Sore harinya. Kurang lebih satu jam setelah pulang sekolah. Aku masih duduk di kamar dengan seragam SMP yang belum sempat kuganti. Rambutku diikat seadanya karena masih terasa panas sehabis pulang naik sepeda listrik. Kacamata dengan bingkai tipis masih menempel di wajahku, membuatku terlihat seperti anak sekolahan rajin yang baru saja pulang belajar. Saat sedang beres-beres buku tiba tiba mamaku masuk sambil membawa pakaian lipatan.
"Kamu mau ke mana sore-sore begini ? tanya mama sambil melirik ke arah tasku yang sudah kugantungkan di bahu.
Aku agak gugup lalu menjawab sekenanya. "Aku mau belajar di perpustakaan ma.. Kan dekat sekolah ada perpustakaan umum. Kak Dika mau ngajarin aku di sana. Mama hanya mengangguk pelan. "Ya sudah tapi jangan terlalu malam. Kalau sudah jam 5 langsung pulang aja. Aku mengangguk cepat. “Iya Ma..
Setelah itu aku keluar rumah lalu menuntun sepeda listrik merahku ke jalan depan. Angin sore terasa lumayan sejuk tapi dadaku justru terasa sesak. Begitu mulai mengendarai sepeda tiba tiba pikiranku langsung penuh dengan bayangan Dika. Aku tegang sekaligus penasaran.
Di sepanjang jalan menuju perpustakaan, aku berkali-kali memegang kerah seragamku sendiri. Aku takut ada orang yang memperhatikan wajahku yang terlihat gugup. Sementara itu setiap kali motor atau truk lewat, aku malah semakin berdebar, seakan semua orang tahu aku sedang menyembunyikan sesuatu. Perjalanan yang biasanya terasa singkat justru terasa panjang sore itu. Aku terus bertanya-tanya apa yang akan terjadi di perpustakaan nanti?
Perpustakaan memang tidak ramai. Hanya ada beberapa orang yang duduk jauh di bagian sudut. Suasananya tenang dan dingin karena AC. Dika sudah duduk di salah satu meja besar yang ada dipojok ruangan. Di depannya ada beberapa buku dan kertas yang berantakan.
"Duduk sini fan.. katanya singkat sambil menatapku.
Aku langsung duduk di depannya, membuka tas lalu mengeluarkan buku catatan. Kami mulai belajar seperti biasa. Dia memberi soal, sementara aku mencoba fokus. Tapi pikiranku melayang ke mana-mana. Dan benar saja, soal pertama yang dia kasih langsung salah jawabanku.
Dika menyandarkan punggungnya, lalu tersenyum tipis. "Kamu harus ingat aturan kita sebelumnya fania. Kalau salah menjawab maka akan ada hukuman. Aku langsung menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku ingin memastikan tidak ada orang yang duduk terlalu dekat. Suaraku jadi kecil waktu bicara. "Tapi… ini kan di perpustakaan kak…
Dia mencondongkan badan ke depan, menatap mataku dengan serius. “Justru karena di sini, jadi lebih menegangkan. Ayo, lepaskan satu kancing bajumu.
Wajahku terasa panas. Aku menarik napas panjang, lalu dengan tangan gemetar membuka kancing paling atas baju putih seragamku. Celah kecil di dadaku terlihat samar. Dika mengangguk pelan. “Bagus.. Sekarang lanjut kerjain soal nomor dua. Aku berusaha membaca soal tapi tanganku malah gemetar memegang pensil. Rasanya aku tidak bisa berpikir jernih karena terus teringat kancing bajuku yang terbuka.
Soal kedua yang diberikan Dika kembali kujawab salah. Aku memegang pensil erat-erat sementara napasku makin terasa berat dan tidak teratur. Perlahan aku membuka satu kancing lagi di seragamku. Celah di bagian dadaku makin jelas terlihat, meskipun aku berusaha menutupinya dengan tangan. Jari-jariku bergetar saat menyentuh kancing itu, seakan tubuhku sendiri tidak mau menuruti perintahku.
Aku bisa merasakan keringat dingin menetes di pelipis. Sementara itu ada perasaan aneh yang bercampur di dalam diriku. Di satu sisi aku takut, apalagi tempat ini adalah perpustakaan umum. Tapi di sisi lain ada bagian dari diriku yang justru semakin panas dan bergetar, seolah aku menunggu sesuatu yang lebih jauh lagi.
Dika memperhatikan gerakanku tanpa berkata apa-apa. Pandangannya membuat tubuhku semakin kaku. Lalu dia mencondongkan badan mendekat, hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya di telingaku.
“Kalau salah lagi… suaranya rendah tapi jelas.. maka aku akan menyentuhmu tepat disini. Katanya sambil menyentuh bagian depan kemaluanku yang masih tertutup rok seragam sekolah berwarna biru tua.
Aku menelan ludah keras-keras. Tenggorokanku terasa kering. Tubuhku bergetar, sementara tanganku tanpa sadar meremas ujung rok seragamku. Suasana perpustakaan yang begitu sunyi membuat suara detak jantungku terdengar jelas di telingaku sendiri. Semakin sepi dan semakin panas suasana yang kurasakan. Semua itu membuatku sulit membedakan apakah aku lebih takut… atau justru menantikan apa yang akan terjadi berikutnya.
Aku mencoba menjawab soal ketiga dengan tangan yang gemetar. Pensil hampir terlepas dari genggamanku karena jari-jariku terlalu kaku. Jantungku berdetak keras. Rasanya lebih keras daripada bunyi detik jam dinding yang terus berulang-ulang di ruang perpustakaan yang sunyi itu.
“Dua puluh.. ?!! ucapku pelan bahkan suaraku nyaris tak terdengar.
Dika tidak langsung menanggapi. Dia hanya menatapku beberapa detik seakan ingin memastikan aku benar-benar menunggu jawabannya. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Salah lagi..
Aku belum sempat menarik napas ketika tangannya bergerak. Perlahan tapi pasti. Tangannya menyusup ke bawah meja. Suara gesekan kursi dan kertas membuatku semakin panik. Aku menunduk sedikit seakan ingin bersembunyi dari pandangan siapa pun yang mungkin melintas.
Tubuhku terus menegang. Aku bisa merasakan betapa berbahayanya keadaan ini namun sekaligus sulit menolak karena tatapan Dika yang begitu yakin. Waktu seakan berjalan lebih lambat dan setiap gerakan kecil terasa membekas di tubuhku.
Tangannya tiba-tiba sudah menyentuh pahaku. Hangat dan kuat, jemarinya merayap pelan dari bawah meja. Sentuhannya bergerak naik, menyusuri kulitku yang tertutup tipis kain rok seragam. Aku menggeliat kecil, berusaha menggeser posisi dudukku, tapi tubuhku justru semakin tegang. Bibirku kugigit erat, menahan suara yang hampir keluar.
“Tenang saja… bisiknya dekat sekali di telingaku. Suaranya datar tapi menekan. “Tidak ada yang akan sadar selama kamu diam.
Rokku tersingkap sedikit karena gerakan tangannya. Aku bisa merasakan jari-jarinya kini menyentuh bagian terdalam tubuhku yang hanya terhalang celana dalam tipis. Tanganku buru-buru menutup mulutku sendiri. Mataku memejam rapat dan seluruh tubuhku bergetar hebat. Gelombang perasaan aneh bercampur panas menjalari tubuhku.
“Basah sekali… gumamnya rendah seolah hanya untuk dirinya sendiri namun cukup jelas untuk membuat wajahku langsung memerah seluruhnya.
Aku terdiam dan jantungku nyaris meledak. Suara orang yang berjalan di lorong rak terdengar samar membuatku semakin panik sekaligus basah. Aku tahu… satu jawaban salah lagi akan membuatku benar-benar kehilangan kendali di tengah ruang perpustakaan yang sepi ini.
Dika kembali menyodorkan sebuah soal padaku. Angkanya terlihat sederhana tapi semakin lama kupandangi justru terasa semakin sulit. Aku mencoba menuliskannya di kertas, namun pikiranku benar-benar tidak fokus. Nafasku pendek-pendek, dan pada akhirnya jawabanku kembali salah.
Dika menatapku dengan wajah tegas, matanya tajam seolah tidak memberi ruang untuk alasan. “Salah lagi.. katanya singkat.
Aku langsung tahu apa artinya. Hukuman. Tangannya kembali bergerak, menyusup pelan ke balik rok seragamku. Sentuhannya kali ini lebih berani, langsung menuju bagian paling sensitif yang sejak tadi berdenyut tak karuan. Aku meremas ujung meja, berusaha menahan reaksi tubuhku.
Awalnya dia hanya meraba pelan, menekan lembut seolah sedang menguji. Tapi semakin lama gerakannya makin dalam. Dua jarinya menusuk lebih jauh, membuatku tak mampu menahan suara.
“Uhhh… desahku lolos begitu saja dari bibir, meski buru-buru kutahan dengan menggigit bibirku sendiri. Tubuhku bergetar, wajahku panas, sementara tanganku semakin keras mencengkram pensil yang hampir patah di genggaman.
Jemarinya bergerak semakin cepat di dalam sana. Aku mengernyitkan wajah. Kurasakan napasku makin berat dan dadaku terasa sesak karena detaknya yang tidak beraturan. Kursi kayu berderit lirih ketika tubuhku menggeliat sambil mencoba menahan rasa yang semakin menumpuk. Dika yang duduk rapat di samping menatap ekspresi wajahku dengan tatapan gemas. Senyum tipis muncul di bibirnya. "Gak usah dilawan fan… nikmati saja.. bisiknya pelan.
"Ahh… uhhhnn… desahku lolos tanpa sengaja meski buru-buru kututup mulut dengan telapak tangan. Pipiku memanas, mataku terpejam rapat. Tanganku meremas ujung meja hingga buku catatanku bergeser.
Gerakan jarinya makin dalam, ritmenya semakin cepat hingga membuatku sulit duduk tenang. Nafasku tersengal, tubuhku bergetar hebat. Suasana perpustakaan yang sunyi membuat suara detak jantungku sendiri terdengar jelas.
"Aaahhh…!! aku mendesah tertahan, tubuhku melengkung, lututku bergetar hebat di bawah meja. Gelombang klimaks itu akhirnya pecah membuatku lemas dan terkulai di kursi kayu perpustakaan. Dika menatapku dengan senyum tipis sementara aku masih terengah-engah berusaha menenangkan napas yang kacau.
Aku masih terkulai di kursi kayu perpustakaan. Napasku tersengal dan wajahku terasa panas. Tubuhku bergetar setelah ledakan nikmat yang barusan terjadi di bawah meja. Tanganku masih menekan meja erat-erat seolah menjadi satu-satunya pegangan agar aku tidak jatuh. Dika perlahan menarik jarinya keluar lalu menatapku dengan senyum tipis yang penuh arti.
“Kamu pikir hukumannya sudah selesai sampai di sini ? bisiknya rendah. Ujung jarinya yang masih basah ia jilat pelan dan matanya tidak lepas dariku.
Aku menoleh dengan mata lelah. Kelopak mataku terasa berat namun sorotku masih dipenuhi rasa takut bercampur gairah yang belum padam. "Kak… udah cukup… nanti kalau ada yang lihat gimana ? suaraku pelan dan nyaris terputus karena masih sulit mengatur napas.
Dika justru mendekat lebih berani. Wajahnya kini hanya sejengkal dari wajahku. Aku bisa merasakan hangat napasnya membuat tubuhku semakin kaku. "Kalau begitu sekarang kamu ikutin aku.. katanya sambil tersenyum. "Kita cari tempat yang lebih… tersembunyi.
Tangannya menggenggam pergelangan tanganku. Genggamannya kuat tapi terasa mengendalikan. Ia menarikku berdiri sementara kakiku masih goyah dan lututku bergetar. Aku menurut tanpa banyak suara. Langkahku tertatih tapi tetap mengikuti.
Kami berjalan cepat melewati deretan rak buku tinggi. Suara langkah kami teredam oleh karpet tebal di lantai, hanya bunyi dengungan pendingin udara yang terdengar samar. Semakin jauh kami melangkah, semakin sepi suasana.
Hingga akhirnya kami berdua sampai di lorong rak buku paling belakang. Suasananya benar-benar sunyi. Tidak ada seorang pun. Lampu di bagian itu menyala redup. Menciptakan bayangan panjang di antara rak-rak buku. Tempat itu seakan memang diciptakan untuk menyembunyikan sesuatu yang tidak boleh dilihat orang lain.
Kami awalnya berdiri saling berhadapan. Jarak di antara kami begitu dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku. Tatapannya menusuk. Membuatku gugup dan sulit bernapas. Lalu dengan suara rendah namun tegas Dika berbisik, “Balikkan badanmu… hadap rak buku itu.
Aku menelan ludah seakan ragu sejenak tapi akhirnya menurut. Perlahan aku memutar tubuhku hingga kini punggungku menghadap ke arahnya. Dengan tangannya kemudian Dika menekan pelan bahuku dari belakang dan menyuruhku sedikit menunduk. Tubuhku pun terhenti dalam posisi setengah membungkuk. Kedua tanganku refleks bertumpu pada rak buku yang ada didepan. Kayu rak berderit pelan menahan dorongan tubuhku seolah ikut menyaksikan apa yang sedang terjadi.
Dari arah belakang aku bisa merasakan tubuhnya menempel erat pada punggungku yang panas. Kedua tangannya segera meraih pinggangku. Mencengkeram kuat hingga aku benar-benar tak bisa bergerak. Napasku memburu dan wajahku memerah. Kurasakan seluruh tubuhku bergetar menahan sensasi yang terus menekan dari segala arah. Napas Dika terasa di telingaku, membuatku semakin gelisah. "Kamu murid paling nakal yang pernah kutemui fania. Hukuman terakhirmu… sekarang aku akan mengambil alih tubuhmu sepenuhnya. Suaranya rendah namun jelas menusuk ke dalam kepalaku.
Aku menelan ludah, tubuhku terasa lemas sekaligus pasrah. Ada rasa takut kalau sampai ketahuan, tetapi justru ketegangan itu membuat darahku semakin berdesir kencang. Tiba-tiba rok seragamku terangkat tinggi hingga sepinggang, lalu celana dalamku ditarik kasar ke bawah begitu saja. Aku tersentak, tubuhku bergetar hebat, tanganku refleks meraih rak buku di depanku agar tidak jatuh, sementara kayunya berderit menahan tubuhku yang menekan.
Namun Dika tidak berhenti di situ, karena salah satu tangannya menahan pinggangku erat, sedangkan tangan lainnya mengangkat pahaku ke samping, membuat salah satu kakiku terangkat setengah. Posisi itu membuatku semakin tak berdaya, menempel rapat pada rak buku, dengan wajah panas, napas tersengal, dan tubuh gemetar menanti apa yang akan dia lakukan selanjutnya.
Setiap hentakan membuat rak buku berguncang pelan. Buku-buku bergeser, seolah ikut menyaksikan dosa kami. Aku berusaha menahan desah, tapi tetap lolos dalam bentuk erangan kecil yang samar.
"Aaaahh… Kak… jangan.. ouuhh.. kencang sekali… bisikku terbata sementara mataku berair menahan kenikmatan.
Dia semakin menghujam kuat hingga tubuhku terdorong rapat ke rak buku yang dingin. Tangannya meremas dadaku dari balik seragam yang sudah setengah terbuka, membuat kain tipis itu kusut tak beraturan. Bibirnya menempel cepat di leherku, hisapannya meninggalkan rasa panas yang membuatku tak bisa menahan erangan.
“Ahhh… uhhhnn… aku kembali mengerang tanpa sadar.
Dika langsung menunduk di telingaku, suaranya pelan tapi tegas. "Jangan bersuara… nanti ada yang dengar. Aku panik lalu buru-buru menutup mulutku sendiri dengan tangan kananku. Sementara tangan kiriku tetap bertumpu pada rak buku perpustakaan, menjadi satu-satunya penopang agar tubuhku tidak jatuh.
Di sekeliling kami hanya terdengar suara detik jarum jam di dinding, berpadu dengan hentakan tubuh kami. Suasana perpustakaan yang sunyi membuat setiap gerakan terasa lebih jelas dan menegangkan.
Gelombang nikmat itu akhirnya datang lebih cepat dan kali ini jauh lebih kuat. Tubuhku bergetar hebat sementara cairanku membanjiri hingga mengenai kakinya. Beberapa detik kemudian tubuh Dika juga menegang keras. Ia menahan tubuhku erat sambil melepaskan semuanya di dalamku. Hentakan terakhir ini membuatku hampir roboh kalau tidak berpegangan pada rak yang ada dibelakangku.
Kami terdiam dan sama-sama terengah. Tubuhku masih menempel di rak buku dengan keringat bercucuran. Wajahku merah padam seperti ada campuran rasa bersalah dan kepuasan menguasai diriku. Dika menepuk pinggangku pelan, lalu berbisik di telingaku. "Sekarang kamu tahu fania… les privat di perpustakaan bisa jauh lebih menyenangkan daripada di rumah. Aku tidak bisa menjawab. Hanya tahu satu hal yaitu hukuman ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih gila.
Belajar Tentang Kehidupan
Kami akhirnya beranjak dari lorong rak buku yang remang. Kakiku masih terasa lemas, dan jantungku berdetak tak beraturan. Dika menuntunku berjalan pelan menuju sebuah bangku kayu panjang di pojok perpustakaan. Tempat itu cukup tersembunyi, jauh dari pandangan pengunjung lain. Aku duduk dengan napas masih tersengal, keringat di pelipis belum juga kering, sementara Dika menjatuhkan tubuhnya di sampingku.
Suasana begitu hening, hanya suara kipas angin tua yang berderit pelan. Aku menunduk, jemariku meremas ujung rok, tak berani menatapnya terlalu lama. “Kak… kalau orang tuaku tahu… aku bisa habis… bisikku dengan suara hampir tak terdengar.
Dika menoleh, tatapannya tetap tenang. Tangannya menepuk pahaku pelan, memberi semacam keyakinan. “Tenang saja, Fania… tidak akan ada yang tahu, kecuali kamu sendiri yang menceritakannya. Semua ini… hanya antara kita berdua.
Aku menggigit bibir, masih diliputi rasa bersalah bercampur dengan sisa-sisa nikmat yang menempel kuat di tubuhku. Namun kata-katanya seolah menenangkan, meski juga membuatku semakin terjebak dalam lingkaran yang tak bisa kuhindari.
Beberapa menit kami hanya terdiam, saling mendengar suara napas masing-masing. Lalu tiba-tiba Dika tersenyum samar, mendekatkan wajahnya ke telingaku. "Tahu nggak fan… belajar itu bukan cuma soal pendidikan di sekolah. Belajar juga soal kehidupan.
Aku menoleh pelan, menatapnya bingung. Dia mendekatkan bibirnya lebih dekat lagi, bisikannya membuat tubuhku merinding. “Dan aku akan mengajarimu… supaya benar-benar jadi seorang gadis dewasa.
Aku terdiam dan tubuhku kembali bergetar. Kali ini bukan karena takut melainkan karena aku tahu apa yang dimaksudnya. Ruangan perpustakaan terasa semakin sunyi seakan seluruh dunia menunggu apa yang akan dia lakukan padaku selanjutnya.
Aku menahan napas ketika mendengar bisikannya. “Kita coba sekali lagi… setelah itu baru pulang,” ucap Dika pelan tepat di telingaku. Entah kenapa, tubuhku langsung menurut begitu saja, padahal pikiranku masih setengah kacau oleh rasa nikmat yang sebelumnya belum benar-benar reda. Aku hanya bisa mengangguk kecil, nyaris tanpa sadar, seakan tubuhku sendiri sudah pasrah dibimbing olehnya.
Dia menepuk pahaku pelan lalu berbisik lagi, “Naik ke pangkuanku.” Suaranya tenang, tapi terasa seperti perintah yang tak bisa kutolak. Kakiku bergetar saat aku bergerak pelan duduk di atas pangkuannya. Aku membelakanginya, tubuhku menempel erat pada dadanya yang hangat. Celana dalamku sudah melorot ke bawah, dan rok seragamku terangkat tinggi hingga menyingkap seluruh bagian pinggang ke atas pahaku.
Aku bisa merasakan desahan hangat dari hidungnya menyapu tengkukku, sementara kedua tangannya langsung meraih pinggangku erat-erat. Dari belakang, Dika mulai menggeser posisi tubuhku, menarik perlahan seolah sedang mengarahkan jalanku. Aku menggigit bibir, wajahku panas, kedua tanganku bertumpu di atas pahanya agar tidak jatuh.
“Diam saja… biar aku yang bimbing,” bisiknya lagi, sebelum tangannya benar-benar menuntun pinggangku, mencoba menyatukan tubuhku dengan miliknya yang menegang keras di balik celana yang sudah terbuka.
Detik itu juga, aku hanya bisa memejamkan mata, dada naik-turun cepat, seluruh tubuhku bergetar menanti momen saat dirinya benar-benar masuk ke dalamku. Aku menarik napas panjang, kelopak mataku terpejam rapat ketika akhirnya tubuhku benar-benar menyatu dengannya. Rasa panas itu langsung memenuhi ronggaku, membuatku refleks menggenggam erat pahanya. Kali ini tidak sesakit sebelumnya—basah yang masih tersisa dari kejadian tadi membuat semuanya terasa lebih mudah, lebih mulus, namun jauh lebih dalam.
“Pelan saja… nikmati,” bisik Dika di telingaku, suaranya berat penuh desakan.
Aku hanya bisa mengangguk kecil tanpa membuka mata, mencoba mengendalikan napasku yang tersengal. Setiap kali dia menarik pinggangku ke belakang, lalu mendorongnya maju kembali, tubuhku terhentak ringan di atas pangkuannya. Rak buku dan meja di sekitar kami tetap sunyi, hanya suara kayu bangku yang berderit mengikuti gerakan kami.
“Ohhh…” desahku lolos, meski kututup mulut dengan telapak tangan. Wajahku panas, pipiku memerah, sementara tubuhku kian lama semakin larut dalam irama yang dia paksakan padaku.
Dika menunduk, mencium leherku, lalu bergumam dengan suara rendah yang membuatku semakin lemah. “Begitu… bagus, Fania. Biarkan tubuhmu belajar sendiri… Aku menggeliat, berusaha menikmati setiap penetrasi yang semakin dalam, semakin mantap, hingga seluruh tubuhku bergetar menahan gelombang nikmat yang makin meninggi.
Suasana di pojok perpustakaan benar-benar terasa sunyi, hanya ada deru pendingin udara dan detak jantungku yang menggema di telinga. Tak seorang pun melintas, seakan dunia menyisakan ruang ini hanya untuk kami berdua. Dika memanfaatkan sepenuhnya, tubuhnya menghentak naik-turun dari bawah, membuat bangku kayu berderit pelan setiap kali irama itu berulang.
Tangan kanannya mencengkeram pinggangku kuat, menarikku agar semakin rapat, sementara tangan kirinya bertumpu di pundakku, menahan tubuhku agar tetap seimbang. Hentakan demi hentakan itu membuat tubuhku terguncang, hingga aku ikut melenting mengikuti gerakannya tanpa sadar. Gairahku semakin meninggi, membakar setiap inci kulitku, membuatku terbuai dalam ritme panas yang tak bisa lagi kuhentikan.
Dengan posisi membelakanginya, aku bisa merasakan bibirnya mulai menelusuri pundakku. Sentuhannya lembut namun penuh desakan, lalu bergerak naik ke leher, bahkan ke helaian rambutku yang tergerai. Napasnya terasa hangat, membuatku merinding sekaligus semakin menggeliat.
“...kamu seksi sekali, Fania,” bisiknya di telingaku dengan suara berat, membuat tubuhku semakin bergetar, tenggelam dalam suasana yang semakin tak terkendali.
Dika tiba-tiba menghentikan gerakannya, menarik napas panjang, lalu menatapku dari samping dengan senyum tipis yang membuat dadaku makin berdebar. “Kita coba posisi lain, Fan… mumpung sepi,” ucapnya pelan tapi penuh tekanan.
Aku yang masih terengah-engah hanya bisa menatapnya dengan mata setengah terpejam, napasku tak beraturan. Dengan tubuh gemetar aku perlahan turun dari pangkuannya, lututku masih lemas karena sisa-sisa kenikmatan tadi.
“Sini… m Kak Dika pangku. katanya menggoda dengan nada suaranya membuat wajahku semakin panas.
Tanpa sempat menutupi rasa maluku, aku langsung menurut. Aku duduk kembali di pangkuannya, kali ini menghadap lurus padanya. Rok seragamku sudah terangkat tinggi, dan tanpa celana dalam, aku bisa merasakan panas tubuhnya menyentuh langsung bagian paling sensitifku. Dengan berani namun terbata, aku meraih pinggangnya, lalu perlahan berusaha memasukkan miliknya ke dalam tubuhku sendiri.
“Ouhhn… aku tak kuasa menahan lenguhan pelan yang lolos dari bibirku, mataku memejam rapat, tubuhku bergetar menerima sensasi itu sekali lagi.
Dika menarikku lebih dekat, membuat tubuhku benar-benar berada di pangkuannya. Nafasnya terasa hangat di leherku, berbaur dengan degup jantungku yang tak beraturan. Jemarinya bergerak perlahan, membuka kancing-kancing seragamku satu per satu, hingga dadaku hanya tertutup tipis oleh kain bra. Aku refleks menunduk, wajahku memerah, tapi tangannya menahan daguku agar tetap mendongak.
"Kak Dika pengen nyusu sama kamu. bisiknya pelan dan suaranya berat bergetar.
Aku bisa merasakan telapak tangannya bergerak pelan, seperti ingin mengukir setiap lekuk tubuhku dengan sentuhannya. Jemarinya menelusuri pinggangku, menekan lembut seolah menandai bahwa aku miliknya, lalu perlahan naik ke atas, menyusuri garis tubuh yang membuat napasku tercekat. Ketika akhirnya tangannya tiba di dadaku, remasannya pada payudaraku terasa begitu tegas namun tetap terkendali, membuat darahku berdesir dan jantungku berdegup semakin cepat.
Aku menggeliat kecil, berusaha menahan erangan yang hampir lolos, sementara tanganku mencengkeram kuat bahu Dika. Tubuhku kian terhimpit olehnya, setiap sentuhan membuatku tersentak kecil dan tak berdaya menahan gejolak yang datang bergelombang. Bibirnya bergerak dari leher ke bahuku, menebarkan jejak basah yang menyulut panas menjalar hingga ke tulang. Jemarinya tak berhenti, menyusuri garis pinggangku lalu naik ke buah dadaku, menekan lembut sebelum meremas lebih dalam.
Aku menggeliat, punggungku melengkung mengikuti arah sentuhannya, seakan tubuhku tak lagi bisa membohongi gairah yang semakin menuntut. Dika menarik napas berat di dekat telingaku, hembusannya hangat dan membuat bulu kudukku meremang.
Kedua tangannya lalu meraih pinggangku, menggerakkan tubuhku perlahan seirama dengan hentakan halus dari bawah. Aku tak melawan—justru tubuhku otomatis mengikuti ritmenya. Setiap dorongan terasa menyalakan bara yang sudah membakar sejak tadi.
Ketika bibirnya akhirnya sampai di dadaku, melumat dan menggigit lembut di sana, aku tak sanggup lagi menahan desah panjang yang lolos. Tanganku mencengkeram rambutnya erat, sementara tubuhku melonjak pelan, mencari lebih banyak lagi dari apa yang dia berikan.
Bangku kayu panjang di pojok perpustakaan itu jadi saksi diam kami. Aku duduk di atas pangkuan Dika, menghadap langsung ke wajahnya. Kedua tanganku bertumpu di bahunya, sementara tubuhku naik turun dalam irama yang makin cepat. Nafasku terengah, rambutku yang semula terikat kuncir kuda terlepas begitu saja, terurai liar mengikuti setiap lonjakan tubuhku.
Dika menatapku lekat, sorot matanya tak pernah lepas dari wajahku. Semakin aku melonjak cepat, semakin kuat pula tangannya mencengkeram pinggangku, menarikku turun lebih dalam hingga membuatku terpekik tertahan. Suara bangku berderit mengikuti gerakan kami, namun tak ada yang mampu menghentikan ritme panas yang sudah terbentuk.
“Astaga… kamu makin seksi, Fania…” desahnya di sela tarikan napas berat. Bibirnya kemudian menempel di dadaku, menggigit halus sambil tubuhnya menghentak dari bawah.
Aku hampir tak bisa mengendalikan diriku lagi. Peluh bercucuran dari kening, dadaku naik turun cepat, dan setiap kali dia menghentak lebih keras, tubuhku bergetar hebat. Aku menunduk, bibirku mencari bibirnya, lalu kami menyatu dalam ciuman dalam yang bercampur dengan erangan tertahan.
Hanya beberapa hentakan lagi, aku merasakan tubuhnya menegang. Dika mendesah panjang di telingaku, suaranya berat dan penuh pelepasan, membuatku semakin larut dalam gelombang terakhir yang menyeretku jatuh bersamanya.
Gerakan kami makin tak teratur, penuh dengan desahan dan hentakan yang saling menyambung. Aku meremas bahu Dika sekuat tenaga, tubuhku melonjak turun-naik di pangkuannya, tak lagi mampu mengendalikan ritme. Nafasku berat, dada naik turun cepat, dan setiap dorongan membuatku nyaris menjerit.
Pinggang Dika menghentak lebih keras dari bawah, membuatku melenguh panjang, rambutku yang terurai menempel di wajah yang basah oleh keringat. “Kak… aku nggak kuat lagi…” bisikku terbata dan tubuhku bergetar hebat ketika gelombang nikmat itu akhirnya meledak. Punggungku melengkung, kakiku menegang, dan cairanku membanjir, membuatku hampir roboh kalau bukan karena masih berada di pangkuannya.
Beberapa detik setelahku, Dika juga tak mampu menahan lagi. Tubuhnya menegang kuat, pelukannya mencengkeram pinggangku lebih erat, dan dia menggeram berat di telingaku. “Fania…” desahnya, sebelum dia mencapai puncaknya bersamaan dengan hentakan terakhir yang dalam dan panas, memenuhi tubuhku sepenuhnya.
Aku terkulai di dadanya, napasku tersengal, keringat bercucuran. Dika pun jatuh lemas ke sandaran bangku, tapi tetap memelukku erat, seakan tak mau melepas. Suara napas kami yang kacau menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di perpustakaan yang masih sepi itu.
Tiba-tiba langkah kaki terdengar mendekat. Dari ujung lorong rak buku, muncul seorang pria tua, petugas perpustakaan, dengan topi kodok lusuh menempel di kepalanya. Senyum miring tergambar di wajahnya saat melihat kami berdua yang masih duduk di bangku kayu pojok ruangan.
“Aha… pantesan dari tadi kalian berduaan terus di pojokan. Rupanya lagi main panas-panasan ya ? suaranya berat dan penuh nada menggoda.
Aku refleks menegakkan tubuh, wajahku merah padam, sementara Dika berusaha menenangkan situasi. “Pak, maaf… ini hanya salah paham. Kami janji tidak akan mengulanginya lagi.”
Namun pria tua itu hanya terkekeh kecil, matanya menyipit penuh arti. “Salah paham? Kau pikir mataku buta? Aku sudah lihat cukup jelas.”
Darahku berdesir—bukan hanya karena rasa malu, tapi juga karena ancaman itu nyata. Jika sampai tersebar, nama baikku akan hancur. Aku menggigit bibir, menunduk tak berdaya.
Dika melirikku, lalu kembali menatap pria itu. “Tolong… jangan buat masalah besar dari ini. Katakan saja apa yang Bapak mau.”
Pria tua itu tersenyum lebar, lalu mendekat perlahan, menundukkan wajahnya hingga hampir sejajar dengan kami. “Begitu lebih baik… kalian tahu apa yang bisa membuat mulutku tetap tertutup.”
Aku terdiam, jantungku berdegup kencang. Bagian dalam diriku berperang antara menolak dan menerima. Tapi akhirnya aku sadar, demi menjaga nama baikku, hanya ada satu jalan. Dengan suara nyaris bergetar, aku berkata pelan, “Baiklah… aku bersedia… tapi jangan ada orang lain yang tahu tentang ini.”
Tatapan pria tua itu berubah semakin mesum, sementara Dika menatapku dengan campuran khawatir dan lega karena aku sudah mengambil keputusan.
Pak tua itu menyipitkan mata, suaranya datar tapi jelas terdengar penuh niat. “Bagus kalau begitu. Tapi kita jangan main di sini. Terlalu berisiko kalau ada yang lewat.” Ia berhenti sebentar, seolah menimbang sesuatu, lalu menambahkan dengan nada mantap, “Kita pindah ke gudang buku saja. Tenang, nggak lama kok… setelah itu kalian boleh pulang.”
Dika langsung menegakkan tubuhnya, sorot matanya penuh kewaspadaan. “Bapak janji ya, setelah ini semuanya selesai? Tidak ada lagi yang tahu?”
Pria tua itu terkekeh pelan, senyum miringnya membuat bulu kudukku meremang. “Iya, iya… aku janji. Cepat ikut aku ke gudang. Kalau kamu mau ikut juga nggak masalah, biar sekalian jagain pacarmu.” Nada suaranya terdengar seperti sengaja menyulut rasa panas di telingaku.
Aku menelan ludah, tubuhku tegang. Dika menatapku sejenak, seakan meminta kepastian apakah aku sanggup. Aku mengangguk kecil, meski napasku terasa berat. Pria tua itu kemudian berbalik, langkah kakinya pelan namun mantap, membawa kami menuju pintu besi kecil di ujung ruangan perpustakaan yang jarang dibuka orang.
Tanganku masih digenggam erat oleh Dika, seakan dia tidak rela melepasiku sendirian. Pintu gudang berderit ketika didorong, aroma kertas tua langsung menyeruak, bercampur dengan debu yang membuat suasana semakin sesak dan gelap.
“Masuklah.. ujar pria tua itu sambil memberi isyarat dengan dagunya. Senyumnya tetap mengembang, mata tuanya berkilat seperti sudah menunggu lama momen ini.
Pintu besi itu menutup di belakang kami dengan suara gedebuk berat, membuatku merinding. Ruangan gudang buku itu remang-remang, hanya diterangi lampu kuning kecil di sudut atas, sebagian besar rak dipenuhi tumpukan buku berdebu dan kardus-kardus lama. Bau kertas tua bercampur dengan aroma lembab yang pekat.
Aku berdiri kaku di depan meja kayu besar itu, napasku masih tersengal ketika pria tua itu menatapku dari ujung kepala sampai kaki dengan senyum tipis di bibirnya. Lampu kuning di sudut ruangan membuat sorot matanya terlihat semakin tajam, seolah-olah menelanjangi tubuhku tanpa ampun.
“Berdiri di sini,” katanya sambil menepuk sisi meja kayu. Suaranya rendah tapi penuh perintah, membuat jantungku berdegup makin keras. Aku menelan ludah, lalu melangkah pelan mendekati sisi meja itu.
Tangannya yang kasar lalu menyentuh punggungku. “Sekarang, menungginglah,” bisiknya, serak dan tegas. Aku terdiam sejenak, tapi ketika dia menekan pelan pinggangku ke bawah, tubuhku spontan menuruti.
Aku menunduk, kedua tanganku bertumpu di atas meja berdebu itu. Kakiku tetap menapak lantai dingin, lututku sedikit gemetar karena posisi itu membuat tubuhku terasa terbuka dan rentan. Rokku tersingkap, kain tipis itu naik begitu saja saat aku membungkuk, membuat udara lembap gudang langsung menyentuh kulitku.
Dari belakang kudengar tawa kecil pria tua itu. “Begitu lebih bagus… dasar nakal,” katanya pelan, penuh nada puas. Aku bisa merasakan tatapannya menelusuri seluruh lekuk tubuhku dari belakang, membuat bulu kudukku meremang.
Aku menggigit bibir, berusaha menahan degup jantungku yang semakin keras. Dari sisi lain, Dika berdiri kaku, wajahnya tegang, namun matanya terus menatapku, seolah ingin memastikan aku masih kuat berada di posisi itu.
Suara langkah pria tua itu bergema pelan di lantai semen ketika ia beranjak ke sudut ruangan. Aku menoleh sedikit, cukup untuk melihat tangannya meraih sebuah penggaris kayu panjang, tipis, kira-kira sepanjang lengan orang dewasa. Benda itu digoyang-goyangkannya ringan, menghasilkan bunyi berdesing tipis di udara.
“Kalau kamu nakal,” katanya sambil mendekat lagi, suaranya serak dan datar, “maka harus dihukum dulu.”
Aku menggenggam tepian meja erat-erat, jari-jariku bergetar karena gugup. Tubuhku sudah menunduk menempel meja, pinggangku ditekan sedikit ke bawah olehnya agar semakin menungging. Kain rokku tersingkap tinggi, menyisakan kulitku yang terekspos dinginnya udara gudang.
Detik berikutnya, plaak!—penggaris itu mendarat di belakang tubuhku dengan suara nyaring. Aku terlonjak kaget, napasku terhenti sesaat. Rasa panas menyebar cepat di kulit, membuatku spontan meremas permukaan meja yang berdebu.
“Dasar nakal…” gumamnya pelan tapi jelas, lalu kembali mengayunkan penggaris itu. Plaak! Suara kayu menampar kulit kembali terdengar, membuatku mengeluarkan lenguhan kecil tanpa sadar.
Aku mencoba menahan, tapi setiap kali penggaris itu menghantam, rasa perih bercampur panas menjalar ke seluruh tubuh, anehnya membuat perutku bergetar dengan sensasi samar yang sulit dijelaskan.
Pria tua itu berdiri tegak di belakangku, sesekali menepuk-nepuk penggaris ke telapak tangannya sebelum kembali mendaratkannya. “Tahan saja, sebentar lagi selesai…” katanya dengan nada seolah-olah sedang memberi pelajaran sungguhan.
Dari samping, aku bisa melihat Dika mengepalkan tangan di sisinya, wajahnya tegang tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sorot matanya terkunci padaku, seperti berusaha menyalurkan kekuatan agar aku tetap kuat bertahan di posisi ini.
Plaak! Ayunan penggaris kembali mendarat, lebih keras dari sebelumnya. Tubuhku bergetar, napas tercekat, dan aku meremas kuat meja kayu itu, meninggalkan bekas jari di permukaan debunya. Setiap kali rasa perih itu datang, ada denyutan aneh yang merambat, membuat lututku sedikit lemas meski aku berusaha tetap tegak di posisi menungging.
Pria tua itu terkekeh pelan. “Ternyata kamu kuat juga, ya… biasanya sekali dua kali sudah minta ampun.” Jemari kasarnya lalu menepuk-nepuk bagian belakang tubuhku yang masih panas oleh bekas pukulan, seolah menguji reaksiku. Sentuhan itu membuatku menggeliat kecil, tak bisa menahan desah napas yang lolos begitu saja.
“Begini lebih baik,” katanya lirih, sambil menggeser tubuhnya lebih dekat. Tangannya, yang kasar dan penuh urat menonjol, mulai bergerak pelan di sepanjang pinggangku, lalu turun dan berhenti di pangkal pahaku. “Lihat… meski dihukum, tubuhmu tetap bereaksi.”
Aku memejamkan mata erat-erat, berusaha menahan perasaan yang bercampur baur—malu, takut, tapi juga teraduk dengan sensasi yang makin membakar. Jemarinya kini semakin berani, meremas dan menelusuri, membuat tubuhku gemetar di bawah kendalinya.
Dari samping, aku sempat mendengar suara Dika menelan ludah keras-keras, seolah ikut tersiksa hanya dengan menyaksikan semua ini. Pandangannya tak pernah lepas dariku, tapi langkah kakinya tetap tertahan di tempat.
Pria tua itu menunduk sedikit, suaranya berbisik di belakang telingaku, “Hukuman sudah selesai… sekarang kita masuk ke bagian yang lebih menyenangkan.”
Pria tua itu makin rapat mendekap tubuhku dari belakang, dada kasarnya menempel erat di punggungku yang terbuka. Nafasnya berat, hangat, bergulir di leherku ketika ia menghirup dalam-dalam aroma tubuhku. Jemarinya menyibak rambutku yang terurai, lalu meremasnya hingga kepalaku sedikit terdongak.
“Manis… tapi nakal,” bisiknya serak. “Cucu-cucu kakek di kampung nggak ada yang begini berani. Kamu lain.”
Aku terdiam, tubuhku kaku, tapi detak jantungku berdentum keras. Rasa pasrah bercampur dengan geliat aneh yang muncul tiap kali bibirnya menyentuh kulitku. Ia menciumi pundak dan leherku dengan rakus, meninggalkan jejak basah yang membuatku menggigil.
Tangan kasarnya bergerak lebih jauh, membuka kancing seragamku satu per satu dari belakang. Suara ‘klik’ kecil setiap kancing terlepas membuatku semakin menahan napas. Hingga akhirnya kain tipis itu terlepas, menyisakan hanya pakaian dalam yang tak bertahan lama ketika jemarinya menyusup ke balik tali dan menariknya turun.
Aku meremas sisi meja, tubuhku bergetar. Suara lelaki tua itu kembali terdengar, pelan tapi menusuk, “Apa semua gadis amoy nakal seperti kamu? Kalau iya… mungkin anak tetangga kakek dulu juga pernah main begitu.” Ia terkekeh kecil, seolah teringat godaan lamanya.
Suasana gudang makin panas. Lampu kuning remang-remang membuat bayangan tubuh kami menari di dinding, mempertegas momen yang tak bisa kuhindari.
Pria tua itu menahan napas sejenak, pandangannya tak lepas dari kulit pucat Fania yang kini sepenuhnya terbuka dari pundak hingga punggung. Jemari kasarnya bergerak pelan, menyusuri garis halus tulang belikatnya, seakan ingin merasakan setiap lekuk lembut yang tersaji di depannya.
“Halus sekali…” gumamnya dengan nada kagum bercampur nafsu. Ia menunduk, bibirnya menempel pada pundak Fania, menciumi dengan rakus lalu turun perlahan ke punggung. Ciuman dan hembusan napasnya membuat tubuh Fania bergetar, jari-jarinya mencengkeram sisi meja kuat-kuat agar tidak jatuh.
Ia terus mengecap kulit putih itu, meninggalkan jejak basah, sambil tangannya mengelus, mengusap, bahkan meremas pinggang Fania. Setiap sentuhan membuat atmosfer gudang makin sesak, penuh dengan hawa panas yang menekan dada.
Setelah puas dengan lumatan panjang, pria itu mundur setengah langkah, lalu tangannya bergerak ke pinggangnya sendiri. Suara resleting diturunkan terdengar jelas di ruangan sunyi itu. Celananya melorot perlahan, sementara matanya tetap terpaku pada tubuh Fania yang masih menungging pasrah di atas meja.
Dengan gerakan sengaja melambat, ia menyibakkan rok Fania ke atas hingga tersangkut di pinggang, memperlihatkan seluruh bagian bawah tubuh gadis itu. Nafasnya makin memburu, penuh gairah bercampur rasa puas melihat pemandangan yang kini terbuka jelas di depannya.
Pria tua itu menyeringai puas sambil menatap Dika, seolah sedang memamerkan temuannya. “Pintar sekali kamu cari pacar. Cina, putih, sipit, imut lagi… jarang ada amoy yang mau sama pribumi,” ucapnya dengan nada mengejek sekaligus kagum.
Kata-kata itu membuat wajahku panas, entah karena malu atau karena cara dia memperhatikan tubuhku. Tubuhku yang setengah terbuka, kulitku terekspos dalam cahaya redup gudang, seakan menjadi pemandangan yang ia nikmati tanpa rasa bersalah. Tangannya kasar tapi penuh rasa ingin tahu saat menyusuri punggungku, menelusuri lekuk pinggang hingga ke sisi pahaku. Setiap sentuhan meninggalkan sensasi berbeda—perih karena kerasnya jemari tua itu, namun sekaligus menyalakan percikan hangat di kulitku.
Aku menggertakkan gigi, mencoba menahan erangan yang hampir keluar, tapi tidak bisa mengelak dari dorongan tubuhnya yang semakin rapat di belakangku. Nafasnya berat, terengah, mengenai tengkukku. Sesekali dia menunduk, mencium pundak dan punggungku, seolah menikmati aroma kulitku yang masih segar muda. “Manis sekali… cucu kakek di kampung nggak ada yang senakal kamu,” bisiknya serak, membuat bulu kudukku meremang.
Tangannya kemudian menyibak rokoku lebih tinggi, menahannya di pinggangku, sementara jemarinya meremas bokongku dengan kuat. Aku terperanjat, tubuhku menegang, tapi genggaman itu tak memberi celah untuk lari. “Dasar nakal,” gumamnya lagi sambil menepuk keras hingga suara bergaung di ruang kosong itu.
Aku menunduk dalam-dalam di atas meja, jemariku mencengkeram sisi kayu, mencoba menahan diri dari gelombang sensasi yang bercampur. Di belakang, dia makin dekat, tubuhnya menempel rapat, gerakannya liar, penuh nafsu. Suasana gudang yang gelap dan lembab hanya mempertebal rasa terpojok yang kualami, membuatku kian sadar bahwa setiap detik ini tak mungkin kulupakan.
Pria tua itu menempel rapat dari belakang, tubuhnya menekan punggungku yang bertumpu pada meja kayu dingin. Nafasnya berat, kasar, dan panas di tengkukku, sementara kedua tangannya mencengkeram pinggangku kuat-kuat agar aku tak bisa bergeser sedikit pun.
Dengan dorongan tiba-tiba, ia menghujam masuk begitu dalam hingga aku terangkat ke depan. Erangan tertahan lolos dari bibirku, tubuhku refleks mencengkeram sisi meja sampai kayunya terasa menekan keras di telapak tanganku.
“Rapat sekali… hah… putih, sipit, imut… pintar sekali pacar kamu cari gadis cina begini. desisnya serak, sengaja menoleh ke arah Dika dengan tatapan puas. “Jarang ada amoy yang mau sama pribumi, apalagi seindah ini.”
Setiap kata itu ia iringi dengan hentakan keras, lalu melambat, lalu kembali menghantam lebih dalam. Irama pukulan pinggangnya begitu teratur namun beringas, membuat perutku terus menekan meja hingga terasa sesak.
Ia menunduk, mencium dan menggigit ringan bahuku, kemudian melumat kulit punggungku yang basah oleh keringat. Rambutku yang terurai berantakan ikut berguncang setiap kali ia menghujam penuh tenaga.
“uhhh dasar nakal… cucu-cucu kakek di kampung nggak ada yang secantik kamu. Sipit, putih, manis… ah, benar-benar sayang kalau dilewatkan,” gumamnya sambil menambah tempo, iramanya kian cepat, kian menghentak.
Aku tak lagi bisa membedakan rasa sakit, malu, dan kenikmatan—semuanya bercampur jadi satu, membuat tubuhku bergetar hebat mengikuti tempo yang ia paksakan.
Aku mendengar suaranya serak menahan desah, namun masih sempat menyeringai pada Dika. “Kalau mau gabung, ayo sini… jangan cuma nonton pacarmu diperas begini,” katanya sambil menghentak pinggulku semakin dalam.
Kata-kata itu membuat wajahku panas, bukan hanya karena rasa malu, tapi juga karena tubuhku yang terus bergetar setiap kali ia menghujam. Aku bisa merasakan keringat dingin mengalir di pelipis, sementara tubuhku kian sulit berdiri tegak, terpaksa bertumpu pada meja.
Dika yang sedari tadi berdiri kaku dengan nafas tersengal, jelas sudah terbakar birahi. Tatapannya tak pernah lepas dari kulitku yang putih terkuak, dari gerakan pinggul kakek tua itu yang terus masuk dan keluar tanpa henti.
“A… aku…” suara Dika pecah, lalu ia melangkah mendekat. Jemarinya gemetar saat menyentuh pundakku, lalu turun ke dadaku yang terayun bebas. “Fan… aku nggak tahan lagi.”
Pria tua itu terkekeh kasar. “Nah, begitu dong. Pacar pintar jangan cuma diem.” Hentakannya tetap berjalan, ritmenya kian cepat, sementara tubuhku dipaksa menerima dua pasang tangan yang kini sama-sama menelusuri kulitku.
Aku menggeliat, napasku tersendat-sendat, diapit antara rasa malu, takut, sekaligus gelombang panas yang terus menghantam. Ruangan gudang itu makin pengap, udara penuh dengan aroma keringat, tubuh, dan suara desahan yang bercampur jadi satu.
Dika tiba-tiba menarik wajahku kasar, memaksa pandanganku beralih dari meja ke arah matanya. Nafasnya berat, penuh amarah bercampur nafsu. “Aku nggak tahan lihat kamu diginiin sama kakek tua,” bisiknya serak, sebelum bibirnya langsung menubruk bibirku dengan ganas.
Aku terkejut, tubuhku menegang, tapi genggamannya di kedua sisi kepalaku begitu kuat hingga aku tak bisa mengelak. Bibirnya menghujam, menelan desahanku yang terputus-putus karena irama dari belakang masih menghantam tubuhku tanpa ampun.
Tangannya yang lain meremas keras dadaku yang terayun liar di bawah sana, seakan ingin memastikan bahwa setiap inci tubuhku menjadi miliknya juga. Remasannya panas, kasar, tapi membuat tubuhku bergetar semakin hebat.
Aku terhimpit di antara dua arus yang tak bisa kutahan: dorongan pria tua yang terus menghantam dari belakang dengan irama penuh, dan lumatan Dika di bibir serta genggaman tangannya di dadaku. Lidahnya memaksa masuk, menguasai mulutku, sementara aku hanya bisa merintih di sela ciumannya, napas terengah, tubuhku terguncang hebat diapit oleh keduanya.
Dika yang sejak tadi hanya bisa mencumbu dan meremas akhirnya tidak kuat lagi menahan diri. Ia naik ke atas meja, berdiri di depanku dengan sikap garang layaknya preman yang menuntut dilayani. Tatapannya tajam menunduk ke arahku, nadanya berat dan tegas.
“Buka mulutmu… sekarang. Layani aku,” katanya sambil menahan kepalaku agar tetap menoleh ke arahnya.
Aku gemetar, tapi tubuhku sudah terbakar seluruhnya. Bibirku terpaksa terbuka, menerima miliknya yang keras dan hangat, menyesaki rongga mulutku. Dika mengerang berat, tangannya terus menahan rambutku agar mulutku tak bisa lepas, sementara tangan satunya meremas dada putihku yang berguncang di bawah sana.
Di saat bersamaan, dari belakang kakek tua itu tidak berhenti menghujam. Gerakannya mantap, penuh irama, masuk semakin dalam, membuat tubuhku terdorong ke depan setiap kali ia menghentakkan pinggangnya. Paduan irama dari dua arah membuatku tak berdaya, seolah tubuhku jadi jalan bagi keduanya.
Setiap hentakan dari belakang membuatku terdorong lebih dalam ke batang Dika di mulutku, membuatku hampir tersedak, tapi tangan Dika justru menahan kepalaku lebih keras agar aku tetap mengulum. Sementara itu, kakek tua mendekapku erat dari belakang, napasnya panas di tengkukku, tangannya sesekali menepuk pinggulku sambil terkekeh puas.
Tubuhku terjebak di antara keduanya, mulutku penuh oleh kejantanan Dika, tubuh bawahku dipenuhi oleh kakek tua. Suara desah, erangan, dan hentakan memenuhi gudang buku yang remang-remang itu, membuat seluruh diriku larut dalam pusaran kenikmatan yang sulit dibayangkan.
Setiap kali kakek tua itu menarik dan menghentak, tubuhku terdorong ke depan, membuat kepala dan mulutku semakin menelan dalam dorongan Dika dari atas meja. Ritme mereka saling bertaut, membuatku terguncang di tengah, tak bisa lari dari kenikmatan kasar yang memenjarakan seluruh tubuhku.
Dika mendesah keras, wajahnya memerah, tatapannya menusuk ke dalam mataku meski kepalaku ia tekan erat. “Aku nggak tahan liat kamu diginiin, Fan… sekarang kamu cuma buat aku!” katanya parau, dorongannya ke mulutku makin cepat dan dalam.
Dari belakang, kakek tua itu juga makin tak terkontrol. Pinggulnya menghantamku berulang-ulang, tubuhku sampai bergetar hebat setiap kali ujung penisnya menusuk sampai ke dasar. Jemari kasarnya mencengkeram pinggangku erat, tak memberiku celah untuk bergerak.
Suara hentakan, erangan, dan nafasku yang tersengal memenuhi ruang gudang yang remang. Aku terhimpit di antara mereka, dipaksa menerima setiap irama panas dari dua arah sekaligus—mulutku dijejali Dika yang berdiri gagah di atas meja, tubuhku dari belakang dihujam habis-habisan oleh kakek tua yang tak kenal henti.
Dika makin menggila di atas meja, tangannya menekan kepalaku agar terus menelan penis yang menghujam dalam, keras dan cepat. Urat-urat di lehernya menegang, wajahnya penuh hasrat, desahannya semakin berat. Sementara dari belakang, kakek tua itu juga tak kalah beringas. Pinggulnya menampar bokongku berulang-ulang, setiap hentakan kejantanannya menusuk lebih dalam hingga tubuhku terguncang hebat di antara dorongan mereka berdua.
Aku tak kuasa lagi, hanya bisa bertumpu di meja kayu, tubuhku menegang, suara lirih keluar bercampur erangan yang tercekik. Sensasi dari dua arah membuatku nyaris tak mampu membedakan di mana awal dan akhir kenikmatan itu.
“Fan… aku… nggak tahan lagi…” Dika mendesah parau, tangannya meremas rambutku makin kuat. Hentakannya di mulutku semakin dalam dan liar, membuat nafasku terputus-putus saat menelan panjang batangnya yang kaku.
Di belakang, kakek tua itu juga mendesah berat. “Hhh… tubuhmu… luar biasa… kakek sudah di ujung…” katanya serak, hentakannya kian rapat, tak memberi jeda seolah ingin mengikatku di puncak.
Getaran menguasai tubuhku. Aku meremas kuat permukaan meja, kakiku hampir tak mampu menopang. Saat itu pula dua-duanya mencapai batas—Dika di atas meja meledak, memenuhi mulutku hangat dan deras, sementara di saat hampir bersamaan kakek tua di belakang menghujam sedalam mungkin lalu meluapkan klimaksnya ke dalam tubuhku.
Tubuhku bergetar hebat di antara mereka, terjepit oleh hentakan terakhir yang kuat dan panjang, membuatku melenguh tertahan, nyaris tak bisa menahan sensasi yang menyesakkan dada sekaligus melegakan. Ruangan gudang yang remang itu dipenuhi desah panjang, bau keringat, dan dentuman nafas berat dari kami bertiga yang sama-sama mencapai puncak di saat hampir bersamaan.
Begitu hentakan terakhir mereda, tubuhku terasa lemas, lututku gemetar hingga hampir ambruk. Aku masih bertumpu pada meja kayu yang dingin dan berdebu, napasku memburu tak beraturan. Mulutku penuh oleh sisa luapan Dika, sementara dari belakang aku masih bisa merasakan hangat yang menetes turun di sepanjang pahaku.
Dika perlahan menarik tubuhnya mundur, masih berdiri di atas meja sambil terengah-engah, wajahnya merah dan dadanya naik-turun cepat. Pandangannya menatapku dengan campuran rasa bersalah, puas, dan kecemburuan yang belum padam. Ia mengelus pipiku dengan tangan gemetar, lalu berkata lirih, “Fan… aku nggak nyangka kita sampai sejauh ini…”
Sementara kakek tua itu juga terhuyung mundur selangkah, merapikan celananya dengan gerakan lambat. Wajahnya masih dipenuhi senyum puas, sorot matanya tak lepas dari tubuhku yang setengah terbuka, kulit putihku basah dan berkilau oleh keringat. “Hhh… luar biasa… kamu benar-benar nakal sekaligus berani,” katanya serak, seperti menegaskan kembali kekagumannya.
Aku hanya bisa berdiri di sana, tubuhku lunglai, rambut berantakan menutupi sebagian wajah. Jantungku masih berdegup kencang, perasaan bercampur aduk antara lega, malu, dan rasa aneh yang sulit kugambarkan.
Suasana gudang mendadak hening. Yang terdengar hanya desahan napas kami bertiga yang masih berusaha kembali normal. Lampu kuning di sudut ruangan berkelip samar, bayangan tubuh kami jatuh di dinding berdebu, menambah kesan misterius dari semua yang baru saja terjadi.
Dika akhirnya turun dari atas meja, mendekatiku, memeluk pundakku yang masih gemetar. “Sudah cukup, Fan… ayo kita pulang,” ucapnya lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan bara yang belum padam.
Kakek tua itu terkekeh pelan sambil melangkah ke arah pintu. “Heh… janji kakek ditepati. Kalian bebas pulang… rahasia ini aman sama kakek. Katanya lalu membuka pintu besi yang berdecit berat. Aku menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa tenaga. Meski tubuhku masih lemah, aku tahu bahwa malam itu akan terpatri dalam ingatanku—malam ketika aku dipaksa menyeberangi batas yang bahkan tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Awal perluangan si gadis polos
BalasHapus