Dadaku pun tak berhenti berdegup dengan
kencang, saking kencangnya sampai aku takut kalau Mang Dedi akan mendengarnya.
Aneh memang aku bahkan tidak sadar kalau aku ini adalah perempuan yang sudah
bersuami.
Sedangkan aku terpatung, sadar bahwa
sebenarnya momen ini pasti akan terjadi namun tetap merasa tak siap
menyambutnya. Dalam keadaan itu, kami berdua saling menatap satu sama lain
tanpa sedikitpun mengeluarkan kata-kata. Tapi dari pancaran mata Mang Dedi, aku
bisa menangkap banyak hal yang ingin dia sampaikan padaku namun tak bisa dia
ungkapkan secara terus terang.
Ada perasaan bersalah
saat aku mendengar pertanyaan Mang Dedi tersebut. Dalam hati aku ikut bertanya
kenapa aku melarangnya. Bukankah daritadi aku juga sudah mengikhlaskan bagian
tubuhku yang lain untuk dinikmatinya. Lalu apa yang membuat ini menjadi
berbeda??
Ada sedikit rasa
kecewa dalam hatiku ketika mengetahui kalau Mang Dedi cuma sebatas becanda
saja. Padahal tadinya yang duluan bercanda adalah aku sendiri. Tapi justru aku
sendirilah yang terbawa perasaan karenanya.
Yang tersbesit dalam benakku saat itu
adalah bagaimana bisa aku menahan getaran yang menelusup ke sumsum tulangku,
merambat melalui setiap pembuluh nadiku, dan berusaha keluar melesak meminta
untuk dibebaskan.
“Mas!!” lirihku menahan badan Mang Dedi
yang mencoba mendekat.
Namun Mang Dedipun tampaknya tau kalau
usaha penolakanku itu hanyalah setengah-setengah saja, “CUPPP!!” Dalam sekejab
bibir Mang Dedi mendarat di bibirku. Sepersekian detik sebelum dia melepas dan
menjauhkannya kembali.
“Mas, kita tida--mpphhhhh”
Kata-kataku terhenti ketika Mang Dedi
kembali mendaratkan ciuman bibirnya mengunci bibirku. Namun untuk kali ini
bibir kasarnya tersebut tidak hanya sekedar menyentuh seperti tadi. Ciuman Mang
Dedi mulai berani melumat bibirku dengan halus dan penuh gairah.
Aliya |
Aku langsung tahu, kalau aku sudah tidak
bisa menghindar. Maka yang aku lakukan justru menutup mataku, menikmati setiap
getaran tabu yang dialirkan oleh Mang Dedi lewat ciumannya yang begitu lembut.
Kalo mau jujur, aku juga ikut
menikmatinya. Bahkan beberapa saat secara refleks aku juga membalas melumat
bibir Mang Dedi, mengisyaratkan kalau aku juga merasakan hal yang sama dengan
apa yang dia rasakan.
“Maaf Dek. Aku terlalu nekat” ucap Mang
Dedi menghentikan ciumannya.
“Jangan minta maaf Mas” balasku melumat
balik bibirnya.
"Jangan minta maaf Mas" ucapku
melumat balik bibirnya.
Akal sehatku saat itu hilang, terkubur
dalam bahasa tubuh yang menginginkan sesuatu yang sebenarnya sudah melanggar
semua kode etik ku sebagai seorang istri dan seorang wanita yang agamis.
Kami hanyut dalam cumbuan tabu itu.
Rasanya hangat dan lembut, namun masih ada keragu-raguan yang membayanginya.
Mang Dedipun membalas melumat bibirku
dengan penuh kehati-hatian. Aku bisa merasakan bahwa kami berdua sedang mencoba
meluapkan emosi dengan saling melumat dan mencium satu sama lain.
Bibirku mengunci bibir Mang Dedi agar tak
lepas dari ciuman itu, mengisyaratkan kalau aku tidak ingin melepaskan momen
ini secepat mungkin. Pun kemudian diapun membalas dengan sebuah lumatan yang
tak kalah hebat penuh gairah seperti berkata kalau dia juga menginginkan hal
yang sama.
Katakan aku gila, tapi merasakan cumbuan
dari laki-laki lain selain suamiku justru memang sungguh-sungguh nikmat dan
memberikan sensasi yang berbeda. Apalagi ketika melakukannya di tempat terbuka
seperti ini. BIsa saja, seseorang tiba-tiba datang dan akhirnya memergoki kami
yang sedang mencumbu satu sama lain.
"Kamu cantik Dek Liya. Sayang bukan
milikku" ucap Mang Dedi menahan daguku dengan jari-jarinya.
Kami menghentikan cumbuan itu. Berdiam
diri sejenak, mengatur nafas dan menarik oksigen yang habis menipis. Saling
tatap dan tersenyum meledek. Seolah-olah kami tau kalau apa yang kami lakukan
adalah sebuah kegilaan yang benar-benar gila.
"Mas nakal!!" ungkapku menepuk
pelan dadanya.
Aku tersipu malu. Mengalihkan pandanganku
yang tak berani menatapnya lama-lama.
"Kamu yang agresif loh ya!"
Balas Mang Dedi meledekku.
Akupun kembali tersenyum mendengar
perkataannya. Kemudian, aku bangkit dari lesehan tersebut dan duduk
membelakangi Mang Dedi.
"Mau kemana??" Tanya Mang Dedi
memegang tanganku.
"Pulang" balasku singkat.
Namun dari posisi belakang itu, Mang Dedi
tiba-tiba memeluk tubuhku dengan kuat, "Jangan dulu" tahannya
memelas.
"Lepasin Mas! nanti dilihat orang
loh" protesku berusaha melepaskan diri.
"Kalau begitu ayo tiduran lagi
sayang!" Ajak Mang Dedi padaku.
Aku menggeleng menolaknya, "Sudah
Mas! Nanti ketahuan sama orang ih" Ucapku.
Untungnya, Mang Dedi pun tampak sadar
dengan situasi yang sudah semakin siang tersebut dan sebentar lagi akan banyak
kendaraan yang berlalu lalang.
Tapi sebelum melepaskan pelukannya, Mang
Dedi kembali memajukan wajahnya kearah wajahku. "CUPPPPPP" sebuah
ciuman kembali mendarat di bibirku. Bahkan dia langsung melumatnya begitu saja.
Akupun menggeliat memprotesnya dan mencoba
melepaskan diri, tapi kali ini ciuman Mang Dedi itu sedikit lebih intens dari
yang pertama dan terkesan sangat bernafsu.
Tidak hanya melumat bibirku, lidah Mang
Dedi pun mulai ikut masuk dan menggelitik setiap rongga mulutku. Aku bisa
merasakan kelembutan dari lidah Pria penjual sayur itu bermain-main dalam
mulutku. Bahkan terkadang ia berusaha melilit lidahku dan menarik-nariknya
sehingga tak lama lidah kamipun bertautan dan saling bertukar air liur.
Untuk kesekian kalinya, akupun kembali
berciuman dengan Mang Dedi tanpa ada lagi penolakan yang berarti. Bahkan untuk
berhenti saja rasanya aku enggan karena pikiranku sudah tidak selaras dengan
nafsu yang mengambil alih tubuhku.
Tapi disisi lain aku tau kalau semua ini
sudah melewati batas kenormaan yang aku yakini. Ini salah dan Ini adalah dosa.
Hanya saja, pembenaran demi pembenaran telah aku lakukan sejak pertama kali
Mang Dedi menciumku. Sehingga tak ada lagi jalan balik yang dapat ku tempuh
untuk kembali seperti semula.
Tanpa sadar badanku kembali ditarik oleh
Mang Dedi ke lesehan bambu yang ada disana sehingga mau tak mau aku jatuh
memutar badanku dan berada dalam posisi miring saling peluk dan
berhadap-hadapan.
Aku tidak berkata apa-apa untuk
memprotesnya, malah aku menutup mataku dan tersenyum menantikan cumbuannya
kembali. Mang Dedipun tampak tak menyia-nyiakan waktunya dengan langsung
memajukan wajahnya ke wajahku, dan bibir kami kembali berciuman dengan lembut
dan mesra.
"cllpp... cllppp... cllpp..."
Begitulah suara perpaduan bibir kami berdua yang terdengar basah dan begitu
menggairahkan di telingaku.
Perlahan tapi pasti, nafsu birahi mulai
mengambil alih dan semakin kuat menguasaiku. Harus kuakui, Mang Dedi sangat
pandai memainkan ritme dalam kecupan-kecupannya sehingga aku terhanyut dalam
kenikmatan. Bahkan dengan suamiku sekalipun, aku belum pernah merasakan
rangsangan sehebat ini.
Akupun tidak tau kemana ombak birahi ini
akan membawaku hanyut. Tapi yang pasti, perasaan dan hatiku lama-lama menjadi
tenang meski tadinya aku sempat merasa gelisah karena keadaan dan tempat aku
berada saat ini.
“Dek, Mas mau minta sesuatu boleh gak?”
tanya Mang Dedi menghentikan ciumannya.
Aku mengangkat alisku, “Minta apa Mas?”
tanyaku penasaran.
“Ini sayang!” ucap Mang dedi tiba-tiba
saja memindahkan tangannya dari pinggangku menuju ke bagian buah dadaku.
Aku betul-betul kaget dan terkejut.
Tanganku secara reflek menahan tangan Mang Dedi, “Jangan Mas! Jangan disitu”
ucapku meminta pengertiannya.
Mang Dedi kemudian benar-benar menjauhkan
tangannya dari buah dadaku, Akan tetapi kedua tangannya yang kekar dan kuat itu
kembali beranjak memeluk pinggang rampingku dengan erat dan memaksaku untuk semakin
merapat.
“Kenapa Sayang?? Apa aku gak berhak??”
tanya Mang Dedi setengah berbisik dan memelas.
Entahlah. Rasanya aku masih ragu untuk
memberikan raga dan hatiku untuknya. Karena akupun tau kalau aku tak akan
pernah bisa melakukan hal tersebut. Sebab aku adalah wanita yang sudah mengikat
janji suci bersama pria lain. Itu berarti, tak peduli seberapa inginnya aku
menghamburkan diriku pada Mang Dedi, separuh dari apa yang aku dia inginkan
saat ini tetaplah menjadi milik dari suamiku.
“Aku istri orang Mas!” ucapku memasang
tembok pertahanan yang tinggi untuknya.
Namun bukannya mundur, Mang Dedi malah
tersenyum mendengar hal tersebut, “Apa bedanya Dek Liya?? aku dan kamu
sama-sama menginginkan ini bukan??” Ucap Mang Dedi kembali menciumku.
Aku lagi-lagi terbawa, terbius oleh
kata-kata dan perbuatan Mang Dedi yang semakin pandai memainkan emosi dan
meruntuhkan pertahananku. Bahkan permainan tarik ulur yang dimainkannya ini
telah sukses membuatku berpikir kalau tak ada lagi yang perlu aku sesali.
Aku meraih tangan Mang Dedi yang tadi
berada di pinggangku. Kuarahkan tangan tersebut tepat dibagian dada, seolah
mengisyaratkan padanya bahwa aku telah memberikan izin untuk kepadanya untuk
menyentuh gundukan gunung kembar milikku itu.
Mang Dedi tersenyum, mengecupku pelan
beberapa kali hingga dia mulai menggerakkan tangannya didadaku. Pelan dia
menggenggam bongkahan daging mungil yang tak pernah disentuh oleh laki-laki
lain selain suamiku itu. Bahkan tak sampai menggenggam, tangan Mang Dedi itupun
memijat-mijat kedua buah dadaku dan meremas-remasnya bergantian.
“Masshh--” aku langsung menutup mulutku
dengan tanganku sendiri. Hampir saja aku kelepasan dan mendesah akibat
perbuatan Mang Dedi tersebut.
Namun Mang Dedi tak mempedulikan, dia
terus melancarkan aksi mesumnya pada tubuhku dengan terus bergerak nakal. Satu
tangannya bahkan beralih ke area bokongku dan juga ikut meremasnya.
“Ohh tuhan ini nikmat sekali” kataku dalam
hati.
Aku terbawa suasana, aku menikmati ini dan
bahkan aku mulai agresif menyodorkan tubuhku agar dapat digerayangi oleh tangan
kasar Mang Dedi. Dibawah sana ,
pangkal pahaku juga sudah terasa panas dan basah, seperti ada sesuatu mengalir
keluar. Rasanya geli sekali, seolah-olah tingkat sesitifitasnya meningkat
berkali-kali lipat.
“Acccchhhhhh..” Tanpa disengaja, aku
memekikkan desahan yang lumayan keras. Cukup keras hingga Mang Dedi terpaksa
berhenti melancarkan aksinya.
“Hmmm...Kamu basah sayang??” tanya Mang
Dedi yang tanpa aba-aba menyentuh selangkanganku dari balik baju gamis yang aku
gunakan.
Aku terpekik kaget merasakannya. Tapi apa
yang terjadi, badanku malah tak mau beranjak dan tanganku tak mau bergerak
untuk mencegah tangan Mang Dedi. Malah rasanya semakin lama semakin nikmat saat
Mang Dedipun mulai bergerak pelan mengelusnya.
“Gatell Masshh...” ucapku yang tanpa sadar
menggesek balik bagian selangkanganku di tangannya.
Tak cukup itu saja, rangsangan tangan Mang
Dedi di selangkanganku tersebut dibarengi dengan sodokan-sodokan sebuah benda
keras yang menyundul-nyundul pangkal pahaku. Nampaknya Mang Dedipun juga sudah
mulai terangsang.
Aku dapat merasakan napasnya mulai
terengah-engah. Sementara aku sendiri semakin tidak kuat untuk menahan erangan
meski aku sadar kalau saat ini kami masih berada di dalam pos ronda. Maka yang
bisa aku lakukan hanyalah mendesis-desis untuk meredam kenikmatan yang mulai
membakar kesadaranku.
Saat aku terhanyut itulah tanpa kusadari
tangan Mang Dedi sudah berhasil mengangkat setengah baju gamisku dan menyusup
masuk kedalam celanaku yang longgar. Belum sempat aku bereaksi, tangan itu
sudah dengan cekatan menyentuh permukaan vaginaku yang memang sudah basah
sedari tadi.
“Banjir kamu Dek Liya” komentar Mang Dedi
setelah ia berhasil mendaratkan tangannya di vaginaku.
Reflek aku mengatupkan kedua pahaku
sehingga tangan Mang Dedi malah terjepit kuat oleh keduanya. Tangan kasar yang
terjepit di selangkanganku itupun malah langsung saja bergerak mengorek-orek
kemaluaanku hingga rasa nikmat pun datang tak terhindarkan.
Namun belum cukup aku dikagetkan dengan
aksi Mang Dedi itu, tiba-tiba Hpku berbunyi. Berbunyi sangat keras hingga mampu
membuat kesadaranku kembali. Aku langsung mendorong tubuh Mang Dedi dengan kuat
dan segera bangkit duduk sambil merapikan pakaianku yang berantakan akibat
perlakuan Mang Dedi.
Aku meraih smartphone milikku dari dompet
dan segera mengangkat panggilan yang ternyata berasal dari suamiku, “Ha—hallo
Bi!” angkatku terbata-bata.
“Assalamualikum Umi! Umi kok lama?” tanya
Suamiku dibalik telfon.
Aku berdehem membenarkan pita suaraku,
“Waalaikumsalam Bi! Umi tadi ngobrol dulu sama Ibu-ibu komplek” jawabku
berbohong. Sudahlah aku berbuat mesum dengan pria lain, sekarang aku malah ikut
membohongi suamiku secara langsung.
“Buruan dong Mi! Abi udah laper banget
nih” pinta suamiku.
“Iya Bi! Ini udah mau jalan pulang kok”
lagi-lagi aku berbohong.
Tak lama akhirnya telpon pun di tutup dan
aku menghembuskan nafas lega yang begitu panjang. Beberapa menit aku hanya diam
mengingat perbuatan gilaku yang benar-benar sudah jauh melampaui batasnya. Tapi
dengan cepat aku kuasai diriku karena semuanya sudah kembali normal dan harus
dihentikan sekarang juga.
Aku masih belum bisa berkata apapun.
Bahkan untuk membalik badan dan melihat Mang Dedi saja aku tak berani. Ingin
rasanya cepat-cepat pergi dari sini. Malu, rasanya malu sekali sampai-sampai
wajahku terasa begitu panas dan mungkin sekarang memerah seperti udang rebus.
“Kayaknya aku harus pulang” ucapku memecah
keheningan dintara kami.
Dari belakangku terdengar Mang Dedi ikut
bangkit dari tidurnya, “Iya harus” balasnya singkat.
Kemudian dengan kikuk aku memaksa diriku
untuk berdiri walau masih tenggelam dalam rasa malu yang tak terkira. Rasa malu
karena Mang Dedi sudah menangkap basah aku yang sedang terangsang begitu hebat.
Rasa malu karena sudah memperlihatkan sisi liarku kepada laki-laki lain selain
suamiku.
“Aku mau sayur bayam dan ikan tongkolnya”
Ucapku pada Mang Dedi.
“Ga sekalian sama terongnya?? Gede-gede
loh” balas Mang Dedi melempar candaan.
Namun sekuat hati aku menahan senyumku,
“Ga lucu” balasku berpura-pura jutek padanya.
Usai membeli semua barang belanjaan yang
aku butuhkan dari Mang Dedi, aku pun kemudian berpamitan pulang kepadanya.
Diakhir sebelum aku pergi, Mang Dedi sempat memberikan kecupan ringan pada
bibirku serta meremas buah dadaku sebentar.
“Hati-hati ya sayang” ucapnya begitu manja
padaku.
Akupun hanya bisa mengulum senyum sambil
beranjak pergi layaknya sepasang kekasih yang baru saja pulang sehabis
berkencan. Hatiku senang sekaligus berbunga-bunga diperlakukan seperti seorang
wanita spesial oleh tukang sayur langgananku itu.
“TING” sebuah pesan masuk ke dalam
smartphoneku.
Aku segera membukanya dan melihat kalau
pesan tersebut ternyata dari Mang Dedi, “Lain kali kamu harus beli terong yang
ini!” tulisnya sambil mengirim foto penisnya yang tengah tegang berdiri.
Usai kejadian di pos ronda waktu itu,
kehidupan sehari-hariku tak berubah banyak. Tiga hari berlalu secara normal
seperti biasanya, sampai dimana pada hari ini sebuah rumor beredar luas di
komplek perumahan tempatku tinggal.
Rumor tersebut mengatakan bahwa ada
sepasang muda mudi yang melakukan kegiatan mesum di pos ronda pada pagi hari.
Untungnya sampai saat ini belum ada kejelasan tentang kapan dan siapa identitas
muda-mudi yang disebutkan itu.
Hanya saja, rumor tersebut seolah
kebetulan mengarah kepadaku dan Mang Dedi. Sehingga mau tak mau akupun mulai
merasa khawatir tentang hal tersebut. Namun meskipun begitu, aku tak mau
menjadi munafik dengan mengatakan kalau aku ingin menghentikan hubunganku dengan
si penjual sayur langganan ku itu.
Barangkali aku mabuk. Atau memang aku
hanyut dalam rasa tabu yang membuatku terus terlena sampai aku tak merasa
menyesal lagi mengkhianati kepercayaan suamiku. Bahkan pelan-pelan aku mulai
berani mengatakan rindu secara terang-terangan kepada laki-laki itu.
Selama tiga hari ini pula, kedekatanku
dengan Mang Dedi sebenarnya semakin terjalin kuat satu sama lain usai perbuatan
“gila” kami tempo hari. Seperti malam ini saja, disebelah suamiku yang sedang
rebahan aku tetap saling bertukar pesan dengan Mang Dedi.
“Menurut Umi, siapa kira-kira??” celetuk
suamiku menyela lamunanku.
“Siapa apanya Bi?” tanyaku heran.
“Yang mesum di pos ronda” jawab suamiku.
Hampir saja aku tersedak, “Ah bukan urusan
kita itu Bi!” balasku tak mau membahas topik tersebut.
“Emangnya Umi gak penasaran??” tanya
suamiku lagi.
Aku menggeleng, “Engga Bi! Lagian Abi
ngapain ikut ngegosip kayak ibu-ibu komplek” ledekku padanya.
“Ya penasaran aja gitu Mi! Masa begituan
di pos ronda” kata suamiku.
“Emangnya kenapa kalau di pos ronda Bi??”
Suamiku berbalik, “Aneh aja, kayak gak ada
tempat lain” balasnya dengan santai.
Namun dalam hati aku merasa sedikit
tersinggung dengan ucapannya tersebut. Karena apa yang dikatakan suamiku secara
kebetulan seolah-olah seperti menyindirku.
“Biarin aja kali Bi! Itu kan terserah mereka” ucapku melakukan
pembelaan.
“Iya sih. Tapi bukannya itu terlalu
nekat?? Kalau misalnya itu Abi, Abi pasti bakal nyari tempat yang lebih aman”
Aku menatap tak percaya pada suamiku, “Ya
mungkin saja mereka belum berani berbuat sejauh itu Bi” ucapku berbicara
seolah-olah itu memanglah aku.
“Berarti mereka pasangan selingkuh kali ya
Mi??”
DEGHHH!! Jantungku seperti ditikam oleh
sebuah benda tumpul saat mendengar pernyataan dari suamiku tersebut. Entah
kenapa rasanya seperti benar-benar menyindiriku yang memang sudah berbuat
curang di belakang suamiku sendiri.
“Kok diam Mi??” tanya Suamiku sekali lagi.
Aku merasa tergugup tiba-tiba, “Eh..
Anu... Gapapa Bi!” balasku salah tingkah. “Jadi Abi mau selingkuh nih
ceritanya??” lanjutku berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Dih. Bukanlah Mi!! itu kan seandainya” bela suamiku tertawa
terbahak-bahak.
Kamipun mulai berbicara untuk menghabiskan
waktu sebelum tidur dengan bercanda satu sama lain. Di momen seperti ini,
rasanya aku benar-benar diliputi rasa bersalah yang mendalam. Tapi disisi lain,
aku sungguh tak bisa menghentikan "kegilaan"ku bersama Mang Dedi
dengan cara apa pun.
Apalagi kalau dipikir-pikir, aku tidak
pernah berselingkuh sampai naik ranjang, hanya saling pegang dan cium saja. Tak
ada bagian intimku yang telah cemar. Tak ada tubuhku yang telah tak setia.
Semua masih terjaga, masih menjadi milik suamiku seutuhnya.
Aku tahu ini salah dan ‘’berbahaya’’. Tapi
mau bagaimana lagi, inilah sisi lainku yang baru saja aku kenali dan tak bisa
kukendalikan, yang kadang membuatku merasa utuh dan berharga sekali lagi
sebagai seorang wanita normal kebanyakan.
“Mi!” Ucap suamiku memanggil.
“Kenapa Bi??” tanyaku.
Suamiku tersenyum, “Bikin adek buat Tasha
yuk!!” ucapnya mendekat kearahku.
“Tapi jangan berisik Bi! Nanti Tashanya
bangun” balasku menunjuk kasur kecil disebelah kami tempat anakku tertidur
pulas.
Suamikupun menggangguk tersenyum sumringah
sambil langsung memelukku kedalam dekapannya. Aku dipeluk dan dicium dengan
begitu nafsu seperti orang yang sedang kesetanan. Tiap kali bercinta, suamiku
memang adalah tipe orang yang tidak pernah sabaran dan selalu terburu-buru
untuk segera menuntaskan birahinya.
“Pelan-pelan Abi!!” protesku saat suamiku
meremas buah dadaku dengan kuat.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk
pemanasan, suamiku dengan cepat melucuti pakaiannya sendiri dan juga ikut
menelanjangiku. Setiap malam, akupun biasanya tidur menggunakan daster yang
tipis serta selalu tanpa memakai BH.
Jadi dalam sekali gerakan, dasterku sudah
berhasil dia tanggalkan melewati kepalaku. “Umi seksi banget deh” Ucap suamiku
sebelum akhirnya dia menciumku.
Akupun meladeni ciuman suami tercintaku
tersebut dengan sepenuh hati. Walau rasanya memang tak senikmat ketika aku
berciuman dengan Mang Dedi, tapi dari suamikupun sebenarnya juga sudah
memberikan aku rasa nikmat dan membangkitkan gairah.
“Pelan-pelan Abi ihhh!!” ucapku lagi-lagi
memperingatkan suamiku yang terburu-buru.
Beberapa menit lamanya kami berciuman
dengan penuh gairah. Lidah kami saling membelit dan saling mengulum satu sama
lain seperti tak mau melepas.
Setelah itu, mulut suamiku bergerak segera
menuju ke leherku. Dijilatinya sebentar area tersebut sambil tangannya bermain
di bagian dadaku. Putingku sebelah kiri di pilin-pilin dengan tangan kanannya,
sementara tangan kirinya mengelus-elus bagian bokongku yang masih terbalut
celana dalam.
Sambil mendongakkan kepalaku ke atas, aku
mendesah-desah "Yahh.. Bii.. teruushh.. Biiihh!!" desahku pelan
menahan nikmat.
Jilatan suamiku beralih dari leher ke
belahan buah dadaku dengan pelan hingga membuat bulu kudukku merinding. Satu
hal yang membuatku menikmati percintaan suamiku selama ini adalah permainan
lidahnya yang cukup membuatku keenakan.
“Ohhh... jilatin susu Umii Bi!!” ucapku
tiba-tiba tak sadar.
Suamiku kaget dan langsung menghentikan
aksinya, ”Tumben Umi” ucapnya keheranan karena selama ini aku tidak pernah
berkata-kata vulgar seperti itu ketika bercinta. Anehnya, ada perasaan lega
saat aku mengucapkan kata-kata tersebut.
“Udah ih!! lanjutin dong.. Umi udah pengen
nih” ucapku dengan nada manja nan menggoda.
Suamikupun tersenyum sumringah sambil
berkata, “Abi suka gaya
Umi”
Dengan perlahan-lahan, suamiku menarik
badanku untuk rebahan dibawahnya sambil dia berada diatas menindihku. Aku yang
paham dengan maksudnya tersebut langsung membuka kakiku dan mengangkang siap
menerima penetrasinya.
"Ooohhhh......" rasa geli
sekaligus nikmat mulai menyeruak dalam dinding vaginaku manakala penis suamiku
dengan pelan mulai memasukinya.
Suamiku ikut mengerang pelan, matanya
terbeliak melihat penisnya pelan-pelan masuk ditelan vaginaku. Segera dengan
satu kali gerakan saja, penis yang berukuran tak terlalu besar itupun telah
masuk seluruhnya dalam lobang vaginaku.
“Ughhh.. mantaappp!!” erang Suamiku
mendongakkan kepalanya.
Aku sendiri merasakan kenikmatan. Vaginaku
juga terasa basah dan syaraf-syarafku memang terasa sensitif karena dilanda
birahi. Namun entah kenapa, aku masih merasa ada sesuatu yang kurang. Suatu
pencapaian yang harusnya bisa aku dapatkan dengan bercinta dengan suamiku.
“Aku goyang ya Mi!" erang suamiku
dengan badan yang bergetar.
Segera setelahnya, suamikupun mulai
menarik pelan pantatnya mundur. Kami berdua melenguh bersamaan, menikmati
sensasi gesekan perpaduan alat kelamin masing-masing yang mendatangkan nikmat
luar biasa.
Aku berinisiatif memegangang leher suamiku
sambil menurunkan mukanya. Lalu tanpa aba-aba kami langsung berciuman saling
mengulum dan bermain lidah penuh gairah.
Sengaja ku kalungkan kakiku ke pinggang
suamiku sambil mengangkat sedikit pantatku untuk merasakan seluruh batang itu
semakin amblas ke dalam vaginaku.
Walaupun kecil, penis milik suamiku masih
terasa keras dan mendatangkan nikmat dalam vaginaku.
“Ooohhyahh... enakk Bi!!... yang kenceeeng
atuh... oohhh” pintaku sambil mengerang-ngerang keenakan.
Tanpa sadar aku pun mengimbangi genjotan
Suamiku dengan ikut menggoyangkan pantatku.
Suamiku pun bergerak cepat
memaju-mundurkan penisnya menusuk-nusuk vaginaku.
Semakin lama gerakan dan pompaan suamiku
terasa semakin kencang. Sementara mulutnya tidak henti-henti menciumi pipi,
bibir dan buah dadaku secara bergantian.
Mendapat rangsangan tanpa henti seperti
itu tiba-tiba saja membuat badanku terasa aneh. Sebab, kenikmatan-kenikmatan
yang aku dapatkan dari genjotan suamiku itu, seolah merambat pada satu titik
temu.
"Aaahhhh... Abiiiihhh!! Eenaakkkk
Bihh.." racauku sangat tidak karuan.
Aku balik membalas ciuman suamiku,
sementara pantatku kembali kuputar-putar mengimbangi gerakan penisnya yang tak
seperti biasa mampu bertahan cukup lama.
“Ouugghh.. yah begituuhh Mii!! Goyang
begituuhh" ceracau suamiku meluapkan kenikmatannya.
Selang tak berapa lama kemudian, suamiku
tampak mulai mendengus-dengus semakin cepat. Tangannya sudah tak bergerilya
lagi di tubuh melainkan mendekapku erat-erat seperti ingin meremukkan
tulang-tulangku.
"Miihhh... Abiii.. mauu... keluarr
sayang" bisiknya menahan nikmat.
Disitu aku merasa sangat kecewa, gairahku
yang tadi menggebu-gebu itu serasa padam begitu saja. Kenikmatan yang
seolah-olah ingin memuncak itupun, harus terpaksa berhenti di tengah jalan.
Padahal aku begitu penasaran, ingin
mengetahui seperti apa rasanya jika rasa nikmat itu benar-benar memuncak dan
membuncah keluar dari tubuhku. Pastilah begitu nikmat tiada tandingnya.
Akan tetapi aku tak bisa berkata apa-apa.
Melihat suamiku yang hampir keluar tersebut, aku hanya bisa menggoyangkan
pantatku membantunya.
Kubalas pelukannya dengan tak kalah erat
sampai akhirnya tubuh suamiku tersebut bergetar dengan hebatnya.
"Ooooooogghhhhh...
enaakkkkhhhh.." geram suamiku seperti seekor harimau yang terluka.
Berbarengan dengan itu, kurasakan sperma
suami ku menembak begitu deras ke dalam lubang vaginaku. Suamiku memajukan
pantatnya sekuat tenaga, sehingga batang kejantanannya benar-benar menancap
sedalam-dalamnya di lubang senggamaku itu.
Aku pun dapat merasakan lubang vaginaku
menjadi hangat oleh cairan sperma yang terasa memenuhi setiap rongga yang ada
di dalamnya.
Untuk beberapa saat, Suamiku terdiam
sambil tetap menindih tubuhku. Keringat kami masih bercucuran membasahi tubuh
masing-masing. Setelahnya, suamiku berguling ke sampingku sambil mengatur
nafasnya yang terengah-engah.
"Abi bener-bener puas Mi!! Umi istri
hebat yang tak ada duanya" puji suamiku bergelayut manja padaku.
Aku membalas senyumannya meski sedikit aku
paksakan, "Dari dulu Umi juga sudah hebat bikin Abi puas terus"
balasku bermaksud menyindirnya yang tak pernah memberikanku kepuasan balik.
"Hehehe. Iya Umi sayang.. Kamu
bener-bener luar biasa" jawabnya tak peka.
Seperti biasa, definisi bersenggama bagiku
dan suami hanyalah sampai dimana suamiku keluar menuntaskan hajatnya di dalam
vaginaku. Tak ada yang namanya kepuasan timbal balik karena baik aku dan suamiku
belum mengenal yang namanya orgasme pada perempuan.
Menurut aku dan suamiku, seks hanya
diperuntukkan untuk suami saja, sedangkan seorang istri bertindak sebagai
pemuas nafsu dan pelayan bagi suami-suami mereka.
Begitulah sekiranya saat dulu aku diajarkan
sebelum kami menikah. Maka tak heran sampai sekarangpun aku tak pernah
memprotes pada suamiku. Hanya saja, ada sedikit rasa kecewa yang membuat hatiku
terasa kosong setiap kami selesai bercinta.
Dan rasa kosong itulah yang kembali
mendorongku untuk merindukan sosok Mang Dedi si penjual sayur.
Aku melirik ke arah suamiku yang ternyata
sudah terlelap begitu saja usai bercinta denganku. Aku menggeleng tak habis
pikir. Tak percaya ketika dia meninggalkanku pergi tidur begitu saja setelah
aku memberikannya kenikmatan.
Aku sedikit jengkel namun bisa
memakluminya. Malah ada perasaan sedikit senang ketika tau kalau suamiku sudah
terlelap dengan cepat.
Itu berarti aku bisa dengan bebas
melakukan apa saja termasuk melanjutkan chatku dengan Mang Dedi yang tadi
sempat teralihkan.
Kulihat pada layar smarphoneku ada pesan
dari Mang Dedi yang belum aku baca 15 menit yang lalu.
"Maaf Mas aku telat bales. Tadi
suamiku minta jatah. Hihihihi" tulisku berterus terang.
Selama tiga hari ini kami memang banyak
menghabiskan percakapan kami dengan topik yang berbau hal-hal intim. Mang Dedi
bahkan kadang tak segan menggodaku dengan mengirim foto-foto telanjang miliknya
yang lagi-lagi memperlihatkan "Terong" besarnya kepadaku.
Tak berapa lama Mang Dedipun membalas,
"Iya Gapapa Dek Liya.. tapi kok cuma 15 menit doang?" Tanya balik
Mang Dedi.
"Itupun sudah rekor Mas" balasku
lagi.
"Hah?? Sebelum-sebelumnya emang
bertahan berapa menit?"
"Paling 5 sampai 8 menitan lah"
tulisku sedikit menerka-nerka karena aku tak pernah juga menghitungnya berapa
lama.
Mang Dedipun kembali membalas,
"Waduh. Dek Liya ga puas dong berarti ?"
"Puas gimana maksudnya?? Tanyaku
penasaran.
"Ya sampai muncrat gitu" balas
Mang Dedi.
Aku semakin penasaran, "Emang wanita
bisa muncrat juga Mas?" Tanyaku heran.
"Bisa dong sayang!! Ngewe itu kan bukan cuma buat
laki-laki. Harus sampai keluar dan puas dua-duanya dong"
"Masa sih?" Tanyaku bingung.
"Mau coba??" Tawar Mang Dedi.
"Coba sama siapa??"
Tak lama Mang Dedi mengirimkan sebuah
foto, "Sama inilah sayangkuu" tulisnya pada foto tersebut.
Sesuai dugaanku, Mang Dedi lagi-lagi tak
segan mengirimkan foto penis miliknya yang terlihat sedang menegang dengan
keras.
"Iiihhh.. kok tegang sih Mas??"
Tanyaku.
"Iya dong. Udah siap dimasukin ke
dalam memekmu Dek Liya" balasnya.
Badanku bergetar membaca pesan tersebut,
"Astagfirullah Mas! Jangan ngomong jorok begitu" balasku padanya.
"Lah emang bener kok! Ini tegang
karena ngebayangin masuk ke lubangmu yang sempit itu Dek Liya" jawabnya
semakin frontal.
Darahku tiba-tiba berdesir hebat dan
vaginaku terasa berdenyut. Kata-kata vulgar dan frontal Mang Dedi itu malah
membuatku membayangkan bagaimana kalau seandainya penis besar miliknya itu
benar-benar masuk ke dalam vaginaku.
Dan rupanya bukan aku saja yang membayangkan
hal tersebut, "Kalau kontol ini masuk ke dalam memek Dek Liya, Mas bisa
jamin Dek Liya pasti bakal mendesah keenakan sampai muncrat-muncrat" tulis
Mang Dedi sekali lagi.
"Ihhh Mas bikin pengen aja"
balasku yang sebenarnya bercanda.
Namun Mang Dedi tampak serius dengan
ajakannya, "Kapan suamimu gak di rumah? Mas bakal mampir" balasnya
padaku.
"Dih aku cuma becanda tau"
jawabku berdebar-debar.
Tak pernah aku membayangkan bagaimana
kalau misalnya aku berselingkuh hingga ke tahap ranjang dengan Mang Dedi. Tapi
setelah dia berkata ingin mampir tersebut, mau tak mau akupun merasa panas
dingin dibuatnya.
"Hahahha. Aku juga becanda atuh Dek
Liya" tulis Mang Dedi membalas pesanku.
"Yasudah kalau becanda" balasku
jutek.
"Iya becanda.. Ntar Mas juga bakal
becanda ngentot kamu sambil berdiri. Toket kamu bakal Mas remas kuat-kuat dan
bibir kamu Mas cium sampai basah" tulisnya panjang lebar.
"Apaan sih Mas" balasku yang
sebenernya diam-diam penasaran dengan khalayan pria penjual sayur itu.
"Hehehe. Ga sampai disitu aja Dek
Liya. Nanti Mas bakal ngecrot sepuasnya di memek kamu sampai kamu hamil anaknya
Mas" balas Mang Dedi.
Jantungku berdegub-degub sangat kencang
membayangkan betapa liarnya khayalan yang dimiliki Mang Dedi terhadapku. Aku
bahkan tidak menyangka kalau diam-diam pria penjual sayur langgananku itu punya
keinginan untuk menghamiliku.
"Emangnya Mas bisa bikin aku hamil
apa?" Pancingku padanya.
"Ya jelas bisa dong Dek Liyaku.
Tinggal kamunya aja yang mau apa enggak Mas bikin hamil" balasnya lagi.
Sambil terus betukar pesan mesum bersama
Mang Dedi tersebut. Aku secara tidak sadar menggerakkan tanganku untuj
mengelus-elus buah dadaku sendiri.
Gairahku naik dengan cepat dan hasratku
jadi memuncak saat membayangkan bagaimana kalau khayalan-khayalan Mang Dedi
terhadapku itu benar-benar terwujud nantinya.
Mataku terasa sayu dan merem melek
merasakan nikmatnya usapan tanganku sendiri. Ditambah dengan dinginnya AC kamar
yang semakin membuat putingku mencuat dengan keras.
"Kalau aku bilang mau gimana
Mas??" Tanyaku semakin kehilangan akal sehat.
Darahku tak berhenti berdesir dan tubuhku
merasa semakin bernafsu ketika aku malag memancing-mancing Mang Dedi untuk
mengeluarkan lagi bermacam khayalannya terhadapku.
"Kalau kamu mau, biar Mas mampir ke
rumahmu. Nanti kita ngentot sepuasnya" jawab Mang Dedi dengan kata
frontalnya.
Akupun semakin terbakar oleh birahi yang
tadi sempat tak dapat tuntas ditangan suamiku. Masih dalam keadaan penuh nafsu
itu, kuturunkan tanganku ke arah selangkangan yang sudah basah oleh cairan dan
lendirku sendiri.
Badanku meliuk bagaikan cacing yang
kepanasan saat tanganku mulai beraksi di bawah sana . Rasanya pikiran dan badanku seperti
punya kemauan mereka masing-masing sehingga aku seperti bergerak tanpa sadar.
"Mas. Aku mau lihat penis kamu
dong" pintaku mulai berani pada Mang Dedi.
Tak lama Mang Dedipun membalas dengan
mengirimkan foto penis miliknya sambil menuliskan kata-kata tak senonoh yang
semakin menambah gairahku.
"Nih kontol gede spesial buat Dek
Liya tersayang" tulisnya pada pesan tersebut.
Akupun semakin kelojotan tak karuan mana
kala ujung jari telunjukku, ku arahkan ke pintu masuk liang kenikmatanku,
kusorongkan sedikit demi sedikit masuk ke dalam hingga rasa nikmat itu memenuhi
setiap syaraf-syarafku yang ada disana.
"Oohhh Mang Dediihh..." racauku
membayangkan kalau saat ini justru Mang Dedilah yang sedang memainkan vaginaku.
Hingga tanpa sadar, racauan yang
kukeluarkan tersebut ternyata cukup keras untuk membangunkan suamiku yang
tertidur di sebelahku.
"Umi ngapain?" Tanyanya sambil
membuka mata.
OH TIDAKK!!!!!
Sore hari ketika semua pekerjaan rumahku
telah selesai, aku memutuskan untuk beristirahat di teras rumah sambil bermain
bersama anakku Tasha.
Langit sore terlihat mendung dengan
gumpalan awan-awan gelap yang seperti siap menurunkan bebannya ke bumi.
Pertanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan lebat.
Suasana itupun nampaknya selaras dengan
suasana hatiku yang tengah mendung dan kelut karena sedari pagi aku tak sempat
bertemu dengan Mang Dedi.
Aku bangun kesiangan gara-gara semalam aku
kesulitan untuk tertidur. Itu semua karena suamiku yang hampir saja menangkap
basah aku yang tengah asik bermain-main dengan tubuhku sendiri.
Bahkan sampai saat inipun, percakapanku
semalam dengan suami masih saja berputar-putar jelas dalam benakku.
"Paha Umi gatel Bi! Makanya tadi Umi
garuk" jawabku pada saat dia bertanya.
"Tapi kok Umi kayak nyebut nama Mang
Dedi gitu deh?" Selidik suamiku.
Hampir saja jantungku copot saat itu juga,
"Ah cuma perasaan Abi aja kali!! Lagian Umi ngapain nyebut-nyebut nama
Mang Dedi segala??" Jawabku dengan mantap.
Beruntung, setelahnya Suamiku mengiyakan
saja alasanku tersebut tanpa merasa curiga sedikitpun.
Namun ketika pagi hari saat semua gairah
dan birahiku itu menghilang, aku jadi sedikit malu menghadapi suamiku karena
telah berbohong secara terang-terangan di depannya.
Seharian aku melamun dan bertanya-tanya
pada diriku sendiri. Kenapa aku bisa berubah secepat ini? Kenapa setalah semua
hal buruk yang aku lakukan bersama Mang Dedi itu, tetap saja masih belum dapat
memenuhi hasrat terpendam dalam diriku.
Aku masih saja menginginkan sesuatu yang
lebih. Sesuatu yang setidaknya dapat mengusir kekosongan dalam bilik hatiku
seperti saat aku bercerita maupun bertukar pesan bersama Mang Dedi.
Sadar rasanya aku tidak bisa bermain-main,
statusku sebagai seorang istri dan seorang Ibu saja, sudah cukup menjelaskan
bahwa aku sudah tak dapat melangkah lebih jauh untuk melanggar batas itu.
Tapi apa daya, sekarang aku menyadari
betapa pentingnya peran dan sosok Mang Dedi dalam mengisi kekosongan hatiku
tersebut. Jadi sekali lagi, tak dapat aku pungkiri bahwa aku sudah mulai
tertarik pada sosok penjual sayur itu.
"Kangen sama kamu Mas" ketikku
pada keyboard smartphone yang ku genggam. Tapi dengan cepat aku menghapus
kata-kata itu dan menggantinya dengan sebuah sapaan.
"Sore Mas" kirimku pada Mang
Dedi.
Tak perlu menunggu lama, Mang Dedipun
langsung membalas, "Sore juga Dek Liya"
"Mas lagi ngapain?" Tanyaku
berbasa basi.
"Lagi nongkrong nih di warungnya Haji
Naim" balasnya padaku.
"Yang deket Masjid bukan?"
"Iya Dek Liya" balasnya singkat.
Aku tersenyun sumringah, ternyata Mang
Dedi kebetulan berada tak jauh dari rumahku. "Mas ngapain disana?"
Tanyaku lagi.
"Mau bayar utang Dek Liya. Kemaren
saya pinjam duit sama Pak Haji" terang Mang Dedi secara gamblang.
"Ohh gitu.. tapi Mas bawa jas hujan kan ?" Balasku
khawatir.
"Gak bawa sih Dek. Tadi niatnya cuma
sebentar aja. Tapi Pak Haji nya malah ngajakin ngobrol"
"Yaudah kalau gitu Mas pulang
sekarang aja. Nanti kehujanan" balasku lagi.
"Gak enak sama Pak Haji Dek!! Dek
Liya gak punya jas hujan??" Tanya Mang Dedi tiba-tiba.
Aku teringat kalau suamiku biasanya punya
jas hujan cadangan yang di letakkannya di bawah lemari sepatu. "Ada nih Mas" balasku
setelah aku dengan cepat mengeceknya ke dalam.
"Yaudah nanti saya mampir ke rumah
Dek Liya sebelum pulang" balasnya lagi.
Pucuk dicinta, ulampun tiba. Aku yang
seharian tak bertemu dengan Mang Dedi itu akhirnya punya kesempatan untuk
bertatap muka lagi.
Suasana hatiku seketika berubah menjadi
senang dan bahagia.
Aku mengajak anakku Tasha untuk masuk ke
dalam rumah. Sebentar lagi Mang Dedi akan mampir kesini dan aku lagi-lagi
merasa punya keinginan untuk tampil cantik di depannya.
Karena itu, aku pun memutuskan untuk
mengganti baju daster yang tengah kugunakan dengan pakaian gamis yang lebih
bagus. Tak lupa juga, aku sedikit merias wajahku dengan berdandan natural serta
memakai parfum.
Saat semua sudah selesai, aku kemudian
mematut diriku didepan kaca untuk memastikan bahwa penampilanku sudah sempurna.
Aku tersenyum sumringah, Tampak dari
pantulan kaca itu wajahku bersemu merah menantikan kedatangan Mang Dedi
layaknya seorang remaja yang menunggu kekasihnya.
Tapi tak dipungkiri, ada rasa takut
sekaligus berdebar saat membayangkan kalau Mang Dedi benar-benar datang
berkunjung ke rumahku seorang diri.
Rentetan perbuatan "gila" yang
pernah aku lakukan dengan Mang Dedipun kembali terputar-putar dalam benakku
saat aku sadar kalau aku dan penjual sayur langgananku itu akan berdua untuk
sementara waktu.
Sontak badanku jadi lemas dibarengi rasa
panas dingin dibuatnya. Aku bertanya dalam hati, adakah kebenaran yang aku
lakukan ketika dengan sadarnya aku mengundang pria lain untuk berkunjung ke
rumah tanpa sepengetahuan suamiku.
Namun semuanya seakan terlambat untuk
dibatalkan karena aku mendengar pintu depanku di ketuk oleh seseorang. Dan
tentu saja itu adalah suara Mang Dedi.
"Sore Dek Liya" sapanya
tersenyum saat aku membukakan pintu.
Aku membalas senyumnya, "Sore juga
Mas" ucapku merasa senang. Rasa kangenku itu telah terobati.
"Anaknya kemana?" Tanya Mang
Dedi celingak-celinguk melihat kebelakangku.
"Ada di kamar Mas. Mari masuk dulu!"
Ajakku mempersilahkan.
Mang Dedipun dengan terkekeh kemudian
masuk ke dalam rumahku yang tidak terlalu besar ini. Aku mengajaknya duduk
diruang tamu dengan perasaan yang semakin berdebar-debar.
"Bentar ya Mas aku ambilin
minum" ucapku beralasan untuk pergi menenangkan diri.
Rupayanya memang benar apa yang dikatakan
oleh orang banyak, kenyataan akan selalu lebih menakutkan dari yang aku
bayangkan.
Aku tadinya sempat berpikir bahwa aku
tidak punya niatan lain saat mengundang Mang Dedi selain untuk meminjamkan jas
hujan kepadanya.
Akan tetapi setelah sosoknya datang, aku
malah dibuat sadar kalau apa yang aku lakukan ini benar-benar sebuah kesalahan
besar. Terlebih ketika hubungan kami yang begitu dekat tersebut, bisa saja
membuat hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di rumah ini.
"Aku telah mengundang serigala ke
kandang kelinci." Ucapku mengutuk dalam hati.
Dengan pelan aku kemudian menyiapkan
minuman berupa teh manis hangat untuk aku hidangkan sambil terus berusaha
membenarkan degub jantungku. Aku menarik nafas dalam-dalam berulang kali
sebelum akhirnya aku berjalan balik ke arah ruang tamu.
Ketika aku sampai, aku terkejut melihat
Tasha anakku sudah berada dengan Mang Dedi disana, "Itu mah ayam om, bukan
bebek" ucap Tasha berbicara lantang.
Mang Dedi melirik ke arahku sambil
tersenyum, "Om kira itu bebek tadi"
balasnya pada Tasha.
"Kalau bebek itu kakinya pendek Om. Kayak gini" balas Tasha nampak bersemangat.
Aku tersenyum menghampiri mereka berdua
yang tampak tengah asik berbincang sambil menggambar gambar hewan di buku
gambar kesukaan Tasha.
"Caca gak jadi tidur sayang?"
Tanyaku meletakkan nampan.
Anakku itu menggeleng dengan manja,
"Gak jadi Mi! Aku mau menggambar sama Om
ini" ucapnya terlihat begitu fokus.
"Nah kalau yang ini namanya bebek Om " lanjut Tasha menunjukkan hasil gambarnya pada
Mang Dedi.
Mang Dedipun tampak antusias mengimbangi
Tasha yang masih berumur 5 tahun itu. "Ohhh kalau kakinya pendek berarti
bebek ya" balasnya yang lagi-lagi tersenyum ke arahku.
Seketika rasa was-was yang ada dalam
hatiku tadi menghilang setelah aku melihat kedekatan anakku dengan Mang Dedi.
Aku tidak menyangka kalau Mang Dedi juga cukup pandai dengan anak-anak kecil.
"Diminum Mas" ucapku menawarkan
minum yang telah aku siapkan.
Mang Dedi terlihat mengangguk sambil
kemudian menyeruput cangkir yang berisi air teh tersebut. Namun dia masih saja
fokus berbincang-bincang dengan anakku Tasha.
"Ini bebeknya punya anak Om. Anaknya banyak" ucap Tasha mendominasi
percakapan.
Mang Dedi memangut-mangut melihat gambar
yang dibuat oleh Tasha tersebut, "Kok anaknya banyak banget?" Tanya
Mang Dedi.
"Iya. Biar temennya juga banyak"
jawab Tasha tiba-tiba.
"Kalau Caca gimana? Banyak temennya
juga gak?" Tanya Mang Dedi sekali lagi.
Tasha kemudian menggeleng, "Caca gak
ada temennya" jawab putriku tersebut begitu polos.
"Loh? Kok gapunya temen?" Tanya
Mang Dedi penasaran.
"Iyalah. Caca kan
belum punya adek Om " Ucap Tasha dengan
analogi lucunya.
Sontak tawa Mang Dedipun pecah mendengar
jawaban polos anakku tersebut. "Minta dong dedeknya sama Umi" ucapnya
melirikku.
"Udah aku minta Om.
Tapi belum jadi-jadi" balas Tasha cemberut.
Akupun menjadi tak tega mendengar jawaban
anakku tersebut dan langsung memeluknya, "Nanti Umi bilangin sama
Abi" ucapku pelan.
"Tapi kan Abi kerja Mi" balas Tasha dengan
polosnya.
Lalu tanpa kuduga, Mang Dedi ikut mendekat
kepadaku sambil mengelus kepala Tasha, "Ntar Om yang bantuin deh"
ucapnya dengan berani.
Aku menatap tajam pada Mang Dedi yang
terkekeh senang dengan candaannya yang memang sudah kelewat itu. Tapi tampaknya
kata-kata itu sudah cukup membuat Tasha terhibur dan kembali ceria.
"Om
gambarin caca kambing dong!" Pinta Tasha kembali bersemangat.
"Mau kambingnya berapa??" Tanya
Mang Dedi bersiap mengambil pensilnya.
Tasha berpikir sebentar memegang dagunya,
"Mau empat aja Om " ucapnya
mengacungkan jari.
"Kok empat?" Tanya Mang Dedi.
"Iya, biar ada mama kambing, anak
kambing, adik kambing dan Om kambing"
jelasnya.
Mang Dedi melihat ke arahku sebentar
sebelum akhirnya bertanya kembali pada Tasha, "Papa kambingnya
kemana?"
"Papa kambingnya kan
harus kerja Om " balas Tasha dengan amat
polosnya.
Aku terhenyak mendengar jawaban anakku
tersebut. Selama ini dia tidak pernah mempermasalahkan Abinya yang selalu sibuk
dengan pekerjaan.
Tapi ternyata, diam-diam anakku itu juga
merasakan hal yang sama denganku. Semakin hari semakin kesepian karena terlalu
sering di tinggal oleh Abinya.
"Om.
Caca jadi ngantuk nih. Gambar Om jelek" ucap Tasha dengan gamblangnya
mengomentari hasil karya Mang Dedi.
Aku berbalik tertawa meledek, "Iya
nih. Umi kira Omnya mau gambar kambing. Kok malah jadi kebo gitu ya Ca"
ucapku memanas-manasi.
"Ini kambingnya lagi hamil sayang.
Makanya jadi gede" jawab Mang Dedi menjelaskan.
"Hamil itu gimana?" Tanya Tasha
dengan polos.
"Hamil itu kalau mau punya Adek"
balas Mang Dedi tak kalah polosnya.
Tasha begitu antusias ketika mendengar
kata "Adek" tersebut, "Berarti kalau Tasha mau punya Adek,
tunggu Umi hamil dulu Om ?" Tanyanya lagi.
"Woiya dong sayang. Pinter banget
kamu" ucap Mang Dedi mengelus kepala Tasha.
Sikap Mang Dedi tersebut mengingatkanku
kepada suamiku yang dulu juga begitu lengket dan dekat dengan Tasha. Namun
karena pekerjaan, waktu untuk berduaan dan bermain seperti ini benar-benar jadi
berkurang.
Aku jadi sedikit bersyukur karena
lagi-lagi ada sosok Mang Dedi yang bisa mengisi kekosongan itu. Walau memang
hanya sebentar, tapi aku ikut merasa senang ketika Tasha dapat bermain dan
menjalin hubungan dengan sosok "Ayah" sementaranya itu.
Tanpa disadari, Tasha akhirnya tertidur
dalam pelukan Mang Dedi disaat hujan lebat juga ikut turun mengguyur bumi.
"Kamarnya dimana?" Tanya Mang
Dedi padaku.
Aku menuntun menunjukkan jalan,
"Sebelah sini Mas" Ucapku mempersilahkan Mang Dedi masuk ke dalam
kamar pengantinku.
"Kamar kamu Dek?" Tanya Mang
Dedi melihat sekitar.
Aku mengangguk, "Iya Mas"
balasku singkat.
Kemudian Mang Dedi meletakkan Tasha dengan
penuh kehati-hatian diatas ranjang. Dia begitu memastikan kalau posisi Tasha
sudah pas dan bisa tidur dengan nyenyak sambil tak lupa memberi sebuah kecupan
di kening anakku itu dengan lembut.
Hatiku merasa begitu hangat menyaksikan
sisi lain dari Mang Dedi. Tak menyangka kalau sosok yang biasanya selalu
bercanda hal-hal mesum itu juga dapat bersikap serius penuh dengan jiwa
kebapak-bapakannya.
"Yuk" ajak Mang Dedi menarik
tanganku keluar dari kamar.
Komentar
Posting Komentar