Langsung ke konten utama

Amoy Diatas Dongkrak 2

Sebulan setelah kejadian di bengkel itu, aku lagi duduk di mejaku di kantor, menyelesaikan beberapa laporan terakhir. Jam menunjukkan pukul 4 sore, sebentar lagi kantor akan pulang. Aku masih mengenakan seragam blazer warna merah yang pendek dan pas di badan, padanan rok hitam rapi yang jadi seragam rutin di bank swasta tempatku bekerja. Rambutku sudah rapi tapi masih terasa agak lembap karena tadi baru saja cuci muka di toilet kantor. Tiba-tiba ponselku bergetar. Pesan dari Pak Darto muncul di layar.

"Mobil non kayaknya perlu dicas dibengkel lagi tuh biar gak mogok dijalan. Gimana kalau sore ini non mampir ke bengkel aja. Tulis Pak Darto.

Aku tersenyum kecil karena isi pesan itu rasanya bukan sekadar ajakan servis atau ngecas mobil saja. Aku tahu maksud terselubung didalamnya dan anehnya tanganku langsung mengetik balasan.

"Kenapa harus dibengkel pak.. kan aku bisa ngecas sendiri di rumah. Balasku mencoba coba jual mahal padahal dalam hatiku ingin sekali memenuhi undangannya.

"Iyaa tapi kalau ngecas mobilnya dibengkel nanti baterainya bisa penuh maksimal non. Bukan cuma mobilnya tapi yang punyanya jauh bisa ikut dicas sampe puas. Hehe..

"Bapak bisaan aja. Hmm.. gimana ya.. soalnya sekarang aku masih dikantor.

"Nanti abis pulang kantor kan bisa mampir non. Kebetulan hari ini bengkel lagi sepi jadi bisa lebih leluasa ngecas mobilnya. Tulisnya dalam pesan singkat.

Jantungku berdegup kencang karena kenangan waktu itu muncul lagi, bau oli, suara pintu bengkel yang berat, dan tubuh kekarnya yang menekan tubuhku diatas kap mobil.

Aku kembali pura-pura menahan diri supaya pak Darto makin penasaran. Dan ternyata dia tak mau menyerah dan terus membujukku.

"Aduhh gimana ya.. hari ini aku lagi gak ada urusan kedaerah sana pak. Kataku.

"Ya sudah, bikin saja seolah olah ada urusan. Anggap aja non lagi kepengen beli cilok yang ada didaerah sini. Kata Pak Darto membalas dengan nada menggoda.

"Jangan lama lama ya non. Bapak tunggu disini. Bapak juga udah siapin charger baru buat ngecas mobil listrik non yang modelnya seksi itu. Hehe. Tulisnya.

Aku diam sebentar dan dalam hati aku tahu kalau aku sebenarnya ingin pergi. Rasa penasaran dan degup itu membuat tanganku mengetik tanpa pikir panjang.

"Ya udah nanti sepulang kerja aku mampir ke bengkel bapak. Tapi bapak harus janji nge casin mobilku sampe penuh ya.. Balasku dengan nada menantang.

"Siap non. Bapak udah siapin banyak cas-an mobil dibengkel. Nanti non boleh cobain semuanya gratis.

Aku baru saja selesai rapat terakhir di kantor dan bersiap pulang. Biasanya setiap kali pulang kerja aku selalu menyempatkan diri menukar pakaian, tapi entah kenapa kali ini aku sengaja membiarkan seragam kantorku tetap melekat. Blazer merah yang rapi dan pas di badan, dipadukan dengan rok mini warna hitam yang pendek dan ketat, membuatku terasa seksi meski hanya untuk pergi ke bengkel. 

Aku menambahkan parfum tipis, mengambil tas kecil, lalu berjalan menuju mobil. Perjalanan ke bengkel terasa aneh karena ada campuran rasa deg-degan dan tidak sabar, entah karena penasaran atau sengaja ingin merasakan ketegangan ini dengan pakaian kantorku yang biasa dipandang orang sebagai formal tapi kini terasa menggoda.

Hari itu jalanan sedikit macet dan ketika aku tiba di depan bengkel, suasana sudah gelap. Lampu neon panjang di atas gerbang besi menyala temaram, memantul di permukaan mobil yang sedikit kotor. Aku menekan klakson beberapa kali dan tak lama pintu besi setengah terbuka.

Pak Darto muncul dari balik gerbangnya dengan mengenakan kaos lusuh yang menempel di badan berototnya, lengannya belepotan oli dari pekerjaan seharian. Wajahnya menyeringai begitu melihatku.

"Akhirnya non datang juga.. katanya sambil menutup pintu bengkel dari dalam. Suaranya berat dan agak serak. Membuat udara di sekitarku jadi terasa hangat dan penuh gairah liar. Aku segera memasukan mobilku kedalam halaman bengkel yang berantakan dan dipenuhi peralatan kerja dan onderdil mobil.

Aku turun dari mobil hatchbackku, masih memakai seragam kerja blazer merah yang pas di badan dan rok mini hitam yang pendek, memamerkan pahaku yang jenjang. Sepatu hak hitamku semakin menambah pesona kaki yang panjang. Langkahku terasa ringan tapi penuh kesengajaan, sadar betul efek yang ditimbulkan seragam kantorku ini.

Mata Pak Darto langsung membelalak begitu melihatku keluar dari mobil. Wajahnya langsung berubah terlihat seperti campuran antara kaget dan kagum. 

"Bapak suka lihat non pakai seragam kerja kayak gini. Keliatan seperti pegawai bank profesional. Terkesan rapi tapi seksi. Ujarnya sambil tersenyum sementara suaranya terdengar berat dan serak.

Aku cuma berdiri, pura-pura cuek, padahal dalam hati sudah panas. Pak Darto mulai melangkah mendekat dan tangannya tanpa banyak basa-basi sudah menyentuh pinggangku.

Tiba-tiba ada suara motor berhenti di depan bengkel. Pintu besi diketuk dari luar. Pak Darto segera melepaskan pegangannya dan berjalan membuka pintu, matanya masih menatapku sesaat sebelum mengalihkan perhatian.

Tiga pria masuk ke bengkel. Badan mereka besar-besar, memakai kaos lusuh dan celana jeans belel. Wajah mereka dipenuhi senyum aneh saat menatapku.

"Wah… jadi ini toh cici yang punya mobil listrik dan pernah numpang ngecas di bengkel waktu itu," salah satu dari mereka nyeletuk sambil matanya tak lepas dari tubuhku. Dari cara bicaranya, sepertinya Pak Darto sudah menceritakan semua kejadian sebelumnya kepada mereka.

Aku mulai tegang, tapi entah kenapa juga merasa ada sensasi aneh yang membuatku suka dengan suasana ini.

Pak Darto tertawa tipis. "Iya… mobil cina onderdilnya unik, bro. Perlu dicas dulu kalau mau dipakai jalan. Kalian belum pernah servis mobil kayak gitu kan?"

Mereka saling pandang, senyum makin melebar. Salah satu dari mereka melangkah maju sedikit. "Sebagai montir dari dulu kita penasaran banget pengen bongkar dalemannya mobil cina. Penasaran banget nguji ketangguhan mesinnya. Kira-kira kuat gak ya kalau dinaikin empat orang ?!!

Dari nada suaranya jelas sekali mereka bukan lagi ngomongin mesin. Aku bisa merasakan tatapan mereka naik turun, seolah mengukur tiap lekuk tubuhku. Aku mundur setengah langkah tapi punggungku sudah menyentuh meja kerja di bengkel. Bau oli bercampur hawa panas dari tubuh-tubuh mereka membuat ruangan terasa semakin pengap. Jantungku berdebar lebih kencang tapi anehnya ada sensasi campuran takut dan… penasaran yang sulit kuabaikan.

Pak Darto berdiri di sampingku, tangannya singgah sebentar di punggungku. “Tenang aja non… mereka ini montir juga seperti saya. Datang cuma penasaran pengen lihat dalemnya mobil cina. Tapi kalau Non gak keberatan, mereka juga bisa ikutan ngecas Non seperti yang Bapak lakukan waktu itu.”

Aku mulai membuka mulut, mau bertanya maksudnya, tapi Pak Darto langsung memotong. “Kalau dicas empat orang, pasti baterainya bisa lebih cepat penuh, Non.”

Dua dari mereka tertawa kecil, sementara yang satu lagi duduk di kursi sambil menatapku seperti sedang menunggu giliran. Di dalam kepalaku, degup jantungku makin cepat. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini, dan rasanya campuran takut dan penasaran aneh yang sulit kuabaikan.

Awalnya mereka cuma berjalan santai memutari mobil seolah sedang memeriksanya tapi beberapa saat kemudian semuanya mulai mendekat ke arahku dengan tatapan buas.

“Gak usah kelamaan, Non. Gimana kalau kita cas sekarang aja mobilnya? Pastinya Non udah gak sabar kan…” kata Pak Darto sambil tersenyum tipis, membuatku tersentak sekaligus penasaran.

Suasana di bengkel itu jadi sunyi, cuma terdengar bunyi kipas angin tua yang berdecit. Aku bisa merasakan kalau sebentar lagi pura-pura mereka bakal selesai dan yang sebenarnya mereka mau akan dimulai.

Kata-kata mereka yang penuh sindiran itu entah kenapa justru bikin tubuhku panas. Di kepala, aku mulai membayangkan bagaimana rasanya kalau mereka semua benar-benar menggumuli aku di tengah bengkel ini. Tubuh besar mereka, tenaga yang kelihatan kuat, dan tatapan yang jelas nggak sopan tapi memicu sesuatu di dalam diriku.

Tapi aku coba tepis bayangan itu. Aku nggak mau mereka mikir aku perempuan gampangan atau rendah. Aku berdiri tegak, pura-pura sibuk merapikan rambut sambil melirik mereka sekilas.

Suasana di bengkel makin panas. Tatapan mereka sudah nggak ada sopan-sopannya, jarak ke tubuhku tinggal sejengkal. Nafasku mulai terasa cepat walau aku berusaha tetap terlihat santai.

Tiba tiba dari arah belakang, seorang pria berkulit gelap dengan badan tegap melangkah maju. Wajahnya keras dan ada bekas luka kecil di dekat alis kirinya. Senyumnya tipis tapi matanya jelas penuh maksud. Ia melirik mobilku sebentar lalu menatapku lama.

"Gue mah kurang suka sama mobil listrik… soalnya nggak keluar suara dan lubang knalpotnya. Gue lebih tertarik sama yang ada lobangnya. Yang mendesah desah kalau lagi digeber geber diatas ranjang. Tawa kecil langsung pecah dari dua temannya. Mereka jelas paham arah ucapannya.

Pak Darto ikut tertawa pendek lalu menimpali, “Apalagi kalau yang lobangnya masih sempit seperti si non amoy ini… pasti bikin semua lelaki ketagihan. Kalimatnya membuat wajahku terasa panas tapi juga memicu sesuatu yang sulit dijelaskan di dalam diriku.

Pria bernama Tohir itu berjalan memutariku, sengaja mendekat sampai bahunya nyenggol pundakku. Yang lain ikut bergerak mengelilingi, membuatku terasa terkepung. Mereka tampak benar-benar siap “mengutak-atik” aku, bukan mobilnya.

Salah satu dari mereka mulai mengulurkan tangan, jari-jarinya menyentuh pinggangku. Aku langsung menepisnya sambil melangkah mundur setengah langkah.

Di belakangku, Pendi berdiri diam sebentar, lalu tiba-tiba meraih beberapa helai rambutku yang hitam dicat sedikit kecoklatan. Bau parfumnya bercampur dengan aroma rambutku. Tanpa aba-aba, dia mencondongkan wajahnya dan mencium rambutku, seperti hewan yang mengendus mangsanya. Jantungku berdegup kencang, rasa takut bercampur penasaran membuat tubuhku tegang.

“Ikhh… sebenarnya kalian mau apa sih,” aku berusaha bicara dengan nada tegas, walau suaraku sedikit bergetar. 

Tapi reaksi mereka malah sebaliknya. Bukannya mundur, justru mereka semakin dekat. Tatapan mereka makin liar seperti anak kecil yang makin penasaran saat dilarang.

“Penasaran banget sama onderdil mobil cina. suara berat keluar dari pria berkulit gelap tadi. “Kalau dibuka… pasti kelihatan semua dalemannya.”

Dia menyeringai lebar lalu tangannya bergerak ke ujung atas baju kerjaku. Gerakannya jelas bukan sekadar bercanda. Dia benar-benar mencoba membuka kancingnya satu per satu.

Jangan bang.. Aku menahan tangannya, tapi genggamannya kuat. Sentuhan kasar di kulitku membuat jantungku berdegup lebih kencang. Sementara itu, dua pria lain berdiri mengapitku, seakan siap membantu kalau aku mencoba kabur. Ruangan terasa makin pengap, campuran bau oli dan hawa panas dari tubuh mereka membuatku semakin tegang.

Pak Darto hanya menyandar dimobilku, menonton dengan tatapan yang sulit diartikan, seperti sengaja membiarkan situasi ini berkembang.

Tangan Andre makin kasar menarik lepas blazer kerjaku yang berwarna merah hingga kini hanya tersisa blouse putih tipis yang menutupi badanku.

“Buka aja semua kancing bajunya… kata Pak Darto. Andre makin berani karena mendapat dukungan dari teman-temannya. Satu kancing terlepas lalu kancing berikutnya menyusul. Aku berusaha memegang ujung bajuku tapi dia menepis tanganku dengan mudah.

“Dari dulu gua penasaran pengen liat badan amoy yang kerja di bank. Badannya pasti wangi duit. Hehe.. katanya sambil melirik Pak Darto.

Bagian dadaku yang putih mulus kini terlihat jelas ketika dua kancing blouse dibuka oleh Andre. Belahan dadaku membuat matanya membelalak kagum.

“Kalau onderdilnya mulus begini. pasti bakalan direbutin sama semua orang. Katanya sambil melempar pandangan ke arah Pak Darto.

Dua pria lainnya mulai bergerak lebih dekat. Satu dari mereka menyentuh pahaku dari samping, jari-jarinya naik pelan ke arah rok miniku. Aku refleks menepis lagi tapi mereka cuma tertawa kecil.

“Tenang aja non. Salah satu dari mereka berbisik, “kita cuma mau lihat kualitasnya… nggak akan lama kok.”

Blouse-ku akhirnya terbuka separuh. Udara hangat di bengkel langsung menyentuh kulitku dan membuatku sadar mereka semua sekarang menatapku tanpa berkedip.

Pak Darto melangkah maju lalu berdiri di sampingku. Tangannya menahan pundakku supaya aku tidak mundur lagi. “Udah… biarin mereka lihat dulu. Toh kamu juga kepengen kan diginiin,” kata Pak Darto sambil menatap wajahku.

Andre masih belum puas lalu menarik blouse-ku sampai lepas sepenuhnya. Sekarang aku cuma pakai bra dan rok mini. Nafasnya terdengar berat ketika matanya menelusuri tubuhku. Dua pria lain ikut mendekat, tangan mereka mulai meraba pinggang, perut, dan pahaku tanpa ragu.

"Gak nyangka kalau mobil cina bisa semulus ini dalemannya. Beda sama mobil bensin yang banyak olinya. Kata Pendi menggodaku.

Aku yang masih dalam posisi berdiri langsung panik dan pura-pura melawan. “Jangan, Pak…” jeritku sambil meronta. Tapi di dalam hati, aku tahu aku sudah tak sabar menunggu momen ketika para montir ini akan mengerjai tubuhku. Setiap sentuhan mereka justru membuat darahku mengalir makin cepat. Salah satu dari mereka, pria berkumis tipis dengan kaos tanpa lengan, tertawa pelan. “Ngecas mobil di sini gratis, Non… tinggal ngangkang aja,” ucapnya—aku dengar jelas namanya disebut Pendi oleh teman-temannya tadi.

Kalimat itu disambut tawa renyah dari Andre dan satu pria lainnya. Pak Darto tersenyum miring lalu menahan pundakku ampai aku tak bisa bergerak. Mereka mulai menggiringku ke arah dipan kayu panjang di sudut bengkel. Bau kayu tua bercampur oli langsung memenuhi hidungku. Aku masih pura-pura memberontak, tapi langkahku justru semakin dekat ke permukaan dipan itu.

Mereka mendorongku pelan sampai punggungku menyentuh dipan kayu. Suara kayunya berderit waktu tubuhku jatuh di atasnya. Aku masih berusaha meronta, tapi genggaman mereka terlalu kuat. Andre duduk di atas dipan sambil menahan kedua pergelangan tanganku di atas kepala, sementara Pendi memegang kakiku supaya tetap terbuka. Aku telentang dengan pundak menyandar pada tubuh Andre. Tohir berdiri di samping sambil meremas dadaku dengan tatapan penuh nafsu.

“Udah, Non… diem aja,” kata Pak Darto dengan nada rendah sambil menunduk di sampingku. Tangannya mengusap pipiku lalu turun ke leher. “Biar mereka ngerasain berapa nikmatnya mengendarai mobil cina,” sambungnya.

Aku menggeleng kecil. “Jangan… kataku dengan suara parau, tapi bukan karena takut. Dalam hati justru berdebar menunggu apa yang akan mereka lakukan. Pendi tertawa pelan lalu tangannya mulai menjalar dari pahaku ke arah rok mini yang sudah hampir melorot. “Lihat nih, Non… gratis dan cepet ngecasnya kalau gini caranya,” katanya sambil melirik ke yang lain.

Tangan mereka mulai bekerja bersamaan, mencumbu dan meraba setiap lekuk tubuhku seperti sedang membongkar mobil. Suara tawa dan napas berat bercampur di udara panas bengkel itu. Pendi menarik rok miniku sampai tersingkap penuh, sementara Tohir membungkuk mencium leher dan pundakku kasar. Napasnya panas membuat kulitku merinding.

Aku masih pura-pura menepis tapi cengkeraman Pendi di pahaku tak bisa kulepaskan. Pak Darto berdiri di ujung dipan dengan senyum puas. 

"Pelan-pelan aja bro… biar non Amanda ngerasain enaknya dielus elus sama kita. Katanya sambil ikut membelai kakiku. Pendi menunduk dan menatapku sambil berucap pelan. Enak ya non ngecas mobil disini. Tinggal modal ngangkang doang.

Saat itu aku sudah tidak mengenakan blouse, hanya tinggal bra hitam berenda dan rok mini hitam. Aku masih pura-pura menepis dengan kaki, tapi cengkeraman Pendi di pahaku tak bisa kulepaskan. Tatapan mereka penuh rasa lapar, seakan aku benar-benar onderdil langka yang ingin dibongkar habis-habisan.

Andre yang duduk di atas dipan menjadi sandaran kepalaku mulai menurunkan pegangannya dari pergelangan tanganku ke dadaku, meremas kuat sampai aku mengerang pelan. Pendi tetap menahan pahaku terbuka, jemarinya bergerak naik turun di kulitku yang panas. Tohir menciumi leher dan pundakku, meninggalkan gigitan kecil yang membuatku terengah.

Aku memalingkan wajah, tapi Tohir mencengkeram daguku. “Lihat ke kita, Non… biar tahu siapa yang lagi ngerjain kamu,” katanya pelan. Rok miniku sudah tersingkap tinggi. Pak Darto duduk di pinggir dipan, mengelus pahaku yang tak lagi bisa kututup. “Kualitasnya juara… masih rapet banget,” gumamnya sambil tersenyum puas.

Tangan-tangan mereka bekerja tanpa henti, menanggalkan sisa pakaian di tubuhku. Setiap kain yang terlepas membuat tatapan mereka semakin rakus, disertai suara napas berat, tawa kecil, dan bunyi gesekan kayu dipan yang terus terdengar di ruangan itu.

Aku menelan ludah, tubuhku mulai kehilangan tenaga untuk melawan. Dalam hati aku tahu sebentar lagi mereka akan mulai menguji aku bergantian, persis seperti yang mereka rencanakan.

Andre menunduk, bibirnya menempel di bibirku tanpa memberi kesempatan untuk mengelak. Ciumannya kasar, bercampur dengan napas panas yang membuatku hampir kehabisan udara. Tangannya meremas dadaku makin keras, sementara Pendi menarik sisa pakaianku sampai lepas sepenuhnya.

Tohir di sampingku mengelus pinggang lalu turun ke pinggul dengan tatapan seperti menilai barang mewah. Pak Darto berdiri di ujung dipan sambil berkata pelan, “Udah… mulai aja. Lihat seberapa kuat onderdil ini kalau dipakai rame-rame.”

Aku memejamkan mata. Tubuhku sudah tidak tertutup kain sedikit pun. Kayu dipan yang dingin kontras dengan panas tubuh mereka yang mengelilingi. Napas mereka terdengar makin berat, sentuhan makin berani.

Andre melirik ke Pendi dan Tohir lalu tersenyum. “Siap, kan? Kita uji bareng-bareng,” katanya. Mereka bergerak hampir bersamaan, mengerumuniku dari segala arah. Aku hanya bisa terbaring, setengah pura-pura menolak, setengah pasrah menunggu uji coba itu dimulai.

Mereka bergerak hampir bersamaan, tangan, bibir, dan tubuh mereka mengerumuniku dari segala arah. Aku hanya bisa terbaring, setengah pura-pura menolak, setengah pasrah menunggu uji coba itu dimulai.

Pendi menatapku sebentar lalu tanpa banyak bicara langsung menghujam miliknya ke dalam tubuhku. Aku terpekik kecil, tubuh menegang sesaat sebelum menyerah pada gerakannya yang cepat dan keras. Suara hentakan tubuhnya berpadu dengan derit kayu dipan memenuhi ruangan bengkel yang panas itu.

Beberapa menit kemudian Pendi menarik napas berat dan mundur. “Giliran lo, Tohir,” katanya sambil melirik. Tohir membuka celana lalu mengambil posisi di antara kakiku yang mengangkang. Tangannya mengelus pahaku sebentar sebelum mulai bergerak. Gerakannya lebih terukur tapi tetap kuat, membuatku mengerang setiap kali tubuhnya menghantamku. Tatapannya tak lepas dari wajahku, seakan menikmati setiap reaksi yang keluar.

Saat Tohir selesai, Pak Darto yang dari tadi menunggu langsung menarik lenganku dan memposisikan tubuhku merangkak di atas dipan. Pinggulku diangkat tinggi olehnya. “Gaya doggy… biar onderdilnya kelihatan semua,” ucapnya sambil menepuk pinggulku keras. Tanpa menunggu, dia mulai menghajar dari belakang dengan hentakan kasar dan dalam, membuatku terengah sambil berpegangan erat pada tepi dipan.

Begitu semua selesai, aku terbaring lemas menelungkup di atas dipan kayu. Napas mereka masih berat, keringat menetes dari dahi. Beberapa duduk di lantai sambil mengelap tubuh dengan kain lap bekas bengkel, yang lain meneguk air mineral dari botol plastik.

Aku mencoba bangun, tapi kakiku lemas. Pak Darto menghampiri dan menarikku berdiri. Tatapannya masih penuh maksud meski barusan dia sudah mengerjai aku bersama yang lain. “Non… sini sebentar,” katanya sambil menunjuk pojok bengkel.

Di sana ada dongkrak buaya besar berwarna merah yang biasa dipakai mengangkat mobil berat. Besi hitam di dudukannya terlihat kokoh. Pendi yang duduk di lantai tertawa kecil. “Coba duduk di situ, Non… kita mau lihat gimana rasanya kalau onderdil langka kayak gini ditaruh di atas alat bengkel,” katanya.

“Iya… siapa tahu tambah awet ngecasnya,” timpal Andre sambil tersenyum lebar.

Tanpa banyak pilihan, aku dibimbing Pak Darto mendekat. Besinya dingin saat kulitku menyentuh. Mereka kembali mengelilingi, pandangan penuh rasa ingin tahu seolah pertunjukan babak kedua akan dimulai. Aku didudukkan di atas dongkrak itu, licin dan dingin membuatku sedikit menggeliat mencari posisi. Tapi aku tahu mereka tidak peduli—yang mereka mau hanya memanfaatkan tubuhku lagi.

Pak Darto memegang bahuku dari belakang, menundukkan tubuhku sedikit ke depan. “Begini enaknya… pas tingginya,” katanya sambil memutar tuas dongkrak perlahan hingga dudukannya terangkat.

Aku kini duduk setengah jongkok di atas besi dongkrak dengan lutut sedikit terbuka. Besinya menopang tepat di bawah bokongku. Andre mengambil posisi tepat di depanku, tangannya memegang pinggulku agar tetap stabil. “Pas banget… tinggi segini,” katanya sambil melangkah maju.

Dia mengambil posisi di antara kakiku, satu kakinya sedikit diangkat ke dudukan dongkrak untuk menjaga keseimbangan. Tangannya meraih punggungku, menarikku mendekat sampai tubuhku menempel padanya. Gerakannya mantap, setiap hentakan membuat dongkrak bergoyang ringan di bawahku.

Pak Darto berdiri di samping, memegangi bahu dan pinggangku agar aku tidak jatuh. Sesekali dia menunduk, menciumi leherku sambil mengomentari, “Lihat tuh… onderdilnya mantap, nggak goyang meski di atas alat.”

Sambil duduk aku memegang sisi dongkrak untuk bertahan, tubuhku bergerak mengikuti ritme Andre yang semakin cepat. Besi dingin di bawahku kontras dengan panas tubuh yang menghujam dari depan, membuat setiap gerakan terasa lebih tajam dan menggairahkan.

Andre menghujam tepat di antara kedua kakiku yang terbuka di atas dudukan dongkrak. Pinggulnya digerkan maju mundur dengan cepat. satu tangannya memegang pinggangku dengan erat sementara tangan satunya bertumpu di dudukan untuk menjaga keseimbangan. Kakinya sedikit terbuka, lutut sedikit menekuk agar hentakannya lebih bertenaga.

Setiap kali dia menghujam kedepan, tubuhku terdorong ke belakang menekan besi dingin di bawahku. Ritmenya semakin cepat, suara napasnya makin berat. Tangannya mencengkeram pinggangku kuat, menarik dan menghentak tanpa jeda, membuatku hanya bisa memegang sisi dongkrak untuk bertahan.

“Ah… ah…,” suaranya makin parau sebelum akhirnya dia melolong panjang. Pinggulnya menekan dalam sekali lalu tubuhnya bergetar. Aku bisa merasakan hangatnya tumpah dan membanjiri milikku. Lendir itu mengalir keluar, membasahi paha bagian dalam dan besi dongkrak yang licin.

Andre perlahan melepaskan pegangan, mundur selangkah sambil menarik napas panjang. Pinggulku masih bergetar sisa dari hentakannya barusan, sementara sisa cairan hangat itu terus menetes di bawahku.

Begitu Andre mundur, Pendi langsung maju sambil tersenyum lebar. “Sekarang gantian gaya gue,” katanya. Dia memutar tubuhku, membuatku setengah menelungkup di atas dudukan dongkrak. Dadaku bertumpu di besi dingin, sementara bokongku terangkat tinggi ke arahnya.

Kedua lututku menapak lantai bengkel, tapi posisinya sedikit terbuka karena dongkrak menyangga bagian tengah tubuhku. Pendi berdiri di belakang, kedua tangannya memegang pinggangku erat. “Enak nih… pas banget,” ucapnya sambil menarik pinggulku ke arahnya.

Dia mulai menghentak dari belakang, gerakannya cepat dan tak beraturan. Setiap dorongan membuat dongkrak sedikit bergeser di lantai, menimbulkan suara berdecit. Aku memegangi sisi dudukan agar tubuhku tidak terdorong ke depan. Napas panasnya terasa di punggungku setiap kali dia menunduk.

Gerakannya semakin cepat, pinggulnya menghantam bokongku keras hingga suaranya menggema di ruangan. “Ah… ah…,” desahnya makin dalam sampai akhirnya dia menekan kuat sekali dan menahan di posisi itu. Tubuhnya bergetar sebelum cairan hangatnya ikut tumpah di dalam, mengalir perlahan keluar membasahi besi dongkrak di bawahku.

Pendi mundur sambil terkekeh, menepuk pinggulku dua kali. “Mantap… nggak rugi nyobain alat bengkel,” katanya sambil memberi isyarat ke Tohir yang sudah tak sabar menunggu giliran.

Tohir maju sambil melirik Pak Darto. “Kita coba barengan aja, Pak… biar lebih greget. katanya dengan nada menantang. Pak Darto hanya mengangguk, lalu mereka berdua mulai mengatur posisiku.

Mereka memutarkan tubuhku perlahan hingga aku duduk menghadap ke arah Tohir. Bokongku tetap bertumpu di dudukan besi dongkrak buaya yang dingin dan licin. Tohir berdiri tepat di depanku, lalu mengangkat kedua kakiku dan meletakkannya di atas bahunya. Lututku otomatis tertekuk tinggi di dekat wajahnya, membuat pinggulku sedikit terangkat dari dudukan, condong ke arahnya.

Di saat bersamaan, Pak Darto berdiri rapat di belakangku. Dadanya menempel pada punggungku, kedua tangannya memegang lengan atasku dari kanan dan kiri, menahan tubuhku agar tidak kehilangan keseimbangan di dudukan dongkrak yang sempit itu.

Pak Darto memutar tuas dongkrak, mengangkatnya sedikit lebih tinggi. Posisi tubuhku kini nyaris menggantung di antara mereka berdua. Tohir di depan mendorong pinggulku ke arahnya dan Pak Darto di belakang ikut menekan tubuhku maju setiap kali Tohir menghentak.

Ritme mereka makin cepat. Setiap dorongan dari Tohir terasa semakin dalam karena dorongan tambahan dari Pak Darto di belakang. Napas mereka berat, tubuhku terguncang di atas dudukan besi yang ikut bergoyang, bunyi geseknya beradu dengan lantai bengkel yang licin oleh oli.

“Terus, To… jangan kasih kendor,” ujar Pak Darto sambil menahan pinggangku kuat-kuat.

Puncaknya datang hampir bersamaan. Tohir menekan sekali lagi sambil melenguh panjang, tubuhnya bergetar. Pak Darto juga menghentak keras dari belakang, mendesah berat, lalu membiarkan semua yang ada di dalamnya tumpah bersamaan. Hangatnya mengalir deras, bercampur dan menetes membasahi dudukan besi di bawahku.

Keduanya mundur pelan, membiarkanku kembali terduduk di atas dongkrak dengan napas terengah dan kaki lemas. Cairan hangat itu terus menetes, membasahi paha hingga jatuh di lantai bengkel.

Andre, Pendi, dan yang lain sudah duduk di lantai sambil merokok, mengobrol santai seperti tak ada yang baru saja terjadi. Bau asap bercampur dengan aroma oli dan keringat memenuhi ruangan.

Pak Darto meneguk air mineral, lalu mendekat. “Non, istirahat dulu di situ. Jangan buru-buru bangun… nanti jatuh,” katanya sambil menatapku. Dongkrak itu masih bergoyang pelan setiap aku menggeser duduk, membuat sisa sensasi di tubuhku bertahan lebih lama.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jebakan Minimarket

Pengantin Brutal

Amoy Diatas Dongkrak

Jebakan Minimarket 2

Pemulung Sadis

Pengakuan Cici Pik

Tragedi Pasar Pecinan

Chindo Seksi Jadi Rebutan 6

Chindo Seksi Jadi Rebutan

Draft amarah para buruh 22