Aku tinggal di kawasan Pecinan. Tepatnya di sebuah rumah tua dua lantai yang sudah ada sejak zaman kakekku. Lantai bawah rumah dipakai orang tuaku untuk berjualan bakmi, sementara lantai atas menjadi tempat tinggal keluarga kami. Kedai bakmi itu sederhana, tapi hampir setiap hari ramai oleh pelanggan.
Suasana paling sibuk biasanya terjadi di pagi hari. Dari jam enam hingga jam sembilan, kursi-kursi kayu di kedai sudah dipenuhi orang-orang yang mampir untuk sarapan. Aroma kaldu ayam dan bawang putih goreng memenuhi udara, bercampur dengan suara sendok beradu dengan mangkuk serta obrolan pelanggan. Papa sibuk di dapur mengaduk wajan besar berisi kuah kaldu yang sudah direbus sejak subuh, sementara mama cekatan menyiapkan mie, menaburkan potongan ayam, lalu menyajikan mangkuk demi mangkuk ke meja pelanggan.
Sebagian besar pengunjung kedai adalah para lansia. Mereka datang berkelompok, duduk santai sambil menyeruput mie panas, dan sering bercakap-cakap dalam bahasa Mandarin. Aku tidak terlalu fasih, hanya mengerti beberapa kata dasar, jadi kadang aku tersenyum saja ketika mereka berbicara cepat dengan logat khasnya. Meski begitu, suasana kedai jadi terasa berbeda—seperti potongan kecil kehidupan Tionghoa lama yang masih bertahan di tengah hiruk pikuk kota modern.
Kalau aku tidak ada jadwal kuliah, biasanya aku ikut membantu. Aku menyiapkan teh hangat atau kopi untuk para pelanggan, kadang juga mengantarkan pesanan ke meja. Ada pelanggan tetap yang sudah seperti keluarga sendiri, mereka menyapaku dengan ramah sambil menanyakan kabar kuliahku. Tidak jarang juga mereka memberi nasihat panjang dengan bahasa campuran Indonesia dan Mandarin yang kadang membuatku bingung, tapi tetap terasa hangat.
Kedai bakmi di rumah tua kami memang sederhana, tetapi suasana pagi di sana selalu penuh kehidupan. Dari obrolan para lansia yang saling bertukar cerita, aroma kuah kaldu yang mengepul, hingga tawa mama saat melayani pembeli, semuanya membuatku merasa rumah ini bukan sekadar tempat tinggal, melainkan juga bagian dari sejarah kecil yang selalu hidup setiap harinya.
Awalnya sikapku biasa saja, tidak jauh berbeda dengan para gadis Tionghoa lainnya di lingkunganku. Hari-hariku hanya diisi dengan rutinitas kuliah, membantu papa dan mama di kedai bakmi, lalu pulang ke rumah. Namun semua itu mulai berubah ketika suatu hari aku secara tidak sengaja menemukan sebuah tautan cerita di internet yang dikirim melalui media sosialku.
Awalnya aku hanya membuka tautan itu karena iseng dan ingin tahu. Saat membacanya, ada perasaan aneh yang muncul. Cerita-cerita itu berbeda dengan bacaan biasanya, lebih berani, lebih jujur dalam menggambarkan sisi-sisi kehidupan yang jarang dibicarakan orang secara terbuka. Diam-diam aku mulai membaca beberapa kali hingga tanpa sadar aku jadi penasaran dan ingin tahu lebih banyak.
Setiap kali selesai membaca, ada semacam dorongan dalam diriku yang tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata. Rasanya seperti ada bagian dari diriku yang selama ini tertidur, tiba-tiba terbangun. Aku jadi sering merenung sendirian, membayangkan bagaimana jika aku berada di posisi tokoh-tokoh dalam cerita itu.
Sejak saat itu aku merasa ada perubahan dalam diriku. Dari luar mungkin aku masih terlihat sama dengan wajah polos, sikap sederhana, gadis Pecinan biasa yang membantu orang tuanya di kedai bakmi. Namun di dalam hati, aku menyimpan rasa penasaran yang semakin hari semakin kuat. Seakan-akan aku menemukan rahasia kecil yang hanya aku sendiri yang tahu, dan rahasia itu pelan-pelan mengubah caraku memandang banyak hal di sekitarku.
Sejak membaca cerita-cerita itu, aku mulai memandang lingkungan sekitarku dengan cara yang berbeda. Di sekitar rumah, aku cukup sering berinteraksi dengan para pria pribumi yang bekerja kasar. Ada yang jadi kuli angkut di pasar, ada juga yang setiap hari mengemudikan truk besar yang hilir mudik melewati jalanan Pecinan. Tubuh mereka kekar, berotot, dan kulitnya gelap terbakar matahari.
Entah kenapa, setiap kali melihat mereka, aku jadi teringat pada cerita-cerita yang pernah kubaca. Pikiranku sering dipenuhi pertanyaan, apakah mereka benar-benar sekuat dan sekeras seperti yang digambarkan dalam kisah itu. Saat mereka tertawa keras atau berbicara dengan suara lantang, ada sesuatu dalam diriku yang bergetar. Dari luar aku tetap berusaha terlihat biasa saja, tetap tersenyum kecil ketika berpapasan, tetapi di dalam hati aku menyimpan rasa penasaran yang sulit dijelaskan.
Kadang saat duduk di balkon lantai dua rumahku, aku memperhatikan mereka dari kejauhan. Gerakan tangan mereka saat mengangkat barang, peluh yang menetes di dahi, hingga cara mereka bercanda satu sama lain, semua itu meninggalkan kesan berbeda di pikiranku. Aku tidak tahu kenapa, tapi sejak mengenal bacaan-bacaan itu, bayangan tentang mereka jadi lebih hidup.
Bagiku.. ini seperti rahasia yang semakin lama semakin kuat menarik perhatianku. Aku tahu pikiranku terlalu jauh tetapi rasa penasaran itu terus muncul setiap kali aku melihat mereka. Seolah-olah ada bagian dari diriku yang ingin membandingkan antara dunia nyata dan cerita-cerita yang pernah kubaca. Dan parahnya lagi aku malah sempat sempatnya membayangkan, seandainya tubuhku yang putih ini ditelanjangi dan dijarah seenaknya oleh mereka. Atau wajahku yang katanya oriental dan innocent ini dijadikan tempat pembuangan sperma mereka. Entah kenapa setiap kali membayangkan hal itu maka dadaku akan langsung terasa penuh sesak.
Kebiasaan Rutin Disore Hari
Sore hari setelah kuliah selesai, aku hampir selalu mampir ke minimarket dekat rumah. Rasanya seperti kebiasaan kecil yang sulit ditinggalkan. Kadang aku membeli kebutuhan untuk kedai bakmi, kadang hanya sekadar mengambil camilan, sekotak susu, atau minuman dingin untuk menemani soreku. Meski sederhana, rutinitas itu selalu membuatku merasa tenang sebelum akhirnya kembali ke rumah.
Yang menarik, hampir semua pegawai minimarket itu laki-laki. Mereka biasanya sibuk mondar-mandir merapikan rak, mengangkat dus minuman, atau berjaga di kasir. Posturnya kebanyakan tegap karena terbiasa kerja fisik, kulit mereka gelap terbakar matahari, dan suara mereka terdengar lantang ketika saling memanggil. Suasananya jadi berbeda dibanding minimarket lain yang biasanya dijaga pegawai perempuan. Justru hal itu yang membuat setiap kunjunganku ke sana terasa unik, seakan ada warna tersendiri yang hanya kutemukan di tempat itu.
Di sana aku mulai menyadari sesuatu yang berbeda. Pegawai minimarket, bahkan beberapa pelanggan yang kebetulan ada di dalam, sering menatapku sedikit lebih lama dari biasanya. Tatapannya tidak terang-terangan, tapi cukup membuatku merasa diperhatikan. Seolah-olah ada sesuatu dariku yang menarik mata mereka, walaupun aku sendiri tidak tahu apa.
Biasanya aku hanya menanggapinya dengan senyum tipis dan sapaan singkat: Sore Mas.. Dari luar aku berusaha terlihat biasa saja, padahal sebenarnya ada rasa malu yang menyelinap. Dalam hati aku sering bertanya-tanya, apa yang sebenarnya mereka lihat dariku. Apakah wajahku memang tampak berbeda, atau aku hanya terlalu sensitif memperhatikan sekitar.
Setiap kali keluar dari minimarket, perasaan itu masih terbawa. Ada rasa penasaran yang membuatku memikirkan kembali tatapan-tatapan itu. Walaupun sederhana, pengalaman kecil seperti ini justru membuatku semakin ingin mengulang rutinitas itu lagi keesokan harinya.
Pesona Oriental
Di kamar, aku sering berdiri di depan cermin sambil memperhatikan diriku sendiri. Rambutku yang panjang, kulitku yang putih, dan wajahku yang kata orang mirip gadis oriental klasik. Kadang aku tersenyum kecil, mencoba membayangkan bagaimana orang lain memandangku. Ada saatnya aku merasa hanya gadis biasa, tapi ada juga saat di mana aku seperti melihat sisi lain dalam diriku yang tidak bisa aku jelaskan. Seolah ada sesuatu yang lebih dari sekadar mahasiswi sederhana.
Kamar ini menjadi saksi diam kebiasaanku, dengan lampu redup yang membuat bayangan wajahku di cermin terlihat lebih lembut, meja belajar yang sering berantakan oleh tumpukan buku kuliah dan kertas catatan, serta aroma tipis kayu manis dari dupa kecil yang kadang kunyalakan untuk menenangkan pikiran. Aku tidak suka pesta atau nongkrong sampai larut malam, aku lebih senang pulang cepat, menutup pintu kamar lalu berbaring sambil mendengarkan musik pelan dengan bantal yang kupeluk erat.
Namun di balik semua rutinitas sederhana itu ada rasa penasaran yang selalu menggantung. Rasa ingin tahu bagaimana dunia di luar sana sebenarnya memandangku. Apakah ada sesuatu yang bisa mengguncang kepolosan yang selama ini melekat padaku. Aku tidak pernah benar-benar mengira bahwa kebiasaanku singgah ke minimarket dekat rumah akan membawa hal baru dalam hidupku. Dari luar semua tampak biasa saja tapi ternyata diam diam ada orang-orang yang memperhatikan bahkan mungkin membicarakanku. Aku tidak tahu dan tidak pernah menyadari sepenuhnya. Setidaknya belum pada waktu itu.
Rasa Penasaran itu Mulai Terjawab
Suatu sore ketika aku sedang memilih minuman dingin di kulkas bagian belakang minimarket, telingaku tanpa sengaja menangkap percakapan dua pegawai yang sedang menyusun dus mie instan tidak jauh dari tempatku berdiri. Suara mereka tidak terlalu keras, tapi cukup jelas untuk kudengar. Salah satu dari mereka berkata dengan nada menggoda, “Eehhh… itu amoynya datang lagi.” Yang lain langsung terkekeh lalu menimpali, “Amoy Pecinan emang beda… udah badannya putih kayak susu, mukanya juga masih keliatan cina banget. Pokoknya beda sama amoy lainnya. Tawa mereka terdengar ditahan seolah takut aku menyadari kalau sedang dibicarakan.
Aku pura-pura sibuk membuka pintu kulkas, mengambil sebotol susu kotak sambil menunduk, padahal dalam hati ada perasaan aneh yang sulit kujelaskan. Ada rasa malu, tapi juga muncul rasa penasaran. Aku tidak menoleh, tidak menunjukkan reaksi apa pun, tapi jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Saat melangkah ke kasir, aku masih bisa merasakan tatapan mereka mengikuti gerakanku. Pegawai yang berjaga di kasir hanya menyapaku singkat dengan senyum sopan, namun obrolan barusan terus terngiang di kepalaku.
Sejak saat itu aku mulai sadar bahwa kehadiranku di minimarket bukan sekadar rutinitas biasa. Ada banyak sosok yang memperhatikan, ada yang membicarakan, dan mungkin ada yang menyimpan rasa penasaran tersendiri. Dan anehnya, bukannya membuatku menjauh, hal itu justru membuatku semakin ingin kembali lagi esok harinya.
Penggemar cerita dewasa lainnya.
Ternyata bukan hanya aku saja yang diam-diam gemar membaca cerita-cerita dewasa. Beberapa pegawai minimarket itu juga punya kebiasaan serupa. Dari cara mereka ngobrol saat menyusun dus barang di rak belakang, aku sering tanpa sengaja mendengar potongan cerita yang mereka bicarakan. Kadang mereka tertawa kecil, kadang nada suara mereka berubah lebih serius seolah sedang membahas sesuatu yang benar-benar membuat mereka ketagihan.
Yang paling sering muncul adalah cerita-cerita tentang gadis chinese atau yang biasa mereka sebut “amoy dalam kisah erotis yang liar. Mereka bercerita dengan penuh antusias, seolah-olah tokoh itu nyata, gadis manis berkulit putih yang konon bisa membuat pria-pria pribumi jatuh dalam birahi hanya dengan sekali tatapan. Lebih dari itu, mereka tampak terobsesi pada alur cerita di mana gadis itu digambarkan sebagai sosok yang bukan hanya manja atau polos melainkan juga doyan dan tak berdaya saat dikelilingi banyak lelaki kasar.
"Gue paling gak tahan kalau liat amoy kayak gitu. Aku pernah mendengar salah satu dari mereka berbisik sambil terkekeh lalu temannya menimpali. "Iya… kebayang nggak sih kalau kulit putih amoynya sampe merah gara gara digituin rame-rame? Pasti rasanya beda banget sama cewek lokal. Rasanya pasti lain.
Aku yang mendengar dari kejauhan tidak bisa mengabaikan begitu saja. Ada perasaan campur aduk yang muncul dalam diriku. Malu dan risih sekaligus penasaran. Malu karena jelas yang mereka bicarakan itu stereotip yang kelewat vulgar. Risih karena aku sadar sosok “amoy yang mereka bayangkan tidak jauh dari diriku sendiri dan penasaran karena tanpa kusadari aku ikut terbawa membayangkan potongan cerita erotis yang mereka obrolkan.
Mereka seakan sudah kecanduan, menjadikan kisah-kisah erotis itu sebagai bahan candaan sehari-hari sekaligus fantasi yang selalu dibawa dalam benak. Dan entah kenapa, setiap kali aku menyadari itu, bukannya menjauh, justru ada rasa aneh dalam diriku yang membuatku semakin ingin tahu apa yang sebenarnya mereka bayangkan. Seakan-akan dengan diam-diam aku ikut menjadi bagian dari fantasi yang mereka bicarakan.
Mereka sering bicara sambil menahan suara tapi telingaku cukup tajam untuk menangkap potongan kata-kata itu. Ada yang berbisik sambil menatap sekilas ke arahku. Eeh lu sadar nggak sih. Mukanya mirip banget sama ilustrasi amoy di cerita Amarah Para Buruh. Jangan-jangan kelakuannya juga sama. suka digituin rame-rame sama pribumi.
Temannya langsung menahan tawa lalu menjawab dengan nada setengah bercanda. "Waduh… kalau seandainya beneran bisa bahaya tuh. Bayangin aja muka oriental, sipit, putih gitu… ternyata diam-diam doyan yang liar dan brutal.
Yang lain ikut nimbrung sambil menyusun dus mie instan. "Gue malah curiga jangan-jangan dia sendiri yang nulis ceritanya. Tuh cerita kan detail banget kayak pengalaman pribadi. Bisa jadi itu caranya nyalurin fantasi.
Salah satu pegawai yang biasanya paling cerewet kemudian menambahkan dengan nada lebih serius. "Lu perhatiin deh. Tiap dia masuk ke sini selalu diem, nggak banyak omong tapi kayak sengaja nantangin buat disentuh gitu. Mukanya sih keliatan polos tapi siapa tau di kepalanya penuh bayangan aneh-aneh. Haha..
Yang lain langsung menyahut sambil terkekeh. "Iya.. iya. Justru biasanya yang keliatannya polos gitu kalau udah kebuka aslinya malah lebih liar daripada yang kelihatan genit.
Seorang lagi menimpali sambil setengah berbisik. Jangan-jangan tiap baca cerita itu dia suka ngebayangin dirinya sendiri. Makanya tiap datang ke sini bawaannya kayak minta digituin sama kita.
Aku yang mendengar semua itu pura-pura sibuk memilih barang di rak lain. Namun, setiap kata yang mereka ucapkan seperti menempel di telingaku. Ada rasa panas di wajahku, antara malu, marah, tapi juga ada sesuatu yang lain. Semacam getaran aneh yang sulit kujelaskan. Seolah mereka tanpa sadar sedang membuka pintu yang selama ini hanya ada dalam pikiranku sendiri.
Fantasi Liar Pria Pribumi
Begitu sampai di rumah aku langsung bergegas ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Jantungku masih berdegup kencang mengingat bisikan yang kudengar di minimarket tadi. Tanpa pikir panjang aku meraih smartphone dan mulai menelusuri kata kunci yang sempat mereka sebut: Amarah Para Buruh.
Jariku bergerak cepat di layar. Setiap detik terasa seperti menambah rasa penasaran. Hingga akhirnya aku menemukan tautan yang dimaksud. Kubuka perlahan dan mataku langsung terpaku pada halaman pertama. Judulnya jelas tertera besar: Amarah Para Buruh.
Aku mulai membaca dan setiap kalimat terasa menampar sisi hatiku yang paling dalam. Cerita itu sangat vulgar dan penuh deskripsi berani tentang seorang gadis chinese muda yang digambarkan begitu nakal dan pasrah saat dikeroyok para pria kasar yang tak lain para buruh dipabriknya sendiri. Narasinya begitu detail sampai aku merasakan tubuhku sendiri bereaksi aneh. Seperti ada campuran antara rasa malu dan tertarik.
Namun yang membuatku benar-benar terkejut hingga tubuhku hampir gemetar adalah saat mataku menatap ilustrasi di bagian depan cerita itu. Sebuah foto wajah seorang gadis chinese innocent dan itu jelas-jelas fotoku sendiri! Foto yang pernah kuunggah di media sosial, entah kapan kini malah dipakai sebagai gambar sampul cerita dewasa itu.
Aku terhenyak tubuhku kaku. Rasa panas menjalar ke wajahku bukan hanya karena malu tapi juga karena bingung sekaligus takut. "Astaga… gimana bisa…? Itu kan aku… bisikku pelan nyaris tak percaya.
Aku menatap foto itu lama lalu kembali membaca cerita. Semakin kubaca semakin aku tak kuasa berhenti. Ada sensasi aneh yang merayap: marah karena wajahku dipakai tanpa izin. Malu karena cerita itu sangat merendahkan dan deg-degan karena seolah-olah dunia fantasi itu tiba-tiba menyeret diriku masuk ke dalamnya.
Di antara perasaan kalut tiba tiba muncul satu pikiran yang membuatku semakin bingung: Apakah mungkin… mereka benar? Apakah aku memang punya sisi tersembunyi seperti gadis dalam cerita itu?
Kolom komentar di bawah cerita itu membuatku terdiam cukup lama. Jari-jariku sempat kaku menahan layar ponsel, sementara mataku terus bergerak membaca satu per satu kalimat yang tertulis. Semakin kubaca, semakin ada rasa panas menjalar di tubuhku. Rasa itu bercampur antara ngeri, malu, tapi entah kenapa juga menyalakan sesuatu yang sulit kuakui pada diriku sendiri.
Ada seorang pengguna yang menulis kalau amoy di foto itu paling enak dipaksa ramai-ramai ke dalam WC umum. Di sana, katanya, tubuhnya dijadikan pelampiasan sampai habis-habisan, bahkan diperlakukan seperti toilet hidup hingga tidak bisa berjalan lagi. Komentar itu panjang, dengan detail yang membuatku membayangkan suasananya.
Komentar lain menimpali dengan nada lebih ekstrem. Katanya, jumlah orangnya harus ditambah. Semakin banyak pria yang ikut melampiaskan, semakin cepat amoy itu dibuat lemas dan tidak berdaya. Ada yang menambahkan saran agar dibawa ke proyek pembangunan jalan tol. Di sana, ia dibayangkan digilir oleh para pekerja kasar yang tubuhnya besar dan kekar, dipaksa berkali-kali sampai benar-benar tidak sanggup bangun lagi.
Kalimat berikutnya membuat dadaku semakin sesak. Ada yang menulis kalau wajah amoy itu memang kelihatan polos, tapi jeritan yang keluar justru akan membuat para lelaki semakin ketagihan. Yang lain menambahkan komentar lebih tajam: katanya, perempuan sipit berkulit putih seperti itu tidak boleh diberi kesempatan bernapas. Harus terus dihajar tanpa jeda sampai matanya yang sipit makin merem dan tubuhnya terkulai tak berdaya.
Ada pula yang terang-terangan mengaku rela mengantre jika benar ada gadis seperti itu, katanya seperti boneka hidup yang bisa dipakai kapan saja. Yang lain menambahkan lebih liar lagi: serahkan saja pada sopir-sopir truk malam, biarkan mereka membuatnya tidak bisa mengeluarkan kata-kata selain erangan. Bahkan ada komentar yang menuding wajah di foto itu sendiri terlihat seperti sengaja meminta diperlakukan begitu seolah memang menginginkannya.
Aku membaca semuanya dengan napas tercekat. Bagian dalam dadaku bergetar, campuran antara takut, terhina, tapi juga anehnya ada rasa hangat yang menjalar ke tubuh. Rasanya seolah mereka sedang benar-benar membicarakan aku. Tentang wajahku yang oriental, tubuhku yang putih, seakan aku sudah menjadi milik fantasi liar mereka. Aku menelan ludah lalu menutup layar sejenak dengan tangan bergetar. Tapi beberapa detik kemudian, aku justru kembali menggulir ke bawah, mencari komentar lain, ingin tahu sampai sejauh mana fantasi-fantasi itu bisa mereka tuliskan. Mungkin aku takut… tapi anehnya, ada juga bagian dalam diriku yang semakin penasaran.
Aku terus menggulir layar. Jantungku berdegup semakin kencang seolah-olah setiap kalimat di kolom komentar itu menusuk langsung ke tubuhku. Rasanya aku ingin berhenti tapi tanganku tidak mau lepas dari layar. Penasaranku lebih kuat daripada rasa takut atau malu yang tiba-tiba muncul.
Ada yang menuliskan “Muka amoynya innocent banget. udah kayak minta digituin rame-rame tanpa perlawanan. Komentar lain menimpali. "Ijin ambil fotonya hu… buat bacolan tar malam. Fix amoy kayak gini emang paling enak buat dijadiin bacolan sampe pagi.
Aku menggulir lagi dan mataku membacanya cepat tapi setiap kata membekas kuat. Ada yang bilang “Tampang amoynya klasik banget, jarang ada sekarang. Mukanya kayak amoy jaman dulu yang masih alami banget, cocok banget kalau dipakai rame-rame.
Komentar lain lebih kasar, “Gue gak tahan liat muka amoynya, kayak udah pasrah nunggu digilir. Matanya sipit polos tapi kayak minta buat digilir.
Ada pula yang menulis lebih menohok, “Kalau jaman rusuh 98, amoy yang mukanya innocent gini mah pasti udah jadi rebutan perusuh. Gak bakal ada yang ngelewatin dan semua pasti mau nyobain.
Tanganku sedikit gemetar ketika membaca komentar berikutnya "Gue heran padahal tuh cina fotonya kagak telanjang. Tapi kenapa bikin orang jadi kayak gimana gitu.
Guliranku berlanjut, menemukan komentar lain yang tak kalah membuatku terdiam: “Kulit putihnya kayak susu, apalagi kalau udah penuh peju. Amoy kayak gini harusnya gak dibiarkan aman-aman aja.
Aku menghela napas panjang tapi entah kenapa justru terus membaca. Komentar demi komentar semakin liar semakin berani. “Tatapan matanya lugu banget tuh, tapi kalau udah kena ditindih rame-rame sama pribumi pasti berubah jadi tatapan ketagihan. Lalu ada juga yang menuliskan, “Amoy kayak gini mah jangan dikasih jeda, giliran satu habis, langsung yang lain nyusul. Baru puas.
Dadaku terasa sesak. Di satu sisi aku merasa dipermalukan habis-habisan, tapi di sisi lain ada bara aneh yang justru membuatku semakin tak bisa berhenti menelusuri komentar itu, seakan aku ingin tahu sampai mana mereka bisa membayangkan tubuhku yang hanya terpajang lewat satu foto polos.
Mataku semakin berat tapi rasa penasaranku jauh lebih besar dari rasa kantuk. Jari-jariku masih menelusuri layar, membaca setiap baris cerita sekaligus komentar-komentar yang menyertainya. Rasanya seperti terjebak dalam pusaran yang tak bisa kulepaskan—semakin kubaca, semakin dalam aku tenggelam.
Di kolom komentar chapter itu, kalimat-kalimat para pembaca semakin menggila. Ada yang menulis, “Bikin chapter kerusuhan, hu… biar rumah amoynya kena jarah massa. Digilir di semua sudut rumah sampe lemes kayak kain pel.” Komentar itu langsung ditimpali orang lain, “Setuju banget. Kalau ada rusuh beneran, perusuh pasti puas banget dapet amoy kayak gitu. Mukanya aja udah bikin ngiler, apalagi kalau udah ditelanjangi rame-rame.”
Aku menelan ludah, jantungku berdetak lebih cepat. Layar terus kugulir. Ada komentar lain yang lebih kasar, “Jadi sange gue ngebayangin amoy innocent kayak gitu digilir massa. Satu selesai, langsung satu lagi masuk. Gak ada berhentinya sampe pada tumbang semua.”
Yang lain menambahkan, “Muka amoynya klasik banget, mirip sama anak majikan gue. Putih, sipit, lugu, persis kayak itu.” Seseorang langsung merespons, “Serius bang? Kalau beneran mirip gitu, sikat aja. Pura-pura ajak jalan, nanti kita rame-rame tunggangin. Kayak amoy di cerita ini, puas banget pasti.”
Aku menggenggam ponsel lebih erat, tubuhku mendadak terasa panas dingin. Komentar lain muncul, “Bawa aja ke pangkalan ojol, bang. Dijadiin hiburan malam-malam. Gue yakin driver-driver itu langsung rebutan, apalagi kalau amoynya polos kayak gini.”
Mataku terus menelusuri kalimat demi kalimat dan semakin kubaca, semakin aku merasa ada bagian dari diriku yang bergetar aneh. Di satu sisi aku marah dan takut, tapi di sisi lain ada sensasi samar yang sulit kutolak. Kolom komentar itu seakan hidup, penuh dengan imajinasi kotor yang entah kenapa membuatku tidak bisa berhenti membaca, meskipun jam sudah lewat jauh dari tengah malam.
Gairahku semakin meledak tak terbendung saat mataku terus menelusuri komentar-komentar liar itu. Jantungku berdegup kencang, tanganku sedikit gemetar, dan perasaan aneh bercampur panas menjalar ke seluruh tubuh. Tak terbayangkan sebelumnya, wajah oriental dan kulit putihku yang selama ini hanya kulihat biasa saja ternyata bisa menjadi sumber fantasi kotor begitu banyak pria asing di luar sana. Mereka membayangkan diriku bukan sekadar gadis biasa, tapi “bacolan bersama” yang bisa diperebutkan, digilir, diperlakukan sesuka hati mereka dengan semangat buas.
Ada satu komentar yang membuatku menahan napas lebih lama, “Bawa anak majikan lu ke tempat kerja gue bang. Gudang konveksi karyawan lelakinya ada seratus orang lebih. Dijamin amoynya bakal keenakan sampe kagak mau pulang tuh. Kubaca berulang kali sambil membayangkan tatapan lusinan pasang mata yang dipenuhi napsu binatang. Semua mengarah padaku seolah tubuhku jadi pusat perhatian yang mereka tunggu untuk diperebutkan.
Komentar lain lebih menggila “Amoy sipit gitu jangan digilir satu-satu bang, nanti kelamaan yang ngantri. Mending dikeroyok barengan, lima orang… eh enam… tujuh sekaligus biar cepat kelar. Kalimat itu membuat dadaku terasa sesak, membayangkan tubuh kecilku yang putih mulus diapit dan dipaksa meladeni begitu banyak pria pada saat bersamaan.
Lalu muncul balasan yang membuatku semakin panas “Emang bisa tujuh orang sekaligus?!” langsung disahut dengan yakin, “Ya bisalah. Kayak dijadiin sandwich gitu amoynya. Tiga hajar dua lubang dari bawah, dua lagi dilayanin pake tangan, satu dijepit di toket, satu lagi masuk mulut. Full service semua dapet bagian.
Aku terdiam lama menatap layar. Pipiku memanas, napasku memburu. Bayangan itu, seaneh dan segila apa pun, membuatku semakin sulit melepaskan diri dari godaan membaca. Komentar-komentar itu seperti membawa imajinasiku ke tempat yang tak pernah kusangka bisa kualami. Membuatku bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar melihat diriku seperti itu? Apakah aku sendiri diam-diam juga mulai terbuai oleh fantasi yang mereka bangun tentang sosok amoy innocent yang jadi rebutan massa?
Aku lanjut menggulir ke bawah, dan yang kutemukan membuat dadaku kian berdegup keras. Komentar-komentar semakin brutal, semakin buas, seakan mereka berlomba-lomba siapa yang bisa menuliskan fantasi paling gila tentang tubuhku.
Ada yang menulis, “Amoy muka polos gini jangan dilepas di jalanan pas rusuh. Pasti langsung ditarik ke pinggir, digilir rame-rame sampe udah mau mampus pun masih dipaksa lanjut. Pokoknya Gak ada ampun.
Yang lain membalas, “Kalau gue dapet amoy innocent gitu, langsung gue borgol di tiang listrik biar gampang gantian. Semua yang lewat bisa nyobain, gak ada yang pulang sebelum nyicipin.
Komentar lain lebih sadis lagi, “Gak usah repot bawa ke kamar. Seret aja ke WC umum, buka semua baju, biarin kejer-kejer sambil antri orang di luar. Masuk satu keluar satu, sampe amoynya gak kuat berdiri, merangkak pun masih ditahan biar terus diladenin.”
Ada juga yang menimpali dengan tawa kasar, “Gak usah kasih jeda minum. Kasih minumnya air comberan aja biar tambah hina. Mukanya kan masih polos, makin nikmat kalo dijatuhin harga dirinya di depan banyak orang.”
Lalu seseorang menambahkan “Kalo amoy kayak gini jatuh ke tangan buruh proyek, tamat riwayat. Bakal dibaringin di atas semen basah, dilumuri keringat kuli, dijadikan alas rame-rame. Sampe semen kering pun badan amoynya masih kepakein.”
Mataku membelalak membaca semua itu. Kata-kata mereka kasar, liar, tak berperasaan, tapi justru di situlah letak daya tariknya. Aku bisa merasakan betapa wajah oriental dan tubuh putihku telah mereka ubah menjadi objek fantasi kolektif, sesuatu yang bukan lagi manusia, melainkan “hiburan” bagi nafsu mereka yang tak terbatas.
Makin kubaca, makin aku hanyut antara terkejut dan ngeri, tapi juga ada bara panas yang membakar dari dalam diriku sendiri. Kolom komentar itu makin lama makin menggila, brutalnya sampai bikin bulu kudukku berdiri, tapi anehnya tubuhku justru semakin panas membacanya.
Ada yang menulis dengan kalimat dingin tapi bengis, “Amoy kayak gini jangan cuma digilir. Iket tangan kakinya, gantung kepalanya ke bawah biar gampang dicolokin dari segala arah. Sambil digebukin dikit biar nangis-nangis.”
Yang lain membalas dengan ide lebih buas, “Kalo udah nangis malah tambah enak. Air matanya ngalir, suaranya serak, tetap dipaksa buka mulut buat nelen peju pribumi. Mau muntah pun ditahanin biar tambah hina.”
Komentar berikutnya membuat jantungku makin berdegup “Gue bayangin amoynya diangkut ke dalam truk proyek. Di dalem udah ada 30 kuli mabuk. Semua gantian, ada yang narik rambut, ada yang buka paha, ada yang nyepet mulut. Gak ada jeda, gak ada belas kasihan.”
Lalu muncul lagi, lebih sadis, “Biar makin rusuh, amoynya dicemplungin ke lumpur sawah. Digeletakin telanjang, biarin penuh tanah dan lumpur, terus rame-rame pada masukin sambil injek-injek badannya. Jadi kayak hewan ternak.”
Ada juga yang berkomentar sambil tertawa, “Gue kalo dapet amoy innocent gini, gue biarin berdiri di tengah lapangan bola malam hari. Semua orang dikasih giliran. Ada yang nendang, ada yang dorong, tapi tetap dipaksa ngelayanin sampe pagi. Abis itu ditinggal tidur di tanah kayak bangkai.”
Dan satu lagi menutup dengan kata-kata yang bikin nafasku tercekat “Mukanya terlalu mulus buat cuma satu orang. Harus jadi milik massa. Harus dijadikan tontonan, biar semua puas, biar semua bisa bilang udah nyobain. Baru sah amoynya jadi legenda.
Aku menelan ludah dan layar smartphone masih menampilkan komentar komentar itu. Setiap kata seperti cambuk, brutal, kotor dan liar, sementara di balik ngeri yang menusuk ada bara aneh yang terus menyala dalam diriku.
Malam itu aku berbaring di kasur dengan mata menatap langit langit. Ponselku sudah kutaruh di samping bantal karena aku ingin berhenti membaca, tapi isi cerita dan komentar yang baru saja kubaca masih jelas ada di kepala. Aku menarik napas panjang berharap bisa tenang hingga akhirnya dadaku malah terasa sesak.
Kalimat kalimat di kolom komentar itu seperti nempel kuat. Kata katanya kasar dan gambarnya liar, tetapi entah kenapa justru bikin tubuhku panas. Awalnya aku jijik dan ingin cepat cepat lupa, namun semakin kucoba mengalihkan pikiran semakin jelas bayangan itu muncul.
Aku gelisah dan badanku miring ke kiri lalu balik ke kanan tapi tetap saja tidak bisa nyaman. Selimut tipis yang menutup tubuh malah bikin aku gerah sementara keringat mulai keluar di pelipis. Di kepalaku aku bisa melihat diriku sendiri, seorang gadis Chinese dengan wajah polos tiba tiba dikerumuni banyak pria kasar. Tempatnya berganti ganti, kadang di pinggir kali yang becek, kadang di WC umum, kadang di proyek bangunan. Semua terbayang begitu nyata.
Aku menutup wajah dengan kedua tangan karena pipiku panas dan bibirku kugigit. Aku tahu itu kotor dan kasar tetapi tubuhku malah bergetar. Ada rasa aneh yang menjalar hingga bikin aku sulit menahan napas.
"Kenapa aku malah kebayang seperti ini" aku membatin.
Aku duduk sebentar di tepi ranjang dan menatap keluar jendela. Malam di Pecinan sepi karena cuma ada suara kendaraan lewat sekali sekali. Sunyi di luar tidak sama dengan kepalaku yang berisik penuh bayangan. Rasanya seperti ada dua dunia yang bertabrakan di dalam diriku.
Aku rebah lagi tapi mataku tetap terbuka. Setiap kali mencoba tenang bayangan itu makin kuat. Aku makin sulit membedakan mana yang sekadar komentar orang asing dan mana yang sudah jadi imajinasiku sendiri. Dadaku berdebar keras dan tubuhku panas hingga aku tidak bisa tidur sampai larut. Yang ada hanya rasa takut bercampur penasaran yang tidak bisa kujelaskan.
Interaksi yang makin dekat
Hari itu sore seperti biasa aku mampir ke minimarket setelah pulang kuliah. Udara di luar masih panas membuat tubuh gerah tapi begitu masuk ke dalam ruangan, hembusan AC langsung membuatku lebih tenang. Aku berjalan pelan di antara rak, jemariku sempat menyusuri bungkus-bungkus snack sebelum akhirnya mengambil sebatang cokelat. Dari sudut mata aku kembali merasakan tatapan yang mengikuti setiap langkahku. Bukan hanya sekali tapi hampir selalu terasa setiap aku datang ke tempat ini.
Pegawai yang sering berjaga di kasir bernama Raka. Hampir setiap sore kami berhadapan, jadi wajahnya sudah cukup familiar. Dia biasanya menyapaku dengan senyum ramah, namun ada sesuatu di balik tatapannya yang kadang membuatku penasaran. Seolah ada maksud lain yang tidak pernah dia ucapkan. Semakin sering aku datang, semakin terasa jelas hal itu.
Aku meletakkan cokelat di meja kasir. Raka mengambilnya lalu memindai dengan mesin. "Belanjanya cuma ini aja mbak? Susunya nggak sekalian? Mumpung lagi promo nih. Katanya sambil menatapku sebentar.
Aku tersenyum kecil sedikit kaget dengan cara bicaranya yang lebih akrab dari biasanya. “Hehe.. nggak mas. Lagi nggak pengen aja. Ada momen singkat ketika jariku tak sengaja menyentuh tangan Raka saat menyerahkan uang. Sentuhan itu sepele hanya sepersekian detik tapi cukup membuatku salah tingkah. Aku buru-buru mengambil kembalian lalu melangkah keluar tanpa banyak bicara. Namun sepanjang perjalanan pulang, tatapan Raka terus terbayang-bayang di kepalaku, seakan menempel begitu saja.
Sejak kejadian itu, aku mulai lebih peka setiap kali datang ke minimarket. Begitu masuk, aku bisa merasakan suasana yang berbeda. Kadang ada bisikan pelan antara Raka dan pegawai lain yang sedang nongkrong di pojok. Mereka tertawa kecil setelah aku lewat lalu tiba-tiba diam ketika aku menoleh ke arah mereka. Seolah-olah ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku.
Aku berusaha terlihat biasa saja seakan tidak peduli. Tapi jauh di dalam hati, muncul perasaan campur aduk. Ada rasa malu yang membuat pipiku panas, tapi juga ada rasa penasaran yang sulit diabaikan. Apa sebenarnya yang mereka pikirkan tentangku? Apakah aku hanya pelanggan biasa di mata mereka, atau ada sesuatu lain yang sedang mereka bicarakan diam-diam?
Suatu hari aku datang lebih larut dari biasanya. Matahari sudah tenggelam, minimarket tampak lebih sepi. Hanya ada Raka di kasir sementara di luar terlihat beberapa temannya duduk sambil merokok. Aku masuk seperti biasa tapi kali ini suasananya berbeda. Tidak seramai biasanya dan tidak ada banyak orang hanya aku dan mereka.
Aku berjalan ke lorong rak paling belakang untuk mengambil air mineral. Saat itulah aku merasa ada langkah kaki lain di belakangku. Aku menoleh sekilas, Raka berdiri tidak jauh, seolah pura-pura merapikan barang. Senyum kecil terukir di bibirnya. Tatapan matanya membuatku gugup, seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan tapi ditahan.
Aku cepat-cepat mengambil sebotol air lalu kembali ke kasir. Raka menyambutku dengan senyum tipis seperti biasa, tapi kali ini nada suaranya terdengar agak berbeda. Setelah memindai barang, dia menatapku sebentar sebelum berkata, “Mbak kalau nanti ada waktu… boleh aku ajak ngobrol sebentar di belakang. Soalnya bentar lagi bakal ada promo kecap asin yang sering mbak beli.
Aku terdiam sejenak, mencoba menanggapi dengan ekspresi biasa meski dalam hati ada rasa heran sekaligus penasaran. Aku hanya mengangguk pelan sambil mengambil struk dan botol air itu, lalu melangkah pergi tanpa banyak bicara. Namun sepanjang perjalanan pulang pikiranku terus kacau. Kenapa aku mengangguk begitu saja? Kenapa ajakan sederhana itu terasa seolah menyimpan sesuatu yang menarik sekaligus menegangkan? Ada bagian dari diriku yang ingin tahu lebih banyak, dan untuk pertama kalinya aku merasa mungkin saja sesuatu yang berbeda akan segera terjadi.
Gudang Kecil Dibelakang Minimarket
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku kembali lagi ke minimarket. Jantungku sudah berdebar bahkan sebelum masuk, karena ajakan Raka waktu itu masih terus teringat di kepalaku. Pintu kaca berderit pelan saat kudorong, suasana kali ini lebih sepi dari biasanya. Hanya ada Raka di balik kasir, sementara dua orang temannya terlihat duduk di luar sambil merokok. Begitu tatapan kami bertemu, Raka langsung tersenyum, dan entah kenapa senyumnya terasa berbeda, seolah memang sedang menungguku.
Aku berusaha tampak biasa, mengambil sekotak susu dari kulkas lalu menuju kasir. "Seperti biasa ya mbak ? ucapnya sambil memindai barang. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Sebelum sempat mengambil kembalian, dia mencondongkan tubuhnya sedikit dan suaranya diturunkan seperti berbisik. "Masih ingat ajakan saya kemarin? Kalau mbak ada waktu sebentar… saya pengin nunjukin sesuatu di gudang. Barang promosi yang harganya murah banget.
Aku terdiam beberapa detik, merasakan dadaku sesak oleh rasa campur aduk antara gugup dan penasaran. Jari-jariku menggenggam kembalian erat, sebelum akhirnya aku mengangguk kecil.
"Boleh… tapi sebentar aja ya. Jawabku pelan.
Senyum tipis muncul di wajahnya. Tanpa berkata banyak, dia keluar dari balik meja kasir dan berjalan ke arah pintu besi di samping rak. Aku mengikuti dari belakang, langkahku pelan, jantungku berdetak kencang.
Pintu besi itu berdecit saat dibuka, dan udara pengap khas gudang langsung menyambutku. Ruangan itu tidak terlalu besar, dipenuhi tumpukan kardus berisi barang. Lampunya redup, hanya satu bohlam kuning yang menggantung di atas, membuat suasana terasa semakin intim dan menegangkan.
Aku berdiri di tengah gudang, memeluk sekotak susu yang tadi kubeli, mencoba menenangkan diri. “Jadi… ini ada apa ya, Mas?” tanyaku pelan.
Raka menutup pintu gudang, lalu menatapku. Tatapannya lebih dalam daripada sebelumnya, membuatku merasa seakan tidak ada tempat untuk bersembunyi. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar sadar betapa intens cara dia memandangku.
“Aku udah lama pengin ngobrol sama kamu. katanya pelan, nyaris seperti mengakui sesuatu yang ia simpan lama. “Kamu sadar nggak sih… kalau banyak orang di sini sering memperhatikan kamu ?
Aku tercekat. Pertanyaan itu seperti menelanjangi isi kepalaku sendiri. Aku tahu ada tatapan-tatapan itu, tapi selama ini aku pura-pura tidak peduli. Wajahku terasa panas, aku hanya bisa menunduk, menggenggam sekotak susu erat-erat.
“A… aku nggak tahu, Mas…” jawabku ragu, suaraku hampir bergetar.
Raka melangkah sedikit lebih dekat. Ruangan terasa semakin sempit. Aku bisa mencium samar aroma sabun dari bajunya bercampur dengan udara pengap gudang. Dia tidak menyentuhku hanya berdiri cukup dekat sehingga aku bisa merasakan keberadaannya dengan jelas.
“Aku nggak bohong. lanjutnya. “Banyak orang yang kepikiran sama kamu. Kamu itu cantik, klasik, polos… kayak gadis oriental dari zaman dulu. Dan tanpa sadar. Kamu tuh sebenernya sering jadi bahan fantasi liarnya seseorang.
Kata-katanya membuat tubuhku merinding. Aku tidak tahu harus merasa tersinggung atau… justru terbuai. Karena di satu sisi, ada sesuatu dalam diriku yang diam-diam memang penasaran—penasaran tentang bagaimana orang lain melihatku.
Aku menelan ludah, mencoba memberanikan diri menatapnya. “Kalau… kalau itu memang benar… terus kenapa Mas bilang ke aku?
Raka tersenyum samar lalu mendekatkan wajahnya sedikit. "Karena aku pengin kamu tahu. Dan aku pengin kamu ngerasain sendiri bagaimana rasanya berhubungan dengan pria pribumi.
Aku berdiri mematung di gudang itu sambil memeluk sekotak susu erat-erat. Lampu kuning redup berayun pelan di atas kepala, sementara udara pengap membuat kulitku terasa lembap. Raka masih berdiri di hadapanku dan menatap dengan mata yang terlalu dalam untuk kuabaikan.
Kata-katanya masih terngiang di kepalaku.
“Kamu cantik, klasik, polos. Kayak gadis oriental dari zaman dulu. Dan jujur aja, kamu sering jadi bahan fantasi.”
Aku menarik napas panjang dan mencoba menyusun kata.
“Mas ngomong kayak gitu bikin aku bingung. Aku selama ini cuma biasa aja. Kuliah, pulang, mampir beli camilan. Aku nggak pernah kepikiran kalau ada orang yang mikirin aku sampai sejauh itu.
Raka tersenyum kecil seolah sudah menebak jawabanku.
“Justru itu. Karena kamu kelihatan nggak sadar. Itu yang bikin kamu beda. Kamu tipe yang bikin orang penasaran dan bikin orang pengin lihat lebih jauh dari sekadar senyum manis kamu.
Aku menunduk dan wajahku terasa panas. Kata-katanya membuatku malu, tetapi ada sesuatu yang hangat merayap di dadaku. Selama ini aku memang sering bertanya pada diri sendiri apakah benar aku hanya sekadar gadis polos, atau ada sesuatu yang lain di balik itu.
Aku memberanikan diri menatapnya lagi.
“Terus kalau mas sudah tahu itu semua, apa yang mas mau dari aku sekarang?
Raka tidak langsung menjawab. Ia melangkah pelan ke arah tumpukan kardus di sudut ruangan lalu duduk santai di atasnya. Tatapannya tetap tertuju padaku dengan senyum tipis. Setelah menarik napas panjang suaranya terdengar pelan namun tegas.
“Aku pengin kamu jujur sama dirimu sendiri. Kamu penasaran kan?
Aku terdiam, tidak tahu harus membalas apa karena tatapannya membuatku gugup seolah dia bisa membaca isi kepalaku. Raka kemudian melanjutkan, "Aku sering lihat cara kamu datang ke sini. Dari cara kamu jalan, cara kamu lihat-lihat rak, sampai cara kamu ngobrol sebentar di kasir. Kayak ada sesuatu yang kamu tunggu. Jangan bilang kalau semua itu cuma kebetulan" ucap Raka sambil menatapku serius.
Kata-katanya membuat wajahku panas karena aku sadar mungkin selama ini dia benar-benar memperhatikan gerak-gerikku. Pertanyaannya terasa menusuk dan membuatku terdiam cukup lama. Dalam hati aku harus mengakui mungkin memang ada rasa penasaran yang sulit kujelaskan sejak pertama kali sadar dengan tatapan orang-orang. Setiap kali aku merasa diperhatikan ada getaran halus yang muncul di dalam diriku, sesuatu yang tidak pernah berani kuakui bahkan pada diriku sendiri.
Raka kemudian mencondongkan tubuhnya sedikit dan suaranya terdengar lebih pelan tapi tegas. "Aku nggak akan maksa. Kalau kamu bilang berhenti ya berhenti. Tapi kalau kamu pengin tahu aku bisa tunjukin dunia yang selama ini orang-orang cuma bisa bayangin tentang kamu" ucapnya sambil menatap mataku tajam.
Jantungku berdetak kencang karena kata-katanya terdengar berbahaya sekaligus menggoda. Tanganku yang memegang susu sedikit bergetar. Aku merasa seakan berada di tepi jurang antara mundur kembali ke kehidupanku yang biasa atau melangkah maju ke sesuatu yang baru yang selama ini hanya terlintas samar dalam pikiranku.
Aku menggigit bibir dan menunduk lalu berkata lirih hampir seperti berbisik pada diriku sendiri. "Aku… mungkin memang penasaran. Tapi aku takut" ucapku pelan sambil menunduk.
Raka tersenyum lagi tapi kali ini terlihat lebih lembut. "Takut itu wajar. Justru kalau kamu nggak takut itu malah aneh. Tapi aku janji apa pun yang terjadi nanti semuanya karena kamu mau. Kamu yang pilih" ucapnya sambil menghela napas panjang.
Hening sesaat karena aku bisa mendengar suara detak jam kecil di dinding gudang. Suasana terasa melambat seakan dunia di luar berhenti. Aku menatap Raka dalam-dalam, mencoba mencari ketulusan di matanya dan anehnya aku menemukannya di sana. Ada keberanian kecil muncul di hatiku dan dengan suara pelan aku berkata, "Kalau seandainya aku bilang iya… terus apa yang akan mas lakukan padaku ? Ucapku sambil menahan napas.
Raka menahan senyum lalu berkata dengan nada serius. "Kalau kamu bilang iya, kamu bakal lihat sisi liar dalam dirimu yang mungkin nggak pernah kamu kenal sebelumnya. Dan aku nggak sendirian. Teman-temanku juga udah lama penasaran sama kamu" ucap Raka sambil menatapku tajam.
Tubuhku langsung menegang dan aku menelan ludah karena darahku terasa berdesir deras di seluruh tubuh. Kata-katanya membuat udara gudang terasa semakin panas. Di kepalaku berbagai bayangan liar muncul, sesuatu yang tidak pernah kuakui tapi mungkin selalu kusembunyikan jauh di bawah permukaan.
Aku berdiri terpaku dengan tubuh yang tegang seakan semua otot menolak bergerak. Kata-kata Raka terus berputar di kepalaku. "Aku nggak sendirian. Teman-temanku juga udah lama penasaran sama gadis chinese seperti kamu. Ucapnya barusan yang membuatku sulit bernapas normal.
Aku ingin mundur karena bagian diriku berteriak "Ini gila Lus. Kamu nggak boleh ada di sini, keluar sekarang juga" batinku melawan keras. Tapi ada bagian lain yang lebih kecil dan samar justru berbisik menggoda,
"Bukankah ini yang selama ini kamu penasaranin. Bukankah ini kesempatan untuk tahu seberapa besar hasrat mereka terhadap dirimu. suara itu bergema di kepalaku sendiri.
Aku menunduk sambil memeluk kotak susu yang sejak tadi belum kulepaskan. Jemariku gemetar saat aku berkata lirih. "Mas… aku takut. Aku nggak pernah ngelakuin hal kayak gitu. Aku cuma… aku cuma gadis biasa" ucapku dengan suara bergetar.
Raka menatapku tanpa berkedip. Senyumnya tidak hilang tapi ada keseriusan yang membuatku sulit berpaling. "Kamu nggak salah Lus. Kamu memang gadis biasa. Tapi justru itu yang bikin semua orang penasaran sama kamu. Kamu keliatan masih polos, wajah kamu oriental, kamu cantik dengan sentuhan klasik yang jarang ada sekarang. Dan semua orang cuma bisa bayangin kamu… tapi kamu sendiri nggak pernah tahu rasanya" ucap Raka pelan sambil mencondongkan tubuhnya sedikit.
Kata-katanya menusuk. Aku bisa merasakan pipiku panas bukan hanya karena malu tapi juga karena ada bagian dari diriku yang tersentuh. Aku mencoba mencari alasan untuk menolak. "Kalau nanti aku nyesel gimana? Kalau aku… nggak kuat ?
Raka mendekat satu langkah. Suaranya lebih pelan tapi jelas. "Kalau kamu nyesel tinggal berhenti aja. Kalau kamu merasa nggak kuat maka kita semua yang akan berhenti. Kamu yang punya kendali Lus.. Semua karena kamu mau. Nggak ada paksaan sama sekali..
Aku menggigit bibir dan merasa tubuhku sedang berkhianat. Jantungku berdegup kencang, darahku berdesir tanpa kendali dan di balik rasa takut itu ternyata ada rasa penasaran yang semakin besar. Seperti api kecil yang dikipasi secara teratur. Makin lama terasa makin sulit untuk dipadamkan.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu menggeleng pelan. "Aku… aku nggak tahu mas.. Ini terlalu mendadak. Aku merasa nggak siap..
Raka menatapku lama lalu mengangguk. Ia tidak marah dan tidak memaksakan. Ia hanya berkata pelan. "Aku ngerti. Aku bisa tunggu. Aku nggak akan maksa kamu.. Sikapnya justru membuatku makin bimbang. Kalau saja ia memaksa, mungkin saja aku akan kabur. Tapi karena dia memberi ruang, aku malah semakin penasaran. Aku menatap pintu besi gudang di belakangku. Aku bisa keluar kapan saja. Selesai. Kembali ke hidupku yang biasa. Tapi kakiku tidak bisa bergerak...
Aku menutup mata sebentar mencoba untuk mendengar suara hatiku sendiri. Ada campuran rasa takut dan rasa malu tapi ada juga rasa ingin tahu yang tak tertahankan. Seumur hidup, aku dikenal sebagai gadis baik-baik, polos, manis, gadis chindo klasik yang tidak pernah neko-neko. Tapi mungkin… justru karena itu aku ingin tahu seperti apa rasanya kalau aku keluar dari peran itu meskipun hanya sekali.
Perlahan aku membuka mata. Tatapanku bertemu dengan mata Raka. Dengan suara gemetar tapi jelas, aku berkata:
“Kalau aku… kalau aku bilang iya… aku mau lihat sampai sejauh mana. Tapi aku takut nyesel.
Senyum Raka muncul lagi, kali ini lebih hangat. “Kalau kamu bilang iya, aku janji semuanya tetap di tangan kamu. Nggak ada yang bakal nyakitin kamu. Kamu akan aman Lus..
Aku menarik napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Aku… aku mau coba. Tapi tolong… jangan kasar.”
Raka berdiri dan mendekat dengan tatapan serius. “Kamu baru aja bikin keputusan besar. Aku janji semuanya akan sesuai dengan yang kamu mau.
Udara gudang seketika terasa lebih berat. Aku sadar, dengan kata-kata itu, aku sudah melewati batas. Aku baru saja membuka pintu ke sesuatu yang selama ini hanya jadi bayangan samar dalam fantasi—dan kali ini, tidak ada jalan kembali.
Awal di Gudang
Aku menggenggam kotak susu yang sejak tadi masih kubawa seakan itu satu-satunya pegangan yang menahan rasa gugupku. "Mas jangan lakuin yang aneh-aneh ya. Aku belum pernah, aku nggak ngerti sama sekali" ucapku bergetar antara takut dan penasaran.
Raka berhenti hanya satu langkah di depanku. Wajahnya dekat sekali hingga aku menunduk karena tak sanggup menatap langsung. Aku bisa mencium aroma sabun samar dari bajunya bercampur dengan dinginnya udara AC yang menyelinap dari pintu kecil yang tadi ditutup rapat.
"Aku tahu Lus, aku bisa lihat dari caramu ngomong, dari cara kamu gemetaran. Kamu polos, belum pernah ngalamin. Tapi justru itu aku pengin jadi orang pertama yang bikin kamu tahu rasanya" kata Raka pelan hampir seperti bisikan.
Kata-katanya membuat tubuhku merinding. Ada getaran aneh yang menjalar dari dadaku turun ke seluruh tubuh. Aku ingin menolak tapi lidahku kelu. Yang keluar justru kalimat lirih yang mengejutkan diriku sendiri.
"Kalau aku, kalau aku mau coba, Mas janji nggak kasar?" ucapku lirih.
Raka tersenyum tipis dan menatapku serius. "Aku janji. Semua sesuai sama kamu. Kalau kamu bilang berhenti maka aku akan berhenti" katanya.
Aku terdiam lama. Rasa takut masih ada tapi perlahan kalah oleh rasa penasaran yang menekan dari dalam. Dengan tangan gemetar aku meletakkan kotak susu di atas kardus lalu menatap Raka dengan mata penuh kebingungan.
"Aku nggak tahu harus gimana" bisikku.
Raka mendekat begitu dekat sampai aku bisa merasakan hangat napasnya di wajahku. Tangannya terangkat pelan tapi ia tidak langsung menyentuh. Jemarinya hanya menggantung beberapa sentimeter dari pipiku seolah menunggu izinku.
"Kalau kamu mau biarin aku yang tuntun. katanya pelan.
Aku menahan napas. Tubuhku kaku tapi aku tidak bergerak mundur. Dengan keberanian kecil yang entah datang dari mana aku mengangguk sekali. Jemarinya menyentuh pipiku perlahan, hangat dan lembut tanpa terburu-buru. Sentuhan sederhana itu saja sudah membuat tubuhku bergetar. Aku tidak pernah disentuh seperti itu sebelumnya dan rasanya aneh, campuran antara malu, takut dan sesuatu yang hangat di dalam dadaku.
Aku menutup mata sejenak dan membiarkan diriku larut dalam sensasi baru itu. Saat aku membuka mata aku melihat tatapan Raka begitu intens seperti menelan seluruh keberadaanku.
"Lus, kamu keliatan cantik banget. Lebih cantik dari yang pernah aku bayangin" ucap Raka nyaris berbisik.
Aku menggigit bibir dan wajahku terasa panas. Rasanya jantungku akan meledak mendengar pujian yang dipenuhi hasrat itu.
"Mas jangan ngomong gitu, aku jadi malu" ucapku pelan.
Tapi dalam hati aku tahu aku sangat menyukainya. Untuk pertama kalinya aku merasa dilihat bukan sekadar sebagai gadis polos tapi sebagai seseorang yang diinginkan sepenuh hati. Raka masih menatapku dan tangannya kini turun menyentuh jemariku yang gemetar. Ia menggenggamnya pelan seakan ingin meyakinkan bahwa aku bisa menarik diri kapan saja.
Dalam hening itu aku sadar kalau aku sudah melewati batas pertama. Aku sudah membiarkan seseorang menyentuh sisi diriku yang selama ini hanya kusimpan untuk bayangan di cermin. Dan meski masih takut aku ingin tahu lebih jauh.
Awal yang Membuatku Bergetar
Tangannya masih menggenggam jemariku. Begitu hangat dan stabil membuatku sedikit lebih tenang meski jantungku berdegup tidak karuan. Aku menatapnya sebentar lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Rasanya seperti ada listrik halus mengalir dari sentuhan itu.
"Mas… suaraku lirih. "kenapa harus aku? Bukankah banyak gadis lain yang lebih cantik.
Raka menggeleng pelan. “Nggak ada yang kayak kamu Lus.. Kamu punya sesuatu yang nggak bisa dibuat-buat oleh orang lain yaitu kepolosan. Orang lain cuma bisa liat dari jauh tapi aku pengin rasain lebih dekat.
Kata-katanya membuat wajahku semakin panas. Aku tidak tahu harus membalas apa. Tubuhku tegang tapi aku tidak menarik tanganku. Justru aku membiarkannya dan itu saja sudah seperti pengakuan diam-diam dari diriku sendiri. Raka mendekat sedikit lagi. Kini jarak wajah kami hanya beberapa sentimeter. Aku bisa merasakan napasnya menyentuh kulitku. Aku menelan ludah lalu berbisik pelan. Aaku… takut. Tapi juga… penasaran..
Dia tersenyum dan suaranya terdengar lembut ditelinga. "Itu wajar Lus.. Nggak ada yang salah dengan rasa penasaran. Selama kamu mau melakukan dengan rela maka aku akan memperlakukanmu dengan sepenuh hati.
Aku menutup mata sebentar mencoba menenangkan diriku. Tapi justru dalam gelap itu imajinasi liar muncul tentang bagaimana rasanya kalau aku benar-benar membiarkan sesuatu terjadi. Bayangan itu membuat dadaku terasa sesak dan perutku bergejolak.
Ketika aku membuka mata lagi Raka masih menatapku dengan sabar. Tangannya yang satu perlahan terangkat menyelipkan helai rambutku yang jatuh ke pipi. Sentuhan kecil itu membuatku merinding. Aku menarik napas gemetar. “l"Mas… jangan buru-buru, ya..
"Kamu tenang aja.. jawabnya. "Aku nggak akan maksa. Sepenuhnya kamu yang atur.
Kami berdua diam sebentar hanya saling menatap. Hening gudang membuat suara napas kami terdengar jelas. Lalu dengan gerakan lambat Raka mendekatkan wajahnya. Bibirnya hampir menyentuhku. Aku sempat mundur setengah langkah karena gugup tapi tidak benar-benar menjauh.
"Boleh kucium ? tanyanya pelan dengan matanya menatapku lekat.
Aku tidak bisa bicara. Aku hanya mengangguk sekali dengan cepat sambil menggigit bibir. Dan saat itulah bibirnya menyentuh bibirku. Awalnya lembut dan hati-hati seakan ia benar-benar takut aku akan menolak. Tubuhku menegang tapi perlahan rasa hangat itu meresap. Aku terkejut dengan diriku sendiri karena alih-alih mendorongnya pergi aku justru membiarkan bibirku tetap di sana. Rasanya aneh. Asing tapi juga memabukkan. Seperti ada pintu yang baru terbuka dalam diriku.
Aku menutup mata membiarkan sentuhan itu berlangsung sedikit lebih lama. Raka tidak memaksa dan tidak terburu-buru hanya mengikuti ritmeku. Saat ia akhirnya menarik diri. Aku terengah dan wajahku merah padam.
“Mas… bisikku. "aku… aku nggak percaya aku barusan… Raka tersenyum tipis. “Kamu luar biasa Lus.. Dan itu baru permulaan.. Tubuhku bergetar tapi aku tahu dalam hati. Aku tidak lagi berada di titik semula. Aku sudah melangkah terlalu jauh untuk mundur.
Tarik-Ulur yang Membakar
Bibirku masih terasa hangat setelah ciuman singkat itu. Aku menunduk dengan wajah memerah sampai telinga. Rasanya aneh sekali seperti aku baru saja menyeberang jembatan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
Aku menggenggam ujung rok seragam kampusku erat-erat sambil mencoba mencari kata.
"Mas… aku… aku masih deg-degan banget. Ini pertama kalinya aku dicium" ucapku pelan.
Raka menatapku lembut lalu tersenyum tipis.
"Aku tahu. Aku bisa ngerasain dari cara kamu gemetar. Tapi justru itu yang bikin kamu asli banget" katanya.
Aku menghindari tatapannya tapi hatiku justru berdebar makin kencang. Kata-katanya membuatku merasa spesial meski aku juga malu setengah mati.
Raka tidak buru-buru mendekat lagi. Ia hanya berdiri di hadapanku memberi jarak tipis yang cukup untuk membuatku sadar betapa dekatnya dia. Tangannya kembali meraih tanganku yang sejak tadi kupeluk di depan dada. Jemarinya membelai punggung tanganku pelan dengan gerakan sederhana yang membuatku sulit bernapas.
"Aku bisa berhenti kalau kamu mau. Kamu tinggal bilang dan semua selesai. ucapnya pelan.
Aku menggigit bibir. Suaraku nyaris tidak terdengar saat aku menjawab.
"Aku… nggak tahu kenapa… aku nggak mau berhenti. kataku lirih.
Raka menatapku lama. Matanya dalam seakan bisa membaca isi hatiku yang kacau. Lalu ia mendekat dan tangannya menyentuh pipiku mengusap perlahan seperti memastikan aku tetap di sini.
Aku menutup mata membiarkan sentuhan itu. Rasanya nyaman meski membuat tubuhku merinding. "Mas kenapa rasanya aku jadi orang lain ? bisikku pelan.
Dia mendekatkan bibir ke telingaku dan suaranya nyaris seperti desahan.
"Bukan orang lain. Ini sisi kamu yang selama ini kamu sembunyiin dan sekarang kamu berani tunjukin" katanya.
Tubuhku bergetar hebat. Kata-katanya menamparku lembut tapi benar adanya. Selama ini aku terlalu sibuk menjaga citra gadis chindo manis, polos, klasik, oriental, selalu rapi dan selalu baik-baik. Sekarang untuk pertama kalinya aku merasa melepas topeng itu. Raka tidak langsung mencium lagi. Dia justru menarik diri sedikit membuat jarak beberapa sentimeter lalu tersenyum tipis. "Aku bisa cium kamu lagi kalau kamu yang minta. katanya. Aku terbelalak.
"Hah?! Aku nggak berani ngomong kayak gitu" ucapku dengan pipi panas.
"Kalau kamu pengin bilang aja" jawabnya tenang sambil jelas-jelas menikmati kegugupanku.
Aku terdiam lama. Hatiku seperti diperas oleh rasa malu dan takut tapi juga oleh keinginan aneh yang semakin membesar. Jemariku mencengkeram rokokku makin erat. Akhirnya dengan suara lirih hampir tidak terdengar aku berkata. "Boleh cium aku lagi ?
Raka tersenyum hangat lalu mendekat perlahan. Bibirnya kembali menyentuh bibirku. Kali ini sedikit lebih lama dan lebih dalam meski tetap lembut. Aku membiarkan diriku larut dengan tubuh yang masih kaku tapi hatiku mulai menyerah pada rasa itu.
Saat ia menarik diri aku terengah dengan wajah merah padam. Suaraku gemetar.
"Mas.. kalau terus kayak gini. Aku takut nanti aku nggak bisa berhenti. Kataku.
Raka menatapku lekat. "Dan kalau kamu nggak mau berhenti?" tanyanya. Aku tidak menjawab. Aku hanya menunduk sambil menggenggam tangannya makin erat. Dalam diam itu aku tahu benih keputusan besar sedang tumbuh dalam diriku.
Bibir yang Membuatku Lupa Diri
Bibir Raka kembali menyentuhku, kali ini lebih dalam dan lebih berani daripada sebelumnya. Awalnya aku masih kaku tapi lama-lama tubuhku seperti melemas sendiri seolah rasa hangat dari bibirnya merambat ke seluruh ragaku.
Aku memejamkan mata, membiarkan diriku larut. Rasa gugup masih ada tapi tertutup oleh sesuatu yang lebih kuat yaitu rasa penasaran dan kenikmatan baru yang belum pernah kurasakan.
Tanganku yang tadi menggenggam rok kini terlepas dan entah kenapa aku malah berani menyentuh lengannya. Ototnya terasa keras di balik seragam pegawai itu dan sentuhan itu membuatku merinding lagi.
Raka seakan tahu aku mulai menyerah. Ia memiringkan wajahnya sedikit membuat ciuman kami jadi lebih dalam. Lidahnya menyentuh bibirku perlahan seakan meminta izin. Aku terkejut, tubuhku menegang, tapi aku tidak mendorongnya. Justru aku membiarkan dan akhirnya aku membuka sedikit bibirku.
Seketika sensasinya berbeda. Hangat, lembap, dan membuatku kehilangan napas. Aku terengah tapi aku juga tidak ingin melepasnya. Rasanya seperti dunia mengecil, hanya tinggal aku, dia, dan bibir yang menyatu. "Mas… bisikku lirih saat ciuman terlepas sebentar. Nafasku memburu. "Aku… aku nggak kuat… tapi aku nggak mau berhenti.
Raka tersenyum samar. Matanya menatapku dengan intensitas yang membuatku makin lemah. "Biarkan aja Lus. Nikmati aja. Kamu nggak sendirian. katanya.
Bibirnya kembali menempel di bibirku kali ini lebih menuntut. Tangannya meraih pinggangku perlahan lalu menarikku makin dekat. Tubuh kami nyaris bersentuhan penuh dan aku bisa merasakan panas tubuhnya menyelubungiku.
Aku menggigil tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang membakar dari dalam. Tanganku naik menyentuh dadanya dan aku bisa merasakan detak jantungnya yang keras. Detaknya cepat sama seperti punyaku.
Ciuman itu terus berlanjut, berulang, semakin lama semakin dalam. Sesekali aku mendesah kecil, kaget dengan suara yang keluar dari bibirku sendiri. Aku tidak pernah membayangkan bisa terdengar seperti itu.
Saat akhirnya ia melepaskan bibirku aku hampir limbung. Nafasku terengah, wajahku panas, bibirku basah. Aku bersandar sedikit ke tumpukan kardus berusaha menenangkan diri.
"Mas…" suaraku lirih hampir seperti rengekan. "Aku… aku takut aku kebablasan."
Raka menunduk lalu mencium keningku sekali dengan lembut.
"Kalau kamu jatuh… aku yang akan nangkep kamu. Katanya.
Kata-katanya menusuk dalam sekali. Jantungku berdebar tapi kali ini bukan hanya karena gugup. Ada rasa lain yang membuatku ingin terus berada di dekatnya apapun risikonya.
Sentuhan yang Membuka Pintu Baru
Bibirku masih bergetar setelah ciuman panjang tadi. Nafasku naik turun, tubuhku terasa ringan sekaligus berat. Raka masih menatapku dengan mata yang dalam dan itu membuatku sulit berpaling.
Tangannya tetap di pinggangku, hangat dan mantap. Perlahan ia mengusap punggungku dengan gerakan kecil yang membuat bulu kudukku berdiri. Aku merinding, tubuhku menegang, tapi aku tidak menolaknya.
"Lus…" suaranya rendah dan serak. "Aku pengin lebih dekat sama kamu. Tapi aku butuh kamu yang nentuin batasnya."
Aku menunduk, jantungku berdetak cepat. Aku tidak menjawab langsung. Tapi tubuhku bereaksi lebih jujur daripada mulutku. Bukannya menjauh, aku malah sedikit maju dan tubuhku bersandar tipis ke dadanya.
Dia menarik napas dalam lalu mengusap pelan rambut panjangku. Jari-jarinya menyusuri helaian hitam lurus yang jatuh sampai pinggang. "Rambut kamu… indah banget. Katanya.
Aku menggigil dan wajahku memanas. "Mas jangan gitu… aku jadi malu. kataku lirih.
Raka tersenyum tapi tidak berhenti. Jemarinya turun dari rambut ke leherku lalu berhenti sebentar di tengkuk. Sentuhan ringan itu membuatku gemetar hebat seolah aliran listrik menjalar ke seluruh tubuhku. Aku refleks memejamkan mata dan mengeluarkan desahan kecil yang bahkan membuatku kaget sendiri.
"Mas, jangan nakal" suaraku bergetar.
"Tapi kamu nggak menjauh" bisiknya. Napasnya terasa di dekat telingaku.
Aku terdiam. Memang benar, aku tidak menjauh. Aku hanya menggenggam seragamnya kuat-kuat dengan tubuh bergetar di pelukannya.
Tangannya kemudian turun menyusuri pundakku lalu berhenti di lenganku. Ia mengusap pelan seakan menenangkanku. Tapi justru sentuhan sederhana itu membuatku semakin terbakar.
Raka menunduk lagi. Bibirnya kini tidak langsung ke bibirku melainkan ke leherku. Ia mengecup pelan di dekat pangkal leher dan itu membuatku terlonjak kecil.
"Aah Mas…" suaraku melengking lirih.
Dia berhenti lalu menatapku.
"Kamu nggak suka?" tanyanya.
Aku menggeleng cepat dengan wajah panas sekali.
"Aku… aku kaget. Tapi rasanya aneh tapi enak" jawabku.
Senyumnya muncul lagi lalu ia mencium leherku sekali lagi, lebih lama dan lebih dalam. Aku menggigit bibir menahan suara yang hampir keluar. Tubuhku makin gemetar dan tanganku berani naik ke bahunya mencengkeram seakan mencari pegangan.
Ciuman di leher itu membuatku hampir lemas. Aku tidak pernah membayangkan bisa merasakan hal seperti ini. Ada sensasi asing yang membuat tubuhku panas dari dalam seolah sebuah pintu baru terbuka lebar.
"Mas.. kalau terus kayak gini aku takut aku nggak bisa kendaliin diri. Bisikku setengah memohon setengah menyerah.
Raka berhenti sebentar lalu menatapku dengan serius. "Aku akan berhenti kalau kamu bilang berhenti. Tapi kalau kamu mau lanjut… aku akan jagain kamu. Aku menatap matanya lama sekali. Lalu tanpa sadar aku mengangguk pelan.
Saat Aku Membiarkan Diriku Jatuh
Aku masih bisa mendengar detak jantungku sendiri yang menggema keras seolah ingin meledak. Nafasku terengah, wajahku panas, dan tubuhku gemetar dalam pelukan Raka.
Ketika bibirnya kembali menyentuh leherku, aku tidak lagi menahan diri. Aku justru memiringkan kepala sedikit, tanpa sadar memberinya lebih banyak ruang. Raka menangkap sinyal itu dan ciumannya menjadi lebih berani, panas, dalam, membuatku nyaris lemas.
Aku mengeluarkan suara lirih yang membuatku malu sendiri. "M-mas… kenapa rasanya kayak… aku nggak bisa mikir."
Raka membisikkan sesuatu di telingaku, suaranya rendah dan menenangkan. "Jangan mikir apa-apa. Malam ini, cukup rasain aja."
Tangannya turun perlahan dari punggung, meraih pinggangku lebih erat, lalu menarik tubuhku menempel penuh ke dadanya. Aku bisa merasakan hangat dan kerasnya tubuhnya, membuatku semakin kehilangan kekuatan untuk menolak.
Aku memejamkan mata lalu menarik napas dalam. "Aku… aku nggak mau berhenti."
Begitu kata-kata itu keluar, rasanya seperti semua tembok yang kubangun selama ini runtuh. Aku pasrah.
Raka segera membalas dengan mencium bibirku lagi, kali ini lebih dalam dan lebih menuntut. Lidahnya masuk dan aku menerimanya tanpa ragu, tubuhku terseret dalam arus yang tidak bisa kulawan. Tanganku naik ke tengkuknya, menggenggam erat seolah aku takut ia pergi meninggalkanku dalam keadaan begini.
Ciuman itu membuatku nyaris kehabisan napas tapi aku tidak mau berhenti. Aku bahkan mulai membalas meski masih kikuk, tapi dengan dorongan rasa ingin yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Tangannya bergerak lagi dari pinggang naik ke punggung lalu turun ke sisi tubuhku dan berhenti sebentar di pinggul. Aku menegang, tapi bukannya menyingkir aku justru menempel lebih dekat.
“Mas…” bisikku di sela ciuman, suaraku lirih penuh rasa malu, “aku… aku serahin semuanya ke kamu.”
Raka menatapku dengan mata yang dalam, penuh api sekaligus lembut. Ia mencium keningku sekali, lalu berbisik:
“Mulai sekarang, kamu aman sama aku. Aku akan bawa kamu sejauh yang kamu mau.”
Tubuhku benar-benar menyerah saat itu. Aku tidak lagi berpikir tentang siapa aku, bagaimana citraku sebagai gadis polos oriental yang selalu dijaga banyak orang. Aku hanya merasa… bebas.
Dan untuk pertama kalinya, aku membiarkan diriku jatuh sepenuhnya dalam pelukan seorang pria.
Tubuhku yang Terbuka
Bibir Raka kembali menempel ke bibirku, kali ini tanpa ampun. Ia menciumku dalam, berulang, membuatku kehilangan kendali. Aku merintih kecil di sela ciuman itu, suaraku sendiri terdengar asing, begitu manja, begitu terbuka.
Tangannya yang sejak tadi bertahan di pinggang kini bergerak lebih jauh. Ia menyusuri lekuk pinggulku, lalu naik ke sisi tubuhku, jemarinya menyentuh pelan kulit yang tertutup tipis oleh seragam kuliahku. Sentuhan itu sederhana, tapi membuatku gemetar keras, seolah kulitku terbakar hanya karena sentuhan lembutnya.
Aku mendesah, memalingkan wajah sebentar untuk menarik napas. “M-mas… aku nggak pernah… kayak gini sebelumnya.”
Dia menatapku lama, tangannya berhenti, seolah menunggu. “Kamu yakin mau terus, Fan?”
Aku menggigit bibir, wajahku panas sekali. Tubuhku bergetar, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku mengangguk kecil, lalu meraih seragamnya dan menariknya lebih dekat. “Aku udah nggak bisa mundur.”
Senyum tipis muncul di bibirnya, lalu ia menunduk lagi, mencium leherku lebih dalam. Bibir dan lidahnya bermain di kulit tipis leherku, membuatku melengkung, mendesah lebih keras. “Ahh—Mas…”
Tangannya kini bergerak berani, naik ke dadaku, berhenti di sana, hanya menekan lembut dari luar blouse tipis yang kupakai. Aku langsung terlonjak, jantungku seakan copot.
“Mas… jangan… jangan di situ…” suaraku bergetar, tapi aku tidak menyingkir.
“Kalau beneran nggak mau, aku berhenti.”
Aku menggigit bibirku, menunduk, lalu dengan suara hampir tak terdengar, aku berbisik, “Aku… aku cuma malu…”
Dia menatapku sekali lagi, lalu dengan perlahan, ia menekan dadaku lembut, mengusap pelan. Aku terisak kecil, tubuhku seperti tersengat. Sensasi itu baru pertama kali kurasakan, dan aku hampir tak sanggup berdiri.
Tanganku refleks meraih lengannya, bukan untuk menyingkirkan, tapi untuk mencari pegangan agar aku tidak jatuh.
“Mas… badanku panas banget…” desahku, hampir seperti rengekan.
Raka menunduk, bibirnya kini turun ke bahu, lalu membuka sedikit kancing seragamku. Aku menahan napas, mataku terpejam kuat. Saat bibirnya menyentuh kulit putih bahuku yang terbuka, aku mengeluarkan suara lirih yang membuatku sendiri terkejut.
“Uhh… Mas… jangan berhenti…”
Ia terus menjelajah, tangannya kini lebih berani, bibirnya tidak lagi hanya di leher dan bahu, tapi turun pelan-pelan, membuat tubuhku makin kehilangan kendali.
Aku merasa seperti tubuhku bukan lagi milikku. Aku benar-benar pasrah, membiarkan Raka membuka satu per satu sisi diriku yang selama ini tersembunyi.
Di gudang sempit itu, di antara kardus dan aroma karton, aku berubah dari seorang gadis chindo polos yang dijaga citranya… menjadi seorang perempuan yang menyerahkan tubuh dan rasanya sepenuhnya pada pria yang memelukku erat.
Saat Lapisan Demi Lapisan Terlepas
Aku bisa merasakan jari-jari Raka mulai bermain di kancing atas blouseku. Jemarinya pelan, seolah sengaja membuatku menunggu. Aku menahan napas, tubuhku menegang, tapi aku tidak menghalanginya.
Satu kancing terlepas.
Aku merinding.
Lalu kancing kedua.
Aku menggigit bibir, wajahku panas sekali, seperti terbakar.
Raka menatapku sejenak, matanya tajam tapi lembut. "Lus… aku buka semuanya ya?”
Aku menunduk, tak sanggup menatap balik. Suaraku hampir tidak terdengar ketika kujawab, “Iya… tapi pelan-pelan…”
Dengan sabar, dia melanjutkan. Satu demi satu kancing blouse-ku terbuka, memperlihatkan kulit putihku yang halus, hingga akhirnya bagian dadaku tersisa hanya dilapisi bra tipis berwarna lembut. Aku refleks menutupinya dengan tangan, wajahku memerah hebat.
"Mas jangan liat aku kayak gini. suaraku bergetar. Raka tersenyum tipis lalu meraih tanganku perlahan dan menyingkirkannya dengan lembut. "Aku nggak cuma liat Lus, aku mau sayangin" katanya. Bibirnya langsung turun mengecup kulit di atas belahan dadaku yang sudah terekspos. Aku tersentak dan suara kecil keluar tanpa bisa kutahan. "Ahh Mas… aku bener bener nggak tahan" ucapku.
Tangannya masuk ke balik blouse yang sudah terurai dan menyentuh kulit perutku yang dingin tapi bergetar karena tegang. Aku menggigil sambil menunduk melihat bagaimana jemarinya menyusuri kulitku seolah sedang membaca sesuatu di sana.
Pelan-pelan blouse itu benar-benar dilepas dari tubuhku hingga aku hanya tersisa dengan bra dan rok lipitku. Aku memeluk tubuhku sendiri mencoba menutupinya tapi tubuhku justru makin bergetar karena malu sekaligus ingin.
Raka mendekat. Tangannya menyusuri lenganku lalu menarikku ke pelukannya lagi. "Cantik banget kamu Lus" katanya.
Aku merasa hampir menangis bukan karena sedih tapi karena perasaan yang begitu campur aduk. Aku malu dan gugup tapi ada rasa lega luar biasa saat membiarkan diriku terbuka seperti ini.
Bibirnya kembali menyerang. Kali ini turun dari leher ke dada mencium kulitku dengan sabar dan dalam. Aku tidak bisa lagi menahan suaraku. Desahan keluar lirih patah-patah setiap kali ia menyentuhku lebih dalam.
Tangannya turun ke pinggang meraba resleting rokku. Aku menegang lagi.
"M-mas jangan keburu… aku takut" kataku.
Dia berhenti lalu menatapku serius.
"Aku bisa berhenti kapan aja. Tapi kalau kamu siap aku akan buka semuanya" katanya.
Aku menutup mata dengan napas berat lalu dengan suara lirih aku ucapkan
"Aku udah pasrah mas. Lanjutin aja.. Dan dengan perkataan itu maka resleting rokku mulai turun.
Saat Rok Itu Jatuh
Aku bisa merasakan tarikan pelan di pinggangku. Resleting rokku sudah turun setengah lalu terbuka sepenuhnya. Raka tidak terburu-buru karena ia menunggu dan memberi ruang untukku mundur. Tapi aku hanya berdiri di sana sambil menggigil dan menunduk dengan tangan gemetar menggenggam sisi blouse yang sudah terbuka.
"Lus, boleh aku lepasin?" bisiknya lembut.
Aku menelan ludah lalu mengangguk kecil hampir tak terlihat.
"Iya…" jawabku lirih.
Dengan hati-hati tangannya menarik rokku turun. Kain biru muda itu meluncur perlahan melewati pinggulku lalu turun ke pahaku hingga akhirnya jatuh ke lantai. Suara gesekan lembut kain di kulitku membuat tubuhku merinding.
Aku refleks menutup pahaku dengan kedua tangan. Wajahku panas sekali. Kini aku hanya berdiri dengan bra putih tipis dan celana dalam senada. Rasanya seperti semua pertahanan terakhirku sudah runtuh.
"Mas… aku… aku malu banget…" suaraku gemetar.
Raka mendekat lalu jemarinya mengangkat daguku pelan hingga aku menatap matanya. Pandangannya dalam, penuh nafsu tapi juga anehnya lembut.
"Kamu cantik banget Fan. Aku janji aku nggak akan sakitin kamu" katanya.
Bibirnya kembali menempel di bibirku, kali ini penuh gairah. Tubuhku gemetar tapi aku membalas karena aku sudah tidak bisa berpura-pura lagi.
Tangannya bergerak ke pahaku yang terbuka lalu menyusuri kulit halusku dengan sentuhan ringan. Aku mengerang pelan dan lututku lemas hingga nyaris tak bisa menopang tubuhku.
"Mas… badanku… kayak nggak kuat berdiri… ucapku terbata.
Dia langsung meraih pinggangku lalu membawaku bersandar ke tumpukan kardus di belakang.
"Sandar sama aku.. aku yang jaga kamu.. katanya.
Saat itu tubuhku hanya tertutup lapisan tipis pakaian dalam dan aku bisa merasakan betul panasnya tubuh Raka yang menempel padaku. Tangannya tidak berhenti menjelajah dan menyusuri lekuk tubuhku yang terbuka hingga membuatku mendesah berkali-kali semakin keras dan semakin pasrah.
Aku menutup wajah dengan kedua tangan karena malu mendengar suaraku sendiri. Tapi Raka menarik tanganku perlahan.
"Jangan tutupin Lus. Aku pengen liat kamu, pengen liat semuanya. katanya.
Aku menggigit bibir dengan tubuh bergetar lalu akhirnya mengangguk.
"Iya Mas… aku udah serahin semuanya ke kamu. Jawabku pelan. Di gudang sempit itu dengan pakaian tinggal sepotong tipis yang menempel di tubuhku aku benar-benar merasa telanjang. Bukan cuma di tubuh tapi juga di hati.
Saat Sentuhan Itu Menembus
Tubuhku sudah gemetar sejak tadi, hanya tersisa bra dan celana dalam tipis yang menempel di kulitku. Aku bersandar pada tumpukan kardus, napasku memburu, wajahku panas, dadaku naik turun tak beraturan.
Raka berdiri begitu dekat, tubuhnya menempel penuh ke tubuhku. Tangannya menyusuri pahaku, naik perlahan ke pinggang, lalu berhenti tepat di garis elastis celana dalamku. Aku menegang, menggigit bibir, mencoba menahan suara yang hampir lolos.
“Lus…” bisiknya rendah di telingaku, “boleh aku sentuh kamu… lebih jauh?”
Aku memejamkan mata, hatiku berdegup kencang. Malu, takut, tapi juga terbakar oleh sesuatu yang baru pertama kali kurasakan. Dengan suara serak, hampir seperti rengekan, aku menjawab, “Iya, Mas… jangan berhenti…”
Begitu izin itu keluar, jemarinya masuk melewati pinggiran kain tipis itu. Kulit hangatnya langsung menyentuh kulit paling rahasia milikku.
Aku terlonjak. “Ahhh—!” Suaraku pecah, tubuhku refleks melengkung, punggungku menekan kardus di belakang.
Sentuhan itu membuatku kehilangan semua tenaga. Tanganku mencengkram bahunya kuat-kuat, kuku-kuku kecilku nyaris menusuk kulitnya. “M-mas… oh Tuhan… rasanya aneh banget…”
Raka tersenyum kecil, lalu mulai menggerakkan jarinya, mengeksplorasi dengan sabar. Aku nyaris menangis, tubuhku goyah, kaki gemetar. Setiap kali jari itu bergerak, desahan tak terkendali keluar dari mulutku.
“Jangan ditahan Lus…” bisiknya di telingaku sambil mencium leherku. nikmatin aja..
Aku tidak bisa menahan lagi. Suara lirihku terdengar memenuhi gudang itu. Aku malu tapi sekaligus tidak sanggup berhenti. Tangannya yang lain naik ke dadaku, menyentuh dari luar bra. Ia meremas lembut, lalu menurunkan tali tipis itu, membebaskan bagian paling sensitifku. Begitu kulitku benar-benar disentuh telapak tangannya, aku hampir menjerit.
“Ahhh, Mas! Jangan… jangan begitu keras… aku nggak kuat…
Tapi tubuhku justru menempel makin dekat, seolah mencari lebih banyak. Aku merasa seperti hanyut, seluruh diriku terbakar, setiap inci kulitku dipenuhi sentuhan panasnya. Kini aku hanya bisa pasrah. Diriku yang polos, yang selalu dijaga citranya, kini benar-benar telanjang di hadapan seorang pria—bukan hanya tubuh, tapi seluruh kelemahanku.
Saat Semua Terbuka
Tangannya makin berani, jemarinya yang sejak tadi bermain di balik celana dalamku kini menarik tali tipisnya pelan. Aku menggigil hebat, tanganku refleks menahan pinggang roknya, seolah masih ingin menjaga yang tersisa.
“Mas… kalau sampai dilepas… aku bener-bener telanjang…” bisikku dengan suara gemetar.
Raka menatap mataku, dalam dan tak berkedip. “Aku pengen kamu apa adanya, Lus. Kamu cantik banget… aku pengen liat semuanya.
Aku menutup wajah dengan telapak tangan, wajahku panas sekali, tapi aku mengangguk pelan. “I-iyah… aku akan serahin semuanya untukmu..
Dengan gerakan hati-hati, ia menurunkan celana dalamku. Kain tipis itu turun melewati pahaku, lututku, lalu jatuh ke lantai, menyisakan tubuhku benar-benar terbuka. Aku menjerit lirih, kedua tanganku refleks menutup bagian bawahku, tubuhku meringkuk ke dinding kardus, wajahku merah padam.
“Mas… aku malu banget…”
Raka mendekat, meraih pergelangan tanganku, lalu menyingkirkannya perlahan. “Jangan tutupin… biar aku liat kamu seutuhnya.”
Aku menggigil, tapi tidak melawan. Aku berdiri di depannya, hanya dengan bra yang sudah melorot separuh. Napasku berat, hampir tersengal. Dia menurunkan bra itu dengan satu tarikan lembut, dan kini aku benar-benar telanjang di hadapannya.
Udara gudang terasa dingin di kulitku, tapi tubuhku terasa panas membara. Aku menunduk, tak berani menatap, hingga tiba-tiba bibirnya kembali menempel ke bibirku. Ciuman itu kuat, rakus, membuatku lupa pada rasa malu.
Tangannya langsung meraba seluruh tubuhku yang terbuka, mengusap dada, pinggang, hingga ke bagian paling rahasia di antara pahaku. Sentuhan langsung itu membuatku hampir berteriak. “Ahhh—Mas… ohhh… aku… aku nggak sanggup lagi…”
Aku berpegangan erat di bahunya, tubuhku benar-benar lemas. Setiap jari yang bergerak di tubuhku seperti menyetrum, membuatku melengkung, mendesah tanpa henti.
Dia mendorongku perlahan hingga aku duduk di atas kardus. Tubuhku setengah terbaring, pahaku terbuka tanpa sengaja, membuatku makin gemetar karena posisiku yang begitu terbuka.
“Mas… jangan liatin terus… aku malu… suaraku hampir menangis, tapi tubuhku justru tidak menutup.
Gudang yang sempit itu makin terasa panas. Tubuhku sudah gemetar hebat, napas terengah, sementara Raka menindihku sepenuhnya. Kardus di bawah punggungku berderak, tapi aku tak peduli. Yang ada hanya tubuhnya yang begitu dekat, hangat, keras, dan membuatku tidak bisa berpikir jernih lagi.
Raka menunduk menciumku dalam lalu berbisik di telingaku. “Lus… aku nggak akan paksa. Tapi kalau kamu udah siap maka aku bakal lanjut.
Aku menatap matanya yang tajam, penuh gairah sekaligus tenang. Tubuhku sudah terbuka sepenuhnya di hadapannya. Aku menggigit bibir, lalu dengan suara pelan hampir tak terdengar aku berkata,
“Aku siap mas… aku udah pasrah diapain aja sama kamu.
Ia menatapku sebentar, lalu mencium bibirku lagi, kali ini keras, penuh desakan. Tubuhnya menekan lebih rapat, pinggulnya menempel erat padaku. Aku bisa merasakan miliknya yang besar, panas, dan menegangkan di antara pahaku. Sentuhan itu membuatku bergetar hebat, napasku pecah-pecah.
Ketika akhirnya ia mulai mendorong masuk, tubuhku otomatis menegang. Ada rasa perih menusuk, bercampur kaget dan panik. Aku menjerit lirih, jemariku mencengkeram bahunya kuat-kuat.
“Ahh… Mas… sakit…
Raka berhenti sejenak, mencium keningku lembut. “Tarik napas pelan Lus… aku akan lakukan pelan-pelan. Percaya sama aku..
Aku mengangguk cepat meski tubuhku masih kaku. Lalu ia kembali mendorong perlahan, setiap sentimeter membuatku meringis, tapi juga menghadirkan rasa aneh yang membuat tubuhku panas. Hingga akhirnya, ia benar-benar menembusku.
Aku terkejut, tubuhku bergetar hebat. Air mataku hampir jatuh karena campuran sakit, kaget, dan perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
“Mas… aku… aku ngerasa penuh banget… bisikku dengan suara parau.
Raka menatapku dalam, lalu mencium bibirku lagi untuk meredam suaraku. Tubuhnya mulai bergerak, pelan sekali di awal, hingga rasa sakit itu mulai bercampur dengan sensasi baru yang membuatku terengah. Dari rasa nyeri, perlahan berubah jadi sesuatu yang hangat, bergetar, menekan dari dalam.
Aku mulai menggeliat tanpa sadar, pinggulku mengikuti gerakannya. Desahanku pecah, tak bisa lagi kutahan.
“Mas… ahh… Mas…”
Ia menahan tanganku di atas kepalaku, menatap wajahku yang basah keringat.
“Kamu cantik banget, Lus… sekarang kamu bener-bener milikku.”
Aku menjerit lirih, tubuhku melengkung, seluruh pertahananku hancur saat ia menghujamku berulang kali, makin dalam, makin keras. Sakit dan nikmat bercampur, membuatku terhanyut dalam pusaran yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Raka menindihku sepenuhnya di atas tumpukan kardus yang berderak pelan. Tubuhnya besar dan berat tapi hangatnya membuatku merasa aman. Kakiku refleks melingkar di pinggangnya seakan menariknya makin rapat dan seolah tak mau ada jarak sedikit pun. Jemariku mencengkeram bahunya erat sementara mataku berkaca-kaca menahan perasaan yang begitu campur aduk.
“Aku malu mas… tapi aku nggak bisa berhenti. bisikku pelan.
Dia menatapku dalam, lalu mengecup bibirku dengan keras, penuh gairah. Tubuhnya bergerak makin cepat, makin kuat, hingga setiap dorongannya membuat tubuhku terangkat sedikit, membuatku menjerit lirih. Napasku patah-patah, dadaku naik turun cepat, tubuhku bergetar tanpa henti.
“Mas… jangan berhenti… terus… terus… hujam lebih kuat lagi.. oouchh.. suaraku pecah, parau, penuh kepasrahan.
Raka menempelkan dahinya ke dahiku, napasnya kasar menyapu wajahku. Tangannya menahan kedua pergelangan tanganku di atas kepala, menahanku agar tak bisa menutup tubuhku lagi. Dengan posisi itu, aku benar-benar terbuka, tak ada lagi yang bisa kusembunyikan.
“Lus… kamu milikku… semua milikku,” bisiknya keras di telingaku, diiringi dorongan yang lebih dalam.
Aku menggeliat, kakiku semakin menekan pinggangnya, tubuhku makin hanyut dalam ritme liar yang ia ciptakan. Setiap kali ia menghujam, tubuhku bergetar hebat, nyaris membuatku pingsan oleh rasa nikmat yang menghantam tanpa ampun.
Gudang sempit itu penuh dengan suara napas kami yang berpacu, desahan yang tak bisa kucegah, dan derak kardus yang nyaris rubuh. Keringatnya menetes ke kulitku, bercampur dengan keringatku sendiri.
Aku menatap matanya sekali lagi, dan detik itu aku merasa benar-benar telanjang, bukan hanya tubuh, tapi juga jiwaku. Malam itu, aku sudah jadi milik Raka seutuhnya, tanpa sisa.
Tubuh dalam Irama yang Makin Intens
Raka menindihku perlahan di atas tumpukan kardus besar yang tersusun agak berantakan. Kardus-kardus itu berderak di bawah tubuh kami setiap kali ia bergerak, bahkan ada beberapa yang tergelincir jatuh ke lantai, menimbulkan suara berisik yang sama sekali tak bisa menghentikan kami.
Aku telungkup, kedua tanganku menumpu lemah di permukaan kardus yang ringkih. Napasku terengah, wajahku menempel pada permukaannya yang kasar. Punggungku terasa berat saat tubuh Raka menempel rapat, keringatnya menetes di kulitku, membuatku menggeliat tanpa sadar.
“Mas… aku udah nggak kuat…” suaraku bergetar, nyaris hanya berupa desahan.
Dari belakang, Raka meraih kedua pergelangan tanganku dan menahannya ke depan, membuatku tak berdaya. Nafasnya memburu di telingaku, lalu bibirnya mencium dan menggigit lembut bahuku. “Fan… mulai sekarang, kamu milikku. Aku nggak akan pernah lepasin kamu…”
Aku meringis kecil, antara malu dan tak sanggup lagi menahan diri. Tubuhku bergerak mengikuti setiap desakan darinya, membuat tumpukan kardus di bawahku makin berantakan, bahkan hampir runtuh. Aku mencengkeram permukaan kardus dengan jari bergetar, desahanku makin keras meski aku berusaha menahan.
Tiba-tiba, Raka menarik pinggangku, membuatku setengah duduk. Ia lalu duduk di atas tumpukan kardus, menarikku ke pangkuannya. Aku terlonjak kecil, tapi langsung terperangkap dalam pelukannya dari belakang. Dada bidangnya menempel erat di punggungku, sementara satu tangannya melingkari pinggangku, menahan tubuhku agar tetap rapat dengannya.
Tangan satunya naik, menyusuri perutku, lalu mengusap dadaku dengan penuh hasrat. Aku menjerit lirih, kepalaku terkulai di bahunya. Rambutku berantakan menempel di kulitnya yang basah oleh keringat. “Mas… badanku udah nggak kuat lagi…” ucapku patah-patah, nyaris tenggelam oleh napasku sendiri.
Raka menciumi pipi dan leherku dari samping, meninggalkan gigitan lembut yang membuatku makin lemas. Tubuh kami berayun liar bersama, mengikuti irama yang semakin keras. Kardus-kardus di bawah kami terus berderak, beberapa jatuh ke lantai, tapi aku tak peduli lagi.
Aku hanya bisa memejamkan mata, mulutku terbuka mengerang tanpa henti. Tubuhku seolah hancur dalam pelukannya, tapi justru di situlah aku merasa benar-benar menyatu dengannya, sepenuhnya pasrah, seutuhnya miliknya.
Klimaks
Gerakan Raka makin keras sampai akhirnya tubuhnya menegang kaku di belakangku. Aku menjerit kecil ketika batangnya menghantam paling dalam, lalu seketika terasa semburan hangat yang deras menyembur ke dalam rahimku. Cairan itu memenuhi ruang sempit di dalam, membuatku bergetar hebat.
“Ahhh… Mas… keluar semua di dalemku…” suaraku pecah, tubuhku ikut kejang saat denyut batangnya memompa lagi dan lagi, menyemburkan cairan panas tanpa henti.
Aku terkulai, napasku terengah, tanganku mencengkeram kardus hancur di bawahku. Tubuhku lemas, tapi Raka masih menahanku erat, dadanya menempel di punggungku. Nafasnya berat di telingaku, “Lus… rasain semua punyaku… kamu udah jadi milikku.”
Getaran terakhir akhirnya reda. Raka menarik napas panjang, tubuhnya masih menindihku dari belakang. Perlahan batangnya melunak, tapi aku bisa merasakan jelas cairan hangat itu mulai mengalir keluar, menetes di sela pahaku, licin dan lengket. Aku menggeliat kecil, wajahku merah padam, “Mas… rasanya anget banget… sampe netes keluar…” bisikku pelan.
Raka memelukku makin erat, salah satu tangannya mengusap perutku yang masih naik-turun cepat. Ia menunduk mencium leherku dengan lembut, berbeda dengan gerakannya yang tadi brutal. “Biarin aja, Lus… itu tandanya kamu udah penuh sama aku. Aku pengen kamu inget rasanya.”
Aku menutup mata, tubuhku benar-benar lemas, hanya bisa bersandar penuh pada kekuatannya. Kaki dan tanganku gemetar, sementara tetesan cairan hangat itu terus mengalir, membasahi pahaku, membuatku semakin pasrah.
Raka menepuk pelan pahaku, lalu membaringkanku di atas tumpukan kardus yang sudah hancur. Ia ikut berbaring di sampingku, memeluk tubuhku yang basah dan lengket itu. “Istirahat dulu… aku jagain kamu,” ucapnya pelan sambil mengecup keningku.
Aku hanya bisa mengangguk kecil, suaraku nyaris hilang. “Iya, Mas…”
Di gudang yang sempit, dengan tubuh basah oleh keringat dan cairan yang masih menetes di antara kakiku, aku tenggelam dalam pelukan Raka—lelah, pasrah, tapi untuk pertama kalinya merasa benar-benar dimiliki.
Pegawai Minimarket Lainnya
Belum sempat nafasku teratur setelah tubuhku dikuras habis oleh Raka, tiba-tiba pintu gudang minimarket berderit terbuka. Dua orang pria berseragam sama masuk dengan senyum penuh maksud. Suasana panas di ruangan sempit itu seakan langsung semakin menyesakkan.
Aku refleks merapatkan kedua tangan ke dada, wajahku merah dan tubuhku gemetar, tapi Raka masih memeluk pinggangku dari belakang. “Lus… mereka teman aku,” bisiknya di telingaku. “Mereka pengen ikut. Kamu siap?”
Aku menoleh, menatap mata Raka yang dalam. Degup jantungku berpacu cepat, rasa malu dan tegang bercampur jadi satu. Tapi tubuhku masih berdenyut, masih haus. Perlahan aku mengangguk. “Iya, Mas… kalau sama kamu aku nurut.”
Raka mengecup keningku singkat lalu melepas tubuhku. Kedua temannya langsung maju mendekat. Seragam minimarket mereka terlepas cepat, menyisakan tubuh keringat dan batang yang sudah tegak, berdenyut menantang di depan wajahku.
Aku masih terduduk di atas tumpukan kardus yang sudah berantakan. Rambutku awut-awutan, pipiku memerah, dan napasku tersengal. Salah satu dari mereka berdiri tepat di hadapanku, tangannya menepuk pelan pipiku sambil menunduk.
“Pakai mulutmu,” ucapnya dengan suara berat penuh perintah.
Aku menelan ludah, tubuhku bergetar. Tanganku meraih pangkal pahanya, lalu perlahan mendekat. Saat bibirku terbuka, ia langsung mendorong pinggulnya maju—batangnya menghujam masuk ke mulutku dalam sekali gerakan.
Aku terlonjak kecil, mataku terpejam, mendesah tertahan. Rasa penuh dan padat memenuhi rongga mulutku, membuatku sempat tersedak kecil. Tapi tangan kasar di belakang kepalaku menahan, memaksaku menerima setiap hentakan.
“Ahhh… iya… gitu…” desisnya, sementara pinggulnya terus maju mundur, batangnya menghujam dalam ke mulutku berulang kali. Setiap kali ia mendorong lebih keras, suara isapan dan desahku bergema di gudang yang sempit itu.
Raka berdiri di sampingku, tangannya mengusap rambutku, wajahnya menatap puas. “Bagus, Lus… nikmatin aja. Aku di sini.”
Air liurku menetes dari sudut bibir, daguku basah. Awalnya ada rasa asing, sedikit jijik, tapi setiap hentakan yang memenuhi mulutku justru memicu panas di seluruh tubuhku. Aku mendapati diriku mulai terbawa arus, menjilat dan menghisap batang itu lebih dalam, seakan tubuhku menerima peran baruku tanpa perlawanan.
Napas pria di depanku semakin berat, tangannya mencengkeram kepalaku lebih kuat. “Ahhh… aku nggak tahan lagi…!” Dan detik berikutnya, semburan hangat deras menghujam tenggorokanku, membuatku tersedak tapi tubuhku justru bergidik hebat seakan tersapu arus listrik.
Aku menutup mata, air mata kecil jatuh di pipi, bukan karena sakit tapi karena ledakan sensasi yang anehnya membuatku semakin pasrah. Saat cairan hangat itu tumpah di mulutku, aku merasakan tubuhku ikut bergetar hebat, seperti terseret arus gairah yang tak bisa dihentikan.
Raka membelai kepalaku, membiarkanku menelan semuanya perlahan. Sementara temannya terengah di depanku, masih menahan kepalaku seakan enggan melepasku.
Belum sempat aku mengatur napas, pria kedua maju mendekat. Tubuhnya lebih besar dan sorot matanya jauh lebih buas. Ia menarik temannya yang sudah mundur lalu berdiri tepat di depanku. Batangnya sudah tegak keras berkilat, berdenyut liar seolah tak sabar.
Tangannya meraih rambutku kasar lalu menarik kepalaku mendongak. Aku mendesis kecil, tapi tubuhku justru bergetar makin panas. “Sekarang giliranku. Buka mulutmu lebar,” ucapnya dengan nada memerintah.
Aku menatapnya dengan mata setengah terpejam, wajahku merah, bibirku masih basah. Perlahan aku membuka mulut, tapi ia tidak sabar. Pinggulnya langsung menghantam, batangnya menghujam mulutku kuat-kuat hingga ujungnya menabrak dalam tenggorokanku.
Aku terlonjak, tersedak, suara “khhh” keluar tertahan. Air liur langsung bercampur dengan hentakan keras itu. Tangannya menahan belakang kepalaku kuat, mencegahku menghindar. Mulutku penuh dan sesak, tapi tubuhku malah semakin panas.
“Ahhh… iya… gitu terus. Rasain dalamnya,” desisnya sambil terus menghujam mulutku lebih cepat. Setiap hentakan membuat kepalaku terdorong ke belakang lalu tertarik lagi, hingga rambutku berantakan menempel di wajah dan keringat.
Aku mengerang tertahan, mataku berair, tapi lidahku refleks melingkari batangnya. Setiap kali ia menghantam kasar, suara “slurrppp… glukkk…” terdengar jelas. Air liurku meleleh, menetes ke dagu, jatuh membasahi seragam minimarketku yang sudah kusut.
Raka berdiri di samping sambil menatapku tajam, wajahnya penuh gairah. “Lus… kamu nurut aja… kasih dia semua. Aku suka lihat kamu gini.”
Aku hanya bisa mendesah tercekik, tubuhku merinding, setiap dorongan mulutku terasa makin brutal. Tangannya mencengkeram kepalaku lebih kuat, menghantamkan batangnya tanpa ampun. Dadaku naik turun cepat, sementara suara isakan kecil bercampur desahanku.
Tiba-tiba hentakannya semakin cepat, makin dalam, hingga aku hampir tak bisa bernapas. Lalu dalam satu dorongan keras, ia menahan kepalaku rapat di pangkalnya. Aku merasakan semburan panas deras menyembur langsung ke tenggorokanku, begitu kuat hingga aku terpaksa menelan semuanya.
Mataku terpejam rapat, tubuhku bergetar, air mata menetes. Cairan itu meluber keluar dari sudut bibir, menetes ke dagu dan leherku. Aku mendesah panjang, tubuhku merinding seolah dihantam gelombang nikmat yang brutal sekaligus memabukkan.
Ia melepaskan kepalaku dengan kasar, membuatku terhuyung sedikit ke belakang, mulutku masih basah dan terbuka. Napasku terengah, wajahku merah, rambutku acak-acakan. Raka langsung meraih bahuku, menopang tubuhku agar tidak jatuh.
Mereka Masih Belum Puas
Raka menarikku hingga terhuyung, tubuhku jatuh setengah terduduk di lantai gudang. Dada bidangnya langsung menindihku dari depan. Nafasnya memburu, panas kulitnya menempel erat di tubuhku. Tangannya meraih buah dadaku, meremas keras tanpa ampun, sementara bibir dan giginya bergantian melumat putingku dengan rakus, seolah ingin menandai setiap lekukku. Aku menjerit kecil, setengah sakit, setengah nikmat, tubuhku melengkung menahan derasnya serangan itu.
Tak puas, Raka segera membalik tubuhku dengan kasar. Aku dipaksa merangkak di atas tumpukan kardus yang sudah hancur berantakan. Lututku gemetar, tanganku menumpu rapuh di permukaan sobek. Dari belakang, ia menunduk, menindih punggungku dengan dada panasnya. Satu tangannya meraih ke depan, masih mencengkeram buah dadaku, sementara tubuhnya mulai menghantam keras dari belakang. Setiap dorongan membuatku terdorong ke depan, dada menghantam kardus, nafasku putus-putus, kepalaku hampir tak bisa terangkat.
Di saat itulah salah satu temannya, Andi, mendekat dari samping. Ia jongkok di hadapanku, menatapku yang sudah setengah linglung. Tangannya menarik rambutku kasar, memaksa wajahku mendongak ke arah batangnya yang sudah menegang keras. “Pakai mulutmu…” desisnya berat.
Tubuhku kini benar-benar terjepit dari dua arah—Raka menghujam brutal dari belakang, sementara Andi memaksa batangnya menghantam mulutku dari depan. Sensasi itu terlalu intens, brutal, membuatku hanya bisa pasrah, tubuhku bergetar hebat menanggung kenikmatan yang datang bersamaan dari dua sisi.
Belum sempat aku menenangkan diri, teman Raka yang satunya lagi, Bimo, maju mendekat dengan wajah penuh nafsu. Sambil membuka resleting celananya ia mendesis kasar, “Kita hajar nih cina barengan.”
Tubuhku langsung ditarik dan dijatuhkan telentang di lantai gudang yang dingin. Kardus-kardus yang sudah hancur berserakan jadi alas tipis di bawahku. Nafasku masih tersengal ketika mereka bertiga mengitari tubuhku.
Raka, dengan sorot mata liar, segera menahan kedua kakiku lalu membukanya lebar. Ia langsung menunduk di antara pahaku, batangnya menegak keras, lalu tanpa basa-basi menancap dalam ke dalam vaginaku. Dorongannya kuat, menghantam hingga tubuhku terangkat sedikit dari lantai. Aku menjerit, tangan meremas lantai kardus.
Sementara itu, Bimo berjongkok diatas badanku, meraih kedua buah dadaku dengan kasar. Batangnya ditekan di antara belahan payudaraku, tangannya merapatkan agar dagingku menjepitnya erat. Setiap kali ia mendorong, batangnya meluncur naik turun di antara dadaku, ujungnya hampir menyentuh daguku.
Di saat bersamaan, Andi yang sejak tadi penisnya kukulum langsung mengambil posisi mengangkangi wajahku, meraih rambutku dan mengarahkan batangnya ke bibirku. Aku sempat meringis, tapi gairah yang menguasai tubuh membuatku membuka mulut. Batangnya langsung menghujam masuk, memenuhi ronggaku hingga aku terpaksa mengerang tercekik.
Kini tubuhku digarap dari tiga sisi sekaligus—Raka menghantam brutal dari bawah, Bimo menekan batangnya di antara dadaku, sementara Andi menancap dalam-dalam ke mulutku. Tubuhku terjepit, terguncang hebat, setiap inci kulitku dipenuhi sentuhan kasar mereka. Suaraku teredam di batang Andi, napasku berantakan, sementara tubuhku terus dihantam gelombang kenikmatan yang makin tak terkendali.
Raka menghantamku semakin keras, suara desakan tubuhnya beradu dengan basahnya dagingku membuat seluruh ruang gudang dipenuhi bunyi cabul. Nafasku sudah tak terkendali, tanganku gemetar menekan lantai.
Bimo menekan dadaku makin kencang sambil menggerakkan pinggulnya cepat. Batangnya meluncur kasar di antara buah dadaku yang terjepit erat di genggamannya. “Dasar cina jalang… tetekmu enak banget buat ngejepit batangku,” desisnya sambil menampar ringan pipiku.
Andi menarik rambutku kencang sambil mendorong batangnya dalam ke tenggorokanku. Aku mengerang tercekik, air mata mengalir di sudut mataku, tapi mulutku tetap dipaksa menerima semuanya. “Liat nih, mulut kecilmu cuma pantas buat ngelayanin batang kami. Jilat lebih dalam, pelacur!” umpatnya sambil menghentak kasar.
Tubuhku terjepit dari tiga sisi. Raka menghujam liar ke dalam vaginaku, setiap hentakannya membuat tubuhku berguncang hebat. “Lus… tubuhmu udah jadi milik kita bertiga! Rasain, dasar cina doyan batang!” ia meraung penuh gairah.
Aku hanya bisa merintih, seluruh tubuhku panas terbakar, basah, lelah, tapi juga terus terlempar ke puncak yang berulang kali mematahkan nafasku. Getaran hebat menyapu tubuhku, membuatku meraung tertahan di batang Andi.
Lalu semuanya pecah bersamaan. Raka menghujam sedalam mungkin lalu menyembur deras di dalam rahimku, membuatku menjerit panjang. Bimo menggeram keras, batangnya menyemburkan cairan hangat di antara dadaku, melumuri kulitku. Andi menekan kepalaku lebih dalam ke pangkuannya, lalu menyemburkan muncrat ke tenggorokanku, memaksaku menelan habis semburan panasnya.
Suara desahan, erangan, dan umpatan kasar bercampur jadi satu, memenuhi ruangan sempit itu. Tubuhku lemas, basah, penuh jejak mereka, hanya bisa terkulai telentang di lantai kardus yang remuk, sementara tiga lelaki itu terengah di sekelilingku.
Tubuhku masih terkulai lemas di lantai, napasku terengah, keringat bercampur dengan cairan hangat yang menetes di sekujur tubuhku. Aku pikir mereka akan berhenti setelah puas menyemburkan semuanya ke dalam dan ke atas tubuhku. Tapi ternyata tidak.
Raka menampar ringan pahaku yang gemetar, membuatku tersentak kecil. “Hei, jangan pingsan dulu, Lus. Pelacur kayak kamu nggak boleh berhenti cuma gara-gara udah keluar berkali-kali.” Suaranya berat, tapi ada nada mengejek yang membuatku justru semakin panas.
Andi masih berdiri di samping kepalaku, batangnya yang lengket digesekkan ke pipiku, memaksa sisa cairan yang menetes masuk ke mulutku. “Jilat, dasar cina jalang. Habis kita pake, kamu tetap harus bersihin. Itu tugasmu.” Tangannya menarik rambutku kasar, dan anehnya aku menurut, lidahku bergerak patuh, bahkan sambil merintih nikmat.
Bimo menekan batangnya yang setengah lemas di antara dadaku lagi, menggosok-gosokkannya sambil terkekeh. “Tetekmu emang diciptain buat ngejepit batang pribumi. Liat nih, meskipun udah lemas, badanmu masih minta digarap.” Ia menampar dadaku hingga bergetar, lalu menjepitkan batangnya lagi seolah tak rela berhenti.
Tubuhku bergetar kecil, bukan lagi karena kelelahan semata, tapi karena setiap perlakuan kasar mereka malah menyalakan gairah aneh di dalam diriku. Aku merintih, setengah menangis tapi bibirku membisik lirih. "Aku suka direndahin kayak gini..
Mereka bertiga saling pandang, lalu tertawa rendah penuh ejekan. Raka menunduk, menjambak rambutku hingga wajahku menghadapnya. “Lus.. kamu emang parah. Udah dijadikan mainan, diperlakukan kayak sampah, tapi malah suka. Ia meludahi bibirku, lalu menciumku rakus, membuatku pasrah sekaligus semakin terhanyut.
Aku sadar betul, seharusnya aku marah, merasa dipermalukan. Tapi entah kenapa tubuhku justru menerima semuanya, haus akan perlakuan kasar itu. Aku terbaring di lantai gudang minimarket yang pengap, penuh keringat dan cairan tubuh, tapi justru merasa hidup—karena setiap detik, mereka membuatku semakin tenggelam dalam nikmat brutal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Jaka yg sama? Jago banget raka
BalasHapusraka and gang menaklukan cewe cewe innocent
BalasHapus