Kami kembali berjalan ke ruang tamu sambil
sedikit berbincang tentang kelucuan Tasha dan tingkah lakunya yang imut. Mang
Dedi juga tak kalah senangnya mengetahui kalau anakku tersebut bisa dengan
cepat akrab dengan dirinya.
Kami kemudian mengobrol panjang lebar
sambil sesekali dibarengi dengan candaan dan gombalan. Suasanapun menjadi sudah
cair karena Mang Dedi lagi-lagi menunjukkan keahliannya dalam menarik lawan
jenis
"Jadi pengen punya anak" ungkap
Mang Dedi tertawa.
Aku tau kemana arah dari becandanya itu,
namun aku memilih untuk tidak terlalu meladeninya, "Cari istri Mas"
balasku berdehem.
"Gak ada yang mau sama penjual sayur
kayak saya. Apalagi udah tua begini" balasnya merendah.
"Tetep saja Dek Liya. Lagian saya ini
minoritas, susah kalau nyari pasangan. Ada
yang pas, tapi ga seiman. Ada
yang seiman, tapi gamau sama saya." Tawa Mang Dedi pecah.
![]() |
Aliya |
"Ah Mas bisa aja merendahnya"
ucapku meledek.
Mang Dedi masih saja tertawa, "Untung
saya ketemu sama Dek Liya" ucapnya lagi.
"Kok gitu?" Tanyaku penasaran.
"Iyalah. Dek Liya orangnya baik. Ga
pernah mandang rendah ke saya" jawabnya memujiku.
Aku mengulum lidahku tersenyum karenanya,
"Gombal banget" balasku singkat.
Saat itu, ku mendapati kalau sesekali mata
Mang Dedi melirik ke arah dadaku. Malu rasanya di tatap seperti itu oleh
laki-laki lain selain suamiku. Namun kupilih membiarkannya saja karena
sebetulnya kami sudah pernah melakukan hal yang lebih dari sekedar pandang
memandang
"Emangnya Mas pengen punya istri yang
kayak gimana?" Lanjutku bertanya.
Mang Dedi tampak diam sejenak sebelum
akhirnya dia memberanikan diri menjawab, "Maaf kalau saya lancang, tapi
saya pengen punya istri yang seperti Dek Liya. Wajahnya, sifatnya, badannya,
suaranya. Semuanya saya pengen" ucapnya berterus terang.
Aku tertegun oleh jawaban Mang Dedi, rasa
malu yang amat sangat tiba-tiba timbul dalam diriku.
Terasa wajahku tebal dan panas seketika
itu juga. Akan tetapi tak dapat di pungkiri, perasaan bangga juga ikut menyeruak
dalam hatiku.
Aku diam sejenak, menatap ke arah Mang
Dedi yang juga menatapku dalam diam. Dalam tatapannya itu, tersirat dengan
sangat jelas kalau dia benar-benar jujur menginginkan aku.
Tapi akalku sadar, "Ini salah
Mas" ucapku menunduk saat dia beranjak mendekat padaku.
Aku seperti kehilangan tenaga dan lemas
saat itu juga. Bukan karena aku kena guna-guna atau semacamnya. Tapi karena aku
sadar kalau aku sudah tak dapat menghindar lagi.
Aku berniat menolak. Tak mau kembali
mengkhianati suamiku lebih dari sebelumnya. Namun perasaanku untuk menghalangi
semua ini terhalang oleh perasaan aneh yang sukar untuk aku jelaskan dengan
kata-kata.
"Dek Liya" panggil Mang Dedi
setengah berbisik menghampiriku.
Seolah terpanggil, aku mengangkat wajahku
perlahan-lahan menghadapnya. Wajah kami berada begitu dekat hingga terlihat
jelas keseriusan dalam raut Mang Dedi.
Mataku kian terasa berat saat wajah Mang
Dedi semakin mendekat kearahku. Aku akhirnya memejamkan mata, menandakan bahwa
aku telah merelakan segala tindakan yang ingin Mang Dedi lakukan kepada ku.
Saat itulah, Bibir kamipun kemudian
bersatu saling menemukan dengan mesra. Meski dalam perasaan yang tak jelas dan
keliru dengan tindakan ku itu, naluri dengan cepat mengambil alih tubuhku untuk
melangkah maju.
"Masshhh..." ucapku dengan
lirih.
Nafas ku semakin tidak teratur akibat
perbuatan Mang Dedi. Aku membiarkan tubuhku itu di peluk dan diraba olehnya
tanpa ada tindakan untuk memprotes sama sekali.
Aku hanya merasa kalau saat ini tubuhku
seperti berada di awang-awang ketidakpercayaan karena merasa suka di dekap
dengan lembut oleh laki-laki lain selain suamiku.
Tangan Mang Dedi juga tak melepaskan
peluang untuk terus meraba-raba ke arah punggungku seperti sedang mencari
sesuatu disana. Dalam keadaan bersandar itu, Tanganku pun tanpa disuruh memeluk
leher Mang Dedi dengan kuatnya seakan tak mau lepas dari sana .
Agak lama juga rasanya kami berciuman
penuh gairah saling melumat satu sama lain. Ditambah dengan suasana dingin dan
hujan yang begitu lebat diluar sana ,
semakin membuatku bernafsu dan lupa diri dengan statusku.
"Drrrttttttttttt...." suara
resleting gamisku terdengar berbunyi. Ternyata sedari tadi, benda itulah yang
dicari oleh Mang Dedi dibagian punggungku.
Dengan penuh kehati-hatian, Mang Dedi
terus mencium keningku, hidungku, pipiku, sebelum akhirnya dia berhenti
sejenak.
"Mas buka ya sayang??" ijinnya
berkata lembut padaku.
Aku terdiam sebentar, detak jantungku
berdegup sangat kencang. Perasaanku tidak karuan. Antara takut dan
menginginkannya.
Tapi aku mengangguk pelan. Dalam hati aku
berkata kalau semua sudah terlanjur. Pilihannya hanya tinggal menikmati saja.
Mang Dedipun tersenyum. Dia menatapku
dengan tatapan penuh nafsu hingga seluruh bulu kudukku terasa berdiri.
Seiring dengan tatapannya yang tajam itu,
dia menarik sedikit demi sedikit pinggiran gamisku ke arah bawah melewati
pundakku.
Aku memajamkan mata tak berani melihat
bagaimana saat ini aku tengah dilucuti oleh pria yang bukan suamiku tersebut.
"Cantik sekali" Ucap Mang Dedi mengomentari.
Suasana ruang tamu rumahku benar-benar
terasa dingin menyapu setiap pori-pori yang ada di tubuhku. Diluar sana , hujan turun begitu
lebat tak menampakkan tanda-tanda untuk berhenti.
Akan tetapi semuanya berbalik dengan
keadaanku saat ini. Karena bukan kedingingan, aku justru malah merasa panas.
Panas bercampur nafsu yang terus membara membakar birahi hewaniahku.
"Cantik sekali." komentar Mang
Dedi berbisik di telingaku.
Meski masih terhalang oleh hijab yang
melilit di kepala, aku dapat merasakan dengan kuat hembusan nafas panas Mang
Dedi seperti meniup telinga dan bagian kudukku. Nada suaranya yang bergetar
agak tertahan itu menandakan kalau dia sendiri tidak tenang dan sedang dalam
perasaan yang menggebu.
"Jangan diliatin!!" protesku
menutup dadaku dengan hijab lebar yang tengah ku pakai.
Aku sebenarnya malu, wajahku memanas atau
mungkin saja memerah. Kali pertama membiarkan tubuhku terbuka di hadapan
laki-laki lain selain suamiku . Tapi lagi-lagi aku terdiam, menggigit bibir
bawahku sendiri untuk meredam rasa yang timbul akibat ditatap nanar oleh si
penjual sayur itu.
“Kamu gak perlu malu Dek Liya. Tubuhmu
indah, sayang kalau tak ada yang melihatnya” Kata Mang Dedi dengan lembut.
Mang Dedi kemudian mendekap tubuhku,
bibirnya beraksi menciumui bagian belakang telingaku yang tertutup hijab itu
sambil meniupkan nafasnya berkali-kali. Aku terdiam, badanku luruh bersandar
pasrah diatas sofa yang kami duduki itu.
Sejenak Mang Dedi berhenti, "Biar
adil, saya juga buka deh." ucapnya seolah ingin membujukku.
Mang Dedi seakan tau bahwa aku masih
memiliki keragu-raguan yang membayang. Dia lalu berdiri, membuka kaos yang
digunakannya hingga terlepas dari tubuhnya yang gempal itu. Aku seketika
memalingkan wajahku dari sana ,
tak berani menatap tubuh laki-laki lain yang bertelanjang itu.
"Sudah adilkan?" Ucapnya
terkekeh.
Aku kemudian mengangguk pelan. Mungkin ini
yang dimaksud adil karena sekarang kami sama-sama bertelanjang dada. Bedanya,
aku masih memakai BH dan hijab lebarku masih menutup sempurna bagian dadaku.
“Jangan malu-malu lagi dong kalau gitu!”
Pinta Mang Dedi padaku.
Aku mengulum senyum, hatiku berbunga-bunga
dengan cara Mang Dedi membujukku. Entah kenapa, rasanya aku seperti
diperlakukan layaknya seorang gadis perawan yang baru saja mengenal apa itu
cinta.
“Iya.. gak malu lagi” Jawabku lirih
berdebar-debar.
"Yaudah sini cium aku coba" Goda
Mang Dedi mendekatkan wajahnya padaku.
Aku menepuk dadanya, "Dasar
gombal" balasku kemudian memegang kedua belah pipinya.
Tanpa ragu, aku memajukan bibir mungilku
untuk menyentuh bibir kasarnya sekali lagi. Mulut kami bersatu dengan cepat,
kembali berciuman penuh nafsu dengan saling melumat. Entah untuk keberapa
kalinya juga aku berciuman dengan Mang Dedi.
Namun setiap kali bibir kami itu
bersentuhan, rasa dan sensasi yang aku rasakan juga ikut berubah. Ditambah
dengan tekstur bibirnya yang kasar dan tebal itu, membuatku suka mengulum
bibirnya berkali-kali.
“Mmpppphh...” aku mendesah lirih.
Sedang kunikmati lidahnya yang menjelajah
di mulutku, tahu-tahu telapak tangan Mang Dedi sudah beraksi menyusuri setiap
lekuk pada tubuhku. Aku merinding saat kurasakan tangannya yang kasar itu
bergerak pelan-pelan, mengusap sepanjang lenganku yang putih tanpa ditumbuhi
bulu-bulu itu.
Kami terus berciuman, hanya desahan dan
suara lirihku saja yang sesekali terdengar di sela-sela derasnya hujan yang
sedang turun.
Perlahan-lahan gerakan dan usapan Mang
Dedi tersebut bergerak semakin liar dengan menyusuri setiap inci tubuh atasku
yang sudah terbuka itu.
Tangan kirinya meremas lembut bagian tepi
punggungku hingga turun merambat ke daerah pinggang. Tak lupa bagian pantatku
yang membulat itu di remas-remasnya sebentar penuh semangat sambil tangan
satunya lagi menjalar mengusap perut rampingku.
“BH nya Mas buka ya Dek!” Ucap Mang Dedi
berbisik menghentikan ciuman kami.
Belum sempat aku menjawab, tangan-tangan
cekatan miliknya itu menyusup kebagian punggungku dan meraih pengait BH ku. Aku
hanya diam, bingung tak tahu harus melakukan apa, menolak aku tak mau, tapi
membantunya aku malu.
“Mas gak liat kok!” Rayu Mang Dedi melepas
BH berwarna hitam yang tengah ku pakai itu.
Aku memejamkan mata, menarik ujung hijab
lebarku ke bawah agar gumpalan daging kembarku tak sampai terlihat oleh Mang
Dedi. Tapi Mang Dedi malah merengsek sedikit maju, hingga aku tersandar kembali
ke sandaran sofa.
“Awwwhhhh!!!” pekikku kaget.
Kurasakan tangan kasar Mang Dedi
menyelusup kebalik hijabku. Tangannya meraba pelan buah dadaku yang sudah tak
memakai penutup itu, menyentuh putingnya dengan usapan-usapan halus dan
sesekali meremasnya dengan lembut.
“Mashh.. Jangan dipeganngg” desahku
mencoba setengah-setengah menahan tangannya.
Perasaanku menjadi campur aduk, telapak
tangannya yang besar dengan mudah mencakup keseluruhan buah dadaku karena
ukurannya yang memang pas-pasan. Bahkan dalam remasannya tersebut dapat
kurasakan kalau putingku semakin mengeras dan menonjol akibat nafsu yang sudah
memuncak.
Beberapa saat aku dan Mang Dedi saling
berpagutan bibir sambil tangannya terus bergerak-gerak meremas dadaku. Sekuat
tenaga aku berusaha menahan desahan agar tak keluar dari mulutku karena aku tak
mau Mang Dedi menganggapku sebagai wanita gampangan yang mudah dirayu dan
digoda.
Tapi meski sekuat tenaga aku mencoba
menahan desahan dan desisanku sendiri, sedikit demi sedikit pula mulutku
terbuka dengan sendirinya.
"Mendesahlah Dek Liya! Gak ada yang
bakal mendengar kita" bisik Mang Dedi merayuku.
Dengan sudah tidak sabar lagi, Mang Dedi
kemudian dengan sigapnya menyingkap hijab lebar yang sedari tadi menjadi
penutup terakhir buah dadaku.
Aku cukup kaget merasakan angin dingin
tiba-tiba saja menyapu kulit dan pori-pori dadaku yang sudah terpampang polos
dihadapan Mang Dedi.
Namun tanpa mempedulikan keterkejutanku
tersebut, Mang Dedi merundukkan wajahnya dan membuka mulutnya untuk menciumi
puting payudaraku sebelah kanan secara tiba-tiba.
"Oouuggghhhhh.....sshhhhhhh"
desihku terlepas kencang tak dapat aku tahan.
Badanku menggelinjang, kedua kakiku
menegang dibagian betis. Sementara mataku merem melek menikmati sensasi yang
aku rasakan. Rasa geli dan nikmat terpancar begitu hebat dari puting buah
dadaku akibat permainan lidah Mang Dedi. Dia mencucupnya pelan seperti seorang
bayi, mengulum dan menjilatinya dengan sapuan lidah yang begitu hangat dan
basah.
Kuremas-remas rambut Mang Dedi. Kudekap
kepalanya menekan dadaku, kumajukan badan atasku ke depan wajahnya yang
terbenam hangat di gumpalan buah dadaku. Dibawah sana , telah kurasakan liang vaginaku basah
dan licin karena mengeluarkan cairannya dengan banyak. Bukti bahwa aku sudah
sepenuhnya jatuh dalam jurang syahwat yang tak berujung.
"Enak gak sayang??" Tanya Mang
Dedi menggodaku.
Aku membalasnya dengan sebuah senyuman dan
anggukan pelan, "Enakk Mas" ucapku berterus terang.
Pelan-pelan, rasa malu, rasa bersalah, dan
perasaan-perasaan penolakan lainnya malai terkikis dari dalam batin dan
pikiranku. Yang tinggal kini hanyalah aku seorang wanita normal yang belum
pernah terpuaskan hasrat birahinya, dan seorang laki-laki perkasa yang sibuk
mencumbuiku dengan penuh nafsunya.
Kami berdua telah lupa daratan, lupa
dengan norma-norma dan aturan agama serta sama-sama hanyut dalam lautan birahi
masing-masing.
"Ugghh... toketmu mantap sekali Dek
Liya" Ucap Mang Dedi melanjutkan aksi mesumnya pada buah dadaku.
Dengan mulutnya, Mang Dedi mulai
menggigit-gigit sekitar bulatan dadaku hingga meninggalkan sedikit jejak-jejak
merah. Gigitannya juga sekali-sekali hinggap di puting payudaraku hingga
membuatku semakin tak bisa mengontrol diri.
Kemudian tanpa memberi aba-aba sama
sekali, Mang Dedi menurunkan jilatannya yang tadi bermain di buah dadaku
menyusuri permukaan perutku yang ramping.
"Masshh.." kagetku memegang
kepalanya.
Mang Dedi menengadah menatapku,
"Kenapa sayang?" Tanya begitu polos.
"Mas mau ngapain?" Tanyaku keheranan.
Dia tertawa sebentar sebelum akhirnya
mengecup permukaan perutku, "Mau bikin kamu enak sayang. Percaya sama
Mas" balasnya singkat.
Tubuhku kemudian menggelinjang. Merasakan
mulut Mang Dedi yang ditumbuhi kumis tipis disekitarnya itu mulai bergerak
menciumi permukaan perutku. Napasnya yang mendengus-dengus hangat menerpa
kulitku sehingga membuat badanku kehilangan tenaga.
Dalam ketidakberdayaanku itu, Mang Dedi
semakin berani melancarkan aksinya dengan mulai mengelus-ngelus pahaku yang
masih tertutup oleh gamis berbahan satin yang bertengger di bagian pinggangku.
Mang Dedi sengaja turun dari atas sofa dan
bersimpuh di lantai memposisikan kepalanya tepat diatas perutku, sedangkan
tangannya dengan leluasa terus menjamahi area paha dan pantatku berkali-kali.
“Ssshhhh... Masshhh geliii” Desahku penuh
kenikmatan.
Pikiranku buntu, sementara kenikmatan kian
menggerogoti tubuhku. Antara sadar dan tidak, kurasakan tangan Mang Dedi
bergerak menarik baju gamis yang ada di pinggangku turun semakin ke bawah.
Mengerti dengan apa yang akan Mang Dedi
lakukan, aku pun mulai meringis mempersiapkan diriku untuk ditelanjanginya
sambil memejamkan mata. Dengan kedua tanganku, aku raih pinggiran sofa tempatku
duduk dan meremasnya dengan kuat.
Sambil terus berciuman penuh gairah,
perlahan-lahan aku mulai dapat merasakan baju gamisku terus turun melewati
bagian pantatku. Aku dengan reflek mengangkat badanku sedikit agar mempermudah
Mang Dedi melorotkan pakaian kebesaranku itu.
Hingga tak berapa lama kemudian, terpampanglah
tubuh mulus putihku yang selama ini terus aku tutupi dibalik pakaianku yang
serba tertutup. Aku tak menyangka kalau sekarang Mang Dedi sudah dapat melihat
ketelanjanganku walau belum utuh sepenuhnya.
"Kamu cantik sekali Dek Liya. Sudah
aku duga tubuhmu begitu mulus dan bersih seperti yang aku bayangkan selama
ini" Ucap Mang Dedi memuji badanku.
Aku tersipu malu dibuatnya. Badanku terasa
panas meski susana disekitarku begitu dingin karena hujan. Rasa dingin itu
mulai terasa membelai kulit paha dan selangkanganku yang masih ditutupi oleh
sebuah celana dalam tipis.
"Pahamu putih sekali Dek Liya. Boleh
aku menciumnya?" Bisik Mang Dedi sekali lagi membuatku merasa
dilambungkan.
Aku seketika itu juga mengangguk
menyetujuinya. Sudah tak dapat lagi aku berpura-pura tidak menginginkan apa
yang ingin dilakukan oleh Mang Dedi tersebut.
"Silahkan Mas! Lakukan
semaumu.." balasku bergetar.
Mang Dedipun tersenyum mendengar
jawabanku, dia mengecup bibirku sebentar sebelum akhirnya dia duduk bersimpuh
dilantai menghadap ke arah aku.
Dengan kedua tangannya, dia mencoba
membuka pahaku sedikit agar dapat mengangkang dan memperlihat selangkanganku
dengan lebih jelas.
"Indah sekali" Ucapnya yang
langsung membenamkan kepalanya di sela-sela selangkanganku.
Sensasi geli menjalar disekujur tubuhku
ketika kumis tipis di wajah Mang Dedi menusuk-nusuk kulit pahaku dibagian
dalam.
Sementara aku memutuskan untuk menutup
kedua mataku, karena tidak kuasa melihat bagaimana tubuhku yang suci itu
dicumbu oleh pria lain selain suamiku.
"Ooouggghhhh... Masssshh...
geliiih..." desahku panjang.
Aku tak kuasa menahan rasa geli itu, aku
menggeliatkan tubuhku sambil tetap memejamkan mata merasa jantungku pun semakin
tak kuat menahan sensasi ini.
Perlahan-lahan, dapat ku rasakan ciuman
Mang Dedi kini mulai mengarah semakin ke dalam mendekati bagian vaginaku.
Endusan-endusan nafasnya pun semakin hangat menerpa selangkanganku.
"Tubuhmu wangi sekali Dek Liya"
Ujar Mang Dedi sambil memberikan sebuah kecupannya tepat di bagian vaginaku.
"Oohhh... Masshh..... eemhhhh.."
Bibir dan mulutku berguman lirih. Di bawah
sana Mang Dedi
menciumi vaginaku dengan rakusnya meski masih tertutup oleh celana dalam yang
aku gunakan. Rasa nikmat menjalari sekujur tubuhku, serta nafsuku semakin
menggebu dibuatnya.
Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku
merasakan kenikmatan dicium di daerah selangkanganku sendiri. Selama ini tak
pernah suamiku memperlakukanku dengan lugas seperti ini sehingga tak dapat lagi
kutahan nafsuku.
Akan tetapi saat aku sudah semakin terbuai
oleh nafsuku tersebut, Mang Dedi tiba-tiba menghentikan gerakan merangsangnya
dan berdiri dihadapanku secara tiba-tiba.
Nampak napasnya juga ikut memburu saat
kulihat perutnya yang buncit itu naik turun dengan begitu cepat.
“Dek Liya..” panggil Mang Dedi setengah
berbisik.
Dia meraih daguku dengan sebelah tangan
dan mengangkatnya, akupun menoleh sambil mendongak ke arah Mang Dedi dengan
mulut yang terngaga.
“CUPPP!!” kecupannya mendarat di bibirku.
Dalam keadaan setengaj bernafsu itu, Mang
Dedi kemudian membimbing tanganku untuk menyentuh penisnya dibalik celana
pendek yang di pakainya. Aku berpura-pura menahan tanganku, namun Mang Dedi
menariknya dengan kuat hingga telapak tanganku akhirnya merasai batang penisnya
yang ternyata sudah mengeras dan menegang.
“Mmppphhh...” suaraku tertahan.
Mang Dedi meremaskan jariku di penisnya,
meskipun masih terbungkus oleh celana, aku dengan mudah dapat menggenggamnya
karena ukuran penisnya yang sangat besar dan terjiplak menonjol keluar.
Nafsuku bangkit meletup-letup membayangkan
betapa sebentar lagi aku akan merasakan benda sebesar ini bersarang dalam
vaginaku. Ingin rasanya saat ini aku membukai celana Mang Dedi sampai dia
telanjang dan merasakan kehangatan batang penisnya secepat mungkin.
Tapi aku berusaha menahan diri karena
akupun tak berani bersikap lepas di depan penjual sayur langgananku itu. Namun
bak terkena hipnotis, aku masih saja merabai penis Mang Dedi tersebut tanpa
menjauhkan tanganku.
“Sudah tegang!” Ucapku mengelus-eluskan
tanganku pada penis Mang Dedi sampai dia mengerang pelan.
“Tegang banget Dek Liya!” ucapnya terkekeh
meremas buah dadaku.
Liang vaginaku terasa berkedut-kedut
terangsang seperti terpompa untuk mengeluarkan cairannya. Bibir dan mulutku
bergumam lirih tak berhenti saat kami berdua saling mengelus dan merabai bagian
yang sangat sensitif untuk kami. Mang Dedi pada buah dada dan vaginaku,
sementara aku pada penisnya yang menegang dengan keras.
“Mau liat gak Dek?” bisik Mang Dedi nakal
padaku. Dia lagi-lagi menyempatkan menyium bibirku dengan hangat.
Aku hanya diam terpana, bahkan tak kuasa
mengangguk dengan pelan menginginkannya. Mang Dedi lalu bangkit berdiri lagi,
melepaskan celana pendek lusuhnya dengan gerakan yang cepat namun masih terasa
pelan dalam mataku.
Ku tatap nanar gerakan tangan Mang Dedi
yang membuka celananya turun satu persatu tersebut. Dengan perasaan yang
berdebar dan menunggu, aku akhirnya diperlihatkan dengan batang penis Mang Dedi
yang selama ini hanya bisa ku saksikan lewat foto yang dikirimkannya.
“Besar sekali!!” teriakku girang dalam
hati.
Itu pertama kalinya aku melihat penis
laki-laki lain selain suamiku. Perbedaannya sungguh terlihat nyata bukan pada
aspek ukuran besarnya saja. Namun juga bentuknya yang sedikit aneh dan lucu.
Batangnya sedikit membengkok dan ujung kepalanya tersembunyi dibalik sebuah
kulit yang terlihat seperti sebuah kulup.
“Kenapa??” tanya Mang Dedi terheran
melihat ekspresiku.
Aku menggeleng, “Gapapa” balasku
mengedarkan pandangan.
“Lebih gede dari punya suamimu ya pasti..”
ucap Mang Dedi terkekeh melihatku reaksiku.
Dia membimbing tanganku untuk menggenggam
penisnya lagi. Kugenggam penis itu sebentar. Terasa hangat, kenyal dan kencang.
Urat-uratnya bertonjolan keluar serta ada kedutan-kedutan mengalir didalamnya.
“Jauh lebih besar” Ucapku jujur begitu
saja.
Darahku jadi berdesir tiba-tiba dan
jantungku berdebar-debar setelah aku mengucapkan kata yang secara langsung
mengakui perbedaan antara suamiku dengan Mang Dedi itu.
"Dicobain dong sayang!" Bisik
Mang Dedi mengelus kepalaku.
Aku menatap heran tak mengerti maksudnya,
"Apaan Mas?" Tanyaku.
"Diemut..." bisiknya.
"Mas pengen diemut sama kamu"
bisiknya lagi.
Darahku berdesir mendengar permintaannya
yang sungguh sangat cabul itu. Aku tau kalau diluar sana ada wanita yang sengaja mengulum alat
kemaluan laki-laki untuk menambah kepuasan dalam bercinta.
Bahkan dulu suamiku juga pernah memintaku
melakukannya. Namun aku selalu menolak karena alasan tidak suka dan jijik.
"Gamau ah.. Jijik Mas!" Protesku
menjauhkan tangan.
Namun dengan cepat Mang Dedi menahanku,
"Mau dong Dek. Tadi udah aku cuci sebelum mampir kesini" ucapnya
mengelus-ngelus kepalaku.
Dalam keadaan ragu itu, Mang Dedi mencoba
menciumku seakan sedang membujukku untuk menuruti keinginannya. Bibirku di
pagut dengan begitu liar dan nakal sampai lidahnya menyeruak masuk ke dalam
rongga mulutku.
Tubuhku melemas rileks, yang ada malah
bibirku membalas pagutan Mang Dedi dengan hangat dan lembut. Aku mengulum
juluran lidahnya dan menjilat-jilat dengan lidahku. Disaat gantian lidahku yang
masuk ke mulut Mang Dedi, dia tidak kalah kuatnya menghisap.
Perasaanku jadi terlambungkan lagi. Serasa
melayang-layang di awan akibat cumbuan penuh nafsu Mang Dedi sementara
tangannya juga ikut meremas dan memainkan payudaraku.
Hebatnya lagi, tanganku yang sedang
menggenggam penis besar Mang Dedi bergerak mengikuti naluriku sendiri untuk
mengocok dan mengurutnya pelan-pelan.
Sehingga kami berdua sama-sama mendesah
lirih di sela-sela ciuman kami tersebut.
"Mas, kamu udah sering begini sama
wanita lain ya?" Ucapku spontan tiba-tiba terbawa perasaan.
Mang Dedi menatap heran padaku,
"Kenapa sayang? Mas gak sering kok" Jawabnya yang entah sebuah
kejujuran atau bukan.
"Gapapa Mas... Mas kayak
berpengalaman banget" balasku tersenyum menunjukkan gigi. Terus terang aku
cukup senang dengan jawaban yang diberikan oleh Mang Dedi tersebut.
"Kamu cemburu kalau aku sering
melakukannya dengan wanita lain Dek Liya??" Bisik Mang Dedi memeluk
tubuhku dan merapatkan badannya ke sofa
Aku menggeleng, "Engga tuh"
Ucapku mengecup bibirnya.
Mang Dedi kemudian membalas ciumanku
tersebut dengan hangat sambil kemudian mendorong tubuhku jatuh keatas sofa.
"Coba kamu bilang lagi kayak gitu
setelah merasakan ini" ucap Mang Dedi yang tiba-tiba menarik celana
dalamku.
Dengan gerakan yang cukup cepat, aku
merasakan Mang Dedi mulai menurunkan kain penutup selangkanganku yang berwarna
putih itu dari tempatnya.
Sehingga akhirnya akupun resmi
bertelanjang penuh di depan pria penjual sayur langgananku itu. Satu-satunya
benda yang menjadi penutup badanku hanyalah hijab lebarku yang masih terpasang
utuh di kepala.
"Aku masukin sekarang ya sayang"
Ucap Mang Dedi meminta izin padaku.
Aku mengangguk pelan menyetujuinya. Karena
sedari tadi liang vaginaku sudah berdenyut-denyut menantikan persetubuhan
diantara kami.
Maka ketika Mang Dedi membuka pahaku dalam
posisi telentang, aku tak menolak. Justru sengaja kubuka lebih lebar agar Mang
Dedi leluasa.
Dia mengusap-usap ujung penisnya di mulut
vaginaku yang sudah basah oleh cairan pelumas alami yang keluar dari liangnya.
Rasa hatiku sudah tak karuan menunggu proses masuknya penis besar yang sedari
tadi sudah membuatku kelimpungan.
"Aku sayang sama kamu Mas"
Ucapku memejamkan mata mengungkapkan perasaan yang sudah ikut menggebu di dada.
Mang Dedi lalu tersenyum memasukkan ujung
penisnya pada liang vaginaku, "Aku juga sayang kamu Dek Liya"
balasnya dengan penuh kepastian.
Kurasakan seluruh beban dalam pikiran dan
dadaku terangkat seiring masuknya penis Mang Dedi ke dalam liang vaginaku
sedikit demi sedikit. Bibirku merintih lirih merasakan bahwa vaginaku terlalu
kecil untuk menerima penisnya yang begitu besar.
"Pe--pelan-pelann.. Masshh" bisikku
sedikit menahan tubuhnya.
Mang Dedi tersenyum, "Memekmu sempit
luar biasa Dek Liya" ucapnya ikut mendesah.
Mang Dedi masih bergerak menekan pinggul
dan penisnya hingga kurasakan seluruh rongga dalam vaginaku penuh sesak. Ukuran
yang tidak main-main itu membuat dinding vaginaku terasa perih dan ngilu secara
bersamaan.
Aku mengejangkan pinggangku antara rasa
nikmat dan kesakitan, "Gakk.. muuatttthh... Masss....." lirihku
merasa tak siap.
Mang Dedi kemudian mengecup keningku,
"Sedikit lagi" bisiknya pada telingaku.
Mang Dedi memagut bibirku lagi. Kubalas
pagutan bibirnya itu dengan lebih hangat dan penuh perasaan. Kami lalu
berpelukan dengan posisi Mang Dedi yang sedikit menindihku memasukkan penisnya
dengan perlahan-lahan.
Persentuhan kulit dan kelekatan badan kami
itupun semakin terasa menimbulkan sensasi enak dan membuatku berangsur-angsur
merasa nyaman.
"UMMI! UMI NGAPAIN!!???"
"UMMI! UMI NGAPAIN!!???" Ucap
putriku Tasha.
Aku dan Mang Dedi terlonjak, sama-sama
kaget mendengar suara Tasha yang kencang memergoki kami yang baru saja memulai
persetubuhan terlarang ini.
Aku dengan sekuat tenaga mendorong tubuh
Mang Dedi dari atasku sehingga tusukan penisnya terlepas dari dalam vaginaku
begitu saja.
"Ca--caca kok udah bangun?"
Tanyaku bereaksi duluan mengambil baju gamisku yang berserakan di lantai.
Sungguh aku tergagap dan gemetar meski
hanya dipergoki oleh anakku sendiri saat itu.
"Caca pengen pipis Umi" ucap
Tasha mengusap matanya.
Dengan cepat aku kemudian menutupi tubuhku
dengan baju gamis sambil merapikan hijabku yang tampak tak beraturan. Aku juga
mengambil celana Mang Dedi dan menutup selangkangannya yang terbuka begitu saja
di depan anakku.
"Yasudah.. kamu mau Umi anterin ke
kamar mandi atau mau sendiri??" ucapku berusaha setenang mungkin.
"Mau dianterin Umi" Balas Tasha
singkat.
Aku kemudian melirik Mang Dedi untuk
memastikan dia tidak keberatan, "Anterin aja Dek" ucapnya tersenyum
mempersilahkan.
Aku kemudian berencana memakai baju
gamisku sebelum di tahan oleh Mang Dedi, "Gausah dipake bajunya" Ucap
Mang Dedi mengelus pantatku.
Wajahku jadi memerah dan panas merasa
sangat malu dibuatnya, namun aku tetap menuruti keinginan Mang Dedi entah
karena alasan apa.
"Aku tinggal sebentar ya Mas!"
Ucapku meminta ijin dan bangkit dari duduk.
Tapi kemudian Tasha bertanya, "Umi
sama om kok buka baju??" Lanjutnya dengan polos.
Aku kebingungan, kualihkan pandanganku ke
Mang Dedi dan meminta dia menjelaskan pada Tasha karena aku bingung menjelaskan
tentang apa yang tengah kami lakukan.
Mang Dedi tersenyum, "Umi sama Om mau mandi sayang" balasnya dengan santai.
Namun bukannya puas dengan jawaban itu,
Tasha malah kembali bertanya, "Kok Om mandi di rumah Caca?" Tanyanya
lagi.
"Iya. Om mau mandi rumah Om tadi, tapi lagi hujan ga bisa pulang" Balas Mang
Dedi menunjuk kearah jendela.
Tasha kemudian melihat keluar sebentar
sebelum akhirnya dia mengangguk mengerti, "Yaudah, Om
mandi di rumah Caca aja. Sini ikut!" Ajaknya pada Mang Dedi.
Mang Dedi lalu menggeleng, "Caca sama
Umi duluan aja" jawab Mang Dedi menolak.
Aku kemudian menghela nafas lega melihat
putriku tampak memang belum mengerti dengan apa yang tengah Uminya perbuat
dengan laki-laki lain selain Abinya itu.
Lalu dengan pelan-pelan aku beranjak
mengantar anakku tersebut ke kamar mandi sambil berusaha menenangkan jantungku
yang berdegub-degub dengan kencang.
"Umi. Caca suka sama Om itu" ucap Tasha tiba-tiba padaku.
Aku tersenyum, "Suka kenapa
sayang?" Tanyaku padanya.
"Omnya mau bikinin adek buat
Caca" jawab Tasha bersemangat.
"Oh ya?? Emang Omnya bilang
begitu??" Tanyaku lagi.
Tasha lalu menangguk, "Iya.. katanya Om kesini mau bantuin Umi bikinin adek buat Caca"
jawabnya polos.
"Ah masa sih" jawabku tak
percaya.
"Kaget ya kamu?" Ucap Mang Dedi
terkekeh datang di balik pintu memakai celana pendeknya tanpa baju.
Aku mendengus kesal, "Mas bilang
sembarangan sama Caca" balasku mencubit tangannya dengan gemas.
"Beneran kok" balasnya cuek.
"Tapi kan itu gak bener Mas!!" Balasku
menggerutu.
"Gak bener tapi kamu menikmatinya
bukan??" Rayu Mang Dedi sekali lagi.
"Siapa bilang?" Ucapku berbohong
membelakanginya.
Tapi kemudian Mang Dedi masuk ke kamar
mandi dan mengalungkan tangannya di pinggangku, "Aku yang bilang"
ucap Mang Dedi memelukku dari belakang.
"Mas ngapain sih! Ada Tasha!" Ucapku memprotes pelukannya
takut dilihat anakku.
Dan benar saja, Tasha kemudian bertanya.
"Om kok peluk Umi aku sih?" Tanya
heran.
"Karena Om sayang sama Umi kamu"
balas Mang Dedi dengan sangat santainya.
Seketika itu aku tersenyum, Ada perasaan senang hati
yang juga bercampur nafsu birahi setiap kali Mang Dedi memperlakukanku dengan
romantis dan penuh kasih sayang seperti ini.
Dia terlihat selalu sabar dan bisa
memanfaatkan momen sehingga aku tetap terjebak dalam buain kata dan tingkah
lakunya itu. Jauh berbeda dengan sifat suamiku yang selalu tergesa-gesa dan
terburu-buru.
"Ah.. Mas banyak gombalnya"
balasku mengalihkan kata-kata.
Dari belakang Mang Dedi berbisik di
telingaku, "Kamu ga sayang sama aku?" Tanyanya menggoda.
"Engga.. aku sayang sama
suamiku" balasku tidak sadar malah membawa-bawa suamiku di depannya.
Namun tampaknya Mang Dedi tak
mempermasalahkan, "Oh iya aku lupa" balasnya sambil terkekeh.
"Tapi gapapa deh sayangnya sama
suami, asalkan bercintanya sama aku" lanjutnya berkata nakal.
Entah bagaimana, aku justru malah merasa
setuju dengan apa yang dikatakan oleh Mang Dedi tersebut. Mungkin ini sebuah
pembenaran saja, namun kata "tidak apa-apa aku bercinta dengan Mang Dedi
asalkan hatiku masih menjadi milik suamiku" tersebut membuatku semakin
terangsang saja.
"Om ..
Caca mau tidur lagi nih" Ucap Tasha menghentikan momen kami sejenak.
"Yaudah Caca tidur gih. Om mau mandi dulu sama Umi" ucap Mang Dedi mengelus
pelan kepala Tasha.
Tapi keingintahuan anakku itu tidak
berhenti sampai disitu saja, "Kok mandinya barengan?" Tanyanya lagi.
"Iya. Biar mandinya bersih. Kamu
kalau mandi pasti bareng Umi juga kan ??"
Ucap Mang Dedi mengakali Tasha.
Beruntung setelah itu, Tasha tak lagi
mengeluarkan pertanyaan dari mulut kecilnya dan memilih pamit meninggalkan
kami.
Mang Dedi tertawa melihat gadis kecilku
itu dengan santainya melenggang menuju kamar tanpa sedikitpun curiga pada kami.
"Pinter banget kayak Uminya"
ucap Mang Dedi mencolek daguku.
"Iyalah. Kan anak aku Mas" balasku berbangga
diri.
"Tapi kasian dia gak punya temen
main. Kita buatin adik buat Tasha gimana?" Goda Mang Dedi mencium pipiku.
Aku kemudian tertawa, "Bilang aja Mas
pengen begituan" jawabku meledeknya.
"Biar sekali dayung, dua tiga pulau
bisa terlampaui Dek Liya" balasnya berpepatah.
Aku kembali dibuat tertawa oleh lelucon
khasnya tersebut. Kini rasanya aku benar-benar sudah nyaman berada dekat dengan
Mang Dedi sehingga tak ada rasa canggung lagi untuk membalas candaannya.
"Kalau gitu kita pindah ke kamar aja
Mas!" Ajakku dengan manja.
"Kamar yang mana?" Tanya Mang
Dedi heran.
Aku kemudian menunjuk kamar belakang yang
sebenarnya di peruntukkan untuk Tasha. Tapi karena anakku masih kecil, jadi dia
masih tidur bersamaku dan suami sehingga kamar belakang itu masih kosong.
"Yang sebelah sana !" Ucapku menunjuk.
"Yaudah kalau gitu kamu pegangan yang
kuat ya!!" Ucapnya tiba-tiba.
"Mas mau ngapain?" Tanyaku tidak
begitu mengerti.
Tapi lalu aku terpekik kaget. Mang Dedi
dengan cekatan membopong tubuhku bangkit. "Mas!" Ucapku refleks
merangkul lehernya karena takut terjatuh.
Tubuhku terangkat mantap dalam bopongan
tangan Mang Dedi yang melingkar dipunggung dan belakang lututku. Dengan santai
Mang Dedi kemudian melangkah berjalan keluar kamar mabdi⁷ sambil
menggendongku dengan gaya
"Bridal Style" itu.
"Hati-hati Mas" ucapku yang
sebenarnya merasa senang dan malu sekaligus.
Aku memejamkan mata, tubuh kami masih
sama-sama dalam keadaan telanjang, namun Mang Dedi dengan cueknya berjalan
membopongku dengan santai menuju kamar.
Saat-saat seperti inilah aku mulai merasa
kalau aku memang benar-benar jatuh hati dengan perlakuan Mang Dedi sebagai
laki-laki. Bahkan selama 6 tahun aku menikah dengan suamiku, tak sekalipun dia
menggendongku dengan mesra seperti ini.
Jadi pantas saja setiap perlakuan mesra
Mang Dedi padaku, selalu sukses membuat hatiku terasa seperti berbunga-bunga
dan berdegub kencang.
"Sampai sayang" Ucap Mang Dedi
mengecup bibirku.
Dia lalu dengan hati-hati menurunkanku
dari bopongannya ke kasur kecil yang ada di dalam kamar tersebut sebelum akhirnya
dia ikut memelukku jatuh.
Mang Dedi mengecup keningku, menciumi
kulit mataku yang terpejam, juga pipi dan daguku, "Kamu milikku hari ini
Dek Liya" Ucapnya membelai badanku.
Dalam pelukannya, gumpalan payudaraku
mengganjal dan menempel di dadanya. Pun begitu dengan penis Mang Dedi yang juga
mengganjal keras di perutku.
"Untuk hari ini doang?" tanyaku
cemberut.
Mang Dedi lalu merenggangkan pelukannya,
"Kalau bisa, aku mau selamanya" jawab Mang Dedi padaku. Ada nada keyakinan dan
kesungguhan hati dalam bicaranya, juga tatapan mata dan mimik wajahnya yang
begitu serius mengucap kata-kata itu.
"Tapi aku sudah jadi milik orang
Mas" ucapku manarik diri.
"Iya aku tau sayang. Aku yang hina
ini juga tak berhak mendapatkan kamu seutuhnya. Tapi izinkan aku memilikimu
untuk sebentar saja, bolehkan??" Ucap Mang Dedi tersenyum.
Aku senang mendengarnya dan mengangguk,
"Boleh Mas! Miliki aku hari ini!" Ucapku merapatkan badan pada Mang
Dedi.
Setelah itu Mang Dedi meraih tanganku dan
mengecupnya. Kami berbaring berpelukan sambil bercumbu dan berciuman hangat.
Bahkan lebih hangat dan lebih menggebu dari sebelumnya.
"Mas.. Aku mau ini!!" ucapku
menghentikan ciuman kami dan memegang penisnya.
Mang Dedi terheran, "Kamu mau ngapain
sayang?" tanyanya padaku.
"Mau nyoba ngemut." balasku
memberanikan diri.
Darahku berdesir mengucapkannya. Aku
memang punya rasa penasaran ingin mengetahui bagaimana rasanya mengulum dan
mencium kemaluan lelaki.
Tapi tadinya aku merasa jijik karena aku
tak pernah melakukannya sebelum ini. Dan sekarang tiba-tiba saja rasa
penasaranku muncul dan niat itu terlintas dalam benakku begitu saja.
"Kamu yakin Dek?" Tanya Mang
Dedi ragu.
Aku lalu mengangguk dan segera beringsut
ke bawah badan Mang Dedi yang terbaring di sampingku. Sejenak ku lepaskan
celana pendek Mang Dedi perlahan-lahan sambil jantungku berdegub-degub dan
pandanganku seperti dalam gerakan slow motion.
Setelah terbuka, penis besar Mang Dedi
tampak mencuat keatas dan menegang. Ku remaskan tanganku pada batang penisnya
yang tampak belum berdiri secara penuh sambil mempersiapkan jantungku yang
berdegub dengan sangat kencang.
"Besar sekali." batinku dalam
hati saat kurasakan penis besar itu semakin menegang di telapak tangan dan jariku.
Memegangnya saja sudah membuat vaginaku
berdenyut dan puting susuku terasa gatal. Apalagi setelah baunya yang khas
dengan aroma kelelakian itu menusuk ke dalam hidungku seiring aku mendekatkan
wajahku ke selangkangan Mang Dedi.
"Dicium aja dulu" bisik Mang
Dedi mengelus kepalaku yang terbungkus hijab.
Posisiku sekarang sudah diatas tubuh Mang
Dedi yang masih terbaring di kasur, sedangkan kepalaku sedikit merunduk
dibagian selangkangannya.
Aku menarik nafas sebentar, kumajukan
mulutku mendekati ujung penis Mang Dedi yang tampak jauh berbeda dengan milik
suamiku. Ujung penis Mang Dedi tampak tak memiliki kepala dan lucu seperti
memakai sebuah kulup.
"CUPPP!" Ciuman pertama ku
daratkan. Terasa hangat dan kenyal serta baunya yang begitu khas.
Kugenggam penis perkasa itu dan ku arahkan
lagi pada mulutku. Tapi kali ini aku menjulurkan lidahku dan menjilat kulit
yang ada di kepala penis itu. Aku kemudian mengikuti instingku dengan menjilat
batang penis Mang Dedi dari atas ke bawah seperti sedang memakan ice cream.
"Oougghh.." Mang Dedi mendesah
kegelian dibuatnya.
Aku semakin bersemangat mendengar
desahannya tersebut. Kubuka mulutku sedikit sambil ku masukkan ujung penisnya.
Ku jilat-jilat dan ku cium-ciumnya sebentar bagian atasnya sampai aku
benar-benar terbiasa.
Lalu Aku masukkan penisnya ke dalam
mulutku dengan pelan. Tapu rasanya cukup susah karena mulutku yang tipis dan
mungil itu memang tak bisa menampung penis sebesar itu masuk ke dalam mulutku.
"Buka kulupnya sayang!" Pinta
Mang Dedi padaku.
Aku bingung menatap ke arahnya,
"Kulup apa Mas?" Tanyaku bingung.
Mang Dedi kemudian mengarahkan tanganku
pada pangkal penisnya, "Tarik ke bawah coba" pintanya lagi.
Saat kuturuti kemauannya tersebut, kepala
penis Mang Dedi tiba-tiba mencuat keluar dari balik kulup kulitnya. Kepalanya
yang berbentuk jamur berwarna pink seperti milik suamiku ternyata tersembunyi
dibalik kulup itu.
"Kok lucu sih Mas!" Ucapku tak
dapat menahan rasa penasaran.
Saat kunaikkan kocokan tangaku, kepala
penis Mang Dedi menghilang dibalik kulupnya. Sedangkan saat aku tarik kebawah,
kepala itu kembali menyembul dengan begitu gagah.
Mang Dedi terkekeh sebentar, "Ini
kontol orang yang gak sunat Dek! Dijamin rasanya bakalan lebih enak dari yang
disunat" ucap Mang Dedi berbangga diri.
Aku kemudian teringat kalau Mang Dedi
adalah seorang non muslim. Jadi wajar saja kalau dia belum disunat seperti
suamiku.
"Ayo diemut lagi sayang!" Pinta
Mang Dedi sedikit tak sabar mengangkat pinggulnya ke atas dan kedua tangannya
menekan kepalaku ke bawah.
Perlahan-lahan, penis itupun masuk
menyusup ke dalam rongga mulutku dengan agak mudah karena kepalanya yang
lonjong dan licin.
Aku sedikit gelagapan, penis besar itu
hanya mampu masuk sepertiganya saja dan terlalu penuh di mulutku. Bahkan aku
reflek sekuat tenaga menahan agar gigiku tak sampai menyentuh batangnya.
"Oougghh... mulutmu hangat Dek
Liya" racau Mang Dedi memegangi kepalaku.
Dorongan nafsu dan naluri birahiku
kemudian menuntunku untuk bergerak secara sendirinya. Aku mulai menghisap
batang penis Mang Dedi yang berada dalam mulutku sambil tanganku memegangi
pangkal batang itu agar kepala jamurnya tidak bersembunyi.
"Ohh iyaahh... begitu sayangg"
ucap Mang Dedi tak behenti-henti meracau.
Penis Mang Dedipun semakin lama semakin
terasa membesar hingga membuat mulutku penuh sesak dan nafasku
tersengal-sengal. Aku pun tak mau kalah mulai lincah mengocoknya dengan
menaik-turunkan mulutku mengulum batang penis itu sampai mengkilat oleh air
liurku sendiri.
Tadinya aku berpikir kalau mengulum dan
menjilati alat kemaluan tersebut adalah sesuatu hal yang menjijikkan. Namun
setelah aku merasakannya sendiri, aku jadi tau kalau ada sebuah sensasi lain
yang memacu birahiku lebih cepat.
Aku mengulum penisnya lebih dalam lagi,
beberapa kali aku hampir tersedak dan melepas kulumanku. Namun rintihan dan
desahan yang dikeluarkan oleh mulut Mang Dedi membuatku semakin bertambah
semangat untuk melayaninya dengan mulutku. Sedangkan Mang Dedi hanya bisa
meracau meremas kepalaku dan mengacak-ngacak hijab yang tengah ku pakai.
"Ssshhh... pinterr kamuu Dek
Liyaah...Jago nyepong kamuuhh" erang Mang Dedi keenakan.
Kumainkan lidahku menjilati kepala jamur
Mang Dedi yang membongkong itu sampai aku sendiri tak tahan karena liang
vaginaku berdenyut menginginkan penis itu segera bersarang disana.
Karena itu, kulepaskan kulumanku, dan aku
bangkit berdiri. "Mas pengen" rengekku manja menjatuhkan badanku
diatasnya.
Mang Dedi tersenyum menggulingkan badanku
hingga kami bertukar posisi, "Maaf ya Sayang.. aku jadi keenakan"
Ucap Mang Dedi mencium bibirku.
Mang Dedi langsung menyambar wajahku
dengan ciuman liarnya. Lalu dikecupnya bibirku dan dipagutnya dalam-dalam.
Mulutku bahkan terasa megap-megap dalam
pagutan Mang Dedi itu dan menjadikan gairah kami sama-sama naik semakin
bergelora.
Kubalas pagutan Mang Dedi dengan bibir dan
mulutku tanpa rasa ragu atau sungkan. Sudah tak kupedulikan lagi siapa kami,
apa status dan hubungan kami. Yang kurasakan saat itu kami hanyalah sepasang insan
yang dikuasai nafsu birahi.
"Oohhh... Mmmmpp... Maashhhh.."
lirihku disela-sela ciuman kami.
Kuraih dan kugenggam penis besar Mang Dedi
dan mengocoknya dengan tanganku. Benda itu sudah basah dan licin oleh air
liurku sendiri sehingga kocokanku begitu lancar dan enak.
Beberapa menit berikutnya kami masih
saling cumbu dan saling membelai sebelum akhirnya Mang Dedi membuka kedua
pahaku.
Dan inilah saat-saat yang paling
kunantikan. Aku sudah sangat menginginkan penis besar yang tadi belum sempat
masuk seutuhnya itu kembali bersarang di dalam vaginaku.
Namun setelah kedua pahaku terbuka lebar
dan liang vaginaku siap dimasuki sodokan penis besar itu. Mang Dedi justru
malah merundukkan kepalanya menuju selangkanganku dan dengan liarnya dia
menjilat bibir vaginaku secara tiba-tiba.
"Oghhhhhhh ............ ouhhhhhhh...."
rintihku terkaget merasa seperti ada aliran listrik yang menyengatku.
Aku kaget dan tak siap menerima serbuan
kenikmatan yang tiba-tiba dan datang secara beruntun itu. Jilatan lidah Mang
Dedi di liang vaginaku itu sukses membuat badanku belingsatan, tubuhku
menggelinjang, dan aku mengalami rasa enak yang bertubi-tubi.
"Maashhh... Apaahh.. inii.. Enaakkk..
sekaliihhh"
Bibir dan mulutku bergumam lirih, tubuh
bugilku terbaring telentang dan pasrah, di bawah sana Mang Dedi dengan rakusnya menghisap-hisap
liang vaginaku dan menjilatinya.
Rasa geli tapi nikmat menjalari sekujur
tubuhku. Menambah nafsu birahiku yang sudah semakin menggebu saja.
"Ughhhhhh ..... ohhhhhhh ......
" mulutku melenguh dan bibirku mendesah panjang, mataku bahkan ikut
merem-melek dibuatnya
Belum pernah aku merasakan vaginaku dan
dihisap-hisap seperti ini. Ini adalah pertama kali dan sepertinya aku
benar-benar akan menyukainya.
Bahkan saking enaknya, aku dapat mendengar
bunyi ciuman dan hisapan Mang Dedi di vaginaku yang sudah sangat basah dan
banjir oleh cairan pelumasnya.
"Kclokkk...
mplokkk...mpppuuahhh...mmpaahh" begitulah sekiranya bunyi vaginaku yang
disedot dan dicium oleh Mang Dedi.
Aku semakin melayang, mataku sangat sayu
dan berat. Sampai akhirnya kurasakan desakan kenikmatan itu perlahan-lahan
terasa berkumpul dititik pinggangku dan memuncak berdenyut-denyut kencang di
area vaginaku.
Namun semakin gelinya ciuman Mang Dedi di
vaginaku malah semakin membuat rasa kencing itu makin memuncak.
Hingga akhirnya, "MASHHH!! AWASS!
AKKUU KENCIINGGG!!" Ucapku mendorong kepala Mang Dedi dan menjauhkan
badanku.
Namun telat, vaginaku telah berdenyut luar
biasa sambil menembakkan air yang begitu banyak seperti sebuah tanggul yang
jebol.
Disaat itulah. Kurasakan puncak kenikmatan
yang begitu luar biasa, rasa nikmat yang belum pernah kurasakan pada Liang
vaginaku sebelumnya.
Kemaluanku itu terasa berdenyut-denyut
hangat. Bahkan aku sampai terkencing-kencing dan kejang-kejang saat itu juga,
Pinggangku terasa sangat ngilu dan tulang-tulangku terasa ikut terlolosi dari
tempatnya.
Mataku ikut merem melek, bibirku sengaja
ku gigit untuk meredam rasa nikmat itu dan tanganku sekuat tenaga menggenggam
kain sprei kasur di sampingku.
"Gila!!" Ucap Mang Dedi menatap
tak percaya padaku.
Namun tak kupedulikan tatapannya tersebut
karena aku tengah berada diatas awang-awang yang begitu nikmat. Rasanya semua
beban yang selama ini tertahan setiap kali ku bercinta dengan suamiku lepas
begitu saja oleh mulut Mang Dedi.
"Enak sayang?" Tanya Mang Dedi
merayap keatas tubuhku dan meremas payudaraku.
"Jangan pegang Mas!! Ngiluu!!"
Protesku yang merasakan puting payudaraku sangat sensitif.
"Kamu belum pernah orgasme ya?"
Tanya Mang Dedi setengah berbisik.
Dalam keadaan masih tersengal-sengal itu
aku menatapnya pelan, "A--apa itu orgasme Mas?" Tanyaku dengan nafas
yang tak beraturan.
"Ini barusan yang kamu rasakan
sayang" ucap Mang Dedi mencolek vaginaku.
Aku terperanjat, "Awwhhhh.. ngilu
Mass" ucapku padanya.
Mang Dedi lalu terkekeh menciumi keningku
dengan begitu hangat, "Ini namanya orgasme sayang, puncak nikmat dari
segala kenikmatan bercinta" jawab Mang Dedi menjelaskan.
"Ini yang harusnya kamu dapatkan
ketika kamu bercinta, baik untuk perempuan maupun laki-laki" lanjutnya
lagi.
Dari penjelasannya itu barulah aku
mengerti apa yang dulu Mang Dedi katakan padaku. Bahwa pasangan dalam bercinta
itu harus merasa sama-sama puas antara lelaki dan wanita. Bukan salah satu
pihak seperti yang aku ketahui selama ini.
"Enak banget Mas, Orgasme"
ucapku merasa senang.
"Iya dong.. orang kalau belum pernah
orgasme gak bakalan tau nikmatnya bercinta itu kayak apa Dek Liya"
jawabnya lagi.
"Tapi kan kita belum melakukannya Mas" ucapku
malu-malu.
Mang Dedi terkekeh sebentar lalu beranjak
memeluk tubuhku, "Untungnya kita bisa merasakan nikmat itu berulang-ulang
kali Dek Liya" ucapnya mencium bibirku.
Bibir kami kemudian saling memagut lembut,
rasanya begitu enak dan menghipnotis alam bawah sadarku untuk kembali
mengangkat birahiku yang tadi sudah hilang menemui puncaknya.
Kulit tubuhku lagi-lagi merinding oleh
sensasi rasa yang sukar kugambarkan dengan kata-kata. Aku menggelinjangkan
badanku saat Mang Dedi meraba kembali bagian selangkanganku dengan tangannya.
Kurasakan tubuhnya semakin merapat ke
badanku. Dan ciumannya juga sesekali berpindah pada bagian pipi, dagu, dan
leherku yang tertutup oleh hijab yang anehnya tak mau aku lepaskan.
Dalam sekejap saja, nafsuku kemudian
bangkit kembali setelah dirangsang sebentar oleh mulut dan tangan Mang Dedi.
"Sshhh... aahhhh..." desahanku
kembali terdengar. Tubuhku lagi-lagi merasakan panas yang membuat butir-butir
keringat membasahi jidatku.
"Dek Liya sudah basah lagi??"
Ucap Mang Dedi berbisik di telingaku.
Dia terus bergerak ke bawah menciumi buah
dadaku. Sedangkan aku hanya bisa diam saja merasakan perlahan getaran birahi
itu mulai menguasai badanku sekali lagi. Batang penis Mang Dedi juga terasa
mengganjal di bawah sana .
Aku ingin menyentuhnya tapi tanganku lemas lunglai.
Sesaat kemudian. Mang Dedi semakin
beranjak ke bawah hingga sampai pada area selangkanganku. Dengan tangannya, dia
memegang kedua lututku dan melebarkan bukaan kedua pahaku.
Mang Dedi memposisikan badannya sejajar
dengan badanku sambil mengusap-usapkan ujung penisnya di liang vaginaku. Terasa
usapan itu begitu licin oleh cairan pelumas alami yang keluar semakin banyak
dari liang vaginaku.
Sudah tak kupedulikan lagi dosa yang akan
ku lanjutkan ini, aku hanya terbaring pasrah menanti apa yang akan dilakukan
Mang Dedi terhadapaku.
"Tahan ya sayang. Aku masukin"
ucap Mang Dedi bergetar.
Lalu pelan-pelan kurasakan kepala penisnya
itu menyusup hangat di bibir vaginaku. Ada
rasa nyeri dan sedikit perih yang lagi-lagi ku rasakan saat penis besar Mang
Dedi itu menyusup masuk dalam vaginaku.
Wajahku meringis, Kedua tanganku berusaha
menahan gerakan Mang Dedi yang masih memajukan pinggul memasukkan batang
penisnya.
"Masih sakit sayang?" Tanyanya
khawatir.
Aku mengangguk, "Pelan-pelan saja
Mas!" Pintaku padanya.
Kemudian dia balas mengangguk sambil
bergerak pelan menekan pinggul dan pantatnya semakin dalam.
Seinci demi seinci batang penis Mang
Dedipun mulai terasa menguak liang vaginaku yang sempit itu dan membuka jalan
yang lebar untuk dimasuki. Rasanya liang vaginaku penuh sesak dan gesekan penis
itu membuat dinding liang vaginaku terasa agak perih dan ngilu.
"Sempit banget punyamu sayang.. udah
kayak perawan" Ucap Mang Dedi mengecup keningku.
Terasa tangannya juga ikut memijat-mijat
buah dadaku pelan sehingga Aku hanyut kembali dalam cumbuan dan remasannya.
Aku dengan cepat lupa dengan rasa sakit di
vaginaku, bahkan rasa perih dan ngilu yang tadi kurasakan pun sudah menghilang
dan terlupakan begitu saja, berganti dengan gelora gairah yang kurasakan
mendesak-desak mencari penyaluran.
"Tahan sedikit lagi ya" ucap
Mang Dedi disela pagutannya. Telapak tangan kanannya dengan mesra mengelus dan
mendekap pipiku.
Aku mengangguk. Merasa nyaman dan rileks
dengan perlakuan romantisnya tersebut. Lalu dia mendorong pinggulnya sedikit
demi sedikit dengan hati-hati dan penuh perhatian.
Sambil terus mencumbui bibirku dan meremas
payudaraku, batang penisnya yang besar itupun melesak masuk masuk menembus
liang vaginaku seutuhnya.
"Oooouuuuugggggghhhhh...."
lirihku panjang.
Mataku memejam rapat, ada rasa nyeri
bercampur nikmat, saat kurasakan liang vaginaku begitu penuh dan sesak dimasuki
penis berukuran jumbo milik Mang Dedi.
Akan tetapi dengan pintarnya Mang Dedi
mengalihkan rasa sakitku dengan deraan rasa nikmat yang bertubi-tubi.
Dia menggerayangi badanku. Perut, paha dan
buah dadaku, semuanya tak luput dari belaiannya. Juga ciumannya yang penuh
nafsu di bibirku. Sehingga menyalakan gairahku dengan sangat cepat.
"Aghhhh.... Maasshhh" desahku
lagi.
Kupeluk badan Mang Dedi dengan erat,
kubelai punggungnya yang kekar itu, kubuka kedua pahaku lebar-lebar menerima
tusakan batang penisnya.
Aku terpejam-pejam. Mulutku ternganga merasakan
kenikmatan yang begitu hebat saat Mang Dedi mulai mengayunkan kocokan penisnya.
Terasa liang vaginaku kembang kempis seperti menghisap-hisap penis Mang Dedi
semakin ke dalam.
Entah karena aku sudah beberapa hari tak
bersenggama atau mungkin karena penis Mang Dedi yang lebih besar dan lebih
panjang dari punya suamiku. Aku begitu cepat merasakan vaginaku semakin becek
dan semakin lancar menerima penis besar itu.
Sekujur badanku berkeringat, butir-butir
peluh memercik dan meleleh dari wajah, leher dan sekujur tubuhku. Sedangkan
Mang Dedi sepertinya baru saja berada di puncak nafsunya.
"Ougghh mantepp" racau nya yang
mulai semangat
mengayun dan mengocokkan penisnya, semakin
lama semakin cepat.
Nafas Mang Dedi juga semakin memburu, ia
menciumi tubuh atasku penuh nafsu. Bibirnya mengerang-ngerang, dan penisnya
menyodok-nyodok liang vaginaku.
Ayunan-ayunan tubuh Mang Dedi membuat
badanku ikut berguncang-guncang secara berirama mengikuti kocokan dan sodokan
penisnya. Gumpalan payudaraku bergerak bergoyang-goyang sambil sesekali
dicucupi Mang Dedi bergantian.
Aku semakin blingsatan. Entah setan apa
yang memasuki saat itu sehingga nafsuku sangat menggebu-gebu tak dapat ku
hentikan.
"Masshh... puasiinn akuu
Mass..." bisikku berbisik pada telinganya.
Mang Dedi lalu menggenjotkan penisnya agak
cepat dan lebih dalam lagi menyodok liang vaginaku setelah mendengar
permintaanku tersebut.
Aku melenguh lirih, Sungguh enak dan tak
kubayangkan sebelumnya kalau kenikmatan yang aku rasakan dapat berkali-kali
lipat dari apa yang pernah kudapatkan dari suamiku.
Bahkan setiap gesekan penis besar itu di
dinding vaginaku membuat mulutku mengerang dan mendesah-desah keenakan.
"Ouhhh ..... ahhhh ..... Oghh
.....Maashh...“ desahku tak karuan.
Kudengar sesekali mulut Mang Dedi juga
ikut melenguh sambil dia menatapku dengan tatapan yang penuh gairah.
"Enak banget Dek Liya.. Ohhh .."
ucapnya.
Lalu dipagutnya bibirku dengan hangat
sambil pinggulnya tak berhenti mengayun menggenjot tubuh bawahku. Kubalas
pagutan bibirnya itu dengan tak kalah bernafsu karena aku mulai merasakan
kembali tanda-tanda puncak kenikmatan itu membayang.
"Mas....ohhh...Massss ..... "
desisku di telinga Mang Dedi.
"Iyah.. kenapa..sayang ..... ??"
bisik Mang Dedi dengan napas tersengal-sengal.
Kedua jemari tangan kami saling
mencengkram erat. Kelamin kami saling tertaut lekat, juga badan kami semakin
menyatu rapat. Nafas kami sudah terengah-engah dalam gelora nafsu dan gelombang
rasa nikmat tiada tara itu.
"Keluarkan di dalam ya, Mas, aku
ingin hamill" bisikku lagi, kuciumi leher dan pipi Mang Dedi.
Entah apa yang aku pikirkan, tapi saat itu
aku merasa sangat menginginkan Mang Dedi untuk menyemburkan spermanya dalam
vaginaku dan membuahiku saat itu juga.
Mungkin aku sudah sedikit gila karena
menginginkan pria lain menghamiliku. Tapi saat semakin aku membayangkannya,
semakin aku menginginkannya juga.
"Kamu benar-benar mau sayang?"
Ucap Mang Dedi terus menggenjotku dengan begitu kuatnya. Tubuhnya
tersentak-sentak dan berguncang kuat karena bergoyang menusuk tubuhku dengan
semakin liar dan binal.
"Ya Mas...lakukanlah Mas.... hamili
akuu" ucapku meyakinkannya. Dadaku berdegup tidak karuan dan nafsuku
dengan cepat semakin memuncak.
Mang Dedi juga mempercepat genjotan
penisnya memompa vaginaku, Nafasnya makin memburu pertanda dia juga mulai
merasakan puncaknya. Terasa penisnya makin dalam menyodok liang vaginaku
seperti menggila menggenjotku sekuat-kuatnya.
Dalam genjotannya tersebut. Akhirnya
akupun kembali merasakan liang vaginaku menyempit penuh sesak dan ngilu
berkepanjangan. Aku dengan kuatnya mencakar punggung Mang Dedi sambil menggigit
pundaknya saat puncak kenikmatan itu melandaku sekali lagi.
"MASHH... AKU ORGASMEEHH..." teriakku
dengan begitu kencang.
Kurasakan liang vaginaku membasah
bersamaan dengan memuncaknya rasa enak yang tak dapat kugambarkan itu. Badanku
serasa melayang-layang terbawa angin. Aku larut dan tenggelam dalam puncak
kenikmatan badai orgasmeku yang menghantam tubuhku untuk kedua kalinya.
Liang vaginaku terasa berkedut dan tak berhenti
berdenyut menjepit-jepit batang penis Mang Dedi.
"Oougghh.. aku juga mau keluar
sayang" ucap Mang Dedi semakin bersemangat.
Dia lalu meraih wajahku dengan sebelah
tangan dan mengangkatnya, aku menoleh dan mendongak ke arah Mang Dedi dengan
mulut ternganga merasakan sensasi nikmat itu, ia merundukan lehernya dan
wajahnya mendekat ke wajahku, mulut Mang Dedi menyambar mulutku, dihisapnya
lidahku dalam-dalam.
"Ouugghhh.. aku keluar sayang"
teriaknya melenguh geram.
Pada genjotan terakhirnya. Nafas Mang Dedi
mendengus kuat, mulutnya masih menghisap lidahku, batang penisnya dia benamkan
dalam-dalam dan terasa berdenyut kencang berkedut-kedut mengeluarkan
semburan-semburan cairan hangat yang berisi milyaran sel pembawa kehidupan baru
itu.
"CROOOTTTTT!!!! CROOOTTTT!!!
CROOTTTT!!!!! CROOTTT!! CROOTTT!!"
Hujan sore itu sudah reda saat aku
mengantarkan Mang Dedi keluar dari rumahku menuju motornya. Kami berjalan
bergandengan tangan menyusuri teras rumah layaknya pesangan kekasih yang tengah
dimabuk asmara .
Sebenarnya ada sedikit perasaan kecewa,
karena sudah saatnya kami kembali pada realita kami masing-masing. Mang Dedi
kembali menjadi penjual sayur langgananku, dan akupun kembali menjadi seorang
istri yang berlangganan di dagangannya.
“Aku pulang dulu Dik!” Ucap Mang Dedi naik
ke atas motornya.
Badanku sebenarnya masih lemas, vaginaku
pun masih terasa berdenyut-denyut dan ngilu ketika aku berjalan. Namun aku tak
rela melepas kepergian Mang Dedi begitu saja. Aku masih ingin berlama-lama
dengannya, masih ingin memadu kasih sampai batas waktu yang tak bisa ku
tentukan.
Tapi aku menahan diri untuk tidak
memberitahunya, “Hati-hati Mas!” balasku tersenyum.
Mang Dedi lalu mengangguk pelan, kemudian
dia memelukku dan memberikan kecupannya pada bibirku. Untuk sebentar, aku
membalas ciumannya tersebut sehingga kami saling pagut memagut bibir di depan
rumahku tanpa sedikitpun khawatir dengan keadaan sekitar.
“Sudah Mas! Nanti diliat orang..” Ucapku
menjauhkan badan.
Mang Dedi lalu mengangguk mengerti, “Lain
kali aku mampir lagi Dek Liya” ucapnya tersenyum menyalakan motor dan kemudian
berlalu menghilang dari pandanganku.
Setelah Mang Dedi pergi, kulangkahkan
kakiku masuk kembali ke dalam kamar. Kulihat anakku Tasha masih tertidur dengan
pulas dan kurebahkan badanku di sampingnya. Aku kemudian termenung menatap
langit-langit kamarku dengan perasaan lelah namun puas disaat yang bersamaan.
“Maafkan Umi, Abi..” Ucapku merasa
bersalah, tak kuasa membela diriku sendiri saat kulihat suamiku menatap
tersenyum dari dalam foto yang menggantung di dinding kamar.
Tapi perasaan bersalah itu tak bertahan
lama, karena aku dengan segenap hati meyakinkan diriku bahwa ini juga merupakan
kesalahan suamiku yang selama ini tak pernah membuatku puas dalam hal bercinta.
Jangankan untuk puas, tau bahwa wanita bisa orgasme saja tidak.
Aku pun tak bisa menahan diri untuk tidak
membuat perbandingan antara suamiku dan Mang Dedi. Mulai dari tutur kata,
perlakuan hingga caranya, Mang Dedi memang jauh lebih unggul dibandingkan
dengan suamiku.
Bahkan sampai saat ini saja, masih dapat
ku rasakan setiap rasa yang tersisa dalam tubuhku setelah persetubuhan
terlarangku dengan Mang Dedi itu. Masihku bayangkan bagaimana perkasanya tukang
sayur itu menggagahiku sehingga dapat membuatku terbang ke puncak kenikmatan
yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Masih pula aku merasakan bagaimana
cumbuan dan pelukannya yang begitu hangat itu membalut tubuh ranumku yang
kesepian ini.
“Lain kali aku mampir lagi Dek Liya..”
Kata Mang Dedi tiba-tiba saja terputar dalam benakku.
Aku mengulum senyum, seperti orang gila
berguling-guling diatas kasur dengan jantung yang berdebar-debar terus
mengingat wajah dan perkataan Mang Dedi itu. Senyum terus terpancar di bibirku
hingga membuat rahangku lelah membayangkan kalau hubungan terlarang kami masih
akan berlanjut.
“Ada
yang lagi seneng nih kayaknya.” kaget suara suamiku yang tiba-tiba sudah
berdiri di depan pintu.
Aku langsung terduduk membenarkan
ekspresiku, “Eh, Abi kapan pulang??” tanyaku tergagap.
“Baru aja nih” balasnya masuk ke dalam
kamar dan membuka baju. “Oh iya, Abi bawa sesuatu buat Umi” lanjutnya meraih
kantong celananya.
Suamiku tersebut lalu mengeluarkan sebuah
kotak kecil berwarna merah yang berbentuk seperti kotak perhiasan, “Apaan tuh
Bi??” tanyaku penasaran.
“Supriiseeeeeeee!!!” teriak suamiku
membuka kotak kecil itu. Didalamnya kulihat ada sebuah cincin emas yang
ukurannya lebih besar dari cincin pernikahanku.
Aku terlonjak kaget, antara senang dan
sedikit bersalah, “Buat Umi?” tanyaku ragu.
“Woiya dong. Masa’ buat cewe lain” balas
suamiku dengan sangat senang.
Tiba-tiba saja, air mataku menetes dengan
sendirinya. Satu persatu bulir-bulir air mata itu turun dalam kumpulan rasa
bersalah yang menyesaki dadaku. Lengkap dengan pemikiran bahwa aku telah begitu
jahat mengkhianati pria sebaik suamiku ini.
“Loh?? looh?? kok Umi nangis??” tanya
suamiku bingung.
Aku tak menjawab dan terus menangis.
Seolah sedang menyesali perbuatan yang sebenarnya secara sadar aku lakukan dan
benarkan. Tapi melihat bagaimana wajah lelah suamiku itu tersenyum tanpa tau
sedikitpun aku telah mengkhianatinya, membuat hatiku seperti terisis
perlahan-lahan.
Aku kemudian memeluk tubuh suamiku dengan
erat, “Maafin Umi, Bi!! Maafin Umi belum jadi istri yang baik buat Abi..”
Ucapku menangis tersedu-sedu.
“Umi sudah jadi yang terbaik buat Abi
kok!! Abi gak akan minta lebih” balas suamiku mengelus kepalaku.
Segera saja setelah itu ku hamburkan
badanku pada tubuh suamiku dan langsung kuciumi bibirnya. Suamiku terlihat
kaget dengan serangan ku tersebut namun dia tampak senang dengan caraku
menciumnya. Segala perasaan bersalah dalam hatikupun, aku coba tuangkan dalam
pagutanku seolah ingin menghilangkannya.
Tapi semakin dalam ciumanku pada suamiku
tersebut, semakin perih rasanya hatiku ketika teringat bahwa bibirku ini tak
lagi suci untuknya. Bibir mungilku ini telah dikotori oleh bibir pria lain
selain dirinya yang bahkan belum sempat aku cuci dan bersihkan.
“Maafkan aku Bi!” batinku terus memagut
suamiku.
Aneh rasanya aku malah tiba-tiba bernafsu
dan menggebu. Membayangkan bagaimana tadinya aku menggunakan bibir yang sama
ketika melayani tukang sayur langgananku tadi. Walau rasanya aku seperti
menghinakan suamiku sendiri, namun justru ada sebuah dorongan batin yang
membuatku semakin ingin melanjutkannya.
“Umi udah mandi??” tanya suamiku
menghentikan ciuman kami.
Aku lalu menggeleng membalasnya, “Belum
Bi!” jawabku singkat.
“Mandi bareng yuk!” ajak suamiku girang.
Jantungku tiba-tiba berdegub tidak karuan,
aku teringat dan takut kalau tubuhku masih menyisakan bekas-bekas ciuman Mang
Dedi yang pasti akan dilihat oleh suamiku jika kami mandi bersama, “Abi mandi
sendiri aja gih!” kataku menolak.
“Loh?? kok gitu?? Ayolah Mi!! kita gak
pernah mandi bareng loh..” bujuk suamiku masih bersemangat.
Aku menjadi sangat bimbang dibuatnya.
Kalaupun ingin menolak, aku harus menolak dengan alasan yang cukup kuat.
Sementara aku juga sedikit kasihan menolak ajakan suamiku tersebut karena aku
sendiri yang membangkitkan gairah bercintanya.
“Kalau gitu Umi duluan masuk ke kamar
mandi ya.. nanti Abi nyusul!!” Ucapku menemukan sebuah solusi. Aku akan melihat
dulu keadaan badanku sebelum memutuskan untuk mandi bersama suamiku atau tidak.
“Kok gitu Mi??” tanya suamiku heran.
Aku kemudian berdiri dan menggodanya, “Mau
mandi bareng apa enggak??” tanyaku padanya.
“Mau... mauu...” jawab suamiku
mengangguk-angguk girang menerima persyaratanku.
Aku kemudian meraih handuk yang
menggantung di bagian belakang pintu kamarku dan berjalan menuju kamar mandi
sambil menghela nafas dalam-dalam. Setibanya disana, aku dengan secepat kilat
melucuti baju gamis, hijab dan pakaian dalamku sehingga tubuhku benar-benar
telanjang.
Dari pantulan cermin yang ada di kamar
mandi, aku mencoba mematut seluruh bagian badanku untuk melihat apakah ada
bekas ciuman ataupun gigitan Mang Dedi disana. Beruntung setelah aku
berputar-putar melihatnya, hanya ada beberapa bekas merah pada bagian dadaku
yang terlihat seperti bekas gigitan nyamuk.
“Aman!!” batinku menghela nafas lega.
Setelah itu, kunyalakan keran shower air
hangat untuk mengguyur tubuhku sebentar sambil menghilangkan degub jantungku
yang seperti ingin meloncat keluar. Selang beberapa menit kemudian, badanku pun
akhirnya rileks dibawah kucuran air yang membuat nyaman itu.
“Umi curang!” Ucap suamiku yang tiba-tiba
masuk ke dalam kamar mandi.
Reflek saja aku tiba-tiba menutup bagian
dadaku takut bekas merah cumbuan Mang Dedi masih terlihat, “A--abi main masuk
aja!!” protesku padanya.
“Loh? Umi kenapa coba?? Abi udah pernah
liat semua masih aja ditutupin segala” balasnya mendekatiku.
“U--umi kan kaget Bi!” balasku masih tergugup.
Dalam kucuran air hangat yang mengguyur
badan kami berdua itu, suamiku kemudian memeluk tubuhku dari belakang dan
langsung menciumi leherku. Aku cukup dibuat kaget dengan serangannya tersebut
karena suamiku sebelumnya tidak pernah melakukannya.
“Umi seksi banget..” bisik suamiku memuji.
“Bihh..” desahku lirih.
Aku sedikit menggelinjang saat tangan
suamiku mulai menyentuh kedua payudaraku dengan pelan. Kupejamkan mataku
menikmati sensasi nikmat yang dialirkan dari puting payudaraku ke seluruh
bagian syaraf yang ada di tubuhku. Hatiku tiba-tiba menjadi senang,
jarang-jarang diperlakukan selembut ini oleh suamiku.
Air hangat terus mengguyur tubuhku yang
semakin rapat dengan badan suamiku. Dapat ku rasakan dibagian pinggulku penis
miliknya sudah menegang menekan-nekan dengan kuat bongkahan daging kenyal
pantatku.
Tak sampai disana saja, kedua tangan
suamiku kini bergerak ke bawah perlahan-lahan merabai bagian paha dan
selangkanganku. Beberapa kali pula rabaannya tersebut singgah dengan lembut di
bagian vaginaku.
“Disanahh Bi!!” pintaku lirih menahan
tangannya di vaginaku.
Seolah mengerti, tangan kanan suamiku akhirnya
bergerak nakal menggosok-gosok pelan bibir vaginaku yang basah oleh air hangat,
sedangkan tangan kirinya aktif menelusuri bagian perut dan payudaraku.
“Uhhh... eemmmhhhh” lenguhku tertahan.
Dari belakang suamiku menciumi pundakku
dengan kecupan-kecupan pelan yang terkadang berubah liar menjadi
hisapan-hisapan dan gigitan kecil ke bagian punggungku. Aku menjadi
terheran-heran dengan perubahan sikap suamiku tersebut. Begitu penasaran dimana
dia mempelajarinya.
“Abiihh.. koookk enakk sihh???” lenguhku
manja membalikkan badanku menghadapnya.
Seketika suamiku langsung menyambar
wajahku dengan ciuman liarnya bertubi-tubi. Aku bahkan sampai megap-megap
kehabisan nafas diantara guyuran air hangat dan ciumannya. Gairahku menjadi
sangat bergejolak naik hingga ku balas pagutan suamiku dengan bibir dan mulutku
tak kalah ganasnya.
Tak mau kalah dengan perlakuan suamiku
tersebut, aku pun kemudian menunjukkan kemampuan baruku dengan meraba-raba
bagian tubuh suamiku dengan tangan. Jemariku menyentuh penisnya yang menegang
sambil sedikit memberi pijatan-pijatan ringan di batangnya.
“Ouughh.. Mihh!!” giliran suamiku yang
melenguh nikmat.
Sekilas aku teringat dengan adegan
percintaanku bersama Mang Dedi dimana aku dengan beraninya mengulum penis pria
penjual sayur itu dengan mulutku. Rasanya aku ingin memberikan hal yang sama
pada suamiku agar keadaan menjadi imbang antara mereka dan tak ada perasaan
bersalah dalam hatiku.
Dengan secepat kilat aku kemudian
melepaskan ciumanku pada bibir suamiku dan langsung bertekuk lutut di hadapan
selangkangannya.
“U—umi?” suamiku terheran.
Belum sempat dia mencerna apa yang akan
aku lakukan, aku langsung menyambar dan menggenggam penisnya lalu ku kocok
dengan pelan-pelan sambil kuciumi kepala batangnya.
“Ouughhh..” Badan suamiku menggelinjang
dan mulutnya mengerang.
Aku mendongakkan wajahku ke atas melihat
ekspresi suamiku yang merem melek keenakan. Kubuka mulutku dengan lebar dan
kuarahkan penis suamiku tersebut ke dalam kulumanku hingga semuanya amblas tak
bersisa.
“Ouuhh gilaa.. Umiiihh!” racau suamiku
memegangi rambutku.
Karena ukuran penis suamiku yang kecil,
aku dengan begitu mudah mengulum penisnya lebih dalam dan dengan bebas
menggerakkan lidahku bermain-main diseluruh batangnya. Suamiku dengan sangat
bernafsu ikut menggenjotkan penisnya dalam kulumanku yang terasa sangat licin
dan basah.
“Enakk bangettt Umiii!!!” desah suamiku
tak henti-henti.
Suamiku tampak sangat menikmati kulumanku
tersebut hingga penisnya terasa makin menegang dan membesar dalam mulutku.
Kuhisap-hisap dengan kuat seluruh batangnya tersebut seperti mengharapkan
sesuatu keluar dari sana .
Selang tak berapa lama kemudian, akupun
merasakan gairahku sudah tak bisa di tahan lagi. Vaginaku terasa sudah
berkedut-kedut minta dimasuki oleh sesuatu. Dan dengan cekatan aku merayap naik
pada tubuh suamiku dan mendorongnya pelan di closet duduk yang ada disana.
Suamiku menurut saja saat ku raih batang
penisnya yang kecil dan menegang sangat keras itu sambil ku arahkan pada liang
vaginaku. Mata suamiku nanar melihat aku yang seperti kerasukan setan ingin
segera menuntaskan birahi ini.
“Umi masukin ya Bi!” ucapku meminta izin.
Kuturunkan sedikit pinggul dan pantatku ke
ujung penisnya dengan sedikit tergesa-gesa karena dorongan nafsu yang begitu
kuat. Entah kenapa rasanya aku sangat bernafsu saat ini dan menuntut
penyelesaian secepat mungkin.
“Aaaachhhh...” kami berdua mendesah
bersama saat aku menurunkan pinggulku lebih ke bawah lagi.
Batang penis suamiku itu melesak masuk
seluruhnya dengan sangat mudah karena ukurannya yang kecil. Sedangkan vaginaku
sudah sangat licin, hangat dan basah oleh cairan pelumas yang keluar begitu
banyak dari liangnya.
Beberapa detik aku hanya diam menikmati
sensasi tusukan batang suamiku tersebut. Walau tak sepenuh dan sesesak saat
dimasuki penis Mang Dedi, namun rasanya cukup mengisi vaginaku yang masih punya
daya jepit yang lumayan kuat itu.
“Umii makin pinter bikin Abi enak
sekarang!” Puji suamiku meraih kedua payudaraku.
Aku tersenyum mencium bibirnya, “Abi juga
tumben ga buru-buru..” balasku menggoyangkan pinggul.
Suamiku meringis merasakan goyangan
pantatku yang kemudian kupompa dengan pelan-pelan. Posisiku yang saat ini
berada diatas dan seperti menunggangi kuda itu, membuatku merasakan kenikmatan
luar biasa setiap kali aku bergerak.
Tusukan suamiku itu semakin terasa nikmat
karena aku dapat dengan leluasa mengarahkan bagian-bagian dalam liang vaginaku
yang paling menimbulkan rasa nikmat saat tersentuh penis suamiku.
“Abihh.. Ohhhh.. Bii!!” desisku semakin
bersemangat.
Badanku duduk di atas badan suamiku,
sedang pinggul dan pantatku terus kuayunkan mengocok liang vaginaku dengan
penis miliknya. Bunyi gesekan kelamin kami yang basahpun terdengar berkecipak
karena cairan vaginaku sudah sangat banyak meleleh keluar.
Namun sayang, baru sekitar dua menitan aku
menggenjotkan vaginaku dengan penuh semangat. Nafas suamiku sudah
mendengus-dengus tak beraturan pertanda dia akan keluar sebentar lagi. Aku
sudah menduga akan seperti ini jadinya sehingga akupun tak terlalu kecewa
mengetahui suamiku tersebut akan ejakulasi.
“Umiihh.. Abii keluarrr” teriaknya begitu
kencang meremas payudaraku dengan begitu kuat.
Tapi entah kenapa tubuhku tiba-tiba
bergerak secara sendirinya mencabut tusukan penis suamiku seperti tidak rela
kalau cairan itu masuk kesana. Alih-alih keluar di dalam, suamiku memuntahkan
spermanya di badanku dengan sangat banyak dan berkali-kali lipat dari biasanya.
“CROOTT!!! CROTTT!! CROTTT!!! CROOTTTTT!!”
Sekitar empat tembakan kuat keluar dari
ujung penis suamiku sambil diiringi tembakan-tembakan kecil setelahnya. Kupeluk
dan kudekap erat badan suamiku agar dia dapat menikmati puncak kenikmatannya
dengan sempurna. Kurasakan betul, penis suamiku yang terhimpit di perutku masih
berkedut-kedut memuntahkan spermanya.
Suamikupun kemudian langsung lemas
terduduk dan tak bertenaga.
“Apa yang aku lakukan??” batinku.
Aku sadar tidak mengizinkan sperma suamiku
masuk ke dalam liang vaginaku setelah aku teringat bahwa didalamnya sudah ada
benih Mang Dedi yang masuk lebih dulu. Entah apa yang aku pikirkan, tapi
tubuhku seolah berkata kalau aku tak ingin dibuahi untuk sementara waktu selain
oleh benih Mang Dedi.
“AKU SUDAH GILA??!!!”
Komentar
Posting Komentar