Langsung ke konten utama

Dikerjai Mbah Dukun Sampai Lemas

Tak terasa sudah hampir 5 tahun lamanya aku menjalani kehidupan berumah tangga dan awalnya memang terasa begitu indah. Kata orang aku cukup beruntung karena memiliki seorang suami yang cukup mapan dalam masalah ekonomi. Bagaimana tidak karena ia adalah seorang pengusaha yang sukses dan memiliki banyak bisnis diluar sana. Ternyata memiliki banyak kekayaan tak menjamin kebahagiaan seseorang buktinya kehidupan rumah tanggaku selalu diwarnai oleh pertengkaran yang membuatku menderita.

Apalagi belakangan ini aku mendengar cerita kalau suamiku ada hubungan gelap dengan seorang sekertarisnya dikantor. Sebagai seorang pengusaha sukses tentu banyak wanita yang ingin mendekatinya termasuk para karyawan wanita yang bersikap genit padanya.Tanpa mencek lebih lanjut kebenarannya, aku langsung mempercayai cerita tersebut. Yang terbayangkan saat itu cuma nasib dua anakku yang masih kecil hingga aku terus bertahan dalam masalah ini.

Secara fisik, sebetulnya aku masih menawan karena rajin melakuakn perawatan tubuh diberbagai salon kecantikan yang biayanya memang tidak murah.Cuma biasalah yang namanya lelaki, walau secantik apapun isterinya, tetap akan terpikat dengan orang lain.

Demi mencari tahu lebih lanjut aku sering menyuruh sopir pribadiku untuk mengawasi gerak gerik suamiku selama diluar rumah dan menurut laporannya bahwa ia kerap melihat suamiku masuk kedalam hotel bersama sekertarisnya itu. Aku memang tak melihat sendiri kejadian itu namun aku cukup mempercayai perkataan sopirku tsb. Banyak sekali perubahan yang kurasakan pada diri suamiku karena belakangan ini ia mulai sering bekerja lembur atau pergi keluar kota untuk urusan bisnis selama beberapa hari dan membuatku semakin curiga saja. Pertengkaran demi pertengkaran semakin sering terjadi diantara kami hingga membuat suasana rumah semakin tidak nyaman. Dalam kekalutan pikiran ini maka aku pun mulai berpikir diluar logika dan menerima sebuah saran dari sopirku.

“hmm kamu yakin melihat suamiku masuk kedalam hotel bersama sekertarisnya tarno ?
“iya bu. Pokoknya gak salah lagi deh. Kan aku tahu sekertarisnya bapak dikantor. Ujar Tarno
“dasar sekertaris sialan.. berani beraninya dia mau rebut suamiku.. pokoknya aku akan kasih pelajaran buat dia. ujar Evelina

“ehehh jangan emosi dulu bu. Kalau menurut saya sih, bapak pasti sudah kena guna guna dari dia. makanya sikapnya jadi kasar terus sama ibu kan. Seandainya ibu mendamprat wanita itu pasti nanti dia lebih memilih pergi bersama wanita itu. Ucap Tarno 

“hhmm ucapanmu masuk akal juga no. apa kamu punya saran yang bagus ? ujar evelina

“gini aja bu. Gimana kalau ibu ikut saya bertemu mbah dukun yang bisa menghilangkan guna guna tsb. nanti juga suami ibu bakal balik lagi koq hehe.. ujar Tarno

“ahhh yang bener kamu no. kamu yakin dia bisa bantu mengenai masalah ini. Ujar evelina

“kalau menurut saya sih. gak ada salahnya ibu mencoba dulu siapa tau berhasil kan heheh.. ujar Tarno

“ya baiklah. Kalau gitu besok kamu antar aku kerumah dukun itu supaya masalah ini bisa cepat selesai. Ujar evelina

Diam-diam aku pergi ke rumah seorang dukun itu dan diantar oleh sopirku yang katanya pernha berkunjug kesana. Aku pergi tanpa pengetahuan siapa pun, walau teman karibku sekalipun karena aku tak mau urusan ini diketahui oleh orang lain yang tentunya akan membawa aib bagi keluargaku.

Mbah Sule adalah seorang dukun yang tinggal di sebuah kampung kecil dipinggiran kota, jadi tentulah orang-orang sekitarku tidak akan tahu rahasia aku berjumpa dengannya. Di situlah berawalnya titik hitam dalam hidupku hingga hari ini. Secara fisik Mbah Sule orangnya kurus dan pendek dengan wajah yang sedikit mesum. Tingginya mungkin tak jauh dari 155 cm dan kalau sedang berdiri ia hanya sepundaku. Usianya kutaksir sekitar 40-an, menjelang setengah abad. Ia mempunyai janggut putih yang cukup panjang sementara gigi dan bibirnya menghitam karena sering merokok.



Aku masih ingat saat itu Mbah Sule mengatakan bahwa suamiku telah terkena guna-guna orang. Ia lalu membuat suatu ramuan yang katanya air penawar untuk mengelakkan diriku dari terkena santet wanita tersebut dan menyuruhku meminumnya. Setelah kira-kira lima menit meminum air penawar tersebut kepalaku menjadi ringan. Perasaan gairah yang tidak dapat dibendung melanda diriku secara tiba-tiba.

Mbah Sule kemudian menyuruhku berbaring telentang di atas tikar ijuk di ruang tamu rumahnya. Setelah itu ia mulai membacakan sesuatu yang tidak kupahami dan menghembus berulang kali ke seluruh badanku. Saat itu aku masih lengkap berpakaian baju dress yang biasa kupakai untuk pergi berjalan jalan diluar.Setelah itu aku merasa agak mengkhayal. Antara terlena dan terjaga aku merasakan tangan Mbah Sule bermain-main di kancing baju kurungku. Aku tidak berdaya berbuat apa-apa melainkan merasakan gairah yang amat sangat dan amat memerlukan belaian lelaki. Kedua buah dadaku terasa

amat tegang di bawah braku. Putingku terasa menonjol. Celah kemaluanku terasa hangat dan mulai becek.

Aku dapat merasakan Mbah Sule mengangkat kepalaku ke atas bantal sambil merapikan rambutku. Selanjutnya ia menanggalkan pakaianku satu-persatu. Setelah aku berbaring tanpa sehelai pakaian pun

lalu Mbah Sule mulai menjilat bagian dadaku dahulu dan selanjutnya mengulum puting buah dadaku dengan rakus. Ketika itu aku terasa amat berat untuk membuka mata.

Setelah aku mendapat sedikit tenaga kembali, aku merasa sangat bergairah. Kemaluanku sudah mulai banjir. Aku berhasil menggerakkan tanganku dan terus menggapai kepala Mbah Sule yang sedang berada dicelah selangkanganku. Aku menekan-nekan kepala Mbah Sule dengan agak kuat supaya jilatannya lidahnya masuk lebih dalam lagi. Aku mengerang sambil membuka mataku yang lama terpejam. Alangkah terkejutnya aku saat aku membuka mataku terlihat dalam samar-samar ada dua sosok lain sedang duduk bersila menghadapku dan memandangku dengan mata yang tidak berkedip.

“Bu evelina. tegur seorang lelaki yang sepertinya sangat kukenali dan ia duduk di sebelah kanan badanku yang telanjang bulat.

“Tarno jeritku dalam hati.

Aku agak kalang kabut dan malu dan coba meronta untuk melepaskan diri dari genggaman Mbah Sule.

Menyadari bahwa aku telah sadarkan diri, Mbah Sule mengangkat kepalanya dari celah selangkanganku dan bersuara. “Tak apa Bu, mereka berdua ini anak murid saya,” ujarnya sambil jarinya bermain kembali menggosok-gosok kemaluanku yang basah kuyup.

Sebelah lagi tangannya digunakan untuk mendorong kembali kepalaku ke bantal. Aku seperti orang yang sudah kena sihir terus berbaring kembali dan melebarkan kangkanganku tanpa disuruh. Aku memejamkan mata kembali. Mbah Sule mengangkat kedua kakiku dan diletakkannya ke atas bahunya. Saat dia menegakkan bahunya, punggungku juga ikut terangkat.

Mbah Sule mulai menjilat kembali bibir vaginaku dengan rakus dan terus dijilat hingga ke ruang antara vagina dan duburku. Saat lidahnya yang basah itu tiba di bibir duburku, terasa sesuatu yang menggelikan bergetar-getar di situ. Aku merasa kegelian serta nikmat yang amat sangat.

“Tarno, Kau pergi ambil minyak putih di ujung tempat tidur. Kau Ramli, ambil kemenyan dan bekasnya sekalian di ujung itu. perintah Mbah Sule kepada kedua anak muridnya.

Aku tersentak dan terus membuka mata.

“Bu ini rawatan pertama, duduk ya,” perintah Mbah Sule kepadaku.

Aku seperti kerbau dicocok hidung langsung mengikuti perintah Mbah Sule. Aku duduk sambil sebelah tangan menutup buah dadaku yang tegang dan sebelah lagi menggapai pakaianku yang berserakan untuk menutup bagian kemaluanku yang terbuka.

Setelah menggapai baju dressku lalu kututupi bagian pinggang ke bawah dan kemudian menggunakan tanganku untuk menutupi buah dadaku.

Setelah barang-barang yang diminta tersedia di hadapan Mbah Sule, beliau menerangkan rawatannya. Kedua muridnya malu-malu mencuri pandang ke arah dadaku yang kucoba tutupi dengan tudung tetapi tetap jelas kelihatan kedua payudaraku yang besar dan bulat di bawah tudung tersebut.

“Ini saya beritahu Ibu bahwa ada sihir yang sudah mengenai bagian-bagian tertentu di badan Ibu. Punggung Ibu sudah terkena penutup nafsu dan perlu dibuang.”

Aku cuma mengangguk.

“Sekarang Ibu silakan tengkurep.”

Aku memandang tepat ke arah Mbah Sule dan kemudian pandanganku beralih kepada Tarno dan Ramli.

“Nggak apa-apa, Bu… mereka ini sedang belajar, haruslah mereka lihat,” balas Mbah Sule seakan-akan mengerti perasaanku.

Aku pun lalu tengkurep di atas tikar ijuk itu. Mbah Sule menarik kain baju kurungku yang dirasa mengganggunya lalu dilempar ke samping. Perlahan-lahan dia mengurut punggungku yang pejal putih berisi dengan minyak yang tadi diambilkan Tarno. Aku merasa berkhayal kembali, punggungku terasa tegang menahan kenikmatan lumuran minyak Mbah Sule. Kemudian kurasakan tangan Mbah Sule menarik bagian pinggangku ke atas seakan-akan menyuruh aku menungging dalam keadaan tengkurep tersebut. Aku memandang ke arah Mbah Sule yang duduk di sebelah kiri punggungku.

“Ya, angkat punggungnya,” jelasnya seakan memahami keraguanku.

Aku menurut kemauannya. Sekarang aku berada dalam posisi tengkurep, muka dan dada di atas tikar sambil punggungku terangkat ke atas. Mbah Sule mendorong kedua kakiku agar berjauhan dan mulai melumurkan minyak ke celah-celah bagian rekahan punggungku yang terbuka.

Tanpa dapat dikontrol, satu erangan kenikmatan terluncur dari mulutku. Mbah Sule menambahkan lagi minyak di tangannya dan mulai bermain di bibir duburku. Aku meremas bantal karena kenikmatan. Sambil melakukan itu, jarinya berusaha mencolok lubang duburku.

“Jangan tegang, biarkan saja,” terdengar suara Mbah Sule yang agak serak. Aku coba merilekskan otot duburku dan menakjubkan… jari Mbah Sule yang licin berminyak dengan mudah masuk sehingga ke pangkal. Setelah berhasil memasukkan jarinya, Mbah Sule mulai menggerakkan jarinya keluar masuk lubang duburku.

Aku coba membuka mataku yang kuyu karena kenikmatan untuk melihat Tarno dan Ramli yang sedang membetulkan sesuatu di dalam celana mereka. Aku jadi merasakan semacam kenikmatan pula melihat mereka sedang memperhatikan aku diterapi Mbah Sule. Perasaan malu terhadap kedua muridku berubah menjadi gairah tersembunyi yang seolah melompat keluar setelah lama terkekang!

Setelah perjalanan jari Mbah Sule lancar keluar masuk duburku dan duburku mulai beradaptasi, dia mulai berdiri di belakangku sambil jarinya masih terbenam mantap dalam duburku. Aku memandang Mbah Sule yang sekarang menyingkap kain sarungnya ke atas dengan satu tangannya yang masih bebas. Terhunuslah kemaluannya yang panjang dan bengkok ke atas itu. Tampak sudah sekeras batang kayu!

“Bbbbuat apa ini, Pak….” tanyaku dengan gugup.

“Jangan risau… ini buat buang sihir,” katanya sambil melumur minyak ke batang kemaluannya yang cukup besar bagi seorang yang kurus dan pendek. Selesai berkata-kata, Mbah Sule menarik jarinya keluar dan sebagai gantinya langsung menusukkan batangnya ke lubang duburku.

“ARRrgggghhggh…” spontan aku terjerit kengiluan sambil mengangkat kepala dan dadaku ke atas. Kaki bawahku pun refleks terangkat ke atas.

“Jangan tegang, lemaskan sedikit!” perintah Mbah Sule sambil merenggangkan daging punggungku. Aku berusaha menuruti perintahnya. Setelah aku melemaskan sedikit ototku, hampir separuh batang Mbah Sule terbenam ke dalam duburku.

Aku melihat Tarno dan Ramli sedang meremas sesuatu di dalam celana masing-masing. Setelah berhasil memasukkan setengah zakarnya Mbah Sule menariknya keluar kembali dan lalu memasukkannya kembali sehingga semua zakarnya masuk ke dalam rongga duburku. Dia berhenti di situ.

“Sekarang Ibu merangkak mengelilingi bara kemenyan ini tiga kali,” perintahnya sambil zakarnya masih terbenam mantap dalam duburku.

Aku sekarang seakan-akan binatang yang berjalan merangkak sambil zakar Mbah Sule masih tertanam dengan mantapnya di dalam duburku. Mbah Sule bergerak mengikutiku sambil memegangi pinggangku.

“Pelan-pelan saja, Bu,” perintahnya sambil menahan pinggangku supaya tidak bergerak terlalu cepat. Rupanya ia takut penisnya terlepas keluar dari lubang duburku saat aku bergerak. Aku pun mematuhinya dengan bergerak secara perlahan.

Kulihat kedua murid Mbah Sule sekarang telah mengeluarkan zakar masing-masing sambil bermasturbasi dengan melihat tingkahku. Aku merasa sangat malu tetapi di lain pihak terlalu nikmat rasanya. Zakar Mbah Sule terasa berdenyut-denyut di dalam duburku. Aku terbayang wajah suamiku seakan-akan sedang memperhatikan tingkah lakuku yang sama seperti binatang itu.

Sementara aku merangkak sesekali Mbah Sule menyuruhku berhenti sejenak lalu menarik senjatanya keluar dan lalu menusukku kembali dengan ganas sambil mengucapkan mantera-mantera. Setiap kali menerima tusukan Mbah Sule setiap kali itu pula aku mengerang kenikmatan. Lalu Mbah Sule pun akan menyuruhku untuk kembali merangkak maju. Demikian berulang-ulang ritual yang kami lakukan sehingga tiga keliling pun terasa cukup lama.

Setelah selesai tiga keliling, Mbah Sule menyuruhku berhenti dan mulai menyetubuhiku di dubur dengan cepat. Sebelah tangannya memegang pinggangku kuat-kuat dan sebelah lagi menarik rambutku ke belakang seperti peserta rodeo yang menunggangi kudanya. Aku menurut gerakan Mbah Sule sambil menggoyang-goyangkan punggungku ke atas dan ke bawah.

Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang panas mengalir di dalam rongga duburku. Banyak sekali kurasakan cairan tersebut. Aku memainkan kelentitku dengan jariku sendiri sambil Mbah Sule merapatkan badannya memelukku dari belakang. Tiba-tiba sisi kiri pinggangku pun terasa panas dan basah. Tarno rupanya baru saja orgasme dan air maninya muncrat membasahi tubuhku.

Lalu giliran Ramli mendekatiku dan merapatkan zakarnya yang berwarna gelap ke sisi buah dadaku. Tak lama kemudian air maninya muncrat membasahi ujung putingku. Aku terus mengemut-ngemut zakar Mbah Sule yang masih tertanam di dalam duburku dan bekerja keras untuk mencapai klimaks.

“Arghhhhhhhrgh…” Aku pun akhirnya klimaks sambil tengkurep di atas tikar ijuk.

“Ya, bagus, Bu…” kata Mbah Sule yang mengetahui kalau aku mengalami orgasme. “Dengan begitu nanti guna-gunanya akan cepat hilang.”

Mbah Sule lalu mencabut zakarnya dan melumurkan semua cairan yang melekat di zakarnya ke atas punggungku sampai batangnya cukup kering.

“Jangan basuh ini sampai malam ya,” katanya mengingatkanku sambil membetulkan kain sarungnya.

Aku masih lagi tengkurep dengan tudung kepalaku sudah tertarik hingga ke leher. Aku merasakan bibir duburku sudah longgar dan berusaha mengemut untuk menetralkannya kembali. Setelah itu aku bangun dan memunguti pakaianku yang berserakan satu per satu.

Selesai mengenakan pakaian dan bersiap untuk pulang setelah dipermalukan sedemikian rupa, Mbah Sule berpesan.

“Besok pagi datang lagi ya, bawa sedikit beras bakar.”

Aku seperti orang bodoh hanya mengangguk dan memungut tas sekolahku lalu terus menuruni tangga rumah Mbah Sule.

Semenjak hari itu setiap seminggu sekali aku rutin mengunjungi Mbah Sule untuk menjalani terapi yang bermacam-macam. Tarno dan Ramli yang sedang belajar pada Mbah Sule sedikit demi sedikit juga mulai ditugaskan Mbah Sule untuk ikut menterapiku. Walaupun tidak tahu pasti tapi aku merasa bahwa suamiku perlahan-lahan mulai berubah dan meninggalkan sekertarisnya. Hubungan rumah tangga kami pun berangsur pulih seperti sediakala namun aku masih harus menjalani terapi itu sampai mbah sule memutuskan untuk berhenti. Karena jika aku tak menurutinya maka ia bilang suamiku akan kembali menjalin hubungan gelap dengan wanita lainnya yang tentunya akan membuatku semakin menderita. Selain itu kini sulit rasanya bagiku untuk menyudahi terapiku bersama Mbah Sule dan murid-muridnya. Sepertinya aku sudah kecanduan untuk menikmati terapi seperti itu dan entah sampai kapan akan berakhir.
                          

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Draft Amarah Para Buruh 21

Draft Amarah Para Buruh 20

Lust in Broken Home 4

Lust In Broken Home 5

Terjebak Didalam Kelas

Akibat Kena Gendam Tetanggaku

Kisah Tragis Dikebun Karet

Amarah Para Buruh 10

Amarah Para Buruh 17

Binalnya Ibu Tiriku 4