Langsung ke konten utama

Bunga Desa


Ia adalah Desi. Wanita cantik yang tinggal di kampung. Ia memiliki kulit yang bersih, rambut hitam sebahu, tubuh langsing, tidak tinggi – dan tidak terlalu pendek pula, pantat bahenol, serta payudara besar dan kencang. Siapa yang tidak suka pada keindahan seperti itu? Bisa dibilang ia adalah primadona kampungnya. Banyak pria yang tergila-gila bahkan sampai ia menikah pun masih banyak yang terpincut padanya. Ya, dia memang sudah menikah dengan Rohman. Anak dari Pak Burhan, seorang tuan tanah di kampung itu. Rohman adalah pewaris harta kekayaan Pak Burhan. Banyak orang yang mengatakan bahwa Desi menikahi Rohman karena tergila-gila pada hartanya. Tapi Desi tak mau mendengarkan omongan itu. Desi menikahi Rohman karena Desi memang mencintai suaminya itu.

Sebelum menikah dengan Rohman, Desi pernah menjalin hubungan dengan Eko, seorang pria yang juga tinggal di kampung itu. Namun, cinta mereka tak direstui oleh kedua orang tua Desi karena Eko berasal dari keluarga yang tidak jelas. Orang tua Eko mati dihakimi warga karena dituduh melakukan santet pada warga kampung. Karena alasan itu, Desi diminta orang tuanya untuk menjauhi Eko atau kalau tidak mereka tidak akan merestui. Desi sangat mencintai Eko. Kalaupun tuduhan warga kampung atas orang tua Eko benar, Desi tahu betul Eko tidaklah sama. Eko sangat baik. Desi bisa melihatnya dari sikap keseharian Eko yang suka membantu warga di sana.

Tetapi karena paksaan dari orang tua, Desi terpaksa harus meninggalkan Eko. Lalu di saat bersamaan, Rohman datang dengan segenap perhatian dan kebaikan pada Desi. Tapi mula-mula Desi tidak begitu menanggapi Rohman. Biar bagaimanapun Desi tak bisa langsung melupakan Rohman. Namun semakin lama, kebaikan dan perhatian Rohman mampu meluluhkan hati Desi. Desi pun akhirnya menerima lamaran Rohman dan mereka menikah. Rohman menjadi orang pertama yang memerawani primadona kampungnya itu, meskipun bukan orang pertama yang melihatnya telanjang. Saat bersama Eko, Desi pernah telanjang di depan mantan kekasihnya itu walaupun tak sampai berhubungan intim. Sementara itu Eko juga menikah dengan wanita lain dan pergi meninggalkan kampung untuk merantau.

 Jika membandingkan secara fisik, Rohman jelas kalah dari Eko. Eko berpostur tinggi dan tegap. Wajahnya manis. Memiliki sedikit kumis tipis. Kulitnya sawo matang. Sedangkan Rohman, badannya tidak terlalu tinggi tetapi masih dalam kategori ideal. Tingginya mungkin sekitar 168 cm. Wajahnya juga biasa aja. Karena dia anak orang kaya sehingga wajahnya sedikit terpelihara.

Meski kehidupan Desi dan Rohman serba berkecukupan, namun rumah tangga mereka tidaklah bisa dibilang bahagia. Selain karena belum dikaruniai seorang anak dalam 3 tahun umur pernikahannya, urusan ranjang mereka juga jadi salah satu sumber tidak dicapainya kebahagiaan. Desi merasakan Rohman selalu gagal memuaskannya setiap kali bercinta. Namun Desi tak pernah mengatakan. Dia takut membuat suaminya kecewa. Biasanya untuk mengatasi kelemahan itu, Rohman terpaksa harus minum jamu kuat terlebih dahuli.

Seperti malam itu, suaminya baru selesai minum jamu yang ia pesan dari temannya. Jamunya memang bisa dibilang tokcer. Malam itu pun dia bersiap untuk memulai pertempuran.
Desi
Desi sudah tertidur dan hanya mengenakan baju tidur transparan. Rohman melihat bahwa di balik bajunya, istrinya tak mengenakan apa pun. Tampak putingnya yang tercetak jelas. Rohman menaiki ranjang dan langsung memberikan rangsangan pada istrinya. Tangannya meraba paha sang istri sambil menarik bagian bawah baju tidurnya ke atas. Benar sekali bahwa Desi tak mengenakan apapun. Pantat bahenolnya langsung terlihat. Itu membuat Rohman terangsang. Batangnya mulai menegang. Rohman membalik tubuh istrinya karena semula miring dan membelakanginya. Istirnya terbangun dengan godaan Rohman.

“Ehhh…”

Rohman menurunkan sarungnya dan terlihatlah Batangnya yang tegak. Batangnya tidak terlalu besar dan panjang. Ukuran normal orang Indonesia pada umumnya. Rohman menaikkan baju istrinya sampai terlihat payudaranya yang besar. Dalam posisi menindih, Rohman menunduk dan mulai melahap payudara sang istri. Puting susunya tampak mengeras pertanda bahwa istrinya sudah terangsang. Rohman mulai menyedot dan memainkan lidahnya di kedua puting susunya.

“Ah…ah…ah…” Desi terbangun dan mulai mendesah.

Ketika ciuman Rohman turun ke perut desahan Desi makin tak karuan. Bahkan ia juga mengeliat-geliat keenakan. Kedua tangan Desi memegangi kepala Rohman yang terus turun hingga selangkangannya. Desi tahu apa yang akan Rohman lakukan: menjilat memeknya. Rohman selalu suka menjilati memek Desi karena baunya wangi. Desi memang selalu menjaga kebersihan organ intimnya itu. Selain karena alasan kesehatan, juga untuk memuaskan suami.

Lidah Rohman mulai bermain-main di memek Desi. Menari-nari di atas bibir vaginanya dan juga klitorisnya. Itu membuat Desi mendesah dan menggelinjang seketika.

“Ahhh…Mas….Mas…” Tubuh Desi menggeliat-geliat merasakankan nikmat dari suaminya.

Setelah cukup lama, kini Rohman bersiap untuk melakukan penetrasi di memek Desi. Memek Desi sudah tampak basah bukti bahwa ia sudah amat terangsang. Maka tak butuh waktu lama untuk Rohman membuat seluruh batang Batangnya amblas ke dalam liang kenikmatan milik sang istri.

Mungkin karena belum melahirkan, kemaluan Desi masih terasa sesak bagi Rohman. Ia mendiamkan sejenak dulu Batangnya di dalam memek Desi. Rohman sendiri menundukkan wajahnya untuk bisa mencium Desi. Mereka saling berciuman mesra. Tangan Rohman mencoba meremas-remas payudaranya.

Pelan tapi pasti, Rohman mulai melakukan gerakan maju mundur. Batangnya pun bisa keluar masuk di dalam memek Desi. Keduanya sudah sama-sama mulai mendesah merespon kenikmatan yang mereka ciptakan.

“Ah…Mas…ohh…”

“Des…Ah…ah….”

Pantat Desi juga turut bergerak-gerak mengimbangi gerakan dari sang suami. Rohman juga tampak mempercepat gerakannya. Selangkangan mereka saling beradu hingga menghasilkan suara yang gaduh. Tapi mereka tak peduli. Mereka kini ingin sama-sama meraih puncak kenikmatannya. Rohman makin dalam menghujamkan Batangnya di kemaluan Desi. Desi makin mendongak ke atas pertanda kenikmatan yang ia rasakan makin dalam.

“Mas….oh…” Desi mendesah. Tangannya menggenggam seprai menahan nikmat yang kian memuncak. Sampai akhirnya, Desi tidak tahan, apalagi Rohman mencoba melakukan goyangan pada memek Desi. Tubuh Desi pun langsung menekuk ke atas dan memeknya seperti lebih erat menjepit Batang Rohman.

Rohman sendiri belum sampai orgasmenya. Ia masih terus melanjutkan gerakannya mengaduk-aduk isi kemaluan Desi dengan Batangnya. Atas inisiatif Desi, kini Rohman yang berada di bawah. Desi yang kini lebih aktif melakukan gerakan ataupun goyangan. Rohman sangat menikmatinya sambil memainkan payudara sang istri.

Pantat Desi bergerak naik turun. Batang Rohman pun keluar masuk mengikuti gerakan pantat Desi. Makin lama Desi mempercepat gerakannya dan juga melakukan goyangan pada Batang Rohman. Sampai akhirnya, Rohman tak kuat lagi membendung orgasmenya. Ia pun memuntahkan sperma di memek Desi. Karena pada saat Rohman orgasme ia melesakkan Batangnya makin masuk, itu membuat Desi tak kuat dan akhirnya membuat ia orgasme kedua kalinya.

Mereka pun ambruk di atas tempat tidur. Desi memberikan ciuman dan pelukan untuk Rohman sebab malam itu ia terpuaskan. Jarang-jarang hal ini bisa didapatkannya.

“Habis minum jamu ya, Mas?” tanya Desi.

Rohman mengangguk. “Gimana?” tanya Rohman.

“Mantap.” jawab Desi sambil meremas Batang Rohman.

Tapi seringnya Rohman selalu gagal di ranjang. Apalagi jika tidak minum jamu kuat. Maka alhasil Desi tak mendapat kepuasan apapun. Seperti misalnya, saat itu Desi baru datang dari kota. Ia pergi membeli baju-baju termasuk juga pakaian dalam. Desi mencoba pakaian dalam yang baru ia beli di kamarnya. Saat itu Rohman ada di sana melihat sang istri di depan kaca. Pakaian dalam Desi sangat minim sekali dan berwarna merah cerah. Hal itu membuat Rohman terangsang dan langsung menerkam Desi. Tentu saja hasilnya bisa ditebak: tak sampai lima menit Rohman orgasme.

Barangkali inilah yang membuat Desi mudah termakan rayuan para laki-laki di sekelilingnya hingga ia harus melakukan hubungan intim dengan mereka. Desi tahu bahwa ia telah berdosa kepada suaminya. Tapi ia tak bisa menutupi kata hatinya yang mengatakan bahwa dari para laki-laki itulah ia mendapatkan kepuasan. Dari sana pulalah permasalahan rumah tangganya dimulai.

Siapa sajakah para laki-laki itu?

Keluarga Rohman memiliki usaha penjualan kopi. Kopi yang dimaksud adalah biji kopi. Mereka menjual biji-biji kopi ke beberapa pemasok. Tapi ada beberapa biji kopi yang mereka olah sendiri. Mereka punya berhektar-hektar kebun kopi. Kebun-kebun kopi itu adalah warisan turun-temurun. Setiap musim panen kopi tiba, mereka akan sibuk mengurusi kebun-kebun mereka yang hendak dipanen.

Seperti suatu ketika musim panen kopi telah tiba. Saat itu ada dua kebun yang harus dipanen. Para pemetik sudah berangkat ke kebun yang dimaksud. Biasanya yang bertugas untuk memberikan upah adalah Rohman dan Desi. Pak Burhan, ayah Rohman, sudah jarang mengurus usahanya itu.

Demi mempercepat proses panen, Rohman dan Desi pun melakukan pembagian tugas. Desi ditugaskan ke kebun yang tidak terlalu luas, meski tempatnya lumayan jauh. Demi menjaga keamanannya, Rohman meminta Sapto menemaninya. Sapto adalah pesuruh sekaligus sopir di rumah itu.

Sapto sebaya dengan Rohman. Tingginya juga hampir sama tetapi Sapto lebih tegap dan berisi. Mungkin karena faktor pekerjaannya yang berat sehingga badannya menjadi berotot. Kulitnya agak sedikit gelap. Memiliki jambang di wajahnya. Sekilas wajah Sapto memang tampak menakutkan tapi sebetulnya dia lumayan tampan.

Mereka berdua menaiki mobil pick up untuk mengangkut kopi-kopi yang telah dipanen. Desi juga telah menyiapkan sejumlah uang untuk dibayarkan pada pemetik.

Saat itu Desi mengenakan kaos lengan panjang berwarna hijau tua yang agak ketat sehingga membuat lekukan badannya terlihat. Bawahnya mengenakan celana jeans berwarna gelap. Rambutnya ia ikat menyerupai ekor kuda membuat leher jenjangnya terlihat jelas. Jujur saja penampilan Desi membuat Sapto tergoda. Ah, kalau saja bukan majikan, pasti sudah Sapto sikat.

“Sap, aku udah nyiapin makanan juga nih. Nanti setelah selesai semua, kita makan dulu.”

“Wah, mantap nih. Makasih, mbak.”
“Sama-sama.”
“Aku memang senang, Sap, makan di kebun. Udaranya sejuk. Nafsu makan jadi bertambah. Hehehe.”
“Iya juga sih, mbak. Bener.”
“Sap, ini kok kaya mendung ya? Masa mau hujan?” tanya Desi sambil melihat ke langit dari dalam mobil.

“Ngga mungkin, mbak. Paling habis ini juga cerah lagi.”

Sesampainya di sana, rupanya sebagian pekerja sudah menyelesaikan pekerjaannya. Satu per satu hasil petikan mereka ditimbang. Upah mereka disesuaikan dengan jumlah yang mereka dapatkan.

Tak butuh waktu lama menunggu sampai semuanya selesai. Kopi-kopi sudah dinaikkan ke atas pick up dan langsung ditutup kain terpal. Para pekerja satu per satu mulai pergi.

“Kita makan dulu yuk.” Ajak Desi setelah memastikan semua pekerjaan selesai dan pekerja pergi.

Kebun kopi mereka agak jauh dari jalan raya. Mungkin masuk ke area hutan sekitar 1 km. Jadi susana sangat sepi dan paling hanya ada satu dua orang yang lewat untuk mencari kayu. Itu pun jarang sekali.

Mereka makan berdua di pondokan kecil yang hanya cukup untuk dua orang. Pondokan itu berada di tengah kebun. Tapi masih terlihat dari posisi pick up diparkir. Saat selesai makan, dan mereka sedang merapikan bekas makannya, tiba-tiba sekali hujan turun. Deras. Mereka sama sekali tak punya persiapan. Mereka memilih berteduh terlebih dahulu di pondokan itu. Sialnya, pondokan itu atapnya juga bocor dan terpaksa membuat mereka harus berdiri berhimpitan.

“Waduh, bagaimana ini, mbak?” tanya Sapto.

“Ga tau, Sap. Mendadak sekali hujannya.”

“Untung kopi udah ditutup terpal, mbak.”

“Iya, Sap.”

“Apa kita mau lari aja ke mobil, mbak?”

“Basah dong, Sap. Deres banget ini hujannya. Kita tunggu aja deh di sini. Paling ntar juga reda.”

Mereka pun akhirnya menunggu dengan tetap berdiri berhimpitan. Awalnya posisi Desi berada di depan Sapto. Dengan posisi itu otomatis selangkangan Sapto menyentuh pantat Desi. Sapto tak bisa bohong bahwa kondisi itu membuat dirinya terangsang. Batangnya mulai tegang. Sapto takut sekali itu diketahui oleh Desi.

Hujan ternyata makin deras. Cipratan air makin mengenai Desi. Desi coba mundur untuk menghindari cipratan itu. Tapi sesuatu yang aneh dirasakan oleh Desi. Pantatnya membentur sesuatu yang keras. Desi berpikir, di belakangnya hanya ada Sapto. Desi paham apa yang barusan menyentuh pantatnya itu.

Sapto makin tidak tahan dengan kondisi ini. Ia memberanikan diri untuk mendekatkan tubuhnya ke tubuh Desi. Alhasil selangkangannya makin erat dengan pantat Desi. Desi sendiri merasakannya dan makin lama Sapto terasa mulai menggesek-gesekkan selangkangannya.

“Sapto, kamu ngapain?” tanya Desi dan membuat Sapto kaget sekaligus menghentikan gerakannya.

“Maaf, mbak. Aku...aku terangsang.”

Desi tak menjawab dan diam saja. Sebagai seorang wanita harus diakui kondisi dan situasi ini juga memberikan rangsangan padanya. Cuaca sedang dingin dan Sapto ada untuk menawarkan kehangatan.

“Mbak Desi marah ya?”

“Ngga kok, Sap. Kamu cowok. Itu normal. Cowok mana pun pasti juga bakalan seperti kamu.”

“Tapi aku sudah kurang ajar, mbak.” Sesal Sapto. Tapi selangkangannya masih menempel.

“Kamu ga bisa menghentikan kodratmu sebagai cowok. Kalau sudah waktunya tegang, ya pasti tegang.”

Mendengar itu, Sapto merasa lega.

“Kamu tegang kan?” tanya Desi. Sapto terkejut.

“Eh...iya...mbak. Maaf ya.” Jawab Sapto. “Mbak kok tau?”
“Kerasa. Selangkanganmu keras. Apalagi kalo bukan tegang?”
“Hehehe iya, mbak. Siapa sih yang ngga tegang lihat cewek secantik dan seseksi Mbak Desi “
“Berarti semua salahku ya, Sap?”
“Bu...bukan, mbak. Maksud saya, biasanya cowok kan suka sama cewek cantik dan seksi.”

“Kalau memang salahku, biar aku yang menyelesaikan.”

Tiba-tiba Desi berbalik arah dan mereka pun berhadap-hadapan. Kini dada Desi menempel erat ke tubuh Sapto. Sapto makin menegang. Dan yang paling mengejutkan, Desi kini meraih selangkangan Sapto dan meremasnya.

“Biar aku selesaikan ya.” kata Desi sambil menurukan resleting celana Sapto. Setelah terbuka, Desi meminta Sapto menurunkan celana sekaligus CD-nya. Tampaklah Batang Sapto yang sudah keras. Ukurannya sedikit agak lebih besar dari milik Rohman ditambah jembut yang sepertinya tak pernah dirapikan.

“Besar juga ya.” kata Desi sambil menggenggamnya. Sapto hanya tersenyum malu. Tapi tampak kepuasan di wajahnya. Desi sendiri mulai mengocok Batang Sapto. Batang Sapto makin menegang dalam genggaman Desi.

Ingin rasanya Sapto menyentuh payudara Desi yang menempel ke badannya. Tapi dia tak cukup berani. Baginya mendapat kocokan tangan Desi saja sudah cukup. Namun ternyata harapan Sapto terkabul. Tiba-tiba saja tangan kiri Desi memegang tangan Sapto dan menuntunnya ke selangkangannya.

“Buka.” kata Desi. Ucapan yang memberikan tanda lampu hijau pada Sapto.

Sapto tak mau membuang-buang kesempatan itu. Dengan sigap ia segera membuka celana Desi dan menurunkannya. Kini tampaklah selangkangan Desi yang masih dibungkus CD putih tulang.

Tangan Sapto langsung menyelinap masuk ke dalam CD dan segera menemukan sesuatu yang diidamkannya: memek Desi. Melihat sikap Desi yang diam saja, Sapto pun berani menyelipkan tangannya ke balik kaos Desi dan menyentuh payudaranya. Ia juga mengangkat kaos Desi ke atas hingga tampak payudaranya dibungkus BH berwarna senada dengan CD-nya.

Betapa indah payudara itu, kata Sapto dalam hati. Bulat sempurna. Sapto membuka kaitan BH di punggung Desi. Setelah terbuka, ia dengan mudah mengeluarkan payudara Desi dari dalam BH. Sapto segera menunduk dan melahap payudara itu. Ujung payudara itu segera masuk dalam mulut Sapto. Disedot-sedot oleh Sapto. Putingnya yang berwarna merah muda ia gigit-gigit kecil dan lidahnya menari-nari di puting itu.

“Sapto, jangan dimerahin.”

Sapto hampir khilaf: melakukan cupang pada payudara Desi. Desi segera mencegahnya. Ia takut nanti suaminya curiga.

Tangan Sapto yang lain terus bermain di selangkangan Desi. Jarinya sudah mengorek-orek memek Desi. Sapto merasakan memek Desi sudah basah pertanda bahwa ia sudah terbuai oleh birahi. Desi sendiri masih asik mengocok Batang Sapto.

Tanpa terasa hujan sudah mulai mereda.

“Mbak, kita pindah ke mobil?” tanya Sapto. Desi hanya mengangguk.

Setelah merapikan baju dan membawa bekal makanan kembali, mereka segera bergegas ke mobil.

“Ga akan ada orang kan?” tanya Desi.

“Ga akan, mbak. Habis hujan.”

Sapto lalu membuka kaos yang ia kenakan disusul dengan celana dan CD-nya hingga ia telanjang bulat. Desi sempat terpana sejenak. Tubuh Sapto lumayan bagus. Itu membuat birahinya kembali naik.

Dengan buasnya, Sapto melepas pakaian Desi satu per satu: kaos, BH, celana dan CD. Sapto mengangakat tubuh Desi dan ia dudukkan di pangkuannya. Batang Sapto menempel langsung dengan memek Desi. Batangnya pas berhadapan dengan lubang memeknya.

Sapto kembali melahap payudara Desi yang kini tepat berada di hadapannya. Ia melahap secara bergantian. Sementara Desi mulai mendesah.

“Mpphhh...mmpphh...”

“Ahhh....asshh...” desah Desi. Apalagi ditambah memeknya tertekan oleh Batang Sapto. Desahannya kian bertambah.

Mereka tak lagi peduli jika ada orang yang lewat dan memergoki mereka. Kenikmatan telah membuat mereka lupa segalanya. Karena saking bernafsunya, tiba-tiba Desi mengangkat wajah Sapto dan langsung mencium bibirnya. Mereka pun saling berciuman dengan brutal. Bibir mereka saling berpagutan. Sapto juga langsung membalas ciuman bibir Desi. Selangkangan mereka masih tetap saling beradu. Desi tanpa diperintah bergerah naik turun agar Batang Sapto bisa bergesekan dengan memeknya.

Situasi itu membuat Sapto merasa akan segera sampai. Bagaimana mungkin tak segera sampai? Bibir saling berpagutan mesra dan kemaluan mereka saling beradu? Ia pun memberanikan diri untuk segera menyelesaikan semuanya.

“Mbak, aku masukin ya?” kata Sapto sambil berusaha mengarahkan Batangnya.

“Kamu ada kondom ga? Aku lagi subur.”

“Ga ada, mbak.” Jawab Sapto. “Aku buang di luar deh.”

Agak ragu sebenarnya. Tapi sudah kepalang tanggung. Desi pun mengangguk.

Ah, mimpi apa Sapto semalam bisa bercinta dengan majikannya yang cantik itu. Desi mengangkat tubuhnya dan Sapto pelan-pelan mengarahkan Batangnya ke lubang memek Desi. Setelah dirasa tepat, Desi perlahan turun.

“Ah...” desah Desi begitu kepala Batangnya berusaha menguak bibir memeknya. Ia coba terus perlahan sambil menggigit bibir menahan rasa sakit dan nikmat yang datang bersamaan.

“Ahhhh....”

Begitu kepala Batangnya sudah masuk, dengan mudah Sapto mendorong batangnya lebih masuk lagi. Sampai akhirnya, seluruh batangnya masuk ke liang senggama Desi.

“Uhhh..” Desi melenguh karena memeknya telah dipenuhi batang Batang.

Desi bergerak naik turun di pangkuan Sapto. Sapto menikmati Batangnya yang keluar masuk di memek Desi. Gerakannya pelan tapi nikmat.

Sapto kemudian kembali mencium bibir Desi mesra. Ia ciumi juga leher Desi. Lagi-lagi ia ingin melakukan cupang tapi Desi cegah.

“Sapto, jangan!”

Tentu saja ini adalah kali pertama bagi Desi bercinta dengan orang lain selain suaminya. Desi tidak tahu kenapa tiba-tiba berani mengambil keputusan itu. Ia tahu yang ia lakukan itu salah. Tapi dalam lubuk hati terdalamnya, ada suatu kepuasan yang sudah sangat lama ia rindukan. Kepuasan yang sangat jarang diberikan oleh suaminya. Desi, sebagai wanita, juga ingin merasakan kepuasan itu. Salahkah ia?

Sementara bagi Sapto, entah ini yang keberapa kali. Sebelumnya ia sudah pernah melakukam hubungan intim dengan pacarnya dulu.

“Ahh...ah...ahh....” desah Desi. Gerakan naik turunnya semakin cepat. Apalagi Sapto terus memberikan rangsangan di puting susunya yang ranum.

“Ahh...seerett...bangeettt...mbaak...” kata Sapto.

Dalam hati Sapto, ia bertanya kenapa memek Desi masih seret. Apakah karena belum pernah melahirkan? Atau Batang Rohman terlalu kecil? Ah, entahlah. Tapi yang jelas memek Desi rasanya nikmat.

“Sapp....”

Kini gerakan Desi sudah berubah. Ia mulai melakukan gerakan menggoyang pantatnya. Desahannya juga makin sering dan keras.

“Ahh...sapp....kamuu...naa..kall..” Sapto meremas-remas payudaranya dan sesekali memainkan puting susunya.

Desi kembali melakukan gerakan naik turun namun dengan tempo lebih cepat. Sampai akhirnya, tubuhnya menegang dan ia membenamkan wajahnya ke bahu Sapto. Memeknya makin kuat menjepit Batang Sapto. Pertahanan Sapto sendiri sepertinya juga akan jebol.

“Ahh.....” Desi melenguh panjang. Dengan cepat Sapto segera mengangkat tubuh Desi dan crot crot crot. Spermanya muncrat ke bagian luar memek Desi dan perutnya sendiri. Sperma yang keluar banyak sekali.

Masih dalam posisi yang sama, mereka saling berpelukan untuk melepas penat.

“Ini jadi rahasia kita.” Kata Desi. Nafasnya tersengal-sengal.

“Iya, mbak.” Begitu juga Sapto.

Mereka pun membersihkan kelamin dengan CD masing-masing. Sapto mengelap Batangnya yang berlumuran cairan cinta Desi. Sedangkan Desi membersihkan sperma Sapto dan cairan cintanya sendiri. Setelah bersih mereka mengenakan baju dan segera pulang.

Dalam perjalanan, mereka seolah tak percaya bahwa baru saja mereka sudah berhubungan intim. Desi sudah mengkhianati suaminya: berselingkuh dengan pesuruh di rumahnya. Tapi dia sendiri tak tahu, kenapa begitu saja tergoda dengan situasi di kebun kopi tadi. Apa yang salah dari Rohman? Atau justru dirinya yang salah?

Rohman di rumah tampak mengkhawatirkan Desi dan Sapto yang tak kunjung datang. Apalagi mereka tidak mengangkat telepon dari Rohman. Berulang kali Rohman menelepon tapi tidak ada jawaban. Rohman takut terjadi sesuatu pada mereka berdua karena baru saja turun hujan lebat.

Tapi tak lama berselang, Desi dan Sapto datang. Rohman seketika senang melihat kehadiran mereka.

“Tadi di sana sempat hujan, Mas. Deres banget.” kata Desi pada Rohman. “Di sini hujan juga kan?”

“Iya.” jawab Rohman. “Makanya aku khawatir banget. Takut ada apa-apa.”

“Ngga kok, Mas. Tenang aja.” sahut Sapto.

Namun sejujurnya bukan soal keselamatan mereka yang dikhawatirkan Rohman, tapi sesuatu yang lain. Rohman takut mereka berdua bermain gelap di belakangnya, meskipun ia tahu istrinya tak akan mengkhianatinya. Ia percaya pada istrinya. Apalagi Sapto juga sudah menjadi sopir dan pesuruh kepercayaannya.

Tapi yang namanya rasa curiga tetaplah ada biar bagaimanapun. Sapto juga seorang laki-laki normal dan bisa dibilang masih sebaya dengan dirinya. Rohman takut Sapto bertindak kurang ajar dan Desi tak bisa melawan. Atau lebih parahnya, justru Desi yang tergoda pada Sapto.

Sebisa mungkin Desi dan Sapto pun tidak menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Mereka telah merapikan penampilan mereka agar Rohman tak curiga. Baju dan rambut mereka sudah tampak rapi seperti semula.

Benar saja, melihat mereka, Rohman jadi segera membuang jauh-jauh pikiran buruknya. Sayangnya, Rohman justru telah dibohongi. Meski penampilan luar mereka tampak biasa, tapi Rohman tak tahu bahwa CD yang mereka kenakan masih basah dengan cairan senggama masing-masing.

***

Kejadian di kebun beberapa hari lalu membuat Sapto selalu bernafsu setiap melihat Desi. Bahkan nyaris setiap malam ia selalu memimpikan Desi. Setiap kali akan tidur, untuk memuaskan hasratnya, ia melakukan masturbasi sambil membayangkan tubuh indah Desi.

Berhari-hari, mereka malah tak pernah punya waktu berdua sama sekali. Padahal Sapto sudah menantikan untuk bisa mengulang momen itu. Demi sedikit memuaskan hasratnya Sapto pun memberanikan diri untuk mengirim pesan WA pada Desi.

“Hai, mbak. Kangen nih.” kata Sapto membuka obrolan.

Dan yang mengejutkan, ia mengirim foto selangkangannya yang sedang ia elus-elus dengan tangannya. Ia hanya mengenakan CD.

Tak lama, Desi membalas, “Nakal.”

“Tapi mbak suka kan?” canda Sapto. “Ga ke kebun lagi?”

“Ngga. Takut diperkosa lagi.”

“Habis enak sih, mbak. Hehehe. Mau lagi jadinya.”

“Pake kondom ya.”

Melihat jawaban Desi, Sapto menjadi girang. Jawabannya seperti memberi angin segar padanya untuk bisa mengulang kejadian di kebun. Saat itu juga buru-buru Sapto pergi ke swalayan kampung untuk membeli kondom. Dalam pikiran Sapto, tak masalah menggunakan kondom yang penting bisa menikmati tubuh Desi.

Pagi-pagi sekali, suatu hari, Desi bangun tidur dan pergi ke dapur. Ia mengambil air segelas dan meminumnya. Jumi, pembantu di rumah itu, sedang ke pasar bersama Pak Burhan dan Bu Sulastri, mertua Desi. Sedangkan Rohman sendiri masih tertidur pulas.

Desi duduk di kursi sambil menghabiskan airnya. Ia terbayang kejadian semalam di kamarnya: Rohman mengajak Desi bercinta. Sebagai istri ia menuruti kemauan suaminya itu. Tapi tak sampai 10 menit, Rohman sudah mencapai orgasmenya. Sementara Desi masih belum mencapai puncaknya. Rohman pun langsung kelelahan.

“Gak minum jamu dulu ya, Mas?” tanya Desi.

“Keburu nafsu duluan sama kamu.”

Selanjutnya mereka tidur. Rohman tampak puas, sedangkan Desi menahan birahinya yang tertunda.

Lalu ia teringat Sapto yang sempat memberikan kepuasan bagi Desi. Desi beranjak dari kursi untuk kembali ke kamarnya. Saat hendak keluar dari dapur, begitu melewati ruang makan, Sapto menarik tubuh Desi dan menyuruhnya diam: memberi isyarat dengan jarinya. Sapto langsung menempelkan tubuh Desi ke dinding. Mereka saling berhadap-hadapan.

“Sap, ada orang.” kata Desi pelan.

“Sttt. Lagi sepi, mbak. Ayo ikut saya.”

Sapto menuntun Desi keluar menuju ke bagian belakang rumah. Sapto menengok kanan kiri untuk memastikan kondisi aman. Desi tanpa pikir panjang lansung menerima ajakan Sapto. Entahlah bagaimana bisa ia menuruti perintah pesuruhnya itu. Mereka menuju ke sebuah gudang. Sebuah gudang yang letaknya terpisah dari rumah.

“Sap, mau ngapain?” tanya Desi saat sudah berada di dalam gudang.

“Aku sudah ngga tahan, mbak.”

Sapto langsung menerkam Desi. Ia menempelkan kembali Desi ke tembok. Langsung diciuminya bibir Desi dengan ganasnya. Desi juga tak butuh waktu lama untuk ikut dalam arus birahi Sapto. Ciuman Sapto pun langsung ia balas. Mereka jadi saling memagut bibir satu sama lain. Barangkali Desi terpengaruh kejadian semalam: birahinya tertunda.

Tangan Sapto mulai menggerayangi tubuh Desi terutama di bagian dadanya. Desi saat itu hanya mengenakan daster pendek sampai lutut bergambar Hello Kitty. Sapto merasa bahwa majikannya itu tidak mengenakan BH karena baru sebentar saja puting susunya sudah mencuat.

Ciuman Sapto turun ke leher Desi. Ia menciumi Desi dan juga menjilati bagian belakang telinganya. Desi paling tak bisa dirangsang pada bagian itu. Juga napasnya yang mendengus memberikan sensasi geli di leher dan tangkuk Desi. Tangan Desi, tanpa disuruh, juga langsung menggenggam selangkangan Sapto yang mulai mengeras. Sapto mengenakan celana pendek – sampai di atas lutut – berbahan kain. Bahkan ia tak ragu untuk memasukkan tangan kanannya ke dalam celana pendek Sapto. Tentu saja, Batangnya sudah mengeras.

Sapto tak mau kalah, dengan kedua tangannya ia mengangkat daster Desi untuk melepaskannya. Desi mengakat kedua tangannya agar memudahkan Sapto. Seketika Desi pun bertelanjang di hadapan Sapto dan hanya tersisa CD berwarna merah muda. Tanpa basa-basi, mulut Sapto mencaplok payudara Desi.

“Mmpphhffff.....” Kedua payudara Desi ia sedot secara bergantian.

Tangan Desi masih berada di dalam celana Sapto. Mengocok Batang Sapto yang kian mengeras.

“Sap....ahh...aahhh...”

Desi mendesah saat lidah Sapto menari-nari di atas putingnya. Sesuatu menjalar ke selangkangan Desi dan membuat birahinya naik.

Sapto membuka kaos yang dikenakannya begitu juga celana pendeknya. Ia pun jadi bertelanjang bulat. Kini Desi bisa menyaksikan dengan jelas bagaimana tubuh Sapto.

Sapto menuntun Desi untuk rebah di atas lantai yang sudah dilapisi kardus.

“Sap... Aku takut!” seru Desi. “Gimana kalo suamiku mencari?”

“Ga akan kok, mbak.”

“Bapak ibu nanti juga datang gimana?”

“Tenang aja, mbak.”

Desi begitu saja percaya pada Sapto. Ia langsung merebahkan diri di atas tumpukan kardus. Sapto langsung menarik CD Desi dan tak butuh waktu lama kini majikannya itu juga sudah bertelanjang bulat.

Ah, betapa indah pemadangan di hadapannya. Memek Desi merekah seolah siap untuk diterkam. Sapto membuka paha Desi lebih lebar lagi. Kemudian Sapto menunduk dan kepalanya masuk di antara dua paha Desi.

“Mau apa, Sap?” Tiba-tiba Desi mencegah.

“Mbak, tenang aja. Gapapa kok.”

Tapi ia termakan rayuan Sapto dan membiarkan Sapto melanjutkan keinginannya.

Tak lama, sesuatu yang basah menempel di memeknya. Ah, rupanya mulut Sapto sudah berada di sana: mengecup memeknya yang harus diakuinya sudah basah.

Sebelumnya Desi juga pernah melakukan hal serupa. Tidak, bukan dengan Rohman Desi melakukannya pertama kali. Melainkan dengan Eko, mantan kekasihnya, meskipun tak sampai berhubungan intim. Sedangkan dengan Rohman, ia juga pernah melakukannya tapi jarang. Rohman adalah orang yang cenderung bermain tanpa 'foreplay” terlebih dahulu.

Kini Sapto coba memainkan lidahnya di memek Desi: menyibak bibir memeknya dan memainkan klitorisnya.

“Ahh...ahh...sshh...” Desi pun mendesah. Wanita mana yang tak akan mendesah mendapat perlakuan seperti itu?

Tangan Desi memegangi kepala Sapto yang kian terbenam di selangkangannya. Desi sendiri makin mengangkat pantatnya agar permainan lidah Sapto makin dalam masuk ke memeknya.

“Sappp....uuu...daahhh....”

Tapi Sapto tak mendengarkan ucapan Desi. Ia terus saja mengaduk-aduk memek Desi dengan lidahnya. Bahkan ia juga memberi sedikit tarian lidah kecil pada klitoris Desi dan Desi pun menggelinjang tak karuan.

“Sappp....oohh....”

Pantat Desi bergoyang-goyang menerima kenikmatan itu. Bahkan posisinya terus semakin meninggi. Hingga tak lama, kepala Sapto ia pegang kuat-kuat dan ia melenguh panjang.

“Ooohhh.....Sapp....”

Sapto merasakan ada banyak cairan yang keluar dari memek Desi. Ia tahu bahwa Desi sudah orgasme. Ia lalu mengangkat wajahnya dan bibirnya sudah penuh dengan cairan milik Desi. Lalu ia bersihkan dengan kaosnya.

Desi memejamkan matanya dengan nafas terengah-engah. Pahanya masih terbuka lebar. Sapto yang tampak bernafsu, mengarahkan Batangnya ke memek Desi.

Mulanya Sapto menggesek-gesekkan kepala Batangnya ke memek Desi untuk memberi rangsangan. Desi sesekali menggelinjang saat kepala itu menyentuh klitorisnya. Kemudian Sapto mulai mendorong Batangnya masuk.

Namun, entah kenapa, seketika Desi menutup pahanya dan mencegah tindakan Sapto. Ia mendorong Sapto. Sapto sendiri terkejut.

“Sap, udah. Aku takut ketahuan.” kata Desi.

“Ngga kok, mbak. Tenang aja.”

“Udah, Sap. Cukup.”

“Tapi, mbak, tanggung....” kata Sapto sambil memegang Batangnya yang menegang.

Desi berdiri dan meraih pakaiannya. Kemudian ia mengenakannya kembali. Sapto hanya terdiam tak menyangka bahwa harapannya sirna.

“Biar aku kocok saja ya.” kata Desi setelah berpakaian kembali.

Ia menghampiri Sapto lalu berjongkok di hadapan Sapto yang berdiri. Batang Sapto tepat berada di depan wajahnya. Tangan Desi lalu meraih Batang yang sudah tegang itu. Dengan gerakan lihai, ia pun mulai mengocok.

“Ahh...ahh...” Sapto mendesah.

Desi tampak lihai sekali melalukan kocokan pada Batang Sapto. Kocokannya pun makin lama makin cepat. Tangan Desi juga merasakan bahwa Batang itu makin mengeras.

“Mbak, dikulum dong.” pinta Sapto. Tapi Desi jelas menolak.

Sebelumnya Desi memang tak pernah melakukan oral seks bahkan pada suaminya. Rohman berulang kali meminta tapi Desi tak pernah mau. Entah apa alasannya.

Desi menambah tempo kocokannya karena tahu bahwa Sapto akan segera sampai. Namun, dugaannya salah. Desi harus terus mengocok lebih lama lagi karena Sapto tak kunjung memuncratkan spermanya.

Coba kalau Rohman, pasti sudah keluar sejak tadi, kata Desi dalam hatinya.

Karena tak kunjung sampai, Desi mengganti kocokannya dengan tangan kirinya. Sapto masih saja tak menunjukkan tanda-tanda apapun.

“Kok belum keluar?” tanya Desi.

“Ga tau, mbak. Mungkin sambil lihat Mbak Desi telanjang.”

Demi segera menuntaskan janjinya, Desi kembali bertelanjang dan menyisakan CD-nya saja. Sapto kemudian menyuruhnya berdiri. Kedua tangan Sapto mulai memainkan payudara Desi. Sedangkan Desi masih terus mengocok dalam posisi berdiri.

Tak puas dengan hanya payudara, Sapto mencium bibir Desi. Mereka kembali hanyut dalam birahi yang panas. Mulut mereka berpagutan. Lidah mereka saling beradu. Bahkan saking panasnya, Sapto tak tahan untuk tidak menyentuh memek Desi dengan tangannya. Kembali ia mengacak-acak memek itu dengan jemarinya.

Kocokan Desi semakin cepat. Paha Sapto juga tampak mulai mengeras. Sapto juga melepas ciuman di bibir Desi.

“Ahh….aahhh….ahhh…..” desah Sapto. Lalu tak lama kemudian, Batangnya berkedut-kedut beberapa kali. Spermanya muncrat. Crot crot crot.

Desi mengambil kaos Sapto untuk membersihkan tangannya dan Batang Sapto yang penuh dengan sperma. Pemandangan Desi yang membersihkan Batangnya, bagi Sapto, sangatlah langka. Ia seperti merasa menjadi suaminya.

Setelah bersih, Desi mengenakan kembali pakaiannya dan segera meninggalkan gudang itu. Sebelum keluar, ia melihat-lihat terlebih dahulu kondisi di luar. Saat semuanya sudah memungkinkan, ia pun segera keluar dan menuju dapur. Sampai di dapur, masih tak ada siapa pun.

Ia kembali ke kamarnya. Sesampainya di kamar, suaminya sudah terbangun dan terlihat sedang menonton televisi. Desi agak terkejut apalagi saat ditanya dari mana.

“Eh, dari dapur, Mas.” jawab Desi.

“Oh, bantu Jumi masak?”

“Ngga. Jumi aku cari tidak ada. Mungkin masih ke pasar.”

Syukurlah tak ada pertanyaan lagi dari suaminya itu. Ia pun segera masuk ke kamar mandi di kamarnya.

Di dalam kamar mandi, ia menelanjangi dirinya. Di depan cermin, ia melihat betapa indah tubuhnya itu. Tubuh yang seharusnya hanya untuk Rohman suaminya. Tapi kini sudah pernah ada laki-laki yang menikmatinya juga.

Sebenarnya saat di gudang tadi, bukannya ia tak bernafsu ataupun takut ada orang yang datang. Tidak. Itu hanya alasan Desi. Tiba-tiba bayangan Rohman datang di pikirannya. Desi pun tiba-tiba saja tidak yakin untuk mengulang kejadian di kebun kemarin. Meski semalam ia dibuat kecewa oleh suaminya, tapi ia sendiri takut bagaimana jika kelak ia ketagihan untuk mendapat kepuasan dari Sapto atau laki-laki lain.

Tapi harus ia akui bahwa di dalam lubuk hatinya, ia menjerit-jerit ingin mendapat kepuasan dari Sapto.

Sementara Sapto yang keluar dari gudang tampak sedikit kecewa. Meskipun sudah mendapat kocokan dari Desi tapi bukan itu yang ia harapkan melainkan menikmati kembali memek Desi. Ia meraba kondom di celana pendeknya yang sudah ia siapkan.

Ketika Desi melamun di depan cermin dalam posisi telanjang, tiba-tiba ia punya inisiatif untuk menggoda suaminya. Ia pun keluar kamar mandi dan menuju suaminya.

Rohman terperangah melihat Desi yang menghampirinya dengan tak mengenakan apapun.

“Mandi yuk, sayang.” ajak Desi.

Rohman berdiri menerima ajakan Desi. Sesampainya di kamar mandi, Desi melucuti sarung dan kaos yang dikenakan Rohman. Rupanya Rohman tak memakai CD. Tampaklah Batangnya yang mulai menegang.

Mereka kemudian mulai mandi bersama. Saling menyabuni satu sama lain. Desi menyabuni Batang Rohman dan Rohman menyabuni memek Desi. Keduanya saling mendesah.

Tapi di tengah perjalanan, Rohman lebih dulu memuncratkan spermanya. Crot crot crot. Seketika Batangnya langsung lemas. Desi, dengan menyembunyikan kekecewaannya, membersihkan Batang Rohman.

Malam harinya, Sapto mengirim pesan WA pada Desi menanyakan soal kejadian di gudang.

“Ngga aman, Sap. Aku takut.”

“Tapi aku pengin, mbak. Aku udah siap kondom kok.” jelas Sapto yang menduga Desi tak mau karena takut hamil.

“Lain kali aja.”

“Di kebun lagi?”

Desi tak membalasnya. Sapto sepertinya sudah mulai ketagihan akan hubungannya dengan Desi. Itulah yang Desi takutkan. Ia takut tak bisa keluar dari jerat perselingkuhan. Ancamannya adalah keutuhan rumah tangganya. Tapi di sisi lain ia bingung: harus membuang kesempatan untuk meneguk kepuasan dari Sapto.

***

Suatu siang, kecelakaan terjadi di rumah mereka. Bu Sulastri terjatuh di kamar mandi dan tidak sadarkan diri. Mereka pun membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut.

Dokter pun memutuskan agar Bu Sulastri dirawat inap untuk memudahkan mengontrol kondisinya. Pak Burhan dan Jumi yang bertugas untuk menjaganya. Sementara Rohman dan Desi tetap di rumah mengurus bisnis.

Di rumah itu saat ini hanya ada Rohman, Desi, dan Sapto. Pak Burhan dan Jumi menginap di rumah sakit untuk menjaga Bu Sulastri. Tugas memasak saat ini digantikan oleh Desi. Sementara urusan kebun kopi semua dikerjakan oleh Rohman.

Berdasarkan diagnosis dokter, Bu Sulastri mengalami darah tinggi dan mulai merasakan gejala stroke ringan. Tangan dan kaki kanannya tak bisa digerakkan. Begitu juga dengan bibirnya mulai tampak kaku sehingga ia mengalami kesulitan saat berbicara.

Pagi hari Rohman mendapati istrinya tak ada di sampingnya. Ia bangun dan mulai mencarinya. Di kamar mandi, tak ada. Ia menemukan istrinya sedang memasak di dapur. Dari belakang istrinya tampak seksi sekali. Ditambah hanya mengenakan daster selutut dan tanpa lengan. Desi memang lebih suka mengenakan daster saat tidur.

Rohman lalu memeluknya dari belakang dan membuat Desi kaget. Mereka langsung melakukan ciuman mesra.

“Lagi masak apa?” tanya Rohman.

“Ikan goreng, sambal, sama sayur asam toge.”

“Toge?”

“Iya. Biar makin subur.” jawab Desi sambil tangannya meremas selangkangan Rohman.

“Ih, nakal ya.”

Rohman membalik Desi untuk menghadap dirinya. Ia lalu mulai menciumi Desi. Menyusuri dari leher sampai belahan dadanya.

“Mas, ada Sapto ntar.”

“Ah, dia pasti lagi sibuk.”

“Udah, ah, Mas. Nanti ada yang lihat.”

Rohman tak menghiraukan ucapan Desi. Ia terus menciumi Desi dan bahkan tangannya mulai masuk ke dalam selangkangan Desi.

“Kamu ga pake CD?” tanya Rohman.

Desi menggeleng. “Tadi habis pipis. Sekalian aku buka.”

Entah kenapa itu makin membuat Rohman bernafsu. Batangnya sudah mulai tegang. Tanpa diminta Desi meraih selangkangan Rohman dan menggenggam Batangnya. Sementara tangan Rohman naik terus ke atas menyusuri bukit indah Desi.
Desi sudah tidak lagi memperingatkan Rohman. Ia sudah mulai ikut dalam birahi Rohman. Bahkan ia tak segan untuk membuka sarung Rohman agar lebih leluasa memegang Batangnya.

Rohman juga membuka baju yang Desi kenakan. Rupanya ia sudah tak mengenakan apa-apa di dalamnya. Gila. Berani sekali Desi, pikir Rohman. Baru kali ini ia mendapati Desi seperti itu. Tapi ia tak mau memikirkan itu terlebih dahulu. Birahinya sudah terlanjur berkobar dan meminta untuk dituntaskan.

“Mas, masa mau di sini?” tanya Desi. Rohman tampak membuka kaos yang ia pakai. “Kalau ada orang gimana?”

“Ngga ada siapa-siapa kok.”

“Takut, Mas. Di kamar aja.”

Karena Desi menolak, mereka pun memilih untuk kembali ke kamarnya. Setelah mengunci pintu, mereka melanjutkan persenggamaan mereka.

Tapi dalam senggama mereka, lagi-lagi Rohman tak mampu memuaskan Desi. Pertahanannya tetap tidak lama. Ia lebih cepat ejakulasi padahal Desi belum merasakan kepuasan apa-apa.

“Kamu pasti ga seneng ya gara-gara mas cepet keluarnya?” kata Rohman setelah mereka bercinta.

Desi tersenyum sebelum menjawab, “Seperti apapun keadaanmu, Mas, aku pasti menerima.”

“Terima kasih,” jawab Rohman. “Lain kali mas minum jamu kuat dulu ya biar tahan lama.”

“Iya, Mas.”

Rohman pun mengecup kening Desi. Desi terpaksa harus berbohong pada suaminya. Ia tidak mau suaminya merasa kecewa walaupun sebenarnya dia sendiri yang harus tersiksa.

Karena kelelahan, Rohman kembali tertidur. Sementara Desi beranjak untuk kembali ke dapur. Dia bingung apakah ambil baju baru untuk ia kenakan, atau berjalan telanjang saja ke dapur. Bajunya lupa ia bawa dan tertinggal di lantai dapur.

“Pakai handuk saja deh.”

Desi berjalan ke arah dapur dengan mengenakan handuk yang ia lilitkan ke badannya. Saat di dapur, ia tak melihat siapa pun. Masih sepi, pikirnya. Karena melihat suasana yang masih sepi, Desi memilih tak usah mengganti baju dulu. Tapi memasukkan bahan-bahan sayur asam ke dalam panci dan mulai memasaknya di atas kompor.

Sayangnya, saat ia memberi bumbu pada sayur itu, ada tangan yang melingkar di pinggangnya. Desi mengira bahwa itu suaminya, tapi ia salah.

“Kok sudah ba…” Ucapannya terhenti saat tahu bahwa yang memeluknya bukan Rohman.

“Sapto, ngapain?” tanya Desi kaget. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan Sapto tapi tak bisa.

“Mbak, aku pengin nih.” jawab Sapto. Dan tanpa menunggu jawaban dari Desi ia mulai menciumi leher dan tengkuk Desi. Itu membuat Desi merasa geli sekaligus membangkitkan kembali birahinya.

“Sap, udah. Ada suamiku.” Desi masih terus saja memberontak. Tapi kekuatan Sapto jauh di atasnya. Ia bahkan tak bisa mencegah saat Sapto mulai membuka handuk yang melilit tubunya. Kini ia pun telanjang di hadapan Sapto.

Sapto tak menghiraukan perkataan Desi. Ia membalik badan Desi dan mulai memberikan ciuman di payudaranya. Desi tak bisa untuk tidak mendesah.

“Sap, udaah…ah...”

Sapto terus saja tak menghiraukan. Ia makin buas menikmati payudara Desi. Dimain-mainkannya puting susu Desi dengan mulut dan lidahnya. Desi meski meminta Sapto untuk berhenti tapi ia tak melakukan perlawanan fisik.

Ciuman Sapto terus turun ke bagian bawah tubuh Desi hingga sampai pada selangkangannya. Desi coba menahan kepala Sapto tapi tak bisa. Bahkan ketika Sapto mencoba membuka pahanya ia malah justru menurut. Sapto pun kini dengan leluasa menciumi memek Desi.

“Ahh...aah....” desah Desi

“Mpphhfff....mphhhffff....”

Sapto sudah tak takut lagi bakal ketahuan oleh Rohman. Birahinya sudah memuncak dan tak bisa ditahan.

“Sap...ohh...ahh...”

Desi merasakan lidah Sapto makin liar bermain di memeknya. Bahkan Sapto juga menyedot-nyedot memek yang harusnya hanya untuk Rohman itu. Tapi ia tak bisa melawan dan hanya bisa memejamkan mata merasakan nikmat yang disuguhkan Sapto.

Sapto merasa memek Desi sudah basah. Karena itu, ia menghentikan gerakan oral seksnya. Ia lalu bangkit dan membuka baju beserta celananya. CD-nya juga ia lepas hingga bertelanjang. Desi bisa melihat Batangnya sudah tegang sekali.

“Sap, udah.” ucap Desi saat Sapto kembali menciumi lehernya.

“Nikmati saja, mbak.” jawab Sapto. Ia kemudian menuntun Desi ke meja makan. Sapto coba menidurkannya di meja. Agak susah karena mejanya agak tinggi.

Desi sudah pasrah jika nanti suaminya bangun dan melihatnya bersenggama dengan laki-laki lain. Kini yang ia tahu hanya menuntaskan birahi bersama Sapto. Sebab sudah lama ia tak mendapat kepuasan dari suaminya.

Sapto juga ikut naik ke atas meja. Sapto membuka paha Desi lebar-lebar. Ia kembali membenamkan wajahnya namun Desi mencegah.

“Udah. Masukin aja.” ucap Desi.

Kini justru dia yang meminta pada Sapto. Sapto merasa seperti berada di atas angin. Tujuan Desi agar semuanya ini cepat selesai. Sapto pun menuruti permintaan Desi. Ia mengarahkan Batangnya ke memek Desi yang merekah indah di hadapannya.

“Mbak, aku ga pake kondom.”

“Gapapa. Tapi keluarin di luar ya.”

“Iya, mbak.”

Batang Sapto pun mulai menggesek-gesek memek Desi. Desi kembali mendesah. Kenikmatan mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Batang Batang Sapto menyibak memeknya yang basah.

“Ahh...Sapp....cepeett...masuukkk...”

Sapto mulai menenkan Batangnya ke memek Desi. Ujung Batangnya berusaha membuka memek itu. Perlahan Sapto mulai melakukan dorongan. Sedikit demi sedikit ujung kontonya bisa menembus hingga kepalanya bisa masuk.

Tak ada yang bisa dilakukan Desi selain mendesah, memejamkan mata, dan pasrah. Sapto terus melakukan dorongan ke memek Desi sampai akhirnya semua batangnya masuk.

“Ohhh...” desah Desi lagi.

Sapto kini menundukkan badannya dan kedua tangannya dibuat sebagai penyangga tubuhnya. Ia mencium bibir Desi. Desi langsung menyambutnya agar bisa meredam desahannya sendiri.

Gerakan maju mundur mulai dilakukan oleh Sapto. Batangnya pun jadi keluar masuk di memek Desi. Rasa nikmat makin menjalar di seluruh badan mereka. Mereka bagai sepasang anjing yang sedang birahi.

Pantat Sapto makin cepat melakukan gerakan maju mundur. Desi mulai mengimbangi dengan ikut menggerakkan pantatnya. Bunyi plok plok plok memecah kesunyian ruangan itu.

“Sap...aah....aahhss...”

Nafas Sapto mendengus makin keras seiringi pacuannya. Batangnya makin cepat keluar masuk dalam memek Desi. Desi melingkarkan kakinya ke pinggang Sapto serta sambil menekannya agar makin kuat menekan memeknya.

“Ee...naakk...mbbakkk?” tanya Sapto.

Dalam keadaan mata terpejam, Desi menjawab, “Ee...naakk....Sapp...aahh...”

Mendengar jawaban Desi, Sapto makin bernafsu. Ia pun semakin cepat menggenjot Desi. Desi makin kuat melakukan gerakan pantatnya. Kelamin mereka sudah sama-sama basah dengan cairan cinta.

Untuk menambah rangsangan, tangan Sapto meraih payudara Desi dan meremasnya. Jari-jarinya juga mulai bermain di puting susu Desi. Ia memelintir puting susunya yang ranum dan mengeras.

Itu makin membuat nafsu Desi meningkat. Kini bahkan gerakan pantat Desi terlihat lebih cepat dari Sapto. Tanda-tanda dia akan segera sampai.

“Sapp....aa...hhh...samm....”

Tubuh Desi menekuk ke atas sambil memeluk erat Sapto. Memeknya makin kuat menjepit Batang Sapto.

Setelah itu, Desi pun tampak lemas namun Sapto memaksanya untuk nungging. Desi tak menolak permintaan Sapto itu. Ia pun mengubah posisinya untuk nungging. Ia sendiri lupa kapan terakhir melakukan gerakan itu bersama Rohman.

Dari arah belakang, Sapto bisa melihat keindahan memek Desi yang terjepit kedua pahanya. Tak mau menunggu lama, ia segera menusuk memek Desi dengan Batangnya.

“Aah...” desah Desi saat Batang Sapto menyibak bibir memeknya.

Begitu masuk, Sapto langsung melakukan gerakan maju mundur. Batangnya langsung keluar masuk memek Desi. Sapto melakukannya dengan posisi setengah berdiri di atas meja makan. Sungguh suatu pemandangan yang indah.

Posisi menungging seperti itu membuat Batang Sapto makin kuat dijepit oleh memek Desi. Rasanya pun lebih seret dari sebelumnya. Apalagi Desi juga tidak diam saja. Ia juga melakukan gerakan maju mundur mengikuti irama gerakan Sapto.

“Aahh....ahh....” desah Desi.

“See..reeett...mbaakk...ahh...”

Gerakan mereka semakin cepat. Nafas mereka juga semakin memburu. Tak lama kemudian, Sapto segera menarik Batangnya dan memuntahkan spermanya di pantat Desi.

“Ahhh.....” lenguh Sapto, panjang.

Desi langsung merebahkan tubuhnya ke samping. Sapto turun dari meja dan segera meraih baju yang tercecer. Ia mengelap Batangnya dengan pakainnya. Begitu juga dengan sperma di pantat Desi. Ia bersihkan menggunakan pakaiannya.

“Mbak, pake bajunya dulu.” Kata Sapto.

Dengan tubuh yang masih kelelahan, Desi meraih bajunya dan mengenakannya kembali. Ia pergi ke kamarnya dan mengecek suaminya. Ternyata Rohman masih tertidur pulas. Ia lalu kembali ke dapur. Sapto masih berada di sana dan sedang duduk di dapur. Lalu, Desi meneruskan kembali kegiatan memasaknya.

Tiba-tiba, Sapto kembali memeluk Desi dari belakang.

“Makasih ya, mbak.” ucap Sapto sambil mencium tengkuk Desi. Desi tak menjawab apa-apa. Tangannya menyentuh selangkangan Desi. “Mantap banget punya Mbak Desi. Kapan-kapan lagi ya, mbak?”

Desi tetap tak menjawab. Sapto pun memilih keluar dapur.

Ada satu perasaan bersalah yang kembali hadir dalam hati Desi. Ia telah mengkhianati suaminya lagi. Ia telah membiarkan tubuhnya dinikmati orang lain. Apakah ini semua karena kerinduan dirinya akan kepuasan? Kalau itu benar, pantaskah itu dijadikan alasan? Bukankah ia yang berjanji akan menerima suaminya yang apa adanya?

Tapi di pagi itu, Desi telah mendapatkan kepuasan dari Sapto. Ia telah membuat Desi bisa mencapai puncak orgasme.

Suatu malam Rohman mengalami mimpi buruk. Dalam mimpi itu Sapto dan Desi tampak mesra di sebuah taman. Mereka berdua saling berpelukan mesra bahkan tampak sedang berciuman juga. Tak hanya sampai di sana, mereka berdua melakukan gerakan yang tak senonoh. Keduanya hanya mengenakan pakaian dalam saja. Rohman dalam mimpi itu sangat marah tapi anehnya ia tak bisa melakukan apapun. Tubuhnya kaku. Dan tiba-tiba Rohman pun terbangun.

“Ah, cuma mimpi.” ucap Rohman dalam hati. Tetapi sesuatu yang aneh terjadi pada Rohman. Ia merasakan sesuatu di selangkangannya: Batangnya tegang.

“Kenapa aku terangsang dengan mimpi itu?” tanya Rohman dalam hati.

Ia melihat istrinya, Desi, yang sedang terlelap di sampingnya. Apakah arti mimpi itu, tanya Rohman. Kenapa mimpi itu seolah nyata? Apakah Desi ada sesuatu dengan Sapto? Ah, tidak. Itu hanya mimpi saja. Rohman pun kembali terlelap, namun sampai pagi menjelang ia tak bisa memejamkan matanya lagi.

Saat sarapan, Rohman coba untuk mengobati rasa penasarannya. Ia coba bertanya pada Desi tentang Sapto. Ia ingin melihat respon istrinya.

“Sapto mana?” tanya Rohman.

“Paling lagi nyiram halaman, Mas.”

“Udah kamu siapin makannya?”

Desi mengangguk.

“Mas memang salut sama Sapto. Dia bener-bener rajin. Makanya bapak ibu percaya banget sama dia.”

Desi mulai curiga. Tidak biasanya suaminya bicara tentang orang lain saat makan. Apalagi pesuruh di rumahnya. Desi pun harus berhati-hati untuk menjawabnya. Tapi menurutnya ia lebih baik tidak usah menjawab saja.

Rohman melanjutkan, “Dia orangnya juga baik. Sayang aja belum dapet jodoh. Kasihan sendirian terus.”

Desi tetap tak menjawab.

“Kalau menurut kamu gimana?” tanya Rohman pada Desi.

“Sapto? Ya, dia orangnya baik kok, Mas. Rajin juga.”

“Dia tidak pernah kurang ajar sama kamu, kan?”

“Ngga pernah, Mas. Dia selama ini sopan kok.”

Rohman coba menganalisa jawaban Desi: apakah ada kebohongan dalam kata-katanya. Tapi sepertinya Desi tidak bohong. Lalu, kenapa mimpi itu datang padanya?

Semenjak kejadian itu, Desi mulai khawatir bahwa hubungannya dengan Sapto diketahui oleh Rohman. Maka dia pun mulai berhati-hati agar suaminya tidak terus curiga.

***

Bu Sulastri belum juga menunjukkan kesembuhan. Pak Burhan juga mulai merasa kelelahan menjaganya di rumah sakit. Atas pertimbangan kesehatan bapaknya, maka Rohman meminta Pak Burhan untuk istirahat di rumah terlebih dahulu. Rohman akan menggantikannya menjaga ibunya bersama Jumi.

“Bapak di rumah saja dulu. Biar aku yang gantian jaga. Biar bapak juga ga sakit.”

Pak Burhan setuju dengan usul anaknya itu. Sebenernya Pak Burhan sendiri sudah mulai pesimis dengan kesehatan istrinya. Dokter bilang bahwa istrinya akan sembuh tapi kemungkinan besar akan susah berjalan dan bicara.

Umur Pak Burhan sudah berkepala enam. Rambutnya hampir seluruhnya sudah uban. Tapi bisa dibilang kesehatannya masih bagus. Badannya juga masih tampak tegap. Mungkin karena masa mudanya ia gunakan untuk banyak bekerja membantu ayahnya. Tinggi badan Pak Burhan sekitar 170 cm. Ia agak kurus tetapi otot-ototnya masih tetap keras.

Sementara Bu Sulastri sendiri kesehatannya sering terganggu. Sudah sering sakit-sakitan. Umurnya juga sudah memasuki kepala enam. Rambutnya sudah sebagian besar uban. Badan Bu Sulastri agak berisi dan tingginya hampir sama dengan Desi.

Selama berada di rumah, seperti biasa Desi yang memasak. Saat ini ia harus memasak untuk mertuanya dan Sapto.

Selesai makan malam, Desi melihat Pak Burhan sedang duduk menyendiri di ruang keluarga. Desi menghampirinya.

“Kok bengong, Pak?” tanya Desi. Pak Burhan agak kaget.

“Eh, Desi. Gapapa. Cuma lagi cape aja.”

“Tidur aja kalo capek, Pak.”

“Iya sebentar lagi.”

Di rumah itu hanya ada mereka berdua. Sapto sedang mengantarkan Rohman dan baju Jumi ke rumah sakit dan belum kembali. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam.

“Kok Sapto lama ya?” tanya Pak Burhan.

“Mungkin masih belum boleh pulang dulu sama Mas Rohman, Pak.”

“Iya kali. Takut keluyuran aja dia. Soalnya rumah ga ada yang jaga. Apalagi kamu ga ada Rohman.”

Desi sedikit senang mendengar mertuanya perhatian padanya.

“Insyaallah ga ada apa-apa kok, Pak. Sebentar lagi pasti datang.”

Mereka lalu melanjutkan obrolan mereka. Mulai dari kondisi Bu Sulastri sampai cerita masa muda kedua mertuanya. Sebenarnya Pak Burhan tidak cinta dengan Bu Sulastri, tapi dia dipaksa dengan orang tuanya karena Bu Sulastri anak orang kaya. Seketika Desi merasa kisahnya hampir sama dengannya.

“Tapi lama-lama bapak juga cinta sama ibumu. Dia orangnya baik. Meskipun saat ini sudah sering sakit-sakitan.”

“Bapak yang sabar ya. Pasti ibu segera sembuh.”

“Kadang-kadang bapak sempat berpikir buruk sih. Gimana kalo misal ibumu pergi? Bapak pasti bakal kesepian.”

“Hush. Bapak jangan ngomong gitu. Percaya saja kalo ibu pasti sembuh. Kalo pun hal buruk itu terjadi, kan ada Mas Rohman dan Desi.”

“Oh ya, gimana kamu belum isi?”

Mendadak hati Desi merasa sedih. Ia tertunduk.

“Maaf. Bapak ga bermaksud menyinggung.”

“Gapapa kok, Pak. Mungkin belum rejekinya.”

“Belum periksa?”

“Mas Rohman selalu nolak.”

“Gimana sih tuh anak!” seru Pak Burhan.

“Kalo bapak dulu, nikah satu bulan ibumu sudah langsung ngandung si Rohman.”

“Senengnya ya, Pak, kalo gitu.”

“Si Rohman ga nurun dari bapaknya sih. Kurang tokcer. Hehehe.”

Aku pun tersenyum pahit. Meski Pak Burhan mengatakannya hanya untuk candaan, tapi Desi mengamini ucapan itu.

“Sebenernya anak bapak dua. Adiknya si Rohman. Tapi dia meninggal dalam kandungan. Bapak sih maunya nambah lagi, tapi ibumu trauma. Jadilah Rohman anak tunggal. Kalo disuruh nambah bapak bisa banget. Hehehe.”

“Andai Mas Rohman bisa tokcer kaya bapak ya. Hehehe.”

Desi juga tak tahu kenapa ia mengatakan itu. Barangkali sudah terlalu lamanya ia memendam keluh kesahnya itu. Mereka terus berlanjut dengan obrolan. Bahkan saking asyiknya Desi menyediakan kopi untuk bapaknya. Apalagi di luar sedang turun hujan.

“Makasih ya, Des.”

“Sama-sama, Pak.”

Sejak obrolan itu Desi makin tahu kalau bapak mertuanya sangat baik. Mertuanya itu banyak bercerita tentang masa mudanya. Bahkan sampai tidak malu dengan hubungan ranjangnya dengan Bu Sulastri.

“Semenjak ibumu sakit-sakitan, ayah sudah tidak pernah memberikan nafkah batin padanya. Ibumu juga sering menolak. Entah kenapa. Makanya bapak sebisa mungkin bersabar.”

Desi membayangkan bagaimana sang mertua menahan birahinya. Setahu Desi, Sapto saja sering meminta jatah pada Desi kalau sudah pengin. Terakhir setelah kejadian di meja makan, Sapto terus meminta berhubungan intim lagi. Tapi demi keamanan, Desi menolak dan mengatakan tunggu sampai situasi aman. Sebagai gantinya, Desi sering mengirim foto payudara dan memeknya ke Sapto. Begitu juga Sapto.

Berarti Pak Burhan sangat hebat, pikir Desi. Dia mampu menahan rasa kepenginnya untuk bercinta.

Karena malam makin larut dan Sapto juga sudah pulang, mereka pun pergi untuk tidur. Sebelum tidur, Sapto mengirim pesan pada Desi, “Mumpung ga ada Mas Rohman.”

“Ada bapak. Bahaya.”

“Bapak kan tidur di kamarnya.”

“Ngga aman.”

***

Pagi-pagi benar Desi sudah bangun. Ia melihat seisi rumah masih sepi. Pintu kamar bapak mertuanya masih tertutup. Mungkin masih tertidur. Sapto juga tidak tampak sama sekali di halaman. Mungkin karena semalam dia pulang larut.

Desi memilih untuk beres-beres rumah saja. Ia akan menyuci pakaiannya dan suaminya termasuk milik Pak Burhan yang dibawa dari rumah sakit. Ia mengambil tas ransel milik Pak Rohman. Ia keluarkan semua isinya dan ia bawa ke tempat mesin cuci. Lalu ia pergi ke kamarnya untuk mengambil cuciannya sendiri. Ia berinisiatif untuk menggunakan handuk saja agar baju yang ia pakai bisa sekalian ia cuci.

Desi kembali ke belakang dengan hanya mengenakan handuk. Ia berani melakukannya karena Pak Burhan masih tidur. Kalau Sapto ia tak terlalu khawatir karena ia pernah melakukan hal 'terjauh' dengannya. Ia langsung memilah satu per satu yang akan ia cuci. Tak menyangka, saat memilih baju milik Pak Burhan, ia mendapati pakaiannya dalamnya: CD. Meskipun terbilang kurus tapi ukuran CD-nya besar. Dan yang paling membuatnya takjub, CD-nya bermerk dan bagus. Ia memang suka dengan pria yang memerhatikan celana dalamnya. Ia kurang suka pria yang CD-nya sudah bolong-bolong.

Saat itu posisi Desi sedang menunduk sementara handuk yang ia kenakan tidak sepenuhnya bisa menutupi tubuhnya. Sialnya saat itu Pak Burhan terbangun dan langsung melihat kejadian itu. Dilihatnya Desi dari arah belakang. Tubuh bagian bawah Desi begitu jelas. Memeknya terjepit di antara kedua pahanya. Pemandangan yang begitu indah bagi Pak Burhan sekaligus membangkitkan birahinya. Apalagi saat itu Pak Burhan hanya mengenakan sarung maka tampaklah Batangnya mulai mengacung.

Desi terperanjat begitu berbalik dan hendak kembali ke kamarnya. Ia terbelalak melihat siapa yang ada di depannya. Apalagi ketika melihat selangkangan orang itu sudah menegang. Sambil memegangi handuknya ia langsung berlari ke kamarnya dan melewati begitu saja Pak Burhan.

Setelah kejadian itu, Desi tak berani keluar kamar. Ia merasa takut melihat bapak mertuanya terangsang tadi. Bahkan ia tidak menyediakan sarapan untuk Pak Burhan dan Sapto. Pak Burhan pun berusaha membujuknya agar tidak takut.

Tok. Tok. Tok.

Pak Burhan mengetuk pintu kamar Desi.

“Des, kamu tidur? Ayo makan dulu. Bapak sudah beli sarapan.” Namun tidak ada jawaban dari Desi. “Des, bapak minta maaf soal kejadian tadi. Bapak tidak sengaja melihatnya. Itu bukan salah kamu kok, Des. Ayo keluar makan dulu. Nanti kamu sakit.”

Tiba-tiba pintu itu terbuka. Terlihat Desi yang coba tersenyum pada Pak Burhan. Pak Burhan membalas senyumnya.

“Kamu tidak apa-apa kan?” tanya Pak Burhan. Desi menggeleng.

Pak Burhan mengajak Desi untuk duduk di kursi di ruang keluarga. Pak Burhan duduk di sebelahnya.

“Bapak minta maaf sudah membuat kamu takut, Des. Bapak tidak bermaksud begitu. Bapak benar-benar tidak sengaja. Kamu juga tidak salah kok. Kenapa bapak begitu? Kamu tahu sendiri kan bagaimana keadaan bapak. Jadi wajar sekali. Tapi bapak akan berusaha untuk menahannya. Oke? Kamu jangan takut ya.”

Entah kenapa hati Desi merasa tenteram begitu mendengar penjelasan dari Pak Burhan. Nada suaranya membuatnya hatinya damai. Betapa bapak mertuanya ini bersikap jantan sekali. Hatinya tersentuh. Senyum tersimpul di wajah Desi.

“Ayo makan dulu ya.”

Sebelum Pak Burhan mengambil makanan yang diletakkan di meja, tanpa diduga Desi mengecup bibir mertuanya itu. Mertuanya itu pun jelas kebingungan. Tapi dari sorot mata Desi ia tahu bahwa kecupaadala lebih dari sekadar ucapan terima kasih.

Mereka berdua pun lalu terlibat dalam ciuman yang mesra dan dalam. Keduanya saling berpagutan. Ini adalah kali pertama Desi berciuman dengan orang tua. Aneh sebenarnya. Tapi Desi merasa ciuman Pak Burhan juga hebat.

Ciuman itu terus saja berlanjut semakin panas. Tangan Pak Burhan bahkan sudah mulai bergerilya ke dada Desi. Dibuka beberapa kancing baju Desi agar tangannya bisa meraih isi dalam baju itu. Ia meremas-remas payudara Desi yang masih terbungkus BH. Batang Pak Burhan juga sudah menegang.

Ciuman Pak Burhan beralih ke leher Desi. Sedikit jambang Pak Burhan membuat Desi merasa geli sekaligus nikmat dengan ciuman itu. Tangan Pak Burhan terus saja memainkan payudara Desi. Bahkan seluruh kancing bajunya sudah terbuka. Saat hendak membuka baju Desi, Desi mencegahnya.

“Pak, Sapto di mana?” Tiba-tiba Desi bertanya. Pak Burhan menggeleng.

“Pindah ke dalam saja.” ajak Desi.

Sudah bisa dipastikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Entah apa yang membuat Desi berani melakukan hal itu.

Mereka langsung mengunci pintu kamar. Mereka pun kembali terlibat dalam ciuman yang panas dan dalam. Keduanya hanyut dalam gelombang birahi. Pak Burhan dengan tetap mencium Desi mencoba melucuti baju Desi dan BH-nya. Tampaklah payudara besar Desi di hadapannya. Pak Burhan tampak terperangah. Ia langsung meremas-remas payudara itu dan dilanjutkan dengan menurunkan celana yang dikenakan Desi. Desi justru membantu Pak Burhan melepaskannya. Setelah terlepas Desi pun tampak hanya mengenakan CD berwarna peach.

Pak Burhan mendudukkan Desi di tepi ranjang. Ia sendiri berdiri dengan kedua lututnya di hadapan Desi. Langsung ia lahap payudara Desi secara bergantian. Kiri dan kanan. Ia mainkan puting susunya. Ia sedot-sedot bahkan sampai ia cupang. Membekas warna merah. Entah kenapa ia tidak mencegahnya seperti yang ia lakukan pada Sapto.

Begitu puas dengan payudara, Pak Burhan meraih CD Desi dan langsung melepaskannya hingga tampaklah menantunya yang cantik itu telanjang bulat di hadapannya dan duduk di tepi ranjang.

“Bapak buka juga dong.” Pinta Desi. Pak Burhan pun langsung menurut Desi. Ia buka satu per satu pakaian yang ia kenakan. Baju, celana, hingga CD. Dan tampaklah Batang Pak Burhan yang sudah tegang.

Batangnya berdiameter tidak besar tapi panjang. Lebih panjang dari milik Sapto dan suaminya. Otot-ototnya masih tampak keras. Termasuk di lengan dan pahanya. Desi takjub melihat pemandangan pria yang tak lain adalah mertuanya itu. Meski sudah berumur tapi tampak kuat.

Pak Burhan mendekati Desi dan meminta Desi memegang Batangnya. Desi menurutinya.

“Punya suamimu gini?” tanya Pak Burhan. Desi menggeleng. “Kocok dong.”

Desi melakukan kocokan di Batang mertuanya yang sudah menegang itu. Sementara Pak Burhan meremas-remas payudara Desi. Lalu Pak Burhan mendorong Desi untuk berbaring di ranjang. Ia langsung menindihnya dan menaikkan kedua kaki Desi ke tepian ranjang. Desi kembali ia cium dengan mesra. Ia ciumi seluru bagian wajah Desi dan terus turun ke leher sampai ke bagian belakang telinga. Itu adalah daerah sensitif milik Desi. Maka seketika Desi langsung mendesah dan menggelinjang. Apalagi ketika Pak Burhan memberikan sedikit jilatan di sana.

“Ahh....pakk....” desah Desi. Pak Burhan malah terus melakukan jilatan di belakang telinga Desi. Terus saja secara bergantian. Desi sendiri makin tak kuat untuk tidak mendesah.

Sementara itu di bagian bawah, Batang Pak Burhan sudah menggesek-gesek memek Desi. Memek Desi pun semakin basah pertanda bahwa birahinya sudah mendidih.

Pak Burhan menurunkan ciumannya ke dada Desi. Kembali ia menyedot-nyedot dua gunung kembar milik Desi itu. Ia mainkan puting susunya dan kadang memberikan sedikit gigitan kecil dan membuat Desi makin tak tahan.

Desi merasakan mertuanya mulai melakukan penetrasi di memeknya. Desi buru-buru mencegahnya.

“Pak, pake kondom dulu.” kata Desi.

“Kamu punya?”

Desi beranjak dari ranjang dan menuju salah satu lemari. Ia kembali dengan sebuah kondom dan ia berikan pada Pak Burhan. Pak Burhan pun segera pasang di Batangnya. Begitu Batangnya terbungkus kondom, ia kembali melakukan penetrasi di kemluan Desi.

“Ahh....” desah Desi saat Batang mertuanya bisa menembus kemaluannya. Pak Burhan terus memberikan tekanan agar penisnya bisa masuk lebih dalam. Pantatnya mulai melakukan dorongan kecil. Desi masih terus mendesah seiring sodokan dari Batang Pak Burhan.

Untuk memberikan sensasi lain, Pak Burhan mencium bibir Desi dan disambut Desi dengan baik. Desi melingkarkan tangan untuk memeluk mertuanya itu. Kakinya juga melingkari pinggangnya. Pantat Pak Burhan bergerak maju mundur makin cepat.

“Ahh....ahh....” desah Desi.

“Des...eee...nnakkk...” kata Pak Burhan dengan gerakannya yang terus menyodok-nyodok kemaluan Desi.

“Iiyya...pakk...”

Ciuman Pak Burhan kini sudah lari ke leher Desi. Ia kembali menciumi leher jenjang menantunya itu. Sampai ia juga mencium bagian belakang telinga Desi dan juga menjilat-jilatnya. Itu membuat Desi bergerak liar. Desi mulai ikut menggerak-gerakkan pantatnya juga. Bahkan ketika Pak Burhan berhenti, Desi masih terus saja menggoyangkan pantatnya sendiri. Semua karena rangsangan di belakang telinganya.

“Naa...kaal...kamu...Des...”

“Enaaaakk...pakk...”

Karena Pak Burhan terus saja merangsangnya ditambah genjotan di kemaluannya, Desi mulai menunjukkan tanda-tanda akan orgasme. Goyangan pantatnya sendiri makin cepat. Pak Burhan kembali melalukan genjotan di memek Desi. Ia juga sesekali menghentakkan Batangnya dalam-dalam di memek Desi. Itu membuat Desi sedikit mendesah keras.

“Ahhh....” desah Desi seiring hentakan Pak Burhan. Mungkin karena Batang Pak Burhan yang panjang membuatnya bisa masuk lebih dalam dan memberi sensasi lain.

“Ahhh....ah....ah....” desahan Desi makin meningkat. Sementara napas Pak Burhan kian memburu. Genjotan masih terus berlanjut tanpa berkurang intensitasnya.

Tiba-tiba saja Desi melenguh panjang, “Paakk....aahh....” Pahanya tampak bergetar dan memeluk Pak Burhan erat-erat. Pak Burhan sendiri merasa dirinya juga akan orgasme. Maka ia terus menggenjot kemaluan Desi dengan Batangnya. Gerakannya juga makin cepat.

Crot. Crot. Crot.

Spermanya tumpah. Namun beruntung Pak Burhan sudah mengenakan kondom. Jadi tak ada yang tertumpah di rahim Desi. Pak Burhan lalu ambruk dan terbaring di samping Desi. Sperma yang tertumpuk di ujung kondomnya terlihat banyak sekali.

Desi hanya memejamkan matanya. Merasakan setiap kepuasan yang baru saja ia renggut dari mertuanya sendiri. Bahkan itu semua dilakukan di kamarnya bersama Rohman.

Pak Burhan bangkit dari tidurnya dan melepaskan kondomnya lalu ia membuang di keranjang sampah di kamar itu. Pak Burhan hendak beranjak keluar namun Desi mencegah. Desi bangkit dan langsung memeluk Pak Burhan.

“Pak, maafin Desi.”

“Kenapa minta maaf?”

“Desi udah bersalah.”

“Ngga ada yang salah, Des. Kau butuh perhatian, bapak kira. Dan begitu juga bapak. Ngga ada yang salah. Kita simpan ini berdua ya.”

Malam harinya mereka kembali melakukan persenggamaan di tempat yang sama. Pak Burhan mengendap-endap ke kamar Desi tengah malam setelah memastikan situasi aman. Bahkan mereka sampai tertidur bersama dan bangun esok paginya.

Pagi hari Desi terbangun dan melihat mertuanya berada di sampingnya sedang tertidur pulas. Suatu pemandangan yang aneh. Biasanya Rohman yang ada di sampingnya. Ia benar-benar telah terlampau jauh di jalan perselingkuhan. Kini ada serigala lain. Parahnya kali ini justru dialah yang memulai semuanya. Ia pandangi wajah Pak Burhan, betapa tenang tidurnya. Ia melihat wajah adalah wajah seorang laki-laki yang sabar dan bertanggung jawab. Kenapa Rohman masih kalah kuat dibandingkan bapaknya yang sudah berumur, pikir Desi. Bapaknya juga pandai meluluhkan hati perempuan juga. Memberikan rasa damai.

Tiba-tiba Pak Burhan terbangun dan membuka matanya. Ia mendapati menantunya sudah terbangun di sampingnya.

“Jam berapa?” tanya Pak Burhan.

“Masih pagi, Pak. Tidur lagi aja.”

Lalu Pak Burhan memeluk Desi sambil kembali terlelap. Desi pun demikian. Mereka layaknya suami istri. Bahkan setelah bangun, mereka kembali bercinta dan juga mandi bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Draft Amarah Para Buruh 21

Draft Amarah Para Buruh 20

Lust in Broken Home 4

Lust In Broken Home 5

Terjebak Didalam Kelas

Akibat Kena Gendam Tetanggaku

Kisah Tragis Dikebun Karet

Amarah Para Buruh 10

Amarah Para Buruh 17

Binalnya Ibu Tiriku 4