Langsung ke konten utama

Perubahan Dalam diriku 3


Kami kembali berjalan ke ruang tamu sambil sedikit berbincang tentang kelucuan Tasha dan tingkah lakunya yang imut. Mang Dedi juga tak kalah senangnya mengetahui kalau anakku tersebut bisa dengan cepat akrab dengan dirinya.

Kami kemudian mengobrol panjang lebar sambil sesekali dibarengi dengan candaan dan gombalan. Suasanapun menjadi sudah cair karena Mang Dedi lagi-lagi menunjukkan keahliannya dalam menarik lawan jenis
"Jadi pengen punya anak" ungkap Mang Dedi tertawa.

Aku tau kemana arah dari becandanya itu, namun aku memilih untuk tidak terlalu meladeninya, "Cari istri Mas" balasku berdehem.
"Gak ada yang mau sama penjual sayur kayak saya. Apalagi udah tua begini" balasnya merendah.
 "45 masih belum terlalu tua kali Mas" jawabku tidak setuju.

"Tetep saja Dek Liya. Lagian saya ini minoritas, susah kalau nyari pasangan. Ada yang pas, tapi ga seiman. Ada yang seiman, tapi gamau sama saya." Tawa Mang Dedi pecah.


Aliya


"Ah Mas bisa aja merendahnya" ucapku meledek.

Mang Dedi masih saja tertawa, "Untung saya ketemu sama Dek Liya" ucapnya lagi.
"Kok gitu?" Tanyaku penasaran.
"Iyalah. Dek Liya orangnya baik. Ga pernah mandang rendah ke saya" jawabnya memujiku.
Aku mengulum lidahku tersenyum karenanya, "Gombal banget" balasku singkat.

Saat itu, ku mendapati kalau sesekali mata Mang Dedi melirik ke arah dadaku. Malu rasanya di tatap seperti itu oleh laki-laki lain selain suamiku. Namun kupilih membiarkannya saja karena sebetulnya kami sudah pernah melakukan hal yang lebih dari sekedar pandang memandang

"Emangnya Mas pengen punya istri yang kayak gimana?" Lanjutku bertanya.

Mang Dedi tampak diam sejenak sebelum akhirnya dia memberanikan diri menjawab, "Maaf kalau saya lancang, tapi saya pengen punya istri yang seperti Dek Liya. Wajahnya, sifatnya, badannya, suaranya. Semuanya saya pengen" ucapnya berterus terang.

Aku tertegun oleh jawaban Mang Dedi, rasa malu yang amat sangat tiba-tiba timbul dalam diriku.
Terasa wajahku tebal dan panas seketika itu juga. Akan tetapi tak dapat di pungkiri, perasaan bangga juga ikut menyeruak dalam hatiku.

Aku diam sejenak, menatap ke arah Mang Dedi yang juga menatapku dalam diam. Dalam tatapannya itu, tersirat dengan sangat jelas kalau dia benar-benar jujur menginginkan aku.
Tapi akalku sadar, "Ini salah Mas" ucapku menunduk saat dia beranjak mendekat padaku.

Aku seperti kehilangan tenaga dan lemas saat itu juga. Bukan karena aku kena guna-guna atau semacamnya. Tapi karena aku sadar kalau aku sudah tak dapat menghindar lagi.

Aku berniat menolak. Tak mau kembali mengkhianati suamiku lebih dari sebelumnya. Namun perasaanku untuk menghalangi semua ini terhalang oleh perasaan aneh yang sukar untuk aku jelaskan dengan kata-kata.

"Dek Liya" panggil Mang Dedi setengah berbisik menghampiriku.

Seolah terpanggil, aku mengangkat wajahku perlahan-lahan menghadapnya. Wajah kami berada begitu dekat hingga terlihat jelas keseriusan dalam raut Mang Dedi.

Mataku kian terasa berat saat wajah Mang Dedi semakin mendekat kearahku. Aku akhirnya memejamkan mata, menandakan bahwa aku telah merelakan segala tindakan yang ingin Mang Dedi lakukan kepada ku.

Saat itulah, Bibir kamipun kemudian bersatu saling menemukan dengan mesra. Meski dalam perasaan yang tak jelas dan keliru dengan tindakan ku itu, naluri dengan cepat mengambil alih tubuhku untuk melangkah maju.

"Masshhh..." ucapku dengan lirih.
Nafas ku semakin tidak teratur akibat perbuatan Mang Dedi. Aku membiarkan tubuhku itu di peluk dan diraba olehnya tanpa ada tindakan untuk memprotes sama sekali.

Aku hanya merasa kalau saat ini tubuhku seperti berada di awang-awang ketidakpercayaan karena merasa suka di dekap dengan lembut oleh laki-laki lain selain suamiku.

Tangan Mang Dedi juga tak melepaskan peluang untuk terus meraba-raba ke arah punggungku seperti sedang mencari sesuatu disana. Dalam keadaan bersandar itu, Tanganku pun tanpa disuruh memeluk leher Mang Dedi dengan kuatnya seakan tak mau lepas dari sana.

Agak lama juga rasanya kami berciuman penuh gairah saling melumat satu sama lain. Ditambah dengan suasana dingin dan hujan yang begitu lebat diluar sana, semakin membuatku bernafsu dan lupa diri dengan statusku.

"Drrrttttttttttt...." suara resleting gamisku terdengar berbunyi. Ternyata sedari tadi, benda itulah yang dicari oleh Mang Dedi dibagian punggungku.

Dengan penuh kehati-hatian, Mang Dedi terus mencium keningku, hidungku, pipiku, sebelum akhirnya dia berhenti sejenak.

"Mas buka ya sayang??" ijinnya berkata lembut padaku.

Aku terdiam sebentar, detak jantungku berdegup sangat kencang. Perasaanku tidak karuan. Antara takut dan menginginkannya.

Tapi aku mengangguk pelan. Dalam hati aku berkata kalau semua sudah terlanjur. Pilihannya hanya tinggal menikmati saja.

Mang Dedipun tersenyum. Dia menatapku dengan tatapan penuh nafsu hingga seluruh bulu kudukku terasa berdiri.

Seiring dengan tatapannya yang tajam itu, dia menarik sedikit demi sedikit pinggiran gamisku ke arah bawah melewati pundakku.

Aku memajamkan mata tak berani melihat bagaimana saat ini aku tengah dilucuti oleh pria yang bukan suamiku tersebut.

"Cantik sekali" Ucap Mang Dedi mengomentari.
Suasana ruang tamu rumahku benar-benar terasa dingin menyapu setiap pori-pori yang ada di tubuhku. Diluar sana, hujan turun begitu lebat tak menampakkan tanda-tanda untuk berhenti.

Akan tetapi semuanya berbalik dengan keadaanku saat ini. Karena bukan kedingingan, aku justru malah merasa panas. Panas bercampur nafsu yang terus membara membakar birahi hewaniahku.

"Cantik sekali." komentar Mang Dedi berbisik di telingaku.

Meski masih terhalang oleh hijab yang melilit di kepala, aku dapat merasakan dengan kuat hembusan nafas panas Mang Dedi seperti meniup telinga dan bagian kudukku. Nada suaranya yang bergetar agak tertahan itu menandakan kalau dia sendiri tidak tenang dan sedang dalam perasaan yang menggebu.

"Jangan diliatin!!" protesku menutup dadaku dengan hijab lebar yang tengah ku pakai.

Aku sebenarnya malu, wajahku memanas atau mungkin saja memerah. Kali pertama membiarkan tubuhku terbuka di hadapan laki-laki lain selain suamiku . Tapi lagi-lagi aku terdiam, menggigit bibir bawahku sendiri untuk meredam rasa yang timbul akibat ditatap nanar oleh si penjual sayur itu.

“Kamu gak perlu malu Dek Liya. Tubuhmu indah, sayang kalau tak ada yang melihatnya” Kata Mang Dedi dengan lembut.

Mang Dedi kemudian mendekap tubuhku, bibirnya beraksi menciumui bagian belakang telingaku yang tertutup hijab itu sambil meniupkan nafasnya berkali-kali. Aku terdiam, badanku luruh bersandar pasrah diatas sofa yang kami duduki itu.

Sejenak Mang Dedi berhenti, "Biar adil, saya juga buka deh." ucapnya seolah ingin membujukku.
Mang Dedi seakan tau bahwa aku masih memiliki keragu-raguan yang membayang. Dia lalu berdiri, membuka kaos yang digunakannya hingga terlepas dari tubuhnya yang gempal itu. Aku seketika memalingkan wajahku dari sana, tak berani menatap tubuh laki-laki lain yang bertelanjang itu.

"Sudah adilkan?" Ucapnya terkekeh.

Aku kemudian mengangguk pelan. Mungkin ini yang dimaksud adil karena sekarang kami sama-sama bertelanjang dada. Bedanya, aku masih memakai BH dan hijab lebarku masih menutup sempurna bagian dadaku.

“Jangan malu-malu lagi dong kalau gitu!” Pinta Mang Dedi padaku.

Aku mengulum senyum, hatiku berbunga-bunga dengan cara Mang Dedi membujukku. Entah kenapa, rasanya aku seperti diperlakukan layaknya seorang gadis perawan yang baru saja mengenal apa itu cinta.

“Iya.. gak malu lagi” Jawabku lirih berdebar-debar.
"Yaudah sini cium aku coba" Goda Mang Dedi mendekatkan wajahnya padaku.
Aku menepuk dadanya, "Dasar gombal" balasku kemudian memegang kedua belah pipinya.

Tanpa ragu, aku memajukan bibir mungilku untuk menyentuh bibir kasarnya sekali lagi. Mulut kami bersatu dengan cepat, kembali berciuman penuh nafsu dengan saling melumat. Entah untuk keberapa kalinya juga aku berciuman dengan Mang Dedi.

Namun setiap kali bibir kami itu bersentuhan, rasa dan sensasi yang aku rasakan juga ikut berubah. Ditambah dengan tekstur bibirnya yang kasar dan tebal itu, membuatku suka mengulum bibirnya berkali-kali.

“Mmpppphh...” aku mendesah lirih.

Sedang kunikmati lidahnya yang menjelajah di mulutku, tahu-tahu telapak tangan Mang Dedi sudah beraksi menyusuri setiap lekuk pada tubuhku. Aku merinding saat kurasakan tangannya yang kasar itu bergerak pelan-pelan, mengusap sepanjang lenganku yang putih tanpa ditumbuhi bulu-bulu itu.

Kami terus berciuman, hanya desahan dan suara lirihku saja yang sesekali terdengar di sela-sela derasnya hujan yang sedang turun.

Perlahan-lahan gerakan dan usapan Mang Dedi tersebut bergerak semakin liar dengan menyusuri setiap inci tubuh atasku yang sudah terbuka itu.

Tangan kirinya meremas lembut bagian tepi punggungku hingga turun merambat ke daerah pinggang. Tak lupa bagian pantatku yang membulat itu di remas-remasnya sebentar penuh semangat sambil tangan satunya lagi menjalar mengusap perut rampingku.

“BH nya Mas buka ya Dek!” Ucap Mang Dedi berbisik menghentikan ciuman kami.

Belum sempat aku menjawab, tangan-tangan cekatan miliknya itu menyusup kebagian punggungku dan meraih pengait BH ku. Aku hanya diam, bingung tak tahu harus melakukan apa, menolak aku tak mau, tapi membantunya aku malu.
“Mas gak liat kok!” Rayu Mang Dedi melepas BH berwarna hitam yang tengah ku pakai itu.

Aku memejamkan mata, menarik ujung hijab lebarku ke bawah agar gumpalan daging kembarku tak sampai terlihat oleh Mang Dedi. Tapi Mang Dedi malah merengsek sedikit maju, hingga aku tersandar kembali ke sandaran sofa.
“Awwwhhhh!!!” pekikku kaget.

Kurasakan tangan kasar Mang Dedi menyelusup kebalik hijabku. Tangannya meraba pelan buah dadaku yang sudah tak memakai penutup itu, menyentuh putingnya dengan usapan-usapan halus dan sesekali meremasnya dengan lembut.
“Mashh.. Jangan dipeganngg” desahku mencoba setengah-setengah menahan tangannya.

Perasaanku menjadi campur aduk, telapak tangannya yang besar dengan mudah mencakup keseluruhan buah dadaku karena ukurannya yang memang pas-pasan. Bahkan dalam remasannya tersebut dapat kurasakan kalau putingku semakin mengeras dan menonjol akibat nafsu yang sudah memuncak.

Beberapa saat aku dan Mang Dedi saling berpagutan bibir sambil tangannya terus bergerak-gerak meremas dadaku. Sekuat tenaga aku berusaha menahan desahan agar tak keluar dari mulutku karena aku tak mau Mang Dedi menganggapku sebagai wanita gampangan yang mudah dirayu dan digoda.
Tapi meski sekuat tenaga aku mencoba menahan desahan dan desisanku sendiri, sedikit demi sedikit pula mulutku terbuka dengan sendirinya.

"Mendesahlah Dek Liya! Gak ada yang bakal mendengar kita" bisik Mang Dedi merayuku.
Dengan sudah tidak sabar lagi, Mang Dedi kemudian dengan sigapnya menyingkap hijab lebar yang sedari tadi menjadi penutup terakhir buah dadaku.

Aku cukup kaget merasakan angin dingin tiba-tiba saja menyapu kulit dan pori-pori dadaku yang sudah terpampang polos dihadapan Mang Dedi.
Namun tanpa mempedulikan keterkejutanku tersebut, Mang Dedi merundukkan wajahnya dan membuka mulutnya untuk menciumi puting payudaraku sebelah kanan secara tiba-tiba.

"Oouuggghhhhh.....sshhhhhhh" desihku terlepas kencang tak dapat aku tahan.

Badanku menggelinjang, kedua kakiku menegang dibagian betis. Sementara mataku merem melek menikmati sensasi yang aku rasakan. Rasa geli dan nikmat terpancar begitu hebat dari puting buah dadaku akibat permainan lidah Mang Dedi. Dia mencucupnya pelan seperti seorang bayi, mengulum dan menjilatinya dengan sapuan lidah yang begitu hangat dan basah.

Kuremas-remas rambut Mang Dedi. Kudekap kepalanya menekan dadaku, kumajukan badan atasku ke depan wajahnya yang terbenam hangat di gumpalan buah dadaku. Dibawah sana, telah kurasakan liang vaginaku basah dan licin karena mengeluarkan cairannya dengan banyak. Bukti bahwa aku sudah sepenuhnya jatuh dalam jurang syahwat yang tak berujung.

"Enak gak sayang??" Tanya Mang Dedi menggodaku.

Aku membalasnya dengan sebuah senyuman dan anggukan pelan, "Enakk Mas" ucapku berterus terang.

Pelan-pelan, rasa malu, rasa bersalah, dan perasaan-perasaan penolakan lainnya malai terkikis dari dalam batin dan pikiranku. Yang tinggal kini hanyalah aku seorang wanita normal yang belum pernah terpuaskan hasrat birahinya, dan seorang laki-laki perkasa yang sibuk mencumbuiku dengan penuh nafsunya.

Kami berdua telah lupa daratan, lupa dengan norma-norma dan aturan agama serta sama-sama hanyut dalam lautan birahi masing-masing.

"Ugghh... toketmu mantap sekali Dek Liya" Ucap Mang Dedi melanjutkan aksi mesumnya pada buah dadaku.

Dengan mulutnya, Mang Dedi mulai menggigit-gigit sekitar bulatan dadaku hingga meninggalkan sedikit jejak-jejak merah. Gigitannya juga sekali-sekali hinggap di puting payudaraku hingga membuatku semakin tak bisa mengontrol diri.

Kemudian tanpa memberi aba-aba sama sekali, Mang Dedi menurunkan jilatannya yang tadi bermain di buah dadaku menyusuri permukaan perutku yang ramping.

"Masshh.." kagetku memegang kepalanya.
Mang Dedi menengadah menatapku, "Kenapa sayang?" Tanya begitu polos.
"Mas mau ngapain?" Tanyaku keheranan.

Dia tertawa sebentar sebelum akhirnya mengecup permukaan perutku, "Mau bikin kamu enak sayang. Percaya sama Mas" balasnya singkat.

Tubuhku kemudian menggelinjang. Merasakan mulut Mang Dedi yang ditumbuhi kumis tipis disekitarnya itu mulai bergerak menciumi permukaan perutku. Napasnya yang mendengus-dengus hangat menerpa kulitku sehingga membuat badanku kehilangan tenaga.

Dalam ketidakberdayaanku itu, Mang Dedi semakin berani melancarkan aksinya dengan mulai mengelus-ngelus pahaku yang masih tertutup oleh gamis berbahan satin yang bertengger di bagian pinggangku.

Mang Dedi sengaja turun dari atas sofa dan bersimpuh di lantai memposisikan kepalanya tepat diatas perutku, sedangkan tangannya dengan leluasa terus menjamahi area paha dan pantatku berkali-kali.
“Ssshhhh... Masshhh geliii” Desahku penuh kenikmatan.

Pikiranku buntu, sementara kenikmatan kian menggerogoti tubuhku. Antara sadar dan tidak, kurasakan tangan Mang Dedi bergerak menarik baju gamis yang ada di pinggangku turun semakin ke bawah.

Mengerti dengan apa yang akan Mang Dedi lakukan, aku pun mulai meringis mempersiapkan diriku untuk ditelanjanginya sambil memejamkan mata. Dengan kedua tanganku, aku raih pinggiran sofa tempatku duduk dan meremasnya dengan kuat.

Sambil terus berciuman penuh gairah, perlahan-lahan aku mulai dapat merasakan baju gamisku terus turun melewati bagian pantatku. Aku dengan reflek mengangkat badanku sedikit agar mempermudah Mang Dedi melorotkan pakaian kebesaranku itu.

Hingga tak berapa lama kemudian, terpampanglah tubuh mulus putihku yang selama ini terus aku tutupi dibalik pakaianku yang serba tertutup. Aku tak menyangka kalau sekarang Mang Dedi sudah dapat melihat ketelanjanganku walau belum utuh sepenuhnya.

"Kamu cantik sekali Dek Liya. Sudah aku duga tubuhmu begitu mulus dan bersih seperti yang aku bayangkan selama ini" Ucap Mang Dedi memuji badanku.

Aku tersipu malu dibuatnya. Badanku terasa panas meski susana disekitarku begitu dingin karena hujan. Rasa dingin itu mulai terasa membelai kulit paha dan selangkanganku yang masih ditutupi oleh sebuah celana dalam tipis.

"Pahamu putih sekali Dek Liya. Boleh aku menciumnya?" Bisik Mang Dedi sekali lagi membuatku merasa dilambungkan.

Aku seketika itu juga mengangguk menyetujuinya. Sudah tak dapat lagi aku berpura-pura tidak menginginkan apa yang ingin dilakukan oleh Mang Dedi tersebut.
"Silahkan Mas! Lakukan semaumu.." balasku bergetar.

Mang Dedipun tersenyum mendengar jawabanku, dia mengecup bibirku sebentar sebelum akhirnya dia duduk bersimpuh dilantai menghadap ke arah aku.

Dengan kedua tangannya, dia mencoba membuka pahaku sedikit agar dapat mengangkang dan memperlihat selangkanganku dengan lebih jelas.
"Indah sekali" Ucapnya yang langsung membenamkan kepalanya di sela-sela selangkanganku.

Sensasi geli menjalar disekujur tubuhku ketika kumis tipis di wajah Mang Dedi menusuk-nusuk kulit pahaku dibagian dalam.

Sementara aku memutuskan untuk menutup kedua mataku, karena tidak kuasa melihat bagaimana tubuhku yang suci itu dicumbu oleh pria lain selain suamiku.
"Ooouggghhhh... Masssshh... geliiih..." desahku panjang.

Aku tak kuasa menahan rasa geli itu, aku menggeliatkan tubuhku sambil tetap memejamkan mata merasa jantungku pun semakin tak kuat menahan sensasi ini.

Perlahan-lahan, dapat ku rasakan ciuman Mang Dedi kini mulai mengarah semakin ke dalam mendekati bagian vaginaku. Endusan-endusan nafasnya pun semakin hangat menerpa selangkanganku.

"Tubuhmu wangi sekali Dek Liya" Ujar Mang Dedi sambil memberikan sebuah kecupannya tepat di bagian vaginaku.
"Oohhh... Masshh..... eemhhhh.."

Bibir dan mulutku berguman lirih. Di bawah sana Mang Dedi menciumi vaginaku dengan rakusnya meski masih tertutup oleh celana dalam yang aku gunakan. Rasa nikmat menjalari sekujur tubuhku, serta nafsuku semakin menggebu dibuatnya.

Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku merasakan kenikmatan dicium di daerah selangkanganku sendiri. Selama ini tak pernah suamiku memperlakukanku dengan lugas seperti ini sehingga tak dapat lagi kutahan nafsuku.

Akan tetapi saat aku sudah semakin terbuai oleh nafsuku tersebut, Mang Dedi tiba-tiba menghentikan gerakan merangsangnya dan berdiri dihadapanku secara tiba-tiba.
Nampak napasnya juga ikut memburu saat kulihat perutnya yang buncit itu naik turun dengan begitu cepat.

“Dek Liya..” panggil Mang Dedi setengah berbisik.

Dia meraih daguku dengan sebelah tangan dan mengangkatnya, akupun menoleh sambil mendongak ke arah Mang Dedi dengan mulut yang terngaga.
“CUPPP!!” kecupannya mendarat di bibirku.

Dalam keadaan setengaj bernafsu itu, Mang Dedi kemudian membimbing tanganku untuk menyentuh penisnya dibalik celana pendek yang di pakainya. Aku berpura-pura menahan tanganku, namun Mang Dedi menariknya dengan kuat hingga telapak tanganku akhirnya merasai batang penisnya yang ternyata sudah mengeras dan menegang.

“Mmppphhh...” suaraku tertahan.

Mang Dedi meremaskan jariku di penisnya, meskipun masih terbungkus oleh celana, aku dengan mudah dapat menggenggamnya karena ukuran penisnya yang sangat besar dan terjiplak menonjol keluar.

Nafsuku bangkit meletup-letup membayangkan betapa sebentar lagi aku akan merasakan benda sebesar ini bersarang dalam vaginaku. Ingin rasanya saat ini aku membukai celana Mang Dedi sampai dia telanjang dan merasakan kehangatan batang penisnya secepat mungkin.

Tapi aku berusaha menahan diri karena akupun tak berani bersikap lepas di depan penjual sayur langgananku itu. Namun bak terkena hipnotis, aku masih saja merabai penis Mang Dedi tersebut tanpa menjauhkan tanganku.

“Sudah tegang!” Ucapku mengelus-eluskan tanganku pada penis Mang Dedi sampai dia mengerang pelan.
“Tegang banget Dek Liya!” ucapnya terkekeh meremas buah dadaku.

Liang vaginaku terasa berkedut-kedut terangsang seperti terpompa untuk mengeluarkan cairannya. Bibir dan mulutku bergumam lirih tak berhenti saat kami berdua saling mengelus dan merabai bagian yang sangat sensitif untuk kami. Mang Dedi pada buah dada dan vaginaku, sementara aku pada penisnya yang menegang dengan keras.

“Mau liat gak Dek?” bisik Mang Dedi nakal padaku. Dia lagi-lagi menyempatkan menyium bibirku dengan hangat.
Aku hanya diam terpana, bahkan tak kuasa mengangguk dengan pelan menginginkannya. Mang Dedi lalu bangkit berdiri lagi, melepaskan celana pendek lusuhnya dengan gerakan yang cepat namun masih terasa pelan dalam mataku.

Ku tatap nanar gerakan tangan Mang Dedi yang membuka celananya turun satu persatu tersebut. Dengan perasaan yang berdebar dan menunggu, aku akhirnya diperlihatkan dengan batang penis Mang Dedi yang selama ini hanya bisa ku saksikan lewat foto yang dikirimkannya.
“Besar sekali!!” teriakku girang dalam hati.

Itu pertama kalinya aku melihat penis laki-laki lain selain suamiku. Perbedaannya sungguh terlihat nyata bukan pada aspek ukuran besarnya saja. Namun juga bentuknya yang sedikit aneh dan lucu. Batangnya sedikit membengkok dan ujung kepalanya tersembunyi dibalik sebuah kulit yang terlihat seperti sebuah kulup.

“Kenapa??” tanya Mang Dedi terheran melihat ekspresiku.
Aku menggeleng, “Gapapa” balasku mengedarkan pandangan.
“Lebih gede dari punya suamimu ya pasti..” ucap Mang Dedi terkekeh melihatku reaksiku.
Dia membimbing tanganku untuk menggenggam penisnya lagi. Kugenggam penis itu sebentar. Terasa hangat, kenyal dan kencang. Urat-uratnya bertonjolan keluar serta ada kedutan-kedutan mengalir didalamnya.

“Jauh lebih besar” Ucapku jujur begitu saja.
Darahku jadi berdesir tiba-tiba dan jantungku berdebar-debar setelah aku mengucapkan kata yang secara langsung mengakui perbedaan antara suamiku dengan Mang Dedi itu.

"Dicobain dong sayang!" Bisik Mang Dedi mengelus kepalaku.
Aku menatap heran tak mengerti maksudnya, "Apaan Mas?" Tanyaku.
"Diemut..." bisiknya.
"Mas pengen diemut sama kamu" bisiknya lagi.

Darahku berdesir mendengar permintaannya yang sungguh sangat cabul itu. Aku tau kalau diluar sana ada wanita yang sengaja mengulum alat kemaluan laki-laki untuk menambah kepuasan dalam bercinta.

Bahkan dulu suamiku juga pernah memintaku melakukannya. Namun aku selalu menolak karena alasan tidak suka dan jijik.

"Gamau ah.. Jijik Mas!" Protesku menjauhkan tangan.
Namun dengan cepat Mang Dedi menahanku, "Mau dong Dek. Tadi udah aku cuci sebelum mampir kesini" ucapnya mengelus-ngelus kepalaku.

Dalam keadaan ragu itu, Mang Dedi mencoba menciumku seakan sedang membujukku untuk menuruti keinginannya. Bibirku di pagut dengan begitu liar dan nakal sampai lidahnya menyeruak masuk ke dalam rongga mulutku.

Tubuhku melemas rileks, yang ada malah bibirku membalas pagutan Mang Dedi dengan hangat dan lembut. Aku mengulum juluran lidahnya dan menjilat-jilat dengan lidahku. Disaat gantian lidahku yang masuk ke mulut Mang Dedi, dia tidak kalah kuatnya menghisap.

Perasaanku jadi terlambungkan lagi. Serasa melayang-layang di awan akibat cumbuan penuh nafsu Mang Dedi sementara tangannya juga ikut meremas dan memainkan payudaraku.
Hebatnya lagi, tanganku yang sedang menggenggam penis besar Mang Dedi bergerak mengikuti naluriku sendiri untuk mengocok dan mengurutnya pelan-pelan.

Sehingga kami berdua sama-sama mendesah lirih di sela-sela ciuman kami tersebut.

"Mas, kamu udah sering begini sama wanita lain ya?" Ucapku spontan tiba-tiba terbawa perasaan.
Mang Dedi menatap heran padaku, "Kenapa sayang? Mas gak sering kok" Jawabnya yang entah sebuah kejujuran atau bukan.

"Gapapa Mas... Mas kayak berpengalaman banget" balasku tersenyum menunjukkan gigi. Terus terang aku cukup senang dengan jawaban yang diberikan oleh Mang Dedi tersebut.

"Kamu cemburu kalau aku sering melakukannya dengan wanita lain Dek Liya??" Bisik Mang Dedi memeluk tubuhku dan merapatkan badannya ke sofa
Aku menggeleng, "Engga tuh" Ucapku mengecup bibirnya.

Mang Dedi kemudian membalas ciumanku tersebut dengan hangat sambil kemudian mendorong tubuhku jatuh keatas sofa.
"Coba kamu bilang lagi kayak gitu setelah merasakan ini" ucap Mang Dedi yang tiba-tiba menarik celana dalamku.

Dengan gerakan yang cukup cepat, aku merasakan Mang Dedi mulai menurunkan kain penutup selangkanganku yang berwarna putih itu dari tempatnya.

Sehingga akhirnya akupun resmi bertelanjang penuh di depan pria penjual sayur langgananku itu. Satu-satunya benda yang menjadi penutup badanku hanyalah hijab lebarku yang masih terpasang utuh di kepala.

"Aku masukin sekarang ya sayang" Ucap Mang Dedi meminta izin padaku.

Aku mengangguk pelan menyetujuinya. Karena sedari tadi liang vaginaku sudah berdenyut-denyut menantikan persetubuhan diantara kami.
Maka ketika Mang Dedi membuka pahaku dalam posisi telentang, aku tak menolak. Justru sengaja kubuka lebih lebar agar Mang Dedi leluasa.

Dia mengusap-usap ujung penisnya di mulut vaginaku yang sudah basah oleh cairan pelumas alami yang keluar dari liangnya. Rasa hatiku sudah tak karuan menunggu proses masuknya penis besar yang sedari tadi sudah membuatku kelimpungan.

"Aku sayang sama kamu Mas" Ucapku memejamkan mata mengungkapkan perasaan yang sudah ikut menggebu di dada.
Mang Dedi lalu tersenyum memasukkan ujung penisnya pada liang vaginaku, "Aku juga sayang kamu Dek Liya" balasnya dengan penuh kepastian.

Kurasakan seluruh beban dalam pikiran dan dadaku terangkat seiring masuknya penis Mang Dedi ke dalam liang vaginaku sedikit demi sedikit. Bibirku merintih lirih merasakan bahwa vaginaku terlalu kecil untuk menerima penisnya yang begitu besar.

"Pe--pelan-pelann.. Masshh" bisikku sedikit menahan tubuhnya.
Mang Dedi tersenyum, "Memekmu sempit luar biasa Dek Liya" ucapnya ikut mendesah.
Mang Dedi masih bergerak menekan pinggul dan penisnya hingga kurasakan seluruh rongga dalam vaginaku penuh sesak. Ukuran yang tidak main-main itu membuat dinding vaginaku terasa perih dan ngilu secara bersamaan.

Aku mengejangkan pinggangku antara rasa nikmat dan kesakitan, "Gakk.. muuatttthh... Masss....." lirihku merasa tak siap.

Mang Dedi kemudian mengecup keningku, "Sedikit lagi" bisiknya pada telingaku.
Mang Dedi memagut bibirku lagi. Kubalas pagutan bibirnya itu dengan lebih hangat dan penuh perasaan. Kami lalu berpelukan dengan posisi Mang Dedi yang sedikit menindihku memasukkan penisnya dengan perlahan-lahan.

Persentuhan kulit dan kelekatan badan kami itupun semakin terasa menimbulkan sensasi enak dan membuatku berangsur-angsur merasa nyaman.

"UMMI! UMI NGAPAIN!!???"
"UMMI! UMI NGAPAIN!!???" Ucap putriku Tasha.

Aku dan Mang Dedi terlonjak, sama-sama kaget mendengar suara Tasha yang kencang memergoki kami yang baru saja memulai persetubuhan terlarang ini.
Aku dengan sekuat tenaga mendorong tubuh Mang Dedi dari atasku sehingga tusukan penisnya terlepas dari dalam vaginaku begitu saja.
"Ca--caca kok udah bangun?" Tanyaku bereaksi duluan mengambil baju gamisku yang berserakan di lantai.
Sungguh aku tergagap dan gemetar meski hanya dipergoki oleh anakku sendiri saat itu.

"Caca pengen pipis Umi" ucap Tasha mengusap matanya.

Dengan cepat aku kemudian menutupi tubuhku dengan baju gamis sambil merapikan hijabku yang tampak tak beraturan. Aku juga mengambil celana Mang Dedi dan menutup selangkangannya yang terbuka begitu saja di depan anakku.

"Yasudah.. kamu mau Umi anterin ke kamar mandi atau mau sendiri??" ucapku berusaha setenang mungkin.
"Mau dianterin Umi" Balas Tasha singkat.
Aku kemudian melirik Mang Dedi untuk memastikan dia tidak keberatan, "Anterin aja Dek" ucapnya tersenyum mempersilahkan.

Aku kemudian berencana memakai baju gamisku sebelum di tahan oleh Mang Dedi, "Gausah dipake bajunya" Ucap Mang Dedi mengelus pantatku.
Wajahku jadi memerah dan panas merasa sangat malu dibuatnya, namun aku tetap menuruti keinginan Mang Dedi entah karena alasan apa.

"Aku tinggal sebentar ya Mas!" Ucapku meminta ijin dan bangkit dari duduk.

Tapi kemudian Tasha bertanya, "Umi sama om kok buka baju??" Lanjutnya dengan polos.
Aku kebingungan, kualihkan pandanganku ke Mang Dedi dan meminta dia menjelaskan pada Tasha karena aku bingung menjelaskan tentang apa yang tengah kami lakukan.

Mang Dedi tersenyum, "Umi sama Om mau mandi sayang" balasnya dengan santai.

Namun bukannya puas dengan jawaban itu, Tasha malah kembali bertanya, "Kok Om mandi di rumah Caca?" Tanyanya lagi.
"Iya. Om mau mandi rumah Om tadi, tapi lagi hujan ga bisa pulang" Balas Mang Dedi menunjuk kearah jendela.

Tasha kemudian melihat keluar sebentar sebelum akhirnya dia mengangguk mengerti, "Yaudah, Om mandi di rumah Caca aja. Sini ikut!" Ajaknya pada Mang Dedi.
Mang Dedi lalu menggeleng, "Caca sama Umi duluan aja" jawab Mang Dedi menolak.

Aku kemudian menghela nafas lega melihat putriku tampak memang belum mengerti dengan apa yang tengah Uminya perbuat dengan laki-laki lain selain Abinya itu.

Lalu dengan pelan-pelan aku beranjak mengantar anakku tersebut ke kamar mandi sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdegub-degub dengan kencang.
"Umi. Caca suka sama Om itu" ucap Tasha tiba-tiba padaku.

Aku tersenyum, "Suka kenapa sayang?" Tanyaku padanya.
"Omnya mau bikinin adek buat Caca" jawab Tasha bersemangat.
"Oh ya?? Emang Omnya bilang begitu??" Tanyaku lagi.

Tasha lalu menangguk, "Iya.. katanya Om kesini mau bantuin Umi bikinin adek buat Caca" jawabnya polos.
"Ah masa sih" jawabku tak percaya.
"Kaget ya kamu?" Ucap Mang Dedi terkekeh datang di balik pintu memakai celana pendeknya tanpa baju.

Aku mendengus kesal, "Mas bilang sembarangan sama Caca" balasku mencubit tangannya dengan gemas.
"Beneran kok" balasnya cuek.
"Tapi kan itu gak bener Mas!!" Balasku menggerutu.
"Gak bener tapi kamu menikmatinya bukan??" Rayu Mang Dedi sekali lagi.
"Siapa bilang?" Ucapku berbohong membelakanginya.

Tapi kemudian Mang Dedi masuk ke kamar mandi dan mengalungkan tangannya di pinggangku, "Aku yang bilang" ucap Mang Dedi memelukku dari belakang.
"Mas ngapain sih! Ada Tasha!" Ucapku memprotes pelukannya takut dilihat anakku.

Dan benar saja, Tasha kemudian bertanya. "Om kok peluk Umi aku sih?" Tanya heran.
"Karena Om sayang sama Umi kamu" balas Mang Dedi dengan sangat santainya.

Seketika itu aku tersenyum, Ada perasaan senang hati yang juga bercampur nafsu birahi setiap kali Mang Dedi memperlakukanku dengan romantis dan penuh kasih sayang seperti ini.

Dia terlihat selalu sabar dan bisa memanfaatkan momen sehingga aku tetap terjebak dalam buain kata dan tingkah lakunya itu. Jauh berbeda dengan sifat suamiku yang selalu tergesa-gesa dan terburu-buru.
"Ah.. Mas banyak gombalnya" balasku mengalihkan kata-kata.

Dari belakang Mang Dedi berbisik di telingaku, "Kamu ga sayang sama aku?" Tanyanya menggoda.
"Engga.. aku sayang sama suamiku" balasku tidak sadar malah membawa-bawa suamiku di depannya.
Namun tampaknya Mang Dedi tak mempermasalahkan, "Oh iya aku lupa" balasnya sambil terkekeh.
"Tapi gapapa deh sayangnya sama suami, asalkan bercintanya sama aku" lanjutnya berkata nakal.

Entah bagaimana, aku justru malah merasa setuju dengan apa yang dikatakan oleh Mang Dedi tersebut. Mungkin ini sebuah pembenaran saja, namun kata "tidak apa-apa aku bercinta dengan Mang Dedi asalkan hatiku masih menjadi milik suamiku" tersebut membuatku semakin terangsang saja.

"Om.. Caca mau tidur lagi nih" Ucap Tasha menghentikan momen kami sejenak.
"Yaudah Caca tidur gih. Om mau mandi dulu sama Umi" ucap Mang Dedi mengelus pelan kepala Tasha.
Tapi keingintahuan anakku itu tidak berhenti sampai disitu saja, "Kok mandinya barengan?" Tanyanya lagi.
"Iya. Biar mandinya bersih. Kamu kalau mandi pasti bareng Umi juga kan??" Ucap Mang Dedi mengakali Tasha.
Beruntung setelah itu, Tasha tak lagi mengeluarkan pertanyaan dari mulut kecilnya dan memilih pamit meninggalkan kami.

Mang Dedi tertawa melihat gadis kecilku itu dengan santainya melenggang menuju kamar tanpa sedikitpun curiga pada kami.

"Pinter banget kayak Uminya" ucap Mang Dedi mencolek daguku.
"Iyalah. Kan anak aku Mas" balasku berbangga diri.
"Tapi kasian dia gak punya temen main. Kita buatin adik buat Tasha gimana?" Goda Mang Dedi mencium pipiku.
Aku kemudian tertawa, "Bilang aja Mas pengen begituan" jawabku meledeknya.
"Biar sekali dayung, dua tiga pulau bisa terlampaui Dek Liya" balasnya berpepatah.

Aku kembali dibuat tertawa oleh lelucon khasnya tersebut. Kini rasanya aku benar-benar sudah nyaman berada dekat dengan Mang Dedi sehingga tak ada rasa canggung lagi untuk membalas candaannya.

"Kalau gitu kita pindah ke kamar aja Mas!" Ajakku dengan manja.
"Kamar yang mana?" Tanya Mang Dedi heran.

Aku kemudian menunjuk kamar belakang yang sebenarnya di peruntukkan untuk Tasha. Tapi karena anakku masih kecil, jadi dia masih tidur bersamaku dan suami sehingga kamar belakang itu masih kosong.

"Yang sebelah sana!" Ucapku menunjuk.
"Yaudah kalau gitu kamu pegangan yang kuat ya!!" Ucapnya tiba-tiba.
"Mas mau ngapain?" Tanyaku tidak begitu mengerti.

Tapi lalu aku terpekik kaget. Mang Dedi dengan cekatan membopong tubuhku bangkit. "Mas!" Ucapku refleks merangkul lehernya karena takut terjatuh.

Tubuhku terangkat mantap dalam bopongan tangan Mang Dedi yang melingkar dipunggung dan belakang lututku. Dengan santai Mang Dedi kemudian melangkah berjalan keluar kamar mabdi sambil menggendongku dengan gaya "Bridal Style" itu.
"Hati-hati Mas" ucapku yang sebenarnya merasa senang dan malu sekaligus.

Aku memejamkan mata, tubuh kami masih sama-sama dalam keadaan telanjang, namun Mang Dedi dengan cueknya berjalan membopongku dengan santai menuju kamar.
Saat-saat seperti inilah aku mulai merasa kalau aku memang benar-benar jatuh hati dengan perlakuan Mang Dedi sebagai laki-laki. Bahkan selama 6 tahun aku menikah dengan suamiku, tak sekalipun dia menggendongku dengan mesra seperti ini.

Jadi pantas saja setiap perlakuan mesra Mang Dedi padaku, selalu sukses membuat hatiku terasa seperti berbunga-bunga dan berdegub kencang.

"Sampai sayang" Ucap Mang Dedi mengecup bibirku.

Dia lalu dengan hati-hati menurunkanku dari bopongannya ke kasur kecil yang ada di dalam kamar tersebut sebelum akhirnya dia ikut memelukku jatuh.
Mang Dedi mengecup keningku, menciumi kulit mataku yang terpejam, juga pipi dan daguku, "Kamu milikku hari ini Dek Liya" Ucapnya membelai badanku.

Dalam pelukannya, gumpalan payudaraku mengganjal dan menempel di dadanya. Pun begitu dengan penis Mang Dedi yang juga mengganjal keras di perutku.

"Untuk hari ini doang?" tanyaku cemberut.

Mang Dedi lalu merenggangkan pelukannya, "Kalau bisa, aku mau selamanya" jawab Mang Dedi padaku. Ada nada keyakinan dan kesungguhan hati dalam bicaranya, juga tatapan mata dan mimik wajahnya yang begitu serius mengucap kata-kata itu.

"Tapi aku sudah jadi milik orang Mas" ucapku manarik diri.
"Iya aku tau sayang. Aku yang hina ini juga tak berhak mendapatkan kamu seutuhnya. Tapi izinkan aku memilikimu untuk sebentar saja, bolehkan??" Ucap Mang Dedi tersenyum.
Aku senang mendengarnya dan mengangguk, "Boleh Mas! Miliki aku hari ini!" Ucapku merapatkan badan pada Mang Dedi.

Setelah itu Mang Dedi meraih tanganku dan mengecupnya. Kami berbaring berpelukan sambil bercumbu dan berciuman hangat. Bahkan lebih hangat dan lebih menggebu dari sebelumnya.

"Mas.. Aku mau ini!!" ucapku menghentikan ciuman kami dan memegang penisnya.
Mang Dedi terheran, "Kamu mau ngapain sayang?" tanyanya padaku.
"Mau nyoba ngemut." balasku memberanikan diri.

Darahku berdesir mengucapkannya. Aku memang punya rasa penasaran ingin mengetahui bagaimana rasanya mengulum dan mencium kemaluan lelaki.

Tapi tadinya aku merasa jijik karena aku tak pernah melakukannya sebelum ini. Dan sekarang tiba-tiba saja rasa penasaranku muncul dan niat itu terlintas dalam benakku begitu saja.

"Kamu yakin Dek?" Tanya Mang Dedi ragu.

Aku lalu mengangguk dan segera beringsut ke bawah badan Mang Dedi yang terbaring di sampingku. Sejenak ku lepaskan celana pendek Mang Dedi perlahan-lahan sambil jantungku berdegub-degub dan pandanganku seperti dalam gerakan slow motion.

Setelah terbuka, penis besar Mang Dedi tampak mencuat keatas dan menegang. Ku remaskan tanganku pada batang penisnya yang tampak belum berdiri secara penuh sambil mempersiapkan jantungku yang berdegub dengan sangat kencang.

"Besar sekali." batinku dalam hati saat kurasakan penis besar itu semakin menegang di telapak tangan dan jariku.

Memegangnya saja sudah membuat vaginaku berdenyut dan puting susuku terasa gatal. Apalagi setelah baunya yang khas dengan aroma kelelakian itu menusuk ke dalam hidungku seiring aku mendekatkan wajahku ke selangkangan Mang Dedi.

"Dicium aja dulu" bisik Mang Dedi mengelus kepalaku yang terbungkus hijab.

Posisiku sekarang sudah diatas tubuh Mang Dedi yang masih terbaring di kasur, sedangkan kepalaku sedikit merunduk dibagian selangkangannya.

Aku menarik nafas sebentar, kumajukan mulutku mendekati ujung penis Mang Dedi yang tampak jauh berbeda dengan milik suamiku. Ujung penis Mang Dedi tampak tak memiliki kepala dan lucu seperti memakai sebuah kulup.

"CUPPP!" Ciuman pertama ku daratkan. Terasa hangat dan kenyal serta baunya yang begitu khas.

Kugenggam penis perkasa itu dan ku arahkan lagi pada mulutku. Tapi kali ini aku menjulurkan lidahku dan menjilat kulit yang ada di kepala penis itu. Aku kemudian mengikuti instingku dengan menjilat batang penis Mang Dedi dari atas ke bawah seperti sedang memakan ice cream.
"Oougghh.." Mang Dedi mendesah kegelian dibuatnya.

Aku semakin bersemangat mendengar desahannya tersebut. Kubuka mulutku sedikit sambil ku masukkan ujung penisnya. Ku jilat-jilat dan ku cium-ciumnya sebentar bagian atasnya sampai aku benar-benar terbiasa.

Lalu Aku masukkan penisnya ke dalam mulutku dengan pelan. Tapu rasanya cukup susah karena mulutku yang tipis dan mungil itu memang tak bisa menampung penis sebesar itu masuk ke dalam mulutku.

"Buka kulupnya sayang!" Pinta Mang Dedi padaku.
Aku bingung menatap ke arahnya, "Kulup apa Mas?" Tanyaku bingung.
Mang Dedi kemudian mengarahkan tanganku pada pangkal penisnya, "Tarik ke bawah coba" pintanya lagi.

Saat kuturuti kemauannya tersebut, kepala penis Mang Dedi tiba-tiba mencuat keluar dari balik kulup kulitnya. Kepalanya yang berbentuk jamur berwarna pink seperti milik suamiku ternyata tersembunyi dibalik kulup itu.

"Kok lucu sih Mas!" Ucapku tak dapat menahan rasa penasaran.
Saat kunaikkan kocokan tangaku, kepala penis Mang Dedi menghilang dibalik kulupnya. Sedangkan saat aku tarik kebawah, kepala itu kembali menyembul dengan begitu gagah.

Mang Dedi terkekeh sebentar, "Ini kontol orang yang gak sunat Dek! Dijamin rasanya bakalan lebih enak dari yang disunat" ucap Mang Dedi berbangga diri.

Aku kemudian teringat kalau Mang Dedi adalah seorang non muslim. Jadi wajar saja kalau dia belum disunat seperti suamiku.
"Ayo diemut lagi sayang!" Pinta Mang Dedi sedikit tak sabar mengangkat pinggulnya ke atas dan kedua tangannya menekan kepalaku ke bawah.

Perlahan-lahan, penis itupun masuk menyusup ke dalam rongga mulutku dengan agak mudah karena kepalanya yang lonjong dan licin.

Aku sedikit gelagapan, penis besar itu hanya mampu masuk sepertiganya saja dan terlalu penuh di mulutku. Bahkan aku reflek sekuat tenaga menahan agar gigiku tak sampai menyentuh batangnya.

"Oougghh... mulutmu hangat Dek Liya" racau Mang Dedi memegangi kepalaku.

Dorongan nafsu dan naluri birahiku kemudian menuntunku untuk bergerak secara sendirinya. Aku mulai menghisap batang penis Mang Dedi yang berada dalam mulutku sambil tanganku memegangi pangkal batang itu agar kepala jamurnya tidak bersembunyi.
"Ohh iyaahh... begitu sayangg" ucap Mang Dedi tak behenti-henti meracau.

Penis Mang Dedipun semakin lama semakin terasa membesar hingga membuat mulutku penuh sesak dan nafasku tersengal-sengal. Aku pun tak mau kalah mulai lincah mengocoknya dengan menaik-turunkan mulutku mengulum batang penis itu sampai mengkilat oleh air liurku sendiri.

Tadinya aku berpikir kalau mengulum dan menjilati alat kemaluan tersebut adalah sesuatu hal yang menjijikkan. Namun setelah aku merasakannya sendiri, aku jadi tau kalau ada sebuah sensasi lain yang memacu birahiku lebih cepat.

Aku mengulum penisnya lebih dalam lagi, beberapa kali aku hampir tersedak dan melepas kulumanku. Namun rintihan dan desahan yang dikeluarkan oleh mulut Mang Dedi membuatku semakin bertambah semangat untuk melayaninya dengan mulutku. Sedangkan Mang Dedi hanya bisa meracau meremas kepalaku dan mengacak-ngacak hijab yang tengah ku pakai.
"Ssshhh... pinterr kamuu Dek Liyaah...Jago nyepong kamuuhh" erang Mang Dedi keenakan.

Kumainkan lidahku menjilati kepala jamur Mang Dedi yang membongkong itu sampai aku sendiri tak tahan karena liang vaginaku berdenyut menginginkan penis itu segera bersarang disana.

Karena itu, kulepaskan kulumanku, dan aku bangkit berdiri. "Mas pengen" rengekku manja menjatuhkan badanku diatasnya.
Mang Dedi tersenyum menggulingkan badanku hingga kami bertukar posisi, "Maaf ya Sayang.. aku jadi keenakan" Ucap Mang Dedi mencium bibirku.

Mang Dedi langsung menyambar wajahku dengan ciuman liarnya. Lalu dikecupnya bibirku dan dipagutnya dalam-dalam.

Mulutku bahkan terasa megap-megap dalam pagutan Mang Dedi itu dan menjadikan gairah kami sama-sama naik semakin bergelora.

Kubalas pagutan Mang Dedi dengan bibir dan mulutku tanpa rasa ragu atau sungkan. Sudah tak kupedulikan lagi siapa kami, apa status dan hubungan kami. Yang kurasakan saat itu kami hanyalah sepasang insan yang dikuasai nafsu birahi.
"Oohhh... Mmmmpp... Maashhhh.." lirihku disela-sela ciuman kami.

Kuraih dan kugenggam penis besar Mang Dedi dan mengocoknya dengan tanganku. Benda itu sudah basah dan licin oleh air liurku sendiri sehingga kocokanku begitu lancar dan enak.

Beberapa menit berikutnya kami masih saling cumbu dan saling membelai sebelum akhirnya Mang Dedi membuka kedua pahaku.

Dan inilah saat-saat yang paling kunantikan. Aku sudah sangat menginginkan penis besar yang tadi belum sempat masuk seutuhnya itu kembali bersarang di dalam vaginaku.
Namun setelah kedua pahaku terbuka lebar dan liang vaginaku siap dimasuki sodokan penis besar itu. Mang Dedi justru malah merundukkan kepalanya menuju selangkanganku dan dengan liarnya dia menjilat bibir vaginaku secara tiba-tiba.

"Oghhhhhhh ............ ouhhhhhhh...." rintihku terkaget merasa seperti ada aliran listrik yang menyengatku.

Aku kaget dan tak siap menerima serbuan kenikmatan yang tiba-tiba dan datang secara beruntun itu. Jilatan lidah Mang Dedi di liang vaginaku itu sukses membuat badanku belingsatan, tubuhku menggelinjang, dan aku mengalami rasa enak yang bertubi-tubi.
"Maashhh... Apaahh.. inii.. Enaakkk.. sekaliihhh"

Bibir dan mulutku bergumam lirih, tubuh bugilku terbaring telentang dan pasrah, di bawah sana Mang Dedi dengan rakusnya menghisap-hisap liang vaginaku dan menjilatinya.
Rasa geli tapi nikmat menjalari sekujur tubuhku. Menambah nafsu birahiku yang sudah semakin menggebu saja.

"Ughhhhhh ..... ohhhhhhh ...... " mulutku melenguh dan bibirku mendesah panjang, mataku bahkan ikut merem-melek dibuatnya
Belum pernah aku merasakan vaginaku dan dihisap-hisap seperti ini. Ini adalah pertama kali dan sepertinya aku benar-benar akan menyukainya.

Bahkan saking enaknya, aku dapat mendengar bunyi ciuman dan hisapan Mang Dedi di vaginaku yang sudah sangat basah dan banjir oleh cairan pelumasnya.

"Kclokkk... mplokkk...mpppuuahhh...mmpaahh" begitulah sekiranya bunyi vaginaku yang disedot dan dicium oleh Mang Dedi.

Aku semakin melayang, mataku sangat sayu dan berat. Sampai akhirnya kurasakan desakan kenikmatan itu perlahan-lahan terasa berkumpul dititik pinggangku dan memuncak berdenyut-denyut kencang di area vaginaku.

Ada rasa seperti ingin pipis yang tak dapat kutahan saat badanku semakin bergetar dan liang vaginku semakin gatal. Aku berusaha sekuat tenaga menahannya.

Namun semakin gelinya ciuman Mang Dedi di vaginaku malah semakin membuat rasa kencing itu makin memuncak.

Hingga akhirnya, "MASHHH!! AWASS! AKKUU KENCIINGGG!!" Ucapku mendorong kepala Mang Dedi dan menjauhkan badanku.
Namun telat, vaginaku telah berdenyut luar biasa sambil menembakkan air yang begitu banyak seperti sebuah tanggul yang jebol.

Disaat itulah. Kurasakan puncak kenikmatan yang begitu luar biasa, rasa nikmat yang belum pernah kurasakan pada Liang vaginaku sebelumnya.

Kemaluanku itu terasa berdenyut-denyut hangat. Bahkan aku sampai terkencing-kencing dan kejang-kejang saat itu juga, Pinggangku terasa sangat ngilu dan tulang-tulangku terasa ikut terlolosi dari tempatnya.

Mataku ikut merem melek, bibirku sengaja ku gigit untuk meredam rasa nikmat itu dan tanganku sekuat tenaga menggenggam kain sprei kasur di sampingku.
"Gila!!" Ucap Mang Dedi menatap tak percaya padaku.

Namun tak kupedulikan tatapannya tersebut karena aku tengah berada diatas awang-awang yang begitu nikmat. Rasanya semua beban yang selama ini tertahan setiap kali ku bercinta dengan suamiku lepas begitu saja oleh mulut Mang Dedi.

"Enak sayang?" Tanya Mang Dedi merayap keatas tubuhku dan meremas payudaraku.
"Jangan pegang Mas!! Ngiluu!!" Protesku yang merasakan puting payudaraku sangat sensitif.
"Kamu belum pernah orgasme ya?" Tanya Mang Dedi setengah berbisik.

Dalam keadaan masih tersengal-sengal itu aku menatapnya pelan, "A--apa itu orgasme Mas?" Tanyaku dengan nafas yang tak beraturan.
"Ini barusan yang kamu rasakan sayang" ucap Mang Dedi mencolek vaginaku.

Aku terperanjat, "Awwhhhh.. ngilu Mass" ucapku padanya.

Mang Dedi lalu terkekeh menciumi keningku dengan begitu hangat, "Ini namanya orgasme sayang, puncak nikmat dari segala kenikmatan bercinta" jawab Mang Dedi menjelaskan.
"Ini yang harusnya kamu dapatkan ketika kamu bercinta, baik untuk perempuan maupun laki-laki" lanjutnya lagi.

Dari penjelasannya itu barulah aku mengerti apa yang dulu Mang Dedi katakan padaku. Bahwa pasangan dalam bercinta itu harus merasa sama-sama puas antara lelaki dan wanita. Bukan salah satu pihak seperti yang aku ketahui selama ini.

"Enak banget Mas, Orgasme" ucapku merasa senang.
"Iya dong.. orang kalau belum pernah orgasme gak bakalan tau nikmatnya bercinta itu kayak apa Dek Liya" jawabnya lagi.

"Tapi kan kita belum melakukannya Mas" ucapku malu-malu.

Mang Dedi terkekeh sebentar lalu beranjak memeluk tubuhku, "Untungnya kita bisa merasakan nikmat itu berulang-ulang kali Dek Liya" ucapnya mencium bibirku.

Bibir kami kemudian saling memagut lembut, rasanya begitu enak dan menghipnotis alam bawah sadarku untuk kembali mengangkat birahiku yang tadi sudah hilang menemui puncaknya.

Kulit tubuhku lagi-lagi merinding oleh sensasi rasa yang sukar kugambarkan dengan kata-kata. Aku menggelinjangkan badanku saat Mang Dedi meraba kembali bagian selangkanganku dengan tangannya.

Kurasakan tubuhnya semakin merapat ke badanku. Dan ciumannya juga sesekali berpindah pada bagian pipi, dagu, dan leherku yang tertutup oleh hijab yang anehnya tak mau aku lepaskan.

Dalam sekejap saja, nafsuku kemudian bangkit kembali setelah dirangsang sebentar oleh mulut dan tangan Mang Dedi.
"Sshhh... aahhhh..." desahanku kembali terdengar. Tubuhku lagi-lagi merasakan panas yang membuat butir-butir keringat membasahi jidatku.

"Dek Liya sudah basah lagi??" Ucap Mang Dedi berbisik di telingaku.

Dia terus bergerak ke bawah menciumi buah dadaku. Sedangkan aku hanya bisa diam saja merasakan perlahan getaran birahi itu mulai menguasai badanku sekali lagi. Batang penis Mang Dedi juga terasa mengganjal di bawah sana. Aku ingin menyentuhnya tapi tanganku lemas lunglai.

Sesaat kemudian. Mang Dedi semakin beranjak ke bawah hingga sampai pada area selangkanganku. Dengan tangannya, dia memegang kedua lututku dan melebarkan bukaan kedua pahaku.

Mang Dedi memposisikan badannya sejajar dengan badanku sambil mengusap-usapkan ujung penisnya di liang vaginaku. Terasa usapan itu begitu licin oleh cairan pelumas alami yang keluar semakin banyak dari liang vaginaku.

Sudah tak kupedulikan lagi dosa yang akan ku lanjutkan ini, aku hanya terbaring pasrah menanti apa yang akan dilakukan Mang Dedi terhadapaku.
"Tahan ya sayang. Aku masukin" ucap Mang Dedi bergetar.

Lalu pelan-pelan kurasakan kepala penisnya itu menyusup hangat di bibir vaginaku. Ada rasa nyeri dan sedikit perih yang lagi-lagi ku rasakan saat penis besar Mang Dedi itu menyusup masuk dalam vaginaku.

Wajahku meringis, Kedua tanganku berusaha menahan gerakan Mang Dedi yang masih memajukan pinggul memasukkan batang penisnya.

"Masih sakit sayang?" Tanyanya khawatir.
Aku mengangguk, "Pelan-pelan saja Mas!" Pintaku padanya.

Kemudian dia balas mengangguk sambil bergerak pelan menekan pinggul dan pantatnya semakin dalam.

Seinci demi seinci batang penis Mang Dedipun mulai terasa menguak liang vaginaku yang sempit itu dan membuka jalan yang lebar untuk dimasuki. Rasanya liang vaginaku penuh sesak dan gesekan penis itu membuat dinding liang vaginaku terasa agak perih dan ngilu.

"Sempit banget punyamu sayang.. udah kayak perawan" Ucap Mang Dedi mengecup keningku.
Terasa tangannya juga ikut memijat-mijat buah dadaku pelan sehingga Aku hanyut kembali dalam cumbuan dan remasannya.

Aku dengan cepat lupa dengan rasa sakit di vaginaku, bahkan rasa perih dan ngilu yang tadi kurasakan pun sudah menghilang dan terlupakan begitu saja, berganti dengan gelora gairah yang kurasakan mendesak-desak mencari penyaluran.

"Tahan sedikit lagi ya" ucap Mang Dedi disela pagutannya. Telapak tangan kanannya dengan mesra mengelus dan mendekap pipiku.

Aku mengangguk. Merasa nyaman dan rileks dengan perlakuan romantisnya tersebut. Lalu dia mendorong pinggulnya sedikit demi sedikit dengan hati-hati dan penuh perhatian.

Sambil terus mencumbui bibirku dan meremas payudaraku, batang penisnya yang besar itupun melesak masuk masuk menembus liang vaginaku seutuhnya.
"Oooouuuuugggggghhhhh...." lirihku panjang.

Mataku memejam rapat, ada rasa nyeri bercampur nikmat, saat kurasakan liang vaginaku begitu penuh dan sesak dimasuki penis berukuran jumbo milik Mang Dedi.

Akan tetapi dengan pintarnya Mang Dedi mengalihkan rasa sakitku dengan deraan rasa nikmat yang bertubi-tubi.

Dia menggerayangi badanku. Perut, paha dan buah dadaku, semuanya tak luput dari belaiannya. Juga ciumannya yang penuh nafsu di bibirku. Sehingga menyalakan gairahku dengan sangat cepat.
"Aghhhh.... Maasshhh" desahku lagi.

Kupeluk badan Mang Dedi dengan erat, kubelai punggungnya yang kekar itu, kubuka kedua pahaku lebar-lebar menerima tusakan batang penisnya.

Aku terpejam-pejam. Mulutku ternganga merasakan kenikmatan yang begitu hebat saat Mang Dedi mulai mengayunkan kocokan penisnya. Terasa liang vaginaku kembang kempis seperti menghisap-hisap penis Mang Dedi semakin ke dalam.

Entah karena aku sudah beberapa hari tak bersenggama atau mungkin karena penis Mang Dedi yang lebih besar dan lebih panjang dari punya suamiku. Aku begitu cepat merasakan vaginaku semakin becek dan semakin lancar menerima penis besar itu.

Sekujur badanku berkeringat, butir-butir peluh memercik dan meleleh dari wajah, leher dan sekujur tubuhku. Sedangkan Mang Dedi sepertinya baru saja berada di puncak nafsunya.

"Ougghh mantepp" racau nya yang mulai semangat
mengayun dan mengocokkan penisnya, semakin lama semakin cepat.

Nafas Mang Dedi juga semakin memburu, ia menciumi tubuh atasku penuh nafsu. Bibirnya mengerang-ngerang, dan penisnya menyodok-nyodok liang vaginaku.

Ayunan-ayunan tubuh Mang Dedi membuat badanku ikut berguncang-guncang secara berirama mengikuti kocokan dan sodokan penisnya. Gumpalan payudaraku bergerak bergoyang-goyang sambil sesekali dicucupi Mang Dedi bergantian.

Aku semakin blingsatan. Entah setan apa yang memasuki saat itu sehingga nafsuku sangat menggebu-gebu tak dapat ku hentikan.

"Masshh... puasiinn akuu Mass..." bisikku berbisik pada telinganya.
Mang Dedi lalu menggenjotkan penisnya agak cepat dan lebih dalam lagi menyodok liang vaginaku setelah mendengar permintaanku tersebut.

Aku melenguh lirih, Sungguh enak dan tak kubayangkan sebelumnya kalau kenikmatan yang aku rasakan dapat berkali-kali lipat dari apa yang pernah kudapatkan dari suamiku.

Bahkan setiap gesekan penis besar itu di dinding vaginaku membuat mulutku mengerang dan mendesah-desah keenakan.
"Ouhhh ..... ahhhh ..... Oghh .....Maashh...“ desahku tak karuan.

Kudengar sesekali mulut Mang Dedi juga ikut melenguh sambil dia menatapku dengan tatapan yang penuh gairah.

"Enak banget Dek Liya.. Ohhh .." ucapnya.

Lalu dipagutnya bibirku dengan hangat sambil pinggulnya tak berhenti mengayun menggenjot tubuh bawahku. Kubalas pagutan bibirnya itu dengan tak kalah bernafsu karena aku mulai merasakan kembali tanda-tanda puncak kenikmatan itu membayang.

"Mas....ohhh...Massss ..... " desisku di telinga Mang Dedi.
"Iyah.. kenapa..sayang ..... ??" bisik Mang Dedi dengan napas tersengal-sengal.

Kedua jemari tangan kami saling mencengkram erat. Kelamin kami saling tertaut lekat, juga badan kami semakin menyatu rapat. Nafas kami sudah terengah-engah dalam gelora nafsu dan gelombang rasa nikmat tiada tara itu.

"Keluarkan di dalam ya, Mas, aku ingin hamill" bisikku lagi, kuciumi leher dan pipi Mang Dedi.

Entah apa yang aku pikirkan, tapi saat itu aku merasa sangat menginginkan Mang Dedi untuk menyemburkan spermanya dalam vaginaku dan membuahiku saat itu juga.

Mungkin aku sudah sedikit gila karena menginginkan pria lain menghamiliku. Tapi saat semakin aku membayangkannya, semakin aku menginginkannya juga.

"Kamu benar-benar mau sayang?" Ucap Mang Dedi terus menggenjotku dengan begitu kuatnya. Tubuhnya tersentak-sentak dan berguncang kuat karena bergoyang menusuk tubuhku dengan semakin liar dan binal.

"Ya Mas...lakukanlah Mas.... hamili akuu" ucapku meyakinkannya. Dadaku berdegup tidak karuan dan nafsuku dengan cepat semakin memuncak.

Mang Dedi juga mempercepat genjotan penisnya memompa vaginaku, Nafasnya makin memburu pertanda dia juga mulai merasakan puncaknya. Terasa penisnya makin dalam menyodok liang vaginaku seperti menggila menggenjotku sekuat-kuatnya.

Dalam genjotannya tersebut. Akhirnya akupun kembali merasakan liang vaginaku menyempit penuh sesak dan ngilu berkepanjangan. Aku dengan kuatnya mencakar punggung Mang Dedi sambil menggigit pundaknya saat puncak kenikmatan itu melandaku sekali lagi.

"MASHH... AKU ORGASMEEHH..." teriakku dengan begitu kencang.
Kurasakan liang vaginaku membasah bersamaan dengan memuncaknya rasa enak yang tak dapat kugambarkan itu. Badanku serasa melayang-layang terbawa angin. Aku larut dan tenggelam dalam puncak kenikmatan badai orgasmeku yang menghantam tubuhku untuk kedua kalinya.

Liang vaginaku terasa berkedut dan tak berhenti berdenyut menjepit-jepit batang penis Mang Dedi.

"Oougghh.. aku juga mau keluar sayang" ucap Mang Dedi semakin bersemangat.

Dia lalu meraih wajahku dengan sebelah tangan dan mengangkatnya, aku menoleh dan mendongak ke arah Mang Dedi dengan mulut ternganga merasakan sensasi nikmat itu, ia merundukan lehernya dan wajahnya mendekat ke wajahku, mulut Mang Dedi menyambar mulutku, dihisapnya lidahku dalam-dalam.

"Ouugghhh.. aku keluar sayang" teriaknya melenguh geram.

Pada genjotan terakhirnya. Nafas Mang Dedi mendengus kuat, mulutnya masih menghisap lidahku, batang penisnya dia benamkan dalam-dalam dan terasa berdenyut kencang berkedut-kedut mengeluarkan semburan-semburan cairan hangat yang berisi milyaran sel pembawa kehidupan baru itu.
"CROOOTTTTT!!!! CROOOTTTT!!! CROOTTTT!!!!! CROOTTT!! CROOTTT!!"

Hujan sore itu sudah reda saat aku mengantarkan Mang Dedi keluar dari rumahku menuju motornya. Kami berjalan bergandengan tangan menyusuri teras rumah layaknya pesangan kekasih yang tengah dimabuk asmara.

Sebenarnya ada sedikit perasaan kecewa, karena sudah saatnya kami kembali pada realita kami masing-masing. Mang Dedi kembali menjadi penjual sayur langgananku, dan akupun kembali menjadi seorang istri yang berlangganan di dagangannya.

“Aku pulang dulu Dik!” Ucap Mang Dedi naik ke atas motornya.
Badanku sebenarnya masih lemas, vaginaku pun masih terasa berdenyut-denyut dan ngilu ketika aku berjalan. Namun aku tak rela melepas kepergian Mang Dedi begitu saja. Aku masih ingin berlama-lama dengannya, masih ingin memadu kasih sampai batas waktu yang tak bisa ku tentukan.

Tapi aku menahan diri untuk tidak memberitahunya, “Hati-hati Mas!” balasku tersenyum.

Mang Dedi lalu mengangguk pelan, kemudian dia memelukku dan memberikan kecupannya pada bibirku. Untuk sebentar, aku membalas ciumannya tersebut sehingga kami saling pagut memagut bibir di depan rumahku tanpa sedikitpun khawatir dengan keadaan sekitar.

“Sudah Mas! Nanti diliat orang..” Ucapku menjauhkan badan.

Mang Dedi lalu mengangguk mengerti, “Lain kali aku mampir lagi Dek Liya” ucapnya tersenyum menyalakan motor dan kemudian berlalu menghilang dari pandanganku.

Setelah Mang Dedi pergi, kulangkahkan kakiku masuk kembali ke dalam kamar. Kulihat anakku Tasha masih tertidur dengan pulas dan kurebahkan badanku di sampingnya. Aku kemudian termenung menatap langit-langit kamarku dengan perasaan lelah namun puas disaat yang bersamaan.

“Maafkan Umi, Abi..” Ucapku merasa bersalah, tak kuasa membela diriku sendiri saat kulihat suamiku menatap tersenyum dari dalam foto yang menggantung di dinding kamar.

Tapi perasaan bersalah itu tak bertahan lama, karena aku dengan segenap hati meyakinkan diriku bahwa ini juga merupakan kesalahan suamiku yang selama ini tak pernah membuatku puas dalam hal bercinta. Jangankan untuk puas, tau bahwa wanita bisa orgasme saja tidak.

Aku pun tak bisa menahan diri untuk tidak membuat perbandingan antara suamiku dan Mang Dedi. Mulai dari tutur kata, perlakuan hingga caranya, Mang Dedi memang jauh lebih unggul dibandingkan dengan suamiku.

Bahkan sampai saat ini saja, masih dapat ku rasakan setiap rasa yang tersisa dalam tubuhku setelah persetubuhan terlarangku dengan Mang Dedi itu. Masihku bayangkan bagaimana perkasanya tukang sayur itu menggagahiku sehingga dapat membuatku terbang ke puncak kenikmatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Masih pula aku merasakan bagaimana cumbuan dan pelukannya yang begitu hangat itu membalut tubuh ranumku yang kesepian ini.

“Lain kali aku mampir lagi Dek Liya..” Kata Mang Dedi tiba-tiba saja terputar dalam benakku.

Aku mengulum senyum, seperti orang gila berguling-guling diatas kasur dengan jantung yang berdebar-debar terus mengingat wajah dan perkataan Mang Dedi itu. Senyum terus terpancar di bibirku hingga membuat rahangku lelah membayangkan kalau hubungan terlarang kami masih akan berlanjut.

Ada yang lagi seneng nih kayaknya.” kaget suara suamiku yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu.
Aku langsung terduduk membenarkan ekspresiku, “Eh, Abi kapan pulang??” tanyaku tergagap.

“Baru aja nih” balasnya masuk ke dalam kamar dan membuka baju. “Oh iya, Abi bawa sesuatu buat Umi” lanjutnya meraih kantong celananya.

Suamiku tersebut lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang berbentuk seperti kotak perhiasan, “Apaan tuh Bi??” tanyaku penasaran.

“Supriiseeeeeeee!!!” teriak suamiku membuka kotak kecil itu. Didalamnya kulihat ada sebuah cincin emas yang ukurannya lebih besar dari cincin pernikahanku.

Aku terlonjak kaget, antara senang dan sedikit bersalah, “Buat Umi?” tanyaku ragu.
“Woiya dong. Masa’ buat cewe lain” balas suamiku dengan sangat senang.

Tiba-tiba saja, air mataku menetes dengan sendirinya. Satu persatu bulir-bulir air mata itu turun dalam kumpulan rasa bersalah yang menyesaki dadaku. Lengkap dengan pemikiran bahwa aku telah begitu jahat mengkhianati pria sebaik suamiku ini.

“Loh?? looh?? kok Umi nangis??” tanya suamiku bingung.

Aku tak menjawab dan terus menangis. Seolah sedang menyesali perbuatan yang sebenarnya secara sadar aku lakukan dan benarkan. Tapi melihat bagaimana wajah lelah suamiku itu tersenyum tanpa tau sedikitpun aku telah mengkhianatinya, membuat hatiku seperti terisis perlahan-lahan.

Aku kemudian memeluk tubuh suamiku dengan erat, “Maafin Umi, Bi!! Maafin Umi belum jadi istri yang baik buat Abi..” Ucapku menangis tersedu-sedu.

“Umi sudah jadi yang terbaik buat Abi kok!! Abi gak akan minta lebih” balas suamiku mengelus kepalaku.

Segera saja setelah itu ku hamburkan badanku pada tubuh suamiku dan langsung kuciumi bibirnya. Suamiku terlihat kaget dengan serangan ku tersebut namun dia tampak senang dengan caraku menciumnya. Segala perasaan bersalah dalam hatikupun, aku coba tuangkan dalam pagutanku seolah ingin menghilangkannya.

Tapi semakin dalam ciumanku pada suamiku tersebut, semakin perih rasanya hatiku ketika teringat bahwa bibirku ini tak lagi suci untuknya. Bibir mungilku ini telah dikotori oleh bibir pria lain selain dirinya yang bahkan belum sempat aku cuci dan bersihkan.

“Maafkan aku Bi!” batinku terus memagut suamiku.

Aneh rasanya aku malah tiba-tiba bernafsu dan menggebu. Membayangkan bagaimana tadinya aku menggunakan bibir yang sama ketika melayani tukang sayur langgananku tadi. Walau rasanya aku seperti menghinakan suamiku sendiri, namun justru ada sebuah dorongan batin yang membuatku semakin ingin melanjutkannya.

“Umi udah mandi??” tanya suamiku menghentikan ciuman kami.
Aku lalu menggeleng membalasnya, “Belum Bi!” jawabku singkat.

“Mandi bareng yuk!” ajak suamiku girang.
Jantungku tiba-tiba berdegub tidak karuan, aku teringat dan takut kalau tubuhku masih menyisakan bekas-bekas ciuman Mang Dedi yang pasti akan dilihat oleh suamiku jika kami mandi bersama, “Abi mandi sendiri aja gih!” kataku menolak.
“Loh?? kok gitu?? Ayolah Mi!! kita gak pernah mandi bareng loh..” bujuk suamiku masih bersemangat.

Aku menjadi sangat bimbang dibuatnya. Kalaupun ingin menolak, aku harus menolak dengan alasan yang cukup kuat. Sementara aku juga sedikit kasihan menolak ajakan suamiku tersebut karena aku sendiri yang membangkitkan gairah bercintanya.

“Kalau gitu Umi duluan masuk ke kamar mandi ya.. nanti Abi nyusul!!” Ucapku menemukan sebuah solusi. Aku akan melihat dulu keadaan badanku sebelum memutuskan untuk mandi bersama suamiku atau tidak.

“Kok gitu Mi??” tanya suamiku heran.
Aku kemudian berdiri dan menggodanya, “Mau mandi bareng apa enggak??” tanyaku padanya.
“Mau... mauu...” jawab suamiku mengangguk-angguk girang menerima persyaratanku.

Aku kemudian meraih handuk yang menggantung di bagian belakang pintu kamarku dan berjalan menuju kamar mandi sambil menghela nafas dalam-dalam. Setibanya disana, aku dengan secepat kilat melucuti baju gamis, hijab dan pakaian dalamku sehingga tubuhku benar-benar telanjang.

Dari pantulan cermin yang ada di kamar mandi, aku mencoba mematut seluruh bagian badanku untuk melihat apakah ada bekas ciuman ataupun gigitan Mang Dedi disana. Beruntung setelah aku berputar-putar melihatnya, hanya ada beberapa bekas merah pada bagian dadaku yang terlihat seperti bekas gigitan nyamuk.

“Aman!!” batinku menghela nafas lega.

Setelah itu, kunyalakan keran shower air hangat untuk mengguyur tubuhku sebentar sambil menghilangkan degub jantungku yang seperti ingin meloncat keluar. Selang beberapa menit kemudian, badanku pun akhirnya rileks dibawah kucuran air yang membuat nyaman itu.
“Umi curang!” Ucap suamiku yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi.

Reflek saja aku tiba-tiba menutup bagian dadaku takut bekas merah cumbuan Mang Dedi masih terlihat, “A--abi main masuk aja!!” protesku padanya.

“Loh? Umi kenapa coba?? Abi udah pernah liat semua masih aja ditutupin segala” balasnya mendekatiku.
“U--umi kan kaget Bi!” balasku masih tergugup.

Dalam kucuran air hangat yang mengguyur badan kami berdua itu, suamiku kemudian memeluk tubuhku dari belakang dan langsung menciumi leherku. Aku cukup dibuat kaget dengan serangannya tersebut karena suamiku sebelumnya tidak pernah melakukannya.
“Umi seksi banget..” bisik suamiku memuji.

Ada sedikit perbedaan dari sikap suamiku saat dia meraba pinggang dan punggungku. Biasanya jika dia ingin bercinta, dia tidak akan membuang-buang waktu untuk mencium dan merabatubuhku. Namun kali ini, suamiku tampak sabar sehingga akupun perlahan-lahan hanyut dan badanku jadi berdesir mulai merasakan gairah.
“Bihh..” desahku lirih.

Aku sedikit menggelinjang saat tangan suamiku mulai menyentuh kedua payudaraku dengan pelan. Kupejamkan mataku menikmati sensasi nikmat yang dialirkan dari puting payudaraku ke seluruh bagian syaraf yang ada di tubuhku. Hatiku tiba-tiba menjadi senang, jarang-jarang diperlakukan selembut ini oleh suamiku.

Air hangat terus mengguyur tubuhku yang semakin rapat dengan badan suamiku. Dapat ku rasakan dibagian pinggulku penis miliknya sudah menegang menekan-nekan dengan kuat bongkahan daging kenyal pantatku.

Tak sampai disana saja, kedua tangan suamiku kini bergerak ke bawah perlahan-lahan merabai bagian paha dan selangkanganku. Beberapa kali pula rabaannya tersebut singgah dengan lembut di bagian vaginaku.

“Disanahh Bi!!” pintaku lirih menahan tangannya di vaginaku.
Seolah mengerti, tangan kanan suamiku akhirnya bergerak nakal menggosok-gosok pelan bibir vaginaku yang basah oleh air hangat, sedangkan tangan kirinya aktif menelusuri bagian perut dan payudaraku.

“Uhhh... eemmmhhhh” lenguhku tertahan.

Dari belakang suamiku menciumi pundakku dengan kecupan-kecupan pelan yang terkadang berubah liar menjadi hisapan-hisapan dan gigitan kecil ke bagian punggungku. Aku menjadi terheran-heran dengan perubahan sikap suamiku tersebut. Begitu penasaran dimana dia mempelajarinya.

“Abiihh.. koookk enakk sihh???” lenguhku manja membalikkan badanku menghadapnya.

Seketika suamiku langsung menyambar wajahku dengan ciuman liarnya bertubi-tubi. Aku bahkan sampai megap-megap kehabisan nafas diantara guyuran air hangat dan ciumannya. Gairahku menjadi sangat bergejolak naik hingga ku balas pagutan suamiku dengan bibir dan mulutku tak kalah ganasnya.

Tak mau kalah dengan perlakuan suamiku tersebut, aku pun kemudian menunjukkan kemampuan baruku dengan meraba-raba bagian tubuh suamiku dengan tangan. Jemariku menyentuh penisnya yang menegang sambil sedikit memberi pijatan-pijatan ringan di batangnya.

“Ouughh.. Mihh!!” giliran suamiku yang melenguh nikmat.

Sekilas aku teringat dengan adegan percintaanku bersama Mang Dedi dimana aku dengan beraninya mengulum penis pria penjual sayur itu dengan mulutku. Rasanya aku ingin memberikan hal yang sama pada suamiku agar keadaan menjadi imbang antara mereka dan tak ada perasaan bersalah dalam hatiku.

Dengan secepat kilat aku kemudian melepaskan ciumanku pada bibir suamiku dan langsung bertekuk lutut di hadapan selangkangannya.

“U—umi?” suamiku terheran.
Belum sempat dia mencerna apa yang akan aku lakukan, aku langsung menyambar dan menggenggam penisnya lalu ku kocok dengan pelan-pelan sambil kuciumi kepala batangnya.

“Ouughhh..” Badan suamiku menggelinjang dan mulutnya mengerang.

Aku mendongakkan wajahku ke atas melihat ekspresi suamiku yang merem melek keenakan. Kubuka mulutku dengan lebar dan kuarahkan penis suamiku tersebut ke dalam kulumanku hingga semuanya amblas tak bersisa.

“Ouuhh gilaa.. Umiiihh!” racau suamiku memegangi rambutku.
Karena ukuran penis suamiku yang kecil, aku dengan begitu mudah mengulum penisnya lebih dalam dan dengan bebas menggerakkan lidahku bermain-main diseluruh batangnya. Suamiku dengan sangat bernafsu ikut menggenjotkan penisnya dalam kulumanku yang terasa sangat licin dan basah.

“Enakk bangettt Umiii!!!” desah suamiku tak henti-henti.

Suamiku tampak sangat menikmati kulumanku tersebut hingga penisnya terasa makin menegang dan membesar dalam mulutku. Kuhisap-hisap dengan kuat seluruh batangnya tersebut seperti mengharapkan sesuatu keluar dari sana.

Selang tak berapa lama kemudian, akupun merasakan gairahku sudah tak bisa di tahan lagi. Vaginaku terasa sudah berkedut-kedut minta dimasuki oleh sesuatu. Dan dengan cekatan aku merayap naik pada tubuh suamiku dan mendorongnya pelan di closet duduk yang ada disana.
Suamiku menurut saja saat ku raih batang penisnya yang kecil dan menegang sangat keras itu sambil ku arahkan pada liang vaginaku. Mata suamiku nanar melihat aku yang seperti kerasukan setan ingin segera menuntaskan birahi ini.

“Umi masukin ya Bi!” ucapku meminta izin.

Kuturunkan sedikit pinggul dan pantatku ke ujung penisnya dengan sedikit tergesa-gesa karena dorongan nafsu yang begitu kuat. Entah kenapa rasanya aku sangat bernafsu saat ini dan menuntut penyelesaian secepat mungkin.
“Aaaachhhh...” kami berdua mendesah bersama saat aku menurunkan pinggulku lebih ke bawah lagi.

Batang penis suamiku itu melesak masuk seluruhnya dengan sangat mudah karena ukurannya yang kecil. Sedangkan vaginaku sudah sangat licin, hangat dan basah oleh cairan pelumas yang keluar begitu banyak dari liangnya.

Beberapa detik aku hanya diam menikmati sensasi tusukan batang suamiku tersebut. Walau tak sepenuh dan sesesak saat dimasuki penis Mang Dedi, namun rasanya cukup mengisi vaginaku yang masih punya daya jepit yang lumayan kuat itu.

“Umii makin pinter bikin Abi enak sekarang!” Puji suamiku meraih kedua payudaraku.

Aku tersenyum mencium bibirnya, “Abi juga tumben ga buru-buru..” balasku menggoyangkan pinggul.
Suamiku meringis merasakan goyangan pantatku yang kemudian kupompa dengan pelan-pelan. Posisiku yang saat ini berada diatas dan seperti menunggangi kuda itu, membuatku merasakan kenikmatan luar biasa setiap kali aku bergerak.

Tusukan suamiku itu semakin terasa nikmat karena aku dapat dengan leluasa mengarahkan bagian-bagian dalam liang vaginaku yang paling menimbulkan rasa nikmat saat tersentuh penis suamiku.
“Abihh.. Ohhhh.. Bii!!” desisku semakin bersemangat.

Badanku duduk di atas badan suamiku, sedang pinggul dan pantatku terus kuayunkan mengocok liang vaginaku dengan penis miliknya. Bunyi gesekan kelamin kami yang basahpun terdengar berkecipak karena cairan vaginaku sudah sangat banyak meleleh keluar.

Namun sayang, baru sekitar dua menitan aku menggenjotkan vaginaku dengan penuh semangat. Nafas suamiku sudah mendengus-dengus tak beraturan pertanda dia akan keluar sebentar lagi. Aku sudah menduga akan seperti ini jadinya sehingga akupun tak terlalu kecewa mengetahui suamiku tersebut akan ejakulasi.
“Umiihh.. Abii keluarrr” teriaknya begitu kencang meremas payudaraku dengan begitu kuat.

Tapi entah kenapa tubuhku tiba-tiba bergerak secara sendirinya mencabut tusukan penis suamiku seperti tidak rela kalau cairan itu masuk kesana. Alih-alih keluar di dalam, suamiku memuntahkan spermanya di badanku dengan sangat banyak dan berkali-kali lipat dari biasanya.

“CROOTT!!! CROTTT!! CROTTT!!! CROOTTTTT!!”

Sekitar empat tembakan kuat keluar dari ujung penis suamiku sambil diiringi tembakan-tembakan kecil setelahnya. Kupeluk dan kudekap erat badan suamiku agar dia dapat menikmati puncak kenikmatannya dengan sempurna. Kurasakan betul, penis suamiku yang terhimpit di perutku masih berkedut-kedut memuntahkan spermanya.

Suamikupun kemudian langsung lemas terduduk dan tak bertenaga.

“Apa yang aku lakukan??” batinku.

Aku sadar tidak mengizinkan sperma suamiku masuk ke dalam liang vaginaku setelah aku teringat bahwa didalamnya sudah ada benih Mang Dedi yang masuk lebih dulu. Entah apa yang aku pikirkan, tapi tubuhku seolah berkata kalau aku tak ingin dibuahi untuk sementara waktu selain oleh benih Mang Dedi.

“AKU SUDAH GILA??!!!”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Draft Amarah Para Buruh 21

Draft Amarah Para Buruh 20

Lust in Broken Home 4

Lust In Broken Home 5

Terjebak Didalam Kelas

Akibat Kena Gendam Tetanggaku

Kisah Tragis Dikebun Karet

Amarah Para Buruh 10

Amarah Para Buruh 17

Binalnya Ibu Tiriku 4