Kejadian
ini berlangsung sekitar bulan Maret beberapa tahun yang lalu. Tanggal berapa
tepatnya aku sudah lupa. Yang aku ingat, saat itu hubungan Eksanti dengan Yoga
sudah membaik, bahkan aku mendengar mereka telah bertunangan dan berencana
untuk melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat ini.
Ketika
itu mereka tinggal dalam sebuah rumah kost yang sama di daerah Selatan –
Jakarta, meskipun berbeda kamar, karena saat itu Yoga sedang mendapat training
di Jakarta selama 6 bulan. Sebagai bekas teman dan atasan Eksanti, aku memang
pernah dikenalkan dengan Yoga. Yoga ternyata begitu cemburuan. Memang harus aku
akui kalau Eksanti memang cantik, bahkan terlalu cantik untuk ukuran Yoga itu.
Padahal kalau menurutku sih, adalah hal yang biasa kalau serorang lelaki yang
penampilan fisiknya biasa saja, ternyata memiliki seorang pacar yang cantik.
Aku mengatakan Eksanti cantik, bukan merupakan penilaianku yang subyektif.
Banyak teman-temanku lain yang juga berpendapat begitu. Bahkan beberapa
diantaranya berpendapat sama, bahwa Eksanti memiliki sex appeal yang luar biasa
tinggi. Bagi kaum lelaki, jika memandang mata Eksanti, boleh jadi langsung akan
berfantasi macam-macam.
Percaya
atau tidak, mata Eksanti begitu sayu seolah-olah ‘pasrah’ ditambah lagi dengan
bibirnya yang seksi dan suka digigit-gigit, kalau Eksanti sedang gemes. Sungguh
suatu ciptaan Tuhan yang sangat eksotis dan sensual. Ketika aku sempat
mengobrol dengan Yoga minggu sebelumnya, secara tidak sengaja kami menemukan
suatu peluang bisnis yang mungkin bisa dikerjakan bersama antara kantorku dengan
kantornya. Pikiran dagangku segera jalan dan aku menjanjikan untuk menitipkan
sebuah proposal kepada Yoga untuk dibahas oleh tim kantornya di Malang
Eksanti |
Siang itu, sehabis meeting dengan salah
satu klienku di sebuah kantor di daerah Kuningan, aku berencana untuk mampir ke
rumah kost Yoga ? yang juga rumah kost Eksanti – untuk menitipkan proposal yang
aku janjikan. Aku mengendarai mobil menuju tempat kost Yoga. Sesampainya di sana , aku melihat garasi
tempat mobil Yoga biasa diparkir dalam keadaan kosong yang menandakan Yoga
sedang keluar. Namun aku tidak mengurungkan niatku untuk bertemu dengan Yoga.
Setelah aku memarkir mobil di depan halaman rumah kost itu, aku masuk menuju
ruang tamu yang pada saat itu pintunya dalam keadaan terbuka, dan langsung
menuju ke kamar Yoga. Di dalam rumah itu ada 4 kamar dan kamar Yoga yang paling
pojok, berhadapan dengan kamar Eksanti.
Masing-masing kamar kelihatan tertutup
pertanda tidak ada kehidupan di dalam rumah itu. Aku ingin menulis pesan di
pintu kamar Yoga karena memang aku sangat perlu dengannya. Sementara aku sedang
menuliskan pesan, samar-samar terdengar suara televisi dari dalam kamar
Eksanti, di depan kamar Yoga, pertanda ada seseorang di dalam kamarnya. Aku
memastikan kalau yang di dalam kamar itu adalah Eksanti, bukannya orang lain.
Aku mengetuk pintu perlahan sambil memanggil nama Eksanti.
Tidak beberapa lama kemudian pintu dibuka
kira-kira sekepalan tangan dan aku melihat wajah Eksanti tampak dari celah
pintu yang terbuka. “Eh, Mas.. cari Mas Yoga yaa.. Tadi pagi sih ditungguin,
tapi Mas Yoga buru-buru berangkat Mas”, jawabnya sebelum aku bertanya. Entah
mengapa, ketika menatap mata Eksanti yang sayu itu, pikiranku jadi teringat
masa-masa indah yang pernah kami alami dulu. Aku sambil tersenyum menatapnya
seraya bertanya, “Kamu nggak ke kantor hari ini?” “Lagi kurang enak badan nih,
Mas, tadi Santi bangunnya kesiangan, jadi males banget ke kantor”, jawabnya
singkat, sambil menggigit bibir bawahnya.
Sebuah desiran hangat mengalir keras di
dadaku, dan aku sungguh yakin Eksanti pun masih memiliki getar rasa yang sama
denganku. Setelah agak lama kami terdiam, “Teman-teman kamarmu yang lain lagi
pada kemana semua, Santi?”, dengan mata menatap sekeliling aku bertanya
sekenaku, menanyakan keberadaan anak-anak kost yang lain. “Mas ini mau nyari
Mas Yoga atau..”, kata-katanya terputus tapi aku bisa menerjemahkan kelanjutan
kalimatnya dari senyuman di bibirnya. Akhirnya aku memutuskan untuk to the
point aja. “Aku juga pengin ketemu denganmu, Santi!”, jawabku berpura-pura. Dia
tertawa pelan, “Mas, kenapa, sih?”, ia memandangku lembut. “Boleh aku masuk,
Santi? Ada
sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu,”, jawabku lagi. “Sebentar, ya.. Mas,
kamar Santi lagi berantakan nih!” Eksanti lalu menutup pintu di depanku. Tidak
beberapa lama berselang pintu terbuka kembali, lalu dia mempersilakan aku masuk
ke dalam kamarnya. Aku duduk di atas kasur yang digelar di atas lantai.
Eksanti masih sibuk membereskan
pakaian-pakaian yang bertebaran di atas sandaran kursi sofa. Aku menatap tubuh
Eksanti yang membelakangiku. Saat itu dia mengenakan kaos ketat warna kuning
yang memperlihatkan pangkal lengannya yang mulus. Aku memandang pinggulnya yang
ditutup oleh celana pendek. Tungkainya panjang serta pahanya bulat dan mulus.
Kejantananku menjadi tegang memandang semua keindahannya, ditambah dengan
khayalanku dulu, ketika aku memiliki kesempatan membelai-belai lembut kedua
pangkal pahanya itu. Kemudian Eksanti duduk di sampingku. Lututnya ditekuk
sehingga celananya agak naik ke atas membuat pahanya semakin terpampang lebar.
Kali ini tanpa malu-malu aku menatapnya dengan sepengetahuan Eksanti. Dia
mencoba menarik turun agak ke bawah ujung celananya untuk menutupi pahanya yang
sedang aku nikmati. “Mas, mau bicara apa, sih?”, katanya tiba-tiba.
Saat itu otakku berpikir cepat, aku takut
kalau sebenarnya aku tidak punya bahan pembicaraan yang berarti dengannya.
Soalnya dalam pikiranku saat itu cuma ada khayalan-khayalan untuk bercinta
dengannya. “Mmm.. San.. aku beberapa hari ini sering bermimpi,”, kataku
berbohong. Entah dari mana aku mendapatkan kalimat itu, aku sendiri tidak tahu
tetapi aku merasa agak tenang dengan pernyataan itu. “Mimpi tentang apa, Mas?”,
kelihatannya dia begitu serius menangapiku dilihat dari caranya memandangku.
“Tentang kamu, San”, jawabku pelan. Bukannya terkejut, malah sebaliknya dia
tertawa mendengar bualanku. Sampai-sampai Eksanti menutup mulutnya agar suara
tawanya tidak terdengar terlalu keras. “Emangnya Mas, mimpi apa sama aku?”,
tanyanya penasaran. “Ya.. biasalah, kamu juga pasti tahu”, jawabku sambil
tertunduk.
Tiba-tiba dia memegang tanganku. Aku
benar-benar terkejut lalu menoleh ke arahnya. “Mas ini ada-ada saja, Mas ‘kan sekarang sudah punya yang di rumah, lagian aku juga ‘kan sudah punya pacar,
masa masih mau mimpi-mimpiin orang lain?” “Makanya aku juga bingung, Santi.
Lagian kalaupun bisa, aku sebenarnya nggak ingin bermimpi tentang kamu, Santi”,
jawabku pura-pura memelas. Kami sama-sama terdiam. Aku meremas jemari tangannya
lalu perlahan aku mengangkat menuju bibirku. Dia memperhatikanku pada saat aku
melabuhkan ciuman mesra ke punggung tangannya.
Aku menggeser posisi dudukku agar lebih
dekat dengan tubuhnya. Aku memandangi wajahnya. Mata kami berpandangan. Wajahku
perlahan mendekati wajahnya, mencari bibirnya, semakin dekat dan tiba-tiba
wajahnya berpaling sehingga mulutku mendarat di pipinya yang mulus. Kedua
tanganku kini bergerak aktif memeluk tubuhnya. Tangan kananku menggapai dagunya
lalu mengarahkan wajahnya berhadapan dengan wajahku. Aku meraup mulutnya
seketika dengan mulutku. Eksanti menggeliat pelan sambil menyebutkan namaku.
“Mas.., cukup mas!”, tangannya mencoba mendorong dadaku untuk menghentikan
kegiatanku. Aku menghentikan aksiku, lalu pura-pura meminta maaf kepadanya.
“Maafkan aku, Santi.. aku nggak sanggup lagi jika setiap malam memimpikan
dirimu”, aku pura-pura menunduk lagi seolah-olah menyesali perbuatanku.
“Aku mengerti Mas, aku juga nggak bisa
menyalahkan Mas karena mimpi-mimpimu itu. Bagaimanapun juga, kita pernah merasa
deket Mas”, sepertinya Eksanti memafkan dan memaklumi perbuatanku barusan. Aku
menatap wajahnya lagi. Ada
semacam kesedihan di wajahnya hanya saja aku tak tahu apa penyebabnya. Pipinya
masih kelihatan memerah bekas cumbuanku tadi. “Aku juga ingin membantu Mas agar
tidak terlalu memikirkanku lagi, tapi..” kalimatnya terputus.
Dalam hati aku tersenyum dengan kalimat
“ingin membantu..” yang diucapkannya. “Santi, aku cuma ingin pergi berdua
denganmu, sekali saja.., sebelum kamu benar-benar menjadi milik Yoga. Agar aku
bisa melupakanmu”, kataku memohon. “Kita kan
sama-sama sudah ada yang punya, Mas.., nanti kalau ketahuan gimana?” Nah, kalau
sudah sampai disini aku merasa mendapat angin. Kesimpulannya dia masih mau
pergi denganku, asal jangan sampai ketahuan sama Yoga.
“Seandainya ketahuan.. aku akan
bertanggung jawab, Santi”, setelah itu aku memeluknya lagi. Dan kali ini dia
benar-benar pasrah dalam pelukanku. Malah tangannya ikut membalas memeluk
tubuhku. Telapak tanganku perlahan mengelus punggungnya dengan mesra, sementara
bibirku tidak tinggal diam menciumi pipi lalu turun ke lehernya yang jenjang.
Eksanti mendesah. Aku menciumi kulitnya dengan penuh nafsu. Mulutku meraup
bibirnya. Eksanti diam saja. Aku melumat bibirnya, lalu aku menjulurkan lidahku
perlahan seiring mulutnya yang seperti mempersilakan lidahku untuk menjelajah
rongga mulutnya. Nafasnya mulai tidak teratur ketika lidahku memilin lidahnya.
Kesempatan ini aku gunakan untuk membelai payudaranya. Perlahan telapak
tanganku aku tarik dari punggungnya melalui ketiaknya.
Tanpa berhenti membelai, telapak tanganku
kini sudah berada pada sisi payudaranya. Aku benar-benar hampir tidak bisa
menguasai birahiku saat itu. Apalagi aku sudah sering membayangkan kesempatan
seperti saat ini terulang lagi bersamanya. Kini telapak tanganku sudah berada
di atas gundukan daging di atas dadanya. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu
kecil, justru yang seperti ini yang paling indah menurutku. Pada saat tanganku
mulai meremas payudaranya yang sebelah kanan, tangan Eksanti mencoba menahan
aksiku. Payudaranya masih kencang dan padat membuatku semakin bernafsu untuk
meremas-remasnya.
“Mas, jangan sekarang Mas.. Santi
takut..”, katanya berulang kali. Aku juga merasa tindakanku saat itu
betul-betul nekat, apalagi pintu kamar masih terbuka setengah. Jangan-jangan
ada orang lain yang melihat perbuatan kami. Wah, bisa gawat jadinya. Aku
akhirnya berdiri dari tempat dudukku untuk menenangkan suasana.
Aku bukanlah tipe laki-laki yang suka
terburu-buru dalam berbagai hal, khususnya dalam masalah percintaan. Aku kini
duduk di kursi sofa menghadap Eksanti, sedangkan Eksanti masih di atas kasur
sambil memperbaiki rambut dan kaosnya kuningnya yang agak kusut. “Mas, mau
ngajak Santi ke mana, sih”, Eksanti menatap wajahku. “Pokoknya tempat di mana
tidak ada orang yang bisa mengganggu ketenangan kita, Santi”, jawabku sambil
memandang permukaan dadanya yang baru saja aku remas-reMas.
Eksanti duduk sambil bersandar dengan
kedua tangan di belakang untuk menahan tubuhnya. Payudaranya jadi kelihatan
menonjol. Aku memandang nakal ke arah payudaranya sambil tersenyum. Kakinya
diluruskan hingga menyentuh telapak kakiku. “Tapi kalau ketahuan.. Mas yang
tanggung jawab, yaa..”, katanya mencoba menuntut penjelasanku lagi. Aku
mengangguk. “Terus kapan jalan-jalannya, Mas?”, “Gimana kalo besok sore jam 4,
besok ‘kan Jum’at, bisa pulang lebih awal ‘kan ?”, tanyaku. “Ketemu
di mana?”, tanyanya penasaran.
“Kamu telepon aku, kasih tahu kamu lagi
dimana saat itu, lalu aku akan menjemputmu di sana , gimana?”, tanyaku lagi. Dia tersenyum
menatapku, “Wah, Mas ternyata pintar banget untuk urusan begituan.”, Aku
tertawa. “Tapi aku nggak mau kalau Mas nakalin aku kayak dulu lagi!!,”,
tegasnya. Aku terkejut namun pura-pura mengiyakan, soalnya tadi aku merasa
besok aku sudah bisa menikmati kehangatan tubuh Eksanti seperti dulu lagi.
Makanya besok sengaja aku memilih waktu sore hari karena aku ingin mengajaknya
menginap, kalau dia mau. Namun aku diam saja, yang penting dia sudah mau aku
ajak pergi, tinggal penyelesaiannya saja. Lagian ngapain dia mesti minta
tanggung jawab, seandainya aku tidak berbuat apa-apa dengannya, pikirku lagi.
Ah, lihat besok sajalah.
Pukul 3 siang, akhirnya aku harus kembali
ke kantorku, di samping memang Eksanti juga meminta aku segera pulang karena
dia juga takut kalau tiba-tiba Yoga memergoki kami sedang berdua di kamar.
Namun sebelum pulang aku masih sempat menikmati bibir Eksanti sekali lagi waktu
berdiri di samping pintu. Aku malah sempat menekan tubuh Eksanti hingga
punggungnya bersandar di dinding. Kesempatan ini aku gunakan untuk menekan kejantananku
yang sedari tadi butuh penyaluran ke selangkangannya.
Tetapi hal itu tidak berlangsung lama
karena situasinya memang tidak memungkinkan. by majalahsex.com Di kantor.., di
rumah.. aku selalu gelisah. Kejantananku senantiasa menegang membayangkan apa
yang telah dan akan aku lakukan terhadap Eksanti nanti. Keesokan harinya,
disaat aku menunggu tibanya saat bertemu, aku merasa waktu berjalan begitu
lambat. Hingga pukul 5 sore, seperti waktu yang telah kami sepakati kemarin,
aku sedang menanti-nanti telepon dari Eksanti.
Aku mulai gelisah ketika 15 menit telah
lewat, namun Eksanti belum juga meneleponku. Aku mulai menghitung detik-detik
yang berlalu hingga hampir setengah jam, dan tiba-tiba handphoneku berbunyi.
Seketika aku mengangkat telepon itu. Dari seberang sana aku mendengar suara Eksanti yang sangat
aku nanti-nantikan. Eksanti meminta maaf sebelumnya, karena kesibukannya hari
itu tidak memungkinkan baginya untuk pulang dari kantor lebih awal. Banyak
pekerjaannya yang menumpuk, karena kemarin ia tidak masuk ke kantor.
Saat itu ia memintaku untuk menjemputnya
di sebuah wartel dekat pertigaan di seberang kantornya. Aku langsung menyambar
kunci mobil, lalu keluar dari kantorku dan bergegas menuju wartel tempat di
mana Eksanti sedang menungguku. Aku memarkir mobil di depan wartel itu, dan tak
lama berselang aku melihat Eksanti keluar dari wartel, dengan memakai kaos
ketat warna orange bertuliskan Mickey Mouse (tokoh favoritnya) di bagian
dadanya, dipadukan celana jeans warna abu-abu.
Blazer kerjanya telah ia lepas, dan
ditenteng bersama tas kerjanya. Aku masih ingat, ia memang selalu tampil ke
kantor dengan pakaian casual setiap hari Jum’at. Eksanti langsung naik ke atas
mobilku, setelah memastikan tidak ada orang lain yang mengenalinya di tempat itu.
Aku tersenyum memandangnya. Eksanti kelihatan begitu cantik hari ini. Bibirnya
tidak dipoles dengan lipstik merah seperti biasanya. Ia hanya menyapukan
lipsgloss tipis, yang membuat jantungku semakin deg-degan. Aku segera menancap
gas menuju tol ke arah Ancol. Selama di perjalanan, aku dan Eksanti bercerita
tentang berbagai hal, termasuk Yoga dan kehidupan keluargaku.
Sesampainya di Ancol aku mengajak Eksanti
untuk makan di sebuah rumah makan di tepi laut yang nuansa romantisnya sangat
terasa. Tanpa canggung lagi aku memeluk pinggang Eksanti, pada saat kami
memasuki rumah makan tersebut. Eksanti juga melingkarkan tangannya di
pinggangku. Setelah memesan makanan dan minuman, aku memeluknya lagi. Tanganku
bergerilya di sekitar pinggangnya yang terbuka. Suasana lesehan di rumah makan
itu, yang ruangannya disekat-sekat menjadi beberapa tempat dengan pembatas
dinding bilik yang cukup tinggi, membuat aku bisa bertindak leluasa kepada
Eksanti. “Tadi malam mimpi lagi, nggak?”, tanyanya memecah keheningan. “Nggak,
tapi aku sempat gelisah nggak bisa tidur karena terus membayangkanmu”, jawabku
tanpa malu-malu. Eksanti tertawa, sambil tangannya mencubit pinggangku.
Hari sudah menjelang malam ketika kami
meninggalkan tempat itu. Setelah berputar-putar di sekitar lokasi pantai,
akhirnya aku memutuskan untuk menyewa sebuah kamar pada sebuah cottages di
kawasan Ancol. Semula Eksanti menolak, karena dia takut kalau kami tidak bisa
menahan diri. Aku akhirnya meyakinkan Eksanti bahwa sebenarnya aku cuma ingin
berdua saja dengannya, sambil memeluk tubuhnya, itu saja. Akhirnya Eksanti
mengalah. Ketika kami telah berada di dalam kamar cottages itu, Eksanti tampak
jadi pendiam.
Dia duduk di atas kursi memandang ke arah
laut, sementara aku rebahan di atas tempat tidur. Aku mencoba mencairkan
suasana, dengan kembali bertanya mengenai kesibukan pekerjaannya hari itu.
Selama aku bertanya kepadanya, ia cuma menjawab singkat dengan kata-kata iya
dan tidak. Hanya itu yang keluar dari mulutnya. “Mas, pasti kamu menganggap aku
cewek murahan, yaa.. kan ?”,
akhirnya Eksanti mau mulai membuka pembicaraan juga.
Ternyata, dengan mengingat statusnya saat
ini sebagai tunangan Yoga, Eksanti masih belum bisa menerima perlakuanku yang
membawanya ke dalam cottages ini. Namun aku tidak menyesal karena dalam
pikiranku sebenarnya dia sudah tahu apa yang akan terjadi, sejak kejadian
kemarin siang di kamarnya. Tinggal bagaimana caranya aku bisa mengajaknya
bercinta tanpa ada pemaksaan sedikitpun. “Santi, aku sudah bilang sejak kemarin
kalau aku ingin berduaan saja bersamamu, sebelum Yoga benar-enar menikahi kamu.
Aku hanya ingin memelukmu tanpa ada rasa
takut, itu saja. Dan aku rasa di sinilah tempatnya”, jawabku mencoba memberikan
pengertian kepadanya. “Tetapi, apa Mas sanggup untuk tidak melakukan yang lebih
dari itu?”, Eksanti menatapku dengan sorotan mata tajam. “Kalau kamu gimana?”,
aku malah balik bertanya. “Aku tanya, kok malah balik nanya ke aku sih?”, ia
bertanya dengan nada agak ketus. “Aku sanggup, Santi”, tegasku. Akhirnya dia
tersenyum juga. Eksanti lalu berjalan ke arahku menuju tempat tidur lalu duduk
di sampingku. Aku lalu merangkul tubuhnya dan membaringkan tubuhnya di atas
kasur. “Janji ya, Mas..!”, ujarnya lagi. Aku mengangguk.
Kini aku memeluk tubuh indah Eksanti
dengan posisi menyamping, sedang Eksanti rebah menghadap ke atas langit-langit
kamar. Aku mencium pipinya, sambil jemariku membelai-belai bagian belakang
telinganya. Matanya terpejam seolah menikmati usapan tanganku. Aku memandangi
wajahnya yang manis, hidungnya yang mancung, lalu bibirnya. Aku tidak tahan
untuk berlama-lama menunggu, sehingga akhirnya aku memberanikan diri untuk
mencium bibirnya. Aku melumat bibir tipis itu dengan mesra, lalu aku mulai
menjulurkan lidahku ke dalam mulutnya. Mulutnya terbuka perlahan menerima lidahku.
Cukup lama aku mempermainkan lidahku di
dalam mulutnya. Lidahnya begitu agresif menanggapi permainan lidahku,
sampai-sampai nafas kami berdua menjadi tersengal-sengal tidak beraturan.
Sesaat kemudian, ciuman kami terhenti untuk menarik nafas, lalu kami mulai
berpagutan lagi.. dan lagi.. Tangan kiriku yang bebas untuk melakukan sesuatu
terhadap Eksanti, kini mulai aku aktifkan.
Aku membelai, meremasi pangkal lengannya
yang terbuka. Aku membuka telapak tanganku, sehingga jempolku bisa menggapai
permukaan dadanya sambil tetap membelai lembut pangkal lengannya. Bibirku kini
turun menyapu kulit putih di lehernya seiring telapak tanganku meraup bukit
indah payudaranya. Eksanti menggeliat bagai cacing kepanasan terkena terik
mentari.
Suara rintihan berulang kali keluar dari
mulutnya, disaat lidahku menjulur, menjilat, membasahi, menikmati batang
lehernya yang jenjang. “Mas, jangan..!”, Eksanti mencoba menarik telapak
tanganku yang kini sedang mereMas, menggelitik payudaranya. Aku tidak peduli
lagi. Lagi pula dia juga tampaknya tidak sungguh-sungguh untuk melarangku.
Hanya mulutnya saja yang seolah melarang, sementara tangannya cuma sebatas
memegang pergelangan tanganku, sambil tetap membiarkan telapak tanganku terus
mengelus dan meremas buah dadanya yang mulai mengeras membusung.
Suasana angin pantai yang dingin di luar sana , sangat kontras
dengan keadaan di dalam kamar tempat kami bergumul. Aku dan Eksanti mulai
merasa kegerahan. Aku akhirnya membuka kaosku sehingga bertelanjang dada.
“Santi, Mas sangat ingin melihat payudaramu, ‘yang..”, ujarku sambil mengusap
bagian puncak puting payudaranya yang menonjol. Eksanti kembali menatapku
tajam. Mestinya aku tidak perlu memohon kepadanya karena saat itupun aku sudah
membelai dan meremas-remas payudaranya.
Tetapi entah mengapa aku lebih suka jika
Eksanti yang membuka kaosnya sendiri untukku. “Tapi janji Mas yaa.., cuma yang
ini aja”, katanya lagi. Aku cuma mengangguk, padahal aku tidak tahu apa yang
mesti aku janjikan lagi. Eksanti akhirnya membuka kaos ketat warna orange-nya
di depan mataku. Aku terkagum-kagum ketika menatap dua gundukan daging di
dadanya, yang masih tertutup oleh sebuah berwarna bra berwarna hitam. Payudara
itu begitu membusung, menantang.
Bukit-bukit di dada Eksanti naik turun
seiring dengan desah nafasnya yang memburu. Sambil berbaring Eksanti membuka
pengait bra di punggungnya. Punggungnya melengkung indah. Aku menahan tangan
Eksanti ketika dia mencoba untuk menurunkan tali bra-nya dari atas pundaknya.
Justru dengan keadaan bra-nya yang longgar karena tanpa pengait seperti itu,
membuat payudaranya semakin menantang.
Payudaranya sangat putih kontras dengan
warna bra-nya, sangat terawat dan sangat kencang, seperti yang selama ini
selalu aku bayang-bayangkan.
“Payudaramu masih tetap bagus sekali.
Santi, kamu pintar merawat, yaa..”, aku mencoba mengungkapkan keindahan pada
tubuhnya. “Pantes si Yoga jadi tergila-gila sama dia,”, pikirku. Lalu,
perlahan-lahan aku menarik turun cup bra-nya. Mata Eksanti terpejam.
Perhatianku terfokus ke puting susunya yang berwarna merah kecoklatan.
Lingkarannya tidak begitu besar, namun ujung-ujung puncaknya begitu runcing dan
kaku. Aku mengusap putingnya lalu aku memilin dengan jemariku. Eksanti
mendesah. Mulutku turun ingin mencicipi payudaranya. “Egkhh..”, rintih Eksanti
ketika mulutku melumat puting susunya. Aku mempermainkan dengan lidah dan
gigiku. Sekali-sekali aku menggigit lembut putingnya, lalu aku hisap kuat-kuat
sehingga membuat Eksanti menarik, menjambak rambutku. Puas menikmati buah dada
yang sebelah kiri, aku mencium buah dada Eksanti yang satunya, yang belum
sempat aku nikmati. Rintihan-rintihan dan desahan kenikmatan silih berganti
keluar dari mulut Eksanti.
Sambil menciumi payudara Eksanti, tanganku
turun membelai perutnya yang datar, berhenti sejenak di pusarnya lalu perlahan
turun mengitari lembah di bawah perut Eksanti. Aku membelai pahanya sebelah
dalam terlebih dahulu sebelum aku memutuskan untuk meraba bagian kewanitaannya
yang masih tertutup oleh celana jeans ketat yang dikenakan Eksanti.
Secara tiba-tiba, aku menghentikan
kegiatanku, lalu berdiri di samping ranjang. Eksanti tertegun sejenak
memandangku, lalu matanya terpejam kembali ketika aku membuka pantalon warna
hitam yang aku kenakan. Sengaja aku membiarkan lampu kamar cottage itu menyala
terang, agar aku bisa melihat secara jelas detil dari setiap inci tubuh Eksanti
yang selama ini sering aku jadikan fantasi seksualku. Aku masih berdiri sambil
memandang tubuh Eksanti yang tergolek di ranjang, menantang. Kulitnya yang
putih membuat mataku tak jemu memandang. Perutnya begitu datar.
Celana jeans ketat yang dipakainya telihat
terlalu longgar pada pinggangnya namun pada bagian pinggulnya begitu pas untuk
menunjukkan lekukan pantatnya yang sempurna. Puas memandangi tubuh Eksanti,
lalu aku membaringkan tubuhku di sampingnya. Aku merapikan untaian rambut yang
menutupi beberapa bagian pada permukaan wajah dan leher Eksanti. Aku membelai
lagi payudaranya. Aku mencium bibirnya sambil aku masukkan air liurku ke dalam
mulutnya. Eksanti menelannya.
Tanganku turun ke bagian perut lalu
menerobos masuk melalui pinggang celana jeans-nya yang memang agak longgar.
Jemariku bergerak lincah mengusap dan membelai selangkangan Eksanti yang masih
tertutup celana dalamnya. Eksanti menahan tanganku, ketika jari tengah tanganku
membelai permukaan celana dalamnya tepat diatas kewanitaannya. Ia telah basah..
Aku terus mempermainkan jari tengahku untuk menggelitik bagian yang paling
pribadi pada tubuh Eksanti.
Pinggul Eksanti perlahan bergerak ke
kiri.., ke kanan.. dan sesekali bergoyang untuk menetralisir ketegangan yang
dialaminya. “Mas, nanti kita terlalu jauh, Mas..”, ujarnya perlahan sambil
menatap sayu ke arahku. Matanya yang sayu ditambah dengan rangsangan yang
tengah dialaminya, menambah redup bola matanya. Sungguh, aku semakin bernafsu
melihatnya. Aku menggeleng lalu tersenyum, bahkan aku malah menyuruh Eksanti
untuk membuka celana jeans yang dipakainya. Tangan kanan Eksanti berhenti pada
permukaan kancing celananya. Ia kelihatan ragu-ragu. Aku lalu berbisik mesra ke
telinganya, kalau aku ingin memeluknya dalam keadaan telanjang seperti yang
selama ini senantiasa aku mimpikan. Eksanti lalu membuka kancing dan menurunkan
reitsliting celana jeans-nya. Celana dalam hitam yang dikenakannya begitu mini
sehingga rambut-rambut pubis yang tumbuh di sekitar kewanitaannya hampir
sebagian keluar dari pinggir celana dalamnya.
Aku membantu menarik turun celana jeans
Eksanti. Pinggulnya agak dinaikkan ketika aku agak kesusahan menarik celana
jeans itu. Posisi kami kini sama-sama tinggal mengenakan celana dalam. Tubuhnya
tampak semakin seksi saja. Pahanya begitu mulus. Memang harus aku akui tubuhnya
begitu menarik dan memikat, penuh dengan sex appeal.
Eksanti menarik selimut untuk menutupi
permukaan tubuhnya. Aku beringsut masuk ke dalam selimut lalu memeluk erat
tubuh Eksanti. Kami berpelukan. Aku menarik tangan kirinya untuk menyentuh
kepala kejantananku. Dia tampak terkejut ketika mendapatkan kejantananku yang
tanpa penutup lagi. Memang, sebelum aku masuk ke dalam selimut, aku sempat
melepaskan celana dalamku tanpa sepengetahuan Eksanti.
Aku tersenyum nakal. “Occhh..”, Eksanti
semakin kaget ketika tangannya menyentuh kejantananku yang telah tegak
menegang. “Kenapa, Santi?”, aku bertanya pura-pura tidak mengerti. Padahal aku
tahu dia pasti terkejut karena merasakan betapa telah kuat dan kokohnya
kejantananku saat ini. Eksanti tersenyum malu. Sentuhan kejantananku di
tangannya membuat Eksanti merasa malu, tetapi hati kecilnya mau, ditambah
sedikit rasa takut, mungkin.. Kini, Eksanti mulai berani membelai dan
menggenggam kejantananku.
Belaiannya begitu mantap menandakan
Eksanti begitu piawai dalam urusan yang satu ini. “Tangan kamu semakin pintar
yaa.., Santi”, ujarku sambil memandang tangannya yang mulai mengocok-ngocok lembut
sekujur kejantananku. “Ya, mesti dong..,’kan
Mas yang dulu ngajarin Santi!”, jawabnya sambil cekikikan. Mendapat jawaban
pertanyaan seperti itu, entah mengenapa hasrat birahiku tiba-tiba menjadi
semakin liar.
Namun aku tetap berusaha bertahan untuk
sementara waktu, sebelum aku merasakan ia benar-benar siap untuk berpaducinta
denganku. Sambil meresapi kenikmatan usapan-usapan yang aku rasakan di
sepanjang kulit batang kejantananku, jari-jemariku yang nakal mulai masuk dari
samping celah celana dalam Eksanti. Telapak tanganku langsung menyentuh bibir
kewanitaannya yang sudah merekah basah. Jari telunjukku membelai-belai sejumput
daging kecil di dalam lepitan celahnya, sehingga Eksantipun semakin merasakan
nikmat semata.
“Kamu mau mencium kejantananku nggak,
Santi?”, tanyaku tanpa malu-malu lagi. Eksanti tertawa sambil mencubit batang
kejantananku. Aku meringis. “Kalau punya Mas yang sekarang, kayaknya Santi
nggak bisa?”, ujarnya. “Kenapa memangnya, apa bedanya punya Mas yang dulu
dengan yang sekarang?”, tanyaku penasaran. “Yang sekarang kayaknya nggak muat
di mulutku, soalnya rasanya tambah besar dari yang dulu..”, selesai berkata
demikian Eksanti langsung tertawa kecil. “Kalau yang dibawah, gimana?”, tanyaku
lagi sambil menusukkan jari tengahku ke dalam lubang kewanitaannya.
Baca Juga : Cerita hot pacar kakak ku yang tau cara
memuaskan wanita
Eksanti merintih sambil menahan tanganku.
by majalahsex.com Tetapi jariku sudah terlanjur tenggelam ke dalam liang
senggamanya. Aku merasakan liang kewanitaannya berdenyut menjepit jariku.
Oooch.., pasti nikmat sekali kalau saja kejantananku yang diurut, pikirku.
Tiba-tiba, matanya memandang tajam ke arahku, dengan muka yang agak berkerut
masam.
“Kenapa, Santi, ada apa ‘yang?”, aku
bertanya sambil menarik tanganku dari liang kewanitaannya. Aku tahu dia marah,
tetapi apa sebabnya..? “Anak ini, kok aneh banget, jual mahal lagi”, pikirku.
“..atau dia ingat Yoga, sehingga tiba-tiba ia merasa bersalah?” “..terus
ngapain dia mau aku cumbu sejak kemarin?”, aku masih penasaran dengan sikapnya
yang tiba-tiba berubah. “Mas ‘kan sudah janji
untuk tidak melakukannya, ‘kan ?”,
tiba-tiba Eksanti berbicara. Aku terdiam.
“Aku tadinya nggak mau kita masuk ke kamar
ini, karena aku takut kita nggak bisa menahan keinginan untuk melakukannya
lagi, Mas”, tambahnya memberikan pengarahan kepadaku. “Bagaimanapun juga khusus
untuk yang satu ini, Santi tidak dapat memberikan buat Mas lagi. Bukan hanya
Mas yang nggak tahan, aku juga sebenarnya sudah nggak tahan.. Aku nggak
munafik, Mas. Tapi.. kumohon, please.. Mas mau mengerti posisiku sekarang”,
sambil berkata demikian Eksanti mencium keningku. Aku tidak tahu harus berbuat
apa saat itu. Dalam posisi yang sudah sama-sama telanjang, kecuali Eksanti yang
masih mengenakan celana dalamnya, berdua di dalam sebuah kamar di tepi laut
yang romantis, dapat dibayangkan apa sebenarnya yang bakal terjadi.
Tetapi kali ini tidaklah demikian.
Bayanganku tentang kenikmatan saat bercinta dengan Eksanti sirna sudah, atau
setidaknya tidak dapat aku rasakan saat ini. Tapi sampai kapan? Aku jadi
berpikiran untuk memaksanya saja melakukan persetubuhan, tetapi hal itu
bertentangan dengan hati nuraniku. Akhirnya aku cuma bisa pasrah dan diam.
Kejantananku yang tadi aku rasakan telah tegang menantang, tiba-tiba menjadi
lemas dalam genggaman tangan Eksanti. Eksanti meminta maaf kepadaku, menyadari
kalau aku kecewa dengan pernyataannya. Aku merasa sudah tidak mungkin bisa
untuk melanjutkan permainan cinta lagi.
Aku akhirnya meminta ijin kepada Eksanti
untuk mandi. Sungguh,.. aku merasa kecewa sekali. Di dalam kamar mandi, aku
lama terdiam. Aku memandang tubuhku di depan cermin. Kemudian aku guyur tubuhku
dengan air yang mengalir deras dari shower di atas kepalaku. Aku ingin
mendinginkan suhu tubuhku. Tiba-tiba, aku merasakan ada orang lain yang
memelukku dari arah belakang. Aku terkejut, namun cuma sesaat setelah
menyadari, ternyata Eksantilah yang ada di belakangku.
Dia tersenyum memandangku. “Ecchh.. kamu
Santi, jangan deket-deket acchh.., aku masih kesel nih!!”, gumamku berpura-pura
sambil mencoba membalas senyumannya. “Aku ingin mandi bersamamu, Mas,..
boleh?”, pintanya manja. Aku tidak menjawab permintaannya. Aku langsung menarik
tubuhnya untuk berhadapan denganku. Masih di bawah guyuran air yang mengalir
dari shower, aku menangkap lengannya, lalu memandang tajam ke arahnya. Berulang
kali tanganku mencoba mengusap wajah cantik sensualnya dari guyuran air.
Rambutnya yang basah semakin menambah keerotisan wajahnya. Dengan perlahan
tanganku menangkap payudaranya dan mengusap, meremas kuat. Eksanti meringis.
Bukannya melarang, Eksanti malah mengambil sabun, dan mulai menyabuni tubuhku.
Mula-mula dari dada, ke belakang punggung lalu menuju ke bawah, ke batang
kejantananku.
Aku merasa aneh atas sikapnya yang
berubah-ubah dan suka menggoda. Diusapnya lembut batang kejantananku yang
sedikit demi sedikit mulai mengeras kembali. Tangannya yang penuh dengan busa
sabun, begitu lembut mengocok batang kejantananku sehingga aku merasa sangat
nikmat. Aku tidak tinggal diam, aku membalas menyabuni sekujur tubuh Eksanti.
Aku mengikuti setiap gerakan yang
dibuatnya terhadap tubuhku lalu aku mempraktekkan kepadanya. Aku membalikkan
tubuh Eksanti, sehingga kini ia membelakangiku. Sengaja aku memposisikan
tubuhnya berada di depanku, agar aku dapat melihat bagian depan tubuhnya pada
permukaan cermin di depannya. Aku melihat ekspressi wajah Eksanti pada
permukaan cermin. Mata kami beradu pandang, sementara tanganku membelai-belai
payudaranya yang mulai mengeras. Aku mempermainkan puncak-puncak putungnya
dengan jemariku, sementara tanganku yang satunya mulai meraba bulu-bulu lebat
di sekitar liang kewanitaan Eksanti. Dengan sedikit membungkukkan tubuh, aku
meraba permukaan bibir kewanitaan Eksanti. Jari tengahku mempermainkan
klitorisnya yang mengeras terkena siraman air. Batang kejantananku yang kini
sudah siap tempur, berada dalam genggaman tangan Eksanti.
Sementara aku merasakan, celah kewanitaan
Eksanti juga sudah mulai mengeluarkan cairan cinta yang meleleh melewati jemari
tanganku yang kini sedang menyusuri lorong di dalamnya. Aku membalikkan tubuh
Eksanti kembali, sehingga kini posisinya berhadap-hadapan denganku. Aku memeluk
tubuh Eksanti sehingga batang kejantananku menyentuh pusarnya. Tanganku
membelai punggungnya, lalu turun meraba bukit-bukit pantatnya yang membulat
indah. Eksanti membalas pelukanku dengan melingkarkan tangannya di pundakku.
Kedua telapak tanganku meraih pantat Eksanti. Aku meremas dengan sedikit agak
kasar, lalu aku mengangkat agak ke atas, agar batang kejantananku berada tepat
di depan gerbang kewanitaannya.
Kaki Eksanti kini tak lagi menyentuh
permukaan lantai kamar mandi. Kaki Eksanti dengan sendirinya mengangkang ketika
aku mengangkat pantatnya. Meski agak susah namun aku tetap berusaha agar batang
kejantananku bisa masuk merasakan jepitan liang kewanitaan Eksanti. Aku
merasakan kepala kejantananku sudah menyentuh bibir kewanitaan Eksanti. Aku
menekan perlahan, seiring dengan menarik buah pantatnya ke arah tubuhku.
Eksanti menggeliat. Aku merasa kesulitan untuk memasukkan batang batang
kejantananku ke dalam liang kewanitaan Eksanti, karena kejantananku yang
terus-terusan basah terkena air shower.
Akhirnya, aku mengangkat tubuh Eksanti ke
luar dari kamar mandi. Bagaimanapun juga aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan
ini, apalagi terbukti tadi, Eksanti hanya diam saja ketika aku berusaha
menyusupkan batang kejantananku ke liang senggamanya. Pada saat aku membawanya
menuju tempat tidur, Eksanti melingkarkan kedua kakinya di pinggangku.
Aku membaringkan tubuhnya di atas kasur.
Lalu, denhan hati-hati tubuhku menyusul menimpa ke atas tubuhnya. Kami tidak
mempedulikan butiran-butiran air yang masih menempel di sekujur tubuh kami,
sehingga membasahi permukaan kasur. Aku menciumi lagi lehernya yang jenjang
lalu turun melumat puting payudaranya. Telapak tanganku terus membelai dan
meremasi setiap lekuk dan tonjolan tubuh Eksanti. Aku kembali melebarkan kedua
pahanya, sambil mengarahkan batang kejantananku ke bibir kewanitaan Eksanti.
Eksanti mengerang lirih. Matanya perlahan terpejam.
Giginya menggigit bibir bawahnya untuk
menahan laju birahinya yang semakin kuat. Aku menatap mata Eksanti penuh hasrat
nafsu. Bola matanya seakan memohon kepadaku untuk segera memasuki tubuhnya.
“Aku ingin bercinta denganmu, Santi”, bisikku pelan, sementara kepala
kejantananku masih menempel di belahan liang kewanitaan Eksanti. Kata-kataku
yang terakhir ini ternyata membuat wajah Eksanti memerah. Mungkin, ketika
bersama Yoga, dia jarang mendengar permintaan yang terlalu to the point begitu.
Aku bisa memastikan, Eksanti agak malu
mendengarnya. Aku berhenti sesaat untuk menunggu jawaban permohonanku
kepadanya, karena bagaimana pun aku tidak mau melakukan persetubuhan tanpa
memperoleh persetujuan darinya. Aku bukan tipe laki-laki yang demikian. Bagiku
berpaducinta adalah kesepakatan, sepakat berdasarkan kesadaran tanpa adanya
unsur pemaksaan. Eksanti menatapku sendu lalu mengangguk pelan sebelum
memejamkan matanya. Bukan main rasa senangnya hatiku.
Akhirnya.. “..yes!”. Aku berjanji akan memperlakukannya
dengan hati-hati sekali, begitu yang ada dalam fikiranku. Kini aku
berkonsentrasi penuh dengan menuntun batang kejantananku yang perlahan mulai
menyusup melesak ke dalam liang kewanitaan Eksanti. Mula-mula terasa seret
memang, namun aku malah semakin menyukainya. Perlahan namun pasti, kepala
kejantananku membelah liang kewanitaannya yang ternyata begitu kencang menjepit
batang kejantananku.
Dinding dalam kewanitaan Eksanti ternyata
sudah begitu licin, sehingga agak memudahkan kejantananku untuk menyusup lebih
ke dalam lagi. Eksanti memeluk erat tubuhku sambil membenamkan kuku-kukunya di
punggungku, hingga aku agak kesakitan. Namun aku tak peduli. “Mas, gede banget,
occhh..”, Eksanti menjerit lirih. Tangannya turun menangkap batang kejantananku.
“Pelan maas..”, ujarnya berulang kali, padahal aku merasa aku sudah
melakukannya dengan begitu pelan dan hati-hati. Mungkin karena lubang
kewanitaannya tidak pernah lagi dimasuki batang kemaluan seperti milikku ini.
Soalnya aku tahu pasti ukuran kejantanan Yoga, pacar Eksanti tidaklah sebesar
yang aku miliki.
Makanya Eksanti agak merasa kesakitan.
Akhirnya batang kejantananku terbenam juga di dalam kewanitaan Eksanti. Aku
berhenti sejenak untuk menikmati denyutan-denyutan yang timbul akibat kontraksi
otot-otot dinding kewanitaan Eksanti. Denyutan itu begitu kuat, sampai-sampai
aku memejamkan mata untuk merasakan kenikmatan yang begitu sempurna. Aku
melumat bibir Eksanti sambil perlahan-lahan menarik batang kejantananku,..
untuk selanjutnya aku benamkan lagi, masuk.., keluar.., masuk.., keluar.. Aku
meminta Eksanti untuk membuka kelopak matanya. Eksanti menurut. Aku sangat
senang melihat matanya yang semakin sayu menikmati batang kejantananku yang
keluar masuk di dalam kewanitaannya. “Aku suka kewanitaanmu, Santi,
kewanitaanmu masih tetap rapet, ‘yang”, ujarku sambil merintih keenakan.
Sungguh, liang kewanitaan Eksanti masih terasa enak sekali. “Icchh.. Mas
ngomongnya sekarang vulgar banget”, balasnya sambil tersipu malu, lalu ia
mencubit pinggangku. “Tapi enak ‘kan ,
‘yang?”, tanyaku, yang dijawab Eksanti dengan sebuah anggukan kecil. Aku
meminta Eksanti untuk menggoyangkan pinggulnya. Eksanti langsung mengimbangi
gerakanku yang naik turun dengan goyangan memutar pada pinggangnya. “Suka
batang kejantananku, Santi?”, tanyaku lagi. Eksanti hanya tersenyum.
Batang kejantananku terasa seperti
diremas-reMas. Masih ditambah lagi dengan jepitan liang senggamanya yang
sepertinya punya kekuatan magis untuk menyedot meluluh lantakkan otot-otot
kejantananku. “Makin pintar saja dia menggoyang”, batinku dalam hati.
“Occhh..”, aku menjerit panjang. Rasanya begitu nikmat. Aku mencoba mengangkat
dadaku, membuat jarak dengan dadanya, dengan bertumpu pada kedua tanganku.
Dengan demikian aku semakin bebas dan leluasa untuk mengeluar-masukkan batang
kejantananku ke dalam liang senggama Eksanti. Aku memperhatikan dengan seksama
kejantananku yang keluar masuk lincah di sana .
Dengan posisi seperti ini aku merasa
begitu jantan. Eksanti semakin melebarkan kedua pahanya, sementara tangannya
melingkar erat di pinggangku. Gerakan naik turunku semakin cepat mengimbangi
goyangan pinggul Eksanti yang semakin tidak terkendali. “Santii.. enak banget,
‘yang, kamu makin pintar, ‘yang..”, ucapku merasa keenakan. “Kamu juga, Mas..,
Santi juga enakk..”, , jawabnya agak malu-malu. Eksanti merintih dan
mengeluarkan erangan-erangan kenikmatan.
Berulang kali mulutnya mengeluarkan
kata-kata, “aduh..occhh..”, yang diucapkan terputus-putus. Aku merasakan liang
senggama Eksanti semakin berdenyut sebagai pertanda Eksanti akan mencapai
puncak pendakiannya. Aku juga merasakan hal yang sama dengannya. Namun aku
mencoba bertahan dengan menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya
pelan-pelan, untuk menurunkan daya rangsangan yang aku alami. Aku tidak ingin
segera menyudahi permainan ini dengan tergesa-gesa.
Aku mempercepat goyanganku ketika aku
menyadari Eksanti hampir mencapai orgasmenya. Aku meremas payudaranya
kuat-kuat, seraya mulutku menghisap dan menggigiti puting susu Eksanti. Aku
menghisap dalam-dalam. “Occhh.. Mas..”, jerit Eksanti panjang. Aku membenamkan
batang kejantananku kuat-kuat ke liang senggamanya hingga mencapai dasar rongga
yang terdalam. Eksanti mendapatkan kenikmatan yang sempurna. Tubuhnya
melengkung indah dan untuk beberapa saat lamanya tubuhnya mengejang. Kepalaku
ditarik kuat-kuat hingga terbenam di antara dua bukit payudaranya.
Pada saat tubuhnya menghentak-hentak,
ternyata aku merasa tidak sanggup lagi untuk bertahan lebih lama. “Saanntii..
aakuu.. mau keluaarr.. saayang.. occhh.. hh..”, jeritku. Aku ingin menarik
keluar batang kejantananku dari dalam liang senggamanya. Namun Eksanti masih
ingin tetap merasakan orgasmenya, sehingga tubuhku serasa dikunci oleh kakinya
yang melingkar di pinggangku. Saat itu juga aku merasa hampir saja memuntahkan
cairan hangat dari ujung kejantananku yang hampir meledak. Aku merasakan
tubuhku bagaikan layang-layang putus yang melayang terbang, tidak berbobot. Aku
tidak sempat menarik keluar batang kejantananku lagi, karena secara spontan
Eksanti juga menarik pantatku kuat ke tubuhnya, berulang kali.
Mulutku yang berada di belahan dada
Eksanti menghisap kuat kulit putihnya, sehingga meninggalkan bekas merah pada
disana. Telapak tanganku mencengkram buah dada Eksanti. Aku meraup semuanya,
sampai-sampai Eksanti merasa agak kesakitan. Aku tak peduli lagi. Hingga
akhirnya.. plash.. plash.. plash.. (8X), spermaku akhirnya muncrat membasahi
lubang sorganya. Aku merasakan nikmat yang tiada duanya ditambah dengan
goyangan pinggul Eksanti pada saat aku mengalami orgasme.
Tubuhku akhirnya lunglai tak berdaya di
atas tubuh Eksanti. Batang kejantananku masih berada di dalam liang kenikmatan
Eksanti. Eksanti mengusap-usap permukaan punggungku. “Kamu menyesal, Santi?”,
ujarku sambil mencium pipinya. Eksanti menggeleng pelan sambil membalas
membelai rambutku. Aku tersenyum kepadanya. Eksanti membalas. Aku meyandarkan
kepalaku di dadanya. by majalahsex.com Jam telah menunjukkan pukul 21:00 dan
aku mesti cepat pulang ke rumah, karena tadi aku tidak sempat membuat alasan
untuk pulang terlambat.
Begitu pula dengan Eksanti, yang saat itu
telah memiliki kebiasan baru selayaknya calon pasangan suami istri, yaitu makan
malam bersama Yoga di rumah kost mereka. Sebelum berpisah, kami berciuman untuk
beberapa saat. Itu adalah ciuman kami yang terakhir.., percintaan kami yang
terakhir.., sebelum akhirnya Yoga menikahi Eksanti, 2 bulan kemudian.
Komentar
Posting Komentar