Sebelumnya, aku tak pernah menyangka kalau
kepindahanku ke Jakarta
dapat berdampak besar dan merubahku menjadi seperti sekarang ini. Dari awal
ketika suamiku memutuskan untuk pindah dari Sumatera Barat ke ibukota, aku
sebenarnya menentang dengan keras keputusan tersebut karena tak mau tinggal
berjauhan dengan keluarga besarku. Namun tawaran promosi jabatan yang di terima
suamiku begitu menggoda sehingga pada akhirnya kamipun pindah ke jakarta .
Barulah setelah sebulan kami menikah,
akupun resmi melepas keperawananku kepada pria yang sudah berjanji sehidup semati
denganku tersebut.
Ada hawa hangat yang
aku rasakan saat tangan kasarnya tersebut menyentuh kulit wajahku. Bahkan tak
ada sedikitpun niat untuk menolak sentuhan pria penjual sayur itu karena yang
aku rasakan justru malah sebuah ketentraman.
Namaku Aliya. Banyak orang memanggilku
dengan sebutan Liya. Aku berumur 26 tahun dan merupakan seorang istri yang juga
seorang ibu dari putriku yang berumur 5 tahun. Secara garis besar, aku bisa
dikatakan sebagai wanita yang alim. Aku selalu menjaga lisan dan sopan santun
kepada siapapun, begitu juga dengan cara berpakaianku.
Suamiku juga merupakan pria yang sangat
pengertian. Selepas kami menikah, dia tidak pernah memaksakan kehendaknya untuk
melakukan hubungan suami istri secara langsung. Dia tahu bahwa kita masih butuh
waktu untuk saling mengenal lebih dalam satu sama lain. Sehingga
diminggu-minggu pertama kami menikah, kami hanya menghabiskan romantisme dengan
berpegangan tangan dan bercium pipi saja.
Aliya |
Awal pertama aku melakukan seks, aku
merasa sangat canggung dan gemetar karena untuk pertama kalinya aku membiarkan
seorang lelaki melihat tubuh polosku. Aku merasa begitu tidak percaya diri dan
sadar kalau aku ini tidak lah begitu cantik.
Seumur hidupku, aku hanya diajarkan untuk
menjaga adab dan akhlakku untuk menjadi seorang istri yang baik. Tidak pernah
diajarkan untuk merawat diri sendiri atau tampilan fisik lainnya.
Satu-satunya yang bisa aku banggakan dari
tubuhku hanyalah kulitku yang putih dan badanku yang selalu kurus meski aku
makan banyak sekalipun. Banyak yang bilang aku sedikit terlihat lebih muda
untuk ukuran wanita yang sudah punya anak satu karena aku terlihat yang kurus
langsing. Buah dadakupun tidaklah besar dan hanyak berukuran 34b saja.
Suamikupun juga tidak terlalu hebat untuk
ukuran fisik. Meski wajahnya tergolong tampan, namun badannya sedikit gemuk dan
penis miliknya tidaklah begitu panjang. Bahkan terlihat agak kecil dari apa
yang aku bayangkan selama ini.
Dulu suamiku sempat bertanya apakah aku
tidak keberatan dengan ukuran penis miliknya. Tapi aku dengan sangat yakin
mengatakan padanya kalau hal tersebut bukanlah masalah bagiku. Karena pada saat
itu, aku tidak pernah tau kalau ukuran juga menjadi penentu kenikmatan dalam
bercinta.
Jadi meskipun ukuran penis suamiku kecil,
aku tetap dapat merasa nikmat tiap kali bersetubuh walau tak pernah merasakan
yang namanya orgasme.
Kamipun rutin selalu melakukan hal yang
sama ketika kami bercinta. Setelah berciuman mulut, suamiku akan menghisap buah
dadaku sebentar lalu memasukkan penisnya ke dalam vaginaku. Dan setelah
menggenjotnya beberapa kali, dia akhirnya memutahkan sperma miliknya di dalam
vaginaku.
Setelahnya, aku merasa kalau tugasku
sebagai istri sudah selesai. Asalkan sang suami sudah puas, maka tidak ada hal
lain yang perlu dilakukan.
Dan 6 tahun akhirnya berlalu dengan begitu
saja. Hidupku sekarang terasa sudah sempurna. Aku mempunyai suami yang baik dan
sholeh. Kehidupan ekonomi kami yang semakin hari semakin baik berkat promosi
yang diterimanya. Kamipun juga sudah dikaruniai seorang putri cantik bernama
Tasha.
Namun semenjak aku pindah ke jakarta , keadaan kami
mulai sedikit renggang karena suamiku sudah jarang dirumah berkat kesibukan
yang dia jalani di kantor barunya. Aku sadar kalau dengan datangnya promosi,
berarti akan lebih banyak pula pekerjaan yang harus di tangani oleh suamiku.
Sedangkan aku hanya berdiam diri di rumah tak melakukan apa-apa.
Bahkan seringkali ketika aku merasa horny
dan ingin bersenggama, suamiku malah menolaknya mentah-mentah dengan alasan
capek dan tidak bergairah. Hasratku yang akhir-akhir ini selalu menggebu itupun
terpaksa aku kubur dalam rasa kecewa yang semakin hari semakin membuatku jenuh
dengan keadaan.
Beruntungnya saat ini aku sudah mulai
mengenal beberapa orang yang menjadi tetanggaku di perumahan baru ini. Jadi ada
sedikit kegiatan yang dapat meringankan stressku saat aku berbincang-bincang
ringan dengan mereka setiap pagi.
Dari situ pulalah akhirnya aku ikut mengenal
sosok Mang Dedi, seorang Tukang sayur yang menjadi langganan warga komplek
perumahan tempat aku tinggal. Orangnya sudah sedikit berumur namun masih
terlihat bugar dan prima untuk ukuran seorang pria setengah baya. Dia juga
sangat pandai bergurau, kadang suka merayu dan sangat ramah kepada siapapun.
Aku yang masih baru mengenalnya pun jadi
cepat akrab karena dia memiliki sifat mudah bergaul dan selalu bisa menemukan
topik yang seru untuk dibicarakan. Bahkan sekarang sudah menjadi rutinitasku
untuk berbelanja lebih lama dari ibu-ibu lainnya karena terlalu keasikan
mengobrol dengannya. Kami berdua selalu membual dan bercerita tentang banyak
hal seakan kami sudah mengenal begitu lama.
Pada mulanya aku menganggap hubungan kami
hanyalah sebatas seorang penjual dan pembeli saja, namun siapa sangka hubungan
itupun semakin hari semakin mesra saat kami memutuskan untuk bertukaran kontak
di aplikasi WA.
Sejak saat itu, aku dan Mang Dedi semakin
sering berbicara satu sama lain. Berbagai macam topik seperi pekerjaaan,
politik, kehidupan bahkan candaan yang sedikit menjurus pun sudah menjadi hal
lumrah untuk kami bahas. Mang Dedipun mengaku sangat senang bisa akrab denganku
karena dia selalu bilang kalau aku adalah tipe wanita idamannya.
Kemesraan di WA itu juga sudah sampai
terbawa-bawa dalam kehidupan sehari-hari kami. Sampai pernah suatu hari kami
lagi-lagi bercanda kearah yang sedikit menjurus pada hal-hal mesum.
"Maaf lama yah Mbak. Kalau pagi tuh
emang suka begitu, kebelet mulu kagak jelas. Kalau gak di buang pasti nih keras
banget kayak tiang listrik" Ucap Mang Dedi bercanda.
Aku kemudian tertawa mendengar pengakuan
Mang Dedi yang komplain tak bisa pergi kencing karena masih banyak yang
membeli. Barulah setelah aku datang, para ibu-ibu sudah selesai belanja dan dia
bisa menitipkan dagangannya sebentar kepadaku.
"Gapapa Mang, lagian saya juga ga
buru-buru kok" balasku singkat.
Namun pada saat itu aku tidak sengaja
menangkap sebuah siluet tonjolan besar dibalik celana pendek yang di pakai Mang
Dedi. Tonjolan itu terlihat sangat membokong hingga aku bertanya-tanya dalam
hati apakah dia tak memakai celana dalam sama sekali. Karena kalau
dipikir-pikir, jika tonjolannya saja sudah sebesar itu, lalu sebesar apakah
ukuran penis yang ada di dalamnya???
Pikiran-pikiran kotor itupun mulai
berputar-putar meracuni benakku bahkan setelah beberapa hari berikutnya. Entah
karena hasrat seksualku yang tak pernah dipenuhi oleh suamiku belakangan ini,
aku jadi gampang sekali merasa horny dan bergairah luar biasa. Namun untungnya
semua itu dapat aku lampiaskan dengan bercengkrama ria bersama Mang Dedi.
Sekarang kami sudah semakin nyaman satu
sama lain hingga terkadang Mang Dedi mulai berani bersayang-sayang denganku.
Dari situ juga awal mula datang sebuah perasaan aneh yang menggelitik hatiku.
Tapi karena aku memang sudah terlanjur dekat, jadi aku tak sungkan melayani
interaksi Mang Deni seperti seorang kekasih.
Hanya saja, Akupun merasa cukup tau batas
karena bagaimanapun aku adalah seorang istri dan seorang perempuan baik-baik.
Tidak ada sedikitpun niat untuk menyelingkuhi suamiku ataupaun niat-niat untuk
berbuat curang lainnya. Aku dan Mang Dedi hanya teman yang saling
bersenang-senang saja untuk mengisi waktu luang.
Setidaknya begitulah pemikiran naif ku
pada awal kedekatan kami.
Aku tidak sadar kalau apa yang aku lakukan
tersebut sudah membukakan pintu dari segala macam badai yang siap menghantam
kehidupanku.
Badai yang pada akhirnya mengubahku
menjadi seorang perempuan yang mengenal dunia dari sudut pandang yang berbeda. Aku
pun sebenarnya ikut menentukan momen ini karena sudah hampir dua minggu lamanya
suamiku tidak menyentuhku sama sekali. Kesibukannya di kantor menyita banyak
waktu dan tenaga. Sehingga ketika dia di rumah, suami ku hanya menghabiskan
waktu dengan tidur saja.
Akan tetapi momen yang aku tunggu-tunggu
itupun tampaknya harus Pupus karena suamiku tiba-tiba mengabarkan kalau dia
harus lembur di kantornya.
Suamiku langsung meminta maaf kepadaku dan
berjanji akan menebusnya di lain hari. Dia bahkan juga bilang kalau dirinya
sudah meminta pada atasannya untuk tidak diberikan lembur di malam jumat dan
malam sabtu.
Aku yang sempat kecewa berat tadinyapun
bisa sedikit bernafas lega. Suamiku ternyata juga merasa rindu berduaan
denganku terbukti dari keinginannnya untuk tidak lembur terus-terusan. Jadi
untuk sekarang aku terpaksa harus berusaha memaklumi keadaannya.
Mungkin saja dia lebih merasa kesepian
daripada apa yang aku rasakan karena memang kami sudah jarang melakukan hal-hal
yang romantis sebagai pasangan suami istri.
“Mi, Abi boleh minta sesuatu nggak?” tanya
suamiku ditelepon
“Minta apaan bi?” Tanyaku.
“Umi kirimin foto bugil dong buat Abi”
Aku terkejut mendengar permintaan aneh
yang tiba-tiba tersebut “Buat apaan bi?" tanyaku heran.
“Abi kangen nih sama umi” jawab suamiku.
“Iya Umi tahu, tapi kenapa harus bugil?”
tanyaku penuh selidik.
“Kan
ini buat suami kamu doang bukan buat orang lain”
“Tapi kan takut Bi!!, kalau misalnya tersebar dan
dilihat orang gimana?”
“Ya mana mungkin Abi lihatin sama orang mi”
"Iya, tapi kalau temen Abi minjem HP
nya Abi gimana??? Atau gak HP nya ilang?? Kan bisa bahaya Bi!!"
"Jadi Umi gak mau nih??"
“Nggak mau lah” jawabku singkat.
Suamiku tiba-tiba diam begitu saja seperti
sedang kecewa dengan ketidakmauan ku. Tapi mau gimana lagi, aku takut dan risau
kalau fotoku tersebar dan menjadi aib untuk keluarga. Namun di sisi lain aku
juga tidak tega terhadap Suami ku sendiri dan tak mau durhaka karena tidak
patuh.
Lantas setelah berpikir beberapa saat
akhirnya aku pun memanggil suamiku kembali “Yaudah Bi nanti aku kirimin” ucapku
singkat.
“Beneran ya Mi?” suara suamiku
bersemangat.
“Iya. Tapi Abi janji harus hati-hati,
jangan sampai dilihat sama orang” ucapku memperingatkan.
“Iya sayangku. Abi janji akan
berhati-hati. Kirim yang banyak ya” balasnya manja.
Kami pun kemudian berbicara sebentar
sebelum suamiku berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya. Sebelum menutup
telepon, sekali lagi suamiku mengingatkanku untuk tidak lupa mengirimkan foto
bugilku sesuai permintaannya tadi.
Setelah selesai menelepon, aku pun segera
beranjak ke dalam kamar untuk mengambil beberapa foto selfie yang akan aku
kirimkan kepada suamiku. Tapi karena aku tidak pernah melakukan selfie secara
telanjang sebelumnya, akupun merasa sedikit bingung dan canggung-canggung
melakukannya.
Karena itu aku memutuskan untuk tidak
langsung berfoto tanpa busana terlebih dahulu. Aku hanya membuka dua buah
kancing baju gamisku di bagian dada dan memperlihatkan sedikit BHku dari luar
lalu memfotonya.
Berapa menit setelah aku mengirimkannya
kepada suamiku, dia pun langsung membalasnya dengan mengatakan kalau dia sangat
beruntung mendapatkan istri yang cantik seperti aku.
Dan untuk pertama kalinya, aku pun begitu
senang mendapat pujian dari suamiku tersebut karena selama ini dia jarang
memuji-mujiku dari tampilan fisik.
Aku hanya tersenyum membaca balasannya
tersebut dan kembali mengambil beberapa selfie dengan gaya dan pose yang berbeda. Kali ini aku
mengangkat ujung bawah gamisku sampai ke bagian paha sehingga menampakan betis
ku yang putih dan ramping. Setelah aku foto, akupun mengirimkannya kembali
kepada suamiku.
Tak berapa lama suamiku pun kembali
membalas. Responnya pun kurang lebih sama seperti yang tadi, berbagai macam
pujian dilontarkan suamiku sambil terus mengomentari betapa indahnya tubuhku
ini.
Aku sampai menoleh ke arah cermin di
sampingku untuk memastikan apakah yang suamiku bilang tersebut adalah benar.
Aku bahkan mematut dengan seksama badanku sendiri dari arah pantulan cermin dan
berpose-pose bak seorang model yang tengah mengadakan pemotretan.
Harus diakui memang kalau badanku tidak
semolek atau semontok wanita-wanita diluar sana . Namun badanku terlihat proposional
dengan payudara kecil dan pinggul yang membulat kencang. Tidak ada sedikitpun
tanda-tanda kegemukan serta semuanya terlihat pas dengan wajahku.
Dengan pujian-pujian tersebut pun, lama
kelamaan membuatku menjadi semakin percaya diri dan mulai berpikir bahwa
sebenarnya aku memang lumayan menarik di mata lelaki. Entah perasaan darimana,
aku merasa sangat bangga dengan tubuhku sendiri saat ini.
Mungkin karena itu jugalah aku mulai
dilanda badai syahwat dan sedikit terangsang. Hingga tanpa malu-malu lagi aku
menanggalkan seluruh pakaian yang aku kenakan satu persatu sampai dimana aku
sudah sepenuhnya bertelanjang. Hanya tertinggal sebuah hijab lebar yang melilit
dikepalaku saja.
Tak lama kemudian, suamiku kembali
mengirim pesan sambil meminta kepadaku untuk berfoto sambil mengangkang.
Awalnya aku sedikit ragu dan protes, namun
karena sudah terlanjur horny ditambah bujuk dan rayuan suamiku, aku pun
mengiyakan permintaan nakalnya tersebut.
Aku menyangga HPku dengan bantal dan
menyalakan timer kameranya. Setelah merasa posisinya sudah pas, akupun mundur
sambil mengangkangkan kedua kakiku dengan lebar. Tak lupa tanganku secara
spontan meremas payudaraku sendiri sambil membuat ekspresi menggigit bibir dan
berpose ala-ala perempuan seksi.
Beberapa kali HPku berbunyi pertanda kalau
fotonya sudah diambil. Lalu dengan cepat aku mengirimkannya kepada suamiku dan
menunggu respon seperti apa yang akan dia berikan sambil berdebar-debar.
Namun lagi-lagi ketika aku menyaksikan
foto yang kuambil barusan dengan seksama, aku terdiam dan terperangah dengan
hasil foto tersebut. Aku benar-benar terlihat seperti seorang wanita yang jauh
dari kategori Alim.
Padahal aku masih memakai hijabku namun
aku tidak menyangka kalau aku juga bisa membuat ekspresi seperti itu. Karena
dalam foto tersebut aku tampak seperti seorang wanita yang sangat-sangat binal.
Suamiku pun tampaknya juga sepemikiran
denganku, selang hanya beberapa detik saja dia sudah membalas pesanku dengan
kata-kata yang semakin membuatku percaya diri.
"Umi seksi banget kayak model"
"Umi bener-bener wanita idaman
laki-laki"
"Istriku binal banget"
Begitulah kira-kira pesan chat suamiku
yang tak berhenti-henti dia kirimkan.
Dan akupun juga tak mau kalah dengan
kembali mengirimkan beberapa foto bugilku dalam berbagai macam pose dan gaya .
Entah kenapa, semakin aku di puji oleh
suamiku maka semakin bersemangatnya aku untuk berpose lebih liar dan menantang.
Padahal sebenarnya aku hanya mengikuti instingku saja dan tidak pernah
melakukan hal ini sebelumnya.
Badankupun tiba-tiba menjadi semakin panas
dingin tak karuan, darahku berdesir hebat dan vaginaku terasa sangat-sangat
gatal dan basah.
Aku mencoba menyerahkan semuanya pada
naluri hewaniahku sendiri dengan menggerakkan tanganku untuk mengelus bagian
luar bibir vaginaku karena terasa gatal.
Namun ketika tanganku bersentuhan dengan
kulit dibagian vaginaku, aku malah merasa seperti disetrum oleh sebuah aliran
listrik ringan disekujur sendi-sendi tulangku sampai aku langsung merebahkan
diri diatas kasur.
Perasaan yang kudapat begitu aneh namun
sangat memuaskan. Semakin aku mencoba untuk melakukan gerakan mengelus, maka
semakin besar pulalah rasa nikmat yang aku terima.
Sebelum ini pun sebenarnya aku sudah
pernah menyentuh bagian vaginaku sendiri. Namun untuk sekarang, rasanya 180
derajat begitu berbeda.
Saking berbedanya, aku bahkan tanpa sadar
mulai merubah gerakan mengelusku menjadi sebuah gerakan menggosok-gosok dengan
ritme yang lumayan kencang.
Saat itu juga mataku terpejam menahan
nikmat yang sebelumnya belum pernah aku dapatkan. Rasanya begitu berbeda jika
dibandingkan dengan rasa nikmat yang aku terima sewaktu aku bersenggama dengan
suamiku.
Tapi hanya selang beberapa saat ketika aku
menikmati kegiatan baruku itu, sebuah notif muncul diatas layar hp ku dan
menunjukkan kalau pesan tersebut berasal dari Mang Dedi si tukang sayur.
Aku langsung terkikik sejenak karena
terbayang akan sosok laki-laki paruh baya yang belakangan ini tengah mengganggu
pikiranku dengan tonjolan besar dibalik celananya itu.
Jadilah aku menunda sejenak kegiatan yang
mendatangkan rasa nikmat tersebut dan langsung mengecek pesan yang ada di HP
ku.
"Malam Mbak Liya sayang" tulis
Mang Dedi di pesan WAnya dengan beberapa selipan emot-emot manja.
"Malam juga Mang Dedi sayang"
balasku tak kalah mesra.
Ini adalah pertama kalinya aku memanggil
Mang Dedi dengan panggilan sayang setelah sebelumnya aku menahan diri untuk
tidak melakukannya.
Mungkin keadaanku yang sedang horny dan
terangsang ini membuat akal sehatku sedikit buntu dan rasa malu ku berkurang.
Hanya saja, rasanya begitu senang ketika aku memanggilnya dengan sebutan
tersebut. Aku bahkan menahan nafasku karena saking berdebar-debarnya.
"Asik nih udah di panggil sayang.
Tinggal tunggu diberi kasih sayang aja nih. Heheheheh" balas Mang Dedi
dengan candaannya seperti biasa.
"Emangnya Mang Dedi mau kasih sayang
dari aku?" Tanyaku lagi.
"Ya mau dong Mbak cantik"
"Nih aku kasih" balasku sambil
mengirimkan sebuah foto selfie yang aku ambil dengan cepat.
Foto tersebut hanya menampakkan bagian
kepalaku yang terbalut hijab dan mimik muka seperti sedang mencium.
Akupun buru-buru memejamkan mataku merasa
sangat nakal ketika berbagi foto intim dengan pria lain selain suamiku.
Lagi-lagi rasanya begitu mendebarkan dan anehnya membuat aku semakin merasa
horny.
"Loh!! Mbak Liya kok ga pake baju??
Abis ena-ena sama suaminya ya??" Balas Mang Dedi tak berapa lama.
Sontak saja aku terlonjak kaget dengan
balasannya tersebut karena Mang Dedi seakan tau kalau aku sedang dalam keadaan
tanpa busana. Padahal aku cuma mengirimkan foto wajahku saja.
Baru aku ingin bertanya, Mang Dedi sudah
kembali mengirim pesan. "Itu di belakang Mbak ada cermin loh. Aku bisa
liat punggung sama pantatnya Mbak"
Oh Tidakkk !!!! teriakku sangat kencang.
Aku buru-buru melihat hasil jepretan ku tadi dan menyadari kalau foto wajah
yang aku kirimkan kepada Mang Dedi barusan secara tidak sengaja juga menangkap
cermin yang ada di belakangku. Dan cermin tersebut begitu jelas memantulkan
bayangan punggung dan garis pantatku.
Aku pun dengan cepat meng-unsend foto yang
aku kirim ke Mang Dedi tersebut sambil mengutuk diriku yang sangat ceroboh
akibat terlalu asik berselfie. Apalagi aku malah secara tidak sengaja
mengirimkan foto tubuhku kepada lelaki lain selain suamiku.
Oh tidak!!! Gimana ini???????
Sudah seminggu berlalu semenjak insiden
foto selfie yang tak sengaja itu, aku memutuskan untuk membatasi interaksiku
dengan Mang Dedi. Baik di kehidupan sehari-hari maupun di aplikasi WA, aku
sebisa mungkin menghindar untuk berbicara dengannya untuk sementara waktu.
Memang setiap kali Mang Dedi mengirim
pesan WA padaku, dia tidak pernah membahas sedikitpun tentang foto tersebut.
Dia hanya bertanya kenapa aku tidak lagi datang membeli dagangannya atau
sekedar menanyakan kabarku.
Tapi karena aku masih dirundung rasa malu
yang luar biasa, akupun hanya menjawab sekenanya dan tidak pernah bertanya
balik sebagaimana aku dulu. Namun anehnya Mang Dedi tampak tidak menyerah sama
sekali untuk mengajakku berbicara dan tak peduli dengan balasan singkatku
tersebut.
Setiap pukul 9 pagi, Hp ku pasti akan
berbunyi menandakan ada pesan WA yang masuk darinya. Dan setiap pesan itu
datang, pasti membuat semua rasa jenuhku hilang seketika berganti dengan
senyuman.
"Pagi Mbak Liya" sapa Mang Dedi
dalam pesannya.
"Pagi juga Mang" balasku
singkat.
"Apa kabar hari ini??"
"baik Mang"
“baguslah.. Mbak gak belanja lagi
nih??"
"Enggak Mang"
"Yahh.. padahal sayur saya udah
kangen dibeli sama Mbak" balasnya masih dengan candaan.
"Aku juga kangen kamu Mang"
Ucapku dalam hati.
Seolah aku mengerti kalau Mang Dedi
sebenarnya mau bilang kangen padaku secara tidak langsung. Tapi tak berani aku
menuliskannya di pesan WA tersebut karena tidak ada baiknya seorang istri
berucap rindu pada laki-laki lain selain suaminya.
"Mamang boleh nanya sesuatu gak sama
Mbak Liya?" Tanya Mang Dedi.
"Tanya apa?"
"Mbak Liya marah ya sama
Mamang??"
"Enggak Mang, aku gak marah sama
mamang" balasku.
"Tapi kok Mbak Liya kayak ngehindar
gitu?"
"Aku malu Mang" balasku lagi.
Mungkin inilah saatnya aku berterus terang kepada Mang Dedi agar hubungan kami
tidak canggung lagi dan bisa kembali seperti semula.
Dengan cepat Mang Dedipun membalas pesanku
"Loh? Mbak Liya malu kenapa?"
"Malu aja Mang, sama foto
kemarin"
"Foto yang keliatan punggungnya
itu?"
"Tuhkan Mamang inget" balasku.
"Ngapain malu atuh Mbak?? Mamang tau
itu ga di sengaja, dan Mamang minta maaf kalau misalnya candaan Mamang
kelewatan"
"Iya tapi kan malu Mang!! Mamang udah liat badan
aku" balasku lagi.
"Ah. Udah sama-sama gede ini kok
sayang. Kalau kamu mau, Mamang bakal foto badan Mamang juga. Biar kita impas.
Gimana??"
"Ih jangan atuh Mang" balasku
lagi.
Tapi dalam benakku justru malah ingin
sebaliknya. Aku bahkan penasaran seperti apa badan pria paruh baya yang tiap
hari bekerja keras mendorong gerobaknya tersebut.
Namun dengan cepat aku buang
pikiran-pikiran kotor itu jauh-jauh. Karena sungguh itu adalah pikiran yang
sangat tidak etis untuk dipikirkan oleh seorang istri sepertiku.
Diluar dugaan, aku yang jelas-jelas sudah
menolak tawaran Mang Dedi tadinya malah dibuat kaget ketika dia mengirim foto
selfi badannya yang hanya dibalut oleh celana boxer pendek.
Aku menarik nafasku sebentar mencoba
menenangkan diriku. Sebelum kemudian aku mengambil kembali hpku tersebut dan
diam-diam memperhatikan foto badan Mang Dedi dengan sedikit rasa malu tapi mau.
Foto tersebut hanya menampakkan bagian
badan Mang Dedi dari leher ke bawahnya. Namun yang menjadi fokusku saat itu
justru lagi-lagi adalah tonjolan besar dibalik celana Mang Dedi yang semakin
membuatku begitu penasaran.
"Mamang ih fotonya porno!"
Balasku dengan secepat mungkin.
Jantungku berdegub dengan begitu cepat dan
wajahku terasa panas dingin dibuatnya ketika membayangkan betapa besarnya isi
di dalam celana Mang Dedi tersebut dan apakah aku bisa melihatnya secara
langsung.
"Porno gimana Mbak Liyaku sayang???
Itu kan cuma
foto badan Mamang" balas Mang Dedi setelahnya.
"Tapi itu ada yang menonjol dibawah
Mang" jawabku berterus terang.
Namun dengan entengnya Mang Dedi membalas
pesanku, "Ahh. Kalau yang itumah Mbak Liya juga sering liat kali sama
suami Mbak"
"Iya tapi gak segede itu"
balasku secara tidak sadar.
Entah apa yang aku pikirkan, aku malah
semakin terbawa arus untuk meladeni chat Mang Dedi yang arahnya sudah sangat
ketebak ujungnya. Namun aneh aku tetap ingin melanjutkan percakapan ini meski
sudah sangat melanggar normaku sebagai seorang istri dari pria lain.
"Punya suamimu gak segede ini
ya??" Balas Mang Dedi tiba-tiba.
Akan tetapi bersamaan dengan pertanyaannya
tersebut, Mang Dedi langsung menyalipkan sebuah foto yang membuat jantungku
seakan copot seketika itu juga. Pria yang menjadi tukang sayur langganan ku
tersebut dengan sangat beraninya memerkan alat kemaluan miliknya padaku tanpa
merasa malu sedikitpun.
Foto penis Mang Dedi yang selalu membuatku
penasaran tersebut akhirnya terpampang jelas di mataku. Dan ini adalah penis
lelaki kedua yang pernah aku lihat setelah punya suamiku sendiri.
Sesuai dugaanku sebelumnya, penis Mang
Dedi berukuran sangat besar dan panjang diluar nalarku. Jauh berbeda juga
dengan ukuran milik suamiku yang pendek dan kecil. Warnanyapun gelap sedikit
kecoklatan dan ujungnya terlihat aneh seperti memiliki kulup.
Melihatnya aku bahkan sampai menelan ludah
berkali-kali karena kerongkonganku terasa sangat kering penuh dahaga. Aku
mencoba membayangkan bagaimana caranya benda sebesar itu dapat masuk ke dalam
liang senggama perempuan jika bentuk dan ukurannya saja jauh dari kata normal.
Dan andai saja penis besar itu masuk
kedalam vaginaku sendiri, mungkin aku sudah bergidik ngeri sambil berteriak
kesakitan dan menjerit tidak karuan karenanya.
Tapi untung akal sehatku masih berfungsi
dengan baik, sehingga sebelum semuanya bergerak terlampau jauh, aku pun mencoba
menghentikan Mang Dedi, “Mamang udah ihh! Aku ga suka kayak gini!” balasku di
pesan.
Lama aku tak mendapat jawabannya, Hp ku
tiba-tiba berdering kencang memperlihatkan nama Mang Dedi di layar smartphoneku
memanggil. Aku kaget sekaligus berdebar karena untuk pertama kalinya Mang Dedi
berani menelfonku.
“Ha—halo Mang” Jawabku sedikit gugup
mengangkat telfon.
Namun bukannya menyapa balik, Mang Dedi
malah langsung bertanya kepadaku, “Kenapa Mbak?? Mbak ga suka sama punya
Mamang??”
“Bukan gitu ih Mang, Mamang gak malu apa
ngirim foto punya Mamang sama aku??”
“Enggak Mbak! Mamang pengen ngebuktiin
sama Mbak Liya kalau kita berdua ga perlu malu satu sama lain lagi”
“Tapi kan gak gitu caranya Mang!!” protesku.
“Tetep aja Mbak! Mamang gamau Mbak Liya
canggung dan menjauh gitu dari Mamang karena Mbak Liya merasa malu. Rasanya gak
enak kalau Mamang gak bisa deket sama Mbak Liya lagi. Mamang merasa kangen sama
Mbak Liya” Ujarnya berterus terang.
Jujur kata-kata yang diucapkan Mang Dedi
di pesannya tersebut sedikit menyentuh hatiku karena tak dapat dipungkiri kalau
akupun merasakan hal yang sama dengannya. Pertukaran kata-kata antara aku dan
Mang Dedi di whatsapp selama ini tampaknya memang sudah meninggalkan bekas yang
mendalam.
“Aku juga kangen sama Mamang” balasku
akhirnya memberanikan diri mengucap kata tabu yang seharusnya tak pernah
terucap dari seorang istri sekaligus seorang perempuan yang menjaga iman
sepertiku.
Tapi apa daya, aku tak menyangka kalau
dari pria penjual sayur itu aku kembali bisa merasakan sensasi jatuh cinta.
Rasa kangen, debaran jantung yang keras, senyum yang selalu menghiasi bibirku,
wajah yang berseri, dan pikiran yang tenang kembali tumbuh bermekaran semenjak
aku berkenalan dengannya.
“Janji ya Mbak ga bakal begitu lagi??”
pinta Mang Dedi merajut.
Aku tertawa menyenderkan bahuku di sofa,
“Iya aku janji Mamang sayanggg” jawabku bermanja-manja.
“Asikk!! tapi Mbak jangan panggil Mamang
terus dong. Panggil apa kek biar akrab dikit”
“Dipanggil Uda mau ga Mang??” candaku
sambil tertawa.
Diseberang sana
ku dengar Mang Dedi juga ikut tertawa oleh candaanku, “Aku kan bukan orang minang sayang. Masa di
panggil Uda” balasnya.
“Yaudah dipanggil Mas aja. Gimana??”
tanyaku lagi.
“Nah kalau itu pas! Mamang panggil kamu
Dek Liya boleh yaa?”
“Boleh Mas. Boleh banget” balasku lagi
sambil tersenyum.
Percakapan kami itupun berlanjut sampai
kurang lebih 3 jam lamanya sambil melepas kangen yang sudah seminggu ini aku
tahan-tahan. Suasana diantara kami menjadi normal lagi seperti sedia kala
karena Mang Dedi begitu pandai membawa suasana, menciptakan humor, rasa
penasaran, penghargaan, dan pengetahuannya yang lumayan mempuni dalam banyak
hal.
Sehingga lama kelamaan, akupun kembali
terhanyut dalam setiap pembicaraannya yang seperti menuntutku untuk menerima
tanpa memaksa. Gila. Aku rindu dengan suaranya, rindu dengan percakapan ringan
bersamanya dan rindu akan sosoknya yang hangat.
Diakhir telpon akupun berkata kalau mulai
besok aku akan kembali berbelanja di tempat Mang Dedi tanpa perlu merasa malu
lagi. Dan dia sangat senang serta menantikan momen untuk bisa bertemu dan
berbincang denganku.
Usai kami berpamitan, aku pun menutup
telfon Mang Dedi dengan perasaan puas namun meninggalkan sedikit rasa bersalah.
Aku merasa sudah mengkhianati suamiku karena telah berintim dengan pria selain
dirinya. Namun aku berusaha untuk membenarkan itu semua dengan percaya bahwa
aku dan Mang Dedi hanya punya hubungan sebatas teman. Dan kamipun tidaklah
berbuat terlalu jauh untuk dapat dikatakan sebagai sebuah perselingkuhan.
Aku tersenyum senang, kembali aku cek
pesan-pesan yang dikirim oleh Mang Dedi sedari tadi sampai aku menemukan foto
penis besar miliknya masih terpampang jelas dan tidak dihapusnya sama sekali.
Tiba-tiba saja darahku kembali berdesir
memperhatikan benda pusaka milik si tukang sayur itu tampak begitu perkasa dan
tak ada duanya. Sambil celingukan ke kanan dan kekiri, akupun menggigit bibirku
sendiri seraya tanganku memencet tombol screenshoot dan menyimpan foto penis
besar itu di smarphoneku.
“Lumayan buat kenang-kenangan..
Hihihihihihihihi”
Setelah kemarin siang aku kembali
berbaikan dengan mang Dedi, aku menjadi tidak sabar untuk menunggu hari
berganti dan kembali bertemu dengan pria yang diam-diam sudah menarik hatiku
tersebut.
Pagi yang kutunggu-tunggu itu pun akhirnya
datang menjelang. Aku terbangun dalam keadaan yang senang dan penuh rasa
antusias luar biasa.
Kubangunkan suamiku untuk sama-sama
menunaikan ibadah salat subuh berjamaah seperti yang biasa kami lakukan setiap
paginya.
Setelah itu, suamiku pun memilih untuk
tidur kembali. Sedangkan aku mulai melakukan pekerjaan rumah rutinku seperti
menyapu halaman, menyuci baju, dan memasak sarapan pagi.
Anehnya ketika aku sedang menyiapkan bahan
makanan untuk dimasak, aku malah teringat kepada sosok Mang Dedi yang pasti
belum sempat sarapan. Karena setiap harinya dia berangkat lebih awal dari
siapapun untuk menjajakan dagangannya.
Lalu terbesit lah dalam benakku untuk
memberikannya hadiah. Itung-itung sebagai tanda permintaan maaf juga atas
sikapku yang tidak mengenakkan selama seminggu terakhir.
Nasi goreng telur ceplokpun menjadi menu
andalanku untuk sarapan pagi kali ini. Hanya saja porsi bahan bakunya tinggal
sedikit dan terasa kurang untuk dapat dibagi kepada suamiku atau pun Mang Dedi.
Karena itulah aku memutuskan membuat
sarapan khusus untuk Mang Dedi terlebih dahulu. Sebab suamiku pun masih tidur
dan hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak perlu buru-buru.
Aku pun kemudian menanak nasi sekali lagi
dan berencana untuk membuat sayur toge yang menjadi kesukaan suamiku setelah
aku kembali dari belanja nanti. Jadi semuanya bisa sarapan dan tidak ada yang
ketinggalan.
Usai melakukan semua kewajibanku dan membuatkan
sarapan untuk mang Dedi, aku pun kemudian memilih mandi dan membersihkan
badanku yang berkeringat.
Hari ini juga aku mulai punya keinginan
untuk berdandan secantik mungkin agar bisa tampil cantik dihadapan Mang Dedi
nanti. Entah motivasi macam apa yang membuatku punya pikiran seperti itu, namun
aku cukup senang membayangkan diriku tampul menarik dihadapan penjual sayur
itu.
"Umi mau kemana??" Kaget suamiku
yang ternyata sudah bangun dari tidurnya.
Akupun hanya tersenyum sambil terus merias
wajahku, "Mau belanja Bi! Buat sarapan kita" balasku.
"Tumben pake dandan segala, biasanya
mah kamu pake daster doang" ledek suamiku.
"Gak ada salahnya dong tampil
cantik" ucapku percaya diri.
Suamiku tertawa mendengarnya, "Iya,
tapi siapa juga yang mau liat Mi?? Paling tukang sayur???" ledeknya lagi.
"Ya gapapa lah Bi! Mending dandan
depan tukang sayur sekalian daripada dandan depan Abi"
"Lah kok gitu Mi?" Tanya suamiku
heran.
Aku membalik badan dan mencibir suamiku,
"Iya, percuma dandan kalau gak diajak jalan" ucapku meledek.
Suamikupun tertawa terbahak-bahak
mendengar candaanku yang sebenarnya adalah isi hatiku juga. Tapi tampaknya
laki-laki yang sudah berumah tangga selama 6 tahun bersamaku ini sama sekali
tidak peka seperti kebanyakan laki-laki diluar sana .
"Awas nanti kamu diajak jalan sama
tukang sayur loh" ucap suamiku masih becanda.
"Asalkan tukang sayurnya baik mah
gapapa" balasku beranjak dari meja rias.
Mendengar perkataan ku tersebut, suamiku
tampak sedikit syok tak bergeming dari tempatnya. Dia tiba-tiba terdiam dan
bengong seperti orang yang terkena hipnotis.
Beruntung aku cepat menyadari situasi dan
menghampiri suamiku sambil tersenyum meledek, "Canda suamiku sayang"
ucapku sambil mengecup pipinya.
"Hampir jantungan aku Mi"
balasnya masih tak percaya.
Aku pun tertawa melihat ekspresi suamiku
yang tampak mengelus-elus dadanya "Salah sendiri becandanya begitu"
Ucapku beranjak dari kasur.
Setelah berbincang-bincang sebentar dengan
suamiku, aku pun berpamitan kepadanya untuk pergi berbelanja. Tak lupa aku
membawa kotak nasi dan tempat air minum yang berisikan teh manis untuk aku
sajikan kepada Mang Dedi sebagi hadiah.
Kemudian dengan perasaan senang dan
berdebar-debar, aku pun melangkahkan kakiku menuju ke tempat Mang Dedi yang
berada di pertigaan tak jauh dari rumahku.
Setiap pagi dia memang selalu mangkal dan
berjualan disana karena lokasinya yang strategis berada di dekat dengan jalur
akses masuk dan keluar perumahan.
Disana juga terdapat sebuah pos yang
biasanya menjadi tempat berkumpulnya para tukang ojek mencari pelanggan.
"Pagi Mang!" Sapaku tersenyum
melihat Mang Dedi tengah duduk di dalam pos.
"Waduh, ada bidadari mau belanja
sayuran nih" balasnya sumringah melihat kehadiranku.
Akupun bersemu merah mendengar pujian pria
itu dan menunduk malu-malu, "Mamang bisa aja ih" ucapku yang
sebenernya sangat-sangat senang.
"Kok dipanggil Mamang lagi sih?
Kemaren kan
kita udah sepakat atuh" Protes Mang Dedi padaku.
"Eh iya lupa Mas" balasku
terkekeh.
"Nah gitu dong adem" tawa Mang
Dedi sangat senang mendengarku memanggilnya dengan sebutan "Mas"
"Oh iya Mas, ini aku bawa sarapan
buat Mas Dedi" ucapku menyodorkan kotak makanan dan botol minuman yang aku
bawa dari rumah tadi.
Wajah Mang Dedipun tampak berseri melihat
aku menawarkan sarapan untuknya, "Puji tuhan!!! kebetulan banget aku belum
sarapan. Dek Liya emang paling tau kebutuhan Mas" jawabnya menyambut
makanan dariku.
"Iya Mas sama-sama. Dimakan ya"
balasku begitu senang melihat Mang Dedi yang juga tampak antusias dengan
pemberianku.
"Duduk sini Dek! Nanti kamu capek
berdiri terus disana" tawar Mang Dedi menepuk-nepuk kursi lesehan yang ada
di sebelahnya.
Akupun dengan sedikit sungkan dan
malu-malu masuk ke dalam pos yang sebenarnya tidak terlalu besar tersebut.
Didalamnya terdapat sebuah lesehan yang terbuat dari bambu dan berukuran
lumayan besar.
Pos tersebut juga terbuka dengan bagian
dinding yang hanya dibuat setengahnya saja. Jadi kalau ada orang yang masuk
kesana, yang terlihat dari luar hanyalah bagian kepala sampai lehernya saja.
Sambil celingak-celinguk akupun
memperhatikan keadaan sekitar yang tak seperti biasanya terasa lumayan sepi.
"Sepi kok Dek! Ibu-ibu lain udah pada
belanja tadi" ucap Mang Dedi yang seakan tau dengan apa yang aku pikirkan.
"Kok pada cepet ya Mas? Baru juga jam
7 ini" tanyaku melirik jam di tangan.
"Kamu gak tau kalau di kelurahan lagi
ada acara acara senam massal??"
Aku menggeleng, "Enggak Mas"
jawabku singkat.
"Oh iya lupa, kamu kan baru ya disini" balas Mang Dedi
sambil membuka kotak nasi yang berisi nasi goreng buatanku tadi.
"Wahhh. Nasi goreng Uni-uni padang nih. Pasti enak
banget" lanjutnya begitu senang.
Akupun tertawa melihat reaksinya yang
berbinar-binar seperti seekor kucing yang dikasih makan ikan, "Spesial
buat Mas Dedi" balasku.
"Hehehe. Makasih ya Dek Liya
sayang" ucap Mang Dedi mengelus pundakku dengan pelan.
Namun bukannya protes, aku malah
membiarkan Mang Dedi meyentuh bagian badanku tersebut dengan santai. Padahal
selama ini aku tak pernah membiarkan laki-laki lain selain suamiku untuk
menyentuh diriku bahkan untuk bersalaman tangan saja.
Tapi dengan Mang Dedi lagi-lagi ada
pengecualian yang tak dapat aku jabarkan dengan kata-kata. Tatapannya yang
hangat dan lemah lembut itu seolah berkata padaku bahwa dia tidak akan pernah
punya niatan untuk menjahatiku. Jadi secara tidak sadar akupun terbawa untuk
bersikap biasa saja di depannya.
"Waduhh.. enak banget nih nasih
gorengnya" ucap Mang Dedi saat dia memasukkan suapan pertama ke dalam
mulutnya.
"Masa sih Mas?? Nasi goreng biasa aja
kok itu" jawabku merendah.
Mang Dedi lalu menggeleng, "Kayaknya
ini spesial deh. Bikin nya pasti penuh rasa cinta" rayu Mang Dedi padaku.
"Mang Dedi bisa aja" senyumku
makin merasa senang.
Sambil Mang Dedi makan kamipun tetap
mengobrol ringan seputar banyak hal seperti kegiatan warga perumahan sini yang
setiap hari minggunya acap kali mengadakan kegiatan senam massal.
Mang Dedi juga bilang kalau kegiatan
tersebut digandrungi berbagai macam kalangan seperti ibu-ibu, bapak-bapak dan
anak-anak. Jadi wajar pada jam seperti ini komplek perumahan tampak sepi tidak
ada orang.
"Lain kali Dek Liya coba ikut deh
sama suami. Itung-itung buat refreshing" saran Mang Dedi padaku.
"Suamiku mana mau Mas ikut acara
kayak gitu. Dia paling males sama yang namanya olahrga" jawabku teringat
momen dimana dulu suamiku selalu menyerah duluan ketika kami jogging bersama.
"Kalau gitu sama Mas aja
gimana??" Tawar Mang Dedi tiba-tiba.
Aku tersenyum senang mendengarnya,
"Boleh sih Mas, tapi Mas kan
jualan" jawabku tak mau terlalu berterus terang.
"Demi menemani bidadari, aku rela tak
jualan sayur sehari" candanya dengan wajah serius.
"Paan sih Mas!! Kamu gaje"
tawaku pecah mendengarnya bercanda dengan wajah serius seperti itu.
Kami terus mengobrol ngalor ngidul kesana
kemari tanpa sadar sudah menyerempet pada hal-hal yang sedikit menujurus kearah
yang jorok.
Aku dengan sedikit malu-malu tetap
meladeni pembicaraan tersebut karena Mang Dedi selalu menyelingi obrolan kita
dengan suasana bercanda dan humor-humor recehnya.
"Beneran tau Dek, cewe kalau jembutnya
banyak pasti orangnya napsuan" lanjut Mang Dedi ditengah obrolan kita
tentang masalah keintiman.
"Ah. Mas sok tau!! Aku bulunya banyak
tapi gak napsuan tuh" jawabku membantah
Mang Dedi menggeleng, "Kamu belum
sadar aja sama diri kamu. Mas berani taruhan kalau kamu sering masturbasi di
kamar mandi. Iya kan ??"
"Masturbasi apaan?" Tanyaku
bingung dengan istilah yang digunakan Mang Dedi.
"Itu! Yang main-main sama punya kamu
sendiri" ucapnya dengan frontal.
Sontak aku kaget dan langsung teringat
dengan kejadian kemarin-kemarin hari dimana aku beberapa kali sempat melakukan
hal yang dimaksud masturbasi tersebut oleh Mang Dedi. Beberapa kali ketika aku
terangsang, aku mengikuti instingku dengan mengelus-elus bagian luar vaginaku
sampai becek dan basah.
"Tuh kan pernah" ucap Mang Dedi dengan
percaya diri.
Tapi aku masih tidak terima dan protes
padanya
"Iya tapikan gak sering juga"
balasku sewot.
"Aku yakin sering" angguk-angguk
Mang Dedi menuduhku.
"Mas kali yang sering begitu"
balasku mengalihkan pembicaraan.
Namun Mang Dedi malah terkekeh
mengakuinya, "Kalau Mas mah emang sering Dek. Maklumlah Mas belum punya
istri buat begitu-begituan"
"Idiihh najong. Ngomongnya kayak
orang bener" ledekku becanda.
"Beneran dong. Daripada aku
memperkosa orang, lebih baik dikocok pake tangan sendiri" tawa Mang Dedi
lepas begitu keras.
"Emangnya enak ya Mas pake tangan
sendiri?" Tanyaku penasaran.
Mang Dedipun mengangguk, "Enak sih
Dek. Tapi bakalan lebih enak lagi kalau pakai tangan kamu ini" ucapnya
Mang Dedi meraih dan memegang tanganku. Tapi anehnya, aku tidak berusaha
menarik tanganku dan membiarkan saja tangan kasar milik Mang Dedi tersebut
menggenggamnya.
"Apaansih kamu Mas!!" Ucapku
malu-malu tak berani menatap wajah Mang Dedi.
Jantungku berdebar-debar sangat kencang
seperti sebuah tabuh yang terus dipukul tak henti-hentinya. Suasana pagi itupun
mulai terasa sedikit panas dan membuatku kegerahan.
Apalagi dalam situasi tempat yang terbuka
seperti ini semakin menambah rasa berdebarku takut-takut kalau ada yang lewat
dan melihatku bergandengan dengan pria yang bukan suamiku tersebut.
Tiba-tiba saja, Mang Dedi mengangkat
tanganku dan menciumnya "Iya. Kalau tangan halus punya kamu ini yang
ngocokin aku, pasti bakal enak banget" rayunya semakin berani.
"Mas jangan ih!! Nanti diliat
orang" protesku padanya.
Cukup aneh memang karena seharusnya aku
memprotes tindakan Mang Dedi yang memegang dan mencium tanganku, bukan malah
memprotes dia yang melakukannya di tempat terbuka seperti ini.
"Abis tangan kamu wangi sih Dek"
balasnya terkekeh.
Suasana diantara kamipun menjadi sedikit
canggung setelah itu karena aku memilih diam sejenak tak bisa lagi berkata-kata
banyak. Jantungku sudah sangat terpacu oleh tindakan kecil Mang Dedi itu dan
darahku berdesir merasakan adrenalin mengalir keseluruh tubuhku.
Aku membiarkan saja tanganku tersebut di
genggam lama oleh Mang Dedi sebelum akhirnya dia tiba-tiba menuntunnya pada
daerah selangkangannya sendiri.
"Arghh!" teriakku lumayan
kencang sambil menarik tanganku dari selangkangannya.
Dapat aku rasakan kalau di balik celana
yang tengah dipakainya saat ini, batang penis Mang Dedi tengah menegang dengan
sangat kerasnya.
Namun dengan tanpa bersalah sedikitpun
Mang Dedi malah tertawa, "Kenapa Dek?" Ucapnya bertanya dengan polos.
"Mas nakal iiihhhhh!" Protesku
lagi.
"Abis kamunya diem aja gak
ngomong" sungut Mang Dedi malah menyalahkanku.
"Mas tuh ya!! Iseng banget jadi
orang!!" Ucapku melayangkan sebuah cubitan dipinggangnya.
"Awhhh sakit Dek" ringis Mang
Dedi sambil tertawa.
Setelah itu, Mang Dedi malah menggelitik
balik pinggangku dengan tangannya, "Ini serangan balasan" teriaknya
menggelitikku.
Akupun langsung berkelojotan merasa geli
karena Mang Dedi menggelitik di kedua area pinggangku sehingga aku yang gampang
gelian inipun jatuh tertidur di lesehan bambu yang ada disana.
"Ampun Mas, Ampun" ucapku
tertawa menahan geli meminta Mang Dedi berhenti untuk menggelitikku.
Tanpa aku sadari, posisiku kami saat ini
sedang berhimpitan satu sama lain dengan Mas Dedi berada diatasku yang tengah
telentang kegelian. Untungnya posisi tersebut tidak bertahan lama karena Mang
Dedi segera menghentikan gelitikannya padaku.
Mang Dedi tertawa puas setelah berhasil
mengerjaiku sebelum akhirnya dia menjatuhkan diri disampingku. Nafas kami
berdua saling berpacu terengah-engah setelah beberapa saat kami bergelut
layaknya anak kecil yang tengah asik bermain.
“Kamu cantik Dek Liya” ucap Mang Dedi
tiba-tiba memegang pipiku.
Komentar
Posting Komentar