Langsung ke konten utama

Aku Terpaksa Menanggung Beban Berat Keluarga

Semenjak pensiun dari tempat kerjanya, ayahku berupaya untuk memulai usaha sendiri dengan membuka sebuah bengkel mobil. Semua itu dilakukannya demi membiayai sekolah dua orang adikku dan juga biaya untuk aku masuk kuliah. Awalnya usaha bengkel itu berjalan dengan baik dan pelanggannya pun semakin banyak.

Dari semua pelanggan dibengkel ayahku ada seorang pemilik usaha yang rajin melakukan perawatan kendaraan operasional kantornya dibengkel ayahku. Laki laki itu bernama pak jamal yang sudah kenal lama dengan ayahku. 

Suatu malam ketika bengkel sudah tutup ternyata ada sebuah rumah yang berada dibelakang bengkel mengalami. Kebakaran hebat sehingga merambat mengenai bengkel tsb. 

Mendengar kabar ini ayahku sangat panik dan langsung bergegas melihat kondisi bengkelnya namun karena jarak rumah kami yang cukup jauh maka ayahku pun terlambat datang kesana. Hal ini menyebabkan kerugian besar bagi kami dan malangnya ada beberapa buah kendaraan milik kantor pak jamal yang sedang diperbaiki disana selama beberapa hari ini. 

Kemudian ayahku memberitahukan pada  pak jamal mengenai kejadian ini dan sepertinya ia begitu marah dan menyalahkan ayahku begitu saja bahkan ia meminta ganti rugi pada ayahku.

Karena merasa bersalah maka ayahku bersedia untuk menanggung kerugian mobil kantor pak jamal dan meminta waktu untuk bisa menggantinya. 

Beberapa bulan telah berlalu dan sepertinya ayahku semakin kesulitan untuk mengganti kerugian tsb bahkan kondisi kesehatannya kian memburuk karena stress berat sejak kejadian tsb. 

Semakin hari kondisi Ayah tambah menurun. Kami sekeluarga harus menjual barang-barang berharga kami untuk biaya pengobatan dan membayar cicilan kredit ke bank. Pada bulan ke-enam, kami sudah tidak punya apa-apa lagi yang dapat kami jual, sementara rumah dan mobil sudah diagunkan Ayah ke bank untuk mendapatkan kredit modal usaha sehingga tidak mungkin kami menjualnya.

Sebulan yang lalu, beberapa orang petugas bank datang menagih pembayaran cicilan kredit yang sudah tidak lagi dapat kami bayar selama tiga bulan. Mereka mengancam akan menyita rumah dan mobil apabila kami tidak dapat melunasi tunggakan pembayaran dalam waktu dua minggu. Kami hanya bisa menangis, memohon belas kasihan orang-orang bank itu. Namun, mereka hanya petugas rendahan yang tidak memiliki wewenang besar, sehingga mereka tidak dapat membantu kami.

Di tengah kekalutan, datang seorang laki-laki paruh baya yang bersedia membantu kami. Dia adalah salah seorang kenalan ayahku dulu yang memiliki usaha perkebunan bawang dikampungnya. 

Kami mengenal pria ini sebagai Pak Suhendar. Semua hutang-hutang kami dibayar lunas oleh Pak Suhendar pada hari itu juga. Kami semua sangat senang dan berterima kasih pada Pak Suhendar, karena tanpa dia, kami mungkin harus tinggal di kolong jembatan atau emperan toko.

Malam itu Pak Suhendar datang ke rumah kami dan aku menemani ibu untuk menemuinya. Tak disangka, ketika ibu pergi menengok Ayah di kamar, Pak Suhendar mengatakan hal yang tidak pernah terlintas di pikiranku.

“Kamu sadar, kan. Selly. Utang ayah kamu besar sekali. Saya harus mengeruk tabungan untuk melunasinya.berhubung ayahmu merupakan teman lamaku maka aku bersedia membantunya kali ini. 

Tapi tentunya saya tidak mau itu dianggap cuma cuma. 

Saya harus mendapatkan sesuatu. Saya ingin mendapatkan kamu, selly kata Pak Suhendar

“Ma …. Mmaa …maksud Pak Suhendar, bapak mau mengambil saya sebaga istri?” tanya ku terbata-bata.

“selly selly…Kalau saya mengambil kamu sebagai istri, maka hubungan utang piutang di antara kita akan hilang. Saya tidak mau itu. Saya bilang kan tadi saya ingin mendapatkan kamu, tubuh kamu persisnya. Saya ingin menikmati tubuh kamu sampai saya anggap utang itu lunas,” kata Pak Suhendar sambil menyeringai.

Begitu mendengar keinginan Pak Suhendar, ibuku langsung meminta Pak Suhendar pergi dari rumah kami, namun Pak Suhendar membalas ucapan ibuku dengan mengatakan bahwa dial ah yang sebenarnya berhak untuk mengusir kami dari rumah ini. Pak Suhendar benar dan kami tidak punya alasan lain untuk membantahnya. Aku dan ibu menangis sambil berpelukan. Namun aku sadar bahwa dengan merelakan tubuhku, aku akan dapat menyelamatkan kedua orang tuaku yang sangat aku sayangi. Karena itu, aku mengiyakan permintaan Pak Suhendar.

Malam itu, Pak Suhendar menjadi lelaki pertama yang menyetubuhi aku. Aku merelakan keperawananku untuk membayar utang Ayah.

Di sini, di kamar ini, untuk pertama kalinya aku melayani laki-laki. Pak Suhendar bahkan tidak mau repot-repot menghabiskan uang untuk menyewa kamar hotel untuk menikmati tubuhku. Begitu aku mengiyakan niatnya, dia meminta aku bersiap-siap di kamarku sambil menunggu obat kuat yang diminumnya bereaksi. Aku masih duduk di ujung tempat tidur ketika Pak Suhendar masuk ke kamarku lalu membuka lemari pakaianku dan memeriksa isinya. Saat itu ia melihat sebuah baju cheongsam berwarna merah yang biasa kupakai untuk acara khusus dalam keluargaku. 

Dia langsung menghampiri aku tanpa peduli bahwa dia membiarkan pintu kamarku terbuka lebar dan kemudian membelai rambutku. 

"Sel coba kamu ganti pakaianmu dengan ini. Ujarnya sambil memberikan baju itu padaku. 

Aku tak tahu apa yang ada didalam pikirannya saat itu dan sepertinya ia ingin merasakan sensasi berbeda jika mencumbui diriku dengan pakaian berwarna merah tsb. 

Aku pun menuruti perintahnya dan mengganti pakaianku dengan baju tsb.  Baju cheongsam itu terasa ketat hingga bentuk tubuhku terlihat begitu seksi apalagi belahan bagian bawahnya cukup lebar hingga pahaku yang mulus terlihat jelas. 

Kini kami berdiri saling berhadapan dan  ia mulai memeluk tubuhku sambil mencium bibirku dengan mesra seperti sedang mencium istrinya sendiri.

Kedua tangannya tak bisa diam dan sibuk meremasi buah dada dan juga pantatku dengan nakalnya. 

Wajahku mulai dicumbui olehnya dan lidahnya menyapu bagian bawah telingaku hingga terasa basah. Perlahan ia turun kebagian bawah dan menciumi leherku sambil menikmati aroma harum tubuhku yang menyegarkan. Kini tangannya merayap kearah pahaku melalui belahan samping bawahan bajuku. Sepertinya ia  terlihat begitu menikmati ketika tangannya merayap disana. 

Tiba-tiba dia membuka retsleting celananya dan mengeluarkan batangnya yang sudah tegang. Aku terkesiap. Itu adalah kali pertama aku melihat batang, dan batang itu ada di depan wajahku.

Pak Suhendar menyuruhku berlutut dan meminta aku untuk mengulum batangnya. Dengan tangan gemetar aku memegang batang Pak Suhendar dan memasukkannya ke mulutku. Air mataku berlinang. Betapa tidak, aku yang masih perawan ini pada akhirnya terpaksa harus mengulum batang laki-laki tua. Pak Suhendar menjambak rambutku dan memaksa aku untuk mengocok batangnya dengan mulutku. Meski sempat tersedak, aku berusaha untuk menyenangkan lelaki tua bangka ini. Pak Suhendar menikmati layananku sambil mendesah dan mendesis. 

Setelah beberapa menit berlalu, batang Pak Suhendar menjadi semakin tegang dan Pak Suhendar memegang kepalaku dengan kedua tangnnya sambil mendorong batangnya ke dalam mulutku. Dia mencapai klimaks dan air maninya menyembur keluar di dalam mulut ku. Karena kepalaku tertahan kedua tangan Pak Suhendar, aku terpaksa menelan peju yang keluar agar aku tetap bisa bernafas. Sebagian peju Pak Suhendar meleleh keluar dari mulutku ketika Pak Suhendar menarik keluar batangnya dan tumpah membasahi bajuku.

Aku didudukan dipinggiran ranjang lalu ia membuka kedua pahaku mengangkang. Sambil memegangi pahaku yang tertekuk dan terangkat keatas lalu ia mulai mencumbui bagian selangkanganku. Lidahnya menjilati kemaluanku hingga menimbulkan sensasi aneh dalam diriku. 

Kemudian Pak Suhendar meminta aku membuka semua pakaian yang aku kenakan. Pak Suhendar menjadi lelaki pertama yang pernah melihat aku telanjang bulat. Dia memandangi tubuh mulusku sejenak dan meminta aku rebah di atas tempat tidur, sementara dia melucuti pakaiannya sendiri. Dia naik ke atas tempat tidur dan kedua tangannya mulai mengeranyangi dadaku. Dia meremas payudaraku dengan lembut sambil memainkan pentilnya. Aku terdiam bagaikan patung. Aku berusaha untuk mengabaikan rasa geli yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya pada buah dadaku. Salah satu tangannya meraih ke selangkanganku dan membelai lembut kemaluanku. Sementara itu, dia memainkan lidahnya pada salah satu payudaraku. Aku begitu marah pada diriku sendiri karena aku seharusnya tidak menikmati apa yang dia lakukan pada tubuhku, namun aku tidak kuasa menahannya. Pak Suhendar telah memberikan sensasi yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Sensasi yang membuat aku melambung ke awing-awang.

Tanpa sadar aku membuka lebar-lebar kedua pahaku dan mengerak-gerakkan pantatku. Pak Suhendar membuka bibir kemaluanku dan dengan jari-jarinya dia mulai menggosok-gosok itilku dengan lembut. Mulutnya tak henti-hentinya menyedot pentil buah dadaku. Tubuhku sudah di luar kendaliku sendiri karena nafsu birahi telah menguasaiku. Kini aku yang mendesah dan mendesis. Perlahan-lahan kepala Pak Suhendar berpindah dari dadaku, turun ke perutku dan akhirnya dia menempatkan kepalanya di selangkanganku. Kini dengan lidah dan bibirnya dia melahap kemaluanku. Habis sudah pertahananku. Aku kini bahkan menyodor-nyodorkan kemaluanku sambil memembelai dan sesekali merenggut rambutnya. Sensasi yang tak pernah aku rasakan itu begitu indah dan nikmat.

Melihat aku sudah sangat terangsang, Pak Suhendar berhenti dan mengambil posisi di antara kedua pahaku. Batangnya dia gesek-gesekkan ke itil dan lubang kemaluanku. Aku yang sudah dikendalikan nafsu justru mengangkat pantatku sehingga ujung batang Pak Suhendar menyodok masuk ke lubang kemaluanku. Aku tersentak. Sensasi yang aku rasakan ternyata jauh lebih nikmat sehingga tanpa sadar aku memohon Pak Suhendar untuk cepat-cepat memasukkan batangnya ke kemaluanku yang sudah basah oleh cairanku endiri dan liur Pak Suhendar.

“Masukin, Pak … Masukin …. Aku sudah gak tahan lagi,” kataku.

“Hehehehe … Siapa tadi yang menagis tersedu-sedu gak mau melayani aku? Hahahaha … Nih, aku kasih ….” katanya sambil melesakkan batangnya ke lubang kemaluanku yang masih sempit. “Agak sakit sedikit, kamu tahan ya …”

“Ahhhhhhh …… Shhhhhhh …. Enakkk …Pak,” kataku. Separuh batang Pak Suhendar kini sudah masuk ke dalam kemaluanku. Dia mengerakkan pingulnya maju mundur dengan perlahan. Aku meracau dilanda kenikmatan yang timbul karena gesekan dinding kemaluanku dengan batang Pak Suhendar. Tiba-tiba Pak Suhendar mengigit leherku dan menyentak pinggulnya maju sehingga batangnya masuk semuanya ke kemaluanku.

“Aaaaauuu …. Sakit …. …Pak!” aku tersentak. Selaput daraku kini sudah tembus di dorong batang Pak Suhendar. Namun rasa pedih di leher dan rasa kaget karena digigit secara tiba-tiba membuat aku tidak terlalu merasakan pedih yang timbul karena sobeknya selaput daraku. Pak Suhendar cuma terkekeh.
“Gimana? Gak terlalu sakit kan kemaluan kamu?”
“Enggak Pak, tapi pelan-pelan keluar masuknya. Masih agak nyeri …”

Kemudian Pak Suhendar mulai melakukan gerakan memompanya. Awalnya perlahan-lahan dan kemudian semakin cepat.
“Ahhhhh Hennyiiii …. Nimaaat bangeeeet ….. “ kata Pak Suhendar.

Aku tidak menjawabnya. Aku terlalu sibuk menikmati persetubuhan itu dan sesekali aku mengangkat pantatku untuk menyambut tusukan batang Pak Suhendar di kemaluanku. Aku merangkul dan membelai-belai punggung Pak Suhendar. Aku sudah memperlakukan Pak Suhendar seperti seorang suami. Pak Suhendar mempercepat gerakannya dan aku pun semakin melambung ke angkasa. Aku merasakan dorongan yang sangat kuat di bagian rahimku yang membuat aku seperti mengejan. Reluruh otot-otot di tubuhku mengejang. Kemaluanku berdenyut-denyut.

“AAAAAAAAAAH ……. AAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHH …” aku menjerit keras ketika aku mencapai orgasme pertamaku. Hal yang semula aku lakukan karena terpaksa untuk menyelamatkan martabat orang tuaku ternyata begitu nikmat. Mungkin ini adalah kompensasi yang diberikan Tuhan atas pengorbananku. Tubuhku begitu rileks setelah puncak kenikmatan bersetubuh itu aku capai. Aku terbujur di atas tempat tidur sambil meresapi setiap sensasi yang aku rasakan.

Pak Suhendar yang belum mencapai klimaks tidak terlalu suka dengan kondisi kemaluanku yang sangat basah serta tubuhku yang lemas tanpa reaksi. Dia mencabut batangnya dari kemaluanku dan berganti posisi. Dia menempatkan batangnya di antara kedua buah dadaku. Dia memegang buah dadaku dengan kedua tangannya sehingga batangnya terjepit kedua benda lembut tapi kenyal itu. Lalu dia menggerakkan pinggulnya dan memperlakukan celah di antara kedua buah dadaku seperti yang dia lakukan pada kemaluanku. Aku yang masih lemas karena orgasmeku hanya terdiam memandangi kepala batang Pak Suhendar yang timbul tenggelam dari celah itu. Setelah beberapa menit Pak Suhendar mempercepat gerakkannya dan akhirnya air maninya menyembur membasahi wajah, leher dan payudaraku. Dia pun ambruk di sisiku sambil mengatur nafasnya.

“Bukan main! Asyik sekali yang barusan itu ….” kata Pak Suhendar sambil kembali mengenakan pakaiannya. “Mulai hari ini sampai batas waktu yang aku tentukan nanti, kita akan sering melakukannya. Kamu harus siap kapan pun saya ingin menyelipkan batang ini di kemaluan kamu,” sambungnya sambil berjalan meninggalkan aku yang terbujur lemas di atas tempat tidur.

Begitu aku sadar tentang apa yang telah terjadi, air mataku menitik keluar. Aku tidak menyesali pengorbananku, namun aku menyesali mengapa aku begitu menikmati persetubuhan itu. Aku merasa jijik pada diriku sendiri, tetapi aku tidak bisa memungkiri bahwa kenikmatan yang aku dapat dari persetubuhan itu memang begitu indah. Aku bahkan tidak menyeka mukaku yang berlumuran air mani Pak Suhendar yang bercampur air mataku.

Mak yang rupanya sempat menyaksikan detik-detik terakhir persetubuhanku dengan Pak Suhendar dengan setengah berlari menghambur masuk ke kamar dan menghampiriku “Henny …… Maafkan Mak dan Ayah ya nak. Karena kami kau harus melakukan ini,” kata Mak sambil membersihkan wajah. Leher dan dadaku dari air mani Pak Suhendar dengan sapu tangan yang diambilnya dari meja riasku. (Aku masih menyimpan sapu tangan bernoda air mani Pak Suhendar itu dan sesekali aku menciumi aroma laki-laki yang samar-samar masih tersisa di sana). Aku hanya diam mematung di atas tempat tidurku, tak mapu untuk berkata apa-apa. Mak menutup tubuh telanjangku dengan selimut dan menyuruh aku untuk tidur. Aku pun terlelap sampai pagi.

Sebelum pergi meninggalkan rumah kami, Pak Suhendar sempat menaruh beberapa lembar uang ratusan ribu di atas meja riasku. Aku pergunakan uang itu untuk biaya pengobatan Ayah dan makan sehari-hari. Sejak saat itu, aku telah menjadi gundik pemuas nafsu birahi Pak Suhendar untuk waktu yang aku pun tidak tahu berapa lama. 

Pagi tadi, ketika aku pulang dari supermarket yang berada dekat rumahku. aku bertemu Pak Suhendar di dekat tempat parkir kendaraan. Dia sedang berdiri sambil mengamati sekelilingnya.Pak Suhendar menyapaku dan meminta aku untuk berhenti sebentar.

“Wah baru selesai belanja rupanya …” kata Pak Suhendar.
“Ya, Pak … Untuk kebutuhan bulanan. jawabku.

“Sini kamu. Aku kepingin sarapan dulu,” katanya sambil menarik tanganku untuk mendekatinya.

Menyadari posisiku yang lemah, aku tidak berani melawan. Begitu aku berdiri di sampingnya, Pak Suhendar membuka retsleting celananya dan aku mengerti apa yang dia mau. Aku berjongkok disamping mobilnya dan mulai mengulum batangnya. Sambil terus mengawasi keadaan diseklilingnya, Pak Suhendar menikmati “sarapan pagi” yang sedang aku berikan. Aku pegang batangnya dan aku gerak-gerakkan kepalaku maju mundur sehingga kepala batangnya keluar masuk dari mulutku.

Sesekali aku jilati ujung batangnya sambil beristirahat. Pak Suhendar begitu menikmatinya sehingga dia mengerang, mendesis bahkan kadang bergumam tidak jelas. Suaranya membuat orang-orang yang sedang membuat sumur bor menoleh ke arah kami. Malu juga rasanya ditonton orang, walau hanya cuma beberapa kepala saja.

batang Pak Suhendar sudah begitu tegang dan keras. Dia meminta aku berdiri dan melepas celana dalamku. Semula aku menolak. “Masak di sini sih, Pak … Kan gak enak ditonton orang,” kataku. “Tenang saja … Ayo cepat buka,” katanya sambil mengocok-ngocok batangnya dengan tangannya sendiri. 

Aku angkat rokku dan aku copot celana dalamku dengan hat-hati agar kemaluanku tidak terlihat oleh orang-orang di ladang atau Pak Jono yang berdiri tidak jauh dari kami, setelah itu aku lipat dan taruh di keranjang belanjaanku. Pak Suhendar meminta aku berdiri di samping mobil dan menaruh kedua tanganku di atas kapnya. Pak Suhendar kemudian berdiri di belakangku dan menyingkap bagian belakang rokku. Pantatku yang telanjang terasa dingin diterpa angin. Aku malu sekali karena pantatku bisa dilihat oleh banyak orang sekarang. 

Akan tetapi bayangan akan disetubuhi di udara terbuka dan disasksikan orang banyak membuat aku agak terangsang. Pak Suhendar sempat tersenyum begitu dia menyentuh kemaluanku dari belakang, karena kemaluanku ternyata sudah cukup basah.

“Wah sudah basah nih, sudah kepingin ya?” katanya. “Baguslah, coba bungkukkan badanmu sedikit biar saya gampang masuk,” sambungnya.

Aku mnegikuti keinginannya. Badanku aku bungkukkan sedikit sehinga pantatku agak menonjol ke belakang. Kakiku dilebarkan. Akhirnya, hal itu pun terjadilah. batang Pak Suhendar masuk ke dalam kemaluanku yang masih sempit ini. 

Pak Suhendar masih agak kesulitan menembus lubang di selangkaganku. Pelan-pelan dengan dibimbing tangannya batang Pak Suhendar akhirnya melesak masuk. Badanku agak bergetar begitu aku merasakan gesekan batang Pak Suhendar pada dinding-dinding dalam kemaluanku. Perlahan-lahan Pak Suhendar mulai menggenjot batangnya keluar masuk kemaluanku.

“Ahhhhh ….. Aaaaahhhhhhh …. Aaaaaaahhhhhhh….” desahku pada setiap tusukan. Aku menggoyang pinggulku untuk mengimbangi genkotan Pak Suhendar. “Shhhhhhh …. Yeeeeeaaahhhhhh …… Aaaaaaahhhh …” aku terus mendesah.

“Nikmat sekali … Goyang terus, selly … Yaaaa …… Kayak gituuuuu …… Uuuuuuuhhhhhhh …..” kata Pak Suhendar. Tangan Pak Suhendar memegangi pinggangku setiap kali dia mendorong batangnya masuk ke kemaluanku. Sesekali dia meremas buah dadaku dari balik baju.

Sensasi bersetubuh di pinggir jalan dengan beberapa orang yang menyaksikannya sangat luar biasa buat aku. Aku merasa seperti wanita jalang yang hanya punya satu tujuan hidup: seks. Aku sangat menikmati persetubuhan itu sehingga tanpa sadar aku mengeleng-gelengkan kepalaku sambil terus mendesah, mendesis dan bahkan berteriak. Kenikmatan itu sudah mengambil alih kendali atas tubuhku.

“Lebih cepat, Pak …. Lebih cepat ….. Yeeeeeaaaaaahhhh …. Shhhhh …. Genjot lebih cepaaaaat …. Aku sudah mau keluar.

Pak Suhendar pun memenuhi permintaanku. Batangnya bergerak lebih cepat keluar masuk kemaluanku. Aku merasa sudah hampir mencapai orgasme. Tubuhku mengejang dan melengkung ke belakang hingga berhimpitan dengan tubuh Pak Suhendar.

“Aku mau keluar Pak …. Aku mau keluaaaaarrrrr aahhhh.. Aahh... . Aku berteriak melepaskan semua rasa ketika orgasme meledak-ledak di dalam tubuhku. Orang yang lewat dan para tukang yang sedang bekerja di lading membuat sumur bor mengalihkan perhatian mereka ke arah kami berdua. Aku sudah tidak peduli lagi. 

Kenikmatan seksual ini jauh lebih berharga bagiku. Sesaat setelah tubuhku kembali melemas, Pak Suhendar mencabut batangnya dari kemaluanku dan meminta aku melakukan oral lagi. Hanya beberapa menit saja aku mengulum, mengenyot dan menjilari batang Pak Suhendar hingga akhirnya batang itu menumpahkan air mani kental berwarna putih. Sebagian air mani itu membasahi bajuku dan rambutku. Lalu aku menjilati sisa air mani dari batang Pak Suhendar hingga bersih.

Setelah itu aku membenahi rok dan bajuku dan minta ijin Pak Suhendar untuk pulang. Celana dalam sengaja tidak aku pakai lagi. Di sepanjang jalan, ada beberapa orang yang menoleh ke arahku ketika berpapasan. Aroma air mani segar yang tumpah di bajuku mungkin yang menarik perhatian mereka. Aku terus bejalan tanpa mempedulikan mereka.

Sesampainya di rumah aku memberika belanjaanku kepada Mamaku yang bingung melihat ceceran air mani di bajuku. Tapi dia tidak banyak tanya. Selitas aku melihat air matanya berlinang. Aku pun tidak peduli. Kalau memng aku harus menjadi budak seks Pak Suhendar untuk menolong orangtuaku, mengapa tidak sekalian saja aku menikmati setiap persetubuhan yang aku lakukan. Bagaimanapun, aku toh harus melakukannya.

Hari ini aku kembali membawa Ayah ke rumah sakit untuk melanjutkan pengobatannya. Syukurlah, dokter bilang kondisi Ayah sudah banyak kemajuan. Aku menyempatkan diri ketika sedang berada di rumah sakit untuk mengunjungi dokter kandungan. Aku minta pada dokter itu untuk memasangkan spiral di rahimku. Semula dokter menganjurkan aku untuk mengurungkan niatku, namun dengan sedikit kebohongan dia pun bersedia melakukannya. Aku katakana pada dokter itu bahwa aku sedang menyelesaikan kuliah. Kehamilan pasti akan sangat mengganggu. Entah aku dapat ide dari mana untuk mengarang cerita bohong itu. Dengan spiral di rahimku, aku tidak akan takut lagi persetubuhanku dengan Pak Suhendar berakhir dengan kehamilan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Draft Amarah Para Buruh 21

Draft Amarah Para Buruh 20

Lust in Broken Home 4

Lust In Broken Home 5

Terjebak Didalam Kelas

Akibat Kena Gendam Tetanggaku

Kisah Tragis Dikebun Karet

Amarah Para Buruh 10

Amarah Para Buruh 17

Binalnya Ibu Tiriku 4