku untuk berbaring di sofa. Aku pasrah dan kakiku terbuka tanpa kusadari sementara udara dingin menyentuh kulitku yang telanjang. Aku menutup wajah dengan lenganku karena malu setengah mati.

Lalu aku merasakan ujung keras itu menyentuh pintu masukku dan tubuhku tersentak. “Ka…k, jangan buru-buru… aku takut…” ucapku panik.

Dia menunduk dan membisik di telingaku. “Tarik napas biar pelan-pelan. Kamu akan baik-baik saja,” katanya menenangkan.

Tekanan pertama membuatku meringis dan rasa nyeri menusuk seketika hingga tubuhku kaku. “Ahhh… sakit Pak…” seruku tertahan.

Tangannya mengusap rambutku untuk menenangkanku. “Sabar Fan, sebentar lagi tubuhmu akan menyukainya. Percayalah.. ucapnya lembut.

Dengan sabar dia menekan lagi sedikit demi sedikit. Aku menggigit bibir dan air mata menetes tanpa bisa kutahan namun di balik perih itu muncul sensasi lain yang aneh dan hangat hingga membuat tubuhku bergetar.

Akhirnya sesuatu dalam diriku menyerah dan aku merasakan tubuhku benar-benar menerima dirinya sepenuhnya.

Aku terengah antara sakit dan kagum. "Kak… rasanya… aku nggak bisa jelasin… ucapku terbata.

Dia tersenyum lalu mulai bergerak perlahan. “Itu artinya kamu sudah belajar Fan. Kamu sudah jadi muridku sepenuhnya,” katanya mantap.

Setiap gerakan membuatku meringis sekaligus mengerang dan rasa sakit pelan-pelan diganti oleh gelombang panas yang semakin kuat. Aku tahu sejak malam ini pelajaran yang kuterima dari Pak Dika tidak akan pernah sama lagi.

Aku masih menggenggam sandaran sofa dan kuku-kuku jariku hampir menancap karena menahan rasa sakit yang belum sepenuhnya pergi. Tubuhku kaku dan nafasku pendek-pendek.

Kak Dika menunduk di atas tubuhku dengan wajah serius namun tatapannya hangat. “Pelan-pelan fan, rasakan aku di dalammu. Jangan lawan dan biarkan tubuhmu mengikuti,” ucapnya menenangkan.

Dia mulai bergerak sangat pelan pada awalnya dan gesekan itu membuatku meringis lagi. Tapi kali ini ada sensasi baru yang merayap di balik rasa perih seperti arus hangat yang menyalakan tubuhku dari dalam.

“Aaahh… kak… rasanya aneh… gumamku lirih.

Dika tersenyum kecil lalu bibirnya menyambar leherku sambil menjilat kulitku yang basah oleh keringat. “Aneh yang enak kan? Biarkan saja, kamu akan terbiasa,” ucapnya pelan.

Gerakannya bertambah dalam dan aku terpekik hingga kakiku otomatis melingkar di pinggangnya seakan tubuhku sendiri tidak mau melepaskannya. “Ohh… sakit… tapi… ahhh… ada rasanya lagi…” seruku putus-putus.

Dika mulai memompa lebih teratur dan setiap dorongan membuat tubuhku sedikit terangkat dari sofa. Rasa panas itu makin jelas dan perlahan menggantikan perih yang tadi mendominasi. Nafasku kacau dan tubuhku dipenuhi keringat namun aku tidak ingin dia berhenti.

“Kak… jangan berhenti… terusin…” ucapku lirih.

Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku dan membuat pipiku semakin panas karena malu.

Dia tertawa pelan. “Itu baru murid pintar. Tahu apa yang dia mau.”
Lalu dia menghentakkan tubuhnya lebih keras, membuatku terpekik keras, “Ahhhhhh…!!!”

Setiap dorongan makin menghantam titik yang membuatku meledak-ledak. Aku tak lagi bisa membedakan mana sakit, mana nikmat. Yang ada hanya gelombang panas, desahan tak terkendali, dan tubuhku yang bergetar mengikuti iramanya.

Tangannya meremas pinggangku, lalu pindah ke dadaku, memainkannya tanpa ampun. “Fan… tubuhmu luar biasa… kamu lahir untuk belajar ini.”

Aku tak bisa menjawab. Hanya bisa mengangguk, menggigit bibir, dan menenggelamkan wajahku di dadanya sambil terus menjerit setiap kali dia menghantam lebih keras, lebih dalam, lebih cepat.

Aku sadar saat itu aku benar-benar hanyut. Dari seorang siswi yang takut salah hitung, kini aku jadi murid yang belajar dengan tubuhku sendiri dan kak Dika guruku yang tak bisa kutolak. Aku masih terkulai di sofa, tubuhku gemetar karena klimaks yang baru saja meledak. Tapi Dika tidak berhenti. Malah semakin keras, semakin dalam. Setiap hentakannya membuat tubuhku terangkat, dadaku berguncang, nafasku makin terengah.

“Kak… aahh… cukup… aku udah… aku udah keluar…” suaraku bergetar, hampir seperti rengekan.bTapi Dika menunduk di telingaku, suaranya berat dan panas.
“Belum, Fan… kamu belum selesai. Tubuhmu masih bisa lebih dari ini. Rasakan aku…”

Aku menggeliat, setengah ingin menolak, setengah tak mampu melepaskan diri. Dan benar saja—perih yang tadi sempat muncul sudah lenyap, berganti dengan gelombang kenikmatan baru yang lebih liar.

“Ahhh…! Ahhh…! Kak… dalam banget…!” jeritku, kakiku otomatis menekan pinggangnya, seakan ingin dia masuk lebih jauh lagi.

Dika menghentak makin cepat, makin keras. Tangannya meremas dadaku, lalu menurunkan ke perut, mengusap pinggangku yang berkeringat, hingga menyentuh bagian sensitifku dari luar—membuatku menjerit lagi, tubuhku melonjak tak terkendali.

“Ya ampun… aku… aku nggak kuat…! Aaahhhhhh…!!!”

Gelombang kedua menghantamku. Lebih besar, lebih lama, membuatku benar-benar kehilangan arah. Aku menjerit keras, tubuhku menegang, lalu gemetar hebat sambil memeluk erat tubuhnya. Dika terus menekan, menghantam ritme cepat itu seakan ingin memeras semua sisa tenagaku.
“Bagus, Fan… nikmatin terus… tubuhmu udah ngerti caranya sekarang.

Aku hampir menangis karena nikmat yang tak tertahankan. Rasanya seperti terbakar dari dalam, tapi aku tak mau dia berhenti.
Aku tahu, malam itu tubuhku benar-benar jadi milik Dika. Sofaku berdecit keras, menahan hentakan demi hentakan. Nafasku sudah kacau, suaraku keluar jadi desahan panjang bercampur jeritan kecil yang tak bisa kutahan. Aku merasa seolah sedang diperas habis-habisan.

"Kak… aku nggak kuat… aku udah… udah keluar lagi…” suaraku serak, bibirku bergetar.

Tapi Dika tidak mengendur sedikit pun. Malah semakin gila, dorongan pinggulnya masuk makin dalam, membuatku melengkung sampai punggungku hampir lepas dari bangku. Tangannya menjambak rambutku, menarik wajahku agar menatapnya.
“Kuat, Fan. Kamu kuat. Tubuhmu masih bisa melakukan lebih dari ini. Jangan kabur dari nikmat ini.

Aku menggeliat, mataku berair, setengah menangis karena sensasi itu terlalu dahsyat. Tapi bersamaan dengan itu, tubuhku kembali bergetar hebat—satu lagi ledakan datang, lebih liar dari sebelumnya.

"Aaahh.. Jeritku menembus ruangan, membuat jendela bergetar.

Dika tersenyum samar keringatnya menetes di dahiku. Dia menahan klimaksnya, sengaja menunda, hanya untuk membuatku merasakan lebih banyak lagi.
“Bagus… tubuhmu semakin pintar. Kamu belum tahu batasmu sendiri, Fan. Biar aku yang ngajarin.

Dia menarikku bangun, membuatku duduk di pangkuannya sambil penisnya tetap menancap di dalamku. Aku terlonjak, tubuhku langsung bergetar karena posisi baru itu membuatnya masuk lebih dalam lagi.

“Ya ampunn… kak… nggak… nggak… aku nggak tahan!” jeritku, sambil memeluk lehernya erat.

Dia hanya mendesah berat, lalu menggerakkan pinggulku naik-turun dengan kedua tangannya. Ritme makin cepat, suara tubuh kami beradu jadi musik liar yang menenggelamkan akalku. Aku merasa tubuhku seperti meledak berulang kali, tanpa jeda, tanpa ampun. Setiap kali aku pikir sudah habis, gelombang baru datang lagi, lebih kuat, lebih mengguncang.

Sampai akhirnya aku hanya bisa pasrah, menyerahkan seluruh diriku pada ritme gila yang dimainkan Dika. Aku duduk mengangkang di atas pangkuan Kak Dika, tubuhku masih gemetar tapi ia tidak memberi waktu untuk tenang. Tangannya menggenggam pinggangku erat, mengangkat dan menurunkanku di atas batangnya yang keras dan panas.

“Naik… turun… jangan berhenti…” bisiknya berat di telingaku.

Aku mencoba mengikuti, tapi setiap gerakan membuat tubuhku kejang lagi. Suara basah terdengar jelas di antara tubuh kami, ruangan dipenuhi irama cepat hentakan.

“Ahhh… kak… aku… aku nggak bisa lagi… udah terlalu banyak…” desahku, setengah merintih.

Dika menatapku tajam, keringatnya menetes di leherku.
“Kamu bisa. Lihat, tubuhmu malah minta lebih. Rasakan sendiri…”

Aku terlonjak saat dia mendadak mendorong pinggulku lebih keras ke bawah, membuatnya masuk lebih dalam. Tubuhku langsung menegang, kepalaku terlempar ke belakang.

"Aaaahhhhhh… dalam banget… aku keluar lagi…!” teriakku dengan suara pecah.

Kakiku meremas pinggangnya erat dan tubuhku gemetar parah namun Dika masih menggerakkan pinggulnya dari bawah. Gerakannya menabrak ritme gerakanku dan sensasi itu terasa semakin gila hingga menumpuk tanpa henti.

Aku hanya bisa terengah dengan bibir terbuka tanpa kata sementara lendir hangatku sudah bercampur basah di pangkuannya. Tangannya meremas buah dadaku dan mulutnya melumat leherku sementara tubuhku terus dipaksa menari di atasnya.

Gelombang demi gelombang datang lagi tanpa berhenti dan aku bahkan tidak tahu sudah berapa kali klimaks. Yang kutahu hanya satu bahwa aku tidak bisa lagi melawan permainan ini. Aku sudah benar-benar jadi miliknya.

Tubuhku basah kuyup oleh keringat dan cairanku sendiri. Nafasku terengah dan mataku berair namun aku tidak bisa berhenti bergerak di atas pangkuannya. Tangan Dika menahan pinggangku sambil mengatur ritme naik turun dengan kekuatan yang tidak bisa kutolak. Aku seperti boneka hidup di pelukannya dan hanya bisa mengikuti arah yang dia mau.

“Kak… aku… nggak ada tenaga lagi… bisikku lirih nyaris tercekik oleh desahan.

Dia menempelkan bibirnya di telingaku dan suaranya terdengar dalam penuh kendali. “Jangan pakai tenaga. Cukup pasrah. Biar tubuhmu sendiri yang belajar dan menikmati. ucapnya tegas.

Dan benar bahkan saat aku sudah menyerah ternyata tubuhku tetap merespon. Panggulku bergerak sendiri berusaha mencari gesekan seakan ingin menelan habis dirinya di dalamku. Aku tak lagi tahu hitungan waktu, tak tahu berapa kali aku sudah meledak. Yang tersisa hanya rasa penuh, panas, dan geliat yang tak henti menyalakan gelombang nikmat.
Kepalaku jatuh di bahunya, rambutku berantakan menempel di wajahnya. Aku hanya bisa mengerang, setengah menangis, setengah tertawa, karena tubuhku ternyata jauh lebih liar dari yang pernah kubayangkan.

“Bagus fan… bisiknya serak sambil meremas pinggulku makin dalam. “Sekarang kamu sudah tahu… tubuhmu nggak bisa lagi menolak aku.

Aku tak sanggup membantah. Yang bisa kulakukan hanya melingkarkan tanganku di lehernya, memeluk erat, membiarkan diriku dipenuhi lagi dan lagi… Sampai aku benar-benar lupa siapa diriku sebelumnya. Punggungku sudah basah oleh keringat dan dadaku bergerak naik turun tidak terkendali. Setiap hentakan dari bawah membuat tubuhku bergetar hebat. Aku sudah kehilangan hitungan karena tidak tahu berapa kali aku mencapai titik itu. Sementara Dika masih saja kuat dan belum juga menyerah.

"Kak.. aakhhh.. aaakku uudaaah gaaakk kuat lagi.. desahku hampir menangis.

Dia menggenggam kepalaku lalu memaksaku menatap matanya. Sorotnya tajam dan penuh api tetapi ada juga kepuasan aneh di sana.

"Kamu harus kuat. Tunggu sampai aku juga selesai. Katanya tegas. Aku terlonjak ketika ia menekan pinggulku lebih keras ke bawah, menghantam dalam-dalam. Suaraku pecah menjadi jeritan.

“AAhhhhh…! Daleem banget…!

Tangan Dika mencengkeram pinggangku erat, tubuhnya tegang. Aku bisa merasakan setiap detiknya—gerakannya makin cepat, makin kasar, napasnya berat menahan letupan terakhir.

“Fan… aku… nggak tahan lagi… Bisiknya parau.

Dan tiba-tiba tubuhnya menegang keras. Aku merasakan semburan hangat menyembur deras di dalam liang kemaluanku. Semburan itu terasa berulang kali memenuhi setiap rongga yang sudah basah kuyup.

“Ahhhhhh…!!!” Aku ikut menjerit sementara tubuhku otomatis meremas dan menelan semuanya. Sensasinya sungguh tak terbayangkan membuatku ikut kembali meledak meski aku sudah tak sanggup lagi.

Kami berdua terhuyung, saling berpelukan erat, napas terengah-engah. Aku masih duduk di pangkuannya, merasakan detak jantungnya yang berpacu gila di dadaku, sambil tubuhku sendiri gemetar tak terkendali.

Dika menunduk, bibirnya menyentuh keningku. Sentuhannya lembut, tapi terasa menancap dalam. Suaranya serak, nyaris berbisik, namun cukup jelas untuk membuat seluruh tubuhku merinding.

"Sekarang kamu benar-benar milikku fan…

Aku tidak mampu menjawab. Lidahku kelu dan kepalaku kosong. Yang bisa kulakukan hanya menutup mata rapat-rapat.  Menyerahkan diriku sepenuhnya, pasrah menerima kenyataan itu. Di balik kepasrahanku. Aku bisa merasakan hangat tubuhnya yang masih berdenyut. Menempel erat denganku membuatku tak bisa berpaling.

Tubuhku gemetar tanpa bisa kukendalikan. Jantungku berdegup kencang dan cepat seolah ingin meloncat keluar dari dadaku. Aku mencoba mengangkat tanganku tapi rasanya berat sekali. Otot-ototku juga terasa seperti kehilangan tenaga. Akhirnya aku hanya terkulai di pangkuannya membiarkan wajahku menempel di bahunya yang basah oleh keringat. Kehangatan kulitnya bercampur dengan aroma tubuhnya yang pekat menyelimutiku tanpa celah.

Dika tidak melepaskanku sedikit pun. Sebaliknya ia merangkulku lebih erat seolah takut aku akan pergi jika ia melonggarkan genggamannya. Satu tangannya bergerak naik turun pelan di punggungku dengan ritme yang tenang. Sentuhan itu membuatku merasa seakan sedang ditenangkan, seperti seorang anak kecil yang baru selesai menangis.

“Good girl… kamu hebat fania.. bisiknya lembut di telingaku. Suaranya membuat bulu kudukku kembali berdiri namun entah kenapa juga menghadirkan rasa nyaman yang sulit dijelaskan.

Aku terisak pelan bukan karena sakit melainkan karena semua perasaan yang bercampur di dalam diriku. Ada rasa malu, ada puas, lega dan anehnya juga ada rasa aman yang menenangkan. Air mataku jatuh tanpa kusadari, membasahi bahunya sementara aku tetap diam di pelukannya. Semua itu terasa begitu nyata. Terlalu kuat untuk bisa kusingkirkan dari hati maupun pikiranku. Dia mengusap rambutku yang kusut, menyibakkannya dari wajahku. “Lihat aku fan.. pintanya tenang.

Aku mengangkat wajah dengan susah payah dan mataku basah sementara pipiku memerah. Saat tatapan kami bertemu dia tersenyum kecil. Senyum itu berbeda karena bukan senyum dingin penuh kendali melainkan hangat dan tulus.

“Takut?” tanyanya pelan.

Aku menggeleng lemah. “Bukan takut… cuma… rasanya aku udah bukan diriku lagi. jawabku lirih.

Dika mendekapku semakin erat lalu mencium keningku lama sekali. “Memang begitu caranya. Kamu belajar menyerah dan biar aku yang pegang kendali. Tapi aku janji akan menjagamu,” ucapnya lembut.

Kata-katanya membuat dadaku terasa penuh. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jadi aku hanya melingkarkan tanganku di lehernya, memeluk balik, menenggelamkan wajahku di pelukannya. Beberapa menit kami hanya diam, menikmati detak jantung satu sama lain. Nafasnya mulai melambat, tubuhnya tak lagi tegang. Dika akhirnya mengangkat wajahku lagi dan menatapku dengan tatapan yang… entah kenapa membuatku ingin menangis sekaligus tersenyum.

“Fan… mulai sekarang.. kamu nggak cuma jadi muridku. Kamu tuh udah jadi sesuatu yang lebih. Aku menggigit bibir berusaha menahan senyum. Jiwaku terasa kosong tapi juga penuh, rapuh sekaligus damai. Untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar dimiliki.

Komentar

  1. Anak murid dijebol prewinya..moga jadi slave/kekasih..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jebakan Minimarket

Pengantin Brutal

Amoy Diatas Dongkrak

Jebakan Minimarket 2

Pemulung Sadis

Pengakuan Cici Pik

Tragedi Pasar Pecinan

Chindo Seksi Jadi Rebutan 6

Chindo Seksi Jadi Rebutan

Draft amarah para buruh 22