Hai semua,
namaku James. Pengalaman pertamaku dengan wanita terjadi saat aku duduk di
bangku SMU. Di saat para junior lain sibuk belajar untuk mendapat nilai dan
reputasi bagus di masa sekolah, yang kulakukan adalah ke warnet setiap hari
ditemani rokok dan mi instan. Aku bersekolah di salah satu sekolah swasta yang
cukup terkenal karena kedisiplinannya. So, buat orang sepertiku, keluar-masuk
kantor kepsek udah menjadi satu hal yang rutin.
Pagi hari
itu aku sampai di sekolah paling pagi, di saat kelas masih kosong melompong.
Aku memang murid teladan, selalu datang paling pagi untuk menyalin PR orang
yang datang selanjutnya. Tapi berhubung pagi itu belum ada yang datang, aku
meneruskan tidur di bangku paling belakang kelas. Sialnya, saat aku belum
tertidur nyenyak sampai ngorok sudah ada aja suara yang mengganggu.
"James!"
Spontan
aku tersentak, bangun dan bersiap buat marahin siapapun yang berani
membangunkanku. Tapi saat aku melihat orangnya, jangankan marah, aku langsung
diam seribu bahasa. Bahkan rasa kantukku segera menghilang. Seorang cewek,
berambut hitam bergelombang berdiri di hadapan aku. Sandranita Dewi, ketua
komite kedisiplinan di sekolah, kakak kelasku sekaligus cewek paling diincar di
SMA. Matanya yang cokelat tua menatapku tajam, aku cuma bisa menjawab gugup.
"A-Ada apa, Kak?"
"Satu-satunya
murid yang belum mengikuti ekskul di angkatan ini cuma kamu. Pak Raymond
-kepala sekolah- meminta saya menyampaikan ke kamu untuk memilih ekskul paling
lambat hari ini, atau nilai kegiatan di rapor kamu akan dikosongkan."
Sandra |
Yah, di
sekolahku memang setiap murid harus mengambil satu kegiatan ekskul atau rapor
tidak akan diberikan karena tidak ada nilai kegiatan, aku menelan ludah dan
mengangguk pelan. "Baik, Kak." Sandra berjalan ke arah pintu kelas,
dan menoleh saat aku memanggilnya. "Kakak... ikutan ekskul apa?"
Bibir
tipis Sandra melengkung, memberikan aku senyuman sinis dan ia berkata sebelum
pergi. "OSIS, kamu ga bakalan kuat untuk bertahan sebulan aja di ekskul
Saya, kalau bisa Saya kasih hadiah deh." Dia mengedip sekali ke aku
sebelum pergi meninggalkan kelas.
Pulang
sekolah, aku langsung menyampaikan minat aku buat masuk OSIS kepada Pak
Raymond. Beliau menertawakanku habis-habisan, tapi pada akhirnya
merekomendasikan juga aku pada Ricky, si ketua OSIS. Aku resmi menjadi anggota
OSIS keesokan harinya. Setiap hari, aku harus stay di sekolah dan mendengarkan
rapat sampai sore. Gila, Sandra kuat banget, udah ngikutin komite kedisiplinan,
masih aja jadi anggota OSIS. Tapi karena penasaran dengan hadiah dari Sandra,
aku memutuskan buat bertahan.
Satu bulan
terasa bagaikan neraka, tapi pada akhirnya aku berhasil bertahan. Aku sudah
hampir melupakan percakapan dengan Sandra karena kesibukan yang kuterima di
OSIS. Sekolah kami memiliki kebiasaan membuat Old & New School Party setiap
pergantian tahun, dan setiap anggota OSIS ditugaskan mencari dan membawa
peralatan. Sampai suatu sore, waktu keluar dari ruang rapat, Sabdra
menghampiriku.
"Hebat
juga lo, gue ga nyangka lo bakal bertahan di sini selama sebulan, murid paling
nggak disiplin di sekolah ini."
Buset dah,
perasaan bulan lalu dia masih menggunakan bahasa sopan Saya-Kamu. Aku sempat
kebingungan harus menjawab apa, tapi memberanikan diri juga buat senyum dan
menjawab. "Kan Kakak nantangin aku, sampai nawarin hadiah segala. Jadi
bisa dibilang alasanku masuk dan bertahan di OSIS itu gara-gara Kak
Sandra."
Dia
berjalan mendekat dan menoyor kepalaku. Bibirnya melengkung, kali ini bukan
senyuman sinis yang kuterima tapi cengiran manis bercampur malu.
"Gom-bal."
Percakapan
kecil kami berlanjut selama setengah jam sebelum aku akhirnya pamit. Sebelum
pergi, Sandra berbisik ke telingaku dengan nada menggoda. "Hadiahnya besok
di ruang rapat." Rasanya jantung aku berhenti berdetak selama sedetik. Aku
tersenyum kaku dan kami pun berpisah.
***
Rapat OSIS
kali ini mengambil tempat di salah satu kelas. Ricky, si ketua OSIS lagi sibuk
menjelaskan prosedur acara. Aku duduk bareng Sandra(satu meja dengan dua
bangku) di bagian paling belakang, tanpa ada orang lain di barisan kami. Semua
anggota sibuk mendengarkan dengan mengambil lokasi bagian depan. Sementara
mataku sendiri sudah hampir menutup karena bosan. Sebenarnya saat masuk ke
ruang rapat, aku sudah sangat bersemangat menanti hadiah dari Sandra. Tapi
setelah setengah jam dia diam aja, aku pun mulai melipat tangan dan menempelkan
kepala ke meja, bersiap tidur.
"James..."
Terdengar suara Sandra manggil aku.
"Mmhh."
Aku menggumam malas tanpa membuka mata.
"James..."
"Ngghh..."
Aku menjawab lagi, masih dengan kondisi setengah sadar.
"James!
Idih, nyebelin."
Suara
Sandra menghilang, dan aku sudah bersiap hanyut ke alam mimpi saat terdengar
suara yang asing. Srettt!. Awalnya aku masih belum ngeh, tapi saat aku
merasakan angin dingin menerpa selangkanganku... mataku segera terbelalak. Aku
mengangkat kepala dan menatap Sandra, yang sekarang tersenyum ke arahku. Tangan
kananannya menjadi penumpu di pipinya, tapi tangan kirinya kini telah berpindah
tempat ke area selangkanganku. Suara tadi... adalah suara resleting celana
SMA-ku.
"Masih
mau hadiahnya nggak?" goda Sandra. Dia baru aja melorotin CD-ku, dan
mendengar godaannya barusan sudah pasti aku sebagai lelaki normal mulai ereksi.
Matanya mencuri pandang ke arah penisku yang mulai berdiri. "Dasar
mesum... baru dibilangin gitu udah naik, hihihi."
Aku
cepat-cepat menoleh ke kiri dan ke kanan, takut-takut kalau ada yang ngeliat.
Tapi seperti yang sudah kujelaskan tadi, semua orang memilih duduk di bagian
depan dan sibuk mendengarkan penjelasan Ricky. Sekarang aku menyadari alasan
Sandra menarikku untuk duduk di bagian belakang tadi. Jantungku berdetak dua
kali lipat lebih cepat. Aku menelan ludah dengan susah payah dan mengangguk.
Saat
itulah Sandra memulai aksinya. Awalnya, dia cuma mengelus batang penisku dengan
telapak tangannya yang halus. Darahku berdesir, bagaimanapun juga itu
pengalaman pertamaku disentuh seorang wanita... di tempat itu tentunya. Sandra
mengelus penisku, dari batang hingga kepala, dan memainkan jemarinya yang
lentik di ujungnya, lalu dengan cekatan menggosok bagian sensitif di bagian
antara kepala dan batang penisku. Shit, aku udah tegang setegang-tegangnya
waktu itu. "Santai aja kali James, napasnya."
Aku baru
saja menyadari napasku mulai tidak teratur. Sandra tergelak dan membuatku
segera menoleh ke arah lain, gengsi rasanya kalau mupengku dilihatnya. Tapi
sensasi yang kurasakan di bawah sana
membuatku mau tidak mau mencuri pandang dan mendesis. Tangan Sandra yang semula
hanya mengelus mulai menggenggam batang penisku, aku bisa merasakan sela-sela
jemarinya yang lentik, dan bagaimana cara dia merapatkan jarinya hingga
membungkus penisku. Ia mulai menggerakkan tangannya, mengocok penisku
pelan-pelan ke atas dan ke bawah. Enak sekali rasanya.
Senyum
Sandra melebar melihat reaksiku. Dia mulai menggoda dengan memelankan ritme kocokannya
sesekali, lalu mengencangkannya setelah beberapa saat. Tidak lupa jemarinya
mengerat dan mengendur, membuat batang penisku terasa seperti dipijat-pijat.
"Idih James... makin gede aja nih burung lu di tangan gue, enak banget
ya?"
Aku tidak
menjawab, hanya mengangguk pelan. Sandra meneruskan aksinya lagi, kali ini ia
berhenti sebentar dengan kocokannya di batang penisku dan mulai memasukkan
tangannya lebih jauh ke dalam celanaku, menyentuh dan membungkus buah zakarku
dengan telapak tangannya yang lembut dan hangat sebelum ia mulai mengocoknya.
Shit, suaraku hampir keluar. Aku menggigit lidah dan mendesis. Sepertinya ia
tidak puas dengan hanya mengelus dan mengocok bola-bolaku, kuku-kukunya
sesekali kurasakan menusuk area sekitar sana ,
menciptakan sensasi sakit sekaligus nikmat yang tidak dapat kujelaskan.
Setelah
puas bermain di situ, tangannya kembali berpindah menggenggam batangku. Kali
ini, dia mengocoknya dengan kuat, dari pangkal hingga kepala penisku yang sudah
memerah. Dengan teratur ritmenya naik dari pelan hingga tinggi, sampai aku bisa
melihat cairan bening mulai keluar dari kepala penisku, dan perlahan tapi pasti
mengenai tangan mulusnya. Sandra yang ikut melihat itu semakin semangat
mengocok batang kejantananku. Rasanya aku bisa terkena anemia karena seluruh
darahku pasti udah berkumpul di area selangkangan.
Perlahan-lahan
pertahanan gue mulai melemah. Sadar dengan itu, Sandra menyikut jatuh
pensilnya, lalu menunduk dan berpura-pura mengambil pensil padahal yang
dilakukannya di bawah sana
sungguh berbeda. Dia mendekatkan bibirnya yang tebal dan mencium kepala penis
gue, bahkan menjilatnya dengan lidahnya. Pandangan matanya saat tatapan kami
bertemu sungguh berbeda dengan biasanya, erotis dan menggoda. Dia memasukkan
penisku ke dalam mulutnya dan menghisapnya kuat-kuat.
Aku tidak
sanggup lagi menahan lahar putih yang tersembur keluar dari kepala penisku
langsung ke mulut Sandra. Penisku berkedut setiap kali spermaku tersembur
keluar. Sensasi hangat mulut Sandra, dan lidahnya yang tidak berhenti
merangsang penisku semakin membuat semburannya menggila. Sementara aku
bersandar ke kursi dan menikmati gelombang kenikmatan yang tersisa, Sandra
segera menaikkan kepalanya ke tempat semula dan mengambil botol minum, meneguk
air putih dan menelannya sekaligus dengan spermaku yang ada dalam mulutnya.
Tepat saat
itu, suara pemimpin rapat terdengar, mengisyaratkan selesainya rapat. Dengan
cuek Sandra meraih tasnya dan berjalan ke arah pintu kelas. Sebelum
meninggalkan ruangan, ia tersenyum ke arahku dan menempelkan jari telunjuknya
ke bibirnya. Selesai? Tidak, aku tahu kelanjutan hubunganku dengannya baru akan
dimulai.
Tidak
terasa aku sudah menjadi anggota OSIS selama satu semester. Sejak saat itu
hubunganku dan Sandra begitu dekat, meski kami belum melakukan hal yang lebih
jauh dari itu. Hampir setiap kali rapat berlangsung, aku tak bisa
berkonsentrasi karena seluruh perhatianku akan terfokus pada penisku yang terus
menerus dirangsang oleh Sandra. Dia juga tampaknya begitu menyukai menggodaku,
hingga akhirnya spermaku akan meledak di mulutnya berkali-kali sebagai akhir
dari itu semua. Tapi tetap saja, ia belum memperbolehkanku menyentuhnya, bahkan
menciumnya saja tidak.
Libur
natal baru saja selesai saat itu, aku masuk ke dalam ruang rapat dengan bermalas-malasan.
Sungguh tubuhku masih lelah karena begadang menonton anime semalaman. Seperti
biasa bangku belakang menjadi pilihanku, dan sudah pasti Sandra telah sampai di
sana duluan. Ia
langsung memberikanku cengirannya ketika aku mengambil tempat di sebelahnya.
"Pagi James, gimana liburan kemarin?"
"Ngantuk,
Kak." Aku tidak menjawab pertanyaannya dan memilih untuk langsung tidur
dengan posisi biasa. Sandra mendengus dan memanggil namaku beberapa kali namun
aku tidak menggubrisnya. Sepanjang rapat, ia mencoba mengajakku berbicara
bahkan sesekali menggodaku dengan menyentuh area selangkanganku, tapi saat itu
aku benar-benar ngantuk berat. Rasanya ia sudah hampir menyerah saat kudengar
suaranya berbisik di telingaku. "Kalau lo ga bangun sekarang, hadiah
spesial di party nanti nggak jadi lho."
Aku
mengangkat sedikit kelopak mataku, entah kenapa setiap kali Sandra menggunakan
kata hadiah, ia selalu sukses menarik perhatianku. Ia berkedip nakal dan
menjulurkan lidahnya melihat reaksiku. Sekali lagi aku dibuat penasaran
olehnya. Kejadian saat pertama kali aku diberi hand-job olehnya, yang sekarang
sudah terasa biasa. Tapi yang menarik adalah kata spesial yang diselipkan di
baliknya, yang mau tidak mau membuatku bertanya-tanya.
***
31
Desember
Ruang aula
penuh sesak oleh seribu delapan belas orang siswa gabungan tiga angkatan, kelas
satu hingga kelas tiga. Dekorasi aula yang disiapkan oleh anggota tim dekorasi
tampak begitu mewah dengan tema glow in the dark, aku hanya kebagian membawa
bahan dan tidak ikut menghias. Aku cukup salut melihat kain hitam yang kubawa
bisa dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menutupi beberapa bagian aula yang
menjadikannya tampak begitu mewah. Tim dekorasi kami memang luar biasa. Suasana
semakin meriah dengan lagu jenis house music yang bergema sepanjang aula.
Mataku
bergerak dan mulai mengamati seisi ruangan. Dresscode waktu itu adalah glamour,
dan sejauh mata memandang aku bisa melihat setelan jas yang tampak mahal
melekat di tubuh setiap siswa, terutama kakak kelas, dan gaun-gaun dengan
berbagai macam model dan warna membalut tubuh para siswi, menampakkan
lekuk-lekuk tubuh yang selama ini tersembunyi di balik kemeja sekolah yang
kendor. Tapi aku tidak berhenti untuk mengamati kaum hawa yang tidak kukenal
saja, mataku sibuk mencari sosok seseorang yang kukenal; Sandra. Dimana dia?
Akhirnya
aku menemukan Sandra, bergabung dengan para kakak kelas lain di bagian tengah
ruangan aula yang luas. Aku menelan ludah, melihat gaun ketat berwarna ungu tua
dengan panjang selutut yang menempel di tubuh Sandra, bagian atas gaun itu agak
terbuka, menampakkan bahu dan punggungnya yang putih mulus. Wajah Sandra yang
pada dasarnya sudah cantik tampak semakin anggun dengan sentuhan alat make up,
dan rambut hitam legamnya yang biasa tergerai kini disanggul ke atas,
menampakkan tengkuk kurusnya yang menggoda. Sandra masih bercakap-cakap dengan
beberapa kakak kelas sebelum ia menyadari kehadiranku saat tatapan kami
bertemu, senyuman terkembang di bibir tipisnya dan ia berpamitan dengan
teman-temannya sebelum berjalan menghampiriku.
"Hai
James, wuahh tumben lo ganteng banget?"
Aku
memberikannya senyuman tersipu. Saat itu aku sendiri mengenakan kemeja putih
berlengan panjang yang digulung setengah lengan dan blazer abu-abu, juga
digulung. Untuk bawahan, jins biru tua dan sepatu converse membuatku tampak
semi-casual dibanding glamour. "Kakak juga cantik banget hari ini, padahal
biasanya awut-awutan itu rambut." candaku.
"Enak
aja." Ia mengerucutkan bibirnya, lalu menarikku keluar ruang aula. Aku
menurut saja, membiarkannya menuntunku menuruni tangga, sampai akhirnya kami
sampai di suatu tempat yang sudah sangat familiar: ruang kelas yang biasa
digunakan untuk rapat. Aku menaikkan alis saat Sandra melepaskan tanganku dan
berbalik. Sebelum aku sempat bertanya, dia menyeletuk. "Bosen nih ama
party-nya, gue digodain kakak kelas sama teman seangkatan mulu, emang tuh cowok
pada ganjen-ganjen."
Aku
menatapnya tanpa menjawab, sudut bibirku sedikit terangkat karena geli dengan
nada bicaranya yang terkesan sombong, tapi aku tahu Sandra betul-betul merasa
risih. Selama ini, ia tidak begitu dekat dan memiliki teman baik seorang
laki-laki, yah pengecualian untukku... mungkin hanya akulah satu-satunya
laki-laki yang dekat dengannya. Jangan tanya kenapa karena aku juga tidak tahu.
"Mereka cuma kagum sama kecantikan Kakak," kataku jujur.
Sandra
berjalan mendekatiku dan menyandarkan pipinya ke bahuku, lalu melepas
sanggulnya dan membiarkan rambut tebal berombaknya jatuh tergerai ke bawah.
Wajahnya tampak begitu manis saat kami bertatapan, dekat sekali. Barulah saat
itu kusadari bahwa bola mata Sandra begitu besar, dengan pupil yang membulat
menatapku. "Mmh? Karena gue cantik? Karena mereka pengen nerkam badan gue
kali."
Aku
tertawa. "Yah, dua alasan itu sepaket deh."
"Tapi
kalau elo, gue gapapa kok."
Aku
menoleh ke arahnya, sepertinya pendengaranku mulai bermasalah. Matanya tampak
serius menatapku. "Apaan, Kak?"
"Gue
bilang, kalau elo yang gituin gue, gapapa." Sandra menarik kepalanya dari
bahuku. Tatapannya begitu intens jatuh padaku, yang kini berdiri kaku di
hadapannya tanpa tahu harus berbuat atau mengatakan apa. Melihat tingkahku yang
begitu pasif, Sandra mendesah dan meraih tanganku, meremas jemariku dengan
lembut. "Selama ini, gue trauma sama yang namanya cowok James... cowok
pertama gue udah maksa gue buat ngasih semuanya ke dia... semuanya, tapi gue
dibuang gitu aja. Awalnya gue berpikir untuk nggak pernah ngebuka hati lagi
sama yang namanya cowok, makanya gue selalu bersikap dingin ke mereka. Tapi elo
beda... cuma elo yang bela-belain nerima tantangan gue sampai masuk OSIS. Emang
sih itu ga terlalu susah, tapi gue tahu... sebagai junior paling bermasalah,
buat lo itu pasti ga gampang."
Melihat
reaksiku yang masih diam menanggapi kata-katanya, Sandra melanjutkan lagi.
"Gue bukan cewek murahan yang bakal sembarangan megang penis cowok. Tapi
elo bisa bikin gue ngelakuin itu, elo bisa bikin jantung gue yang udah lama
beku berdetak dua kali lebih cepat... saat itulah gue tahu lo spesial
James." Ia membuka jemariku, menempelkan telapak tangannya ke tanganku.
Biasanya di film-film, adegan ini pasti akan berakhir dengan ciuman. Aku
memberanikan diri, mendekatkan wajahku ke wajahnya. Ia memejamkan mata, tanpa
perlawanan bersiap menyambutku.
Ciuman
pertamaku terambil olehnya malam hari itu, dalam ruang kelas yang remang.
Sensasi bibirnya yang menyatu dengan bibirku terasa basah dan menyenangkan,
awalnya kami hanya melakukan baby kiss dengan menempelkan bibir kami. Lalu
dengan sangat perlahan, aku mengambil inisiatif melumat bibirnya, yang segera
dibalasnya dengan lumatan kecil juga. Setelah beberapa saat aku baru menyadari
bibir bawah Sandra lebih tebal dari bibir atasnya, aku melumat bagian bawah
bibirnya dengan lembut. Desahan-desahan mungil menyelip keluar dari bibirnya,
semakin memperkuat nafsu birahiku yang mulai memuncak.
Satu
tanganku memeluk pinggangnya, menariknya begitu dekat denganku sementara tangan
yang lain meraba dan meremas rambut di bagian belakang kepalanya, menekannya
tetap menciumku. Decak ciuman kami terdengar memenuhi ruangan, dan saat ciuman
itu terlepas aku dapat melihat wajah cantik Sandra merona merah, dengan benang
ludah tipis yang menjuntai dan menghubungkan bibir kami berdua. Napasnya pun
sudah tidak teratur, ditandai dengan gerakan dadanya yang naik-turun dengan
cepat.
Masih
tidak berkata apa-apa, aku melepas jasku dan melemparkannya ke atas bangku,
lalu kembali dan memeluk Sandra, perlahan-lahan mulai melumat leher jenjangnya.
Ia mendesis, kali ini gantian memegangi kepalaku dan menempelkannya ke lehernya.
Tanganku bergerak naik, menggapai dadanya yang tampak membusung dari balik gaun
yang dikenakannya dan memberikan remasan-remasan pelan di sana . Lidahku menjilat lehernya semakin
intens, memberikan kecupan panas yang menyalurkan nafsuku sementara tangan kiriku
menggapai ke bagian punggungnya, mencari dan menemukan resleting gaun yang
dikenakannya, lalu menariknya perlahan. Suara gaun yang terjatuh membuat Sandra
hanya terbalut dalam bra dan celana dalamnya, berdiri di hadapanku. Aku
melepaskan kecupanku di lehernya, kembali mempertemukan pandangan kami. Ia
mengangguk, tanda menyerahkan kendali penuh padaku. Kini keputusan ada di
tanganku.
Tanganku
bergetar saat aku menyentuh kait bra di punggungnya, Sandra tersenyum dan
membantuku membuka kait itu, membuat branya terjatuh ke lantai, menampakkan dua
gundukan gunung yang putih mulus. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi begitu
menggoda birahiku, terutama kedua puting berwarna merah mudanya, yang telah
menegang. "Jangan diliatin aja dong James," rengeknya manja. Aku
tersadar dan mendekatkan wajahku dengan canggung hingga bibirku menyentuh
permukaan kulit payudaranya yang indah. Dengan hati-hati aku mulai mencium
setiap inci permukaannya, menyapukan lidahku di sekitar areola-nya.
"Mmh...
James..." Desahan kecil penahan kenikmatannya kembali terdengar. Aku
sedikit menggodanya dengan menyentuhkan lidahku beberapa kali ke putingnya yang
telah mengeras. Ia menggelinjang setiap kali hal itu kulakukan. "Jangan
diisengin doang dong... buruan emut..."
Tanpa
berlama-lama aku menurutinya. Kusapukan lidahku dengan gerakan melingkar
beberapa kali sebelum akhirnya mengemut puting susu Sandra dengan nafsu.
Lidahku merasakan sensasi keras dan tegangnya setiap kali aku menjilatinya.
Sandra melenguh saat aku memberikan gigitan kecil di sana , menjilat, mengemut, dan menghisapnya
seperti bayi yang sedang menyusui.
"Pe-Pelan
pelan... kamu tuh... kayak bayi raksasa... tau nggak? Ahh... ohh..." Aku
membungkam kata-katanya dengan membuatnya terus mendesah. Tangan kiriku
bergerak, memelintir puting kanannya dengan agak kasar, menjepitnya dengan jari
jempol dan telunjukku dan mulai memelintirnya perlahan. "Ahhh... JAMES!
JAMES! GUE KELUAR!!"
Kurasakan
otot-otot di tubuh Sandra menegang. Ia melengkungkan punggungnya ke belakang
dan mengeluarkan lenguhan panjang, lalu memelukku dengan erat hingga wajahku
menempel di dadanya. Gelombang kenikmatan menghantam tubuh langsingnya. Aku
mengelus punggung Sandra perlahan, membiarkannya menikmati sensasi orgasme
pertamanya yang masih tersisa. Setelah agak tenang, ia melepaskan pelukannya
dan menatapku dengan wajah merah padam. "Uuh... jago banget sih
kamu."
Senyumku
mengembang saat mendengar Sandra menyebutku dengan kata kamu. Aku mengecup
keningnya. "Lanjut ya?"
Ia
mengangguk, lalu membungkuk dan menyejajarkan wajahnya dengan selangkanganku.
Penisku yang sudah tegang sejak tadi membuat sebuah tonjolan di bagian tengah
celana jinsku. Dengan cekatan Sandra melepaskan tali pinggang dan mempelorotkan
celana berikut dalamanku, dan wajahnya segera disambut oleh kepala penisku yang
telah merah membara. Dengan gerakan pelan ia mengelus buah zakarku dengan
tangannya yang halus. "Kasihan... kejepit celana ya daritadi?"
Belum
sempat aku menjawab, Sandra telah menggenggam batang penisku dan memasukkannya
ke dalam mulutnya. Selama ini dia belum pernah memberiku oral sejak awal,
paling-paling hanya ketika aku sudah hampir keluar. Tapi sekarang, sensasi
hangat mulutnya dan bibirnya membungkus penisku. Ia memaksa untuk memasukkannya
lebih dalam ke dalam mulut mungilnya, hingga penisku akhirnya masuk seluruhnya.
Aku bisa merasakan kepala penisku menyentuh bagian tenggorokannya. Gila.
"Ohh... enak San." Aku bahkan sudah tidak lagi ingat memanggilnya
'kakak'. Gelombang kenikmatan melandaku saat ia mulai menggerakkan kepalanya
maju mundur, mengulum dan menghisap penisku.
Bagian
atas penisku menyentuh mulutnya, sedangkan bagian bawah terus menerus
dirangsang oleh lidahnya, menimbulkan sensasi hangat dan geli yang tidak dapat
kulukiskan. Aku mendesah saat bagian dalam tenggorokannya menyempit dan
menjepit kepala penisku. Bagaimana mungkin dia tidak muntah atau batuk? Tapi
aku sudah tidak peduli lagi, Sandra melakukannya dengan sangat cekatan, bahkan
gesekan giginya yang sesekali menyenggol batang penisku terasa menyenangkan.
"San...
aku mau keluar." Aku memperingatkan, Sandra menatapku sejenak lalu kembali
asyik dengan aktivitasnya. Aku mengerang tertahan saat tangannya menyentuh dan
meremas buah zakarku, lalu mengocoknya perlahan sementara lidahnya disapukan ke
kepala penisku. "Udah... diingetin ya..."
Sandra
mengencangkan hisapannya, dan gelombang kenikmatan menerpaku saat itu. CROOTT!
CROTTT! CROTTTT! Aku menekan kepalanya ke arah penisku, berejakulasi langsung
ke dalam tenggorokannya yang hangat. Sandra tidak mencoba melepaskan diri dari
semprotanku yang bertubi-tubi, luar biasa... spermaku seolah diperas habis oleh
sedotannya yang begitu kuat. Saat semburanku telah berhenti, Sandra menjilati
penisku dan membersihkan sisa-sisa sperma, menelannya, dan melepaskan penisku dari
mulutnya. Ia membuka mulutnya dan memperlihatkan padaku bagian dalam yang telah
bersih tanpa setetespun cairanku. Dia menelan semuanya.
Wajah
cantiknya berpura-pura cemberut. "Aku hampir tersedak tahu, kasar banget
sih kamu. Masa ditekan gitu?"
Tersadar,
akupun meminta maaf. "Maaf, soalnya enak banget sih hisapan kamu."
"Gombal."
Bibirnya mengerucut, lalu pandangan matanya kembali ke penisku yang masih
tampak tegang. "Kamu belum puas ya?"
Aku
mengangguk, salah tingkah. Wajah Sandra bermandikan peluh, melunturkan make up
tipisnya, namun tetap terlihat cantik. Ia beringsut menjauh dan menyentuh
celana dalamnya, dengan hati-hati sekali menurunkannya. Mataku tidak bisa lepas
dari pemandangan berikutnya yang disuguhkan padaku, gundukan vaginanya yang berbulu
halus, yang telah basah oleh cairan kewanitaannya tadi. Sandra tampak tersipu.
"James... I want you inside me."
Wajah
Sandra tampak serius, namun masih sedikit gelisah. Aku memeluknya, membiarkan
dadanya menekan dadaku guna menenangkannya. "Kamu yakin, San? Apa aku
pantas?" tanyaku. Aku tidak ingin memaksanya melakukan ini kalau ia belum
siap. Tapi Sandra menghapus keraguanku dengan menjawab dengan anggukan mantap.
"Aku
percaya sama kamu, James," katanya. Sandra beranjak naik ke atas sebuah
meja dan mengangkang, menyerahkan sepenuhnya vaginanya padaku. Aku beringsut
mendekat, menggenggam penisku dan mulai mengarahkannya ke liang kewanitaannya.
Mata kami bertemu dan bertatapan sekali lagi, namun kali ini aku melihat
keraguannya telah sirna. Dengan perlahan, kusentuhkan kepala penisku ke lubang
kewanitaannya. Sepertinya sentuhan itu tanpa sengaja menyentuh klitorisnya,
membuat Sandra memiawak pelan. Aku mengecup keningnya, lalu mulai mencoba
memasukkan kepala penisku ke dalam.
Vaginanya
masih begitu sempit. Sandra meringis menahan sakit sampai akhirnya kepala
penisku berhasil masuk. Aku mendorongnya semakin masuk, hingga akhirnya seluruh
bagian penisku masuk ke dalam vaginanya. Rasanya sungguh berbeda dengan saat
aku onani. Bagian dalam Sandra terasa hangat, dan dinding dinding vaginanya
seperti menghisap dan memijat setiap permukaan batang penisku. Aku bahkan dapat
merasakan bibir rahimnya di kepala penisku. "Siap ya, San..." kataku,
ia mengangguk.
Kutarik
penisku perlahan, lalu kuhujamkan masuk kembali. Sandra mendesah. Kuulangi
lagi, tarik, masukkan, tarik, masukkan, tarik, hujamkan. Ritme gerakanku
semakin lama semakin cepat. "James... AHH! Pela...n pelan..." Suara
Sandra terdengar bercampur desahan. Aku sendiri merasa otakku blank, setiap kali
aku menghujamkan penisku ke dalam vaginanya, terasa ada sensasi baru yang
terkumpul dalam diriku, berdesir dengan begitu kuat, dan tertumpuk di dalam.
Aku ikut mendesah bersamanya. Pantatnya yang bulat menepuk-nepuk buah zakarku
setiap kali aku melesakkan masuk batang kejantananku.
"Uhh...
Nggghh... kepala penis kamu... nabrak nabrak... rahimKHUU!!!" Sandra
memekik pelan, menyalurkan kenikmatan yang melandanya. Peluh mulai membanjiri
tubuh kami berdua. Aku menghujamkan penisku semakin cepat ke dalam vaginanya.
Lagi... dan lagi... terus menerus tanpa henti.... hingga akhirnya aku dapat
merasakan penisku mulai berkedut-kedut. Aku menatap Sandra, panik. Ia
mengangguk kuat-kuat. "Ya... aku juga... di dalem! Kluarin di
dalem!!"
Aku meraih
dadanya dan meremasnya dengan kedua tanganku sambil menggerakkan pinggulku
berkali kali, mengaduk-aduk vaginanya. Sandra melenguh kencang dan memeluk
leherku. Sensasi yang sejak tadi terbangun dalam tubuh kami akhirnya pecah
ditandai oleh semburan cairan kami berdua. Spermaku melesak keluar berkali kali
dan dapat kurasakan cairan Sandra ikut menyiram penisku berkali-kali juga.
Kucabut penisku yang terasa lemas, dan dari liang kewanitaan Sandra dapat
kulihat cairan kami berdua yang telah bercampur menetes keluar sedikit demi
sedikit ke atas lantai keramik. Kami segera ambruk ke atas meja, berbaring
bersama dalam keadaan telanjang.
"James..."
"Mmh?"
Sandra
tersenyum dan mendaratkan kecupan kecil di pipiku, wajah orientalnya tampak
lelah namun ia tersenyum begitu manis. "Nggak apa-apa." Aku nyengir
dan segera melumat bibirnya sekali lagi. Malam ini... dia milikku, dan aku
milik Sandra.
***
Aku
berlari dengan cepat, memasuki gerbang sekolah yang sedang ditutup oleh Bang
Maman, satpam penjaga sekolah kami. Jam tanganku telah menunjukkan pukul 6:47,
dan berarti aku sudah terlambat 17 menit untuk pelajaran pertama. Saat aku
hampir mencapai ruang kelasku, teriakan lantang menghentikanku di koridor.
"STOP!"
Aku
menoleh, dan melihat seorang gadis berambut hitam dan mengenakan pin komite
kedisiplinan berdiri di belakangku. Sedetik kemudian, kami saling bertukar
senyum. "Boleh masuk kan ,
Kak? Belum setengah jam kok telatnya."
"Enak
aja! Kamu ikut saya ke ruang kedisiplinan!"
Cengiranku
semakin lebar. "Kakak mau 'mendisiplinkan' saya seperti apa?"
Ia
tergelak dan berjalan menghampiriku, lalu mengecup pipiku singkat. Bibirnya
bergerak dan berbisik ke telingaku. "Lihat saja nanti. Sekarang kamu ikut
Saya! Tidak ada bantahan!" Ia menggandeng dan menarik tanganku, dan aku
hanya pasrah saja, siap menerima apapun hukuman yang akan diberikannya padaku.
Ya, dia adalah Sandranita Dewi, ketua komite kedisiplinan, dan juga... pacarku.
Komentar
Posting Komentar