Langsung ke konten utama

Perubahan Dalam Diriku

Sebelumnya, aku tak pernah menyangka kalau kepindahanku ke Jakarta dapat berdampak besar dan merubahku menjadi seperti sekarang ini. Dari awal ketika suamiku memutuskan untuk pindah dari Sumatera Barat ke ibukota, aku sebenarnya menentang dengan keras keputusan tersebut karena tak mau tinggal berjauhan dengan keluarga besarku. Namun tawaran promosi jabatan yang di terima suamiku begitu menggoda sehingga pada akhirnya kamipun pindah ke jakarta.

Namaku Aliya. Banyak orang memanggilku dengan sebutan Liya. Aku berumur 26 tahun dan merupakan seorang istri yang juga seorang ibu dari putriku yang berumur 5 tahun. Secara garis besar, aku bisa dikatakan sebagai wanita yang alim. Aku selalu menjaga lisan dan sopan santun kepada siapapun, begitu juga dengan cara berpakaianku.

Suamiku juga merupakan pria yang sangat pengertian. Selepas kami menikah, dia tidak pernah memaksakan kehendaknya untuk melakukan hubungan suami istri secara langsung. Dia tahu bahwa kita masih butuh waktu untuk saling mengenal lebih dalam satu sama lain. Sehingga diminggu-minggu pertama kami menikah, kami hanya menghabiskan romantisme dengan berpegangan tangan dan bercium pipi saja.

 Barulah setelah sebulan kami menikah, akupun resmi melepas keperawananku kepada pria yang sudah berjanji sehidup semati denganku tersebut.
Aliya
Awal pertama aku melakukan seks, aku merasa sangat canggung dan gemetar karena untuk pertama kalinya aku membiarkan seorang lelaki melihat tubuh polosku. Aku merasa begitu tidak percaya diri dan sadar kalau aku ini tidak lah begitu cantik.

Seumur hidupku, aku hanya diajarkan untuk menjaga adab dan akhlakku untuk menjadi seorang istri yang baik. Tidak pernah diajarkan untuk merawat diri sendiri atau tampilan fisik lainnya.

Satu-satunya yang bisa aku banggakan dari tubuhku hanyalah kulitku yang putih dan badanku yang selalu kurus meski aku makan banyak sekalipun. Banyak yang bilang aku sedikit terlihat lebih muda untuk ukuran wanita yang sudah punya anak satu karena aku terlihat yang kurus langsing. Buah dadakupun tidaklah besar dan hanyak berukuran 34b saja.

Suamikupun juga tidak terlalu hebat untuk ukuran fisik. Meski wajahnya tergolong tampan, namun badannya sedikit gemuk dan penis miliknya tidaklah begitu panjang. Bahkan terlihat agak kecil dari apa yang aku bayangkan selama ini.

Dulu suamiku sempat bertanya apakah aku tidak keberatan dengan ukuran penis miliknya. Tapi aku dengan sangat yakin mengatakan padanya kalau hal tersebut bukanlah masalah bagiku. Karena pada saat itu, aku tidak pernah tau kalau ukuran juga menjadi penentu kenikmatan dalam bercinta.

Jadi meskipun ukuran penis suamiku kecil, aku tetap dapat merasa nikmat tiap kali bersetubuh walau tak pernah merasakan yang namanya orgasme.

Kamipun rutin selalu melakukan hal yang sama ketika kami bercinta. Setelah berciuman mulut, suamiku akan menghisap buah dadaku sebentar lalu memasukkan penisnya ke dalam vaginaku. Dan setelah menggenjotnya beberapa kali, dia akhirnya memutahkan sperma miliknya di dalam vaginaku.

Setelahnya, aku merasa kalau tugasku sebagai istri sudah selesai. Asalkan sang suami sudah puas, maka tidak ada hal lain yang perlu dilakukan.

Dan 6 tahun akhirnya berlalu dengan begitu saja. Hidupku sekarang terasa sudah sempurna. Aku mempunyai suami yang baik dan sholeh. Kehidupan ekonomi kami yang semakin hari semakin baik berkat promosi yang diterimanya. Kamipun juga sudah dikaruniai seorang putri cantik bernama Tasha.

Namun semenjak aku pindah ke jakarta, keadaan kami mulai sedikit renggang karena suamiku sudah jarang dirumah berkat kesibukan yang dia jalani di kantor barunya. Aku sadar kalau dengan datangnya promosi, berarti akan lebih banyak pula pekerjaan yang harus di tangani oleh suamiku. Sedangkan aku hanya berdiam diri di rumah tak melakukan apa-apa.

Bahkan seringkali ketika aku merasa horny dan ingin bersenggama, suamiku malah menolaknya mentah-mentah dengan alasan capek dan tidak bergairah. Hasratku yang akhir-akhir ini selalu menggebu itupun terpaksa aku kubur dalam rasa kecewa yang semakin hari semakin membuatku jenuh dengan keadaan.

Beruntungnya saat ini aku sudah mulai mengenal beberapa orang yang menjadi tetanggaku di perumahan baru ini. Jadi ada sedikit kegiatan yang dapat meringankan stressku saat aku berbincang-bincang ringan dengan mereka setiap pagi.

Dari situ pulalah akhirnya aku ikut mengenal sosok Mang Dedi, seorang Tukang sayur yang menjadi langganan warga komplek perumahan tempat aku tinggal. Orangnya sudah sedikit berumur namun masih terlihat bugar dan prima untuk ukuran seorang pria setengah baya. Dia juga sangat pandai bergurau, kadang suka merayu dan sangat ramah kepada siapapun.

Aku yang masih baru mengenalnya pun jadi cepat akrab karena dia memiliki sifat mudah bergaul dan selalu bisa menemukan topik yang seru untuk dibicarakan. Bahkan sekarang sudah menjadi rutinitasku untuk berbelanja lebih lama dari ibu-ibu lainnya karena terlalu keasikan mengobrol dengannya. Kami berdua selalu membual dan bercerita tentang banyak hal seakan kami sudah mengenal begitu lama.

Pada mulanya aku menganggap hubungan kami hanyalah sebatas seorang penjual dan pembeli saja, namun siapa sangka hubungan itupun semakin hari semakin mesra saat kami memutuskan untuk bertukaran kontak di aplikasi WA.

Sejak saat itu, aku dan Mang Dedi semakin sering berbicara satu sama lain. Berbagai macam topik seperi pekerjaaan, politik, kehidupan bahkan candaan yang sedikit menjurus pun sudah menjadi hal lumrah untuk kami bahas. Mang Dedipun mengaku sangat senang bisa akrab denganku karena dia selalu bilang kalau aku adalah tipe wanita idamannya.

Kemesraan di WA itu juga sudah sampai terbawa-bawa dalam kehidupan sehari-hari kami. Sampai pernah suatu hari kami lagi-lagi bercanda kearah yang sedikit menjurus pada hal-hal mesum.

"Maaf lama yah Mbak. Kalau pagi tuh emang suka begitu, kebelet mulu kagak jelas. Kalau gak di buang pasti nih keras banget kayak tiang listrik" Ucap Mang Dedi bercanda.

Aku kemudian tertawa mendengar pengakuan Mang Dedi yang komplain tak bisa pergi kencing karena masih banyak yang membeli. Barulah setelah aku datang, para ibu-ibu sudah selesai belanja dan dia bisa menitipkan dagangannya sebentar kepadaku.

"Gapapa Mang, lagian saya juga ga buru-buru kok" balasku singkat.

Namun pada saat itu aku tidak sengaja menangkap sebuah siluet tonjolan besar dibalik celana pendek yang di pakai Mang Dedi. Tonjolan itu terlihat sangat membokong hingga aku bertanya-tanya dalam hati apakah dia tak memakai celana dalam sama sekali. Karena kalau dipikir-pikir, jika tonjolannya saja sudah sebesar itu, lalu sebesar apakah ukuran penis yang ada di dalamnya???

Pikiran-pikiran kotor itupun mulai berputar-putar meracuni benakku bahkan setelah beberapa hari berikutnya. Entah karena hasrat seksualku yang tak pernah dipenuhi oleh suamiku belakangan ini, aku jadi gampang sekali merasa horny dan bergairah luar biasa. Namun untungnya semua itu dapat aku lampiaskan dengan bercengkrama ria bersama Mang Dedi.

Sekarang kami sudah semakin nyaman satu sama lain hingga terkadang Mang Dedi mulai berani bersayang-sayang denganku. Dari situ juga awal mula datang sebuah perasaan aneh yang menggelitik hatiku. Tapi karena aku memang sudah terlanjur dekat, jadi aku tak sungkan melayani interaksi Mang Deni seperti seorang kekasih.

Hanya saja, Akupun merasa cukup tau batas karena bagaimanapun aku adalah seorang istri dan seorang perempuan baik-baik. Tidak ada sedikitpun niat untuk menyelingkuhi suamiku ataupaun niat-niat untuk berbuat curang lainnya. Aku dan Mang Dedi hanya teman yang saling bersenang-senang saja untuk mengisi waktu luang.

Setidaknya begitulah pemikiran naif ku pada awal kedekatan kami.

Aku tidak sadar kalau apa yang aku lakukan tersebut sudah membukakan pintu dari segala macam badai yang siap menghantam kehidupanku.

Badai yang pada akhirnya mengubahku menjadi seorang perempuan yang mengenal dunia dari sudut pandang yang berbeda. Aku pun sebenarnya ikut menentukan momen ini karena sudah hampir dua minggu lamanya suamiku tidak menyentuhku sama sekali. Kesibukannya di kantor menyita banyak waktu dan tenaga. Sehingga ketika dia di rumah, suami ku hanya menghabiskan waktu dengan tidur saja.

Akan tetapi momen yang aku tunggu-tunggu itupun tampaknya harus Pupus karena suamiku tiba-tiba mengabarkan kalau dia harus lembur di kantornya.

Suamiku langsung meminta maaf kepadaku dan berjanji akan menebusnya di lain hari. Dia bahkan juga bilang kalau dirinya sudah meminta pada atasannya untuk tidak diberikan lembur di malam jumat dan malam sabtu.

Aku yang sempat kecewa berat tadinyapun bisa sedikit bernafas lega. Suamiku ternyata juga merasa rindu berduaan denganku terbukti dari keinginannnya untuk tidak lembur terus-terusan. Jadi untuk sekarang aku terpaksa harus berusaha memaklumi keadaannya.

Mungkin saja dia lebih merasa kesepian daripada apa yang aku rasakan karena memang kami sudah jarang melakukan hal-hal yang romantis sebagai pasangan suami istri.

“Mi, Abi boleh minta sesuatu nggak?” tanya suamiku ditelepon
“Minta apaan bi?” Tanyaku.
“Umi kirimin foto bugil dong buat Abi”
Aku terkejut mendengar permintaan aneh yang tiba-tiba tersebut “Buat apaan bi?" tanyaku heran.
“Abi kangen nih sama umi” jawab suamiku.

“Iya Umi tahu, tapi kenapa harus bugil?” tanyaku penuh selidik.
Kan ini buat suami kamu doang bukan buat orang lain”
“Tapi kan takut Bi!!, kalau misalnya tersebar dan dilihat orang gimana?”
“Ya mana mungkin Abi lihatin sama orang mi”
"Iya, tapi kalau temen Abi minjem HP nya Abi gimana??? Atau gak HP nya ilang?? Kan bisa bahaya Bi!!"

"Jadi Umi gak mau nih??"

“Nggak mau lah” jawabku singkat.

Suamiku tiba-tiba diam begitu saja seperti sedang kecewa dengan ketidakmauan ku. Tapi mau gimana lagi, aku takut dan risau kalau fotoku tersebar dan menjadi aib untuk keluarga. Namun di sisi lain aku juga tidak tega terhadap Suami ku sendiri dan tak mau durhaka karena tidak patuh.

Lantas setelah berpikir beberapa saat akhirnya aku pun memanggil suamiku kembali “Yaudah Bi nanti aku kirimin” ucapku singkat.
“Beneran ya Mi?” suara suamiku bersemangat.
“Iya. Tapi Abi janji harus hati-hati, jangan sampai dilihat sama orang” ucapku memperingatkan.
“Iya sayangku. Abi janji akan berhati-hati. Kirim yang banyak ya” balasnya manja.

Kami pun kemudian berbicara sebentar sebelum suamiku berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya. Sebelum menutup telepon, sekali lagi suamiku mengingatkanku untuk tidak lupa mengirimkan foto bugilku sesuai permintaannya tadi.

Setelah selesai menelepon, aku pun segera beranjak ke dalam kamar untuk mengambil beberapa foto selfie yang akan aku kirimkan kepada suamiku. Tapi karena aku tidak pernah melakukan selfie secara telanjang sebelumnya, akupun merasa sedikit bingung dan canggung-canggung melakukannya.

Karena itu aku memutuskan untuk tidak langsung berfoto tanpa busana terlebih dahulu. Aku hanya membuka dua buah kancing baju gamisku di bagian dada dan memperlihatkan sedikit BHku dari luar lalu memfotonya.

Berapa menit setelah aku mengirimkannya kepada suamiku, dia pun langsung membalasnya dengan mengatakan kalau dia sangat beruntung mendapatkan istri yang cantik seperti aku.

Dan untuk pertama kalinya, aku pun begitu senang mendapat pujian dari suamiku tersebut karena selama ini dia jarang memuji-mujiku dari tampilan fisik.

Aku hanya tersenyum membaca balasannya tersebut dan kembali mengambil beberapa selfie dengan gaya dan pose yang berbeda. Kali ini aku mengangkat ujung bawah gamisku sampai ke bagian paha sehingga menampakan betis ku yang putih dan ramping. Setelah aku foto, akupun mengirimkannya kembali kepada suamiku.

Tak berapa lama suamiku pun kembali membalas. Responnya pun kurang lebih sama seperti yang tadi, berbagai macam pujian dilontarkan suamiku sambil terus mengomentari betapa indahnya tubuhku ini.

Aku sampai menoleh ke arah cermin di sampingku untuk memastikan apakah yang suamiku bilang tersebut adalah benar. Aku bahkan mematut dengan seksama badanku sendiri dari arah pantulan cermin dan berpose-pose bak seorang model yang tengah mengadakan pemotretan.

Harus diakui memang kalau badanku tidak semolek atau semontok wanita-wanita diluar sana. Namun badanku terlihat proposional dengan payudara kecil dan pinggul yang membulat kencang. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda kegemukan serta semuanya terlihat pas dengan wajahku.

Dengan pujian-pujian tersebut pun, lama kelamaan membuatku menjadi semakin percaya diri dan mulai berpikir bahwa sebenarnya aku memang lumayan menarik di mata lelaki. Entah perasaan darimana, aku merasa sangat bangga dengan tubuhku sendiri saat ini.

Mungkin karena itu jugalah aku mulai dilanda badai syahwat dan sedikit terangsang. Hingga tanpa malu-malu lagi aku menanggalkan seluruh pakaian yang aku kenakan satu persatu sampai dimana aku sudah sepenuhnya bertelanjang. Hanya tertinggal sebuah hijab lebar yang melilit dikepalaku saja.

Tak lama kemudian, suamiku kembali mengirim pesan sambil meminta kepadaku untuk berfoto sambil mengangkang.

Awalnya aku sedikit ragu dan protes, namun karena sudah terlanjur horny ditambah bujuk dan rayuan suamiku, aku pun mengiyakan permintaan nakalnya tersebut.

Aku menyangga HPku dengan bantal dan menyalakan timer kameranya. Setelah merasa posisinya sudah pas, akupun mundur sambil mengangkangkan kedua kakiku dengan lebar. Tak lupa tanganku secara spontan meremas payudaraku sendiri sambil membuat ekspresi menggigit bibir dan berpose ala-ala perempuan seksi.

Beberapa kali HPku berbunyi pertanda kalau fotonya sudah diambil. Lalu dengan cepat aku mengirimkannya kepada suamiku dan menunggu respon seperti apa yang akan dia berikan sambil berdebar-debar.

Namun lagi-lagi ketika aku menyaksikan foto yang kuambil barusan dengan seksama, aku terdiam dan terperangah dengan hasil foto tersebut. Aku benar-benar terlihat seperti seorang wanita yang jauh dari kategori Alim.

Padahal aku masih memakai hijabku namun aku tidak menyangka kalau aku juga bisa membuat ekspresi seperti itu. Karena dalam foto tersebut aku tampak seperti seorang wanita yang sangat-sangat binal.

Suamiku pun tampaknya juga sepemikiran denganku, selang hanya beberapa detik saja dia sudah membalas pesanku dengan kata-kata yang semakin membuatku percaya diri.

"Umi seksi banget kayak model"
"Umi bener-bener wanita idaman laki-laki"
"Istriku binal banget"
Begitulah kira-kira pesan chat suamiku yang tak berhenti-henti dia kirimkan.

Dan akupun juga tak mau kalah dengan kembali mengirimkan beberapa foto bugilku dalam berbagai macam pose dan gaya.

Entah kenapa, semakin aku di puji oleh suamiku maka semakin bersemangatnya aku untuk berpose lebih liar dan menantang. Padahal sebenarnya aku hanya mengikuti instingku saja dan tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya.
Badankupun tiba-tiba menjadi semakin panas dingin tak karuan, darahku berdesir hebat dan vaginaku terasa sangat-sangat gatal dan basah.

Aku mencoba menyerahkan semuanya pada naluri hewaniahku sendiri dengan menggerakkan tanganku untuk mengelus bagian luar bibir vaginaku karena terasa gatal.

Namun ketika tanganku bersentuhan dengan kulit dibagian vaginaku, aku malah merasa seperti disetrum oleh sebuah aliran listrik ringan disekujur sendi-sendi tulangku sampai aku langsung merebahkan diri diatas kasur.
Perasaan yang kudapat begitu aneh namun sangat memuaskan. Semakin aku mencoba untuk melakukan gerakan mengelus, maka semakin besar pulalah rasa nikmat yang aku terima.

Sebelum ini pun sebenarnya aku sudah pernah menyentuh bagian vaginaku sendiri. Namun untuk sekarang, rasanya 180 derajat begitu berbeda.

Saking berbedanya, aku bahkan tanpa sadar mulai merubah gerakan mengelusku menjadi sebuah gerakan menggosok-gosok dengan ritme yang lumayan kencang.
Saat itu juga mataku terpejam menahan nikmat yang sebelumnya belum pernah aku dapatkan. Rasanya begitu berbeda jika dibandingkan dengan rasa nikmat yang aku terima sewaktu aku bersenggama dengan suamiku.

Tapi hanya selang beberapa saat ketika aku menikmati kegiatan baruku itu, sebuah notif muncul diatas layar hp ku dan menunjukkan kalau pesan tersebut berasal dari Mang Dedi si tukang sayur.

Aku langsung terkikik sejenak karena terbayang akan sosok laki-laki paruh baya yang belakangan ini tengah mengganggu pikiranku dengan tonjolan besar dibalik celananya itu.
Jadilah aku menunda sejenak kegiatan yang mendatangkan rasa nikmat tersebut dan langsung mengecek pesan yang ada di HP ku.

"Malam Mbak Liya sayang" tulis Mang Dedi di pesan WAnya dengan beberapa selipan emot-emot manja.
"Malam juga Mang Dedi sayang" balasku tak kalah mesra.
Ini adalah pertama kalinya aku memanggil Mang Dedi dengan panggilan sayang setelah sebelumnya aku menahan diri untuk tidak melakukannya.

Mungkin keadaanku yang sedang horny dan terangsang ini membuat akal sehatku sedikit buntu dan rasa malu ku berkurang. Hanya saja, rasanya begitu senang ketika aku memanggilnya dengan sebutan tersebut. Aku bahkan menahan nafasku karena saking berdebar-debarnya.

"Asik nih udah di panggil sayang. Tinggal tunggu diberi kasih sayang aja nih. Heheheheh" balas Mang Dedi dengan candaannya seperti biasa.
"Emangnya Mang Dedi mau kasih sayang dari aku?" Tanyaku lagi.

"Ya mau dong Mbak cantik"
"Nih aku kasih" balasku sambil mengirimkan sebuah foto selfie yang aku ambil dengan cepat.

Foto tersebut hanya menampakkan bagian kepalaku yang terbalut hijab dan mimik muka seperti sedang mencium.
Akupun buru-buru memejamkan mataku merasa sangat nakal ketika berbagi foto intim dengan pria lain selain suamiku. Lagi-lagi rasanya begitu mendebarkan dan anehnya membuat aku semakin merasa horny.
"Loh!! Mbak Liya kok ga pake baju?? Abis ena-ena sama suaminya ya??" Balas Mang Dedi tak berapa lama.

Sontak saja aku terlonjak kaget dengan balasannya tersebut karena Mang Dedi seakan tau kalau aku sedang dalam keadaan tanpa busana. Padahal aku cuma mengirimkan foto wajahku saja.
Baru aku ingin bertanya, Mang Dedi sudah kembali mengirim pesan. "Itu di belakang Mbak ada cermin loh. Aku bisa liat punggung sama pantatnya Mbak"

Oh Tidakkk !!!! teriakku sangat kencang. Aku buru-buru melihat hasil jepretan ku tadi dan menyadari kalau foto wajah yang aku kirimkan kepada Mang Dedi barusan secara tidak sengaja juga menangkap cermin yang ada di belakangku. Dan cermin tersebut begitu jelas memantulkan bayangan punggung dan garis pantatku.
Aku pun dengan cepat meng-unsend foto yang aku kirim ke Mang Dedi tersebut sambil mengutuk diriku yang sangat ceroboh akibat terlalu asik berselfie. Apalagi aku malah secara tidak sengaja mengirimkan foto tubuhku kepada lelaki lain selain suamiku.

Oh tidak!!! Gimana ini???????


Sudah seminggu berlalu semenjak insiden foto selfie yang tak sengaja itu, aku memutuskan untuk membatasi interaksiku dengan Mang Dedi. Baik di kehidupan sehari-hari maupun di aplikasi WA, aku sebisa mungkin menghindar untuk berbicara dengannya untuk sementara waktu.

Memang setiap kali Mang Dedi mengirim pesan WA padaku, dia tidak pernah membahas sedikitpun tentang foto tersebut. Dia hanya bertanya kenapa aku tidak lagi datang membeli dagangannya atau sekedar menanyakan kabarku.

Tapi karena aku masih dirundung rasa malu yang luar biasa, akupun hanya menjawab sekenanya dan tidak pernah bertanya balik sebagaimana aku dulu. Namun anehnya Mang Dedi tampak tidak menyerah sama sekali untuk mengajakku berbicara dan tak peduli dengan balasan singkatku tersebut.

Setiap pukul 9 pagi, Hp ku pasti akan berbunyi menandakan ada pesan WA yang masuk darinya. Dan setiap pesan itu datang, pasti membuat semua rasa jenuhku hilang seketika berganti dengan senyuman.

"Pagi Mbak Liya" sapa Mang Dedi dalam pesannya.
"Pagi juga Mang" balasku singkat.
"Apa kabar hari ini??"
"baik Mang"
“baguslah.. Mbak gak belanja lagi nih??"
"Enggak Mang"
"Yahh.. padahal sayur saya udah kangen dibeli sama Mbak" balasnya masih dengan candaan.
"Aku juga kangen kamu Mang" Ucapku dalam hati.

Seolah aku mengerti kalau Mang Dedi sebenarnya mau bilang kangen padaku secara tidak langsung. Tapi tak berani aku menuliskannya di pesan WA tersebut karena tidak ada baiknya seorang istri berucap rindu pada laki-laki lain selain suaminya.

"Mamang boleh nanya sesuatu gak sama Mbak Liya?" Tanya Mang Dedi.
"Tanya apa?"

"Mbak Liya marah ya sama Mamang??"
"Enggak Mang, aku gak marah sama mamang" balasku.
"Tapi kok Mbak Liya kayak ngehindar gitu?"
"Aku malu Mang" balasku lagi. Mungkin inilah saatnya aku berterus terang kepada Mang Dedi agar hubungan kami tidak canggung lagi dan bisa kembali seperti semula.

Dengan cepat Mang Dedipun membalas pesanku "Loh? Mbak Liya malu kenapa?"

"Malu aja Mang, sama foto kemarin"
"Foto yang keliatan punggungnya itu?"
"Tuhkan Mamang inget" balasku.
"Ngapain malu atuh Mbak?? Mamang tau itu ga di sengaja, dan Mamang minta maaf kalau misalnya candaan Mamang kelewatan"

"Iya tapi kan malu Mang!! Mamang udah liat badan aku" balasku lagi.
"Ah. Udah sama-sama gede ini kok sayang. Kalau kamu mau, Mamang bakal foto badan Mamang juga. Biar kita impas. Gimana??"

"Ih jangan atuh Mang" balasku lagi.
Tapi dalam benakku justru malah ingin sebaliknya. Aku bahkan penasaran seperti apa badan pria paruh baya yang tiap hari bekerja keras mendorong gerobaknya tersebut.

Namun dengan cepat aku buang pikiran-pikiran kotor itu jauh-jauh. Karena sungguh itu adalah pikiran yang sangat tidak etis untuk dipikirkan oleh seorang istri sepertiku.

Diluar dugaan, aku yang jelas-jelas sudah menolak tawaran Mang Dedi tadinya malah dibuat kaget ketika dia mengirim foto selfi badannya yang hanya dibalut oleh celana boxer pendek.

Aku menarik nafasku sebentar mencoba menenangkan diriku. Sebelum kemudian aku mengambil kembali hpku tersebut dan diam-diam memperhatikan foto badan Mang Dedi dengan sedikit rasa malu tapi mau.

Foto tersebut hanya menampakkan bagian badan Mang Dedi dari leher ke bawahnya. Namun yang menjadi fokusku saat itu justru lagi-lagi adalah tonjolan besar dibalik celana Mang Dedi yang semakin membuatku begitu penasaran.
"Mamang ih fotonya porno!" Balasku dengan secepat mungkin.

Jantungku berdegub dengan begitu cepat dan wajahku terasa panas dingin dibuatnya ketika membayangkan betapa besarnya isi di dalam celana Mang Dedi tersebut dan apakah aku bisa melihatnya secara langsung.

"Porno gimana Mbak Liyaku sayang??? Itu kan cuma foto badan Mamang" balas Mang Dedi setelahnya.
"Tapi itu ada yang menonjol dibawah Mang" jawabku berterus terang.

Namun dengan entengnya Mang Dedi membalas pesanku, "Ahh. Kalau yang itumah Mbak Liya juga sering liat kali sama suami Mbak"

"Iya tapi gak segede itu" balasku secara tidak sadar.

Entah apa yang aku pikirkan, aku malah semakin terbawa arus untuk meladeni chat Mang Dedi yang arahnya sudah sangat ketebak ujungnya. Namun aneh aku tetap ingin melanjutkan percakapan ini meski sudah sangat melanggar normaku sebagai seorang istri dari pria lain.
"Punya suamimu gak segede ini ya??" Balas Mang Dedi tiba-tiba.

Akan tetapi bersamaan dengan pertanyaannya tersebut, Mang Dedi langsung menyalipkan sebuah foto yang membuat jantungku seakan copot seketika itu juga. Pria yang menjadi tukang sayur langganan ku tersebut dengan sangat beraninya memerkan alat kemaluan miliknya padaku tanpa merasa malu sedikitpun.

Foto penis Mang Dedi yang selalu membuatku penasaran tersebut akhirnya terpampang jelas di mataku. Dan ini adalah penis lelaki kedua yang pernah aku lihat setelah punya suamiku sendiri.

Sesuai dugaanku sebelumnya, penis Mang Dedi berukuran sangat besar dan panjang diluar nalarku. Jauh berbeda juga dengan ukuran milik suamiku yang pendek dan kecil. Warnanyapun gelap sedikit kecoklatan dan ujungnya terlihat aneh seperti memiliki kulup.

Melihatnya aku bahkan sampai menelan ludah berkali-kali karena kerongkonganku terasa sangat kering penuh dahaga. Aku mencoba membayangkan bagaimana caranya benda sebesar itu dapat masuk ke dalam liang senggama perempuan jika bentuk dan ukurannya saja jauh dari kata normal.

Dan andai saja penis besar itu masuk kedalam vaginaku sendiri, mungkin aku sudah bergidik ngeri sambil berteriak kesakitan dan menjerit tidak karuan karenanya.

Tapi untung akal sehatku masih berfungsi dengan baik, sehingga sebelum semuanya bergerak terlampau jauh, aku pun mencoba menghentikan Mang Dedi, “Mamang udah ihh! Aku ga suka kayak gini!” balasku di pesan.

Lama aku tak mendapat jawabannya, Hp ku tiba-tiba berdering kencang memperlihatkan nama Mang Dedi di layar smartphoneku memanggil. Aku kaget sekaligus berdebar karena untuk pertama kalinya Mang Dedi berani menelfonku.

“Ha—halo Mang” Jawabku sedikit gugup mengangkat telfon.
Namun bukannya menyapa balik, Mang Dedi malah langsung bertanya kepadaku, “Kenapa Mbak?? Mbak ga suka sama punya Mamang??”

“Bukan gitu ih Mang, Mamang gak malu apa ngirim foto punya Mamang sama aku??”
“Enggak Mbak! Mamang pengen ngebuktiin sama Mbak Liya kalau kita berdua ga perlu malu satu sama lain lagi”
“Tapi kan gak gitu caranya Mang!!” protesku.

“Tetep aja Mbak! Mamang gamau Mbak Liya canggung dan menjauh gitu dari Mamang karena Mbak Liya merasa malu. Rasanya gak enak kalau Mamang gak bisa deket sama Mbak Liya lagi. Mamang merasa kangen sama Mbak Liya” Ujarnya berterus terang.

Jujur kata-kata yang diucapkan Mang Dedi di pesannya tersebut sedikit menyentuh hatiku karena tak dapat dipungkiri kalau akupun merasakan hal yang sama dengannya. Pertukaran kata-kata antara aku dan Mang Dedi di whatsapp selama ini tampaknya memang sudah meninggalkan bekas yang mendalam.

“Aku juga kangen sama Mamang” balasku akhirnya memberanikan diri mengucap kata tabu yang seharusnya tak pernah terucap dari seorang istri sekaligus seorang perempuan yang menjaga iman sepertiku.

Tapi apa daya, aku tak menyangka kalau dari pria penjual sayur itu aku kembali bisa merasakan sensasi jatuh cinta. Rasa kangen, debaran jantung yang keras, senyum yang selalu menghiasi bibirku, wajah yang berseri, dan pikiran yang tenang kembali tumbuh bermekaran semenjak aku berkenalan dengannya.

“Janji ya Mbak ga bakal begitu lagi??” pinta Mang Dedi merajut.
Aku tertawa menyenderkan bahuku di sofa, “Iya aku janji Mamang sayanggg” jawabku bermanja-manja.
“Asikk!! tapi Mbak jangan panggil Mamang terus dong. Panggil apa kek biar akrab dikit”
“Dipanggil Uda mau ga Mang??” candaku sambil tertawa.

Diseberang sana ku dengar Mang Dedi juga ikut tertawa oleh candaanku, “Aku kan bukan orang minang sayang. Masa di panggil Uda” balasnya.

“Yaudah dipanggil Mas aja. Gimana??” tanyaku lagi.
“Nah kalau itu pas! Mamang panggil kamu Dek Liya boleh yaa?”
“Boleh Mas. Boleh banget” balasku lagi sambil tersenyum.

Percakapan kami itupun berlanjut sampai kurang lebih 3 jam lamanya sambil melepas kangen yang sudah seminggu ini aku tahan-tahan. Suasana diantara kami menjadi normal lagi seperti sedia kala karena Mang Dedi begitu pandai membawa suasana, menciptakan humor, rasa penasaran, penghargaan, dan pengetahuannya yang lumayan mempuni dalam banyak hal.

Sehingga lama kelamaan, akupun kembali terhanyut dalam setiap pembicaraannya yang seperti menuntutku untuk menerima tanpa memaksa. Gila. Aku rindu dengan suaranya, rindu dengan percakapan ringan bersamanya dan rindu akan sosoknya yang hangat.
Diakhir telpon akupun berkata kalau mulai besok aku akan kembali berbelanja di tempat Mang Dedi tanpa perlu merasa malu lagi. Dan dia sangat senang serta menantikan momen untuk bisa bertemu dan berbincang denganku.

Usai kami berpamitan, aku pun menutup telfon Mang Dedi dengan perasaan puas namun meninggalkan sedikit rasa bersalah. Aku merasa sudah mengkhianati suamiku karena telah berintim dengan pria selain dirinya. Namun aku berusaha untuk membenarkan itu semua dengan percaya bahwa aku dan Mang Dedi hanya punya hubungan sebatas teman. Dan kamipun tidaklah berbuat terlalu jauh untuk dapat dikatakan sebagai sebuah perselingkuhan.

Aku tersenyum senang, kembali aku cek pesan-pesan yang dikirim oleh Mang Dedi sedari tadi sampai aku menemukan foto penis besar miliknya masih terpampang jelas dan tidak dihapusnya sama sekali.

Tiba-tiba saja darahku kembali berdesir memperhatikan benda pusaka milik si tukang sayur itu tampak begitu perkasa dan tak ada duanya. Sambil celingukan ke kanan dan kekiri, akupun menggigit bibirku sendiri seraya tanganku memencet tombol screenshoot dan menyimpan foto penis besar itu di smarphoneku.

“Lumayan buat kenang-kenangan.. Hihihihihihihihi”
Setelah kemarin siang aku kembali berbaikan dengan mang Dedi, aku menjadi tidak sabar untuk menunggu hari berganti dan kembali bertemu dengan pria yang diam-diam sudah menarik hatiku tersebut.

Pagi yang kutunggu-tunggu itu pun akhirnya datang menjelang. Aku terbangun dalam keadaan yang senang dan penuh rasa antusias luar biasa.
Kubangunkan suamiku untuk sama-sama menunaikan ibadah salat subuh berjamaah seperti yang biasa kami lakukan setiap paginya.

Setelah itu, suamiku pun memilih untuk tidur kembali. Sedangkan aku mulai melakukan pekerjaan rumah rutinku seperti menyapu halaman, menyuci baju, dan memasak sarapan pagi.

Anehnya ketika aku sedang menyiapkan bahan makanan untuk dimasak, aku malah teringat kepada sosok Mang Dedi yang pasti belum sempat sarapan. Karena setiap harinya dia berangkat lebih awal dari siapapun untuk menjajakan dagangannya.

Lalu terbesit lah dalam benakku untuk memberikannya hadiah. Itung-itung sebagai tanda permintaan maaf juga atas sikapku yang tidak mengenakkan selama seminggu terakhir.

Nasi goreng telur ceplokpun menjadi menu andalanku untuk sarapan pagi kali ini. Hanya saja porsi bahan bakunya tinggal sedikit dan terasa kurang untuk dapat dibagi kepada suamiku atau pun Mang Dedi.

Karena itulah aku memutuskan membuat sarapan khusus untuk Mang Dedi terlebih dahulu. Sebab suamiku pun masih tidur dan hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak perlu buru-buru.
Aku pun kemudian menanak nasi sekali lagi dan berencana untuk membuat sayur toge yang menjadi kesukaan suamiku setelah aku kembali dari belanja nanti. Jadi semuanya bisa sarapan dan tidak ada yang ketinggalan.

Usai melakukan semua kewajibanku dan membuatkan sarapan untuk mang Dedi, aku pun kemudian memilih mandi dan membersihkan badanku yang berkeringat.

Hari ini juga aku mulai punya keinginan untuk berdandan secantik mungkin agar bisa tampil cantik dihadapan Mang Dedi nanti. Entah motivasi macam apa yang membuatku punya pikiran seperti itu, namun aku cukup senang membayangkan diriku tampul menarik dihadapan penjual sayur itu.

"Umi mau kemana??" Kaget suamiku yang ternyata sudah bangun dari tidurnya.
Akupun hanya tersenyum sambil terus merias wajahku, "Mau belanja Bi! Buat sarapan kita" balasku.
"Tumben pake dandan segala, biasanya mah kamu pake daster doang" ledek suamiku.
"Gak ada salahnya dong tampil cantik" ucapku percaya diri.

Suamiku tertawa mendengarnya, "Iya, tapi siapa juga yang mau liat Mi?? Paling tukang sayur???" ledeknya lagi.

"Ya gapapa lah Bi! Mending dandan depan tukang sayur sekalian daripada dandan depan Abi"
"Lah kok gitu Mi?" Tanya suamiku heran.
Aku membalik badan dan mencibir suamiku, "Iya, percuma dandan kalau gak diajak jalan" ucapku meledek.

Suamikupun tertawa terbahak-bahak mendengar candaanku yang sebenarnya adalah isi hatiku juga. Tapi tampaknya laki-laki yang sudah berumah tangga selama 6 tahun bersamaku ini sama sekali tidak peka seperti kebanyakan laki-laki diluar sana.

"Awas nanti kamu diajak jalan sama tukang sayur loh" ucap suamiku masih becanda.
"Asalkan tukang sayurnya baik mah gapapa" balasku beranjak dari meja rias.
Mendengar perkataan ku tersebut, suamiku tampak sedikit syok tak bergeming dari tempatnya. Dia tiba-tiba terdiam dan bengong seperti orang yang terkena hipnotis.

Beruntung aku cepat menyadari situasi dan menghampiri suamiku sambil tersenyum meledek, "Canda suamiku sayang" ucapku sambil mengecup pipinya.

"Hampir jantungan aku Mi" balasnya masih tak percaya.
Aku pun tertawa melihat ekspresi suamiku yang tampak mengelus-elus dadanya "Salah sendiri becandanya begitu" Ucapku beranjak dari kasur.

Setelah berbincang-bincang sebentar dengan suamiku, aku pun berpamitan kepadanya untuk pergi berbelanja. Tak lupa aku membawa kotak nasi dan tempat air minum yang berisikan teh manis untuk aku sajikan kepada Mang Dedi sebagi hadiah.
Kemudian dengan perasaan senang dan berdebar-debar, aku pun melangkahkan kakiku menuju ke tempat Mang Dedi yang berada di pertigaan tak jauh dari rumahku.

Setiap pagi dia memang selalu mangkal dan berjualan disana karena lokasinya yang strategis berada di dekat dengan jalur akses masuk dan keluar perumahan.
Disana juga terdapat sebuah pos yang biasanya menjadi tempat berkumpulnya para tukang ojek mencari pelanggan.
"Pagi Mang!" Sapaku tersenyum melihat Mang Dedi tengah duduk di dalam pos.

"Waduh, ada bidadari mau belanja sayuran nih" balasnya sumringah melihat kehadiranku.
Akupun bersemu merah mendengar pujian pria itu dan menunduk malu-malu, "Mamang bisa aja ih" ucapku yang sebenernya sangat-sangat senang.

"Kok dipanggil Mamang lagi sih? Kemaren kan kita udah sepakat atuh" Protes Mang Dedi padaku.
"Eh iya lupa Mas" balasku terkekeh.
"Nah gitu dong adem" tawa Mang Dedi sangat senang mendengarku memanggilnya dengan sebutan "Mas"

"Oh iya Mas, ini aku bawa sarapan buat Mas Dedi" ucapku menyodorkan kotak makanan dan botol minuman yang aku bawa dari rumah tadi.
Wajah Mang Dedipun tampak berseri melihat aku menawarkan sarapan untuknya, "Puji tuhan!!! kebetulan banget aku belum sarapan. Dek Liya emang paling tau kebutuhan Mas" jawabnya menyambut makanan dariku.

"Iya Mas sama-sama. Dimakan ya" balasku begitu senang melihat Mang Dedi yang juga tampak antusias dengan pemberianku.
"Duduk sini Dek! Nanti kamu capek berdiri terus disana" tawar Mang Dedi menepuk-nepuk kursi lesehan yang ada di sebelahnya.

Akupun dengan sedikit sungkan dan malu-malu masuk ke dalam pos yang sebenarnya tidak terlalu besar tersebut. Didalamnya terdapat sebuah lesehan yang terbuat dari bambu dan berukuran lumayan besar.

Pos tersebut juga terbuka dengan bagian dinding yang hanya dibuat setengahnya saja. Jadi kalau ada orang yang masuk kesana, yang terlihat dari luar hanyalah bagian kepala sampai lehernya saja.

Sambil celingak-celinguk akupun memperhatikan keadaan sekitar yang tak seperti biasanya terasa lumayan sepi.

"Sepi kok Dek! Ibu-ibu lain udah pada belanja tadi" ucap Mang Dedi yang seakan tau dengan apa yang aku pikirkan.
"Kok pada cepet ya Mas? Baru juga jam 7 ini" tanyaku melirik jam di tangan.

"Kamu gak tau kalau di kelurahan lagi ada acara acara senam massal??"
Aku menggeleng, "Enggak Mas" jawabku singkat.

"Oh iya lupa, kamu kan baru ya disini" balas Mang Dedi sambil membuka kotak nasi yang berisi nasi goreng buatanku tadi.
"Wahhh. Nasi goreng Uni-uni padang nih. Pasti enak banget" lanjutnya begitu senang.

Akupun tertawa melihat reaksinya yang berbinar-binar seperti seekor kucing yang dikasih makan ikan, "Spesial buat Mas Dedi" balasku.
"Hehehe. Makasih ya Dek Liya sayang" ucap Mang Dedi mengelus pundakku dengan pelan.

Namun bukannya protes, aku malah membiarkan Mang Dedi meyentuh bagian badanku tersebut dengan santai. Padahal selama ini aku tak pernah membiarkan laki-laki lain selain suamiku untuk menyentuh diriku bahkan untuk bersalaman tangan saja.

Tapi dengan Mang Dedi lagi-lagi ada pengecualian yang tak dapat aku jabarkan dengan kata-kata. Tatapannya yang hangat dan lemah lembut itu seolah berkata padaku bahwa dia tidak akan pernah punya niatan untuk menjahatiku. Jadi secara tidak sadar akupun terbawa untuk bersikap biasa saja di depannya.

"Waduhh.. enak banget nih nasih gorengnya" ucap Mang Dedi saat dia memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya.
"Masa sih Mas?? Nasi goreng biasa aja kok itu" jawabku merendah.

Mang Dedi lalu menggeleng, "Kayaknya ini spesial deh. Bikin nya pasti penuh rasa cinta" rayu Mang Dedi padaku.
"Mang Dedi bisa aja" senyumku makin merasa senang.

Sambil Mang Dedi makan kamipun tetap mengobrol ringan seputar banyak hal seperti kegiatan warga perumahan sini yang setiap hari minggunya acap kali mengadakan kegiatan senam massal.

Mang Dedi juga bilang kalau kegiatan tersebut digandrungi berbagai macam kalangan seperti ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak. Jadi wajar pada jam seperti ini komplek perumahan tampak sepi tidak ada orang.

"Lain kali Dek Liya coba ikut deh sama suami. Itung-itung buat refreshing" saran Mang Dedi padaku.
"Suamiku mana mau Mas ikut acara kayak gitu. Dia paling males sama yang namanya olahrga" jawabku teringat momen dimana dulu suamiku selalu menyerah duluan ketika kami jogging bersama.

"Kalau gitu sama Mas aja gimana??" Tawar Mang Dedi tiba-tiba.
Aku tersenyum senang mendengarnya, "Boleh sih Mas, tapi Mas kan jualan" jawabku tak mau terlalu berterus terang.

"Demi menemani bidadari, aku rela tak jualan sayur sehari" candanya dengan wajah serius.
"Paan sih Mas!! Kamu gaje" tawaku pecah mendengarnya bercanda dengan wajah serius seperti itu.
Kami terus mengobrol ngalor ngidul kesana kemari tanpa sadar sudah menyerempet pada hal-hal yang sedikit menujurus kearah yang jorok.

Aku dengan sedikit malu-malu tetap meladeni pembicaraan tersebut karena Mang Dedi selalu menyelingi obrolan kita dengan suasana bercanda dan humor-humor recehnya.

"Beneran tau Dek, cewe kalau jembutnya banyak pasti orangnya napsuan" lanjut Mang Dedi ditengah obrolan kita tentang masalah keintiman.

"Ah. Mas sok tau!! Aku bulunya banyak tapi gak napsuan tuh" jawabku membantah

Mang Dedi menggeleng, "Kamu belum sadar aja sama diri kamu. Mas berani taruhan kalau kamu sering masturbasi di kamar mandi. Iya kan??"

"Masturbasi apaan?" Tanyaku bingung dengan istilah yang digunakan Mang Dedi.

"Itu! Yang main-main sama punya kamu sendiri" ucapnya dengan frontal.

Sontak aku kaget dan langsung teringat dengan kejadian kemarin-kemarin hari dimana aku beberapa kali sempat melakukan hal yang dimaksud masturbasi tersebut oleh Mang Dedi. Beberapa kali ketika aku terangsang, aku mengikuti instingku dengan mengelus-elus bagian luar vaginaku sampai becek dan basah.

"Tuh kan pernah" ucap Mang Dedi dengan percaya diri.
Tapi aku masih tidak terima dan protes padanya

"Iya tapikan gak sering juga" balasku sewot.

"Aku yakin sering" angguk-angguk Mang Dedi menuduhku.

"Mas kali yang sering begitu" balasku mengalihkan pembicaraan.

Namun Mang Dedi malah terkekeh mengakuinya, "Kalau Mas mah emang sering Dek. Maklumlah Mas belum punya istri buat begitu-begituan"
"Idiihh najong. Ngomongnya kayak orang bener" ledekku becanda.

"Beneran dong. Daripada aku memperkosa orang, lebih baik dikocok pake tangan sendiri" tawa Mang Dedi lepas begitu keras.
"Emangnya enak ya Mas pake tangan sendiri?" Tanyaku penasaran.

Mang Dedipun mengangguk, "Enak sih Dek. Tapi bakalan lebih enak lagi kalau pakai tangan kamu ini" ucapnya Mang Dedi meraih dan memegang tanganku. Tapi anehnya, aku tidak berusaha menarik tanganku dan membiarkan saja tangan kasar milik Mang Dedi tersebut menggenggamnya.
"Apaansih kamu Mas!!" Ucapku malu-malu tak berani menatap wajah Mang Dedi.

Jantungku berdebar-debar sangat kencang seperti sebuah tabuh yang terus dipukul tak henti-hentinya. Suasana pagi itupun mulai terasa sedikit panas dan membuatku kegerahan.
Apalagi dalam situasi tempat yang terbuka seperti ini semakin menambah rasa berdebarku takut-takut kalau ada yang lewat dan melihatku bergandengan dengan pria yang bukan suamiku tersebut.

Tiba-tiba saja, Mang Dedi mengangkat tanganku dan menciumnya "Iya. Kalau tangan halus punya kamu ini yang ngocokin aku, pasti bakal enak banget" rayunya semakin berani.

"Mas jangan ih!! Nanti diliat orang" protesku padanya.
Cukup aneh memang karena seharusnya aku memprotes tindakan Mang Dedi yang memegang dan mencium tanganku, bukan malah memprotes dia yang melakukannya di tempat terbuka seperti ini.

"Abis tangan kamu wangi sih Dek" balasnya terkekeh.
Suasana diantara kamipun menjadi sedikit canggung setelah itu karena aku memilih diam sejenak tak bisa lagi berkata-kata banyak. Jantungku sudah sangat terpacu oleh tindakan kecil Mang Dedi itu dan darahku berdesir merasakan adrenalin mengalir keseluruh tubuhku.

Aku membiarkan saja tanganku tersebut di genggam lama oleh Mang Dedi sebelum akhirnya dia tiba-tiba menuntunnya pada daerah selangkangannya sendiri.

"Arghh!" teriakku lumayan kencang sambil menarik tanganku dari selangkangannya.

Dapat aku rasakan kalau di balik celana yang tengah dipakainya saat ini, batang penis Mang Dedi tengah menegang dengan sangat kerasnya.

Namun dengan tanpa bersalah sedikitpun Mang Dedi malah tertawa, "Kenapa Dek?" Ucapnya bertanya dengan polos.

"Mas nakal iiihhhhh!" Protesku lagi.


"Abis kamunya diem aja gak ngomong" sungut Mang Dedi malah menyalahkanku.

"Mas tuh ya!! Iseng banget jadi orang!!" Ucapku melayangkan sebuah cubitan dipinggangnya.

"Awhhh sakit Dek" ringis Mang Dedi sambil tertawa.

Setelah itu, Mang Dedi malah menggelitik balik pinggangku dengan tangannya, "Ini serangan balasan" teriaknya menggelitikku.
Akupun langsung berkelojotan merasa geli karena Mang Dedi menggelitik di kedua area pinggangku sehingga aku yang gampang gelian inipun jatuh tertidur di lesehan bambu yang ada disana.

"Ampun Mas, Ampun" ucapku tertawa menahan geli meminta Mang Dedi berhenti untuk menggelitikku.

Tanpa aku sadari, posisiku kami saat ini sedang berhimpitan satu sama lain dengan Mas Dedi berada diatasku yang tengah telentang kegelian. Untungnya posisi tersebut tidak bertahan lama karena Mang Dedi segera menghentikan gelitikannya padaku.

Mang Dedi tertawa puas setelah berhasil mengerjaiku sebelum akhirnya dia menjatuhkan diri disampingku. Nafas kami berdua saling berpacu terengah-engah setelah beberapa saat kami bergelut layaknya anak kecil yang tengah asik bermain.

“Kamu cantik Dek Liya” ucap Mang Dedi tiba-tiba memegang pipiku.

Ada hawa hangat yang aku rasakan saat tangan kasarnya tersebut menyentuh kulit wajahku. Bahkan tak ada sedikitpun niat untuk menolak sentuhan pria penjual sayur itu karena yang aku rasakan justru malah sebuah ketentraman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Draft Amarah Para Buruh 21

Draft Amarah Para Buruh 20

Lust in Broken Home 4

Lust In Broken Home 5

Terjebak Didalam Kelas

Akibat Kena Gendam Tetanggaku

Kisah Tragis Dikebun Karet

Amarah Para Buruh 10

Amarah Para Buruh 17

Binalnya Ibu Tiriku 4